Sabtu, 20 Oktober 2012

Kategori Fiqih : Haji & Umrah Ziarah Ke Masjid Nabawi Tidak Wajib Dan Tidak Ada Hubungannya Sama Sekali Dengan Haji

ZIARAH KE MASJID NABAWI TIDAK WAJIB      https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,.Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sebagian jama’ah haji beranggapan bahwa bila tidak dapat ziarah ke Masjid Nabawi, maka hajinya kurang sempurna. Apakah demikian itu benar?

Jawaban
Ziarah ke Masjid Nabawi adalah sunnah, tidak wajib dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan haji. Bahkan disunnahkan ziarah ke Masjid Nabawi dalam sepanjang tahun dan tidak khusus pada waktu haji. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tidak boleh melakukan rihlah (perjalanan) kecuali kepada tiga masjid : Masjidilharam, Masjidku dan Masjidilaqsha” [Muttafaqun ‘alaihi]

Dan jika seseorang ziarah ke Masjid Nabawi, maka disyari’atkan baginya untuk shalat dua raka’at di Raudhah kemudian mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dua shahabatnya, Abu Bakar dan Umar, semoga Allah meridhai keduanya.

Sebagaimana juga disyariatkan ziarah ke Baqi’ dan orang-orang yang mati syahid seraya mengucapkan salam dan mendo’akan kepada orang-orang yang diziarahi, baik para shahabat maupun yang lainnya. Sebab Nabi ziarah ke makam mereka dan mengajarkan para shahabatnya jika ziarah kubur dengan mengucapkan.

“Assalamu’alaikum ahlal diyar minal mu’minin wal muslimin wa inna insya Allah bikum lahiqun nas alullaha lana wa lakum al-afiyah”

‘Artinya : Salam sejahtera kepada anda semua wahai orang-orang mukmin dan orang-orang muslim yang menempati rumah abadi, dan sesungguhnya kami jika Allah berkehendak, maka juga akan menyusul kalian. Kami bermohon kepada Allah kesejahteraan bagi kami dan juga bagi kamu sekalian” [Hadits Riwayat Muslim]

Dan dalam riwayat lain disebutkan bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ziarah ke Baqi’, maka beliau mengatakan.

“Yarhamullah al mustaqdimin mimna wal musta’khirin Allahummaghfir li ahli baqi’ al gharqad”

“Artinya : Semoga Allah mencurahkan rahmat kepada orang-orang yang telah dahulu (meninggal) di antara kita dan juga orang-orang yang belakangan. Ya Allah, ampunilah orang-orang (yang dimakamkan) di Baqi’ Al-Gharqad”.

Dan disyariatkan juga bagi orang yang ziarah ke Madinah untuk ziarah ke masjid Quba dan shalat dua raka’at di dalamnya. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu ziarah ke masjid Quba setiap Sabtu dan shalat dua raka’at didalamnya, dan beliau berkata ; “Barangsiapa bersuci di rumahnya dengan sempurna kemudian datang ke masjid Quba lalu shalat didalamnya maka dia seperti umrah”.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,

Ini adalah beberapa tempat ziarah di Madinah al-Munawarah. Adapun ziarah ke masjid Tujuh, masjid Qiblatain dan tempat-tempat lain yang disebutkan sebagian penulis buku manasik dan ziarah, maka tidak ada dasarnya sama sekali dalam hal tersebut. Sebab sesungguhnya yang disyariatkan bagi orang mukmin adalah harus selalu mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak melakukan hal-hal yang bid’ah. Dan Allah adalah yang memberikan taufiq kepada kebenaran.

Kategori Fiqih : Haji & Umrah Hukum Umrah Berulang-Ulang Ketika Berada Di Mekkah

HUKUM UMRAH BERULANG-ULANG KETIKA BERADA DI MEKKAH.   https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum keluar dari Mekkah ke selain tanah suci untuk melaksanakan umrah pada bulan Ramadhan dan di waktu lainnya (misalnya pada waktu ibadah haji, -peny) ?

Jawaban
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan, bahwa ulama salaf sepakat tentang makruhnya mengulang-ulang umrah dan memperbanyaknya. Baik pendapat ini diterima atau tidak diterima, maka keluarnya seseorang dari daerahnya untuk umrah, lalu keluarnya dari Mekkah ke selain tanah haram (Tan’im dan tempat miqat lain) untuk melaksanakan umrah kedua, ketiga pada bulan Ramadhan dan di waktu yang lainnya, adalah termasuk perbuatan bid’ah yang tidak dikenal pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebab pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya dikenal satu masalah yaitu masalah khusus bagi Aisyah Radhiyallahu ‘anha ketika ihram haji tamattu’ lalu haidh. Ketika Nabi Shallallahu menemuinya, maka didapatkannya dia menangis dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan sebab dia menangis, lalu Aisyah memberitahukannya kepada Nabi bahwa dia haid. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menenangkan kepadanya bahwa haidh adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah kepada anak-anak perempuan Bani Adam.

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya untuk ihram haji. Maka Aisyah ihram haji dan menjadi haji qiran. Tetapi ketika Aisyah selesai melaksanakan haji, dia mendesak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dizinkan umrah sendiri. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya dan memerintahkan saudaranya, Abdurrahman bin Abu Bakar, semoga Allah meridhoi keduanya, agar menyertainya ke Tan’im. Maka Abdurrahman keluar bersama Aisyah ke Tan’im dan Aisyah Umrah.

Seandainya hal ini termasuk sesuatu yang disyariatkan dalam bentuk kemutlakan, niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan para shahabat, bahkan akan menganjurkan Abdurrahman bin Abu Bakar yang keluar bersama saudarinya untuk melaksanakan umrah karena akan mendapatkan pahala. Dan telah maklum dari semua itu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mukim di Mekkah pada tahun pembebasan kota Mekkah selama sembilan belas hari, tapi beliau tidak melaksanakan umrah padahal demikian itu mudah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ini menunjukkan bahwa orang yang umrah pada bulan Ramadhan atau di waktu yang lainnya maka dia tidak mengulang-ulang umrah dengan keluar dari Mekkah ke tempat yang bukan tanah suci (miqat). Sebab demikian ini tidak sesuai sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga tidak sesuai dengan sunnah Khulafa’ur Rasyidin bahkan tidak semua shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian juga banyak di antara menusia yang mengatakan bahwa kedatangannya untuk umrah pada bulan Ramadhan adalah diperuntukkan ibunya atau kedua orang tuanya, atau yang seperti itu. Maka kami mengatakan, bahwa menghadiahkan ibadah kepada orang-orang yang meninggal tidak disyariatkan dalam Islam. Artinya, seseorang tidak dituntut untuk mengerjakan ibadah untuk ibu atau bapak atau saudara perempuannya. Tapi jika melakukan hal tersebut diperbolehkan. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan kepada Sa’ad bin Ubadah Radhiyallahu ‘anhu menyedekahkan kebun kurmanya untuk ibunya yang telah meninggal. Dan ketika seseorang minta izin kepada Nabi seraya berkata : “Wahai Rasulullah, ibu saya meninggal mendadak dan saya kira kalau dia sempat berbicara niscaya dia akan bersedekah. Apakah saya boleh bersedekah untuk dia?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ya”. Meskipun demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda kepada para shahabatnya secara umum : “Bersedekahlah kalian untuk orang-orang yang meninggal atau untuk bapak-bapak kalian atau untuk ibu-ibu kalian!”.

Karena itu bagi para pencari ilmu dan yang lainnya wajib mengetahui perbedaan antara sesuatu yang disyari’atkan (masyru’) dan sesuatu yang diperbolehkan (jaiz). Di mana sesuatu yang disyariatkan itu berarti bahwa setiap Muslim dituntut melakukannya. Sedangkan sesuatu yang diperbolehkan adalah sesuatu yang setiap muslim tidak dituntut untuk melakukannya. Untuk lebih jelasnya saya akan mengemukakan contoh kisah seseorang yang diutus Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ekspedisi di mana dia menjadi imam shahabat-shahabatnya. Setiap dia shalat dengan mereka selalu mengakhiri bacaanya dengan qul huwallahu ahad (surat al-Ikhlas). Maka ketika kembali mereka memberitahukan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tanyakanlah kepadanya, mengapa dia selalu melakukan hal itu?” Ketika ditanya, ia menjawab : “Sesungguhnya dalam surat al-Ikhlas terdapat sifat Yang Mahapengasih, dan saya senang (mencintai) membacanya”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah mencintai dia!”.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Meski demikian, di antara sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengakhiri bacaan dalam shalatnya dengan surat al-Ikhlas dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengarahkan umatnya kepada hal tersebut. Disitulah terlihat perbedaan antara sesuatu yang diizinkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang disyariatkan yang setiap manusia dituntut melakukannya. Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan Sa’ad bin Ubadah menyedekahkan kebunnya untuk ibunya yang telah meninggal dan mengizinkan penannya yang ibunya meninggal mendadak bersedekah untuk ibunya, maka demikian itu tidak berarti disyariatkan untuk setiap manusia bersedekah untuk bapak atau ibunya yang meninggal, meskipun jika dia bersedekah akan berguna bagi orang yang disedekahinya. Sesungguhnya kita diperintahkan untuk mendo’akan bapak dan ibu kita yang telah meninggal berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Jika anak Adam meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga : shodaqoh jariyah, ilmu yang manfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya” [HR Muslim dan lainya]

Wallahu a’lam

Kategori Fiqih : Haji & Umrah Burung Merpati Di Tanah Suci Tidak Mempunyai Kelebihan, Barang Temuan Di Mekkah Tidak Boleh Dimiliki

BURUNG MERPATI DI TANAH SUCI TIDAK MEMPUNYAI KELEBIHAN ATAS BURUNG MERPATI DI TEMPAT LAIN.....https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,.............Pertanyaan.
Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta ditanya : Seseorang yang haji mengatakan bahwa burung merpati di Madinah jika telah dekat waktunya untuk mati, maka dia pergi ke Mekkah dan membelah langit di atas Ka’bah sebagai perpisahan kepadanya, kemudian mati setelah terbang beberapa mil. Apakah demikian ini benar ataukah tidak, mohon penjelasan?

Jawaban.
Burung merpati Madinah, bahkan burung merpati Mekkah, tidak mempunyai keistimewaan khusus atas burung merpati lainnya. Hanya saja dilarang menjadikan burung merpati di tanah suci sebagai buruan atau mengusirnya bagi orang yang sedang ihram haji atau umrah, bahkan bagi orang yang tidak sedang ihram, jika burung merpati berada di Mekkah atau di Madinah. Tapi jika keluar dari kedua tanah suci, maka boleh menangkapnya dan menyembelihnya bagi orang yang tidak ihram haji atau umrah berdasarkan firman Allah.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram” [Al-Ma’idah : 95]

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Allah memuliakan kota Mekkah, maka tidak halal bagi seseorang sebelumku dan juga setelahku. Sesungguhnya dia halal bagiku sesaat dari waktu siang. Tidak boleh dicabut tanamannya, tidak boleh dipotong pohonnya dan tidak boleh diusir binatang buruannya” [HR Bukhari]

Dan dalam hadits lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Nabi Ibrahim memuliakan Mekkah dan aku memuliakan Madinah. Tidak boleh dipotong pohonnya dan tidak boleh diburu binatang buruannya” [HR Muslim]

Maka barangsiapa yang menyatakan bahwa burung merpati mana pun yang di Madinah jika dekat ajalnya terbang ke Mekkah dan melintas di atas Ka’bah, maka dia orang bodoh yang mendalihkan sesuatu tanpa dasar yang shahih. Sebab ajal (kematian) tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah. Firman-Nya.

“Artinya : Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi manapun dia akan mati” [Luqman ; 34]

Sedangkan perpisahan dengan Ka’bah adalah dengan melakukan thawaf di sekelilingnya, dan itupun bagi orang haji dan umrah. Maka menyatakan bahwa burung merpati mengetahui ajalnya dan berpamitan ke Ka’bah dengan terbang di atasnya adalah suatu dalil yang bohong dan tidak akan berani melakukannya kecuali orang bodoh yang membuat kebohongan kepada Allah dan kepada hamba-hambaNya.

Dan kepada Allah kita mohon pertolongan. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhamamd, keluarga dan shahabatnya.

BARANG TEMUAN DI MEKKAH TIDAK BOLEH DIMILIKI


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah saya boleh mengambil barang yang hilang di Mekkah dan membawanya lalu mengumumkan di tempat saya tinggal? Ataukah yang wajib atas saya memberitahukannya di pintu-pintu masjid, pasar dan lainnya di Mekkah al-Mukarramah?

Jawaban
Barang temuan di Mekkah secara khusus tidak halal diambil kecuali oleh orang yang akan mengumumkannya atau menyerahkan kepada pihak berwenang yang mengurusi harta seperti itu. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Dan tidak halal mengambil barang temuan di Mekkah kecuali orang yang akan mengumumkannya”

Adapun hikmah dibalik itu adalah, bahwa barang yang hilang jika masih di tempatnya maka boleh jadi pemiliknya akan kembali kepada tempat tersebut dan akan mendapatkannya. Atas dasar ini, kami mengatakan kepada saudara penanya, bahwa kamu wajib mengumumkannya di Mekkah al-Mukarramah di tempat ditemukannnya barang dan sekitarnya, seperti di pintu-pintu masjid dan tempat-tempat berkumpulnya manusia. Dan jika tidak, maka serahkanlah barang tersebut kepada para petugas yang khusus menangani barang hilang atau yang lainnya.

MEMOTONG POHON DI TANAH SUCI


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apa yang wajib dilakukan orang yang memotong pohon di tanah suci? Dan apa batas-batas tanah suci?

Jawaban
Siapa yang memotong pohon besar di Mekkah maka dia wajib menyembelih unta, dan jika pohonnya kecil wajib menyembelih kambing. Sedangkan kesalahan karena mencabut rumput maka ditentukan nilainya oleh hakim. Tetapi diperbolehkan memotong dahan yang menjulur ke jalan dan mengganggu orang yang lewat. Sebagaimana juga boleh memotong tumbuhan yang di tanam manusia.

Adapun batas-batas tanah haram adalah telah maklum. Di mana pada batas akhirnya terdapat rambu-rambu jelas yang terdapat di jalan-jalan, seperti yang terdapat di antara Muzdalifah dan Arafah, di jalan ke Jeddah dekat Al-Syumaisi, di Hudaibiyah dan lain-lain.

[Disalin dari Buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia,

Kategori Fiqih : Haji & Umrah Hikmah Ibadah Haji

HIKMAH IBADAH HAJI.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, ...Diantara Asmaul Husna yang dimiliki Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Al-Hakim yang bermakna : “Yang menetapkan Hukum, atau Yang mempunyai sifat Hikmah, di mana Allah tidak berkata dan bertindak dengan sia-sia. Oleh karena itulah semua syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai kebaikan yang besar dan manfaat yang banyak bagi hamba-Nya di dunia seperti kebagusan hati, ketenangan jiwa dan kebaikan keadaan. Juga akibat yang baik dan kemenangan yang besar di kampung kenikmatan (akhirat) dengan melihat wajah-Nya dan mendapatkan ridha-Nya.

Demikian pula haji, sebuah ibadah tahunan yang besar yang Allah syari’atkan bagi para hamba-Nya, mempunyai berbagai manfaat yang besar dan tujuan yang besar pula, yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat. Dan diantara hikmah ibadah haji ini adalah.

[1]. Mengikhlaskan Seluruh Ibadah
Beribadah semata-mata untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menghadapkan hati kepada-Nya dengan keyakinan bahwa tidak ada yang diibadahi dengan haq, kecuali Dia dan bahwa Dia adalah satu-satunya pemilik nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang mulia. Tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang menyerupai-Nya dan tidak ada tandingan-Nya.

Dan hal ini telah diisyaratkan dalam firman-Nya.

“Artinya : Dan ingatlah ketika Kami menempatkan tempat Baitullah untuk Ibrahim dengan menyatakan ; “Janganlah engkau menyekutukan Aku dengan apapun dan sucikan rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, beribadah, ruku dan sujud” [Al-Hajj : 26]

Mensucikan rumah-Nya di dalam hal ini adalah dengan cara beribadah semata-mata kepada Allah di dekat rumah-Nya (Ka’bah) yang mulia, mebersihkan sekitar Ka’bah dari berhala-berhala, patung-patung, najis-najis yang Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan serta dari segala hal yang mengganggu orang-orang yang sedang menjalankan haji atau umrah atau hal-hal lain yang menyibukkan (melalaikan, -pent) dari tujuan mereka.

[2]. Mendapat Ampunan Dosa-Dosa Dan Balasan Jannah
“Dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Satu umrah sampai umrah yang lain adalah sebagai penghapus dosa antara keduanya dan tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali jannah” [HR Bukhari dan Muslim, Bahjatun Nanzhirin no. 1275]

“Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa barang siapa berhaji ke Baitullah ini karena Allah, tidak melakukan rafats dan fusuuq, niscaya ia kembali seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya” [HR Bukhari]

Rafats : jima’ ; pendahuluannya dan ucapan kotor, Fusuuq : kemaksiatan

Sesungguhnya barangsiapa mendatangi Ka’bah, kemudian menunaikan haji atau umrah dengan baik, tanpa rafats dan fusuuq serta dengan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni dosa-dosanya dan menuliskan jannah baginya. Dan hal inilah yang didambakan oleh setiap mu’min dan mu’minah yaitu meraih keberuntungan berupa jannah dan selamat dari neraka.

[3]. Menyambut Seruan Nabi Ibrahima Alaihissalam
“Dan serulah manusia untuk berhaji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”[Al-Hajj : 27]

Nabi Ibrahim Alaihissalam telah menyerukan (agar berhaji) kepada manusia. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki (untuk bisa) mendengar seruan Nabi Ibrahim Alaihissalam tersebut dan menyambutnya. Hal itu berlangsung semenjak zaman Nabi Ibrahim hingga sekarang.

[4]. Menyaksikan Berbagai Manfaat Bagi Kaum Muslimin
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Agar supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka” [Al-Hajj : 28]

Alah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan manfaat-manfaat dengan muthlaq (secara umum tanpa ikatan) dan mubham (tanpa penjelasan) karena banyaknya dan besarnya menafaat-manfaat yang segera terjadi dan nanti akan terjadi baik duniawi maupun ukhrawi.

Dan diantara yang terbesar adalah menyaksikan tauhid-Nya, yakni mereka beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata-mata. Mereka datang dengan niat mencari wajah-Nya yang mulia bukan karena riya’ (dilihat orang lain) dan juga bukan karena sum’ah (dibicarakan orang lain). Bahkan mereka betauhid dan ikhlas kepada-Nya, serta mengikrarkan (tauhid) di antara hamba-hamba-Nya, dan saling menasehati di antara orang-orang yang datang (berhaji dan sebagainya,-pent) tentangnya (tauhid).

Mereka thawaaf mengelilingi Ka’bah, mengagungkan-Nya, menjalankan shalat di rumah-Nya, memohon karunia-Nya, berdo’a supaya ibadah haji mereka diterima, dosa-dosa mereka diampuni, dikembalikan dengan selamat ke nergara masing-masing dan diberi anugerah kembali lagi untuk berdo’a dan merendah diri kepda-Nya.

Mereka mengucapkan talbiyah dengan keras sehingga di dengar oleh orang yang dekat ataupun yang jauh, dan yang lain bisa mempelajarinya agar mengetahui maknanya, merasakannya, mewujudkan di dalam hati, lisan dan amalan mereka. Dan bahwa maknanya adalah : Mengikhlaskan ibadah semata-mata untuk Allah dan beriman bahwa Dia adalah ‘ilah mereka yang haq, Pencipta mereka, Pemberi rizki mereka, Yang diibadahi sewaktu haji dan lainnya.

[5]. Saling Mengenal Dan Saling Menasehati
Dan diantara hikmah haji adalah bahwa kaum muslimin bisa saling mengenal dan saling berwasiat dan menasehati dengan al-haq. Mereka datang dari segala penjuru, dari barat, timur, selatan dan utara Makkah, berkumpul di rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tua, di Arafah, di Muzdalifah, di Mina dan di Makkah. Mereka saling mengenal, saling menasehati, sebagian mengajari yang lain, membimbing, menolong, membantu untuk maslahat-maslahat dunia akhirat, maslahat taklim tata cara haji, shalat, zakat, maslahat bimbingan, pengarahan dan dakwah ke jala Allah.

Mereka bisa mendengar dari para ulama, apa yang bermanfaat bagi mereka yang di sana terdapat petunjuk dan bimbingan menuju jalan yang lurus, jalan kebahagiaan menuju tauhidullah dan ikhlas kepada-Nya, menuju ketaatan yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengetahui kemaksiatan untuk dijauhi, dan supaya mereka mengetahui batas-batas Allah dan mereka bisa saling menolong di dalam kebaikan dan taqwa.

[6]. Mempelajari Agama Allah Subhanahu wa Ta’ala
Dan diantara manfaat haji yang besar adalah bahwa mereka bisa mempelajari agama Allah dilingkungan rumah Allah yang tua, dan di lingkungann masjid Nabawi dari para ulama dan pembimbing serta memberi peringatan tentang apa yang mereka tidak ketahui mengenai hukum-hukum agama, haji, umrah dan lainnya. Sehingga mereka bisa menunaikan kewajiban mereka dengan ilmu.

Dari Makkah inilah tertib ilmu itu, yaitu ilmu tauhid dan agama. Kemudian (berkembang) dari Madinah, dari seluruh jazirah ini dan dari seluruh negeri-negeri Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ada ilmu dan ahli ilmu. Namun semua asalnya adalah dari sini, dari lingkungan rumah Allah yang tua.

Maka wajib bagi para ulama dan da’i, dimana saja mereka berada, terlebih lagi di lingkungan rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala ini, untuk mengajari manusia, orang-orang yang menunaikan haji dan umrah, orang-orang asli dan pendatang serta para penziarah, tentang agama dan manasik haji mereka.

Seorang muslim diperintahkan untuk belajar, bagaimanapun (keadaannya) ia, dimana saja dan kapan saja ; tetapi di lingkungan rumah Allah yang tua, urusan ini (belajar agama) lebih penting dan mendesak.

Dan di antara tanda-tanda kebaikan dan kebahagian seseorang adalah belajar tentang agama Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Nabi Shallallahu ‘alaihi bersabda : “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala memperoleh kebaikan, niscaya Dia menjadikan faqih terhadap agama” [HR Bukhari, Kitab Al-Ilmi 3 bab : 14]

Di sini, di negeri Allah, di negerimu dan di negeri mana saja, jika engkau dapati seorang alim ahli syari’at Allah, maka pergunakanlah kesempatan. Janganlah engkau takabur dan malas. Karena ilmu itu tidak bisa diraih oleh orang-orang yang takabur, pemalas, lemah serta pemalu. Ilmu itu membutuhkan kesigapan dan kemauan yang tinggi.

Mundur dari menuntut ilmu, itu bukanlah sifat malu, tetapi suatu kelemahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan Allah tidak malu dari kebenaran” [Al-Ahzab : 53]

Karenanya seorang mukmin dan mukminah yang berpandangan luas, tidak akan malu dalam bab ini ; bahkan ia maju, bertanya, menyelidiki dan menampakkan kemusykilan yang ia miliki, sehingga hilanglah kemusykilan tersebut.

[7]. Menyebarkan Ilmu
Di antara manfaat haji adalah menyebarkan ilmu kepada saudara-saudaranya yang melaksanakan ibadah haji dan teman-temannya seperjalanan, yang di mobil, di pesawat terbang, di tenda, di Mekkah dan di segala tempat. Ini adalah kesempatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan. Engkau bisa menyebarkan ilmu-mu dan menjelaskan apa yang engkau miliki, akan tetapi haruslah dengan apa yang engkau ketahui berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah dan istimbath ahli ilmu dari keduanya. Bukan dari kebodohan dan pemikiran-pemikiran yang menyimpang dari Al-Kitab dan As-Sunnah.

[8]. Memperbanyak Ketaatan
Di antara manfaat haji adalah memperbanyak shalat dan thawaf, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka ; hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka dan hendaklah mereka berthawaf sekeliling rumah yang tua itu (Ka’bah)” [Al-Hajj : 29]

Maka disyariatkan bagi orang yang menjalankan haji dan umrah untuk memperbanyak thawaf semampunya dan memperbanyak shalat di tanah haram. Oleh karena itu perbanyaklah shalat, qira’atul qur’an, tasbih, tahlil, dzikir. Juga perbanyaklah amar ma’ruf nahi mungkar dan da’wah kepada jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala di mana banyak orang berkumpul dari Afrika, Eropa, Amerika, Asia dan lainnya. Maka wajib bagi mereka untuk mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya.

[9]. Menunaikan Nadzar
Walaupun nadzar itu sebaiknya tidak dilakukan, akan tetapi seandainya seseorang telah bernadzar untuk melakukan ketaatan, maka wajib baginya untuk memenuhinya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barangsiapa bernadzar untuk mentaati Allah, maka hendaklah dia mentaati-Nya” [HR Bukhari]

Maka apabila seseorang bernadzar di tanah haram ini berupa shalat, thawaf ataupun ibadah lainnya, maka wajib baginya untuk menunaikannya di tanah haram ini.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan hendaklah mereka menunaikan nadzar” [Al-Hajj : 29]

[10]. Menolong Dan Berbuat Baik Kepada Orang Miskin
Di antara manfaat haji adalah bisa menolong dan berbuat baik kepada orang miskin baik yang sedang menjalankan haji atau tidak di negeri yang aman ini.

Seseorang dapat mengobati orang sakit, menjenguknya, menunjukkan ke rumah sakit dan menolongnya dengan harta serta obat.

Ini semua termasuk manfaat-manfaat haji.

“Artinya : ….agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka” [Al-Hajj : 28]

[11]. Memperbanyak Dzikir Kepada Allah
Di negeri yang aman ini hendaklah memperbanyak dzikir kepada Allah, baik dalam keadaan berdiri, duduk dan bebaring, dengan tasbih (ucapan Subhanallah), hamdalah (ucapan Alhamdulillah), tahlil (ucapan Laa ilaaha ilallah), takbir (ucapan Allahu Akbar) dan hauqallah (ucapan Laa haula wa laa quwata illa billah).

“Artinya : Dari Abu Musa Al-As’ari Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Perumpamaan orang yang mengingat Rabb-nya dan yang tidak mengingat-Nya adalah sebagai orang hidup dan yang mati”. [HR Bukhari, Bahjatun Nadzirin no. 1434]

[12]. Berdo’a Kepada-Nya
Di antara manfaat haji, hendaknya bersungguh-sungguh merendahkan diri dan terus menerus berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar Dia menerima amal, membereskan hati dan perbuatan ; agar Dia menolong untuk mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya dan memperbagus ibadah kepada-Nya ; agar Dia menolong untuk menunaikan kewajiban dengan sifat yang Dia ridhai serta agar Dia menolong untuk berbuat baik kepada hamba-hamba-Nya.

[13]. Menunaikan Manasik Dengan Sebaik-Baiknya
Di antara manfaat haji, hendaknya melaksanakannya dengan sesempurna mungkin, dengan sebaik-baiknya dan seikhlas mungkin baik sewaktu melakukan thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, berada di Muzdalifah, melempar jumrah, maupun sewaktu shalat, qira’atul qur’an, berdzikir, berdo’a dan lainnya. Juga hendaknya mengupayakannya dengan kosentrasi dan ikhlas.

[14]. Menyembelih Kurban
Di antara manfaat haji adalah menyembelih (binatang) kurban, baik yang wajib tatkala berihram tammatu dan qiran, maupun tidak wajib yaitu untuk taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sewaktu haji wada’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkurban 100 ekor binatang. Para sahabat juga menyembelih kurban. Kurban itu adalah suatu ibadah, karena daging kurban dibagikan kepada orang-orang miskin dan yang membutuhkan di hari-hari Mina dan lainnya.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,

Demikianlah sebagian hikmah dari ibadah haji (rukun Islam yang ke lima) mudah-mudahan kita bisa mengambil manfaatnya, dan senantiasa diberi petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala serta diberi kemudahan untuk menunaikannya. Amin

Kategori Fiqih : Haji & Umrah Haji Mabrur, Haji Akbar, Ganti Nama Usai Haji, Asal Hajar Aswad, Titip Salam Untuk Nabi

SEPULUH FAEDAH TENTANG HAJI.HAJI MABRUR.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘ahu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Umroh ke umroh berikutnya merupakan pelebur dosa antara keduanya, dan tiada balasan bagi haji mabrur melainkan surga” [HR Bukhari : 1683, Muslim : 1349]

Haji Mabrur memiliki beberapa kriteria.

Pertama : Ikhlas. Seorang hanya mengharap pahala Allah, bukan untuk pamer, kebanggaan, atau agar dipanggil “pak haji” atau “bu haji” oleh masyarakat.

“Artinya : Mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan” [Al-Bayyinnah : 5]

Kedua : Ittiba’ kepda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berhaji sesuai dengan tata cara haji yang dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi pekara-perkara bid’ah dalam haji. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Contohlah cara manasik hajiku” [HR Muslim : 1297]

Ketiga : Harta untuk berangkat haji adalah harta yang halal. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak menerima kecuali dari yang baik” [HR Muslim : 1015]

Keempat : Menjauhi segala kemaksiatan, kebid’ahan dan penyimpangan

“Artinya : Barangsiapa menetapkan niatnya untuk haji di bulan itu maka tidak boleh rafats (berkata-kata tidak senonoh), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan pada masa haji..”[Al-Baqarah : 197]

Kelima : Berakhlak baik antar sesama, tawadhu’ dalam bergaul, dan suka membantu kebutuhan saudara lainnya.

Alangkah bagusnya ucapan Ibnul Abdil Barr rahimahullah dalam At-Tamhid (22/39) : “Adapun haji mabrur, yaitu haji yang tiada riya dan sum’ah di dalamnya, tiada kefasikan, dan dari harta yang halal” [Latho’iful Ma’arif Ibnu Rajab hal. 410-419, Masa’il Yaktsuru Su’al Anha Abdullah bin Sholih Al-Fauzan : 12-13]

HAJI AKBAR
Pendapat yang populer dalam madzhab Syafi’i, hari “Haji Akbar” adalah hari Arafah (9 Dzul-Hijjah). Namun pendapat yang benar bahwa hari haji akbar adalah pada hari Nahr (penyembelihan kurban, yakni 10 Dzul-Hijjah], berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan rosul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar…” [At-Taubah : 3]

Dalam shahih Bukhari 8/240 dan shahih Muslim : 1347 disebutkan bahwa Abu Bakar dan Ali Radhiyallahu ‘anhuma mengumumkan hal itu pada hari nahr, bukan pada hari Arafah.

Dalam sunan Abu Dawud 1945 dengan sanad yang sangat shohih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda.

“Artinya : Hari haji akbar adalah hari nahr (menyembelih kurban)”

Demikian pula yang dikatakan oleh Abu Hurairah dan sejumlah shahabat radhiyallahu ‘anhum [Lihat Zadul Ma’ad Ibnul Qayyim 1/55-56]

GANTI NAMA USAI HAJI
Soal : Apakah hukumnya mengganti nama setelah pulang haji, seperti yang banyak dilakukan mayoritas jama’ah haji Indonesia, di mana mereka mengganti nama di Makkah atau Madinah, apakah ini termasuk sunnah ataukah tidak?

Jawab : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengganti nama-nama yang buruk dengan nama-nama yang bagus. Maka apabila jama’ah haji Indonesia tersebut mengganti nama mereka lantaran tersebut, bukan disebabkan usai melakukan ibadah haji atau karena berziarah ke Masjid Nabawi, maka hukumnya boleh. Namun apabila jama’ah haji Indonesia mengganti nama mereka lantaran alasan pernah di Makkah/Madinah atau usai melakukan ibadah haji, maka hal itu termasuk perkara bid’ah, bukan sunnah. [Fatawa Lajnah Daimah 2/514-515]

AIR ZAM-ZAM
Al-Humaidi rahimahullah berkata : Saya pernah berada di sisi Sufyan bin Uyainah rahimahullah, lalu beliau menyampaikan kepada kami hadits.

“Artinya : Air zam-zam tergantung keinginan seorang yang meminumnya”

Tiba-tiba ada seorang lelaki bangkit dari majelis, kemudian kembali lagi seraya mengatakan : “Wahai Abu Muhammad, bukankah hadits yang engkau ceritakan kepada kami tadi tentang zam-zam adalah hadits yang shahih?” Jawab beliau : “Benar”, Lelaki itu lalu berkata : “Baru saja aku meminum seember air zam-zam dengan harapan engkau akan menyampaikan kepadaku seratus hadits”. Akhirnya Sufyan rahimahullah berkata kepadanya : “Duduklah!”, Lelaki itupun duduk, dan Sufyan rahimahullah menyampaikan seratus hadits kepadanya. [Al-Mujalasah Abu Bakar Ad-Dinawari 2/343, Juz Ma’a Zam-Zam Ibnu Hajar hal. 271]

Semoga Allah merahmati Imam Sufyan bin Uyainah, alangkah semangatnya dalam menebarkan ilmu! Dan semoga Allah merahmati orang yang bertanya tersebut, alangkah semangatnya dalam menuntut ilmu dan sindiran lembut untuk mendapatkannya! [Fadhlu Ma’a Zam-Zam Sayyid Bakdasy hal. 137]

ASAL HAJAR ASWAD
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Hajar aswad (ketika) turun dari surga lebih putih dari pada salju, lalu dosa-dosa anak Adam membuatnya hitam” [Shahih HR Tirmidzi : 877, Ibnu Khuzaimah : 1/271, Ath-Thabrani dalam Mu’jam Kabir 3/155, Ahmad 1/307, 329, 373. Lihat Silsilah Ash-Shahihah Al-Albani : 2618]

Kita beriman dengan hadits ini secara tekstual dan pasrah sepenuhnya, sekalipun orang-orang ahli filsafat mengingkarinya. [Lihat Ta’wil Mukhtalif Hadits Ibnu Qutaibah hal.542]

Sulaiman bin Khalil rahimahullah (imam dan khatib Masjidil Haram dahulu) menceritakan bahwa dirinya melihat tiga bintik berwarna putih jernih pada Hajar Aswad, lalu katanya : “Saya perhatikan bintik-bintik tadi, ternyata setiap hari berkurang warnanya” [Al-Aqdu Tsamin Al-Fasi Al-Makki 1/68, Asror wa Fadha’il Hajar Aswad Majdi Futhi Sayyid hal. 22]

Sungguh dalam hal itu terdapat pelajaran berharga bagi orang yang berakal, sebab jika demikian jadinya bekas dosa pada batu yang keras, maka bagaimana kiranya pada hati manusia?! [Fathul Bari Ibnu Hajar 3/463]

JEDDAH TERMASUK MIQOT?
Ada sebagian kalangan yang mencuatkan pendapat bahwa kota Jeddah boleh dijadikan sebagai salah satu miqot untuk jama’ah haji yang datang lewat pesawat udara atau kapal laut. Namun pendapat ini disanggah secara keras oleh Ha’iah Kibar Ulama dalam keputusan rapat mereka no. 5730, tanggal 21/10/1399 sebagai berikut.

Pertama : Fatwa tentang bolehnya menjadikan Jeddah sebagai miqot bagi jama’ah haji yang datang dengan pesawat udara dan kapal laut merupakan fatwa yang batil, karena tidak bersandar pada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya serta ijma’ salafush shalih. Tidak ada satupun ulama kaum muslimin sebelumnya yang mendahului pendapat ini.

Kedua : Tidak boleh bagi jama’ah haji yang melewati miqot, baik lewat udara maupun laut (miqot Indonesia adalah Yalamlam, pent) untuk melampauinya tanpa ihram sebagaimana ditegaskan dalam banyak dalil dan dilandaskan oleh para ulama” [Fiqh Nawazil Al-Jizani 2/317, Tisir Alam Al-Bassam 1/572-573]

NAMA MIQOT MADINAH
Miqot penduduk Madinah atau jama’ah haji yang lewat Madinah adalah Dzul-Hulaifah [1] sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits. Adapun penamannya dengan “Bir Ali” sebagaimana yang populer di masyarakat maka hendaknya diganti. Sebab sebagaimana lafazh yang tertera dalam hadits itu lebih utama, apalagi kalau kita telusuri ternyata sumber penamaan Bir Ali (sumur Ali) adalah cerita yang laris manis di kalangan Rafidhah (Syi’ah) bahwa Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu pernah bertarung dengan jin di sumur tersebut, shingga karena itulah disebut Bir Ali.

Para ulama ahli hadits telah bersepakat menegaskan batilnya cerita tersebut, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Minhajus Sunnah 8/161, Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah 2/344, Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah 1/498, Mula Ali Al-Qari dalam Al-Maslak Al-Mutaqossith hal. 79, dan lainnya. [Qashashun La Tatsbutu Masyhur Hasan Salman 7/95-119]

DZIKIR KETIKA THAWAF
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Disunnahkan ketika thawaf untuk berdzikir dan berdo’a dengan do’a-do’a yang disyariatkan. Kalau mau membaca Al-Qur’an dengan lirih maka hal itu boleh. Dan tidak ada do’a tertentu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dari perintahnya, ucapannya, maupun pengajarannya, bahkan boleh berdo’a dengan umumnya do’a-do’a yang disyari’atkan. Adapun yang disebutkan kebanyakan manusia tentng do’a khusus di bawah mizab (talang Ka’bah) dan selainnya [2] semua itu tidak ada asalnya” [Majmu Fatawa 26/122]

PROBLEM ORANG YANG BOTAK
Telah dimaklumi, dalam haji ada syarat cukur/memendekkan rambut. Namun bagaimana dengan seorang yang botak dan tidak memiliki rambut untuk dicukur? Sebagian fuqaha mengatakan. Hendaknya dia tetap melewatkan alat cukur di kepalanya. Namun pendapat yang benar ialah hal ini dibenci, syari’at bersih darinya, (perbuatan itu) sia-sia dan tiada faedahnya, sebab melewatkan alat cukur hanyalah sekedar sebagai wasilah (perantara) saja bukan tujuan utama. Kalau tujuan utamanya gugur, maka wasilah tidak bermakna lagi. Persis dengan masalah ini adalah seorang yang lahir sedangkan dzakarnya sudah terkhitan, perlukah dikhitan lagi? Ataukah melewatkan pisau padanya? Pendapat yang benar adalah tidak perlu. [Lihat Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud Ibnul Qayyim hal. 330]

TITIP SALAM UNTUK NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Budaya titip atau kirim salam untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para jama’ah haji merupakan budaya yang perlu ditinggalkan dan diingatkan, sebab hal itu tidak boleh dan termasuk kategori perkara baru dalam agama. Alhamdulillah, termasuk keluasan rahmat Allah kepada kita, Dia menjadikan salam kita untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai kepada beliau di manapun kita berada, baik di ujung timur maupun barat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Jangalah kalian jadikan kuburku sebagai perayaan, dan (jangan jadikan) rumah-rumah kalian sebagai kuburan, bershalawtlah kepadaku karena sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku di manapun kalian berada”.

Hadits-hadits yang semakna dengannya banyak sekali. [Lihat Al-Mustadrak ‘Ala Mu’jam Manahi Lafzhiyyah Sulaiman Al-Khurosi hal. 231-232]

https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
__________
Foote Note
[1]. Nama sebuah desa besar di jalan Madinah dahulu (lihat Mu’jam Buldan 2/111). Di sana ada sebuah masjid yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berangkat haji, beliau shalat dan ber-ihram di sana. Jaraknya dari Madinah kurang lebih 3 mil, dijangkau dengan mobil sekitar seperempat jam [Lihat Al-Haj Al-Mabrur Abu Bakar Al-Jaza’iri hal. 32]
[2]. Seperti do’a/dzikir tertentu untuk setiap putaran thawaf dan sa’i, maka ini juga tidak ada asalnya. [Lihat At-Tahqiq wal Idhah Abdul Aziz bin Baz hal. 29, Manasik Haji wal Umrah Ibnu Utsaimin hal.119, Syarh Manasik Haji wal Umrah Sholih Al-fauzan hal.75, Tashih Du’a Bakar Abu Zaid hal.520]

Kategori Fiqih : Haji & Umrah Sebelas Alasan Tidak Melakukan Umrah Berulang Kali Saat Berada Di Mekkah

SEBELAS ALASAN TIDAK MELAKUKAN UMRAH BERULANG KALI DI SAAT BERADA DI MEKKAH        https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,                    .Ada satu fenomena yang umum disaksikan pada kalangan jamaah haji Indonesia dan juga negara lainnya. Saat berada di kota suci Mekkah, banyak yang berbondong-bondong menuju tanah yang halal, yaitu al hillu, Masjid ‘Aisyah di Tan’im atau Ji’ranah. Tujuannya untuk melaksanakan umrah lagi. Umrah yang mereka kerjakan bisa lebih dari sekali dalam satu hari. Dalih mereka, mumpung sedang berada di Mekkah, sepantasnya memperbanyak ibadah umrah, yang belum tentu bisa dikerjakan lagi sesudah sampai di tanah air. Atau dengan kata lain, untuk memperbanyak pahala. Saking berlebihannya, Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin penuh keheranan pernah menyaksikan seorang laki-laki yang sedang mengerjakan sa'i dengan rambut tersisa separo saja (sisi yang lain gundul). Syaikh 'Utsaimin pun bertanya kepadanya, dan laki-laki tersebut menjawab : “Bagian yang tak berambut ini telah dipotong untuk umrah kemarin. Sedangkan rambut yang tersisa untuk umrah hari ini”. [1]

SELAIN IKHLAS, IBADAH MEMBUTUHKAN MUTABA’AH
Suatu ibadah agar diterima oleh Allah, harus terpenuhi oleh dua syarat. Yaitu ikhlas dan juga harus dibarengi dengan mutaba’ah. Sehingga tidak cukup hanya mengandalkan ikhlas semata, tetapi juga harus mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Disamping itu juga dengan mengetahui praktek dan pemahaman generasi Salaf dalam menjalakan ibadah haji yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab, generasi Salaf merupakan generasi terbaik, yang paling semangat dalam meraih kebaikan.

Umrah termasuk dalam kategori ini. Sebagai ibadah yang disyariatkan, maka harus bersesuaian dengan rambu-rambu syari'at dan nash-nashnya, petunjuk Nabi dan para sahabat, serta para pengikut mereka yang ihsan sampai hari Kiamat. Dan ittiba’ ini merupakan salah satu tonggak diterimanya amalan di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Sebagai ibadah yang sudah jelas tuntunannya, pelaksanan umrah tidak lagi memerlukan ijtihad padanya. Tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah melalui ibadah umrah dengan ketentuan yang tidak pernah digariskan. Kalau tidak mengikuti petunjuk syariat, berarti ibadah yang dilakukan menunjukkan sikap i’tida` (melampaui batas) terhadap hak Allah, dalam aspek penetapan hukum syariat, serta merupakan penentangan terhadap ketentuan Allah dalam hukumNya. Allah berfirman : "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih" [Asy Syura /42: 21][2]

JUMLAH UMRAH RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Sepanjang hidupnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan umrah sebanyak 4 kali.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعَ عُمَرٍ عُمْرَةَ الْحُدَيْبِيَةِ وَعُمْرَةَ الْقَضَاءِ مِنْ قَابِلٍ وَالثَّالِثَةَ مِنْ الْجِعْرَانَةِ وَالرَّابِعَةَ الَّتِي مَعَ حَجَّتِهِ

Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata : "Rasulullah mengerjakan umrah sebanyak empat kali. (Yaitu) umrah Hudaibiyah, umrah Qadha`, umrah ketiga dari Ji'ranah, dan keempat (umrah) yang bersamaan dengan pelaksanaan haji beliau".[3]

Menurut Ibnul Qayyim, dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat [4]. Setiap umrah tersebut, beliau kerjakan dalam sebuah perjalanan tersendiri. Tiga umrah secara tersendiri, tanpa disertai haji. Dan sekali bersamaan dengan haji.
Pertama, umrah Hudhaibiyah tahun 6 H. Beliau dan para sahabat yang berbaiat di bawah syajarah (pohon), mengambil miqat dari Dzul Hulaifah Madinah. Pada perjalanan umrah ini, kaum Musyrikin menghalangi kaum Muslimin untuk memasuki kota Mekkah. Akhirnya, terjadilah pernjanjian Hudhaibiyah. Salah satu pointnya, kaum Muslimin harus kembali ke Madinah, tanpa bisa melaksanakan umrah yang sudah direncanakan.

Kemudian, kaum Muslimin mengerjakan umrah lagi pada tahun berikutnya. Dikenal dengan umrah Qadhiyyah atau Qadha`[5] tahun 7 H. Selama tiga hari beliau n berada di Mekkah. Dan ketiga, umrah Ji’ranah pada tahun 8 H. Yang terakhir, saat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan haji Wada’. Semua umrah yang beliau kerjakan terjadi pada bulan Dzul Qa`dah.[6]

SEBELAS ALASAN TIDAK MELAKUKAN UMRAH BERULANG KALI
Para ulama memandang, melakukan umrah berulang kali sebagai perbuatan yang makruh. Masalah ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Fatawanya. Keterangan beliau tersebut dikutip oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam Syarhul Mumti’. [7]

Berikut ini beberapa aspek yang menjelaskan bahwa umrah berulang-ulang seperti yang dikerjakan oleh sebagian jamaah haji –sebagaimana fenomena di atas- tidak disyariatkan.

Pertama : Pelaksanaan empat umrah yang dikerjakan Rasulullah, masing-masing dikerjakan dengan perjalanan (safar) tersendiri. Bukan satu perjalanan untuk sekian banyak umrah, seperti yang dilakukan oleh jamaah haji sekarang ini. Syaikh Muhammad bin Shalih al 'Utsaimin menyimpulkan, setiap umrah mempunyai waktu safar tersendiri. Artinya, satu perjalanan hanya untuk satu umrah saja [8]. Sedangkan perjalanan menuju Tan’im belum bisa dianggap safar. Sebab masih berada dalam lingkup kota Mekkah.

Kedua : Para sahabat yang menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haji Wada’, tidak ada riwayat yang menerangkan salah seorang dari mereka yang beranjak keluar menuju tanah yang halal untuk tujuan umrah, baik sebelum atau setelah pelaksanaan haji. Juga tidak pergi ke Tan’im, Hudhaibiyah atau Ji’ranah untuk tujuan umrah. Begitu pula, orang-orang yang tinggal di Mekkah, tidak ada yang keluar menuju tanah halal untuk tujuan umrah. Ini sebuah perkara yang disepakati dan dimaklumi oleh semua ulama yang mengerti sunnah dan syariat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.[9]

Ketiga : Umrah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dimulai dari Ji’ranah tidak bisa dijadikan dalil untuk membolehkan umrah berulang-ulang. Sebab, pada awalnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki kota Mekkah untuk menaklukannya dalam keadaan halal (bukan muhrim) pada tahun 8 H. Selama tujuhbelas hari beliau berada di sana. Kemudian sampai kepada beliau berita, kalau suku Hawazin bermaksud memerangi beliau. Akhirnya beliau mendatangi dan memerangi mereka. Ghanimah dibagi di daerah Ji’ranah. Setelah itu, beliau ingin mengerjakan umrah dari Ji’ranah. Beliau tidak keluar dari Mekkah ke Ji’ranah secara khusus. Namun, ada perkara lain yang membuat beliau keluar dari Mekkah. Jadi, semata-mata bukan untuk mengerjakan umrah.[10]

Keempat : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga para sahabat -kecuali ‘Aisyah- tidak pernah mengerjakan satu umrah pun dari Mekkah, meski setelah Mekkah ditaklukkan. Begitu pula, tidak ada seorang pun yang keluar dari tanah Haram menuju tanah yang halal untuk mengerjakan umrah dari sana sebelum Mekkah ditaklukkan dan menjadi Darul Islam. Karena thawaf di Ka’bah tetap masyru’ sejak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus. Bahkan sejak Nabi Ibrahim Alaihissalam. Mengerjakan thawaf tanpa umrah terlebih dahulu, sudah mengantarkan kepada sebuah ketetapan yang pasti, bahwa perkara yang disyariatkan bagi penduduk Mekkah (orang yang berada di Mekkah) adalah thawaf. Itulah yang lebih utama bagi mereka dari pada keluar dari tanah Haram untuk mengerjakan umrah. Sebab, tidak mungkin Rasulullah dan para sahabat lebih mengutamakan amalan mafdhul/ (yang nilainya kurang) -dalam hal ini thawaf- dibandingkan amalan yang lebih afdhal (umrah menurut asumsi sebagian jamaah haji). Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memerintahkan umat untuk melakukan umrah berulang-ulang. Ucapan ini tidak mungkin dikatakan oleh seorang muslim.[11]

Ibnul Qayyim berkata,"Tidak ada umrah beliau dalam keadaan beliau keluar dari Mekkah sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang sekarang ini. Seluruh umrah beliau, dilangsungkan dari luar kota Mekkah menuju Mekkah (tidak keluar dahulu baru masuk kota Mekkah). Nabi pernah tinggal di Mekkah selama 13 tahun. Namun tidak ada riwayat yang menjelaskan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar kota Mekkah untuk mengerjakan umrah.

Jadi umrah yang beliau kerjakan dan yang disyariatkan adalah, umrah orang yang memasuki kota Mekkah (berasal dari luar Mekkah), bukan umrah orang yang berada di dalamnya (Mekkah), dengan menuju daerah yang halal (di luar batas tanah haram) untuk mengerjakan umrah dari sana. Tidak ada yang melakukannya di masa beliau, kecuali 'Aisyah semata…[12]

Kelima : Tentang umrah yang dilakukan oleh ‘Aisyah pada haji Wada’ bukanlah berdasarkan perintah Nabi. Beliau mengizinkannya setelah 'Aisyah memohon dengan sangat.[13]

Kisahnya, pada waktu menunaikan ibadah haji bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Aisyah mendapatkan haidh, maka Rasulullah memerintahkan saudara ‘Aisyah yang bernama ‘Abdurrahman bin Abu Bakar mengantar ‘Aisyah ke daerah Tan’im, agar ia memulai ihram untuk umrah disana. Karena 'Aisyah menyangka, bahwa umrah yang dilakukan bersamaan dengan haji, akan batal, sehingga ia menangis. Kemudian untuk menenangkannya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengijinkan 'Aisyah melakukan umrah lagi.

Umrah yang dilakukan ‘Aisyah ini sebagai pengkhususan baginya. Sebab, belum didapati satu pun dalil dari seorang sahabat laki-laki ataupun perempuan yang menerangkan bahwa ia pernah melakukan umrah usai melaksanakan ibadah haji, dengan memulai ihram dari kawasan Tan’im, sebagaiamana yang telah dilakukan 'Aisyah Radhiyallahu 'anha. Andaikata para sahabat mengetahui perbuatan ‘Aisyah tersebut disyariatkan juga buat mereka pasca menunaikan ibadah haji, niscaya banyak riwayat dari mereka yang menjelaskan hal itu.

Ibnul Qayyim mengatakan, (Umrah ‘Aisyah) menjadi dasar tentang umrah dari Mekkah. Tidak ada dalil bagi orang yang menilainya (umrah berulang-ulang) selainnya. Sesungguhnya Nabi dan sahabat yang bersama beliau dalam haji (Wada’) tidak ada yang keluar dari Mekkah, kecuali ‘Aisyah saja. Kemudian orang-orang yang mendukung umrah dari Mekkah, menjadikan riwayat tersebut sebagai dasar pendapat mereka. Tetapi, kandungan riwayat tersebut tidak ada yang menunjukkan dukungan terhadap pendapat mereka.[14]

Imam asy Syaukani rahimahullah berkata,"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah berumrah dengan cara keluar dari daerah Mekkah ke tanah halal, kemudian masuk Mekkah lagi dengan niat umrah, sebagaimana layaknya yang dilakukan kebanyakan orang sekarang. Padahal, tak satupun yang sah yang menerangkan ada seorang sahabat melakukan yang demikian itu”.[15]

Keenam : Kaum Muslimin bersilang pendapat tentang hukum umrah, apakah wajib ataukah tidak. Para ulama yang memandang umrah itu wajib seperti layaknya haji, mereka tidak mewajibkannya atas penduduk Mekkah. Imam Ahmad pernah menukil perkataan Ibnu 'Abbas: “Wahai penduduk Mekkah, tidak ada kewajiban umrah atas kalian. Umrah kalian adalah thawaf di Ka’bah”.

‘Atha bin Abi Rabah [16] –ulama yang paling menguasai manasik haji dan panutan penduduk Mekkah– berkata : “Tidak ada manusia ciptaan Allah kecuali wajib atas dirinya haji dan umrah. Dua kewajiban yang harus dilaksanakan bagi orang yang mampu, kecuali penghuni Mekkah. Mereka wajib mengerjakan haji, tetapi tidak wajib umrah, karena mereka sudah mengerjakan thawaf. Dan itu sudah mencukupi”.

Thawus [17] berkata: “Tidak ada kewajiban umrah bagi orang yang berada di Mekkah”. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah).

Berdasarkan beberapa keterangan para ulama Salaf tersebut, menunjukkan bahwa bagi penduduk Mekkah, mereka tidak menilai sunnah, apalagi sampai mewajibkannya. Seandainya wajib, maka sudah pasti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya atas diri mereka dan mereka akan mematuhinya. Tetapi, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang orang yang berumrah dari Mekkah di masa Nabi masih hidup, kecuali ‘Aisyah saja. Kisah ini sudah dijelaskan persoalannya di atas.

Karenanya, para ulama hadits, bila ingin menulis tentang umrah dari Mekkah, mereka hanya menyinggung tentang kejadian ‘Aisyah saja. Tidak ada yang lain. Seandainya ada, pasti sudah sampai kepada kita.[18]

Ketujuh : Intisari umrah adalah thawaf. Adapun sa’i antara Shafa dan Marwah bersifat menyertai saja. Bukti yang menunjukkannya sebagai penyerta adalah, sa'i tidak dikerjakan kecuali setelah thawaf. Dan ibadah thawaf ini bisa dikerjakan oleh penduduk Mekkah, tanpa harus keluar dari batas tanah suci Mekkah terlebih dahulu. Barangsiapa yang sudah mampu mengerjakan perkara yang inti, ia tidak diperintahkan untuk menempuh wasilah (perantara yang mengantarkan kepada tujuan). [19]

Kedelapan : Berkeliling di Ka’bah adalah ibadah yang dituntut. Adapun menempuh perjalanan menuju tempat halal untuk berniat umrah dari sana merupakan sarana menjalankan ibadah yang diminta. Orang yang menyibukkan diri dengan sarana (menuju tempat yang halal untuk berumrah dari sana) sehingga meninggalkan tujuan inti (thawaf), orang ini telah salah jalan, tidak paham tentang agama. Lebih buruk dari orang yang berdiam di dekat masjid pada hari Jum’at, sehingga memungkinkannya bersegera menuju masjid untuk shalat, tetapi ia justru menuju tempat yang jauh untuk mengawali perjalanan menuju masjid itu. Akibatnya, ia meninggalkan perkara yang menjadi tuntutan, yaitu shalat di dalam masjid tersebut.

Kesembilan : Mereka mengetahui dengan yakin, bahwa thawaf di sekeliling Baitullah jauh lebih utama daripada sa’i. Maka daripada mereka menyibukkan diri dengan pergi keluar ke daerah Tan’im dan sibuk dengan amalan-amalan umrah yang baru sebagai tambahan bagi umrah sebelumnya, lebih baik mereka melakukan thawaf di sekeliling Ka’bah. Dan sudah dimaklumi, bahwa waktu yang tersita untuk pergi ke Tan’im karena ingin memulai ihram untuk umrah yang baru, dapat dimanfaatkan untuk mengerjakan thawaf ratusan kali keliling Ka’bah.

Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menilainya sebagai bid’ah, (sebuah perkara yang) belum pernah dikerjakan oleh generasi Salaf, tidak diperintahkan oleh al Kitab dan as Sunnah. Juga tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan status sunnahnya. Apabila demikian adanya, berarti termasuk bid’ah yang dibenci berdasarkan kesepakatan para ulama[20]. Oleh karenanya, para generasi Salaf dan para imam melarangnya.

Sa’id bin Manshur meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Thawus, salah seorang murid Ibnu ‘Abbas mengatakan :

مَا أَدْرِيْ أَيُؤْجَرُوْنَ عَلَيْهَا أَمْ يُعَذَّبُوْنَ. قِيْلَ : فَلِمَ يُعَذَّبُوْنَ؟ قَالَ : لِأَنَّهُ يَدَعُ الطَّوَافَ بِالْبَيْتِ . وَيَخْرُجُ إِلَى أَرْبَعَةِ أَمْيَالِ وَيَجِيْئُ وَإِلَى أَنْ يَجِيْئَ مِنْ أَرَبَعَةِ أَمْيَالٍ قَدْ طَافَ مِائَتَيْ طَوَافٍ. وَكُلَّمَا طَافَ بِالْبَيْتِ كَانَ أَفْضَلَ مِنْ أَنْ يَمْشِيَ فِيْ غَيْرِ شَيْئٍ

"Aku tidak tahu, orang-orang yang mengerjakan umrah dari kawasan Tan’im, apakah mereka diberi pahala atau justru disiksa". Ada yang bertanya : “Mengapa mereka disiksa?” Beliau menjawab : “Karena meninggalkan thawaf di Ka’bah. Untuk keluar menempuh jarak empat mil dan pulang (pun demikian). Sampai ia pulang menempuh jarak empat mil, ia bisa berkeliling Ka’bah sebanyak dua ratus kali. Setiap kali ia berthawaf di Ka’bah, itulah yang utama daripada menempuh perjalanan tanpa tujuan apapun”.[21]

‘Atha` pernah berkata : “Thawaf di Ka’bah lebih aku sukai daripada keluar (dari Mekkah) untuk umrah”. [22]

Kesepuluh : Setelah memaparkan kejadian orang yang berumrah berulang-ulang, misalnya melakukannya dua kali dalam sehari, Syaikhul Islam semakin memantapkan pendapatnya, bahwa umrah yang demikian tersebut makruh, berdasarkan kesepakatan para imam. Selanjutnya beliau menambahkan, meskipun ada sejumlah ulama dari kalangan Syafi’iyyah dan ulama Hanabilah yang menilai umrah berulang kali sebagai amalan yang sunnah, namun pada dasarnya mereka tidak mempunyai hujjah khusus, kecuali hanya qiyas umum. Yakni, untuk memperbanyak ibadah atau berpegangan dengan dalil-dalil yang umum.[23]

Di antara dalil yang umum, hadits Nabi:

الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا

"Antara umrah menuju umrah berikutnya menjadi penghapus (dosa) di antara keduanya" [24].

Tentang hadits ini, Syaikh al 'Utsaimin mendudukkan bahwa hadits ini, mutlak harus dikaitkan dengan apa yang diperbuat oleh generasi Salaf ridhwanullah ‘alaihim [25]. Penjelasannya sudah disampaikan pada point-point sebelumnya. Ringkasnya, tidak ada contoh dari kalangan generasi Salaf dalam melaksanakan umrah yang berulang-ulang.

Kesebelas : Pada penaklukan kota Mekkah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di Mekkah selama sembilan belas hari. Tetapi, tidak ada riwayat bahwa beliau keluar ke daerah halal untuk melangsungkan umrah dari sana. Apakah Nabi tidak tahu bahwa itu masyru’ (disyariatkan)? Tentu saja tidak mungkin![26]

LEBIH BAIK MEMPERBANYAK THAWAF
Berdasarkan alasan-alasan di atas, menjadi jelas bahwa thawaf lebih utama. Adapun berumrah dari Mekkah dan meninggalkan thawaf tidak mustahab. Dan yang disunnahkan adalah thawaf, bukan umrah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menambahkan : “Thawaf mengelilingi Ka’bah lebih utama daripada umrah bagi orang yang berada di Mekkah, merupakan perkara yang tidak diragukan lagi oleh orang-orang yang memahami Sunnah Rasulullah dan Sunnah Khalifah pengganti beliau dan para sahabat, serta generasi Salaf dan tokoh-tokohnya”.

Alasannya, kata beliau rahimahullah, karena thawaf di Baitullah merupakan ibadah dan qurbah (cara untuk mendekatkan diri kepada Allah) yang paling afdhal yang telah Allah tetapkan di dalam KitabNya, berdasarkan keterangan NabiNya. Thawaf termasuk ibadah paling utama bagi penduduk Mekkah. Maksudnya, yaitu orang-orang yang berada di Mekkah, baik penduduk asli maupun pendatang. Thawaf juga termasuk ibadah istimewa yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang berada di kota lainnnya.

Orang-orang yang berada di Mekkah sejak masa Rasulullah dan masa para khulafa senantiasa menjalankan thawaf setiap saat. Dan lagi, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepada pihak yang bertanggung jawab atas Baitullah, agar tidak menghalangi siapapun yang ingin mengerjakan thawaf pada setiap waktu. Beliau bersabda:

يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ وَصَلَّى فِيْ أَيِّ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ

"Wahai Bani Abdi Manaf, janganlah kalian menghalangi seorang pun untuk melakukan thawaf di Ka'bah dan mengerjakan shalat pada saat kapan pun, baik malam maupun siang" [27]

Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dengan berfirman :

أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

"Dan bersihkanlah rumahKu untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku', dan yang sujud" [al Baqarah/2:125]

Dalam ayat yang lain:

أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

"Dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang ruku' dan sujud" [al Hajj/22:26]

Pada dua ayat di atas, Allah menyebutkan tiga ibadah di Baitullah, yaitu : thawaf, i’tikaf dan ruku’ bersama sujud, dengan mengedepankan yang paling istimewa terlebih dahulu, yaitu thawaf. Karena sesungguhnya, thawaf tidak disyariatkan kecuali di Baitil ‘Atiq (rumah tua, Ka’bah) berdasarkan kesepakatan para ulama. Begitu juga para ulama bersepakat, thawaf tidak boleh dilakukan di tempat selain Ka'bah. Adapun i’tikaf, bisa dilaksanakan di masjid-masjid lain. Begitu pula ruku' dan sujud, dapat dikerjakan di mana saja. Nabi bersabda:

وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَ طَهُورًا

"Dijadikan tanah sebagai masjid dan tempat pensuci bagi diriku" [HR. al-Bukhari - Muslim]

Maksudnya, Allah Subhanhu wa Ta'ala mengutamakan perkara yang paling khusus dengan tempat tersebut. Sehingga mendahulukan penyebutan thawaf. Karena ibadah thawaf hanya berlaku khusus di Masjidil Haram. Baru kemudian disebutkan i’tikaf. Sebab bisa dikerjakan di Masjidil Haram dan masjid-masjid lainnya yang dipakai kaum Muslimin untuk mengerjakan shalat lima waktu. Selanjutnya, disebutkan ibadah shalat. Karena tempat pelaksanaannya lebih umum.

Selain itu, thawaf merupakan rangkaian manasik yang lebih sering terulang. Disyariatkan thawaf Qudum bagi orang yang baru sampai di kota Mekkah. Dan disyariatkan thawaf Wada’ bagi orang yang akan meninggalkan kota Mekkah usai pelaksanaan manasik haji. Disamping keberadaan thawaf ifadhah yang menjadi salah satu rukun haji.[28]

Secara khusus, tentang keutamaan thawaf di Baitullah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ سَبْعًا كَعِدْلِ رَقَبَةٍ

"Barangsiapa mengelilingi rumah ini (Ka’bah) tujuh kali, seperti membebaskan satu budak belian" [29].

Kesimpulannya : Memperbanyak thawaf merupakan ibadah sunnah, lagi diperintahkan. Terutama bagi orang yang datang ke Mekkah. Jumhur ulama berpendapat, thawaf di Ka’bah lebih utama dibandingkan shalat di Masjidil Haram, meskipun shalat di sana sangat besar keutamaannya.[30]

Pendapat yang mengatakan tidak disyari’atkan melakukan thawaf berulangkali, inilah yang ditunjukkan oleh Sunnah Nabawiyah yang bersifat ‘amaliyah, dan didukung oleh fi’il (perbuatan) para sahabat Radhiyallahu 'anhum. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kita agar mengikuti Sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah para khalifahnya sepeninggal beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu beliau bersabda : Hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk dan terbimbing sepeninggalku. Hendaklah kalian menggigitnya dengan gigi gerahammu. [Sunan Abu Dawud, II/398, no. 4607; Ibnu Majah, I/16, no. 42 dan 43; Tirmidzi, V/43, no. 2673; Ahmad, IV/26.] [31]

Oleh karena itu, ketika berada di Mekkah sebelum atau sesudah pelaksanaan haji, yang paling baik bagi kita ialah memperbanyak thawaf, daripada melakukan perbuatan yang tidak ada contohnya. Wallahu a'lam bish-shawab.

Maraji :
- Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, Dr Abdul 'Azhim Badawi Dar Ibni Rajab, Cet. III, Th. 1421 H – 2001 M.
- Fatawa li Ahlil Haram, susunan Dakhil bin Bukhait al Mutharrifi.
- Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Muassasah A-sam, Cet. I, Th. 1416 H – 1996 M.
- Majmu al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Cet. I, Th. 1423 H. Tanpa penerbit.
- Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Muhammad bin Abi Bakr Ibnul Qayyim. Tahqiq Syu’aib al Arnauth dan ‘Abdul Qadir al Arnauth, Muassasah ar Risalah, Cet. III, Th. 1421 H – 2001 M.
- Shahih Sunan an Nasaa-i, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma'arif, Cet. I, Th. 1419H –1998M.
- Shahih Sunan at Tirmidzi, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma'arif Cet. I, Th. 1419H – 1998M.
- Shahih Sunan Ibni Majah, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah Ma'arif, Cet. I, Th. 1419H – 1
__https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, _____
Footnote
[1]. Fatawa al 'Utsaimin, 2/668.
[2]. Lihat penjelasan Dr. Muhammad bin Abdir Rahman al Khumayyis dalam adz Dzikril Jama’i Bainal Ittiba’ wal Ibtida’, halaman 7-8.
[3]. Shahih. Lihat Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 816; Shahih Sunan Ibni Majah, no. 2450.
[4]. Zadul Ma’ad, 2/89.
[5]. Umrah ini dikenal dengan nama umrah Qadha` atau Qadhiyah, karena kaum muslimin telah mengikat perjanjian dengan kaum Quraisy. Bukan untuk mengqadha (menggantikan) umrah tahun sebelumnya yang dihalangi oleh
kaum Quraisy. Karena umrah tersebut tidak rusak sehingga tidak perlu diganti. Buktinya, Nabi tidak memerintahkan para sahabat yang ikut serta dalam umrah pertama untuk mengulanginya kembali pada umrah ini. Oleh sebab itu, para ulama menghitung jumlah umrah Nabi sebanyak empat kali. Demikian penjelasan as Suhaili. Pendapat inilah yang dirajihkan oleh Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad, 2/86.
[6]. Majmu al Fatawa, 26/253-254; Zadul Ma’ad, 2/86.
[7]. Majmu ‘ al Fatawa, jilid 26. Pembahasan tentang umrah bagi orang-orang yang berada di Mekkah terdapat di halaman 248-290; asy Syarhul Mumti’, 7/407.
[8]. Fatawa al 'Utsaimin, 2/668, dikutip dari Fatawa li Ahlil Haram.
[9]. Majmu' al Fatawa, 26/252.
[10]. Majmu’ al Fatawa, 26/254.
[11]. Lihat Majmu’ al Fatawa, 26/256. 273.
[12]. Zaadul Ma’ad, 2/89.
[13]. Majmu' al Fatawa, 26/252.
[14]. Zaadul Ma’ad, 2/163.
[15]. Dikutip dari al Wajiz, halaman 268.
[16]. Atha bin Abi Rabah Aslam al-Qurasyi al Fihri, dari kalangan generasi Tabi'in. Berguru kepada sejumlah sahabat Nabi. Diantara mereka, Jabir bin Abdillah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa'id al Khudri, Abdullah bin Amr bin al Ash, Abdullah bin Zubair. Seorang Mufri Mekkah di zamannya dan dikenal sebagai orang yang paling tahu tentang manasik haji. Wafat tahun 114H
[17]. Thawus bin Kaisan al Yamani, berdarah Persia, dari kalangan generasi Tabi'in, berguru kepada sejumlah sahabat, mislnya, Ibnu Abbas, Jabir bin Abdillah, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Muad bin Jabal. Aisyah seorang ahli fiqih di zamannya. Wafat tahun 106H
[18]. Majmu' al Fatawa, 26/256-258.
[19]. Ibid, 26/262.
[20]. Ibid, 2/264.
[21]. Ibid, 26/264.
[22]. Ibid, 26/266.
[23]. Ibid, 26/270.
[24]. HR al Bukhari, no. 1773 dan Muslim, no. 1349.
[25]. Asy Syarhul Mumti’, 7/408.
[26]. Fatawa al 'Utsaimin, 2/668, dikutip dari Fatawa li Ahlil Haram.
[27]. Shahih, hadits riwayat at Tirmidzi, 869; an Nasaa-i, 1/284; Ibnu Majah, 1254
[28]. Majmu’ al Fatawa, 26/250-252 secara ringkas.
[29]. Shahih. Lihat Shahih Sunan an Nasaa-i, no. 2919.
[30]. Majmu' al Fatawa, 26/290.
[31]. Al Wajiz, halaman 268.

Kategori Fiqih : Haji & Umrah Memilih Haji Sunnah Ataukah Sedekah Untuk Membiayai Para Pejuang

MEMILIH HAJI SUNNAH ATAUKAH SEDEKAH UNTUK MEMBIAYAI PARA https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, PEJUANG.Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bagi orang yang telah melaksanakan haji dan dia mampu pergi haji lagi, apakah cukup bagi dia sebagai ganti dari haji untuk yang kedua kalinya dengan cara menginfakkan dana hajinya kepada orang-orang yang berjiahd pada jalan Allah di Afghanistan, di mana haji yang kedua hukumnya sunnah sedangkan memberikan bantuan untuk jihad wajib? Mohon penjelasan, semoga Allah memberikan balasan kepada anda atas perhatian anda kepada kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan.

Jawaban
Orang yang telah melaksanakan haji wajib, maka yang utama adalah menginfakkan dana yang akan digunakan haji yang kedua kepada orang-orang yang berjuang di jalan Allah seperti kaum mujahidin di Afghanistan dan orang-orang yang dalam pengungsian di Pakistan. Sebab ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya :

“Amal apa yang utama?”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya”. Penanya berkata : “Kemudian apa?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Jihad di jalan Allah”. Beliau ditanya lagi : “Kemudian apa?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : ‘Haji mabrur”. [Muttafaq ‘alaih]

Dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan haji setelah jihad. Dan yang dimaksudkan adalah haji sunnah. Sebab haji wajib merupakan salah satu rukun dalam Islam jika telah mampu melaksanakannya. Dan dalam shahihain disebutkan riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.

“Barangsiapa yang membantu orang yang berjuang, maka sesungguhnya dia telah berjuang. Dan barangsiapa yang menanggung keluarganya dengan kebaikan, maka sesungguhnya dia telah berperang” [HR Bukhari dan Muslim]

Dan tidak diragukan bahwa orang-orang yang berjuang di jalan Allah sangat membutuhkan bantun materi dari saudara-saudara mereka. Dan membiayai orang-orang yang berjuang lebih utama daripada membiayai haji sunnah karena dua hadits tersebut dan yang lainnya. Dan kepada Allah kita mohon pertolongan.

MEMILIH HAJI SUNNAH ATAUKAH BERSEDEKAH?

https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin


Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Saya telah melaksanakan haji wajib dan sekarang mampu pergi haji lagi. Manakah yang lebih utama menyedekahkan dana untuk haji yang kedua ataukah saya berangkat haji?

Jawab
Jika kamu mempunyai keluasan dalam harta dan memungkinkan sedekah di samping pergi haji, maka lebih utama bagimu untuk melaksanakan keduanya. Tetapi jika tidak dapat melakukan kedua hal tersebut sedangkan disekitarmu terdapat orang-orang miskin yang sangat membutuhkan bantuan atau kegiatan-kegiatan kebaikan yang memerlukan dana, maka memberikan dana haji kamu kepada mereka adalah lebih utama dari pada haji sunnah. Tetapi jika disana tidak ada kebutuhan yang sangat perlu, maka haji lebih utama.

Kategori Fiqih : Haji & Umrah Ihram Dalam Haji Dan Umrah

IHRAM DALAM HAJI DAN UMRAH.       https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,                           Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali hanya untuk menyembah-Nya semata, sebagaimana firman-Nya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku". [adz- Dzariyat/51 : 56].

Untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allah Azza wa Jalla. Sehingga dengan hikmah-Nya yang agung, Dia mengutus para rasul untuk membawa dan menyampaikan risalah dan syariat-Nya kepada jin dan manusia.

Di antara kesempurnaan Islam adalah penetapan ibadah haji ke Baitullah, al-Haram sebagai salah satu syiar Islam yang agung. Bahkan ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima, dan menjadi salah satu sarana bagi kaum muslimin untuk bersatu, meningkatkan ketakwaan dan meraih surga yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang bertakwa. Oleh karena itu, dengan kesempurnaan syari'atnya, Islam telah menetapkan suatu tata cara atau metode yang lengkap dan terperinci, sehingga tidak perlu lagi adanya penambahan dan pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini.

Salah satu bagian ibadah haji adalah ihram, yang harus dilakukan setiap orang yang menunaikan ibadah haji dan umrah. Sebagai salah satu bagian tersebut, maka pelaksanaannya perlu dijelaskan, yakni menyangkut tata cara dan hukum seputar hal itu.

DEFINISI IHRAM
Kata ihram diambil dari bahasa Arab, yaitu dari kata al-haram yang bermakna terlarang atau tercegah. Hal itu dinamakan dengan ihram, karena seseorang yang dengan niatnya masuk pada ibadah haji atau umrah, maka ia dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu seperti jima', menikah, ucapan kotor, dan lain-sebagainya. Dari sini, para ulama mendefinisikan ihram dengan salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah), atau kedua-duanya secara bersamaan.[1]

Dengan demikian, menjadi jelas kesalahan pemahaman sebagian kaum muslimin yang mengatakan ihram adalah berpakaian dengan kain ihram. Karena ihram merupakan niat masuk ke dalam haji atau umrah. Sedangkan berpakaian dengan kain ihram merupakan satu keharusan bagi seseorang yang telah berihram.

TEMPAT BERIHRAM
Ihram, sebagai bagian penting ibadah haji dan umrah dilakukan dari miqât. Seorang yang akan berhaji dan umrah, ia harus mengetahui miqat sebagai tempat berihram. Mereka yang tidak berihram dari miqât, berarti telah meninggalkan suatu kewajiban dalam haji, sehingga wajib atas mereka untuk menggantinya dengan dam (denda).

TATA CARA IHRAM
1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan perempuan, baik dalam keadaaan suci atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir Radhiyallahu 'anhu Beliau berkata:

فَخَرَجْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَيْنَا ذَا الْحُلَيْفَةِ فَوَلَدَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِيْ بَكْرٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ : اغْتَسِلِيْ وَاسْتَثْفِرِيْ بِثَوْبٍ وَاحْرِمِيْ (رواه مسلم)

"Lalu kami keluar bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tatkala sampai di Dzul Hulaifah, Asma binti 'Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr. Maka ia (Asma) mengutus (seseorang untuk bertemu) kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dan bertanya): 'Apa yang aku kerjakan?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: 'Mandilah dan beristitsfarlah [2], dan berihramlah'." [Riwayat Muslim (2941) 8/404, Abu Dawud no. 1905 dan 1909, dan Ibnu Majah no. 3074.]

Apabila tidak mendapatkan air maka tidak bertayammum, karena bersuci yang disunnahkan apabila tidak dapat menggunakan air maka tidak bertayamum. Allah l menyebutkan tayammum dalam bersuci dari hadats sebagaimana firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)…". [al-Mâ`idah/5 : 6].

Oleh karena itu, tidak bisa dianalogikan (dikiaskan) kepada yang lainnya. Juga karena tidak ada contoh atau perintah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bertayammum apalagi jika mandi ihram tersebut untuk kebersihan dengan dalil perintah beliau kepada Asma` bintu Umais yang sedang haidh untuk mandi tersebut.

2. Disunnahkan untuk memakai minyak wangi ketika ihram, sebagaimana dikatakan oleh 'Aisyah Radhiyallahu anha :

كُنْتُ أُطَيِّبُ النَّبِيَّ n لإِحْرَامِهِ قَبْلَ اَنْ يُحْرِمَ وَ لِحِلَِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوْفَ بِاْلبَيْتِ.

"Aku memakaikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wangi-wangian untuk ihramnya sebelum berihram, dan ketika halalnya sebelum thawaf di Ka'bah".[HR Bukhâri no.1539, dan Muslim no. 1189].

Dalam pemakaian minyak wangi ini hanya diperbolehkan pada anggota badan, dan bukan pada pakaian ihramnya, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَلْبَسُوْا ثَوْبًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَ لاَ الْوَرَسُ

"Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za'faran dan wars". [Muttafaqun alaih].

Memakai minyak wangi ini ada dua keadaan:
a. Memakainya sebelum mandi dan berihram, dan ini disepakati tidak ada permasalahan.
b. Memakainya setelah mandi dan sebelum berihram dan minyak wangi tersebut tidak hilang, maka ini dibolehkan oleh para ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan pendapatnya.

Dalil dibolehkannya pemakaian minyak wangi dalam ihram, yaitu hadits Aisyah, beliau berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ اِذَا أَرَادَ أَنْ يُحْرِمَ يَتَطَيَّبَ بِأَطْيَبِ مَا يَجِدُ ثُمَّ أَرَى وَبِيْصَ الدُّهْنِ فِيْ رَأْسِهِ وَ لِحْيَتِهِ بَعْدَ ذَلِكَ (رواه مسلم)

"Apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin berihram, (beliau) memakai wangi-wangian yang paling wangi yang beliau dapatkan, kemudian aku melihat kilatan minyak di kepalanya dan jenggotnya setelah itu". [HR Muslim no.2830].

'Aisyah Radhiyallahu anha berkata pula:

كَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلَى وَبِيْصَ الْمِسْكِ فِيْ مَفْرَقِ رَسُوْلِ اللهِ وَ هُوَ مُحْرِمٌ

"Seakan-akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan beliau dalam keadaan ihram". [HR Muslim no. 2831, dan Bukhâri no. 5923].

Ada satu permasalahan:
Apabila seseorang memakai wangi-wangian di badannya, yaitu di kepala dan jenggotnya, tetapi kemudian minyak wangi itu menetes atau meleleh ke bawah, apakah hal ini mempengaruhi atau tidak?

Jawabnya: Tidak mempengaruhi, karena perpindahan minyak wangi tersebut dengan sendirinya dan tidak dipindahkan, dan juga karena tampak pada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabatnya tidak menghiraukan kalau minyak wangi tersebut menetes, lantaran mereka memakainya pada keadaan yang dibolehkan [3].

Kemudian, jika seseorang yang berihram (muhrim) akan berwudhu, dan dia telah memakai minyak rambut yang wangi, maka tentu akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya. Jika ia lakukan, maka minyak tersebut akan menempel ke kedua telapak tangannya walaupun hanya sedikit, maka apakah perlu memakai kaos tangan ketika akan mengusap kepala tersebut?

Syaikh Muhammad Shâlih al-'Utsaimîn pernah memberikan penjelasan tentang masalah ini. Syaikh berkata: "Tidak perlu, bahkan hal itu termasuk berlebih-lebihan dalam agama, dan tidak ada dalilnya. Demikian juga tidak mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit. Dia cukup mengusapnya dengan telapak tangannya karena ini termaasuk yang dimaafkan" [4].

3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung dan selendang, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:

لِيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ فِىْ إِزَارٍ وَ رِدَاءٍ وَ نَعْلَيْنِ

"Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan menggunakan sarung dan selendang serta sepasang sandal". [HR Ahmad 2/34, dan dishahîhkan sanadnya oleh Ahmad Syakir].

Dua helai kain itu diutamakan berwarna putih, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

خَيْرُ ثِيَابِكُمُ اْلبَيَاضُ فَالْبَسُوْهَا َوكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَكُمْ

"Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang putih, maka kenakanlah dia dan kafanilah mayat kalian dengannya". [HR Ahmad. Lihat Syarah Ahmad Syakir, 4/2219, dan ia berkata: "Isnadnya shahîh"]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah di dalam kitab manasik (hlm. 21) berkata: "Disunnahkan untuk berihram dengan dua kain yang bersih. Jika keduanya berwarna putih maka itu lebih utama, dan dibolehkan ihram dengan segala jenis kain yang dimubahkan dari katun shuf (bulu domba), dan lain sebagainya. Dibolehkan berihram dengan kain putih dan yang tidak putih dari warna-warna yang diperbolehkan [5], walaupun berwarna-warni". Sedangkan bagi wanita, ia tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan.

4. Disunahkan berihram setelah shalat. Disebutkan dalam hadits Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhuma dalam Shahîh Bukhâri bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَتَانِيَ اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّيْ فَقَالَ : صَلِّ فِيْ هَذَا الْوَادِيْ الْمُبَارَكِ وَقُلْ عُمْرَةً فِيْ حَجَّةٍ

"Telah datang tadi malam utusan dari Rabbku lalu berkata: "Shalatlah di Wadi yang diberkahi ini dan katakan: 'Umratan fî hajjatin'."

Juga hadits Jabir Radhiyallahu 'anhu

فَصَلَّى رَسُوْلُ اللهِ فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ رَكِبَ الْقَصْوَاءَ حَتَّى إِذَا اسْتَوَتْ بِهِ نَاقَتُهُ عَلَى الْبَيْدَاءِ أَهَلَّ بِالْحَجِّ

"Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di masjid (Dzul Hulaifah), kemudian beliau menaiki al-Qaswa' (nama onta beliau). Sampai ketika ontanya berdiri di al-Baida', beliau berihram untuk haji". [HR Muslim]

Sehingga sesuai dengan sunnah maka yang lebih utama dan sempurna, ialah berihram setelah shalat fardhu. Akan tetapi, apabila tidak mendapatkan waktu shalat fardhu maka terdapat dua pendapat dari para ulama:

a. Tetap disunnahkan shalat dua rakaat, dan demikian ini pendapat jumhur, yaitu berdalil dengan keumuman hadits Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu.

صَلِّ فِيْ هَذَا الْوَادِي

"Shalatlah di Wadi (lembah) ini".

b. Tidak disyariatkan shalat dua rakaat, dan demikian ini pendapat Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau mengatakan di dalam Majmu' Fatâwâ (26/108): "Disunnahkan berihram setelah shalat, baik fardhu maupun sunnah. Kalau ia berada pada waktu tathawu' -menurut salah satu dari dua pendapatnya- dan yang lain kalau dia shalat fardhu, maka berihram setelahnya; dan jika tidak maka tidak ada shalat yang khusus bagi ihram; dan inilah yang râjih".

Di dalam Ikhtiyarat (hlm. 116) beliau menyatakan: "Berihram setelah shalat fardhu kalau ada, atau sunnah (nafilah); karena ihram tidak memiliki shalat yang khusus untuknya".

Demikianlah, tidak ada shalat dua rakaat khusus untuk ihram.

5. Berniat untuk melaksanakan salah satu manasik, dan disunnahkan untuk diucapkan. Dibolehkan untuk memilih salah satu dari tiga nusuk, yaitu ifrad, qiran dan tamattu', sebagaimana dikatakan oleh 'Aisyah Radhiyallahu 'anha.

خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ وَ مِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ عُمْرَةٍ وَ مِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ أَهَلَّ رَسُوْلُ اللهِ بِالْحَجِ فأَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِعَمْرَةٍ فَحَلَّ عَنْهُ قُدُوْمُهُ وَ أَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ أَوْ جَمَعَ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَلَمْ يُحِلُّوْا حَتَّى كَانَ يَوْمَ النَّحْرِ (متفق عليه)

"Kami telah keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada tahun haji Wada' maka ada di antara kami yang berihram dengan umrah dan ada yang berihram dengan haji dan umrah, dan ada yang berihram dengan haji saja, sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berihram dengan haji saja. Adapun yang berihram dengan umrah maka dia halal setelah datangnya [6], dan yang berihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan umrah tidak halal (lepas dari ihramnya) sampai dia berada di hari nahar [7]." [Mutafaq 'alaih].

Oleh karena itu, seseorang yang bermanasik ifrad, ia mengatakan:

لَبَّيْكَ حَجًّا atau لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ حَجًّا

dan seseorang yang bermanasik tamattu', ia mengatakan:

لَبَّيْكَ عُمْرَةً atau لَبَّيْكَ الَّلهُمّ عُمْرَةً

dan ketika hari Tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan:

لَبَّيْكَ حَجًّا atau لَبَّيْكَ الَّلهُمّ حَجًّا

Adapun sunnah yang bermanasik qiran, ia menyatakan:

لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَ حَجًّا

Setelah itu disunnahkan memperbanyak talbiyah hingga sampai ke Ka’bah untuk melaksanakan thawaf.

Demikian penjelasan secara ringkas tentang ihram saat haji dan umrah. Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu Ta'ala a'lam bish-Shawab.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,

________
Footnote
[1]. Lihat Mudzakirat, Syarah 'Umdah (hlm. 65), dan Syarhul-Mumti' (6/67).
[2]. Istitsfar, ialah suatu usaha untuk mencegah keluarnya darah dari kemaluan orang yang haidh atau nifas dengan cara mengambil kain yang memanjang, diletakkan pada tempat darah tersebut dan dilapisi dengan bahan yang tidak tembus darah yang diambil ujung-ujunnya untuk diikatkan di perut. Adapun pada zaman sekarang telah ada pembalut wanita. Lihat Syarah Muslim, 8/404.
[3]. Lihat Syarhul-Mumti', 6/73-74.
[4]. Syarhul-Mumti', 6/74.
[5]. Dinukil dari Syarhul-Mumti', 6/75.
[6]. Setelah melakukan umrah dengan melakukan thawaf dan sa'i.
[7]. Pada tanggal 10 Dzul Hijjah.

Kategori Fiqih : Haji & Umrah Renungan Usai Menunaikan Haji


RENUNGAN USAI MENUNAIKAN HAJI [1]     https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,     Ibadah kepada Allah adalah simbol ketundukan, bukti keimanan dan tanda ketaatan. Secara zhahir, ibadah merupakan kemuliaan dan kebanggaan hati. Penghambaan kepada Allah Azza wa Jalla mengantarkan pada kedudukan derajat tertinggi, dan merupakan tujuan paling agung.

Beberapa hari yang lalu, jama'ah haji telah menyelesaikan salah satu ibadah di antara ibadah-ibadah yang besar. Mereka meninggalkan pakaian yang berjahit saat ihrâm karena Allah. Air mata taubat membasahi pipi saat berada di padang Arafah. Semua suara dengan berbagai bahasa sontak menyuarakan dan mengakui ketergantungan mereka kepada Allah Azza wa Jalla. Semua manusia bergerak menuju Muzdalifah untuk bermalam, selanjutnya berangkat melempar jumrah dan thawaf di sekitar Ka'bah yang dimuliakan, lalu sa'i antara bukit Shafa dan Marwa.

Semua dilakukan dalam sebuah perjalanan yang sangat indah. Setelah itu, mereka kembali dengan hati berbunga karena senang dengan karunia Allah Azza wa Jalla yang dianugerahkan kepadanya. Allah berfirman :

"Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya; hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". [Yûnus/10:58].

Sebuah karunia yang lebih baik daripada dunia beserta isinya. Dunia beserta isinya hanya bersifat sementara, ia akan pergi dan sirna; keindahan yang hanya sedikit dan mudah sirna. Kami ucapkan selamat kepada para jama'ah haji karena haji mereka, dan kepada ahli ibadah karena ibadah dan kesungguh-sungguhan mereka.

Kami ucapkan selamat dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

إِذَا تَقَرَّبَ الْعَبْدُ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِذَا تَقَرَّبَ مِنِّي ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا وَإِذَا أَتَانِي مَشْيًا أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

"Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku mendekat kepadanya satu hasta. Jika dia mendekat kepada-Ku satu hasta, Aku mendekat kepadanya sejauh dua rentangan tangan. Jika dia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku mendatangi dia dengan berlari kecil". [HR Imam al-Bukhâri]

Pujilah Allah dan bersyukurlah kepada Allah Azza wa Jalla atas nikmat yang diberikan kepada kalian, niscaya kebaikan dan anugerah-Nya kepada kalian tidak akan terputus, serta karunia-Nya akan sempurna. Allah berfirman :

"Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)". [an-Nahl/16:53].

TANDA-TANDA HAJI MABRUR
Kalian datang dari tempat-tempat yang jauh. Kini kalian telah menyelesaikan ibadah haji, setelah wukuf dan setelah kalian melaksanakan ibadah lainnya. Kini kalian bersiap-siap untuk kembali ke negeri masing-masing. Maka janganlah kalian kembali mengotori diri dengan kembali kepada hal-hal yang diharamkan dan yang tercela. Allah berfirman :

"Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai-berai kembali". [an-Nahl/16:92].

Seorang wanita dungu, tidak berakal, setelah berusaha siang malam menyulam pakaiannya, dan ketika sudah jadi, dia kemudian mengurainya lagi dan melepaskan ikatan-ikatannya. Dia tidak mendapatkan hasil apapun dari pekerjaan itu kecuali rasa capai dan letih. Janganlah kalian seperti orang yang disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya di atas! Janganlah kalian menghancurkan yang sudah kalian bangun! Jangan mencerai-beraikan yang sudah kalian rangkai menjadi satu

Kalian telah membuka lembaran baru dalam kehidupan kalian serta mengenakan pakaian baru nan suci setelah menunaikan ibadah haji, maka jangan sekali-kali kalian kembali melakukan perbuatan-perbuatan yang mengandung kenistaan. Janganlah kalian meniti kembali jalan-jalan keburukan serta perbuatan keji lainnya. Alangkah indahnya, jika perbuatan baik diiringi lagi dengan perbuatan baik. Dan alangkah buruknya, jika perbuatan baik diiringi dengan perbuatan buruk.

Haji mabrur dan haji yang diterima itu memiliki tanda-tanda. Hasan al-Basri rahimahullah pernah ditanya: "Apa yang dimaksud haji mabrur?"

Beliau rahimahullah menjawab: "Engkau kembali (setelah berhaji) dalam keadaan zuhud dengan kehidupan dunia dan senang dengan kehidupan akhirat".

Maka, hendaklah ibadah haji yang sudah Anda tunaikan menjadi penghalang Anda dari tempat-tempat yang membinasakan dan menggelincirkan. Hendaklah haji Anda menjadi motivator untuk menambah bekal kebaikan dan melakukan amal shalih. Ketahuilah, seorang mukmin itu tidak memiliki batas akhir melakukan amal shalih kecuali ajal datang menjemput.

Alangkah indahnya, jika para jama'ah haji kembali ke tengah keluarga dan negara mereka dengan penampilan akhlak yang lebih bagus, pikiran yang lebih mantap, lebih berwibawa, dan berbagai perilaku yang mengundang ridha Allah Azza wa Jalla.

Alangkah indahnya, jika para jama'ah haji setelah kembali memiliki perilaku yang baik dalam pergaulan sehari-hari dengan teman sejawat, dalam pergaulan bersama anak-anaknya, berhati baik serta menempuh manhaj yang benar, adil. Yang tersimpan dalam hatinya lebih baik dari yang nampak.

Sungguh, jika ada orang yang memiliki sifat-sifat tersebut setelah menunaikan ibadah haji, maka dialah orang yang benar-benar bisa mengambil manfaat dari ibadah haji, bisa memetik hikmah-hikmahnya serta pelajaran-pelajaran yang terkandung di dalamnya.

Apa yang dilakukan oleh orang yang sedang berhaji, sejak ihram sampai selesai, semuanya memperkenalkan dirinya kepada Allah Azza wa Jalla, mengingatkannya akan hak-hak Allah Azza wa Jalla serta kekhususan-kekhususan yang dimiliki Allah Azza wa Jalla ; bahwa Dia-lah Allah, tidak ada yang berhak untuk diibadahi kecuali Dia. Semuanya mengingatkan, bahwa Dia-lah yang Esa, tempat jiwa berpasrah diri dan wajah ditengadahkan. Hanya Dia-lah tempat bergantung dalam memohon semua kebutuhan, dan tempat berlindung dari segala yang tidak diinginkan; dan hanya Dia-lah tempat memohon ketika dilanda musibah.

Lalu setelah itu, bagaimana mungkin dengan mudahnya seorang yang sudah berhaji memalingkan salah satu di antara hak-hak Allah ini kepada selain Allah Azza wa Jalla, seperti doa, istighatsah, isti'anah, menyembelih dan lain sebagainya? Lalu, haji apakah yang didapatkan oleh orang yang melakukan kesyirikan secara nyata atau perbuatan buruk setelah menunaikan ibadah haji?

Haji apakah yang didapatkan oleh orang, yang sekembalinya dari berhaji dia mendatangi tukang sulap, penyihir, mempercayai ahli nujum, tabarruk (ngalap berkah) dengan perantara pepohonan, batu dan mengenakan ajimat?
Haji apakah yang didapatkan oleh orang, yang sekembalinya dari berhaji dia melalaikan shalat, malas mengeluarkan zakat, memakan harta riba dan suap, mengkonsumsi narkoba dan khamr, memutuskan silaturahmi dan tenggelam dalam kubangan dosa?

PELAJARAN YANG DIPEROLEH DARI MENJAUHI PANTANGAN-PANTANGAN IHRAM SELAMA BERHAJI.
Ketahuilah, di antara pantangan atau larangan-larangan itu ada yang berlaku selamanya. Maka, janganlah kalian melakukannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya". [al-Baqarah/2:229].

Orang yang berihram untuk memenuhi panggilan Allah Azza wa Jalla, bagaimana mungkin setelah itu dia memenuhi ajakan atau seruan yang bertentangan dengan din (agama) Allah Azza wa Jalla.

Orang yang mengucapkan talbiyah dalam ibadah haji, bagaimana mungkin setelah itu dia tidak berhukum dengan syariat Allah Azza wa Jalla, atau tunduk kepada selain hukum-Nya, atau rela dengan selain risalah Allah?

Orang yang memenuhi panggilan Allah dalam ibadah haji, semestinya juga memenuhi panggilan-Nya setiap waktu dan di setiap tempat dengan cara menaati perintah-Nya, tidak ragu dan bimbang, tidak bisa dihalang-halangi. Dia hanya mendengar dan taat kepada Allah serta tunduk kepada-Nya.

Istiqamahlah! Tetaplah beramal, karena engkau tidak sedang berada di negeri abadi! Hindari riya'! Terkadang perbuatan yang terlihat sepele bisa bernilai besar karena niatnya, dan terkadang perbuatan yang nampak besar bisa bernilai kecil karena niatnya. Sebagian ulama salaf berkata: "Barang siapa yang amalnya ingin disempurnakan, maka hendaklah ia perbaiki niatnya". Jadilah orang yang senantiasa khawatir amalnya tidak diterima.

Diriwayatkan dari 'Aisyah Radhiyallahu anha, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang ayat –Qs al-Mukminûn/23 ayat 60-

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ

(Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut),

أَهُمْ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الْخَمْرَ وَيَسْرِقُونَ قَالَ لَا يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُمْ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لَا يُقْبَلَ مِنْهُمْ

(Aisyah bertanya:) "Apakah mereka ini orang-orang yang minum khamr dan mencuri?"

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Bukan, wahai putri ash-Shiddiq, akan tetapi mereka ini ialah orang-orang yang berpuasa, shalat, bershadaqah dan mereka khawatir amalannya tidak diterima Allah Azza wa Jalla".

(Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan) -Qs al Mukminûn/23 ayat 61". [HR Imam at-Tirmidzi].

ALLAH HANYA MENERIMA AMALAN DARI ORANG-ORANG YANG BERTAQWA
Bertakwalah kepada Allah Azza wa Jalla setiap saat. Ingatlah firman Allah Azza wa Jalla dalam kitab-Nya:

"Sesungguhnya Allah hanya menerima (qurban) dari orang-orang yang bertakwa". [al-Mâidah/5:27].

Bertakwalah kepada Allah Azza wa Jalla, karena takwa merupakan bekal terbaik, dan memberi pengaruh terbaik di akhirat kelak. Hendaklah kita menyadari, bahwa dunia ini sabagai tempat berlomba. Barang siapa yang cepat, dia dapat, yang terlambat maka ia akan rugi. Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan rahmat kepada orang yang senantiasa memperhatikan lalu berfikir, setelah itu dia mengambil pelajaran. Allah berfirman :

"Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa". [Hûd/11:49].

PELAJARAN YANG DIPEOLEH SAAT BERMUKIM DI MADINAH
Hendaklah kalian selalu ingat, bahwa kalian sudah menapakkan kaki di negeri yang diberkahi Allah Azza wa Jalla. Sebuah wilayah yang pernah diinjak oleh dua tumit yang paling mulia. Sebuah negeri yang pernah didiami oleh sayyid (tuan) jin dan manusia, yaitu Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka hendaklah kalian senantiasa mengingat Allah Azza wa Jalla dalam mempelajari sunnahnya Shallallahu 'alaihi wa sallam, mengetahui sirah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu berjalan di atas jalan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, mengikuti petunjuk serta manhaj beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini hanya akan terwujud dengan tetap memohon pertolongan kepada Allah, ilah yang berhak diibadahi. Allah Azza wa Jalla berfiman.

"Barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus" [Ali Imran/3 : 101]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
PENUTUP
Hendaklah haji yang kalian tunaikan menjadi awal untuk memulai kehidupan yang lebih baik, dan hendaklah menjadi bukti kejujuran hati. Semoga Allah menerima ibadah haji dan sa'i kalian. Semoga Allah Azza wa Jalla mengembalikan hari-hari yang penuh barakah ini kepada kita semua pada tahun-tahun dan masa-masa yang akan datang, dan kaum kaum muslimin juga dalam keadaan berjaya.