Selasa, 01 Januari 2013

Jalan Menuju Kemulian Akhlaq

Jalan Menuju Kemulian Akhlaq.Oleh:ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag .Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

كَمَآأَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُوا عَلَيْكُمْ ءَايَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّالَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

"Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat atas kalian) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu, yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu, dan menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui". [al-Baqarah: 151]

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Wayuzakkihim” (dan menyucikan kamu), yaitu menyucikan mereka dari akhlaq yang rendah, dari kotoran jiwa dan dari perbuatan jahiliah, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. [Tafsir Al-Qur’an Al’-‘Azhim I/291]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأََخْلاَقِ

"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia". [HR. Ahmad, Hakim, dll]

Imam Hakim menshahihkan hadits tersebut atas syarat Muslim dan disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi dan dishahihkan pula oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah no. 45

Syaikh Musthafa Al-Adawi berkata: bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdakwah menuju tauhid (Yang merupakan prioritas utama) dan bersamaan dengan itu beliaupun berdakwah menuju akhlaq yang mulia.

Bahkan bisa dikatakan bahwa akhlaq yang mulia merupakan buah dari tauhid dan keimanan seseorang.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyebutkan tentang pentingnya para da’i untuk menyampaikan akhlaq yang mulia kepada masyarakat, setelah sebelumnya beliau menyebutkan bahwa prioritas utama dalam dakwah para rasul adalah dakwah menuju tauhid. Beliau berkata: “Saya mengulangi peringatan ini, yaitu dalam pembicaraan tentang penjelasan yang terpenting kemudian yang penting kemudian yang ada di bawahnya, bukan bermaksud agar para da’i membatasi untuk semata-mata mendakwahkan kalimat Thayyibah (Laa ilaaha illa Allah) saja dan memahamkan maknanya saja. Karena setelah Allah menyempurnakan nikmatNya kepada kita dengan menyempurnakan dienNya, maka merupakan suatu keharusan bagi para da’i untuk membawa Islam ini secara keseluruhan, tidak sepotong-sepotong”[1].

Risalah ini hanya memuat rambu-rambu akhlaq yang baik, dimulai dari Pengertian akhlaq; Hubungan antara akhlaq, aqidah dan iman; Keutamaan akhlaq yang baik; dan terakhir mengenai Cara memproleh akhlaq yang baik. Sebenarnya masih ada lagi rambu-rambu yang penting untuk dibahas, seperti: Barometer akhlaq yang baik; Syarat akhlaq yang baik; Akhlaq orang-orang kafir, dan lain-lainnya. Hanya saja perlu waktu yang lebih lama lagi untuk mengumpulkan dan tentunya yang lebih sulit adalah mencarinya dari pada ulama’, penuntut ilmu dan kitab-kitab.

Meskipun belum maksimal, kami berharap agar risalah ini banyak memberikan manfaat untuk kita semua, dan sebagai perbaikan untuk diri sendiri dan masyarakat. Yang aku inginkan hanyalah perbaikan sesuai dengan kesanggupanku, dan tidak ada taufik bagiku kecuali dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hanya kepada Allah aku bertawakkal, dan hanya kepadaNya aku akan kembali.

JALAN MENUJU KEUTAMAAN AKHLAQ
1. Pengertian Akhlaq Dan Macam-Macamnya
Ibnul Atsir berkata dalam An-Nihayah 2/70: “Al-Khuluq dan Al-Khulq berarti dien, tabiat dan sifat. Hakekatnya adalah potret manusia dalam bathin, yaitu jiwa dan kepribadiannya” [2]

Manusia terdiri dari lahir dan bathin, jasmani dan rohani, oleh karena itu kita tidak boleh memperlakukan manusia seperti robot atau benda mati yang tidak mempunyai perasaan. Di samping itu kita harus mempunyai perhatian yang serius guna menyempurnakan akhlaq kita, karena nilai manusia bukanlah terletak pada bentuk fisik, suku, keturunan, gelar, kedudukan ataupun harta, akan tetapi terletak pada iman, taqwa dan akhlaqnya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk, rupa dan harta benda kalian, tetapi Allah memperhatikan hati dan amal-amal kalian". [HR. Muslim. lih. Ghayatul Maram no. 415]

Seorang penyair Arab berkata:
يَا خَادِمَ الْجِسْمِ كَمْ تَسْعَى لِخِدْمَتِهِ
أَتْعَبَتْكَ نَفْسُكَ فِيْمَا فِيْهِ خُسْرَانٌ
أَقْبِلْ عَلَى الرُّوْحِ وَ اسْتَكْمِلْ فَضَائِلَهَا
فَإِنَّكَ بِالرُّوْحِ لاَ بِالْجِسْمِ إِنْسَانٌ

Wahai pelayan jasmani
Berapa lama engkau bekerja untuk kepentingannya
Engkau telah menyusahkan diri
Untuk sebuah kerugian yang nyata
Hadapkan perhatian kepada ruhani
Dan sempurnakan keutamaannya
Dengan ruhani, bukan dengan jasmani
Engkau sempurna menjadi manusia

Di antara ulama ada yang mendifinisikan akhlaq yang baik kepada sesama makhluq [3] dengan: Tidak menyakiti orang lain, berderma dan bermuka manis. [4] Tidak menyakiti orang lain, yaitu baik menyakiti fisik, harta maupun kehormatannya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ

"Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-benda dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian". [HR. Bukhari dan Muslim]

Menyakiti orang lain itu dapat dengan lisan, seperti: menggunjing, mengadu-domba, memperolok-olok, menuduh dengan tuduhan dusta, saksi palsu, dan lain-lain. Dapat juga menyakiti dengan perbuatan, seperti: mengambil harta, menipu, berkhianat, merampas, mencuri, memukul, membunuh, memperkosa, korupsi, memakan harta anak yatim, menahan hak orang lain, dan lain-lain.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَ يَدِهِ

"Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya". [HR. Bukhari]

Jadi seorang muslim tidak menyakiti orang lain dengan lisan dan perbuatannya.
Bahkan seorang muslim itu suka berderma dengan membantu orang lain, baik bantuan itu berupa harta, saran, ilmu, tenaga, pikiran, pengaruh dan lain sebagainya.

Yang ketiga adalah bermanis muka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

"Janganlah engkau menganggap remeh perbuatan baik sedikit pun, meskipun engkau berjumpa saudaramu dengan wajah berseri-seri" [HR. Muslim]

Dikatakan, bahwa Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma pernah ditanya tentang kebaikan, maka beliau menjawab: “Wajah berseri-seri dan bertutur kata yang halus”. Seorang penyair merangkaikannya dalam sebuah syair:

بُنَيَّ إِنَّ الْبِرَّ شيْءٌ هيِّنٌ
وَجْهٌ طَلِيْقٌ وَ لِسَانٌ لَيِّنٌ
Wahai anakku, sesungguhnya kebaikan itu suatu yang mudah,
Wajah yang berseri-seri dan tutur kata yang halus

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Bermuka manis adalah wajah yang berseri-seri ketika berjumpa dengan orang lain, sedangkan lawannya adalah bermuka masam”. Kemudian beliau menyebutkan hadits, perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu dan syair sebagaimana kami sebutkan di atas, lalu berkata: “Wajah yang berseri-seri dapat membuat orang menjadi senang, dapat merekatkan kasih sayang dan dapat pula menjadikan dirimu dan orang yang kamu jumpai menjadi berlapang dada. Tetapi jika engkau bermuka masam, maka orang lain akan menjauhimu, tidak merasa nyaman duduk bersamamu, apalagi untuk berbincang-bincang denganmu.

Orang yang tertimpa penyakit berbahaya, yaitu depresi (tekanan jiwa), dapat sembuh dengan resep yang sangat ampuh, yaitu berlapang dada dan wajah yang berseri-seri. Oleh karena itu para dokter menasehati orang-orang yang tertimpa penyakit depresi untuk menghindari hal-hal yang membuatnya marah atau emosi, karena hal tersebut akan memperparah penyakitnya. Adapun lapang dada dan wajah yang berseri-seri dapat menghilangkan penyakit tersebut, sehingga ia akan dicintai dan dihormati oleh orang lain.” [Makarimul Akhlaq, hal: 29-30]

Tetapi tidak selamanya bermanis muka itu positif, adakalanya dalam kondisi tertentu kita dituntut untuk bermuka masam. [Fotenote, hal: 155-156]

Ada juga pendapat-pendapat lain tentang definisi akhlaq, ada yang mengatakan bahwa akhlaq yang baik adalah berderma, tidak menyakiti orang lain dan tabah dalam menerima cobaan.

Ada yang mengatakan bahwa akhlaq yang baik adalah berbuat kebaikan dan menahan diri dari keburukan.

Ada lagi yang mengatakan: “Membuang sifat-sifat yang hina dan menghiasinya dengan sifat-sifat yang mulia”, ini disebutkan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya Madarijus Saalikin.

HUBUNGAN ANTARA AKHLAQ, AQIDAH DAN IMAN
Sesungguhnya antara akhlaq, aqidah dan iman itu terdapat hubungan yang sangat kuat sekali, karena akhlaq yang baik itu sebagai bukti dari keimanan yang kuat, sedangkan akhlaq yang buruk sebagai bukti dari iman yang lemah. Semakin sempurna akhlaq seorang muslim berarti semakin kuat imannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

"Kaum mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya di antara mereka". [HR. Tirmidzi 3/315 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’us Shagir I/266-267]

Akhlaq yang baik adalah bagian dari amal shalih yang dapat menambah keimanan dan memiliki bobot dalam timbangan, pemiliknya sangat dicintai oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian pula akhlaq yang baik merupakan salah satu sarana seseorang masuk dalam syurga. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ
T
"idak ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbangan (amalan) seorang mukmin pada hari kiamat daripada akhlaq yang mulia" [HR. Tirmidzi dan Abu Daud dan di hasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi 2/194]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلَاقًا

"Sesungguhnya di antara orang yang paling aku cintai di antara kalian, dan paling dekat majelisnya denganku di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaqnya di antara kalian". [HR. Tirmidzi dan di hasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’us Shaghir 1/439]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang sebab terbanyak yang memasukkan manusia ke dalam syurga, maka beliau menjawab:

تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ

"Taqwa kepada Allah dan akhlaq yang baik." [HR. Tirmidzi dan di hasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi 2/194]

Akhlaq yang baik mencakup pelaksanaan hak-hak Allah dan hak-hak makhluk.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Kebanyakan orang memahami bahwa akhlaq yang baik itu khusus mu’amalahnya seorang hamba dengan sesamanya, tidak ada hubungannya dengan mu’amalah dengan Al-Khaliq, tetapi ini adalah pemahaman yang dangkal. Akhlak yang baik mencakup mu’amalah dengan sesama makhluq dan juga mu’amalah seorang hamba dengan Allah. Ini harus dipahami oleh kita semua. Akhlaq yang baik dalam bermuamalah dengan Allah mencakup tiga perkara:

1. Membenarkan berita-berita yang datang dari Allah
2. Melaksanakan hukum-hukumNya
3. Sabar dan ridha kepada takdirNya”
[Dinukil dari Makarimul Akhlaq, hal: 16]

Dr. Abdullah bin Dhaifullah Ar-Ruhaili berkata: “Sesungguhnya hak Allah yang menjadi kewajiban atas seorang manusia adalah hak yang paling besar, demikian pula adab terhadap Allah adalah kewajiban yang paling wajib. Karena Dia adalah Maha Pencipta tidak ada sekutu bagiNya, sedangkan selainNya adalah makhluq, maka tidaklah sama antara hak makhluq dibandingkan dengan hak Allah. Begitu pula adab manusia terhadap Allah tidaklah sama dengan adab manusia kepada sesamanya. Karena Allah itu Pencipta dan tidak ada sekutu bagiNya, maka wajiblah atas seorang manusia untuk mentauhidkanNya, bersyukur dan beradab kepadaNya sesuai dengan apa yang telah digariskan.

Adapun pokok-pokok mu’amalah manusia dengan Allah secara ringkas adalah sebagai berikut:
Beriman kepadaNya dengan mantap, mentauhidkanNya dalam nama-nama, sifat-sifatNya dan mentauhidkanNya dengan beribadah, selalu taat kepadaNya dan menjauhi maksiat, baik di kala sendirian atau ketika disaksikan orang lain, secara rahasia ataupun terang-terangan, baik dalam keadaan sulit maupun mudah. Mengagungkan syiar-syiar Allah dan aturanNya, serta tunduk kepada syari’atNya, menghormati kitabNya dan sunnah-sunnah NabiNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, beradab kepada keduanya dan menerima keduanya dan memahami dan mengamalkannya dengan benar tanpa berlebihan dan tanpa menganggap enteng, memberikan perhatian penuh kepada dienNya dalam hal pemahaman, keimanan dan pengamalan. Mengagungkan Allah dan mensucikanNya dari segala kekurangan, mensifatiNya dengan apa yang Allah sifatkan dalam kitabNya dan melalui lisan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, ridha kepada Allah dan takdirNya, mencintaiNya lebih dari yang lain, selalu berdzikir dan bersyukur kepadaNya, memperbaiki ibadah kepadaNya, berbuat baik kepada hamba-hambaNya, tidak berbuat zhalim kepada mereka dan berprasangka baik kepadaNya.” [Dinukil dari kitab “Al-Akhlaq Al-Fadhilah Qawaa’id wa Munthalaqat Liktisabiha” hal. 86-87]

Sebagian manusia ada yang berpendapat bahwa dien Islam ini adalah semata-mata pergaulan yang baik kepada manusia, sehingga merugikan manusia adalah kejahatan terbesar. Kemudian terlihat secara zhahir, dia berperilaku baik kepada orang lain, tetapi pada saat yang sama dia menyia-nyiakan hak-hak Allah, dengan berbuat syirik, kufur, bid’ah, dan maksiat lainnya. Dia berdo’a kepada selain Allah, menyembelih hewan untuk dijadikan sebagai tumbal, menyia-nyiakan sholat.

Ketika orang tersebut ditegur, ia akan mengatakan bahwa ini adalah urusan pribadi, dan orang yang berhak untuk ditegur adalah orang yang menyakiti tetangga, mengambil hak orang lain, korupsi dan lain sebagainya. Tidakkah ia tahu bahwa dosa syirik adalah sebesar-besar dosa besar, dan Allah tidak akan mengampuninya kecuali jika si pelaku bertaubat. Allah berfirman:

إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ

"Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, Dan Dia akan mengampuni dosa yang lain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya". [an-Nisa’ : 116]

Di sisi lain terdapat juga sebuah fenomena, adanya sebagian orang yang meremehkan masalah akhlaq kepada sesama makhluq dengan sangkaan bahwa dien itu semata-mata menunaikan hak Allah tanpa menunaikan hak makhluq. Padahal sesungguhnya menunaikan hak manusia adalah bagian dari menunaikan hak Allah Subhanahu wa Ta'ala. Juga telah disinggung sebelumnya bahwa terdapat hubungan yang erat antara keimanan kepada Allah dengan akhlaq kepada sesama makhluq. Rasulullah bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

"Kaum mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling akhlaqnya di antara mereka". [HR. Tirmidzi 3/315 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’us Shagir I/266-267]

Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata baik atau (kalau tidak bisa) hendaklah diam". [HR. Bukhari]

Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam

وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ قِيلَ وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائقَهُ

"Demi Allah! seseorang tidak akan beriman (beliau mengucapkannya tiga kali), Para sahabat bertanya: “Siapakah dia Wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya." [HR. Bukhari]

Dan keterangan-keterangan lainnya yang menunjukkan bahwa seorang muslim tidak akan berbuat aniaya kepada orang lain.

KEUTAMAAN AKHLAQ YANG BAIK.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy rahimahullah berkata: “Banyak nash dalam Al-Qur’an maupun al-Hadits yang menganjurkan untuk berakhlaq yang baik dan memuji orang yang menghiasi diri dengannya, serta menyebutkan keutamaan-keutamaan yang diraih oleh orang yang berakhlaq mulia. Disebutkan pula pengaruh-pengaruh positif dari akhlaq yang mulia berupa manfaat dan maslahat, baik yang umun maupun yang khusus.

1. Di antara faedahnya yang paling besar adalah dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan perintah RasulNya n , serta meneladani akhlaq nabi n yang agung. Berakhlaq yang baik iu sendiri merupakan ibadah yang besar sehingga seorang hamba dapat hidup dengan penuh ketenangan dan kenikmatan secara konsisten, di samping ia memperoleh pahala yang besar.

2. Orang yang berakhlaq mulia dicintai oleh orang yang dekat maupun yang jauh, musuh bisa berubah haluan menjadi teman, orang jauh menjadi dekat.

3. Dengan akhlaq yang baik akan memantapkan dakwah yang dijalankan oleh seorang da’i dan guru yang mengajarkan kebaikan, ia mendapat simpati banyak orang. Mereka akan mendengarkan dengan hati yang senang dan siap menerima penjelasannya dengan sebab akhlaq yang baik, juga karena tidak ada yang menghalangi jarak antara keduanya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ

"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu". [ali Imran: 159]

Keterangan tambahan (dari penyusun):
“Sebelum melanjutkan penjelasan Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy rahimahullah, ada baiknya kita mendengarkan penjelasan Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh dalam ceramahnya yang berjudul Al-Ghutsa’u wal bina’u. Beliau berkata: “Terdapat kontradiksi antara ilmu yang dipelajari oleh sebagian orang dengan amalan mereka. Sebagian dari mereka tidak memiliki akhlaq yang mulia, tidak suka bersilaturrahmi, suka berdusta, mengingkari janji, kasar, bermuka masam, padahal senyummu kepada saudaramu adalah shadaqah. Juga kurang aktif dalam amal sosial, seperti membantu para janda, anak yatim dan orang-orang yang butuh bantuan. Hendaklah dakwah itu tidak sebatas di atas mimbar dan ceramah di majelis ilmu saja, hendaklah dibarengi dengan dakwah bil hal (dengan perbuatan) dan akhlaq yang mulia, karena pengaruhnya lebih besar daripada berdakwah dengan kata-kata...”

4. Akhlaq itu merupakan ihsan (berbuat baik kepada orang lain) yang terkadang memiliki nilai tambah melebihi ihsan dengan harta. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكُمْ لَنْ تَسَعُوا النَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ لِيَسَعْهُمْ حُسْنُ الْخُلُقِ

"Sesungguhnya kalian tidak akan dapat memuaskan manusia dengan harta-harta kalian tetapi yang dapat memuaskan mereka adalah akhlaq yang baik".

Yang sempurna apabila kedua hal tersebut dimiliki sekaligus, akan tetapi jika seseorang tidak punya sehingga tidak dapat berbuat baik kepada orang lain dengan materi, maka dapat diganti dengan akhlaq yang baik, yaitu dengan perilaku dan ucapan yang baik, bahkan mungkin mempunyai pengaruh yang lebih membekas daripada berbuat baik dengan harta.

5. Dengan akhlaq yang baik, hati yang tenang dan tentram akan memantapkan seseorang untuk mendapatkan ilmu yang ia inginkan.

6. Dengan akhlaq yang baik, memberikan kesempatan bagi orang yang berdiskusi untuk mengemukakan hujjahnya, dan ia dapat pula memahami hujjah teman diskusinya, sehingga bisa terbimbing menuju kebenaran dalam perkataan dan perbuatannya. Di samping itu akhlaq yang baik menjadi faktor terkuat untuk mendapat kedua hal tersebut di atas pada teman diskusinya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah memberikan pada kelembutan apa yang tidak Dia berikan pada kekasaran". [HR. Thabrani, Syaikh Ali bin Hasan menshahihkannya berdasarkan syawahidnya]

7. Akhlaq yang baik dapat menyelamatkan seorang hamba dari sikap tergesa-gesa dan sikap sembrono, disebabkan oleh kematangannya, kesabarannya dan pandangannya yang jauh ke depan, mempertimbangkan berbagai kemungkinan dan menghindarkan bahaya yang ia khawatirkan.

Faidah: Syaikh Shalih Alu Syaikh menyebutkan dalam ceramahnya yang berjudul Al-Ghutsa’ wal bina’ bahwa ada empat fenomena yang bisa mengotori dakwah yaitu:
a. Memandang sesuatu hanya dari satu sisi, tidak dari sisi yang lain. Biasanya mereka ini telah mendapatkan doktrin dari guru mereka dan selalu didikte sehingga tidak bisa berpendapat lain, selain yang digariskan.
b. Terburu-buru.
c. Fanatik madzhab, fanatik kelompok serta kultus individu
d. Menuntut kesempurnaan pihak lain, baik perorangan ataupun lembaga. Selama sama dalam Ushul, yaitu sama-sama Ahlussunnah wal jama’ah, maka yang ada dalam hal ini adalah saling memberi nasehat.)

8. Dengan akhlaq yang baik seseorang dapat menunaikan hak-hak yang wajib dan sunnah kepada keluarga, anak-anak, kerabat, teman-teman, tetangga, customer (pelanggan) dan semua orang yang berhubungan dengannya, karena berapa banyak hak orang lain yang terabaikan disebabkan oleh akhlaq yang buruk.

9. Akhlaq yang baik itu membawa kepada sifat adil. Orang yang berakhlaq baik biasanya tidak melegalisasi semua tindakan dan ia akan menjauhi sikap keras kepala pada pendapatnya sendiri, karena keduanya itu mengakibatkan sikap tidak adil dan menzhalimi orang lain.

10. Orang yang berakhlaq baik selalu dalam keadaan tenang dan penuh dengan kenikmatan dan hatinya tentram sebagai modal bagi kehidupan yang bahagia. Adapun orang yang berakhlaq buruk selalu dalam keadaan sengsara, tersiksa lahir batin, selalu dalam pertentangan dengan dirinya sendiri, dengan anak-anaknya, dengan orang-orang yang berhubungan dengannya. Hidupnya menjadi terganggu, waktunya sia-sia, tidak mendapatkan keutamaan-keutamaan dari akhlaq yang baik, bahkan yang ia dapatkan adalah akibat yang jelek disebabkan akhlaq yang buruk.

Dengan semua ini atau yang semisalnya akan membuat jelas maksud sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

إِنَّ الْعَبْدَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ

"Sesungguhnya seorang hamba benar-benar bisa mencapai derajat orang yang berpuasa dan sholat dengan baik hanya dengan akhlaq yang baik" [5].
[Dinukil dari “A-Mu’in ‘ala tah-shili adabil’ilmi” hal. 61-65]

BEBERAPA CARA MEMPROLEH AKHLAQ YANG BAIK.
Akhlaq yang baik dapat memiliki oleh manusia dengan dua jalan:
1. Sifat dasar yang sudah ada sebelumnya sebagai pemberian dari Allah, dan pemberian dari Allah ini diberikan kepada orang yang Dia kehendaki. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Asyaj Abdul Qais:

إِنَّ فِيكَ خَلَّتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالْأَنَاةُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا أَتَخَلَّقُ بِهِمَا أَمِ اللَّهُ جَبَلَنِي عَلَيْهِمَا قَالَ بَلِ اللَّهُ جَبَلَكَ عَلَيْهِمَا قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَبَلَنِي عَلَى خَلَّتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ

"Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua akhlaq yang dicintai Allah, yaitu tahan emosi dan teliti.” Asyaj bertanya: “Wahai rasulullah, apakah kedua akhlaq tersebut karena usahaku untuk mendapatkannya ataukah pemberian dari Allah?” Beliau menjawab: “Pemberian dari Allah sejak awal.” Asyaj berkomentar: “Segala puji bagi Allah yang memberiku dua akhlaq yang dicintai oleh Allah dan RasulNya sebagai sifat dasar.” [6].

2. Dengan cara berusaha untuk mendapatkan akhlaq yang baik.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy t menjelaskan bahwa setiap perbuatan terpuji, baik yang nampak maupun yang tidak nampak, pasti dimudahkan oleh Allah untuk mendapatkannya. Di samping usaha kita, maka watak dasar sebagai faktor terbesar yang dapat membantu seseorang untuk memperoleh akhlaq yang baik, dengan sedikit usaha saja bisa tercapai apa yang ia kehendaki.

Kemudian Syaikh Abdurrahman menjelaskan beberapa sebab untuk memperoleh akhlaq yang baik:
a. Ketahuilah termasuk faktor terbesar yang dapat membantu seseorang memperoleh akhlaq yang baik adalah dengan cara berfikir tentang keutamaan-keutamaan akhlaq yang baik. Karena motivasi terbesar untuk melakukan seuatu perbuatan baik adalah mengetahui hasil dan faidah yang dapat dipetik darinya, meskipun perkara tersebut suatu perkara yang besar, penuh dengan tantangan dan kesulitan, akan tetapi dengan bersakit-sakit dahulu dan bersenang-senang kemudian, maka kesulitan dan beban yang berat itu akan terasa ringan.

Setiap kali terasa berat bagi jiwa untuk berakhlaq yang baik, segeralah ia diingatkan dengan keutamaan-keutamaan akhlaq yang mulia dan hasil yang akan diperoleh dengan sebab kesabaran, maka dirinya akan melunak, tunduk patuh, pasrah dan penuh harapan untuk mendapatkan segala keutamaan yang didambakan.

b. Faktor terbesar lainnya dalah faktor kemauan yang kuat dan keinginan dan tulus untuk memiliki akhlaq yang mulia. Ini adalah seutama-utama bekal seseorang yang diberi taufiq oleh Allah. Maka semakin kuat keinginan untuk berakhlaq yang mulia, –insya Allah- akan semakin mudah untuk mencapainya. [7].

c. Hendaklah seseorang memperhatikan, bukankah akhlaq yang buruk akan mengaibatkan penyesalan yang mendalam dan kegelisahan akan selalu menyertainya? di samping pengaruh-pengaruh buruk lainnya. Dengan demikian ia akan menolak berperilaku dengan akhlaq yang buruk.

d. Melatih diri dengan akhlaq yang baik [8] dan memantapkan jiwa untuk meniti sarana-sarana yang bisa membawa kepada akhlaq yang baik. Hendaklah seseorang mengokohkan dirinya untuk siap berbeda pendapat dengan orang lain, karena orang yang berakhlaq baik pasti akan mendapat penentangan dari orang banyak, baik dalam pemahaman ataupun dalam keinginan.

Setiap muslim pasti akan mendapatkan gangguan,baik berupa ucapan ataupun perbuatan. Maka hendaklah ia tabah dalam menanggung derita.

Perlu diketahui, bahwa gangguan berupa ucapan yang menyakitkan hanya akan merugikan si pengucapnya, dan seseorang dikatakan tegar jika ia tidak terpancing dengan ucapan-ucapan yang dimaksudkan untuk memancing emosinya, karena ia tahu jika ia terpengaruh atau marah berarti ia telah membantu si pengucap yang menginginkan kerugiannya.

Jika ia tidak peduli, tidak ambil pusing dan bersikap acuh, maka hal itu akan menjengkelkan hati si pengganggu yang bertujuan hanya menyakiti hatinya, membuatnya menjadi gusar, gelisah dan cemas. Sebagaimana manusia itu berusaha menghindari gangguan yang akan menimpa fisiknya, maka hendaklah ia berusaha pula menghindari setiap gangguan yang menimpa batinnya, yaitu dengan tidak memberi perhatian kepadanya. [Buku Al-Mu’in ‘Ala Tah-shiili Adabil ilmi wa Akhlaaqil Muta’limin... hal. 66-68]

e. Termasuk usaha yang paling penting dan paling berpengaruh adalah berdo’a kepada Allah, meminta agar Dia memberikan taufiq kepada kita semua dan mengaruniakan kepada kita akhlaq yang baik, dan agar menghindarkan diri kita semua dari akhlaq yang buruk. Semoga Allah membantu dan memudahkan kita dalam rangka memperoleh akhlaq yang baik.

... وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ ...

"(Wahai Allah) Berilah aku petunjuk kepada akhlaq yang baik, karena tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepada akhlaq yang baik kecuali Engkau, dan palingkanlah dariku keburukan, karena tidak ada yang dapat memalingkan keburukan kecuali Engkau" [9]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah berdo’a dengan do’a sebagai berikut:

اللَّهُمَّ جَنِّبْنِيْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلاَقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ و الأَدْوَاءِ

"Wahai Allah, jauhkanlah aku dari kemungkaran-kemungkaran akhlaq, dari kemungkaran-kemungkaran amal, dari kemungkaran-kemungkaran nafsu dan dari penyakit"
.
Dalam riwayat yang lain:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلاَقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ

"Wahai Allah, sesungguhnya saya berlindung kepadaMu dari kemungkaran-kemungkaran akhlaq, dari kemungkaran-kemungkaran amal, dari kemungkaran-kemungkaran hawa nafsu" [HR. Tirmidzi 5/233, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Tirmidzi 3/184]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berdo’a pula:

اللَّهُمَّ كَمَا أَحْسَنْتَ خَلْقِي فَأَحْسِنْ خُلُقِي

"Wahai Allah sebagaimana Engkau telah membaguskan tubuhku, maka baguskanlah akhlaqku". [HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Jami’ush Shagir 1/280]

PENUTUP
Sementara hanya inilah yang bisa kami kumpulkan untuk para pembaca dari beberapa literatur, sebenarnya masih ada lagi literatur- literatur lain yang menunjang dan menyempurnakan risalah ini. Semoga Allah memudahkanku agar dapat menyempurnakan risalah ini dan lebih memuaskan para pembaca dalam hal informasi-informasi yang bermanfaat, untuk selanjutnya dapat dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk dalam kehidupan sehari-hari.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin
http://aangmuttaqin.blogspot.com/
Referensi:
1. Tauhid Perioritas Pertama dan Utama oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, penerbit Darul Haq, Jakarta.
2. Tafsir Ibnu Katsir
3. Makarimul Akhlaq oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, penyusun Khalid Abu Shalih, Riyadh, K. S. A. cet. I tahun 1417/1996 M tanpa penerbit.
4. Kitabul Ilmi oleh oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, penyusun: Fahd bin Nashir bin Ibrahim as-Sulaiman, Penerbit Dar Ats Tsuraya –Riyadh-KSA. Cet. I tahun 1417/1996 M
5. Ghayatul Maram
6. Shilatul Akhlaq bil ‘Aqidah wal Iman, oleh Syaikh Sulaiman bin Shalih Al-Ghusn, penerbit: Daar Al-‘Ashimah-Riyadh-K.S.A. cet. 1415 H
7. Al-Mu’in ala Tahshiili Adabil Ilmi wa Akhlaqil Muta’alimin, oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy, penyusun Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid, penerbit: Daar As-Shumaili-Riyadh-K.S.A. Cet. I tahun 1413 H-1993 M
8. Fiqhul Akhlaq wal Mu’amalaat Bainal Mukminin, oleh Abu Abdullah Musthafa bin Al-Adawi, penerbit Dar Ibnu Rajab-Mesir, cet. II th. 1419 H-1998 M
9. Al-Akhlaqul Faadhilah, Qawa’id wa Muntalaqaat Liktisabiha, Oleh Doktor Abdullah bin Dha’ifullah Ar-Ruhaili, cet. I th. 1417 H/1996 M-Riyadh-K.S.A. tanpa penerbit.
10. Shahih Muslim, tahqiq Muhammah Fuad Abdul Baqi’
11. Ad-Du’a Minal Kitab was-Sunnah, oleh DR. Sa’id bin Wahf Al-Qahthani
12. Iqadzul Himam Al-Muntaqa min Jami’il Ulumi wal Hikami lil Hafizh Ibnu Hajar, oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, penerbit: Dar Ibnul jauzi-Dammam-K.S.A. Cet. I th. 1412 H/1992 M
13. Mushaf Al-Qur’an dan terjemah maknanya, cetakan Madinah Nabawiyah-K.S.A. th. 1411 H
14. Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maraam, oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam, penerbit: Maktabah An-Nahdhah Al-haditsah Makkah Al-Mukarramah –K.S.A. Cet. III th. 1417 H –1997 M.
 

MENJAGA KEBAIKAN.

MENJAGA KEBAIKAN..Oleh:ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag .Allah berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” [Ar-Ra’du : 11]

Dan Allah berfirman.
“Artinya : Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali” [An-Nahl : 92]

Dan Allah berfirman.
“Artinya : Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras” [Al-Hadid : 16]

Dan Allah berfirman.
“Artinya : Lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya” [Al-Hadid : 27]

Dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Ya Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia tidak mengerjakannya lagi” [Muttafaqun Alaihi]

Penjelasan
Berkata Imam Nawawi (semoga Allah merahmati beliau) : “Bab menjaga kebaikan”. Yaitu bahwasanya seseorang jika terbiasa mengerjakan kebaikan maka sepatutnya mengekalkannya (menjaganya). Misalnya jika ia sudah terbiasa tidak meninggalkan hal-hal yang sunnah, yaitu shalat-shalat sunnah yang mengiringi shalat-shalat wajib, maka hendaknya ia menjaga hal itu, Dan jika ia terbiasa melaksanakan shalat malam maka hendaknya ia menjaganya. Dan jika terbiasa shalat dhuha dua rakaat maka hendaknya menjaga hal itu, segala kebaikan yang ia terbiasa mengerjakannya hendaknya ia jaga.

Dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya amalan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus. Adalah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengerjakan suatu amalan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kontinyukan dan tidak merubahnya, yang demikian itu dikarenakan jika manusia sudah terbiasa berbuat dan mengamalkan kebaikan lalu meninggalkannya, sesungguhnya hal ini membuatnya membenci kebaikan, karena mundur sesudah maju adalah lebih jelek daripada tidak maju, maka kalau seandainya engkau belum mulai melakukan kebaikan, tentulah hal iti lebih ringan daripada engkau telah melakukannya lalu engkau tinggalkan, dan hal ini adalah sesuatu yang telah terbukti.

Imam Nawawi (semoga Allah merahmatinya) mengutip dalam bab ini beberapa ayat Al-Qur’an, yang kesemuanya menunjukkan bahwasanya manusia sepatutnya menjaga kebiasaan amal baiknya, diantaranya firman Allah.

“Artinya : Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali” [An-Nahl : 92]

Maknanya adalah : “Janganlah kalian seperti wanita pemintal yang memintal kain wol, lalu tatkala ia sudah memintal dan membaguskannya ia robek-robek dan menguraikannya, (janganlah seperti ini) tetapi hendaknya kalian tetap dan kontinyu terhadap apa yang telah kalian lakukan.

Diantaranya firman Allah

“Artinya : Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras” [Al-Hadid : 16]

Artinya : Bahwasanya mereka beramal dengan amal shalih tetapi berlalulah masa yang panjang maka keraslah hati-hati mereka lalu mereka tinggalkan amal-amal shalih itu, maka janganlah kalian seperti mereka..

Adapun hadits-hadits yang disebutkan oleh Imam Nawawi (diantaranya : hadits Abdullah bin Amru bin Al-Ash bawasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia tidak mengerjakan lagi”

Kata-kata fulan adalah kata “kinayah” tentang seorang manusia (seorang lelaki). Sedangkan perempuan dikatakan “fulanah”, dan kata fulan dalam hadits ini bisa terjadi adalah perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan namanya kepada Abdullah bin Umar untuk menutupi keadaannya, karena maksud dari perkara itu tanpa pelakunya, dan mungkin juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan nama lelaki itu tetapi disamarkan namanya oleh Abdullah bin Amru.

Dari dua kemungkinan diatas, inti dan pokoknya adalah amal. Dan perkaranya adalah seorang lelaki, dahulunya mengerjakan shalat malam, lalu setelah itu tidak menjaganya (mengekalkannya), padahal mengerjakan shalat malam hukum pokoknya adalah sunnah, kalaulah manusia tidak melakukannya maka tidaklah ia dicela, dan tidak dikatakan kepadanya : “Mengapa kamu tidak mengerjakan shalat malam?”. Karena shalat malam adalah sunnah, akan tetapi keadaannya yang mana ia mengerjakan shalat malam lalu tidak mengerjakannya, inilah keadaan yang menyebabkan ia dicela. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabdaa : “Janganlah kamu seperti si fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia tidak mengerjakannya lagi”.

Hal yang lain, dan ini merupakan yang terpenting, hendaknya seseorang memulai untuk menuntut ilmu syar’i, tatkala Allah membukakan baginya kenikmatan ia tinggalkan amalnya (menuntut ilmu syar’i), maka sesungguhnya hal ini adalah kufur terhadap nikmat yang Allah berikan padanya. Maka jika engkau memulai menuntut ilmu teruslah menuntut ilmu kecuali sesuatu yang sangat darurat menyibukanmu, dan kalau tidak ada penghalang maka teruslah menuntut ilmu karena menuntut ilmu hukumnya fardu kifayah, setiap orang yang menuntut ilmu sesungguhnya Allah akan membalas amalnya itu dengan pahala fardu (wajib).

Dan pahala fardhu adalah lebih besar dari pahala nafilah (sunnah), sebagaimana tersebut dalam hadits shahih bahwasanya Allah berfirman.

“Artinya : Tiadalah hambaku mendekatkan kepadaku dengan sesuatu yang lebih aku sukai dari apa yang aku wajibkan kepadanya” [Hadits Riwayat Bukhari 6502]

Menuntut ilmu adalah fardhu kifayah jika seseorang menegakkannya maka berarti ia mewakili umat dalam melaksanakannya.

Dan terkadang menuntut ilmu itu hukumnya fardhu ain jika seorang manusia membutuhkan ilmu itu untuk dirinya, sebagaimana ia berkeinginan untuk shalat ia harus belajar hal-hal yang berhubungan dengan hukum shalat. Dan barangsiapa yang mempunyai harta ia harus mempelajari hukum-hukum zakat, penjual dan pembeli harus memperlajari hukum-hukum jual beli, dan barangsiapa yang ingin menunaikan haji maka harus mempelajari hukum-hukum haji, ini hukumnya fardhu ain.

Adapun ilmu-ilmu yang lain, mempelajarinya adalah fardhu kifayah, jika seseorang memulai menuntut ilmu maka jangalah ia kembali (mundur), tetapi hendaknya ia terus menuntut ilmu kecuali jika ada suatu hal penting menghalanginya dari menuntut ilmu, hal ini lain lagi keadaannya. Oleh karena itu orang-orang munafik adalah mereka yang jika memulai suatu amal, mereka tinggalkan amal itu.

Dalam perang Uhud sekitar seribu orang keluar untuk berperang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sepertiganya adalah orang-orang munafik. Mereka tidak meneruskan perjalanan dan berkata.

“Artinya : Sekiranya kami mengetahui terjadi peperangan tentulah kami mengikuti kamu” [Ali-Imran : 167]

Allah berfirman.
“Artinya : Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari keimanan” [Ali-Imran 167]

Sepatutnya bagi seorang muslim jika Allah memberikan karunia kepadanya dengan sesuatu yang mana ia beribadah kepada Allah dengannya dengan ibadah yang khusus seperti shalat, atau ibadah-ibadah mutaadiyah (yang bermanfaat kepada selainnya) seperti menuntut ilmu hendaknya ia tidak mundur dan tidak terlambat, hendaknya ia terus menerus untuk hal itu, karena sesungguhnya yang demikian itu adalah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan dari sebagian petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sabdanya.https://www.facebook.com/aang.muttaqin
http://aangmuttaqin.blogspot.com/

“Artinya : Janganlah kamu seperti fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia tidak kerjakan lagi”

Dan Allah-lah Maha Pemberi Petunjuk
 

BICARA TANPA PAHALA.

BICARA TANPA PAHALA..Oleh:ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag .Waktu (baca : usia) adalah modal untuk melakukan amal shalih. Orang yang mengerti hakikat ini, maka dia tidak akan menggunakannya kecuali untuk perkara yang bermanfaat. Dia akan berusaha memanfaatkan segala potensi diri untuk mendapatkan pahala sebanyak mungkin. Diantara yang bisa mudah dimanfaatkan untuk menabung bekal disisi Allah Azza wa Jalla adalah lidah. Dengan lidah, seseorang bisa berdzikir dan saling nasehat menasehati sehingga meraih banyak pahala. Namun sebaliknya, lidah juga bisa mengakibatkan dosa dan menyeret seseorang ke neraka, jika tidak dimanfaatkan untuk kebaikan. Kesadaran seseorang terhadap fungsi dan bahaya lisan ini akan mendorong dirinya untuk menjaga lidah, tidak berbicara kecuali yang bermanfaat.

Berikut kami nukilkan beberapa bencana yang dapat ditimbulkan oleh lidah. Dengan harapan agar kita menjauhinya setelah kita faham. Karena kita tidak akan bisa menghindarinya kalau kita belum mengetahui berbagai bencana ini. Diantara bencana-bencana itu adalah :

1. Membicarakan Sesuatu Yang Tidak Bermanfaat.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكَهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

Sesungguhnya di antara kebaikan Islam seseorang adalah dia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat [HR. Tirmidzi, no. 2317; Ibnu Mâjah, no. 3976; Mâlik, 2/470; al-Baghawi, no. 4132. Dishahihkan oleh al-Albâni]

Sesuatu yang tidak bermanfaat itu, bisa berupa perkataan atau perbuatan; perkara yang haram, atau makruh, atau perkara mubah yang tidak bermanfaat. Oleh karena itu, supaya terhindar dari bahaya lisan yang pertama ini, hendaklah seseorang selalu sesuatu yang mengandung kebaikan. Jika tidak bisa, hendaknya diam. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia mengucapkan sesuatu yang baik atau diam. [HR. Bukhâri, no. 6475; Muslim, no. 47; dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]

Walaupun ini berat, namun seyogyanya seorang hamba yang ingin selamat di akhirat agar selalu berusaha untuk melakukannya. Diriwayatkan bahwa Muwarriq al-‘Ijli rahimahullah berkata : “Ada satu perkara yang aku sudah mencarinya semenjak duapuluh tahun lalu. Aku belum berhasil meraihnya. Namun aku tidak akan berhenti mencarinya”. Orang-orang bertanya: “Apa itu wahai Abu Mu’tamir?” Dia menjawab : “Diam (tidak membicarakan-red) dari sesuatu yang tidak bermanfaat bagiku”

2. Berdebat Dengan Cara Batil Atau Tanpa Ilmu.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ

Sesungguhnya orang yang paling dimurkai oleh Allah adalah orang yang selalu mendebat. [HR. Bukhâri, no. 2457; Muslim, no. 2668; dll]

Mendebat dalam hadits diatas maksudnya adalah mendebat dengan cara batil atau tanpa ilmu. Sedangkan orang yang berada di pihak yang benar, sebaiknya dia juga menghindari perdebatan. Karena debat itu akan membangkitkan emosi, mengobarkan kemurkaan, menyebabkan dendam, dan mencela orang lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

Saya memberikan jaminan rumah di pinggiran surga bagi orang yang meningalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar. Saya memberikan jaminan rumah di tengah surga bagi orang yang meningalkan kedustaan walaupun dia bercanda. Saya memberikan jaminan rumah di surga yang tinggi bagi orang yang membaguskan akhlaqnya. [HR. Abu Dawud, no. 4800; dishahîhkan an-Nawawi dalam Riyâdhus Shâlihîn, no. 630 dan dihasankan oleh Syaikh al-Albâni di dalam ash-Shahîhah, no. 273]

Mengingkari kemungkaran dan menjelaskan kebenaran merupakan kewajiban seorang Muslim. Jika penjelasan itu diterima, itulah yang dikehendaki. Namun jika ditolak, maka hendaklah dia meninggalkan perdebatan. Ini dalam masalah agama, apalagi dalam urusan dunia, maka tidak ada alasan untuk berdebat.

3. Banyak Berbicara, Suka Mengganggu Dan Sombong
Masalah-masalah ini dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ

Sesungguhnya termasuk orang yang paling kucintai di antara kamu dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah orang-orang yang paling baik akhlaqnya di antara kamu. Dan sesungguhnya orang yang paling kubenci di antara kamu dan paling jauh tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah ats-tsartsârûn, al-mutasyaddiqûn, dan al-mutafaihiqûn. Para sahabat berkata: “Wahai Rsulullah, kami telah mengetahui al-tsartsârûn dan al-mutasyaddiqûn, tetapi apakah al-mutafaihiqûn? Beliau menjawab: “Orang-orang yang sombong”. [Hadits Shahih dengan penguat-penguatnya. HR Tirmidzi, no. 2018 dari Jâbir Radhiyallahu anhu ; dan Ahmad 2/369 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]

Setelah meriwayatkan hadits ini, imam Tirmidzi rahimahullah mengatakan, ”ats-Tsartsâr adalah orang yang banyak bicara, sedangkan al-mutasyaddiq adalah orang yang biasa mengganggu orang lain dengan perkataan dan berbicara jorok kepada mereka”.

Imam Ibnul Atsîr rahimahullah menjelaskan dalam kitab an-Nihâyah : “ats-Tsartsârûn adalah orang-orang yang banyak bicara dengan memaksakan diri dan keluar dari kebenaran. al-Mutasyaddiqûn adalah orang-orang yang berbicara panjang lebar tanpa hati-hati.. Ada juga yang mengatakan, al-mutasyaddiq adalah orang yang mengolok-olok orang lain dengan mencibirkan bibir kearah mereka”.

Imam al-Mundziri rahimahullah mengatakan dalam at-Targhîb : “ats-Tsartsâr adalah orang yang banyak bicara dengan memaksakan diri. al-Mutasyaddiq adalah orang yang berbicara dengan seluruh bibirnya untuk menunjukkan kefasihan dan keagungan perkataannya. al-Mutafaihiq hampir semakna dengan al-mutasyaddiq. karena maknanya adalah orang yang memenuhi mulutnya dengan perkataan dan berbicara panjang lebar untuk menunjukkan kefasihannya, keutamaannya, dan merasa lebih tinggi dari orang lain. Oleh karena inilah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallammenafsirkan al-mutafaihiq dengan orang yang sombong. [Dinukil dengan ringkas dari Tuhfatul Ahwâdzi, Syarh Tirmidzi]

Tetapi tidak termasuk sajak yang dibenci, lafazh-lafazh yang disampaikan khatib, kalimat indah untuk memberi peringatan, asal tidak berlebihan dan aneh. Karena tujuannya adalah untuk membangkitkan hati dan menggerakkannya menuju kebaikan, kalimat yang indah, dan semacamnya.

4. Mengucapkan Perkataan Keji, Jorok, Celaan, Dan Semacamnya.
Semua hal ini tercela dan terlarang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ

Seorang mukmin bukanlah orang yang banyak mencela, bukan orang yang banyak melaknat, bukan orang yang keji (buruk akhlaqnya), dan bukan orang yang jorok omongannya. [HSR. Tirmidzi, no. 1977; Ahmad, no. 3839 dan lain-lain]

Fuhsy (keji) dan badza’ (jorok) adalah mengungkapkan perkara-perkara yang dianggap keji (tabu) dengan kata-kata gamblang. Biasanya tentang lafazh-lafazh jima’ dan yang berkaitan dengannya. Orang-orang yang sopan akan menjauhi ungkapan-ungkapan itu dan mengunakan kata-kata sindiran, sebagaimana dicontohkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Betapa banyak perkataan keji dan jorok tersebar di zaman ini, di koran-koran, majalah-majalah, buku-buku, novel-novel, radio, HP, atau lainnya. Bahkan ada perkara yang lebih buruk dan lebih keji dari sekedar ucapan !! Namun yang bisa merasakan keburukannya adalah orang-orang yang hatinya masih hidup. Sedangkan orang yang hatinya sakit atau mati, maka dia tidak akan merasakan keburukannya, bahkan mungkin sebaliknya, dia akan merasa nikmat. Sebagaimana luka yang hanya dirasakan oleh orang yang masih hidup, sedangkan orang yang mati, dia tidak akan merasakan sakit akibat luka. Wallahul Musta’an.

5. Keterlaluan Dalam Bercanda.
Yaitu semua waktunya digunakan untuk bercanda dan membuat orang tertawa. Sesungguhnya banyak canda akan menjatuhkan wibawa, menyebabkan dendam dan permusuhan, serta mematikan hati. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :

لَا تُكْثِرُوا الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ

Janganlah kamu memperbanyak tawa, karena sesungguhnya banyak tertawa itu akan mematikan hati. [HSR. Ibnu Mâjah, no. 4193; dishahîhkan oleh al-Albâni dalam Silsilah ash-Shahîhah, no. 506]

Apalagi jika banyak bercanda ini ditambahi dusta, maka jelas akan lebih berbahaya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallammemperingatkan dengan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالْحَدِيثِ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ فَيَكْذِبُ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

Kecelakaan bagi orang yang menceritakan suatu, lalu dia berdusta untuk membuat orang-orang tertawa. Kecelakaan baginya ! Kecelakaan baginya !. [HSR. Tirmidzi, no. 2315; Abu Dâwud, no. 4990; dishahîhkan oleh al-Albâni]

Di zaman dahulu, bercanda dan membuat tertawa itu hanyalah dilakukan oleh pribadi-pribadi tertentu. Namun sekarang, grup lawak bermunculan seperti jamur di musim hujan, diperlombakan, dan dipertontonkan serta dibayar dengan honor tinggi. Setan telah menjerat banyak orang dalam kesesatan dan memanfaatkan mereka sebagai perangkap. Semoga Allah Azza wa Jalla menjaga kita dari segala jebakan setan.

Namun jika canda itu dilakukan kadang-kadang dan dengan perkataan yang benar serta dilakukan kepada orang-orang yang membutuhkannya, seperti anak-anak, wanita, sebagian orang laki-laki, sebagaimana canda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal itu tidak mengapa. Karena canda akan menyenangkan hati dan menyegarkan suasana. Sebagian ulama menyatakan bahwa canda dalam perkataan itu seperti garam dalam makanan.

6. Membicarakan Suatu Yang Bathil.
Maksudnya adalah menceritakan perbuatan-perbuatan maksiatnya, seperti berbangga dengan perbuatan bermabuk-mabukan atau kemungkaran yang lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

Semua umatku mu’âfan (akan diampuni dosanya; atau tidak boleh dighibah) kecuali orang-orang yang melakukan dosa dengan terang-terangan. Dan termasuk melakukan dosa dengan terang-terangan adalah seseorang melakukan suatu perbuatan buruk pada malam hari, kemudian di waktu pagi dia mengatakan, ”Hai Fulan, tadi malam aku melakukan ini dan ini”. Padahal di waktu malam Allah Azza wa Jalla telah menutupi perbuatan buruknya, namun di waktu pagi dia membongkar tutupan Allah. [HR. Bukhâri, no. 6069; Muslim, no. 2990]

Oleh karena itulah, barangsiapa yang telah bertaubat dari perbuatan dosa, hendaklah dia menutupi aib dirinya, tidak perlu bercerita kepada orang lain.

7. Perkataan Yang Salah Berkaitan Dengan Masalah Agama, Apalagi Jika Berkaitan Dengan Sifat-Sifat Allah Azza wa Jalla .
Kesalahan lisan yang satu ini, tentu susah diatasi kecuali oleh para ahli ilmu dan ahli bahasa. Orang yang malas atau tidak bersungguh-sungguh menuntut ilmu dan bahasa, maka perkataannya tidak lepas dari ketergelinciran. Semoga Allah Azza wa Jalla mema’afkan kesalahan akibat ketidaktahuan. Diantara contoh perkataan yang salah berkaitan dengan masalah agama yaitu perkataan ‘Apa yang Allah dan engkau kehendaki’. Dalam hadits dijelaskan :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ سَمِعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يَقُولُ مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ فَقَالَ بَلْ مَا شَاءَ اللَّهُ وَحْدَهُ

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seorang laki-laki berkata: "Mâ syâ’allah wa syi'ta" (apa yang Allah dan engkau kehendaki), maka beliau bersabda : "Bukan begitu, tetapi (katakanlah) : "Mâ syâ’allah wahdah" (apa yang dikehendaki oleh Allah semata). [HR. Ahmad, no: 1965]

Hikmah larangan ucapan "Mâ syâ’allah wa syi'ta" (apa yang Allah dan engkau kehendaki), dan semacamnya adalah karena ucapan itu merupakan bentuk menyekutukan kehendak Allah. Karena kata sambung "dan" bermakna mengumpulkan, menyamakan dan menyekutukan. Yang benar, dalam menggabungkan kehendak hamba dengan kehendak Allah ialah dengan menggunakan kata "kemudian". Karena kata “kemudian” mengandung makna urutan (berikutnya) dan ada selang waktu. Hal ini karena kehendak Allah Azza wa Jalla mendahului kehendak hamba. Maka tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi kecuali yang dikehendaki oleh Allah Azza wa Jalla . Semua yang Allah Azza wa Jalla kehendaki maka pasti terjadi, dan yang tidak Dia kehendaki tidak akan pernah terjadi.

Syaikh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamâshiruddîn al-Albâni berkata dalam kitab Silsilah al-Ahâdîst ash-Shahîhah, 1/266-267 : "Dalam hadits-hadits ini terdapat dalil bahwa ucapan seseorang kepada yang lain "mâ syâ’allah wa syi'ta" (apa yang Allah dan engkau kehendaki) dinilai syirik dalam syari'at. Dan ini termasuk syirik dalam kata-kata. Karena memberikan kesan bahwa kehendak hamba sederajat dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala . Sebabnya adalah karena menggabungkan dua kehendak tersebut. Contoh yang lain adalah perkataan sebagian orang-orang awam dan orang-orang seperti mereka yang mengaku berilmu : "Tidak ada bagiku selain Allah dan anda", "Kami bertawakkal kepada Allah dan kepada anda". Dan seperti perkataan sebagian para penceramah: "Dengan nama Allah dan dengan nama tanah air", atau "Dengan nama Allah dan dengan nama bangsa", dan kata-kata syirik yang sejenisnya wajib ditinggalkan dan bertaubat, dalam rangka beradab kepada Allah Tabâraka wa Ta'âla".

Selain yang telah disebutkan diatas, sesungguhnya bencana-bencana lidah masih banyak, seperti ghibah, namimah, dusta, dan lain sebagainya. Namun sedikit yang kami sampaikan ini mudah-mudahan sebagai pemacu bagi kita semua untuk selalu menjaga lidah kita dari keburukan dan selalu menghiasinya dengan kebaikan. Al-hamdulillahi Rabbil 'Alamiin.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin
http://aangmuttaqin.blogspot.com/
Maraji :
1. Mukhtashar Minhâjul Qâshidîn, Imam Ibnu Qudamah, tahqîq Syaikh Ali al-Halabi.
2. Aafâtul Lisân fî Dhauil Kitâb was Sunnah, Dr. Sa'id bin 'Ali bin Wahf Al-Qahthâni
3. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, Imam Ibnu Rajab, tahqîq Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhim Bajis; penerbit ar-Risâlah; cet: 5; th: 1414 H/ 1994 M)
4. Hashâ-idul Alsun, karya Syaikh Husain al-'Awaisyah, penerbit. Dârul Hijrah. Dan lain-lain