SEBAGIAN MAJALAH MENYEBUTKAN BAHWA MENGKHITAN WANITA ADALAH KEBIASAAN YANG BURUK.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Khitan bagi wanita termasuk
sunnah ataukah kebiasaan yang buruk ? saya membaca di salah satu majalah
bahwa mengkhitan wanita bagaimanapun bentuknya adalah kebiasaan buruk
dan membahayakan dari sisi kesehatan, bahkan bisa menyebabkan pada
kemandulan. Benarkah hal tersebut ?"
Jawaban.
Mengkhitan anak perempuan hukummnya sunnah, bukan merupakan kebiasaan
buruk, dan tidak pula membahayakan jika tidak berlebihan. Namun apabila
berlebihan, bisa saja membahayakan baginya.
[Fatwa Lanjah Daimah lil Ifta ; 5/120]
HUKUM BERPESTA PORA DALAM PERAYAAN KHITAN
Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta'
Pertanyaan.
Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : "Apa hukum mengkhitan wanita, dan apa hukum berpesta pora dalam perayaan khitan ?"
Jawaban.
Khitan bagi wanita disunnahkan dan merupakan kehormatan bagi mereka.
Sedangkan berpesta dalam perayaan khitan, kami tidak mendapatkan
dasarnya sama sekali dalam syari'at Islam yang suci ini. Adapun perasaan
senang dan gembira karenanya, merupakan hal yang sudah seharusnya,
karena khitan merupakan perkara yang disyariatkan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman.
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
"Katakanlah. Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu
mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah labih baik dari apa
yang mereka kumpulkan" [Yunus : 58]
Khitan merupakan keutamaan dan rahmat dari Allah, maka membuat kue-kue
pada saat dikhitan dengan tujuan untuk bersyukur kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala boleh dilakukan.
[Fatawa Lajnah Daimah Lil Ifta 5/123]
Minggu, 21 Oktober 2012
Kategori Risalah : Anak Keutamaan Mendidik Anak Perempuan
KEUTAMAAN MENDIDIK ANAK PEREMPUAN
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa mengasuh dua orang anak perempuan sehingga berumur baligh, maka dia akan datang pada hari Kiamat kelak, sedang aku dan dirinya seperti ini.” Dan beliau menghimpun kedua jarinya.” [HR. Muslim]
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
“Ada seorang wanita yang masuk menemuiku dengan membawa dua orang anak perempuan untuk meminta-minta, tetapi aku tidak mempunyai apa-apa kecuali hanya satu butir kurma. Lalu aku memberikan kurma itu kepadanya. Selanjutnya, wanita itu membagi satu butir kurma itu untuk kedua anak perempuannya sedang dia sendiri tidak ikut memakannya. Lantas, wanita itu bangkit dan keluar. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada kami, maka aku ceritakan peristiwa itu kepada beliau, maka beliau pun berkata, ‘Barangsiapa yang diuji dengan anak-anak perempuan, lalu dia mengasuhnya dengan baik, maka anak-anak perempuan itu akan menjadi tirai pemisah dari api Neraka." [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
An-Nawawi rahimahullah mengatakan di dalam kitab Syarh Muslim (V/ 485), “Disebut ibtilaa’ (ujian), karena biasanya orang-orang tidak menyukainya.
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.’ [An-Nahl: 58]
Lebih lanjut, an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits-hadits ini terdapat keutamaan berbuat baik kepada anak-anak perempuan, memberikan nafkah kepada mereka, bersabar dalam mengasuhnya, dan mengurus seluruh urusannya.”
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, dia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa memiliki tiga orang anak perempuan, lalu dia bersabar dalam menghadapinya serta memberikan pakaian kepadanya dari hasil usahanya, maka anak-anak itu akan menjadi dinding pemisah baginya dari siksa Neraka.” [HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Adaabul Mufrad dan hadits ini shahih]
Mengenai hak wanita, Allah Ta’ala berfirman:
"…Dan jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." [An-Nisaa': 19]
Demikian juga pada anak-anak perempuan. Tidak jarang seorang hamba mendapatkan kebaikan yang sangat banyak di dunia dan akhirat dari anak-anak perempuan. Dan cukuplah sebagai keburukan, orang yang tidak menyenangi mereka bahwasanya ia benci pada apa yang diridhai dan diberikan Allah kepada hamba-Nya.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa mengasuh dua orang anak perempuan sehingga berumur baligh, maka dia akan datang pada hari Kiamat kelak, sedang aku dan dirinya seperti ini.” Dan beliau menghimpun kedua jarinya.” [HR. Muslim]
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata:
“Ada seorang wanita yang masuk menemuiku dengan membawa dua orang anak perempuan untuk meminta-minta, tetapi aku tidak mempunyai apa-apa kecuali hanya satu butir kurma. Lalu aku memberikan kurma itu kepadanya. Selanjutnya, wanita itu membagi satu butir kurma itu untuk kedua anak perempuannya sedang dia sendiri tidak ikut memakannya. Lantas, wanita itu bangkit dan keluar. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada kami, maka aku ceritakan peristiwa itu kepada beliau, maka beliau pun berkata, ‘Barangsiapa yang diuji dengan anak-anak perempuan, lalu dia mengasuhnya dengan baik, maka anak-anak perempuan itu akan menjadi tirai pemisah dari api Neraka." [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
An-Nawawi rahimahullah mengatakan di dalam kitab Syarh Muslim (V/ 485), “Disebut ibtilaa’ (ujian), karena biasanya orang-orang tidak menyukainya.
Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.’ [An-Nahl: 58]
Lebih lanjut, an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits-hadits ini terdapat keutamaan berbuat baik kepada anak-anak perempuan, memberikan nafkah kepada mereka, bersabar dalam mengasuhnya, dan mengurus seluruh urusannya.”
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, dia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa memiliki tiga orang anak perempuan, lalu dia bersabar dalam menghadapinya serta memberikan pakaian kepadanya dari hasil usahanya, maka anak-anak itu akan menjadi dinding pemisah baginya dari siksa Neraka.” [HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Adaabul Mufrad dan hadits ini shahih]
Mengenai hak wanita, Allah Ta’ala berfirman:
"…Dan jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." [An-Nisaa': 19]
Demikian juga pada anak-anak perempuan. Tidak jarang seorang hamba mendapatkan kebaikan yang sangat banyak di dunia dan akhirat dari anak-anak perempuan. Dan cukuplah sebagai keburukan, orang yang tidak menyenangi mereka bahwasanya ia benci pada apa yang diridhai dan diberikan Allah kepada hamba-Nya.
Kategori Risalah : Anak Hukum Khitan Dan Disyariatkan Khitan Bagi Wanita
HUKUM KHITAN
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
Yang paling rajih hukum khitan adalah wajib, ini yang ditujukkan oleh dalil-dalil dan mayoritas pendapat ulama. Perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah tsabit terhadap seorang laki-laki yang telah ber-Islam untuk berkhitan. Beliau bersabda kepadanya :
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفِرِ وَاخْتَتِنْ
Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah".
Ini merupakan dalil yang paling kuat atas wajibnya khitan.
Berkata Syaikh Al-Albani dalam 'Tamamul Minnah hal 69 :
"Adapun hukum khitan maka yang tepat menurut kami adalah wajib dan ini merupakan pendapatnya jumhur seperti Imam Malik, Asy-Syafi'i, Ahmad dan pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Qayyim. Beliau membawakan 15 sisi pendalilan yang menunjukkan wajibnya khitan. Walaupun satu persatu dari sisi tersebut tidak dapat mengangkat perkara khitan kepada hukum wajib namun tidak diragukan bahwa pengumpulan sisi-sisi tersebut dapat mengangkatnya. Karena tidak cukup tempat untuk menyebutkan semua sisi tersebut maka aku cukupkan dua sisi saja :
1. Firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Kemudian Kami wahyukan kepadamu ; 'Ikutilah millahnya Ibrahim yang hanif" [An-Nahl : 123]
Khitan termasuk millah Ibrahim sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah yang telah lalu. Sisi ini merupakan hujjah yang terbaik sebagaimana kata Al-Baihaqi yang dinukil oleh Al-Hafidzh (10/281).
2. Khitan termasuk syi'ar Islam yang paling jelas, yang dibedakan dengan seorang muslim dari seorang nashrani. Hampir-hampir tidak dijumpai dari kaum muslimin yang tidak berkhitan" [selesai ucapan Syaikh]"
Kami tambahkan sisi ke tiga yang menunjukkan wajibnya khitan. Al-Hafizh menyebutkan sisi ini dalam 'Fathul Baari (10/417)' dari Imam Abu Bakar Ibnul Arabi ketika ia berbicara tentang hadits : "Fithrah itu ada lima ; khitan, mencukur rambut kemaluan ....". Ia berkata :
"Menurutku kelima perkara yang disebutkan dalam hadits ini semuanya wajib. Karena seseorang jika ia meninggalkan lima perkara tersebut tidak tampak padanya gambaran bentuk anak Adam (manusia), lalu bagaimana ia digolongkan dari kaum muslimin" (Selesai ucapan Al-Imam)"
Hukum khitan ini umum bagi laki-laki dan wanita, hanya saja ada sebagian wanita yang tidak ada pada mereka bagian yang bisa dipotong ketika khitan yaitu apa yang diistilahkan klitoris (kelentit). Kalau demikian keadaannya maka tidak dapat dinalar bila kita memerintah mereka untuk memotongnya padahal tidak ada pada mereka.
Berkata Ibnul Hajj dalam Al-Madkhal (3/396) :
"Khitan diperselisihkan pada wanita, apakah mereka dikhitan secara mutlak atau dibedakan antara penduduk Masyriq (timur) dan Maghrib (barat). Maka penduduk Masyriq diperintah untuk khitan karena pada wanita mereka ada bagian yang bisa dipotong ketika khitan, sedangkan penduduk Maghrib tidak diperintah khitan karena tidak ada bagian tersebut pada wanita mereka. Jadi hal ini kembali pada kandungan ta'lil (sebab/alasan)".
DISYARIATKANNYA KHITAN BAGI WANITA
KHITAN
Telah tsabit masalah khitan dalam sunnah yang suci dalam beberapa hadits di antaranya :
1. Abu Haurairah Radhiyallahu 'anhu berkata : 'Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
الْفِرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّرِبِ وَتَقْلِيمُ اْلأَضْفَارِ وَنَتْفُ اْلآبَاطِ
"Artinya : Fithrah itu ada lima : Khitan, Mencukur bulu kemaluan, Memotong kumis, Menggunting kuku dan Mencabut bulu ketiak" [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (6297 - Fathul Bari), Muslim (3/257 - Nawawi), Malik dalam Al-Muwatha (1927), Abu Daud (4198), At-Tirmidzi (2756), An-Nasa'i (1/14-15), Ibnu Majah (292), Ahmad dalam Al-Musnad (2/229) dan Al-Baihaqi (8/323)]
2. Dari Utsaim bin Kulaib dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya kakeknya datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata. "Aku telah masuk Islam". Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya.
قَدْ أَسْلَمْتُ فَقَالَ لَهُ النَِّبيُ صَلَّى اللهٌ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفِرِ وَاخْتَتِنْ
"Artinya : Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah" [Hasan, Dikeluarkan Abu Daud (356), Ahmad (3/415) dan Al-Baihaqi (1/172). Berkata Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa' (79) : Hadits ini hasan karena memiliki dua syahid, salah satunya dari Qatadah Abu Hisyam dan yang lainnya dari Watsilah bin Asqa'. Aku telah berbicara tentang kedua hadits ini dan aku terangkan pendalilan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dengannya dalam Shahih Sunan Abi Daud nomor (1383)]
3. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahawasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِلْخَتَتَنَ إِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمَانِ بَعْدَ ماَ أَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَةً
"Artinya : Nabi Ibrahim berkhitan setelah beliau berusia 80 tahun" [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (6298 - Fathul Bari), Muslim (2370), Al-Baihaqi (8/325), Ahmad (2/322-418) dan ini lafadz beliau]
Dalam hadits-hadits di atas ada keterangan masyru'nya khitan dan orang
dewasa jika beluam dikhitan juga diperintahkan melakukannya.
DISYARI'ATKANNYA KHITAN BAGI WANITA
Dalam hal ini ada beberapa hadits, di antaranya.
1. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ummu Athiyah (wanita tukang khitan):
أُخْفُضِي وَلَا تُنْهِكِي فَإِنَّهُ أَنْضَرُ لِلْوَجْهِ أَحْضَى لِلْزَوْجِ
"Artinya : Khitanlah dan jangan dihabiskan (jangan berlebih-lebihan dalam memotong bagian yang dikhitan) karena yang demikian lebih cemerlang bagi wajah dan lebih menyenangkan (memberi semangat) bagi suami" [Shahih, Dikeluarkan oleh Abu Daud (5271), Al-Hakim (3/525), Ibnu Ady dalam Al-Kamil (3/1083) dan Al-Khatib dalam Tarikhnya 12/291)]
2. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
إذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
"Artinya : Bila telah bertemu dua khitan (khitan laki-laki dan wanita dalam jima'-pent) maka sungguh telah wajib mandi (junub)" [Shahih, Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi (108-109), Asy-Syafi'i (1/38), Ibnu Majah (608), Ahmad (6/161), Abdurrazaq (1/245-246) dan Ibnu Hibban (1173-1174 - Al Ihsan)]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menisbatkan khitan pada wanita, maka ini merupakan dalil disyariatkan juga khitan bagi wanita.
3. Riwayat Aisyah Radhiyallahu 'anha secara marfu'.
اِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْخُسْلُ
"Artinya : Jika seorang lelaki telah duduk di antara cabang wanita yang empat (kinayah dari jima, -pent) dan khitan yang satu telah menyentuh khitan yang lain maka telah wajib mandi (junub)" [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (1/291 - Fathul Bari), Muslim (249 - Nawawi), Abu Awanah (1/269), Abdurrazaq (939-940), Ibnu Abi Syaibah (1/85) dan Al-Baihaqi (1/164)]
Hadits ini juga mengisyaratkan dua tempat khitan yang ada pada lelaki dan wanita, maka ini menunjukkan bahwa wanita juga dikhitan.
Berkata Imam Ahmad : "Dalam hadits ini ada dalil bahwa para wanita dikhitan" [Tuhfatul Wadud].
Hendaklah diketahui bahwa pengkhitanan wanita adalah perkara yang ma'ruf (dikenal) di kalangan salaf. Siapa yang ingin mendapat tambahan kejelasan maka silahkan melihat 'Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah (2/353) karena di sana Syaikh Al-Albani -semoga Allah memberi pahala pada beliau- telah menyebutkan hadits-hadits yang banyak dan atsar-atsar yang ada dalam permasalahan ini.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
Yang paling rajih hukum khitan adalah wajib, ini yang ditujukkan oleh dalil-dalil dan mayoritas pendapat ulama. Perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah tsabit terhadap seorang laki-laki yang telah ber-Islam untuk berkhitan. Beliau bersabda kepadanya :
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفِرِ وَاخْتَتِنْ
Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah".
Ini merupakan dalil yang paling kuat atas wajibnya khitan.
Berkata Syaikh Al-Albani dalam 'Tamamul Minnah hal 69 :
"Adapun hukum khitan maka yang tepat menurut kami adalah wajib dan ini merupakan pendapatnya jumhur seperti Imam Malik, Asy-Syafi'i, Ahmad dan pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Qayyim. Beliau membawakan 15 sisi pendalilan yang menunjukkan wajibnya khitan. Walaupun satu persatu dari sisi tersebut tidak dapat mengangkat perkara khitan kepada hukum wajib namun tidak diragukan bahwa pengumpulan sisi-sisi tersebut dapat mengangkatnya. Karena tidak cukup tempat untuk menyebutkan semua sisi tersebut maka aku cukupkan dua sisi saja :
1. Firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Kemudian Kami wahyukan kepadamu ; 'Ikutilah millahnya Ibrahim yang hanif" [An-Nahl : 123]
Khitan termasuk millah Ibrahim sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah yang telah lalu. Sisi ini merupakan hujjah yang terbaik sebagaimana kata Al-Baihaqi yang dinukil oleh Al-Hafidzh (10/281).
2. Khitan termasuk syi'ar Islam yang paling jelas, yang dibedakan dengan seorang muslim dari seorang nashrani. Hampir-hampir tidak dijumpai dari kaum muslimin yang tidak berkhitan" [selesai ucapan Syaikh]"
Kami tambahkan sisi ke tiga yang menunjukkan wajibnya khitan. Al-Hafizh menyebutkan sisi ini dalam 'Fathul Baari (10/417)' dari Imam Abu Bakar Ibnul Arabi ketika ia berbicara tentang hadits : "Fithrah itu ada lima ; khitan, mencukur rambut kemaluan ....". Ia berkata :
"Menurutku kelima perkara yang disebutkan dalam hadits ini semuanya wajib. Karena seseorang jika ia meninggalkan lima perkara tersebut tidak tampak padanya gambaran bentuk anak Adam (manusia), lalu bagaimana ia digolongkan dari kaum muslimin" (Selesai ucapan Al-Imam)"
Hukum khitan ini umum bagi laki-laki dan wanita, hanya saja ada sebagian wanita yang tidak ada pada mereka bagian yang bisa dipotong ketika khitan yaitu apa yang diistilahkan klitoris (kelentit). Kalau demikian keadaannya maka tidak dapat dinalar bila kita memerintah mereka untuk memotongnya padahal tidak ada pada mereka.
Berkata Ibnul Hajj dalam Al-Madkhal (3/396) :
"Khitan diperselisihkan pada wanita, apakah mereka dikhitan secara mutlak atau dibedakan antara penduduk Masyriq (timur) dan Maghrib (barat). Maka penduduk Masyriq diperintah untuk khitan karena pada wanita mereka ada bagian yang bisa dipotong ketika khitan, sedangkan penduduk Maghrib tidak diperintah khitan karena tidak ada bagian tersebut pada wanita mereka. Jadi hal ini kembali pada kandungan ta'lil (sebab/alasan)".
DISYARIATKANNYA KHITAN BAGI WANITA
KHITAN
Telah tsabit masalah khitan dalam sunnah yang suci dalam beberapa hadits di antaranya :
1. Abu Haurairah Radhiyallahu 'anhu berkata : 'Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
الْفِرَةُ خَمْسٌ الْخِتَانُ وَاْلاِسْتِحْدَادُ وَقَصُّ الشَّرِبِ وَتَقْلِيمُ اْلأَضْفَارِ وَنَتْفُ اْلآبَاطِ
"Artinya : Fithrah itu ada lima : Khitan, Mencukur bulu kemaluan, Memotong kumis, Menggunting kuku dan Mencabut bulu ketiak" [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (6297 - Fathul Bari), Muslim (3/257 - Nawawi), Malik dalam Al-Muwatha (1927), Abu Daud (4198), At-Tirmidzi (2756), An-Nasa'i (1/14-15), Ibnu Majah (292), Ahmad dalam Al-Musnad (2/229) dan Al-Baihaqi (8/323)]
2. Dari Utsaim bin Kulaib dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya kakeknya datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata. "Aku telah masuk Islam". Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya.
قَدْ أَسْلَمْتُ فَقَالَ لَهُ النَِّبيُ صَلَّى اللهٌ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفِرِ وَاخْتَتِنْ
"Artinya : Buanglah darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah" [Hasan, Dikeluarkan Abu Daud (356), Ahmad (3/415) dan Al-Baihaqi (1/172). Berkata Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa' (79) : Hadits ini hasan karena memiliki dua syahid, salah satunya dari Qatadah Abu Hisyam dan yang lainnya dari Watsilah bin Asqa'. Aku telah berbicara tentang kedua hadits ini dan aku terangkan pendalilan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dengannya dalam Shahih Sunan Abi Daud nomor (1383)]
3. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahawasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِلْخَتَتَنَ إِبْرَاهِيْمُ خَلِيْلُ الرَّحْمَانِ بَعْدَ ماَ أَتَتْ عَلَيْهِ ثَمَانُوْنَ سَنَةً
"Artinya : Nabi Ibrahim berkhitan setelah beliau berusia 80 tahun" [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (6298 - Fathul Bari), Muslim (2370), Al-Baihaqi (8/325), Ahmad (2/322-418) dan ini lafadz beliau]
Dalam hadits-hadits di atas ada keterangan masyru'nya khitan dan orang
dewasa jika beluam dikhitan juga diperintahkan melakukannya.
DISYARI'ATKANNYA KHITAN BAGI WANITA
Dalam hal ini ada beberapa hadits, di antaranya.
1. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ummu Athiyah (wanita tukang khitan):
أُخْفُضِي وَلَا تُنْهِكِي فَإِنَّهُ أَنْضَرُ لِلْوَجْهِ أَحْضَى لِلْزَوْجِ
"Artinya : Khitanlah dan jangan dihabiskan (jangan berlebih-lebihan dalam memotong bagian yang dikhitan) karena yang demikian lebih cemerlang bagi wajah dan lebih menyenangkan (memberi semangat) bagi suami" [Shahih, Dikeluarkan oleh Abu Daud (5271), Al-Hakim (3/525), Ibnu Ady dalam Al-Kamil (3/1083) dan Al-Khatib dalam Tarikhnya 12/291)]
2. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
إذَا الْتَقَى الْخِتَانَانِ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
"Artinya : Bila telah bertemu dua khitan (khitan laki-laki dan wanita dalam jima'-pent) maka sungguh telah wajib mandi (junub)" [Shahih, Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi (108-109), Asy-Syafi'i (1/38), Ibnu Majah (608), Ahmad (6/161), Abdurrazaq (1/245-246) dan Ibnu Hibban (1173-1174 - Al Ihsan)]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menisbatkan khitan pada wanita, maka ini merupakan dalil disyariatkan juga khitan bagi wanita.
3. Riwayat Aisyah Radhiyallahu 'anha secara marfu'.
اِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا اْلأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْخُسْلُ
"Artinya : Jika seorang lelaki telah duduk di antara cabang wanita yang empat (kinayah dari jima, -pent) dan khitan yang satu telah menyentuh khitan yang lain maka telah wajib mandi (junub)" [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (1/291 - Fathul Bari), Muslim (249 - Nawawi), Abu Awanah (1/269), Abdurrazaq (939-940), Ibnu Abi Syaibah (1/85) dan Al-Baihaqi (1/164)]
Hadits ini juga mengisyaratkan dua tempat khitan yang ada pada lelaki dan wanita, maka ini menunjukkan bahwa wanita juga dikhitan.
Berkata Imam Ahmad : "Dalam hadits ini ada dalil bahwa para wanita dikhitan" [Tuhfatul Wadud].
Hendaklah diketahui bahwa pengkhitanan wanita adalah perkara yang ma'ruf (dikenal) di kalangan salaf. Siapa yang ingin mendapat tambahan kejelasan maka silahkan melihat 'Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah (2/353) karena di sana Syaikh Al-Albani -semoga Allah memberi pahala pada beliau- telah menyebutkan hadits-hadits yang banyak dan atsar-atsar yang ada dalam permasalahan ini.
Kategori Risalah : Anak Kabar Gembira Dengan Kelahiran Anak
KABAR GEMBIRA DENGAN KELAHIRAN ANAK
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
JERITAN PERTAMA KETIKA BAYI BARU LAHIR
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata : Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Jeritan anak ketika dilahirkan adalah (karena) tusukan dari syaitan” [1]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda.
“Artinya : Tidak ada seorang anakpun yang lahir melainkan syaitan menusuknya hingga menjeritlah si anak akibat tusukan syaithan itu kecuali putra Maryam (Isa) dan ibunya (Maryam)”
Kemudian Abu Hurairah berkata : Bacalah bila kalian mau (ayat yang berbunyi).
“Artinya : Dan aku meminta perlindungan untuknya kepada-Mu dan juga untuk anak keturunannya dari syaitah yang terkutuk” [2]
Anak kecil ini belum mengenal dunia sedikitpun, namun syaitan sudah menyatakan permusuhan dengan menusuknya. [3]
Lalu bagaimana keadaan si anak jika ia telah dapat berbicara dan merasakan segala sesuatu. Bagaimana keadaannya jika telah bergerak syahwatnya untuk mencari dunia atau selainnya. Maka penyesatan dan upaya penyimpangan yang dilakukan syaitan ini harus dihalangi, karena itulah syari’at datang untuk melindungi manusia sejak mudanya, bahkan sejak lahir ke dunia ini hingga nanti menemui Tuhannya.
Kami akan mengumpulkan semua tahapan kehidupan manusia secara ringkas. Sejak anak manusia belum melewati tujuh hari pertama dari umurnya, penetap syaria’at telah menerangkan jalan-jalan penjagaan bagi anak tersebut dan menjelaskan perkara-perkara yang seharusnya dilakukan sepanjang tujuh hari (dari awal kelahiran anak)
Maka siapa yang mencintai anaknya dan ingin menjaganya dari syaitan, hendaklah ia mengikuti metodenya sayyidil mursalin dan beliau bagi kita adalah sebaik-baik pemberi nasihat. Beliau sebagaimana diceritakan oleh Abu Dzar Al-ghifari Radhiyallahu ‘anhu : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burungpun yang membolak-balikkan sayapnya di udara melainkan beliau sebutkan ilmunya kepada kami”.
Abu Dzar Radhiyallahu anhu berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Tidak ada sesuatu yang dapat mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah diterangkan pada kalian” [4]
Termasuk upaya penjagaan terhadap anak dari gangguan syaithan adalah doa seorang suami ketika mendatangi istrinya.
“Artinya : Dengan nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau rezkikan kepada kami”
Maka bila Allah tetapkan lahirnya anak dari hubungan keduanya itu maka syaitan tidak akan membahayakannya selamanya” [5]
KABAR GEMBIRA DENGAN KELAHIRAN ANAK
Al-Qur'an telah menyebutkan kabar gembira tentang kelahiran anak dalam banyak ayat dalam rangka mengajarkan kaum muslimin tentang kebiaasaan ini, karena padanya ada pengaruh yang penting untuk menumbuhkan kasih sayang dan cinta di hati-hati kaum muslimin. [6]
Allah Ta'ala berfirman.
"Artinya : Wahai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira padamu dengan kelahiran seorang anak yang bernama Yahya" [Maryam : 7]
"Artinya : Maka berilah kabar gembira padanya dengan kelahiran anak yang sangat penyabar" [Ash-Shafaat : 101]
"Artinya : Mereka (para malaikat) berkata : Janganlah kamu merasa takut, sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang alim" [Al-Hijr : 53]
"Artinya : Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya) : 'Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh" [Ali-Imran : 39]
Seharusnya kita kaum muslimin mencintai kebaikan bagi saudara-saudara kita. Kita turut bahagia dengan kebahagiaan mereka dan turut sedih dengan kesedihan mereka. jika kita memang orang muslim yang sebenar-benarnya, maka kita merasa seperti satu jasad. Bila salah satu anggotanya merasa sakit, maka semua anggota lainnya terpanggil untuk bergadang dan merasa demam.
Sebagaimana hal ini dimisalkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya. Akan tetapi di mana kita dari hal yang demikian itu ? Sementara permusuhan dan kebencian telah menyala-nyala di kalangan kaum muslimin sendiri dan hasad menjalar di tengah mereka dan kebaikan telah menipis. Hanya kepada Allahlah tempat mengadu.
UCAPAN SELAMAT DAN KETERANGAN SALAF TENTANGNYA
Tidak ada satu haditspun dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah mengucapkan selamat bagi keluarga yang kelahiran. Yang ada hanyalah atsar yang diriwayatkan dari tabi'in, di antaranya.
[1]. Dari Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah. Ada seseorang bertanya kepadanya tentang ucapan selamat tersebut ; "Bagaimana cara aku mengucapkannya ?" Kata Al-Hasan : Ucapkanlah.
"Semoga Allah menjadikannya barakah atas kalian dan atas ummat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam" [7]
[2]. Dari Hammad bin Ziyad ia berkata : "Ayyub As-Sikhtiyani bila memberi ucapan selamat kepada seseorang yang kelahiran anak ia berkata :
"Semoga Allah menjadikannya barakah atas kalian dan atas ummat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam" [8]
Atsar semisal ini jauh lebih baik dibanding ucapan selamat yang banyak diamalkan manusia pada hari ini.
Namun bersamaan dengan itu kita tidak boleh melazimkan ucapan selamat ini (seperti tersebut dalam atsar di atas), berbeda bila ada satu hadits (yang shahih) yang menerangkan tentangnya. Dan kita tidak menjadikan ucapan tersebut seperti dzikir-dzikir yang tsabit dalam As-Sunnah (yakni kita tidak terus menerus mengamalkannya karena tidak ada satu hadits pun yang menyebutkan hal ini, -pent). Siapa yang engucapkannya kadang-kadang maka tidak apa-apa dan siapa yang tidak mengucapkannya maka tidak ada masalah.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
__________
Foote Note
[1]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (3248), Muslim (15/128 Nawawi) dan At-Thabrani dalam As-Shaghir (29), dan riwayat yang lain darinya dan Ibnu HIbban (6150-6201-6202)
[2]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (3/110 –As-Sindi), Muslim (15/128 Nawawi) dan Abu Ya’la 5971]
[3]. Lihat Syrahu Shahih Muslim oleh Imam An-Nawawi tentang hadits ini (15/129-130)
[4]. Dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (1647) dan Ash-Shaghir (1/268), Ahmad dalam Al-Musnad (5/153-162) baris pertama darinya
[5]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (9/228 Fathul Bari), Muslim (10/1434 Nawawi) dan selain keduanya.
[6]. Dinukil dari kitab Ukhti Muslimah Kaifa Tastaqbilin Mauludikil Jadid, penulis Nasyat Al-Mishri
[7]. Hadits hasan. Dikeluarkan oleh At-Thabrani dalam Kitab Ad-Du'a (2/1243) dengan sanad yang rijalnya (rawi-rawinya) tsiqah (orang kepercayaan) selain syaikhnya (gurunya) At-Thabrani yakni Yahya bin Utsman bin Shalih, kata Al-Hafidh tentangnya : "Ia shaduq, tertuduh tasyayyu' (kesyiah-syiahan), dan sebagian ulama menganggapnya layyin (lemah) karena keadaannya yang meriwayatkan dari selain asalnya".
Berkata Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh wa At-Ta'dil (9/175) : "Aku menulis (hadits) darinya dan juga ayahku, dan mereka memperbincangkannnya".
Dalam Al-Mizan, Ad-Dzahabi berkata : "Ia shaduq Insya Allah'.Berkata Al-Mundziri dalam At-Targhib (2/17) : "Dia tsiqah dan padanya ada perbincangan".
Kami katakan : orang yang semisal Yahya ini haditsnya tidak turun dari derajat Hasan.
[8]. Dikeluarkan oleh At-Thabrani dalam Kitab Ad-Du'a (2/1244) dengan sanad yang lemah.
Namun atsar yang lemah ini mendukung atsar sebelumnya. Wallahu a'lam
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
JERITAN PERTAMA KETIKA BAYI BARU LAHIR
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata : Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Jeritan anak ketika dilahirkan adalah (karena) tusukan dari syaitan” [1]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda.
“Artinya : Tidak ada seorang anakpun yang lahir melainkan syaitan menusuknya hingga menjeritlah si anak akibat tusukan syaithan itu kecuali putra Maryam (Isa) dan ibunya (Maryam)”
Kemudian Abu Hurairah berkata : Bacalah bila kalian mau (ayat yang berbunyi).
“Artinya : Dan aku meminta perlindungan untuknya kepada-Mu dan juga untuk anak keturunannya dari syaitah yang terkutuk” [2]
Anak kecil ini belum mengenal dunia sedikitpun, namun syaitan sudah menyatakan permusuhan dengan menusuknya. [3]
Lalu bagaimana keadaan si anak jika ia telah dapat berbicara dan merasakan segala sesuatu. Bagaimana keadaannya jika telah bergerak syahwatnya untuk mencari dunia atau selainnya. Maka penyesatan dan upaya penyimpangan yang dilakukan syaitan ini harus dihalangi, karena itulah syari’at datang untuk melindungi manusia sejak mudanya, bahkan sejak lahir ke dunia ini hingga nanti menemui Tuhannya.
Kami akan mengumpulkan semua tahapan kehidupan manusia secara ringkas. Sejak anak manusia belum melewati tujuh hari pertama dari umurnya, penetap syaria’at telah menerangkan jalan-jalan penjagaan bagi anak tersebut dan menjelaskan perkara-perkara yang seharusnya dilakukan sepanjang tujuh hari (dari awal kelahiran anak)
Maka siapa yang mencintai anaknya dan ingin menjaganya dari syaitan, hendaklah ia mengikuti metodenya sayyidil mursalin dan beliau bagi kita adalah sebaik-baik pemberi nasihat. Beliau sebagaimana diceritakan oleh Abu Dzar Al-ghifari Radhiyallahu ‘anhu : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burungpun yang membolak-balikkan sayapnya di udara melainkan beliau sebutkan ilmunya kepada kami”.
Abu Dzar Radhiyallahu anhu berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Tidak ada sesuatu yang dapat mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah diterangkan pada kalian” [4]
Termasuk upaya penjagaan terhadap anak dari gangguan syaithan adalah doa seorang suami ketika mendatangi istrinya.
“Artinya : Dengan nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau rezkikan kepada kami”
Maka bila Allah tetapkan lahirnya anak dari hubungan keduanya itu maka syaitan tidak akan membahayakannya selamanya” [5]
KABAR GEMBIRA DENGAN KELAHIRAN ANAK
Al-Qur'an telah menyebutkan kabar gembira tentang kelahiran anak dalam banyak ayat dalam rangka mengajarkan kaum muslimin tentang kebiaasaan ini, karena padanya ada pengaruh yang penting untuk menumbuhkan kasih sayang dan cinta di hati-hati kaum muslimin. [6]
Allah Ta'ala berfirman.
"Artinya : Wahai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira padamu dengan kelahiran seorang anak yang bernama Yahya" [Maryam : 7]
"Artinya : Maka berilah kabar gembira padanya dengan kelahiran anak yang sangat penyabar" [Ash-Shafaat : 101]
"Artinya : Mereka (para malaikat) berkata : Janganlah kamu merasa takut, sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran seorang) anak laki-laki (yang akan menjadi) orang yang alim" [Al-Hijr : 53]
"Artinya : Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya) : 'Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh" [Ali-Imran : 39]
Seharusnya kita kaum muslimin mencintai kebaikan bagi saudara-saudara kita. Kita turut bahagia dengan kebahagiaan mereka dan turut sedih dengan kesedihan mereka. jika kita memang orang muslim yang sebenar-benarnya, maka kita merasa seperti satu jasad. Bila salah satu anggotanya merasa sakit, maka semua anggota lainnya terpanggil untuk bergadang dan merasa demam.
Sebagaimana hal ini dimisalkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya. Akan tetapi di mana kita dari hal yang demikian itu ? Sementara permusuhan dan kebencian telah menyala-nyala di kalangan kaum muslimin sendiri dan hasad menjalar di tengah mereka dan kebaikan telah menipis. Hanya kepada Allahlah tempat mengadu.
UCAPAN SELAMAT DAN KETERANGAN SALAF TENTANGNYA
Tidak ada satu haditspun dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah mengucapkan selamat bagi keluarga yang kelahiran. Yang ada hanyalah atsar yang diriwayatkan dari tabi'in, di antaranya.
[1]. Dari Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah. Ada seseorang bertanya kepadanya tentang ucapan selamat tersebut ; "Bagaimana cara aku mengucapkannya ?" Kata Al-Hasan : Ucapkanlah.
"Semoga Allah menjadikannya barakah atas kalian dan atas ummat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam" [7]
[2]. Dari Hammad bin Ziyad ia berkata : "Ayyub As-Sikhtiyani bila memberi ucapan selamat kepada seseorang yang kelahiran anak ia berkata :
"Semoga Allah menjadikannya barakah atas kalian dan atas ummat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam" [8]
Atsar semisal ini jauh lebih baik dibanding ucapan selamat yang banyak diamalkan manusia pada hari ini.
Namun bersamaan dengan itu kita tidak boleh melazimkan ucapan selamat ini (seperti tersebut dalam atsar di atas), berbeda bila ada satu hadits (yang shahih) yang menerangkan tentangnya. Dan kita tidak menjadikan ucapan tersebut seperti dzikir-dzikir yang tsabit dalam As-Sunnah (yakni kita tidak terus menerus mengamalkannya karena tidak ada satu hadits pun yang menyebutkan hal ini, -pent). Siapa yang engucapkannya kadang-kadang maka tidak apa-apa dan siapa yang tidak mengucapkannya maka tidak ada masalah.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
__________
Foote Note
[1]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (3248), Muslim (15/128 Nawawi) dan At-Thabrani dalam As-Shaghir (29), dan riwayat yang lain darinya dan Ibnu HIbban (6150-6201-6202)
[2]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (3/110 –As-Sindi), Muslim (15/128 Nawawi) dan Abu Ya’la 5971]
[3]. Lihat Syrahu Shahih Muslim oleh Imam An-Nawawi tentang hadits ini (15/129-130)
[4]. Dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (1647) dan Ash-Shaghir (1/268), Ahmad dalam Al-Musnad (5/153-162) baris pertama darinya
[5]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (9/228 Fathul Bari), Muslim (10/1434 Nawawi) dan selain keduanya.
[6]. Dinukil dari kitab Ukhti Muslimah Kaifa Tastaqbilin Mauludikil Jadid, penulis Nasyat Al-Mishri
[7]. Hadits hasan. Dikeluarkan oleh At-Thabrani dalam Kitab Ad-Du'a (2/1243) dengan sanad yang rijalnya (rawi-rawinya) tsiqah (orang kepercayaan) selain syaikhnya (gurunya) At-Thabrani yakni Yahya bin Utsman bin Shalih, kata Al-Hafidh tentangnya : "Ia shaduq, tertuduh tasyayyu' (kesyiah-syiahan), dan sebagian ulama menganggapnya layyin (lemah) karena keadaannya yang meriwayatkan dari selain asalnya".
Berkata Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh wa At-Ta'dil (9/175) : "Aku menulis (hadits) darinya dan juga ayahku, dan mereka memperbincangkannnya".
Dalam Al-Mizan, Ad-Dzahabi berkata : "Ia shaduq Insya Allah'.Berkata Al-Mundziri dalam At-Targhib (2/17) : "Dia tsiqah dan padanya ada perbincangan".
Kami katakan : orang yang semisal Yahya ini haditsnya tidak turun dari derajat Hasan.
[8]. Dikeluarkan oleh At-Thabrani dalam Kitab Ad-Du'a (2/1244) dengan sanad yang lemah.
Namun atsar yang lemah ini mendukung atsar sebelumnya. Wallahu a'lam
Kategori Risalah : Anak Hari Pertama Dari Kelahiran Anak
HARI PERTAMA DARI KELAHIRAN ANAK
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
SUNNAHNYA TAHNIK
Pengertian tahnik secara bahasa dan syr’i adalah mengunyah sesuatu dan meletakkanya di mulut bayi. Maka dikatakan engkau mentahnik bayi, jika engkau mengunyah kurma kemudian menggosokkannya di langit-langit mulut bayi
Dianjurkan agar yang melakukan tahnik adalah orang yang memiliki keutamaan, dikenal sebagai orang yang baik dan berilmu. Dan hendaklah ia mendo’akan kebaikan (barakah) bagi bayi tersebut.
Dalil tentang tahnik ini disebutkan dalam beberapa hadits di antaranya.
Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.
“Artinya : Lahir seorang anakku maka aku membawanya ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau memberinya nama Ibrahim. Beliau mentahniknya dengan kurma dan mendo’akan barakah untuknya. Kemudian beliau menyerahkan bayi itu kepadaku” [1]
Dari Asma binti Abi Bakar Ash-Shiddiq ketika ia sedang mengandung Abdullah bin Az-Zubair di Makkah, ia berkata.
“Artinya : Aku keluar dalam keadaan hamil menuju kota Madinah. Dalam perjalanan aku singggah di Quba dan di sana aku melahirkan. Kemudian aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meletakkan anakku di pangkuan beliau. Beliau meminta kurma lalu mengunyahnya dan meludahkannya ke mulut bayi itu, maka yang pertama kali masuk ke kerongkongannya adalah ludah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu beliau mentahniknya denan kurma dan mendo’akan barakah baginya. Lalu Allah memberikan barakah kepadanya (bayi tersebut)” [2]
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu ia berkata : “Aku pergi membawa Abdullah bin Abi Thalhah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ia baru dilahirkan. Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu sedang mencat seekor untanya dengan ter. Beliau bersabda
kepadaku “Adakah kurma bersamamu?”
Aku jawab, “Ya (ada)”
Beliau lalu mengambil bebeberapa kurma dan memasukkannya ke dalam mulut beliau, lalu mengunyahnya sampai lumat. Kemudian beliau mentahniknya, maka bayi itu membuka mulutnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memasukkan kurma yang masih tersisa di mulut beliau ke maulut bayi tersebut, maka mulailah bayi itu menggerak-gerakan ujung lidahnya (merasakan kurma tersebut). Melihat hal itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kesukaan orang Anshar adalah kurma”.
Lalu beliau menamakannya Abdullah” [3]
Hadits-hadits di atas kiranya cukup untuk menerangkan sunnahnya tahnik ini dan kiranya cukup untuk menghasung kita bersegera melaksanakannya.
Berkata Imam Nawawi dalam Syarhu Muslim (14/372) : “Dalam hadits-hadits ini ada faidah, di antaranya : dianjurkan mentahnik anak yang baru lahir, dan ini merupakan sunnah dengan ijma’. Hendaknya yang mentahnik adalah orang yang shalih dari kalangan laki-laki atau wanita. Tahnik dilakukan dengan kurma dan ini mustahab, namun andai ada yang mentahnik dengan selain kurma maka telah terjadi perbuatan tahnik, akan tetapi tahnik dengan kurma lebih utama. Faidah lain diantaranya menyerahkan pemberian nama untuk anak kepada orang yang shalih, maka ia memilihkan untuk si anak nama yang ia senangi” [Dinukil dengan sedikit perubahan]
Akan tetapi tidak ada diriwayatkan dari sunnah kecuali tahnik denan kurma sebagaimana telah lewat penyebutannya tentang tahnik Ibrahim bin Abi Musa, Abdullah bin Az-Zubair dan Abdullah bin Abu Thalhah, maka tidak pantas mengambil yang lain.
HIKMAH TAKNIK
Ulama telah berbicara tantang hikmah yang terkandung dalam tahnik dan ada beberapa pendapat yang mereka sebutkan dan mereka berselisih (berbeda pendapat tentang hikmahnya). Namun tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki sandaran dalil syar’i.
Berkata Imam Al-Aini dalam Umdatul Qari : “Bila engkau bertanya apa hikmah tahnik? Aku jawab : Berkata sebagian mereka : Tahnik dilakukan sebagai latihan makan bagi bayi hingga ia kuat. Sungguh aneh ucapan ini dan betapa lemahnya … dimana letaknya waktu makan bagi bayi dibanding waktu tahnik yang dilakukan ketika anak baru dilahirkan, sedangkan secara umum anak baru dapat makan-makanan setelah berusia kurang lebih dua tahun.
Sebenarnya hikmah tahnik adalah untuk pengharapan kebaikan bagi si anak dengan keimanan, karena kurma adalah buah dari pohon yang disamakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan seorang mukmin dan juga karena manisnya. Lebih-lebih bila yang mentahnik itu seorang yang memiliki keutamaan, ulama dan orang shalih, karena ia memasukkan air ludahnya ke dalam kerongkongan bayi. Tidaklah engkau lihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala mentahnik Abdullah bin Az-Zubair, dengan barakah air ludah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abdullah telah menghimpun keutamaan dan kesempurnaan yang tidak dapat digambarkan. Dia seorang pembaca Al-Qur’an, orang yang menjaga kemuliaan diri dalam Islam dan terdepan dalam kebaikan.[4]
Kami katakan : Ini adalah ludahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adapun selain beliau maka tidak boleh bertabarruk dengan air ludahnya.
Ilmu kedokteran telah menetapkan faedah yang besar dari tahnik ini, yaitu memindahkan sebagian mikroba dalam usus untuk membantu pencernaan makanan. Namun sama saja, apakah yang disebutkan oleh ilmu kedokteran ini benar atau tidak benar, yang jelas tahnik adalah sunnah mustahab yang pasti dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, inilah pegangan kita bukan yang lainnya dan tidak ada nash yang menerangkan hikmahnya. Maka Allah lah yang lebih tahu hikmahnya.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
__________
Foote Note
[1]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (5467 Fathul Bari) Muslim (2145 Nawawi), Ahmad (4/399), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (9/305) dan Asy-Syu’ab karya beliau (8621, 8622)
[2]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (5469 Fathul Bari), Muslim (2146, 2148 Nawawi), Ahmad (6247) dan At-Tirmidzi (3826)
[3]. Dikeluarkan oleh Al-bukhari (5470 Fathul Bari), Muslim (2144 Nawawi), Abu Daud (4951), Ahmad (3/105-106) dan lafadh ini menurut riwayat Ahmad dan diriwayatkan juga oleh Al-baihaqi dalam Asy-Syu’ab (8631)
[4]. Umdatul Qari bi Syarhi Shahih Al-Bukhari (21/84) oleh Al-Aini
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
SUNNAHNYA TAHNIK
Pengertian tahnik secara bahasa dan syr’i adalah mengunyah sesuatu dan meletakkanya di mulut bayi. Maka dikatakan engkau mentahnik bayi, jika engkau mengunyah kurma kemudian menggosokkannya di langit-langit mulut bayi
Dianjurkan agar yang melakukan tahnik adalah orang yang memiliki keutamaan, dikenal sebagai orang yang baik dan berilmu. Dan hendaklah ia mendo’akan kebaikan (barakah) bagi bayi tersebut.
Dalil tentang tahnik ini disebutkan dalam beberapa hadits di antaranya.
Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.
“Artinya : Lahir seorang anakku maka aku membawanya ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau memberinya nama Ibrahim. Beliau mentahniknya dengan kurma dan mendo’akan barakah untuknya. Kemudian beliau menyerahkan bayi itu kepadaku” [1]
Dari Asma binti Abi Bakar Ash-Shiddiq ketika ia sedang mengandung Abdullah bin Az-Zubair di Makkah, ia berkata.
“Artinya : Aku keluar dalam keadaan hamil menuju kota Madinah. Dalam perjalanan aku singggah di Quba dan di sana aku melahirkan. Kemudian aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meletakkan anakku di pangkuan beliau. Beliau meminta kurma lalu mengunyahnya dan meludahkannya ke mulut bayi itu, maka yang pertama kali masuk ke kerongkongannya adalah ludah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu beliau mentahniknya denan kurma dan mendo’akan barakah baginya. Lalu Allah memberikan barakah kepadanya (bayi tersebut)” [2]
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu ia berkata : “Aku pergi membawa Abdullah bin Abi Thalhah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ia baru dilahirkan. Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu sedang mencat seekor untanya dengan ter. Beliau bersabda
kepadaku “Adakah kurma bersamamu?”
Aku jawab, “Ya (ada)”
Beliau lalu mengambil bebeberapa kurma dan memasukkannya ke dalam mulut beliau, lalu mengunyahnya sampai lumat. Kemudian beliau mentahniknya, maka bayi itu membuka mulutnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian memasukkan kurma yang masih tersisa di mulut beliau ke maulut bayi tersebut, maka mulailah bayi itu menggerak-gerakan ujung lidahnya (merasakan kurma tersebut). Melihat hal itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kesukaan orang Anshar adalah kurma”.
Lalu beliau menamakannya Abdullah” [3]
Hadits-hadits di atas kiranya cukup untuk menerangkan sunnahnya tahnik ini dan kiranya cukup untuk menghasung kita bersegera melaksanakannya.
Berkata Imam Nawawi dalam Syarhu Muslim (14/372) : “Dalam hadits-hadits ini ada faidah, di antaranya : dianjurkan mentahnik anak yang baru lahir, dan ini merupakan sunnah dengan ijma’. Hendaknya yang mentahnik adalah orang yang shalih dari kalangan laki-laki atau wanita. Tahnik dilakukan dengan kurma dan ini mustahab, namun andai ada yang mentahnik dengan selain kurma maka telah terjadi perbuatan tahnik, akan tetapi tahnik dengan kurma lebih utama. Faidah lain diantaranya menyerahkan pemberian nama untuk anak kepada orang yang shalih, maka ia memilihkan untuk si anak nama yang ia senangi” [Dinukil dengan sedikit perubahan]
Akan tetapi tidak ada diriwayatkan dari sunnah kecuali tahnik denan kurma sebagaimana telah lewat penyebutannya tentang tahnik Ibrahim bin Abi Musa, Abdullah bin Az-Zubair dan Abdullah bin Abu Thalhah, maka tidak pantas mengambil yang lain.
HIKMAH TAKNIK
Ulama telah berbicara tantang hikmah yang terkandung dalam tahnik dan ada beberapa pendapat yang mereka sebutkan dan mereka berselisih (berbeda pendapat tentang hikmahnya). Namun tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki sandaran dalil syar’i.
Berkata Imam Al-Aini dalam Umdatul Qari : “Bila engkau bertanya apa hikmah tahnik? Aku jawab : Berkata sebagian mereka : Tahnik dilakukan sebagai latihan makan bagi bayi hingga ia kuat. Sungguh aneh ucapan ini dan betapa lemahnya … dimana letaknya waktu makan bagi bayi dibanding waktu tahnik yang dilakukan ketika anak baru dilahirkan, sedangkan secara umum anak baru dapat makan-makanan setelah berusia kurang lebih dua tahun.
Sebenarnya hikmah tahnik adalah untuk pengharapan kebaikan bagi si anak dengan keimanan, karena kurma adalah buah dari pohon yang disamakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan seorang mukmin dan juga karena manisnya. Lebih-lebih bila yang mentahnik itu seorang yang memiliki keutamaan, ulama dan orang shalih, karena ia memasukkan air ludahnya ke dalam kerongkongan bayi. Tidaklah engkau lihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala mentahnik Abdullah bin Az-Zubair, dengan barakah air ludah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abdullah telah menghimpun keutamaan dan kesempurnaan yang tidak dapat digambarkan. Dia seorang pembaca Al-Qur’an, orang yang menjaga kemuliaan diri dalam Islam dan terdepan dalam kebaikan.[4]
Kami katakan : Ini adalah ludahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adapun selain beliau maka tidak boleh bertabarruk dengan air ludahnya.
Ilmu kedokteran telah menetapkan faedah yang besar dari tahnik ini, yaitu memindahkan sebagian mikroba dalam usus untuk membantu pencernaan makanan. Namun sama saja, apakah yang disebutkan oleh ilmu kedokteran ini benar atau tidak benar, yang jelas tahnik adalah sunnah mustahab yang pasti dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, inilah pegangan kita bukan yang lainnya dan tidak ada nash yang menerangkan hikmahnya. Maka Allah lah yang lebih tahu hikmahnya.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
__________
Foote Note
[1]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (5467 Fathul Bari) Muslim (2145 Nawawi), Ahmad (4/399), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (9/305) dan Asy-Syu’ab karya beliau (8621, 8622)
[2]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (5469 Fathul Bari), Muslim (2146, 2148 Nawawi), Ahmad (6247) dan At-Tirmidzi (3826)
[3]. Dikeluarkan oleh Al-bukhari (5470 Fathul Bari), Muslim (2144 Nawawi), Abu Daud (4951), Ahmad (3/105-106) dan lafadh ini menurut riwayat Ahmad dan diriwayatkan juga oleh Al-baihaqi dalam Asy-Syu’ab (8631)
[4]. Umdatul Qari bi Syarhi Shahih Al-Bukhari (21/84) oleh Al-Aini
Kategori Risalah : Anak Keturunan Atas Kehendak Dan Taqdir Allah
KETURUNAN ATAS KEHENDAK DAN TAQDIR ALLAH
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada seorang lelaki yang belum dikaruniai anak. Ia sempat mengalami tekanan jiwa, namun tidak tahu apakah istrinya juga terkena beban pikiran atau tidak. Ia menghadapi sindiran dan celaan dari masyarakat sekitar, karena keterlambatan mendapatkan anak. Mereka anggap hal itu sebagai aib (kekurangan). Mohon kami diberi penjelasan dalam masalah ini, semoga Allah membalas kebaikan Syaikh.
Jawaban.
Janganlah anda berpikiran buruk lantaran belum dikaruniai anak. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugrahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendakiNya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia dikehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa"[Asy-Syura : 49-50]
Allah Maha Mengetahui lagi Mahakuasa. Dialah yang menciptakan dan menentukan apa yang Dia kehendaki. Dalam ayat di atas, Allah memaparkan empat golongan manusia ditinjau dari sisi keturunan yang dikaruaniakan kepada mereka.
[1]. Allah mengaruniakan anak perempuan saja.
[2]. Allah mengaruniakan anak laki-lakai saja
[3]. Allah mengaruniakan anak laki-laki dan perempuan
[4]. Allah menjadikan seseorang mandul, tidak beranak.
Seluruh fenomena ini terjadi berdasarkan ilmu, hikmahNya dan kekuasaanNya. Bisa jadi keadaan anda akan normal sehingga anda akan mendapatkan seorang keturunan. Selama istri anda tidak menuntut apa-apa dari anda, maka janganlah bersedih hati karena hal tersebut. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan atas kesabarannya menemani hidup anda. Kita mohon kepada Allah, Yang Mahatinggi lagi Mahakuasa agar memberikan kepada kita semua taufik dan pahal. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan permintaan.
[Fatawa Manar Al-Islam 3/625]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada seorang lelaki yang belum dikaruniai anak. Ia sempat mengalami tekanan jiwa, namun tidak tahu apakah istrinya juga terkena beban pikiran atau tidak. Ia menghadapi sindiran dan celaan dari masyarakat sekitar, karena keterlambatan mendapatkan anak. Mereka anggap hal itu sebagai aib (kekurangan). Mohon kami diberi penjelasan dalam masalah ini, semoga Allah membalas kebaikan Syaikh.
Jawaban.
Janganlah anda berpikiran buruk lantaran belum dikaruniai anak. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugrahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendakiNya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia dikehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa"[Asy-Syura : 49-50]
Allah Maha Mengetahui lagi Mahakuasa. Dialah yang menciptakan dan menentukan apa yang Dia kehendaki. Dalam ayat di atas, Allah memaparkan empat golongan manusia ditinjau dari sisi keturunan yang dikaruaniakan kepada mereka.
[1]. Allah mengaruniakan anak perempuan saja.
[2]. Allah mengaruniakan anak laki-lakai saja
[3]. Allah mengaruniakan anak laki-laki dan perempuan
[4]. Allah menjadikan seseorang mandul, tidak beranak.
Seluruh fenomena ini terjadi berdasarkan ilmu, hikmahNya dan kekuasaanNya. Bisa jadi keadaan anda akan normal sehingga anda akan mendapatkan seorang keturunan. Selama istri anda tidak menuntut apa-apa dari anda, maka janganlah bersedih hati karena hal tersebut. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan atas kesabarannya menemani hidup anda. Kita mohon kepada Allah, Yang Mahatinggi lagi Mahakuasa agar memberikan kepada kita semua taufik dan pahal. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan permintaan.
[Fatawa Manar Al-Islam 3/625]
Kategori Risalah : Anak Tempat Kembali Anak-Anak Keturunan Kaum Mukminin Dan Kaum Musyrikin
TEMPAT KEMBALI ANAK-ANAK KETURUNAN KAUM MUKMININ DAN KAUM MUSYRIKIN
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kemana tempat kembali anak-anak kaum mukminin dan kaum musyrikin yang mati masih kecil ?
Jawaban.
Tempat kembali anak-anak kaum mukminin adalah Surga, sebab mereka mengikuti para orang tua mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala befirman.
"Artinya : Orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannnya".[Ath-Thur : 21]
Adapun keturunan non muslim, menurut pendapat yang paling shahih, adalah kita mengatakan bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang akan mereka lakukan. Di dunia mereka diperlakukan seperti kedua orang tuanya. Namun di akhirat, Allah Maha Mengetahui apa yang akan mereka lakukan sebagaimana sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
"Artinya : Dan Allah Yang Maha Mengetahui ke mana tempat kembali mereka".
Inilah pendapat kami.
Dan sebenarnya permasalahan seperti ini tidak begitu penting bagi kita, namun yang perlu kita perhatikan adalah hukum mereka di dunia ini, yaitu mereka disikapi sebagaimana orang-orang musyrikinj, kalau mati tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak sihalati dan tidak dikubur di pemakaman kaum muslimin. Wallahu a'lam.
[Majmu Ats-Tsamin 1/93]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kemana tempat kembali anak-anak kaum mukminin dan kaum musyrikin yang mati masih kecil ?
Jawaban.
Tempat kembali anak-anak kaum mukminin adalah Surga, sebab mereka mengikuti para orang tua mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala befirman.
"Artinya : Orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannnya".[Ath-Thur : 21]
Adapun keturunan non muslim, menurut pendapat yang paling shahih, adalah kita mengatakan bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang akan mereka lakukan. Di dunia mereka diperlakukan seperti kedua orang tuanya. Namun di akhirat, Allah Maha Mengetahui apa yang akan mereka lakukan sebagaimana sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
"Artinya : Dan Allah Yang Maha Mengetahui ke mana tempat kembali mereka".
Inilah pendapat kami.
Dan sebenarnya permasalahan seperti ini tidak begitu penting bagi kita, namun yang perlu kita perhatikan adalah hukum mereka di dunia ini, yaitu mereka disikapi sebagaimana orang-orang musyrikinj, kalau mati tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak sihalati dan tidak dikubur di pemakaman kaum muslimin. Wallahu a'lam.
[Majmu Ats-Tsamin 1/93]
Kategori Risalah : Anak Untuk Siapa Amal Shalih Yang Dikerjakan Anak-Anak ? Dan Apakah Anak Kecil Bisa Memberi Syafaat ?
UNTUK SIAPA AMAL SHALIH YANG DIKERJAKAN ANAK-ANAK ?
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah amal shalih anak yang belum baligh seperti shalat, haji dan bacaan Al-Qur'an, seluruh pahalanya milik kedua orang tuanya atau untuk pribadinya ?
Jawaban.
Amal shalih anak yang belum baligh, pahalanya akan menjadi miliknya pribadi bukan milik kedua orang tuanya atau orang lain. Tapi orang tuanya mendapat pahala atas usaha mereka dalam mengajari, membimbing dan mendorong anak untuk beramal shalih. Hal ini merujuk kepada hadits dalam Shahih Muslim dari Ibu Abbas, bahwa ada seorang wanita mengangkat putranya kepada Nabi pada haji Wada' seraya berlata : "Wahai Rasulullah, apakah anak ini akan mendapatkan pahala hajinya ?". Rasulullah menjawab : "Betul, dan engkau juga memperoleh pahala".
Nabi mengatakan bahwa haji tersebut milik sang anak, dan ibunya juga meraih pahala karena menyertainya. Demikianlah, selain orang tua juga bisa meraup pahala dari amal baiknya yang dilakukan seperti mencerdaskan (ta'lim) anak yatim, kerabat, para pembantu dan lain-lain. Ini bertumpu pada sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Barangsiapa menunjukkan kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melaksanakanny". [Hadits riwayat Muslim dalam Shahihnya]
Sikap ini juga merupakan manifestasi dari tolong menolong dalam kebajikan dan ketakwaan. Allah akan memberikan pahala atas amalan tersebut.
[Fatawa Islamiyah : 4/526]
APAKAH ANAK KECIL BISA MEMBERI SYAFAAT BAGI ORANG TUA DAN KAKEK-NENEKNYA
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Apakah anak kecil yang meninggal pada umur 1 tahun bisa memberi syafa'at bagi kedua orang tua dan kakek-neneknya ?
Jawaban.
Segala puji bagi Allah, salam sejahtera semoga tetap dilimpahkan Allah kepada RasulNya, juga keluarga dan para sahabatnya.
Allah akan memperkenankan syafa'atnya kepada kedua orang tuanya. Mengenai syafa'atnya terhadap kakek-neneknya, hanya Allah saja Mahatau.
Semoga Allah melimpahkan taufikNya, shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
[Fatawa Lajnah Daimah 3/343]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah amal shalih anak yang belum baligh seperti shalat, haji dan bacaan Al-Qur'an, seluruh pahalanya milik kedua orang tuanya atau untuk pribadinya ?
Jawaban.
Amal shalih anak yang belum baligh, pahalanya akan menjadi miliknya pribadi bukan milik kedua orang tuanya atau orang lain. Tapi orang tuanya mendapat pahala atas usaha mereka dalam mengajari, membimbing dan mendorong anak untuk beramal shalih. Hal ini merujuk kepada hadits dalam Shahih Muslim dari Ibu Abbas, bahwa ada seorang wanita mengangkat putranya kepada Nabi pada haji Wada' seraya berlata : "Wahai Rasulullah, apakah anak ini akan mendapatkan pahala hajinya ?". Rasulullah menjawab : "Betul, dan engkau juga memperoleh pahala".
Nabi mengatakan bahwa haji tersebut milik sang anak, dan ibunya juga meraih pahala karena menyertainya. Demikianlah, selain orang tua juga bisa meraup pahala dari amal baiknya yang dilakukan seperti mencerdaskan (ta'lim) anak yatim, kerabat, para pembantu dan lain-lain. Ini bertumpu pada sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Barangsiapa menunjukkan kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melaksanakanny". [Hadits riwayat Muslim dalam Shahihnya]
Sikap ini juga merupakan manifestasi dari tolong menolong dalam kebajikan dan ketakwaan. Allah akan memberikan pahala atas amalan tersebut.
[Fatawa Islamiyah : 4/526]
APAKAH ANAK KECIL BISA MEMBERI SYAFAAT BAGI ORANG TUA DAN KAKEK-NENEKNYA
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Apakah anak kecil yang meninggal pada umur 1 tahun bisa memberi syafa'at bagi kedua orang tua dan kakek-neneknya ?
Jawaban.
Segala puji bagi Allah, salam sejahtera semoga tetap dilimpahkan Allah kepada RasulNya, juga keluarga dan para sahabatnya.
Allah akan memperkenankan syafa'atnya kepada kedua orang tuanya. Mengenai syafa'atnya terhadap kakek-neneknya, hanya Allah saja Mahatau.
Semoga Allah melimpahkan taufikNya, shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
[Fatawa Lajnah Daimah 3/343]
Kategori Risalah : Anak Status Anak Zina Di Akhirat
STATUS ANAK ZINA DI AKHIRAT
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin ditanya : Saya pernah mendengar satu hadits yang maknanya, "Sungguh anak zina diharamkan masuk Surga". Apakah hadits ini shahih ? Kalau benar, apa kesalahan anak tersebut sehingga harus memikul kesalahan dan dosa orang tuanya ?
Jawaban.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Anak zina itu menyimpan 3 keburukan".[Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Daud]
Sebagian ulama menjelaskan, maksudnya dia buruk dari aspek asal-usul dan unsur pembentukannya, garis nasab, dan kelahirannya. Penjelasannya, dia merupakan kombinasi dari sperma dan ovum pezina, satu jenis cairan yang menjijikkan (karena dari pezina) sementara gen itu terus menjalar turun temurun, dikhawatirkan keburukan tersebut akan berpengaruh pada dirinya untuk melakukan kejahatan. Dalam konteks inilah, Allah menepis potensi negative dari pribadi Maryam dengan firmaNya.
"Artinya : Ayahmu sekali-kali bukanlah seorang penjahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang penzina". [Maryam : 28]
Walaupun demikian adanya, dia tidak dibebani dosa orang tuanya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain". [Al-An'am : 164]
Pada prinsipnya, dosa dan sanksi zina di dunia dan akhirat hanya ditanggung oleh orang tuanya. Tetapi dikhawatirkan sifat bawaan yang negative itu akan terwarisi dan akan membawanya untuk berbuat buruk dan kerusakan. Namun hal ini tidak selalu menjadi acuan, kadangkala Allah akan memperbaikinya sehingga menjadi manusia yang alim, bertakwa lagi wara', dengan demikian menjadi satu kombinasi yang terdiri atas tiga komponen yang baik. Wallahu a'lam.
[Fatawa Islamiyah 4/125]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin ditanya : Saya pernah mendengar satu hadits yang maknanya, "Sungguh anak zina diharamkan masuk Surga". Apakah hadits ini shahih ? Kalau benar, apa kesalahan anak tersebut sehingga harus memikul kesalahan dan dosa orang tuanya ?
Jawaban.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Anak zina itu menyimpan 3 keburukan".[Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Daud]
Sebagian ulama menjelaskan, maksudnya dia buruk dari aspek asal-usul dan unsur pembentukannya, garis nasab, dan kelahirannya. Penjelasannya, dia merupakan kombinasi dari sperma dan ovum pezina, satu jenis cairan yang menjijikkan (karena dari pezina) sementara gen itu terus menjalar turun temurun, dikhawatirkan keburukan tersebut akan berpengaruh pada dirinya untuk melakukan kejahatan. Dalam konteks inilah, Allah menepis potensi negative dari pribadi Maryam dengan firmaNya.
"Artinya : Ayahmu sekali-kali bukanlah seorang penjahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang penzina". [Maryam : 28]
Walaupun demikian adanya, dia tidak dibebani dosa orang tuanya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain". [Al-An'am : 164]
Pada prinsipnya, dosa dan sanksi zina di dunia dan akhirat hanya ditanggung oleh orang tuanya. Tetapi dikhawatirkan sifat bawaan yang negative itu akan terwarisi dan akan membawanya untuk berbuat buruk dan kerusakan. Namun hal ini tidak selalu menjadi acuan, kadangkala Allah akan memperbaikinya sehingga menjadi manusia yang alim, bertakwa lagi wara', dengan demikian menjadi satu kombinasi yang terdiri atas tiga komponen yang baik. Wallahu a'lam.
[Fatawa Islamiyah 4/125]
Kategori Risalah : Anak Apakah Anak Zina Bisa Masuk Surga ?
APAKAH ANAK ZINA BISA SAJA MASUK SURGA ?
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta.ditanya : Apakah anak hasil zina dapat masuk surga jika menjadi hamba yang taat kepada Allah, atau tidak ? Dan apakah dia ikut menanggung dosa zina orang tuanya ?
Jawaban.
Anak hasil zina tidak ikut menanggung dosa, karena perbuatan zina dan dosa kedua orang tuanya. Sebab hal tersebut bukan perbuatannya, tetapi perbuatan kedua orang tuanya, karena itu dosanya akan ditanggung mereka berdua. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya". [Al-Baqarah : 268]
Dan firmanNya.
"Artinya : Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain".[Al-An'am : 164]
Berkaitan dengan statusnya, dia seperti halnya orang lain. Kalau taat kepada Allah, beramal shalih dan mati dalam keadaan Islam, maka mendapat surga. Sedang, jika bermaksiat dan mati dalam keadaan kafir maka dia termasuk penghuni neraka. Dan jika mencampuradukkan antara amal shalih dan amal buruk serta mati dalam keadaan Islam maka statusnya terserah kepada Allah ; bisa mendapat pengampunanNya atau dihukum di neraka terlebih dahulu sesuai dengan kehendakNya, namun tempat kembalinya adalah surga berkat karunia dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Adapun ungkapan yang mengatakan, "Tidak dapat masuk surga anak hasil zina", maka ini adalah hadits maudhu (palsu).
Hanya kepada Allah kita memohon taufikNya. Semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
[Fatawa Islamiyah 4/522]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta.ditanya : Apakah anak hasil zina dapat masuk surga jika menjadi hamba yang taat kepada Allah, atau tidak ? Dan apakah dia ikut menanggung dosa zina orang tuanya ?
Jawaban.
Anak hasil zina tidak ikut menanggung dosa, karena perbuatan zina dan dosa kedua orang tuanya. Sebab hal tersebut bukan perbuatannya, tetapi perbuatan kedua orang tuanya, karena itu dosanya akan ditanggung mereka berdua. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya". [Al-Baqarah : 268]
Dan firmanNya.
"Artinya : Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain".[Al-An'am : 164]
Berkaitan dengan statusnya, dia seperti halnya orang lain. Kalau taat kepada Allah, beramal shalih dan mati dalam keadaan Islam, maka mendapat surga. Sedang, jika bermaksiat dan mati dalam keadaan kafir maka dia termasuk penghuni neraka. Dan jika mencampuradukkan antara amal shalih dan amal buruk serta mati dalam keadaan Islam maka statusnya terserah kepada Allah ; bisa mendapat pengampunanNya atau dihukum di neraka terlebih dahulu sesuai dengan kehendakNya, namun tempat kembalinya adalah surga berkat karunia dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Adapun ungkapan yang mengatakan, "Tidak dapat masuk surga anak hasil zina", maka ini adalah hadits maudhu (palsu).
Hanya kepada Allah kita memohon taufikNya. Semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
[Fatawa Islamiyah 4/522]
Kategori Risalah : Anak Metode Mengajarkan Orang Bisu Dan Tuli
METODE MENGAJARKAN ORANG BISU DAN TULI
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Jika saudara lelaki saya bisu dan tuli, tidak bisa mendengar ataupun berbicara dan tentunya tidak mengetahui sedikitpun tentang shalat, puasa dan zakat. Hukum-hukum Islam maupun Al-Qur'an tidak dikenalnya sedikitpun. Bagaimana cara membimbingnya ?
Jawaban
Orang ini harus diperlakukan sesuai dengan kadar daya tangkapnya, dengan isyarat contohnya, karena dia masih bisa melihat. Dia perlu diajari shalat dengan peragaan walinya atau orang lain shalat disampingnya dengan isyarat agar dia meniru gerakannya dan penjelasan waktu-waktu shalat dengan metode yang dia pahami, atau mengajarinya shalat setiap saat dengan peragaan ketika diketahui bahwa dia berakal.
Jika mampu menulis, maka dia diajari secara tertulis materi aqidah Islamiyah, rukun Islam dan disertai penjelasan makna kandungan dua kalimat syahadat. Demikian halnya dengan hukum-hukum Islam lainnya, dijelaskan lewat tulisan. Seperti hukum shalat, wudhu, mandi besar, penjelasan seputar waktu, rukun dan wajibnya shalat, hal-hal yang disyari'atkan dalam shalat, penjelasan shalat sunnah rawatib, shalat dhuha, witir dan lain-lain yang dibutuhkan oleh seorang mukallaf dengan harapan dia bisa memahaminya lewat tulisan.
Intinya, ketika diketahui bawa dia berakal dengan cara apapun, maka dia termasuk kategori mukallaf jika sudah akil baligh dengan salah satu tandanya yang sudah diketahui, dan terikat dengan aturan-aturan yang mengikat orang mukallaf sesuai dengan kadar ilmu dan kemampuannya.
Tapi jika ternyata kondisinya menunjukkan bahwa akalnya tidak berfungsi, maka dia tidak memiliki tanggung jawab, karena dia bukan mukallaf, sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih.
"Artinya : Catatan amalan ditiadakan atas tiga golongan : anak kecil sampai dia baligh, orang pingsan sampai siuman (sadar) dan orang tidur sampai dia terjaga"
[Majmu Fatawa wa Maqalitin Mutanawwi'ah 5/281]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Jika saudara lelaki saya bisu dan tuli, tidak bisa mendengar ataupun berbicara dan tentunya tidak mengetahui sedikitpun tentang shalat, puasa dan zakat. Hukum-hukum Islam maupun Al-Qur'an tidak dikenalnya sedikitpun. Bagaimana cara membimbingnya ?
Jawaban
Orang ini harus diperlakukan sesuai dengan kadar daya tangkapnya, dengan isyarat contohnya, karena dia masih bisa melihat. Dia perlu diajari shalat dengan peragaan walinya atau orang lain shalat disampingnya dengan isyarat agar dia meniru gerakannya dan penjelasan waktu-waktu shalat dengan metode yang dia pahami, atau mengajarinya shalat setiap saat dengan peragaan ketika diketahui bahwa dia berakal.
Jika mampu menulis, maka dia diajari secara tertulis materi aqidah Islamiyah, rukun Islam dan disertai penjelasan makna kandungan dua kalimat syahadat. Demikian halnya dengan hukum-hukum Islam lainnya, dijelaskan lewat tulisan. Seperti hukum shalat, wudhu, mandi besar, penjelasan seputar waktu, rukun dan wajibnya shalat, hal-hal yang disyari'atkan dalam shalat, penjelasan shalat sunnah rawatib, shalat dhuha, witir dan lain-lain yang dibutuhkan oleh seorang mukallaf dengan harapan dia bisa memahaminya lewat tulisan.
Intinya, ketika diketahui bawa dia berakal dengan cara apapun, maka dia termasuk kategori mukallaf jika sudah akil baligh dengan salah satu tandanya yang sudah diketahui, dan terikat dengan aturan-aturan yang mengikat orang mukallaf sesuai dengan kadar ilmu dan kemampuannya.
Tapi jika ternyata kondisinya menunjukkan bahwa akalnya tidak berfungsi, maka dia tidak memiliki tanggung jawab, karena dia bukan mukallaf, sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih.
"Artinya : Catatan amalan ditiadakan atas tiga golongan : anak kecil sampai dia baligh, orang pingsan sampai siuman (sadar) dan orang tidur sampai dia terjaga"
[Majmu Fatawa wa Maqalitin Mutanawwi'ah 5/281]
Kategori Risalah : Anak Disukai Memberi Khabar Gembira Dan Mengucapkan Selamat Kepada Orang Yang Mendapat Anak
DISUKAI MEMBERI KABAR GEMBIRA DAN MENGUCAPKAN SELAMAT KEPADA ORANG YANG MENDAPAT ANAK.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang kisah Ibrahim dan istrinya Sarah ketika didatangi oleh utusan-utusan Allah (para Malaikat) dengan membawa kabar gembira akan kelahiran Ishaq dan Ishaq akan mempunyai anak Ya'qub.
"Artinya : Dan istrinya[1] berdiri lalu tertawa[2] Maka kami sampaikan kepadanya kabar gembira akan (kelahiran) Ishaq dan dari Ishaq (akan lahir puteranya) Ya'qub. Isterinya berkata. 'Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh?'
Para Malaikat itu berkata. 'Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah ? (itu adalah) rahmat Allah dan keberkahan-Nya dicurahkan atas kamu hai ahlul bait!
Sesungguhnya Allah Maha terpuji (dan) Maha Mulia" [Hud : 69-75]
Dan di dalam surat Al-Hijr ayat 53 Allah Subhanhu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran) seorang anak laki-laki yang alim" [3]
Dan di dalam surat Adz-Dzaariyaat ayat 28 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan mereka (para Malaikat) memberi kabar gembira kepadanya (kepada Ibrahim) akan (kelahiran) seorang anak laki-laki yang alim" [4]
Dan di dalam surat ASh-Shaaffaat ayat 101 Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman.
"Artinya : Maka kami beri dia (Ibrahim)kabar gembira dengan (kelahiran) seorang anak laki-laki yang amat sabar (yang penyantun)" [5]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada Nabi Zakariya.
"Artinya : Wahai Zakariya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (kelahiran) seorang anak laki-laki yang namanya Yahya. Yang Kami tidak jadikan sebelumnya yang serupa dengannya [6]" [Maryam : 7]
Di antara fikih ayat-ayat di atas ialah bahwa disukai bagi kita memberi kabar gembira kepada ikhwan kita yang mendapat rizki seorang anak atau akan memperoleh anak sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi kabar gembira kepada Ibrahim akan kelahiran Ismail kemudian Ishaq dan Zakariya akan kelahiran Yahya. Atau memberikan selamat kepada saudara kita yang mendapat rizki seorang anak, sama saja apakah anak laki-laki atau anak perempuan tentang disukainya memberi kabar gembira dan mengucapkan selamat kepadanya.
Adapun perbedaan memberi kabar gembira dengan mengucapkan selamat ialah :
[a] Bahwa Al-Bisyaarah memberi kabar gembira maknanya memberitahukan kepadanya terhadap sesuatu yang menyenangkan.
[b] Sedangkan Tahniah mengucapkan selamat maknanya mendo'akan kebaikan kepadanya tentang sesuatu yang ada padanya sesudah dia mengetahuinya.
Ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan beberapa ayat di akhir-akhir surat At-Taubah tentang telah diterimanya taubat Ka'ab bin Malik bersama dua orang kawannya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat segera memberi kabar gembira kepada Ka'ab bin Malik dan mereka (para shahabat) mengucapkan selamat kepadanya. (Riwayat Bukhari dan Muslim dalam hadits yang panjang tentang kisah Ka'ab bin Malik yang tertinggal dari perang Tabuk).
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_________
Foote Note
[1] Yaitu Sarah
[2] Lantaran heran melihat tetamunya para Malaikat yang tidak mau makan hidangan yang telah disuguhkan oleh suaminya dan dilayani olehnya !?
[3] Yakni Ishaq yang akan menjadi Nabi.
[4] Yakni Ishaq
[5] Yakni Ismail anak tertua Ibrahim yang lahir lebih dahulu sebelum Ishaq.
[6] Yakni Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menciptakan sebelumnya Yahya yang serupa dengan Yahya. Tafsir yang kedua bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak jadikan bagi perempuan-permepuan yang mandul dapat hamil dan melahirkan sebelum isteri Zakariya yang mandul kemudian hamil dan melahirkan Yahya. Tafsir yang ketiga bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak namakan kepada seorang pun juga dengan nama Yahya sebelum Yahya.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang kisah Ibrahim dan istrinya Sarah ketika didatangi oleh utusan-utusan Allah (para Malaikat) dengan membawa kabar gembira akan kelahiran Ishaq dan Ishaq akan mempunyai anak Ya'qub.
"Artinya : Dan istrinya[1] berdiri lalu tertawa[2] Maka kami sampaikan kepadanya kabar gembira akan (kelahiran) Ishaq dan dari Ishaq (akan lahir puteranya) Ya'qub. Isterinya berkata. 'Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh?'
Para Malaikat itu berkata. 'Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah ? (itu adalah) rahmat Allah dan keberkahan-Nya dicurahkan atas kamu hai ahlul bait!
Sesungguhnya Allah Maha terpuji (dan) Maha Mulia" [Hud : 69-75]
Dan di dalam surat Al-Hijr ayat 53 Allah Subhanhu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu dengan (kelahiran) seorang anak laki-laki yang alim" [3]
Dan di dalam surat Adz-Dzaariyaat ayat 28 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan mereka (para Malaikat) memberi kabar gembira kepadanya (kepada Ibrahim) akan (kelahiran) seorang anak laki-laki yang alim" [4]
Dan di dalam surat ASh-Shaaffaat ayat 101 Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman.
"Artinya : Maka kami beri dia (Ibrahim)kabar gembira dengan (kelahiran) seorang anak laki-laki yang amat sabar (yang penyantun)" [5]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepada Nabi Zakariya.
"Artinya : Wahai Zakariya, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (kelahiran) seorang anak laki-laki yang namanya Yahya. Yang Kami tidak jadikan sebelumnya yang serupa dengannya [6]" [Maryam : 7]
Di antara fikih ayat-ayat di atas ialah bahwa disukai bagi kita memberi kabar gembira kepada ikhwan kita yang mendapat rizki seorang anak atau akan memperoleh anak sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala memberi kabar gembira kepada Ibrahim akan kelahiran Ismail kemudian Ishaq dan Zakariya akan kelahiran Yahya. Atau memberikan selamat kepada saudara kita yang mendapat rizki seorang anak, sama saja apakah anak laki-laki atau anak perempuan tentang disukainya memberi kabar gembira dan mengucapkan selamat kepadanya.
Adapun perbedaan memberi kabar gembira dengan mengucapkan selamat ialah :
[a] Bahwa Al-Bisyaarah memberi kabar gembira maknanya memberitahukan kepadanya terhadap sesuatu yang menyenangkan.
[b] Sedangkan Tahniah mengucapkan selamat maknanya mendo'akan kebaikan kepadanya tentang sesuatu yang ada padanya sesudah dia mengetahuinya.
Ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan beberapa ayat di akhir-akhir surat At-Taubah tentang telah diterimanya taubat Ka'ab bin Malik bersama dua orang kawannya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabat segera memberi kabar gembira kepada Ka'ab bin Malik dan mereka (para shahabat) mengucapkan selamat kepadanya. (Riwayat Bukhari dan Muslim dalam hadits yang panjang tentang kisah Ka'ab bin Malik yang tertinggal dari perang Tabuk).
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_________
Foote Note
[1] Yaitu Sarah
[2] Lantaran heran melihat tetamunya para Malaikat yang tidak mau makan hidangan yang telah disuguhkan oleh suaminya dan dilayani olehnya !?
[3] Yakni Ishaq yang akan menjadi Nabi.
[4] Yakni Ishaq
[5] Yakni Ismail anak tertua Ibrahim yang lahir lebih dahulu sebelum Ishaq.
[6] Yakni Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menciptakan sebelumnya Yahya yang serupa dengan Yahya. Tafsir yang kedua bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak jadikan bagi perempuan-permepuan yang mandul dapat hamil dan melahirkan sebelum isteri Zakariya yang mandul kemudian hamil dan melahirkan Yahya. Tafsir yang ketiga bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak namakan kepada seorang pun juga dengan nama Yahya sebelum Yahya.
Kategori Risalah : Anak Tahnik Dan Mendo'akan Keberkahan Ketika Anak Itu Lahir
TAHNIK تحنيك DAN MENDO'AKAN KEBERKAHAN KETIKA ANAK ITU LAHIR
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Tahnik تحنيك ialah : "Mengunyah sesuatu"[1] kemudian meletakkan/ memasukkannya ke mulut bayi lalu menggosok-gosokkan ke langit-langit (mulut)nya. Dilakukan demikian kepada bayi agar supaya ia terlatih terhadap makanan dan untuk menguatkannya. Dan yang patut dilakukan ketika mentahnik hendaklah mulut (bayi tersebut) dibuka sehingga (sesuatu yang telah dikunyah) masuk ke dalam perutnya. Dan yang lebih utama (ketika) mentahnik ialah dengan kurma. Dan kalau tidak ada kurma dengan sesuatu yang manis dan tentunya madu lebih utama dari yang lainnya (kecuali kurma)".
Demikan keterangan Ibnu Hajar di Fat-hul Baari Kitabul 'Aqiqah. Menurut Imam Nawawi bahwa tahnik ini termasuk sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kesepakatan para ulama (Lihat syarah Muslim Kiatbul Adab).
Saya berkata : Adapun hukumnya sunat tidak wajib dan waktunya ketika anak ini lahir atau sehari sesudahnya dengan melihat zhahirnya hadits dan hikmah yang terdapat pada tahnik yaitu latihan terhadap makanan dan untuk menguatkan tubuhnya. Meskipun demikian kalau dilakukan beberapa hari sesudah kelahiran tidak mengapa hanya saja kurang utama. Wallahu a'lam.
Sedangkan yang dimaksud dengan mendo'akan keberkahan [2] ketika anak itu lahir dan waktunya sesudah tahnik ialah misalnya dengan ucapan
با ر ك ا لله فيه (Baarakallahu fihi). Artinya : "Berkah Allah kepadanya".
Atau dengan ucapan.
ا للهم با ر ك فيه (Allahumma baarik fihi). Artinya : "Ya Allah berkahilah dia" [3]
Atau dengan do'a yang kita atur sendiri dengan bahasa kita yang maksudnya memohon kepada Allah agar anak yang baru lahir itu mendapat keberkahan-Nya.
Dalil dari dua masalah di atas (tahnik dan mendo'akan keberkahan) banyak sekali diantaranya.
Pertama : Hadits Abu Musa
Kedua : Hadits Anas bin Malik tentang kiash Abu Thalhah dan istrinya Ummu Sulaim
Ketiga : Hadits Asma' binti Abi Bakar Ash-Shiddiq ketika melahirkan anaknya Abdullah bin Zubair.
Ketiga hadits diatas telah saya turunkan di fasal ke 20 masalah yang pertama "waktu memberi nama kepada anak".
Keempat : Hadits Aisyah.
عن عا ء شة رضى الله عنها قا لت : أتى النبى صلى الله عليه و سلم بصبى يحنكه فبا ل عليه فأ تبعه الماء
"Artinya : Dari Aisyah, ia berkata, "Didatangkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seorang bayi laki-laki beliau mentahniknya, lalu bayi itu mengecinginya, kemudian beliau memercikkannya dengan air"
Hadits shahih dikeluarkan oleh Bukhari (no. 5468) dan Muslim (I/163-164). Lafadz hadits ini oleh Bukhari. Dan dalam lafadz Muslim sebagai berikut.
عن عا ء شة زوج النبى صلى الله عليه و سلم أن رسو ل الله صلى الله عليه و سلم يؤ تى با لصبيا ن فيبرك عليهم ويحنكهم فأ تى بصبى فبال عليه قد عا بماء فأ تبعه بو له ولم يغسله
"Artinya : Dari Aisyah istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di datangkan kepada beliau beberapa bayi kemudian beliau mendo'akan keberkahan atas mereka dan mentahnik mereka. Lalu dibawa kepada beliau seorang bayi laki-laki, lalu bayi itu kencing dipangkuan beliau, kemudian beliau meminta air dan memercikkannya ke kencing bayi tersebut dan beliau tidak mencucinya" [4]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
________
Footnote
[1]. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa mentahnik dengan kurma dan jika tidak dilakunyah boleh dilembutkan dengan tangan dengan cara melembekkannya (memencet-mencet kurma tersebut).
[2] Yang dimaksud dengan barakah ialah : "Tetapnya kebaikan dan banyaknya kebaikan". An-Nawawi di Syarah Muslim dan Syaikh Utsaimin di kitabnya Qaulul Mufid "Ala Kitabit Tauhid bab tabarruk.
[3] Ibnu Hajar di Fat-hul Baari (no. 3909)
[4]. Lihat fasal "Hukum Kencing Bayi"
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Tahnik تحنيك ialah : "Mengunyah sesuatu"[1] kemudian meletakkan/ memasukkannya ke mulut bayi lalu menggosok-gosokkan ke langit-langit (mulut)nya. Dilakukan demikian kepada bayi agar supaya ia terlatih terhadap makanan dan untuk menguatkannya. Dan yang patut dilakukan ketika mentahnik hendaklah mulut (bayi tersebut) dibuka sehingga (sesuatu yang telah dikunyah) masuk ke dalam perutnya. Dan yang lebih utama (ketika) mentahnik ialah dengan kurma. Dan kalau tidak ada kurma dengan sesuatu yang manis dan tentunya madu lebih utama dari yang lainnya (kecuali kurma)".
Demikan keterangan Ibnu Hajar di Fat-hul Baari Kitabul 'Aqiqah. Menurut Imam Nawawi bahwa tahnik ini termasuk sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kesepakatan para ulama (Lihat syarah Muslim Kiatbul Adab).
Saya berkata : Adapun hukumnya sunat tidak wajib dan waktunya ketika anak ini lahir atau sehari sesudahnya dengan melihat zhahirnya hadits dan hikmah yang terdapat pada tahnik yaitu latihan terhadap makanan dan untuk menguatkan tubuhnya. Meskipun demikian kalau dilakukan beberapa hari sesudah kelahiran tidak mengapa hanya saja kurang utama. Wallahu a'lam.
Sedangkan yang dimaksud dengan mendo'akan keberkahan [2] ketika anak itu lahir dan waktunya sesudah tahnik ialah misalnya dengan ucapan
با ر ك ا لله فيه (Baarakallahu fihi). Artinya : "Berkah Allah kepadanya".
Atau dengan ucapan.
ا للهم با ر ك فيه (Allahumma baarik fihi). Artinya : "Ya Allah berkahilah dia" [3]
Atau dengan do'a yang kita atur sendiri dengan bahasa kita yang maksudnya memohon kepada Allah agar anak yang baru lahir itu mendapat keberkahan-Nya.
Dalil dari dua masalah di atas (tahnik dan mendo'akan keberkahan) banyak sekali diantaranya.
Pertama : Hadits Abu Musa
Kedua : Hadits Anas bin Malik tentang kiash Abu Thalhah dan istrinya Ummu Sulaim
Ketiga : Hadits Asma' binti Abi Bakar Ash-Shiddiq ketika melahirkan anaknya Abdullah bin Zubair.
Ketiga hadits diatas telah saya turunkan di fasal ke 20 masalah yang pertama "waktu memberi nama kepada anak".
Keempat : Hadits Aisyah.
عن عا ء شة رضى الله عنها قا لت : أتى النبى صلى الله عليه و سلم بصبى يحنكه فبا ل عليه فأ تبعه الماء
"Artinya : Dari Aisyah, ia berkata, "Didatangkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seorang bayi laki-laki beliau mentahniknya, lalu bayi itu mengecinginya, kemudian beliau memercikkannya dengan air"
Hadits shahih dikeluarkan oleh Bukhari (no. 5468) dan Muslim (I/163-164). Lafadz hadits ini oleh Bukhari. Dan dalam lafadz Muslim sebagai berikut.
عن عا ء شة زوج النبى صلى الله عليه و سلم أن رسو ل الله صلى الله عليه و سلم يؤ تى با لصبيا ن فيبرك عليهم ويحنكهم فأ تى بصبى فبال عليه قد عا بماء فأ تبعه بو له ولم يغسله
"Artinya : Dari Aisyah istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di datangkan kepada beliau beberapa bayi kemudian beliau mendo'akan keberkahan atas mereka dan mentahnik mereka. Lalu dibawa kepada beliau seorang bayi laki-laki, lalu bayi itu kencing dipangkuan beliau, kemudian beliau meminta air dan memercikkannya ke kencing bayi tersebut dan beliau tidak mencucinya" [4]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
________
Footnote
[1]. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa mentahnik dengan kurma dan jika tidak dilakunyah boleh dilembutkan dengan tangan dengan cara melembekkannya (memencet-mencet kurma tersebut).
[2] Yang dimaksud dengan barakah ialah : "Tetapnya kebaikan dan banyaknya kebaikan". An-Nawawi di Syarah Muslim dan Syaikh Utsaimin di kitabnya Qaulul Mufid "Ala Kitabit Tauhid bab tabarruk.
[3] Ibnu Hajar di Fat-hul Baari (no. 3909)
[4]. Lihat fasal "Hukum Kencing Bayi"
Kategori Risalah : Anak Apakah Disyariatkan Adzan Pada Telinga Bayi Yang Baru Lahir ?
APAKAH DISYARIA'TKAN ADZAN PADA TELINGA BAYI YANG BARU LAHIR ?
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Judul di atas dibuat dalam konteks kalimat tanya sebagaimana yang anda lihat untuk menarik perhatian pembaca yang mulia agar mempelajari pembahasan yang dikandung judul tersebut. Karena tidak ada seorang pun yang menulis tentang bab ini kecuali menyebutkan judul sunnahnya adzan pada telinga anak yang baru lahir, padahal tidaklah demikian karena lemahnya hadits-hadits yang diriwayatkan dalam permasalahan ini. [*]
_____________________________
[*] Kami telah meneliti sedapat mungkin riwayat-riwayat dan jalan-jalannya, dan berikut ini kami terangkan dalam pembahasan ini, kami katakan :
Ada tiga hadits yang diriwayatkan dalam masalah adzan pada telinga bayi ini.
Pertama.
Dari Abi Rafi maula Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam ia berkata : "Aku melihat Rasulullah mengumandangkan adzan di telinga Al-Hasan bin Ali dengan adzan shalat ketika Fathimah Radhiyallahu 'anha melahirkannya".
Dikeluarkan oleh Abu Daud (5105), At-Tirmidzi (4/1514), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (9/300) dan Asy-Syu'ab (6/389-390), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (931-2578) dan Ad-Du'a karya beliau (2/944), Ahmad (6/9-391-392), Abdurrazzaq (7986), Ath-Thayalisi (970), Al-Hakim (3/179), Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (11/273). Berkata Al-Hakim : "Shahih isnadnya dan Al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya". Ad-Dzahabi mengkritik penilaian Al-Hakim dan berkata : "Aku katakan : Ashim Dla'if". Berkata At-Tirmidzi : "Hadits ini hasan shahih".
Semuanya dari jalan Sufyan At-Tsauri dari Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Rafi dari bapaknya.
Dan dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (926, 2579) dan Al-Haitsami meriwayatkannya dalam Majma' Zawaid (4/60) dari jalan Hammad bin Syua'ib dari Ashim bin Ubaidillah dari Ali bin Al-Husain dari Abi Rafi dengan tambahan.
"Artinya : Beliau adzan pada telinga Al-Hasan dan Al-Husain".
Rawi berkata pada akhirnya : "Dan Nabi memerintahkan mereka berbuat demikian".
Dalam isnad ini ada Hammad bin Syuaib, ia dilemahkan oleh Ibnu Main. Berkata Al-Bukhari tentangnya : "Mungkarul hadits". Dan pada tempat lain Bukhari berkata : Mereka meninggalkan haditsnya".
Berkata Al-Haitsami dalam Al-Majma (4/60) : "Dalam sanadnya ada Hammad bin Syua'ib dan ia lemah sekali".
Kami katakan di dalam sanadnya juga ada Ashim bin Ubaidillah ia lemah, dan Hammad sendiri telah menyelisihi Sufyan At-Tsauri secara sanad dan matan, di mana ia meriwayatkan dari Ashim dan Ali bin Al-Husain dari Abi Rafi dengan mengganti Ubaidillah bin Abi Rafi dengan Ali bin Al-Husain dan ia menambahkan lafadz : "Al-Husain" dan perintah adzan. Hammad ini termasuk orang yang tidak diterima haditsnya jika ia bersendiri dalam meriwayatkan. Dengan begitu diketahui kelemahan haditsnya, bagaimana tidak sedangkan ia telah menyelisihi orang yang lebih tsiqah darinya dan lebih kuat dlabtnya yaitu Ats-Tsauri. Karena itulah hadits Hammad ini mungkar, pertama dinisbatkan kelemahannya dan kedua karena ia menyelisihi rawi yang tsiqah.
Adapun jalan yang pertama yakni jalan Sufyan maka di dalam sanadnya ada Ashim bin Ubaidillah. Berkata Ibnu Hajar dalam At-Taqrib : "Ia Dla'if", dan Ibnu Hajar menyebutkan dalam At-Tahdzib (5/42) bahwa Syu'bah berkata : "Seandainya dikatakan kepada Ashim : Siapa yang membangun masjid Bashrah niscaya ia berkata : 'Fulan dari Fulan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa sanya beliau membagunnya".
Berkata Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan (2/354) : "Telah berkata Abu Zur'ah dan Abu Hatim : 'Mungkarul Hadits'. Bekata Ad-Daruquthni : 'Ia ditinggalkan dan diabaikan'. Kemudian Daruquthni membawakan untuknya hadits Abi Rafi bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adzan pada telinga Al-Hasan dan Al-Husain" (selesai nukilan dari Al-Mizan).
Maka dengan demikian hadits ini dha'if karena perputarannya pada Ashim dan anda telah mengetahui keadaannya.
Ibnul Qayyim telah menyebutkan hadits Abu Rafi' dalam kitabnya Tuhfatul Wadud (17), kemudian beliau membawakan dua hadits lagi sebagai syahid bagi hadits Abu Rafi'. Salah satunya dari Ibnu Abbas dan yang lain dari Al-Husain bin Ali. Beliau membuat satu bab khusus dengan judul "Sunnahnya adzan pada telinga bayi". Namun kita lihat keadaan dua hadits yang menjadi syahid tersebut.
Hadits Ibnu Abbas dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman (6/8620) dan Muhammad bin Yunus dari Al-Hasan bin Amr bin Saif As-Sadusi ia berkata : Telah menceritakan pada kami Al-Qasim bin Muthib dari Manshur bin Shafih dari Abu Ma'bad dari Ibnu Abbas.
"Artinya : Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adzan pada telinga Al-Hasan bin Ali pada hari dilahirkannya. Beliau adzan pada telinga kanannya dan iqamah pada telinga kiri".
Kemudian Al-Baihaqi mengatakan pada isnadnya ada kelemahan.
Kami katakan : Bahkan haditsnya maudhu' (palsu) dan cacat (ilat)nya adalah Al-Hasan bin Amr ini. berkata tentangnya Al-Hafidh dalam At-Taqrib : "Matruk".
Berkata Abu Hatim dalam Al-Jarh wa Ta'dil 91/2/26) tarjumah no. 109 :'Aku mendengar ayahku berkata : Kami melihat ia di Bashrah dan kami tidak menulis hadits darinya, ia ditinggalkan haditsnya (matrukul hadits)".
Berkata Ad-Dzahabi dalam Al-Mizan : "Ibnul Madini mendustakannya dan berkata Bukhari ia pendusta (kadzdzab) dan berkata Ar-Razi ia matruk.
Sebagaimana telah dimaklumi dari kaidah-kaidah Musthalatul Hadits bahwa hadits yang dla'if tidak akan naik ke derajat shahih atau hasan kecuali jika hadits tersebut datang dari jalan lain dengan syarat tidak ada pada jalan yang selain itu (jalan yang akan dijadikan pendukung bagi hadits yang lemah, -pent) rawi yang sangat lemah lebih-lebih rawi yang pendusta atau matruk. Bila pada jalan lain keadaannya demikian (ada rawi yang sangat lemah atau pendusta atau matruk, -pent) maka hadits yang mau dikuatkan itu tetap lemah dan tidak dapat naik ke derajat yang bisa dipakai untuk berdalil dengannya. Pembahasan haditsiyah menunjukkan bahwa hadits Ibnu Abbas tidak pantas menjadi syahid bagi hadits Abu Rafi maka hadits Abu Rafi tetap Dla'if, sedangkan hadits Ibnu Abbas maudlu.
Adapun hadits Al-Husain bin Ali adalah dari riwayat Yahya bin Al-Ala dari Marwan bin Salim dari Thalhah bin Ubaidillah dari Al-Husain bin Ali ia berkata : bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Siapa yang kelahiran anak lalu ia mengadzankannya pada telinga kanan dan iqamah pada telinga kiri maka Ummu Shibyan (jin yang suka mengganggu anak kecil, -pent) tidak akan membahayakannya".
Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman (6/390) dan Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum wal Lailah (hadits 623) dan Al-Haitsami membawakannya dalam Majma' Zawaid (4/59) dan ia berkata : Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya'la dan dalam sanadnya ada Marwan bin Salim Al-Ghifari, ia matruk".
Kami katakan hadits ini diriwayatkan Abu Ya'la dengan nomor (6780).
Berkata Muhaqqiqnya : "Isnadnya rusak dan Yahya bin Al-Ala tertuduh memalsukan hadits". Kemudian ia berkata : 'Sebagaimana hadits Ibnu Abbas menjadi syahid bagi hadits Abi Rafi, Ibnul Qayyim menyebutkan dalam Tuhfatul Wadud (hal.16) dan dikelurkan oleh Al-Baihaqi dalam Asy-Syu'ab dan dengannya menjadi kuatlah hadits Abi Rafi. Bisa jadi dengan alasan ini At-Tirmidzi berkata : 'Hadits hasan shahih', yakni shahih lighairihi. Wallahu a'lam (12/151-152).
Kami katakan : tidaklah perkara itu sebagaimana yang ia katakan karena hadits Ibnu Abbas pada sanadnya ada rawi yang pendusta dan tidak pantas menjadi syahid terhadap hadist Abu Rafi sebagaimana telah lewat penjelasannya, Wallahu a'lam.
Sedangkan haidts Al-Husain bin Ali ini adalah palsu, pada sanadnya ada Yahya bin Al-Ala dan Marwan bin Salim keduanya suka memalsukan hadits sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dlaifah (321) dan Albani membawakan hadits Ibnu Abbas dalam Ad-Dlaifah nomor (6121). Inilah yang ditunjukkan oleh pembahasan ilmiah yang benar. Dengan demikian hadits Abu Rafi tetap lemah karena hadits ini sebagaimana kata Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Talkhish (4/149) : "Perputaran hadist ini pada Ashim bin Ubaidillah dan ia Dla'if.
Syaikh Al-Albani telah membawakan hadits Abu Rafi dalam Shahih Sunan Tirmidzi no. (1224) dan Shahih Sunan Abi Daud no (4258), beliau berkata : "Hadits hasan". Dan dalam Al-Irwa (4/401) beliau menyatakan : Hadits ini Hasan Isya Allah".
Dalam Adl-Dla'ifah (1/493) Syaikh Al-Albani berkata dalam keadaan melemahkan hadits Abu Rafi' ini : "At-Tirmidzi telah meriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Abu Rafi, ia berkata :
"Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adzan dengan adzan shalat pada telinga Al-Husain bin Ali ketika ia baru dilahirkan oleh ibunya Fathimah".
Berkata At-Timidzi : "Hadits shahih (dan diamalkan)".
Kemudian berkata Syaikh Al-Albani : "Mungkin penguatan hadits Abu Rafi dengan adanya hadits Ibnu Abbas". (Kemudian beliau menyebutkannya) Dikelurkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman.
Aku (yakni Al-Albani) katakan : "Mudah-mudahan isnad hadits Ibnu Abbas ini lebih baik daipada isnad hadits Al-Hasan (yang benar hadits Al-Husain yakni hadits yang ketiga pada kami, -penulis) dari sisi hadits ini pantas sebagai syahid terhadap hadits Abu Rafi, wallahu 'alam. Maka jika demikian hadits ini sebagai syahid untuk masalah adzan (pada telinga bayi) karena masalah ini yang disebutkan dalam hadits Abu Rafi', adapaun iqamah maka hal ini gharib, wallahu a'alam.
Kemudian Syaikh Al-Albani berkata dalam Al-Irwa (4/401) : 'Aku katakana hadits ini (hadits Abu Rafi) juga telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas degan sanad yang lemah. Aku menyebutkannya seperti syahid terhadap hadits ini ketika berbicara tentang hadits yang akan datang setelahnya dalam Silsilah Al-Hadits Adl-Dla'ifah no (321) dan aku berharap di sana ia dapat menjadi syahid untuk hadits ini, wallahu a'alam.
Syaikh Al-Albani kemudian dalam Adl-Dlaifah (cetakan Maktabah Al-Ma'arif) (1/494) no. 321 menyatakan : "Aku katakan sekarang bahwa hadits Ibnu Abbas tidak pantas sebagai syahid karena pada sanadnya ada rawi yang pendusta dan matruk. Maka Aku heran dengan Al-Baihaqi kemudian Ibnul Qayyim kenapa keduanya merasa cukup atas pendlaifannya. Hingga hampir-hampir aku memastikan pantasnya (hadits Ibnu Abbas) sebagai syahid. Aku memandang termasuk kewajiban untuk memperingatkan hal tersebut dan takhrijnya akan disebutkan kemudian (61121)" (selesai ucapan Syaikh).
Sebagai akhir, kami telah menyebutkan masalah ini secara panjang lebar untuk anda wahai saudara pembaca dan kami memuji Allah yang telah memberi petunjuk pada Syaikh Al-Albani kepada kebenaran dan memberi ilham padanya. Maka dengan demikian wajib untuk memperingatkan para penuntut ilmu dan orang-orang yang mengamalkan sunnah yang shahihah yang tsabit dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada setiap tempat bahwa yang pegangan bagi hadits Abu Rafi' yang lemah adalah sebagaimana pada akhirnya penelitian Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dlaifah berhenti padanya. Dan inilah yang ada di hadapan anda. Dan hadits ini tidaklah shahih seperti yang sebelumnya beliau sebutkan dalam Shahih Sunan Tirmidzi dan Shahih Sunan Abu Daud serta Irwaul Ghalil, wallahu a'lam.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Kemudian kami dapatkan syahid lain dalam Manaqib Imam Ali oleh Ali bin Muhammad Al-Jalabi yang masyhur dengan Ibnul Maghazil, tapi ia juga tidak pantas sebagai syahid karena dalam sanadnya ada rawi yang pendusta.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Judul di atas dibuat dalam konteks kalimat tanya sebagaimana yang anda lihat untuk menarik perhatian pembaca yang mulia agar mempelajari pembahasan yang dikandung judul tersebut. Karena tidak ada seorang pun yang menulis tentang bab ini kecuali menyebutkan judul sunnahnya adzan pada telinga anak yang baru lahir, padahal tidaklah demikian karena lemahnya hadits-hadits yang diriwayatkan dalam permasalahan ini. [*]
_____________________________
[*] Kami telah meneliti sedapat mungkin riwayat-riwayat dan jalan-jalannya, dan berikut ini kami terangkan dalam pembahasan ini, kami katakan :
Ada tiga hadits yang diriwayatkan dalam masalah adzan pada telinga bayi ini.
Pertama.
Dari Abi Rafi maula Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam ia berkata : "Aku melihat Rasulullah mengumandangkan adzan di telinga Al-Hasan bin Ali dengan adzan shalat ketika Fathimah Radhiyallahu 'anha melahirkannya".
Dikeluarkan oleh Abu Daud (5105), At-Tirmidzi (4/1514), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (9/300) dan Asy-Syu'ab (6/389-390), Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (931-2578) dan Ad-Du'a karya beliau (2/944), Ahmad (6/9-391-392), Abdurrazzaq (7986), Ath-Thayalisi (970), Al-Hakim (3/179), Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (11/273). Berkata Al-Hakim : "Shahih isnadnya dan Al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya". Ad-Dzahabi mengkritik penilaian Al-Hakim dan berkata : "Aku katakan : Ashim Dla'if". Berkata At-Tirmidzi : "Hadits ini hasan shahih".
Semuanya dari jalan Sufyan At-Tsauri dari Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Rafi dari bapaknya.
Dan dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir (926, 2579) dan Al-Haitsami meriwayatkannya dalam Majma' Zawaid (4/60) dari jalan Hammad bin Syua'ib dari Ashim bin Ubaidillah dari Ali bin Al-Husain dari Abi Rafi dengan tambahan.
"Artinya : Beliau adzan pada telinga Al-Hasan dan Al-Husain".
Rawi berkata pada akhirnya : "Dan Nabi memerintahkan mereka berbuat demikian".
Dalam isnad ini ada Hammad bin Syuaib, ia dilemahkan oleh Ibnu Main. Berkata Al-Bukhari tentangnya : "Mungkarul hadits". Dan pada tempat lain Bukhari berkata : Mereka meninggalkan haditsnya".
Berkata Al-Haitsami dalam Al-Majma (4/60) : "Dalam sanadnya ada Hammad bin Syua'ib dan ia lemah sekali".
Kami katakan di dalam sanadnya juga ada Ashim bin Ubaidillah ia lemah, dan Hammad sendiri telah menyelisihi Sufyan At-Tsauri secara sanad dan matan, di mana ia meriwayatkan dari Ashim dan Ali bin Al-Husain dari Abi Rafi dengan mengganti Ubaidillah bin Abi Rafi dengan Ali bin Al-Husain dan ia menambahkan lafadz : "Al-Husain" dan perintah adzan. Hammad ini termasuk orang yang tidak diterima haditsnya jika ia bersendiri dalam meriwayatkan. Dengan begitu diketahui kelemahan haditsnya, bagaimana tidak sedangkan ia telah menyelisihi orang yang lebih tsiqah darinya dan lebih kuat dlabtnya yaitu Ats-Tsauri. Karena itulah hadits Hammad ini mungkar, pertama dinisbatkan kelemahannya dan kedua karena ia menyelisihi rawi yang tsiqah.
Adapun jalan yang pertama yakni jalan Sufyan maka di dalam sanadnya ada Ashim bin Ubaidillah. Berkata Ibnu Hajar dalam At-Taqrib : "Ia Dla'if", dan Ibnu Hajar menyebutkan dalam At-Tahdzib (5/42) bahwa Syu'bah berkata : "Seandainya dikatakan kepada Ashim : Siapa yang membangun masjid Bashrah niscaya ia berkata : 'Fulan dari Fulan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa sanya beliau membagunnya".
Berkata Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan (2/354) : "Telah berkata Abu Zur'ah dan Abu Hatim : 'Mungkarul Hadits'. Bekata Ad-Daruquthni : 'Ia ditinggalkan dan diabaikan'. Kemudian Daruquthni membawakan untuknya hadits Abi Rafi bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adzan pada telinga Al-Hasan dan Al-Husain" (selesai nukilan dari Al-Mizan).
Maka dengan demikian hadits ini dha'if karena perputarannya pada Ashim dan anda telah mengetahui keadaannya.
Ibnul Qayyim telah menyebutkan hadits Abu Rafi' dalam kitabnya Tuhfatul Wadud (17), kemudian beliau membawakan dua hadits lagi sebagai syahid bagi hadits Abu Rafi'. Salah satunya dari Ibnu Abbas dan yang lain dari Al-Husain bin Ali. Beliau membuat satu bab khusus dengan judul "Sunnahnya adzan pada telinga bayi". Namun kita lihat keadaan dua hadits yang menjadi syahid tersebut.
Hadits Ibnu Abbas dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman (6/8620) dan Muhammad bin Yunus dari Al-Hasan bin Amr bin Saif As-Sadusi ia berkata : Telah menceritakan pada kami Al-Qasim bin Muthib dari Manshur bin Shafih dari Abu Ma'bad dari Ibnu Abbas.
"Artinya : Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adzan pada telinga Al-Hasan bin Ali pada hari dilahirkannya. Beliau adzan pada telinga kanannya dan iqamah pada telinga kiri".
Kemudian Al-Baihaqi mengatakan pada isnadnya ada kelemahan.
Kami katakan : Bahkan haditsnya maudhu' (palsu) dan cacat (ilat)nya adalah Al-Hasan bin Amr ini. berkata tentangnya Al-Hafidh dalam At-Taqrib : "Matruk".
Berkata Abu Hatim dalam Al-Jarh wa Ta'dil 91/2/26) tarjumah no. 109 :'Aku mendengar ayahku berkata : Kami melihat ia di Bashrah dan kami tidak menulis hadits darinya, ia ditinggalkan haditsnya (matrukul hadits)".
Berkata Ad-Dzahabi dalam Al-Mizan : "Ibnul Madini mendustakannya dan berkata Bukhari ia pendusta (kadzdzab) dan berkata Ar-Razi ia matruk.
Sebagaimana telah dimaklumi dari kaidah-kaidah Musthalatul Hadits bahwa hadits yang dla'if tidak akan naik ke derajat shahih atau hasan kecuali jika hadits tersebut datang dari jalan lain dengan syarat tidak ada pada jalan yang selain itu (jalan yang akan dijadikan pendukung bagi hadits yang lemah, -pent) rawi yang sangat lemah lebih-lebih rawi yang pendusta atau matruk. Bila pada jalan lain keadaannya demikian (ada rawi yang sangat lemah atau pendusta atau matruk, -pent) maka hadits yang mau dikuatkan itu tetap lemah dan tidak dapat naik ke derajat yang bisa dipakai untuk berdalil dengannya. Pembahasan haditsiyah menunjukkan bahwa hadits Ibnu Abbas tidak pantas menjadi syahid bagi hadits Abu Rafi maka hadits Abu Rafi tetap Dla'if, sedangkan hadits Ibnu Abbas maudlu.
Adapun hadits Al-Husain bin Ali adalah dari riwayat Yahya bin Al-Ala dari Marwan bin Salim dari Thalhah bin Ubaidillah dari Al-Husain bin Ali ia berkata : bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Siapa yang kelahiran anak lalu ia mengadzankannya pada telinga kanan dan iqamah pada telinga kiri maka Ummu Shibyan (jin yang suka mengganggu anak kecil, -pent) tidak akan membahayakannya".
Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman (6/390) dan Ibnu Sunni dalam Amalul Yaum wal Lailah (hadits 623) dan Al-Haitsami membawakannya dalam Majma' Zawaid (4/59) dan ia berkata : Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya'la dan dalam sanadnya ada Marwan bin Salim Al-Ghifari, ia matruk".
Kami katakan hadits ini diriwayatkan Abu Ya'la dengan nomor (6780).
Berkata Muhaqqiqnya : "Isnadnya rusak dan Yahya bin Al-Ala tertuduh memalsukan hadits". Kemudian ia berkata : 'Sebagaimana hadits Ibnu Abbas menjadi syahid bagi hadits Abi Rafi, Ibnul Qayyim menyebutkan dalam Tuhfatul Wadud (hal.16) dan dikelurkan oleh Al-Baihaqi dalam Asy-Syu'ab dan dengannya menjadi kuatlah hadits Abi Rafi. Bisa jadi dengan alasan ini At-Tirmidzi berkata : 'Hadits hasan shahih', yakni shahih lighairihi. Wallahu a'lam (12/151-152).
Kami katakan : tidaklah perkara itu sebagaimana yang ia katakan karena hadits Ibnu Abbas pada sanadnya ada rawi yang pendusta dan tidak pantas menjadi syahid terhadap hadist Abu Rafi sebagaimana telah lewat penjelasannya, Wallahu a'lam.
Sedangkan haidts Al-Husain bin Ali ini adalah palsu, pada sanadnya ada Yahya bin Al-Ala dan Marwan bin Salim keduanya suka memalsukan hadits sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dlaifah (321) dan Albani membawakan hadits Ibnu Abbas dalam Ad-Dlaifah nomor (6121). Inilah yang ditunjukkan oleh pembahasan ilmiah yang benar. Dengan demikian hadits Abu Rafi tetap lemah karena hadits ini sebagaimana kata Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Talkhish (4/149) : "Perputaran hadist ini pada Ashim bin Ubaidillah dan ia Dla'if.
Syaikh Al-Albani telah membawakan hadits Abu Rafi dalam Shahih Sunan Tirmidzi no. (1224) dan Shahih Sunan Abi Daud no (4258), beliau berkata : "Hadits hasan". Dan dalam Al-Irwa (4/401) beliau menyatakan : Hadits ini Hasan Isya Allah".
Dalam Adl-Dla'ifah (1/493) Syaikh Al-Albani berkata dalam keadaan melemahkan hadits Abu Rafi' ini : "At-Tirmidzi telah meriwayatkan dengan sanad yang lemah dari Abu Rafi, ia berkata :
"Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adzan dengan adzan shalat pada telinga Al-Husain bin Ali ketika ia baru dilahirkan oleh ibunya Fathimah".
Berkata At-Timidzi : "Hadits shahih (dan diamalkan)".
Kemudian berkata Syaikh Al-Albani : "Mungkin penguatan hadits Abu Rafi dengan adanya hadits Ibnu Abbas". (Kemudian beliau menyebutkannya) Dikelurkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman.
Aku (yakni Al-Albani) katakan : "Mudah-mudahan isnad hadits Ibnu Abbas ini lebih baik daipada isnad hadits Al-Hasan (yang benar hadits Al-Husain yakni hadits yang ketiga pada kami, -penulis) dari sisi hadits ini pantas sebagai syahid terhadap hadits Abu Rafi, wallahu 'alam. Maka jika demikian hadits ini sebagai syahid untuk masalah adzan (pada telinga bayi) karena masalah ini yang disebutkan dalam hadits Abu Rafi', adapaun iqamah maka hal ini gharib, wallahu a'alam.
Kemudian Syaikh Al-Albani berkata dalam Al-Irwa (4/401) : 'Aku katakana hadits ini (hadits Abu Rafi) juga telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas degan sanad yang lemah. Aku menyebutkannya seperti syahid terhadap hadits ini ketika berbicara tentang hadits yang akan datang setelahnya dalam Silsilah Al-Hadits Adl-Dla'ifah no (321) dan aku berharap di sana ia dapat menjadi syahid untuk hadits ini, wallahu a'alam.
Syaikh Al-Albani kemudian dalam Adl-Dlaifah (cetakan Maktabah Al-Ma'arif) (1/494) no. 321 menyatakan : "Aku katakan sekarang bahwa hadits Ibnu Abbas tidak pantas sebagai syahid karena pada sanadnya ada rawi yang pendusta dan matruk. Maka Aku heran dengan Al-Baihaqi kemudian Ibnul Qayyim kenapa keduanya merasa cukup atas pendlaifannya. Hingga hampir-hampir aku memastikan pantasnya (hadits Ibnu Abbas) sebagai syahid. Aku memandang termasuk kewajiban untuk memperingatkan hal tersebut dan takhrijnya akan disebutkan kemudian (61121)" (selesai ucapan Syaikh).
Sebagai akhir, kami telah menyebutkan masalah ini secara panjang lebar untuk anda wahai saudara pembaca dan kami memuji Allah yang telah memberi petunjuk pada Syaikh Al-Albani kepada kebenaran dan memberi ilham padanya. Maka dengan demikian wajib untuk memperingatkan para penuntut ilmu dan orang-orang yang mengamalkan sunnah yang shahihah yang tsabit dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada setiap tempat bahwa yang pegangan bagi hadits Abu Rafi' yang lemah adalah sebagaimana pada akhirnya penelitian Syaikh Al-Albani dalam Ad-Dlaifah berhenti padanya. Dan inilah yang ada di hadapan anda. Dan hadits ini tidaklah shahih seperti yang sebelumnya beliau sebutkan dalam Shahih Sunan Tirmidzi dan Shahih Sunan Abu Daud serta Irwaul Ghalil, wallahu a'lam.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Kemudian kami dapatkan syahid lain dalam Manaqib Imam Ali oleh Ali bin Muhammad Al-Jalabi yang masyhur dengan Ibnul Maghazil, tapi ia juga tidak pantas sebagai syahid karena dalam sanadnya ada rawi yang pendusta.
Kategori Risalah : Anak Hukum Merayakan Ulang Tahun Anak
UKUM MERAYAKAN ULANG TAHUN ANAK
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah perayaan ulang tahun anak termasuk tasyabbuh (tindakan menyerupai) dengan budaya orang barat yang kafir ataukah semacam cara menyenangkan dan menggembirakan hati anak dan keluarganya ?
Jawaban.
Perayaan ulang tahun anak tidak lepas dari dua hal ; dianggap sebagai ibadah, atau hanya adat kebiasaan saja. Kalau dimaksudkan sebagai ibadah, maka hal itu termasuk bid'ah dalam agama Allah. Padahal peringatan dari amalan bid'ah dan penegasan bahwa dia termasuk sesat telah datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda:
"Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka".
Namun jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua sisi larangan.
Pertama.
Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari raya ('Ied). Tindakan ini berarti suatu kelalancangan terhadap Allah dan RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai 'Ied (hari raya) dalam Islam, padahal Allah dan RasulNya tidak pernah menjadikannya sebagai hari raya.
Saat memasuki kota Madinah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendapati dua hari raya yang digunakan kaum Anshar sebagai waktu bersenang-senang dan menganggapnya sebagai hari 'Ied, maka beliau bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu 'Idul Fitri dan 'Idul Adha".
Kedua.
Adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah. Budaya ini bukan merupakan budaya kaum muslimin, namun warisan dari non muslim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka".
Kemudian panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk amalanya.
Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do'a agar dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : "Semoga Allah memanjangkan umurmu" kecuali dengan keterangan "Dalam ketaatanNya" atau "Dalam kebaikan" atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang kadangkala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Allah menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan dan malapetaka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (kearah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana amat teguh". [Al-A'raf : 182-183]
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan janganlah sekali-kali orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah labih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka adzab yang menghinakan". [Ali-Imran : 178]
[Fatawa Manarul Islam 1/43]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah perayaan ulang tahun anak termasuk tasyabbuh (tindakan menyerupai) dengan budaya orang barat yang kafir ataukah semacam cara menyenangkan dan menggembirakan hati anak dan keluarganya ?
Jawaban.
Perayaan ulang tahun anak tidak lepas dari dua hal ; dianggap sebagai ibadah, atau hanya adat kebiasaan saja. Kalau dimaksudkan sebagai ibadah, maka hal itu termasuk bid'ah dalam agama Allah. Padahal peringatan dari amalan bid'ah dan penegasan bahwa dia termasuk sesat telah datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda:
"Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka".
Namun jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua sisi larangan.
Pertama.
Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari raya ('Ied). Tindakan ini berarti suatu kelalancangan terhadap Allah dan RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai 'Ied (hari raya) dalam Islam, padahal Allah dan RasulNya tidak pernah menjadikannya sebagai hari raya.
Saat memasuki kota Madinah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendapati dua hari raya yang digunakan kaum Anshar sebagai waktu bersenang-senang dan menganggapnya sebagai hari 'Ied, maka beliau bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu 'Idul Fitri dan 'Idul Adha".
Kedua.
Adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah. Budaya ini bukan merupakan budaya kaum muslimin, namun warisan dari non muslim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka".
Kemudian panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk amalanya.
Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do'a agar dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : "Semoga Allah memanjangkan umurmu" kecuali dengan keterangan "Dalam ketaatanNya" atau "Dalam kebaikan" atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang kadangkala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Allah menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan dan malapetaka.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (kearah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana amat teguh". [Al-A'raf : 182-183]
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan janganlah sekali-kali orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah labih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka adzab yang menghinakan". [Ali-Imran : 178]
[Fatawa Manarul Islam 1/43]
Kategori Risalah : Anak Memberikan Sesuatu Kepada Salah Seorang Anak Dan Tidak Memberikan Kepada Anak Yang Lain
MEMBERIKAN SESUATU KEPADA SALAH SEORANG ANAK DAN TIDAK MEMBERIKAN KEPADA ANAK YANG LAIN
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bolehkah saya memberikan sesuatu kepada salah satu anak saya yang tidak saya berikan kepada anak-anak yang lain karena mereka sudah kaya ?
Jawaban
Tidak boleh bagi anda untuk mengkhususkan salah seorang anak laki-laki maupun perempuan dengan sesuatu. Akan tetapi wajib untuk berbuat adil dengan mereka, sesuai dengan hitungan warisan, atau tidak sama sekali, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Takutlah kepada Allah dan berbuat adillah antara anak-anakmu". [Disepakati keshahihannya]
Akan tetapi jika anak-anaknya rela dengan pengkhususan tersebut, maka hal tersebut tidak apa-apa, selama yang merelakannya adalah orang-orang yang sudah baligh. Demikian pula bila di antara anak-anak anda ada yang dalam keadaan kesusahan, tidak bisa bekerja karena sakit atau cacat dan tidak ada bapaknya atau saudaranya yang menafkahinya, tidak pula mendapat santunan dari pemerintah yang memenuhi kebutuhannya, maka bagi anda hendaknya menafkahinya sebatas keperluannya hingga Allah mencukupi kebutuhannya.
[Fatawa Mar'ah, 2/101]
BOLEHKAH SEORANG IBU MENGKHUSUSKAN ANAKNYA LEBIH DARI YANG LAIN
Oleh
Syaikh Abdullah bin Jibrin
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Bolehkah seorang ibu mengkhususkan salah seorang anaknya lebih dari yang lainnya, dari cara melepas kepergiannya, menerima kedatangannya, padahal perlakuan anak-anaknya terhadap ibu mereka tidak berbeda. Demikian pula anak cucu, perlakuan mereka terhadap nenek mereka tidak berbeda. Bolehkan hal tersebut ? Berilah kami penjelasan, semoga Allah memberi anda pahala kebaikan
Jawaban
Wajib bagi orang tua berbuat adil diantara anak-anaknya, tidak melebihkan sebagian dari sebagian yang lain dalam hal nafkah, pemberian hadiah dan sebagainya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam
"Artinya : Takutlah kepada Allah dan berbuat adillah antara anak-anakmu"
"Artinya : Bukanlah kamu ingin perbuatan baik mereka kepadamu sama ? Maka perlakukanlah mereka dengan sama"
Para ulama besar senantiasa berbuat adil kepada anak-anaknya hingga pada permasalahan mencium anak, senyum, menerima kedatangan dan sebagainya, berdasarkan perintah untuk berlaku adil terhadap anak-anak. Akan tetapi diperbolehkan utuk tidak menyamaratakan antara mereka, pada kondisi seperti orang tua yang mendahulukan anak terkecil, mengutamakan yang sakit dan semacamnya, berdasarkan alas an kasih saying. Jika tidak ada alas an tersebut, berarti kewajibannya adalah tetap adil dalam setiap interaksi dengan mereka, apalagi jika mereka sama pula dalam hal ketaatan, pengabdian dan silaturhaminya kepada orang tua.
[Fatawal Mar'ah 1/96]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Bolehkah saya memberikan sesuatu kepada salah satu anak saya yang tidak saya berikan kepada anak-anak yang lain karena mereka sudah kaya ?
Jawaban
Tidak boleh bagi anda untuk mengkhususkan salah seorang anak laki-laki maupun perempuan dengan sesuatu. Akan tetapi wajib untuk berbuat adil dengan mereka, sesuai dengan hitungan warisan, atau tidak sama sekali, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Takutlah kepada Allah dan berbuat adillah antara anak-anakmu". [Disepakati keshahihannya]
Akan tetapi jika anak-anaknya rela dengan pengkhususan tersebut, maka hal tersebut tidak apa-apa, selama yang merelakannya adalah orang-orang yang sudah baligh. Demikian pula bila di antara anak-anak anda ada yang dalam keadaan kesusahan, tidak bisa bekerja karena sakit atau cacat dan tidak ada bapaknya atau saudaranya yang menafkahinya, tidak pula mendapat santunan dari pemerintah yang memenuhi kebutuhannya, maka bagi anda hendaknya menafkahinya sebatas keperluannya hingga Allah mencukupi kebutuhannya.
[Fatawa Mar'ah, 2/101]
BOLEHKAH SEORANG IBU MENGKHUSUSKAN ANAKNYA LEBIH DARI YANG LAIN
Oleh
Syaikh Abdullah bin Jibrin
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Bolehkah seorang ibu mengkhususkan salah seorang anaknya lebih dari yang lainnya, dari cara melepas kepergiannya, menerima kedatangannya, padahal perlakuan anak-anaknya terhadap ibu mereka tidak berbeda. Demikian pula anak cucu, perlakuan mereka terhadap nenek mereka tidak berbeda. Bolehkan hal tersebut ? Berilah kami penjelasan, semoga Allah memberi anda pahala kebaikan
Jawaban
Wajib bagi orang tua berbuat adil diantara anak-anaknya, tidak melebihkan sebagian dari sebagian yang lain dalam hal nafkah, pemberian hadiah dan sebagainya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam
"Artinya : Takutlah kepada Allah dan berbuat adillah antara anak-anakmu"
"Artinya : Bukanlah kamu ingin perbuatan baik mereka kepadamu sama ? Maka perlakukanlah mereka dengan sama"
Para ulama besar senantiasa berbuat adil kepada anak-anaknya hingga pada permasalahan mencium anak, senyum, menerima kedatangan dan sebagainya, berdasarkan perintah untuk berlaku adil terhadap anak-anak. Akan tetapi diperbolehkan utuk tidak menyamaratakan antara mereka, pada kondisi seperti orang tua yang mendahulukan anak terkecil, mengutamakan yang sakit dan semacamnya, berdasarkan alas an kasih saying. Jika tidak ada alas an tersebut, berarti kewajibannya adalah tetap adil dalam setiap interaksi dengan mereka, apalagi jika mereka sama pula dalam hal ketaatan, pengabdian dan silaturhaminya kepada orang tua.
[Fatawal Mar'ah 1/96]
Kategori Risalah : Anak Keistimewaan Mendidik Anak
KEISTIMEWAAN MENDIDIK ANAK
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya seorang wanita yang mempunyai anak laki-laki dan perempuan. Anak-anak perempuan bisa saya didik dengan baik karena selalu bersama saya. Tapi saya tidak mampu mendidik anak-anak lelaki yang sebagian sudah dewasa, ayah mereka waktunya habis untuk bekerja seharian. Bila saya minta untuk berperan serta dalam mendidik, dia tidak mempedulikan ucapan saya. Apakah saya salah dalam hal ini ? Saya mohon Syaikh menganjurkan para orang tua untuk memperhatikan anak-anak mereka dan tidak hanya menghabiskan waktu dengan pekerjaan.
Jawaban.
Kami berterima kasih kepada ibu yang telah mendidik putri-putrinya, sekaligus berusaha memperbaiki putra-putranya. Kami berharap ayah mereka memperhatikan dan selalu berusaha (untuk mendidik mereka) demi kebaikan anak-anak dan membimbing mereka agar menjadi anak shalih. Karena hal itu lebih baik bagi dirinya di dunia dan akhirat, dalam kehidupan sekarang maupun setelah ajal menjemputnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu". [At-Tahrim : 6]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Ketika anak Adam meninggal, terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara : Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat bagi orang sesudahnya dan anak shalih yang mendo'akannya".
Jika seorang ayah sibuk mendidik anak-anaknya sesuai yang diperintahkan Allah dan RasulNya, maka ia berada di atas jalan kebaikan yang besar. Anak-anak mendo'akannya di masa ayahnya masih hidup dan setelah kematiannya. Jika terjadi sebaliknya, mengenyampingkan tanggung jawab pendidikan anak-anak, maka dia berdosa dan anak-anak akan menjadi malapetaka bagi dirinya.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Kami berharap ayah mereka bisa memperhatikan anak-anaknya seperti halnya perhatiannya kepada kekayaan. Bahkan harus lebih dari itu, karena harta materi akan lenyap, sementara anak merupakan bagian manusia yang tidak terpisahkan. Mereka aorang-orang yang akan memberi manfaat kepada orang tua ketika masih hiudp dan setelah mati.
[Fatawa Manarul Islam 3/789]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya seorang wanita yang mempunyai anak laki-laki dan perempuan. Anak-anak perempuan bisa saya didik dengan baik karena selalu bersama saya. Tapi saya tidak mampu mendidik anak-anak lelaki yang sebagian sudah dewasa, ayah mereka waktunya habis untuk bekerja seharian. Bila saya minta untuk berperan serta dalam mendidik, dia tidak mempedulikan ucapan saya. Apakah saya salah dalam hal ini ? Saya mohon Syaikh menganjurkan para orang tua untuk memperhatikan anak-anak mereka dan tidak hanya menghabiskan waktu dengan pekerjaan.
Jawaban.
Kami berterima kasih kepada ibu yang telah mendidik putri-putrinya, sekaligus berusaha memperbaiki putra-putranya. Kami berharap ayah mereka memperhatikan dan selalu berusaha (untuk mendidik mereka) demi kebaikan anak-anak dan membimbing mereka agar menjadi anak shalih. Karena hal itu lebih baik bagi dirinya di dunia dan akhirat, dalam kehidupan sekarang maupun setelah ajal menjemputnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu". [At-Tahrim : 6]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Ketika anak Adam meninggal, terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara : Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat bagi orang sesudahnya dan anak shalih yang mendo'akannya".
Jika seorang ayah sibuk mendidik anak-anaknya sesuai yang diperintahkan Allah dan RasulNya, maka ia berada di atas jalan kebaikan yang besar. Anak-anak mendo'akannya di masa ayahnya masih hidup dan setelah kematiannya. Jika terjadi sebaliknya, mengenyampingkan tanggung jawab pendidikan anak-anak, maka dia berdosa dan anak-anak akan menjadi malapetaka bagi dirinya.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Kami berharap ayah mereka bisa memperhatikan anak-anaknya seperti halnya perhatiannya kepada kekayaan. Bahkan harus lebih dari itu, karena harta materi akan lenyap, sementara anak merupakan bagian manusia yang tidak terpisahkan. Mereka aorang-orang yang akan memberi manfaat kepada orang tua ketika masih hiudp dan setelah mati.
[Fatawa Manarul Islam 3/789]
Kategori Risalah : Anak Melubangi Telinga Dan Hidung Bayi Perempuan Untuk Perhiasan
MELUBANGI TELINGA DAN HIDUNG BAYI PEREMPUAN UNTUK PERHIASAN
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin ditanya : Apa hukum melubangi telinga dan hidung bayi perempuan untuk perhiasan ?
Jawaban
Pendapat yang benar adalah, melubangi telinga tidak masalah, karena tujuan di balik itu untuk perhiasan yang dibolehkan. Sebagaimana tercatat (dalam sejarah) bahwa wanita-wanita sahabat memiliki perhiasan emas yang dipasang di telinga (anting-anting). Ini termasuk perbuatan melukai yang ringan, terlebih lagi bila dilakukan saat masih kecil karena cepat sembuh.
Sedangkan melubangi hidung (tindik), maka saya tidak pernah menjumpai pendapat ulama tentang hal itu. Tapi menurut saya dalam hal ini ada semacam menyiksa atau merubah bentuk seperti yang kita lihat, tetapi mungkin saja orang lain tidak sependapat dengan saya. Bila dalam suatu negeri perhiasan di hidung termasuk kecantikan dan keindahan, maka tidak masalah dengan melubangi dan memakai perhiasan di hidung.
[Syaikh Ibnu Utsaimin, Majmu' Fatawa Syaikh 4/137]
[Disalin dari kitab Fatawa Ath-Thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Penerbit Griya Ilmu]
HUKUM MENINDIK TELINGA
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin ditanya : Apa hukum menindik telinga dan hidung perempuan untuk tujuan berhias ?
Jawaban
Menindik telinga hukumnya boleh, karena tujuannya adalah untuk berhias. Telah diriwayatkan bahwa para istri-istri shahabat mempunyai anting-anting yang mereka pergunakan di telinga mereka. Menusuknya adalah menyakti, tapi hanya sedikit, jika ditindik ketika masih kecil, sembuhnya pun cepat. Sedang menindik hidung, hukumnya sama dengan menindik telinga.
HUKUM MENINDIK TELINGA
Oleh
Syaikh Abdullah Al-Fauzan
Pertanyaan
Syaikh Abdullah Al-Fauzan berkata : Diperbolehkan menindik telinga karena bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fithrah wanita untuk berhias. Adanya rasa sakit ketika ditindik tidaklah merupakan halangan, karena hanya merupakan sakit sedikit dan sebentar. Dan menindik telinga seringkali dilakukan ketika anak masih kecil.
Menindik telinga merupakan perkara biasa bagi wanita dari dulu hingga sekarang. Tidak ada larangan tentangnya, baik di dalam Al-Qur'an maupun hadits, justru ada riwayat yang mengisyaratkan diperbolehkannya dan pengakuan manusia atasnya.
Terdapat riwayat dari Abdurrahman bin Abbas, ia berkata bawa Ibnu Abbas ditanya : "Pernahkah kamu menyaksikan hari raya bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ?". Dia menjawab, "Pernah, kalaulah bukan karena kedudukanku di sisinya, saya menyaksikannya semenjak kecil. Beliau mendatangi tanda di rumah Katsir bin Shalt (rumah Katsir bin Salt dipakai sebagai kiblat untuk shalat 'Ied). Lalu beliau shalat kemudian berkhutbah tanpa terdengar adzan ataupun iqamah. Beliau memerintahkan untuk bersedekah, maka para wanita mengulurkan tangannya ke telinga-telinga mereka dan leher-leher mereka (untuk mencopot perhiasan mereka) dan beliau memerintahkan kepada Bilal untuk mendatangi tempat wanita, (setelah selesai) kemudian Bilal kembali menghadap Nabi.
Dalam lafazh riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Abbas disebutkan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk bersedekah, maka saya melihat para wanita mengulurkan tangan ke telinga dan leher mereka (mengambil perhiasan mereka).
[Fatawa Lil Fatayat Faqoth, hal. 47]
HUKUM MEMAKAI GELANG DI HIDUNG
Oleh
Syaikh Abdullah bin Jibrin
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apa hukum menggunakan gelang di hidung untuk hiasan ?
Jawaban
Diperbolehkan bagi wanita untuk berhias dengan perhiasan sebagaimana adat kebiasaan, meski mengahruskannya untuk melubangi sebagian tubuhnya, seperti menindik telinga. Jadi menggunakan gelang di hidung diperbolehkan sebagaimana diperbolehkan menindik hidung sapi dan mengikatnya dengan tali untuk mengendalikannya. Dan hal itu tidak dianggap sebagai kesia-siaan.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin ditanya : Apa hukum melubangi telinga dan hidung bayi perempuan untuk perhiasan ?
Jawaban
Pendapat yang benar adalah, melubangi telinga tidak masalah, karena tujuan di balik itu untuk perhiasan yang dibolehkan. Sebagaimana tercatat (dalam sejarah) bahwa wanita-wanita sahabat memiliki perhiasan emas yang dipasang di telinga (anting-anting). Ini termasuk perbuatan melukai yang ringan, terlebih lagi bila dilakukan saat masih kecil karena cepat sembuh.
Sedangkan melubangi hidung (tindik), maka saya tidak pernah menjumpai pendapat ulama tentang hal itu. Tapi menurut saya dalam hal ini ada semacam menyiksa atau merubah bentuk seperti yang kita lihat, tetapi mungkin saja orang lain tidak sependapat dengan saya. Bila dalam suatu negeri perhiasan di hidung termasuk kecantikan dan keindahan, maka tidak masalah dengan melubangi dan memakai perhiasan di hidung.
[Syaikh Ibnu Utsaimin, Majmu' Fatawa Syaikh 4/137]
[Disalin dari kitab Fatawa Ath-Thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Penerbit Griya Ilmu]
HUKUM MENINDIK TELINGA
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin ditanya : Apa hukum menindik telinga dan hidung perempuan untuk tujuan berhias ?
Jawaban
Menindik telinga hukumnya boleh, karena tujuannya adalah untuk berhias. Telah diriwayatkan bahwa para istri-istri shahabat mempunyai anting-anting yang mereka pergunakan di telinga mereka. Menusuknya adalah menyakti, tapi hanya sedikit, jika ditindik ketika masih kecil, sembuhnya pun cepat. Sedang menindik hidung, hukumnya sama dengan menindik telinga.
HUKUM MENINDIK TELINGA
Oleh
Syaikh Abdullah Al-Fauzan
Pertanyaan
Syaikh Abdullah Al-Fauzan berkata : Diperbolehkan menindik telinga karena bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fithrah wanita untuk berhias. Adanya rasa sakit ketika ditindik tidaklah merupakan halangan, karena hanya merupakan sakit sedikit dan sebentar. Dan menindik telinga seringkali dilakukan ketika anak masih kecil.
Menindik telinga merupakan perkara biasa bagi wanita dari dulu hingga sekarang. Tidak ada larangan tentangnya, baik di dalam Al-Qur'an maupun hadits, justru ada riwayat yang mengisyaratkan diperbolehkannya dan pengakuan manusia atasnya.
Terdapat riwayat dari Abdurrahman bin Abbas, ia berkata bawa Ibnu Abbas ditanya : "Pernahkah kamu menyaksikan hari raya bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam ?". Dia menjawab, "Pernah, kalaulah bukan karena kedudukanku di sisinya, saya menyaksikannya semenjak kecil. Beliau mendatangi tanda di rumah Katsir bin Shalt (rumah Katsir bin Salt dipakai sebagai kiblat untuk shalat 'Ied). Lalu beliau shalat kemudian berkhutbah tanpa terdengar adzan ataupun iqamah. Beliau memerintahkan untuk bersedekah, maka para wanita mengulurkan tangannya ke telinga-telinga mereka dan leher-leher mereka (untuk mencopot perhiasan mereka) dan beliau memerintahkan kepada Bilal untuk mendatangi tempat wanita, (setelah selesai) kemudian Bilal kembali menghadap Nabi.
Dalam lafazh riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Abbas disebutkan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk bersedekah, maka saya melihat para wanita mengulurkan tangan ke telinga dan leher mereka (mengambil perhiasan mereka).
[Fatawa Lil Fatayat Faqoth, hal. 47]
HUKUM MEMAKAI GELANG DI HIDUNG
Oleh
Syaikh Abdullah bin Jibrin
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apa hukum menggunakan gelang di hidung untuk hiasan ?
Jawaban
Diperbolehkan bagi wanita untuk berhias dengan perhiasan sebagaimana adat kebiasaan, meski mengahruskannya untuk melubangi sebagian tubuhnya, seperti menindik telinga. Jadi menggunakan gelang di hidung diperbolehkan sebagaimana diperbolehkan menindik hidung sapi dan mengikatnya dengan tali untuk mengendalikannya. Dan hal itu tidak dianggap sebagai kesia-siaan.
Kategori Risalah : Anak Antara Hak Anak Dan Kewajiban Ibu
ANTARA HAK ANAK DAN KEWAJIBAN IBU
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Anak merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ibunya. Anak merupakan darah daging kedua orang tuanya. Anak mempunyai hak-hak yang merupakan kewajiban orang tuanya, terutama ibunya, untuk menunaikan hak-hak tersebut. Jadi bukan hanya anak yang mempunyai kewajiban atas orang tua, tetapi orang tua pun mempunyai kewajiban atas anak. Secara ringkasnya kewajiban orangtua atas anaknya adalah sebagai berikut:
PERTAMA : MENYUSUI
Wajib atas seorang ibu menyusui anaknya yang masih kecil, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya : "Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan". [Al Baqarah: 233]
Allah berfirman, yang artinya : "Kami perintahkan kepada manusia Supaya berbuat baik kepada kedua iorang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkanya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan". [Al Ahqaf : 15]
Al ‘Allamah Siddiq Hasan Khan berkata,” Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan maksudnya adalah jumlah waktu selama itu dihitung dari mulai hamil sampai disapih” [1]
KEDUA : MENDIDIKNYA
Mendidik anak dengan baik merupakan salah satu sifat seorang ibu muslimah dia senatiasa mendidik anak-anaknya dengan akhlaqk yang baik yaitu akhlak Muhammad dan para sahabatnya yang mulia.
Mendidik anak bukanlah kemurahan hati seorang ibu kepada anak-anaknya, akan tetapi merupakan kewajiban dan fitrah yang Allah berikan kepada seorang ibu.
Mendidik anak pun tidak terbatas dalam satu perkara saja tanpa perkara lainnya seperti mencucikan pakaiannya atau membersihkan badannya saja, bahkan mendidik anak itu mencakup perkara yang luas, mengingat anak merupakan generasi penerus yang akan menggantikan kita yang kita harapkan menjadi generasi yang tagguh yang akan memenuhi bumi ini dengan kekuatan, hikmah, ilmu, kemuliaan dan kejayaan.
Berikut beberapa perkara yang wajib diperhatikan oleh ibu dalam mendidik anak-anaknya :
1. Menanamkan Aqidah Yang Bersih Yang Bersumber Dari Kitab Dan Sunnah Yang Shahih
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah". [Muhammad : 19]. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya : "Dari Abul Abbas Abdullah bin Abbas dia berkata,”Pada suatu hari aku membonceng di belakang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian Beliau berkata,” Wahai anak, sesungguhnya aku mengajarimu beberapa kalimat, yaitu : jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau mendapatiNya dihadapanmu. Apabila engkau meminta, maka mintalah kepada Allah.dan apabila engkau mohon pertolongan maka mohonlah pertolngan kepada Allah. Ketahuilah seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberimu satu manfaat, niscaya mereka tidak akan dapat memberimu manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan jika mereka berkumpul untuk memberimu satu bahaya niscaya mereka tidak akan bisa membahayakanmu kecuali dengan sesuatu yamg telah Allah tetapkan atasmu. Pena-pena telah diangkat dan tinta telah kering” [2]
Dan dalam riwayat lain (Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata) :"Jagalah Allah niscaya engkau akan mendapatiNya dihadapanmu. Perkenalkanlah dirimu kepada Allah disaat kamu senang, niscaya Dia akan mengenalimu disaat sulit. Ketahuilah, apa-apa yang (ditakdirkan) luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa-apa yang (ditakdirkan) menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan ada bersama kesabaran dan bahwa kelapangan ada bersama kesempitan dan bahwa bersama kesusahan ada kemudahan". [3]
Seorang anak terlahir di atas fitrah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka sesuatu yang sedikit saja akan berpengaruh padanya. Dan wanita muslimah adalah orang yang bersegera menanamkan agama yang mudah ini serta menanamkan kecintaan tehadap agama ini kepada anak-anaknya.
2. Mengajari Mereka Shalat
Mengajarkan anak-anak shalat yaitu dalam hal-hal yang utamanya, wajib-wajibnya, waktunya, cara berwudhu dan dengan shalat dihadapan mereka. Demikian pula dengan pergi bersama mereka ke masjid, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari hadits Sabroh Radhiyallahu 'anhu [4].
مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَلاَةِ إذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ وَ إذا بَلَغَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا
"Perintahkanlah anakmu shalat, apabila mereka telah berumur tujuh tahun dan jika mereka telah berumur sepuluh tahun (tetapi tidak shalat) maka pukullah mereka" [5]
Dan hendaknya para ibu mengajari mereka bahwa shalat bukanlah hanya sekedar gerakan atau rutinitas seorang hamba kepada Rabbnya Azza wa Jalla, akan tetapi ia merupakan hubungan yang dalam dan kuat antara seorang hamba dengan Rabbnya. Maka peringatkanlah mereka dengan sungguh-sungguh dari meninggalkan shalat dan berilah mereka ancaman dari perbuatan tersebut. Dan suruhlah mereka untuk senantiasa bersegera menunaikan shalat pada awal waktu. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya: "Maka datanglah sesudah mereka pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan kecuali orang yang bertaubat serta mengerjakan amal shalih..".[Maryam 59-60]
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
أمِرْتُ أنْ أقَاتِلَ النَّاسِ حتى يَشْهَدُوا أن لاَ إله إلا الله وَ أنَّ مُحَمّدًا رَسُوْلُ الله وَ يُقِيْمُوْا الصَلاَةَ وَ يُؤْتُوا الزَكَاةَ فَإذَا فَعَلُوا ذَلك عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأمْوَالَهُمْ إلا بِحَقِّ الإسْلاَمِ وَ حِسَابُهُمْ على الله تَعَالَى
"Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan bahwa muhammada adalh utusan Allah, dan sampai mereka mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat. Apabila mereka melakukan itu, maka terjagalah dariku darah-darah mereka dan harta-harta mereka kecuali merupakan hak islam dan perhitungan mereka atas Allah".[6]
Ibnu Hazm berkata,”Barangsiapa mengakhirkan shalat dari waktunya maka dia itu hina” [7]
3. Menanamkan Kecintaan Kepada Allah Dan RasulNya, Dan Mendahulukan Keduanya.
Dari Anas Radhiyallahu 'anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
لاَ يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ حتى أكُوْنَ أحَبَ إلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَ وَلَدِهِ وَ النَّاسِ أجْمَعِيْنَ
"Tidak sempurna iman seseorang diantara kalian sampai aku menjadi orang yang lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia”" [8]
Dengan mennanamkan kecintaan kepada Allah dan RasulNya di hati anak-anak akan menyebabkan mereka menyambut seruan Allah dan RasulNya, dan ini merupakan motivasi dasar untuk seluruh yang mengikuti dibelakangnya.
4. Mengajari Mereka Al Qur’an Dan Menyuruh Mereka Menghafalnya
Ini merupakan masalah besar yang hanya akan di dapatkan oleh orang yang berusaha sungguh-sungguh menghafalnya dan mengamalkannya. Hendaklah ibu memulainya dengan menyuruh menghafal surat Al Fatihah dan surat-surat pendek. Demikian pula hendaklah kita menyuruh mereka menghafal at tahiyyat untuk shalat.
Hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunjukkan keutamaan itu semua, diantaranya apa yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda.
خَيْرُكُمْ مضنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَ عَلَّمَهُ
"Sebaik-baik kalian adalah yang memepelajari al Qur’an dan mengajarkannya".[9]
Para ibu pada masa kejayaan Islam, benar-benar memotivasi anak-anaknya untuk mendapatkan kebaikan, lebih-lebih al Qur’an, sebagaimana mereka mengusahakan kebaikan bagi jiwa anak-anaknya.
5. Membuat Mereka Cinta Kepada Sunnah Serta Menyuruh Mereka Menjaganya
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Barangsiapa mentaati Rasul itu, maka sesunguhnya dia telah mentaati Allah". [An Nisaa : 80]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang attinya : "Apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah". [Al Hasyr :7]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dari hadits Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu 'anhu, yang artinya : "Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun yang memerintahkan kalian adalah budak dari Habasyah, karena sesungguhnya barangsiapa diantara kalian hidup setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidin yang mendapat pentunjuk, peganglah ia erat-erat dan gigitlah ia dengan gerahammu". [10]
6. Membuat Mereka Benci Kepada Bid’ah
Agama Islam adalah agama yang sempuna. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dia mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". [An Nisaa : 115]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dari hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu.
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٍ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ في النَّارِ
"Setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka".
Jadi setiap bid’ah itu tertolak atas pelakunya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits. Adapun tentang pembagian bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka sebenarnya yang dimaksud yang dimaksud adalah bid’ah (perkara baru) secara bahasa saja bukan secara syar’iyyah.
7. Membuat Mereka Cinta Kepada Ilmu Syar’i Dan Bersabar Dalam Mendapatkannya
Ilmu syar’i merupakan ilmu yang paling mulia. Allah telah memuji ilmu dan ulama lebih dari satu ayat dalam Al Qur’an. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Sesungguhnya yang takut kepada allah diantra para hamba-hambaNya hanyalah ulama". [Fathir : 28]
Dan katakanlah,” Ya Rabb, tambahkanlah kepadaku ilmu” [Thaha : 114]
Dari Zar bin Hubasyi, dia berkata,”Aku mendatangi Shofan bin ‘Assal Al Muradi, lalu dia berkata,”Untuk tujuan apa engkau datang kemari” Aku menjawab, ”Karena mengharapkan ilmu”. Dia berkata,” Sesungguhnya malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka cari”
Belajar diwaktu kecil lebih baik daripada belajar di waktu dewasa, sebagaimana dalam sebuah sya’ir.
“Belajar di waktu kecil bagaikan melukis di atas batu”
Pada masa permulaan Islam para ibu memotivasi anaknya untuk menunutut ilmu (syar’I). Bahkan ada yang rela bekerja agar si anak bisa belajar Lihatlah bagaimana manusia memuji Sufyan Ats Tsauri karena keluasan ilmu yang dimilikinya.
Al Auza’i berkata tentang Beliau,”Tidak ada orang yang padanya orang awam berkumpul dengan ridha dan lapang dada, kecuali satu orang di Kufah yaitu Sufyan”
Sufyan tidaklah mencapai apa yang telah beliau capai itu kecuali dengan pertolongan Allah kemudian pertolongan ibunya yang shalihah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad dari Waki’, dia berkata,” Ummu Sufyan berkata kepada Sufyan,”Wahai anakku, tuntutlah ilmu dan aku akan mencukupimu dengan alat pemintalku”
Alangkah besarnya tokoh-tokoh yang keluar dari madrasah ibu.
Ibu adalah madrasah. Apabila engkau memeprsiapkannya, berarti
Engkau mempersiapkan generai yang kuat akarnya
Ibu adalah tamn. Jika engkua merawatnya, dia akan hidup
Dengan elok, tumbuh daunnya beraneka rupa
Ibu adalah guru pertamanya para guru,
Kemuliaanya terpancar menyebar sepanjang cakrawala
8. Mengajari Anak Minta Izin
Ini termasuk adab mulia yang penting untuk diajarkan dan dibiasakan oleh seorang ibu muslimah kepada anak-anaknya, khususnya jika anak hampir baligh. Islam telah memberikan batasan dan rambu-rambu tentang hal ini dengan jelas. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminya izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum shalat shubuh, ketika kamu sedang menanggalkan pakaian (luarmu) di tengah hari dan sesudah shalat isya’. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan Ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang sebelum mereka minta izin. Demikianlha Allah menjelaskan ayat-ayatNya. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana".[An Nur :58-59]
Ayat-ayat tersebut menjelaskan waktu-waktu yang tidak diperbolehkan bagi anak-anak yang belum baligh untuk masuk kecuali setelah mendapat izin. Adapun selan tiga waktu tersebut, maka tidak berdosa atas mereka masuk tanpa izin. Imam Ibnu Katsir menjelaskan tentang sebab minta izin pada tiga waktu tersebut perkataanya, ”Allah Ta’ala memerintahkan orang-orang beriman agar para budak ynag mereka miliki dan anak-anak mereka yang belum baligh untuk meminta izin kepada mereka dalam tiga waktu, yaitu :
Pertama : Sebelum shalat fajar, karena manusia pada waktu itu sedang tidur di tempat tidur mereka.
Kedua : Ketika menanggalkan pakaian pada siang hari yaitu pada waktu qailulah (tidur siang), karena manusia seringkali sedang menanggalkan pakaiannya bersama istrinya pada waktu itu.
Ketiga : Setelah shalat Isya, karena itu adalah waktu tidur, maka diperintah kepada para budak dan anak-anak (yang belum baligh) untuk tidak masuk kepada ahli bait tanpa izin pada waktu-waktu tersebut, karena dikhawatirkan ketika itu seorang suami sedang bersama istrinya atau sedang melakukan hal lainnya.
Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "(Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari (tiga waktu) itu". Maksudnya yaitu apabila mereka masuk selain dari tiga waktu itu tanpa izin, maka tidak apa-apa atas kalian dan tidak pula atas mereka apabila mereka melihat sesuatu selain dari tiga waktu itu, karena telah diizinkan bagi mereka masuk tanpa izin dan karena mereka banyak berinteraksi dengan kalian untuk melayani kalian atau yang lainnya. [14]
Adapun bagi anak-anak yang telah baligh, maka mereka harus minta izin setiap waktu apabila ingin masuk. Al Auza’i berkata dari Yahya bin Katsir,”Apabila anak masih berumur empat tahun, maka dia meminta izin kepada kedua orang tuanya dalam tiga waktu. Apabila mereka telah baligh maka dia harus minta izin setiap waktu.[14]
Keharusan minta izin ini tidak hanya ketika akan masuk ke rumah orang lain saja, akan tetapi juga ketika masuk ke rumah yang hanya dihuni oleh ibu atau saudara perempuannya. Diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam Adabul Mufrad bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Hudzaifah, ”Apakah aku harus minta izin kepada ibuku?”, maka dia menjawab,”Jika engkau tidak minta izin kepadanya, engkau akan melihat apa yang engkau benci” [15]
Imam Al Bukhari meriwayatkan pula tentang keharusan seorang laki-laki minta izin kepada saudarinya. ‘Atha bertanya kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu tentang meminta izin kepada saudara perempuan, maka Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata,” Ya,” Lalu aku ulangi lagi,”Dua saudariku itu berada dalam pemeliharaanku, aku yang menjamin dan menafkahi mereka, apakah aku harus izin?” Beliau menjawab,”Ya, apakah engkau suka melihat saudarimu sedang telanjang?”, kemudian beliau membaca, Al-Qur’an surat An Nuur ayat 58.
Kemudian Atha’ berkata,”Mereka diperintahkan minta izin kecuali pada tiga waktu itu,”. Ibnu Abbas membaca, firman Allah yang artinya : "Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meinta izin, seperti orang-orang sebelum mereka minta izin. [An Nur : 59]
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata,”Minta izin hukumnya wajib”. Ibnu Juraij menambahkan,”Atas setiap manusia” [17]
9. Menanamkan Kejujuran.
Jujur adalah sikap terpuji yang wajib kita menanamkannya kepada anak-anak kita. Allah berfirman, yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur)". [At Taubah :9]
Ayat-ayat tentang hal ini sangat banyak, demikian pula hadits telah berulang menyitir akhlak terpuji ini.
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda.
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
"Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menuntun kepada surga, dan sesungguhnya seseorang berkata jujur sehingga dia menjadi orang yang jujjur. Dan sesungguhnya kedustaan menunjukkan kepada kejahatan, sedangkan kejahatan mengantar kepada neraka, dan sesungguhnya seseorang berkata dusta hingga ia tercatat di sisi Allah sebagai pendusta" [18]
Berkata jujur adalah kemuliaan bagi anak-anak kita, dan hal ini tidak akan tersealisasi kecuali dengan berkata jujur dalam segala urusan.
Jika seseorang biasa berdusta dia akan senantiasa dianggap pendusta di hadapan manusia meskipun dia berkata jujur.
10. Menanamkan Sifat Sabar
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Sesungguhnya hanya orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa hisab".[Az Zumar :10]
Dan juga firmanNya Azza wa Jalla, yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar". [Al Baqarah : 153]
Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan Radhiyallahu 'anhu, dia berkata,”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
عَجَبًا لأمْرِ المُؤْمِنِ إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ. وَ لَيْسَ ذلِكَ إلاَّ للِمُؤْمِنِ إنْ أصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَ إنْ أصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
"Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman, sesunguhnya semua urusannya adalah baik baginya, dan hal itu tidak terjadi kecuali bagi orang yangberiman. Apabila dia diberi kesenangan maka dia bersyukur, dan itu baik baginya. Dan apabila dia ditimpa kesusahan maka dia bersabar, dan itupun baik baginya" [19]
11. Menyadarkan Mereka Tentang Berharganya Waktu
Sesungguhnya menjaga waktu akan menanamkan sifat menepati janji pada waktunya, demikian pula harus diperhatikan untuk menyeleaaikan suatu pekerjaan tepat pada waktunya. Oleh karena itu Allah menganjurkan kita untuk menyusun jadwal kegiatan dan mengerjakannya pada waktu yang telah direncanakan. Dan waktu sangat terbatas.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman". [An Nisaa : 103]
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ”Amal apa yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab,”shalat pada awal waktunya….” [20]
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengkhususkan masalah shalat karena shalat dilakukan berulang lima kali sehari semalam. Apabila seseorang menjaga shalatnya dan melaksanakannya pada awal waktunya, maka hal akan menanamkan kedisiplinan dan pemanfaatan waktu. Dan agar dia akan menjadikan waktu sehat dan luangnya sebagai kesempatan untuk melakukan kebaikan, karena umur itu terbatas. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: الصَّحَّةُ وَ الفَرَاغُ
“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu dengannya, yaitu kesehatan dan waktu luang” [21]
Para salafus shalih dan orang-orang yang meniti jalan mereka adalah manusia yang paling ketat dan paling bersemangat dalam menjaga waktu, yakni dengan memanfaatkan dan memenuhinya dengan berbagai kebaikan dan hal-hal bermafaat.
12. Menanamkan Sifat Pemberani
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh." [At Taubah : 111]
Dari Abu Aufa Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
وَ اعْلَمُوْا أنَّ الجَنَّةَ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوْفِ
"Dan ketahuilah bahwa surga di bawah naungan pedang" [22]
Ibnu Hajar berkata Al Qurtubi berkata,”Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas termasuk ucapan yang indah, singkat tapi padat, memiliki gaya bahasa nan indah, ringkas dan lafazhnya bagus. (Ucapan) ini memberi faedah anjuran untuk berjihad, dan mengabarkan pahalanya, serta anjuran untuk menghadapi musuh menggunakan pedang serta bersatu ketika perang sehingga pedang menaungi orang-orang yang sedang berperang” [23]
Ibnul Jauzi,” Maksudnya adalah surga dapat diraih dengan jihad”. [24]
Pada periode awal Islam, para ibu menjadi penolong dan pendorong anak-anaknya agar memiliki sifat pemberani. Dalam sejarah kita mempunyai contoh-contoh tentang hal itu. Sebutlah Abdullah bin Zubair bin Awwam, ketika dia keluar untuk memerangi Hajjaj bin Yusuf, tidak ada bersamanya dan tidak ada orang disekelilingnya kecuali sedikit orang. Ia mengadu kepada ibunya Asma tentang ketidak pedulian manusia dan sikap diam mereka terhadap Hajjaj sampai orang yang paling dekat denganya sekalipun. Abdullah menanyakan pendapat ibunya. Lalu apakah yang dikatakan oleh wanita yang berjiwa besar ini ? Apakah ia berkata kepada putranya “Tinggalkanlah urusan ini” karena ia khawatir akan keselamatan putranya yang merupakan darah dagingnya ? Yidak, demi Allah, bahkan ia memompakan keberanian dan kesabaran sampai ia mati syahid.
Dengan keberanian dan jihad semacam inilah akan tegak berdiri daulah islamiah yang diharapkan, dengan izin Allah Azza wa Jalla.
13. Bersikap Adil Diantara Anak-Anak.
Dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ ،اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ ،اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ
"Bersikap adillah diantara ank-anakmu, adillah diantara anak-anakmu, adillah diantara anak-anakmu”[25]
Pada akhir dari pembahasan ini, ingin aku sitirkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui lisan Luqman Al Hakim kepada anaknya sebagai nasehat atas anak. "Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) menerjakan kebaikan dan cegahlah (mereka) dari perbuatan mungkar dan bersabarlah terhadap apa-apa yang manimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesunguhnya seburk-buruk suara adalah suara keledai". [Luqman : 17-19]
Saudariku muslimah, sesungguhnya anak-anak kita adalah amanah yang Allah Azza wa Jalla titipkan kepada kita, dan Allah Azza wa Jalla akan menanyakannya kepada kita apakah kita menjaganya atau menyia-nyiakannya. Maka wajib atas kita untuk menjaga amanah ini, dengan keyakinan kita sedang mendidik generasi muslim, kita persiapkan mereka agar menjadi generasi kuat untuk menghadapi orang-orang yang menyimpangkan Al Kitab dan Assunnah. (Salamah Ummu Ismail).
Wallahu waliyyut Taufiiq
(Ditejemahkan oleh Salamah Ummu Ismail dari buku berjudul Wajibatul Mar’atil Muslimah ‘ala Dhou’il Kitab Was Sunnah hal.103-127 karya Ummu ‘Amr binti Ibrahim Badawi)
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Husnul uswah hal.215
[2]. H.R Tirmidzi dan berkata hadits hasan shahih
[3]. H.R selain Tirmidzi
[4]. Sabrah yakni Ibnu Abdil Aziz bin Rabi’ bin Sabroh Al Juhani
[5]. Dikeluarkan oleh Abu dawud (494), Tirmidzi (407) dan dia berkata,”Hasan shahih”. Ad Darimi (1/333), Ibnul Jarud (147), Ibnu Khuzaimah (1002), Hakim (1/201) dan dia berkata,’ Sahih atas syarat Muslim dan disepakati oelh Adz Dzahabi” Berkata Al Albani dalam Al Irwa’ (1/267),” Dan dalam apa-apa yag dikatakan keduanya perlu diteliti karena Muslim hanya mengeluarkan satu hadits saja dari Abdul Malli ini dalam hal mut’ah sebagai pendukung sebagaimana yang disebutkan oelh Al Hafizh dan lainnya. Hadits ini sanad-sanadnya dha’if akan tetapi dia mempunyai syahid yang menguatkannya kepada derajat shahih dari hadits Ibnu Amr
[6]. H.R Al Bukhari (25) dan Muslim (1/200 Nawawi)
[7]. Al Muhalla (2/239)
[8]. H.R Al Bukhari (14) Muslim (2/15 Nawawi), Ibnu Majah (67), Ad Darimi (2/307), Ahmad (3/77), Abdurrazzaq (2032), Ibnu Hazm dalam al Muhalla (10/333)
[9]. H.R al Bukhari (5027), Abu dawud (1452), At Tirmidzi (2907-2908), Ibnu Majah (211,212), ahmad (405,412, 413,500) Ath Thayalisi (1880) dan Ad Darimi (2/437)
[10]. H.R Abu dawud (4607), Tirmidzi (2676) dan di berkata,” Hasan shahih”, Ibnu Majah (42), Ad Darimi (1/44,45), Ahmad (4/126,127), Hakim (1/97), Ibnu abdil bar dalam Jami’ul ilmi 92/17,172)
[11]. H.R Tirmidzi (96/3535), Nasai (1/83), Ibnu Majah (284), ad darimi (1/101), ahmad (4/239,240), Ibnu Khuzaimah (17/193,196), Asy syafi’I dalam al umm (1/34,35), Hakim (1/100), Ibnu Abdil bar dalam al jami’ 91/32), Ibnu Hazm dalam Al muhalla (2/830, Ibnul Jarud 94), Humaidi (881)
[12]. Beliau adalah salah seorang imam dari enam madzhab, beliau adalah amirul mu’minin dalam hadits. Syu’bah, Ibnu Mubarak, Abu ‘Ashim, Ibu mu’ayyan dan lebih dari satu ulama lainnya, berkata,”Sufyan adalah amirul mu’minin dalam hadits” Ibnul Mubarak berkata,”Aku menulis dari seribu seratus syaikh, tidaklah aku menulis yang lebih utama daripada Suyan (At Tahdzib 4/112,113). Dikatakan pula bahwa Sufyana adalah penduduk dunia yang paling faqih (Siyar Alamin Nubala)
[13]. ‘Audatul Hijab karya Muhammad Ismail (2/143) dinukil dari Al Imam Sufyan Ats Tsauri” karya Muhammad Abul fath Al Bayanuni
[14]. Tafsir ibnu katsir (3/303,304)
[15]. Tafsir ibnu katsir (3/303,304)
[16]. Al Adabul Mufrad (1060)
[17]. Al Adabul mufrad (1063)
[18]. H.R Al Bukhari (6094), Muslim (16/60 Nawawi), Abu Daud (4989) , Tirmidzi (1972) dan dia berkata,”Hasan Shahih”
[19]. H.R Muslim (18/125 Nawawi)
[20]. H.R Muslim (18/125 Nawawi)
[21]. H.R Al Buhaaari (527), Muslim (2/73 nawawi0, Tirmidzi (173) dan dia berkata,”Hasan Shahih”, Nasaai (1/292), Ad Ddarimi (1/278), Ahmad (1/409,410,439), Humaidi (103), Thabrani dalam Ash shagir (446), Al Baihaqi dalamAl I’tiqad hal.42
[23]. Fathul Bari (6/33)
[24]. Fathul Bari (6/33)
[25]. H.R Abu Dawud 93544), Nasai (6,262), Ahmad (4/275,278,375)
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Anak merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ibunya. Anak merupakan darah daging kedua orang tuanya. Anak mempunyai hak-hak yang merupakan kewajiban orang tuanya, terutama ibunya, untuk menunaikan hak-hak tersebut. Jadi bukan hanya anak yang mempunyai kewajiban atas orang tua, tetapi orang tua pun mempunyai kewajiban atas anak. Secara ringkasnya kewajiban orangtua atas anaknya adalah sebagai berikut:
PERTAMA : MENYUSUI
Wajib atas seorang ibu menyusui anaknya yang masih kecil, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya : "Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan". [Al Baqarah: 233]
Allah berfirman, yang artinya : "Kami perintahkan kepada manusia Supaya berbuat baik kepada kedua iorang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkanya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan". [Al Ahqaf : 15]
Al ‘Allamah Siddiq Hasan Khan berkata,” Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan maksudnya adalah jumlah waktu selama itu dihitung dari mulai hamil sampai disapih” [1]
KEDUA : MENDIDIKNYA
Mendidik anak dengan baik merupakan salah satu sifat seorang ibu muslimah dia senatiasa mendidik anak-anaknya dengan akhlaqk yang baik yaitu akhlak Muhammad dan para sahabatnya yang mulia.
Mendidik anak bukanlah kemurahan hati seorang ibu kepada anak-anaknya, akan tetapi merupakan kewajiban dan fitrah yang Allah berikan kepada seorang ibu.
Mendidik anak pun tidak terbatas dalam satu perkara saja tanpa perkara lainnya seperti mencucikan pakaiannya atau membersihkan badannya saja, bahkan mendidik anak itu mencakup perkara yang luas, mengingat anak merupakan generasi penerus yang akan menggantikan kita yang kita harapkan menjadi generasi yang tagguh yang akan memenuhi bumi ini dengan kekuatan, hikmah, ilmu, kemuliaan dan kejayaan.
Berikut beberapa perkara yang wajib diperhatikan oleh ibu dalam mendidik anak-anaknya :
1. Menanamkan Aqidah Yang Bersih Yang Bersumber Dari Kitab Dan Sunnah Yang Shahih
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah". [Muhammad : 19]. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya : "Dari Abul Abbas Abdullah bin Abbas dia berkata,”Pada suatu hari aku membonceng di belakang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian Beliau berkata,” Wahai anak, sesungguhnya aku mengajarimu beberapa kalimat, yaitu : jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau mendapatiNya dihadapanmu. Apabila engkau meminta, maka mintalah kepada Allah.dan apabila engkau mohon pertolongan maka mohonlah pertolngan kepada Allah. Ketahuilah seandainya seluruh umat berkumpul untuk memberimu satu manfaat, niscaya mereka tidak akan dapat memberimu manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan jika mereka berkumpul untuk memberimu satu bahaya niscaya mereka tidak akan bisa membahayakanmu kecuali dengan sesuatu yamg telah Allah tetapkan atasmu. Pena-pena telah diangkat dan tinta telah kering” [2]
Dan dalam riwayat lain (Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata) :"Jagalah Allah niscaya engkau akan mendapatiNya dihadapanmu. Perkenalkanlah dirimu kepada Allah disaat kamu senang, niscaya Dia akan mengenalimu disaat sulit. Ketahuilah, apa-apa yang (ditakdirkan) luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa-apa yang (ditakdirkan) menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa pertolongan ada bersama kesabaran dan bahwa kelapangan ada bersama kesempitan dan bahwa bersama kesusahan ada kemudahan". [3]
Seorang anak terlahir di atas fitrah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka sesuatu yang sedikit saja akan berpengaruh padanya. Dan wanita muslimah adalah orang yang bersegera menanamkan agama yang mudah ini serta menanamkan kecintaan tehadap agama ini kepada anak-anaknya.
2. Mengajari Mereka Shalat
Mengajarkan anak-anak shalat yaitu dalam hal-hal yang utamanya, wajib-wajibnya, waktunya, cara berwudhu dan dengan shalat dihadapan mereka. Demikian pula dengan pergi bersama mereka ke masjid, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari hadits Sabroh Radhiyallahu 'anhu [4].
مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَلاَةِ إذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ وَ إذا بَلَغَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا
"Perintahkanlah anakmu shalat, apabila mereka telah berumur tujuh tahun dan jika mereka telah berumur sepuluh tahun (tetapi tidak shalat) maka pukullah mereka" [5]
Dan hendaknya para ibu mengajari mereka bahwa shalat bukanlah hanya sekedar gerakan atau rutinitas seorang hamba kepada Rabbnya Azza wa Jalla, akan tetapi ia merupakan hubungan yang dalam dan kuat antara seorang hamba dengan Rabbnya. Maka peringatkanlah mereka dengan sungguh-sungguh dari meninggalkan shalat dan berilah mereka ancaman dari perbuatan tersebut. Dan suruhlah mereka untuk senantiasa bersegera menunaikan shalat pada awal waktu. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya: "Maka datanglah sesudah mereka pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan kecuali orang yang bertaubat serta mengerjakan amal shalih..".[Maryam 59-60]
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
أمِرْتُ أنْ أقَاتِلَ النَّاسِ حتى يَشْهَدُوا أن لاَ إله إلا الله وَ أنَّ مُحَمّدًا رَسُوْلُ الله وَ يُقِيْمُوْا الصَلاَةَ وَ يُؤْتُوا الزَكَاةَ فَإذَا فَعَلُوا ذَلك عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأمْوَالَهُمْ إلا بِحَقِّ الإسْلاَمِ وَ حِسَابُهُمْ على الله تَعَالَى
"Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan bahwa muhammada adalh utusan Allah, dan sampai mereka mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat. Apabila mereka melakukan itu, maka terjagalah dariku darah-darah mereka dan harta-harta mereka kecuali merupakan hak islam dan perhitungan mereka atas Allah".[6]
Ibnu Hazm berkata,”Barangsiapa mengakhirkan shalat dari waktunya maka dia itu hina” [7]
3. Menanamkan Kecintaan Kepada Allah Dan RasulNya, Dan Mendahulukan Keduanya.
Dari Anas Radhiyallahu 'anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
لاَ يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ حتى أكُوْنَ أحَبَ إلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَ وَلَدِهِ وَ النَّاسِ أجْمَعِيْنَ
"Tidak sempurna iman seseorang diantara kalian sampai aku menjadi orang yang lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia”" [8]
Dengan mennanamkan kecintaan kepada Allah dan RasulNya di hati anak-anak akan menyebabkan mereka menyambut seruan Allah dan RasulNya, dan ini merupakan motivasi dasar untuk seluruh yang mengikuti dibelakangnya.
4. Mengajari Mereka Al Qur’an Dan Menyuruh Mereka Menghafalnya
Ini merupakan masalah besar yang hanya akan di dapatkan oleh orang yang berusaha sungguh-sungguh menghafalnya dan mengamalkannya. Hendaklah ibu memulainya dengan menyuruh menghafal surat Al Fatihah dan surat-surat pendek. Demikian pula hendaklah kita menyuruh mereka menghafal at tahiyyat untuk shalat.
Hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunjukkan keutamaan itu semua, diantaranya apa yang diriwayatkan oleh Utsman bin Affan Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda.
خَيْرُكُمْ مضنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَ عَلَّمَهُ
"Sebaik-baik kalian adalah yang memepelajari al Qur’an dan mengajarkannya".[9]
Para ibu pada masa kejayaan Islam, benar-benar memotivasi anak-anaknya untuk mendapatkan kebaikan, lebih-lebih al Qur’an, sebagaimana mereka mengusahakan kebaikan bagi jiwa anak-anaknya.
5. Membuat Mereka Cinta Kepada Sunnah Serta Menyuruh Mereka Menjaganya
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Barangsiapa mentaati Rasul itu, maka sesunguhnya dia telah mentaati Allah". [An Nisaa : 80]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang attinya : "Apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah". [Al Hasyr :7]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dari hadits Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu 'anhu, yang artinya : "Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun yang memerintahkan kalian adalah budak dari Habasyah, karena sesungguhnya barangsiapa diantara kalian hidup setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidin yang mendapat pentunjuk, peganglah ia erat-erat dan gigitlah ia dengan gerahammu". [10]
6. Membuat Mereka Benci Kepada Bid’ah
Agama Islam adalah agama yang sempuna. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dia mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". [An Nisaa : 115]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dari hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu 'anhu.
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٍ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ في النَّارِ
"Setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka".
Jadi setiap bid’ah itu tertolak atas pelakunya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits. Adapun tentang pembagian bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka sebenarnya yang dimaksud yang dimaksud adalah bid’ah (perkara baru) secara bahasa saja bukan secara syar’iyyah.
7. Membuat Mereka Cinta Kepada Ilmu Syar’i Dan Bersabar Dalam Mendapatkannya
Ilmu syar’i merupakan ilmu yang paling mulia. Allah telah memuji ilmu dan ulama lebih dari satu ayat dalam Al Qur’an. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Sesungguhnya yang takut kepada allah diantra para hamba-hambaNya hanyalah ulama". [Fathir : 28]
Dan katakanlah,” Ya Rabb, tambahkanlah kepadaku ilmu” [Thaha : 114]
Dari Zar bin Hubasyi, dia berkata,”Aku mendatangi Shofan bin ‘Assal Al Muradi, lalu dia berkata,”Untuk tujuan apa engkau datang kemari” Aku menjawab, ”Karena mengharapkan ilmu”. Dia berkata,” Sesungguhnya malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka cari”
Belajar diwaktu kecil lebih baik daripada belajar di waktu dewasa, sebagaimana dalam sebuah sya’ir.
“Belajar di waktu kecil bagaikan melukis di atas batu”
Pada masa permulaan Islam para ibu memotivasi anaknya untuk menunutut ilmu (syar’I). Bahkan ada yang rela bekerja agar si anak bisa belajar Lihatlah bagaimana manusia memuji Sufyan Ats Tsauri karena keluasan ilmu yang dimilikinya.
Al Auza’i berkata tentang Beliau,”Tidak ada orang yang padanya orang awam berkumpul dengan ridha dan lapang dada, kecuali satu orang di Kufah yaitu Sufyan”
Sufyan tidaklah mencapai apa yang telah beliau capai itu kecuali dengan pertolongan Allah kemudian pertolongan ibunya yang shalihah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad dari Waki’, dia berkata,” Ummu Sufyan berkata kepada Sufyan,”Wahai anakku, tuntutlah ilmu dan aku akan mencukupimu dengan alat pemintalku”
Alangkah besarnya tokoh-tokoh yang keluar dari madrasah ibu.
Ibu adalah madrasah. Apabila engkau memeprsiapkannya, berarti
Engkau mempersiapkan generai yang kuat akarnya
Ibu adalah tamn. Jika engkua merawatnya, dia akan hidup
Dengan elok, tumbuh daunnya beraneka rupa
Ibu adalah guru pertamanya para guru,
Kemuliaanya terpancar menyebar sepanjang cakrawala
8. Mengajari Anak Minta Izin
Ini termasuk adab mulia yang penting untuk diajarkan dan dibiasakan oleh seorang ibu muslimah kepada anak-anaknya, khususnya jika anak hampir baligh. Islam telah memberikan batasan dan rambu-rambu tentang hal ini dengan jelas. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminya izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum shalat shubuh, ketika kamu sedang menanggalkan pakaian (luarmu) di tengah hari dan sesudah shalat isya’. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan Ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang sebelum mereka minta izin. Demikianlha Allah menjelaskan ayat-ayatNya. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana".[An Nur :58-59]
Ayat-ayat tersebut menjelaskan waktu-waktu yang tidak diperbolehkan bagi anak-anak yang belum baligh untuk masuk kecuali setelah mendapat izin. Adapun selan tiga waktu tersebut, maka tidak berdosa atas mereka masuk tanpa izin. Imam Ibnu Katsir menjelaskan tentang sebab minta izin pada tiga waktu tersebut perkataanya, ”Allah Ta’ala memerintahkan orang-orang beriman agar para budak ynag mereka miliki dan anak-anak mereka yang belum baligh untuk meminta izin kepada mereka dalam tiga waktu, yaitu :
Pertama : Sebelum shalat fajar, karena manusia pada waktu itu sedang tidur di tempat tidur mereka.
Kedua : Ketika menanggalkan pakaian pada siang hari yaitu pada waktu qailulah (tidur siang), karena manusia seringkali sedang menanggalkan pakaiannya bersama istrinya pada waktu itu.
Ketiga : Setelah shalat Isya, karena itu adalah waktu tidur, maka diperintah kepada para budak dan anak-anak (yang belum baligh) untuk tidak masuk kepada ahli bait tanpa izin pada waktu-waktu tersebut, karena dikhawatirkan ketika itu seorang suami sedang bersama istrinya atau sedang melakukan hal lainnya.
Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "(Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari (tiga waktu) itu". Maksudnya yaitu apabila mereka masuk selain dari tiga waktu itu tanpa izin, maka tidak apa-apa atas kalian dan tidak pula atas mereka apabila mereka melihat sesuatu selain dari tiga waktu itu, karena telah diizinkan bagi mereka masuk tanpa izin dan karena mereka banyak berinteraksi dengan kalian untuk melayani kalian atau yang lainnya. [14]
Adapun bagi anak-anak yang telah baligh, maka mereka harus minta izin setiap waktu apabila ingin masuk. Al Auza’i berkata dari Yahya bin Katsir,”Apabila anak masih berumur empat tahun, maka dia meminta izin kepada kedua orang tuanya dalam tiga waktu. Apabila mereka telah baligh maka dia harus minta izin setiap waktu.[14]
Keharusan minta izin ini tidak hanya ketika akan masuk ke rumah orang lain saja, akan tetapi juga ketika masuk ke rumah yang hanya dihuni oleh ibu atau saudara perempuannya. Diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam Adabul Mufrad bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Hudzaifah, ”Apakah aku harus minta izin kepada ibuku?”, maka dia menjawab,”Jika engkau tidak minta izin kepadanya, engkau akan melihat apa yang engkau benci” [15]
Imam Al Bukhari meriwayatkan pula tentang keharusan seorang laki-laki minta izin kepada saudarinya. ‘Atha bertanya kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu tentang meminta izin kepada saudara perempuan, maka Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata,” Ya,” Lalu aku ulangi lagi,”Dua saudariku itu berada dalam pemeliharaanku, aku yang menjamin dan menafkahi mereka, apakah aku harus izin?” Beliau menjawab,”Ya, apakah engkau suka melihat saudarimu sedang telanjang?”, kemudian beliau membaca, Al-Qur’an surat An Nuur ayat 58.
Kemudian Atha’ berkata,”Mereka diperintahkan minta izin kecuali pada tiga waktu itu,”. Ibnu Abbas membaca, firman Allah yang artinya : "Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meinta izin, seperti orang-orang sebelum mereka minta izin. [An Nur : 59]
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata,”Minta izin hukumnya wajib”. Ibnu Juraij menambahkan,”Atas setiap manusia” [17]
9. Menanamkan Kejujuran.
Jujur adalah sikap terpuji yang wajib kita menanamkannya kepada anak-anak kita. Allah berfirman, yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur)". [At Taubah :9]
Ayat-ayat tentang hal ini sangat banyak, demikian pula hadits telah berulang menyitir akhlak terpuji ini.
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda.
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
"Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan menuntun kepada surga, dan sesungguhnya seseorang berkata jujur sehingga dia menjadi orang yang jujjur. Dan sesungguhnya kedustaan menunjukkan kepada kejahatan, sedangkan kejahatan mengantar kepada neraka, dan sesungguhnya seseorang berkata dusta hingga ia tercatat di sisi Allah sebagai pendusta" [18]
Berkata jujur adalah kemuliaan bagi anak-anak kita, dan hal ini tidak akan tersealisasi kecuali dengan berkata jujur dalam segala urusan.
Jika seseorang biasa berdusta dia akan senantiasa dianggap pendusta di hadapan manusia meskipun dia berkata jujur.
10. Menanamkan Sifat Sabar
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Sesungguhnya hanya orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa hisab".[Az Zumar :10]
Dan juga firmanNya Azza wa Jalla, yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar". [Al Baqarah : 153]
Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan Radhiyallahu 'anhu, dia berkata,”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
عَجَبًا لأمْرِ المُؤْمِنِ إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ. وَ لَيْسَ ذلِكَ إلاَّ للِمُؤْمِنِ إنْ أصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَ إنْ أصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
"Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman, sesunguhnya semua urusannya adalah baik baginya, dan hal itu tidak terjadi kecuali bagi orang yangberiman. Apabila dia diberi kesenangan maka dia bersyukur, dan itu baik baginya. Dan apabila dia ditimpa kesusahan maka dia bersabar, dan itupun baik baginya" [19]
11. Menyadarkan Mereka Tentang Berharganya Waktu
Sesungguhnya menjaga waktu akan menanamkan sifat menepati janji pada waktunya, demikian pula harus diperhatikan untuk menyeleaaikan suatu pekerjaan tepat pada waktunya. Oleh karena itu Allah menganjurkan kita untuk menyusun jadwal kegiatan dan mengerjakannya pada waktu yang telah direncanakan. Dan waktu sangat terbatas.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman". [An Nisaa : 103]
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ”Amal apa yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau menjawab,”shalat pada awal waktunya….” [20]
Allah Subhanahu wa Ta'ala mengkhususkan masalah shalat karena shalat dilakukan berulang lima kali sehari semalam. Apabila seseorang menjaga shalatnya dan melaksanakannya pada awal waktunya, maka hal akan menanamkan kedisiplinan dan pemanfaatan waktu. Dan agar dia akan menjadikan waktu sehat dan luangnya sebagai kesempatan untuk melakukan kebaikan, karena umur itu terbatas. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: الصَّحَّةُ وَ الفَرَاغُ
“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu dengannya, yaitu kesehatan dan waktu luang” [21]
Para salafus shalih dan orang-orang yang meniti jalan mereka adalah manusia yang paling ketat dan paling bersemangat dalam menjaga waktu, yakni dengan memanfaatkan dan memenuhinya dengan berbagai kebaikan dan hal-hal bermafaat.
12. Menanamkan Sifat Pemberani
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh." [At Taubah : 111]
Dari Abu Aufa Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
وَ اعْلَمُوْا أنَّ الجَنَّةَ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوْفِ
"Dan ketahuilah bahwa surga di bawah naungan pedang" [22]
Ibnu Hajar berkata Al Qurtubi berkata,”Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas termasuk ucapan yang indah, singkat tapi padat, memiliki gaya bahasa nan indah, ringkas dan lafazhnya bagus. (Ucapan) ini memberi faedah anjuran untuk berjihad, dan mengabarkan pahalanya, serta anjuran untuk menghadapi musuh menggunakan pedang serta bersatu ketika perang sehingga pedang menaungi orang-orang yang sedang berperang” [23]
Ibnul Jauzi,” Maksudnya adalah surga dapat diraih dengan jihad”. [24]
Pada periode awal Islam, para ibu menjadi penolong dan pendorong anak-anaknya agar memiliki sifat pemberani. Dalam sejarah kita mempunyai contoh-contoh tentang hal itu. Sebutlah Abdullah bin Zubair bin Awwam, ketika dia keluar untuk memerangi Hajjaj bin Yusuf, tidak ada bersamanya dan tidak ada orang disekelilingnya kecuali sedikit orang. Ia mengadu kepada ibunya Asma tentang ketidak pedulian manusia dan sikap diam mereka terhadap Hajjaj sampai orang yang paling dekat denganya sekalipun. Abdullah menanyakan pendapat ibunya. Lalu apakah yang dikatakan oleh wanita yang berjiwa besar ini ? Apakah ia berkata kepada putranya “Tinggalkanlah urusan ini” karena ia khawatir akan keselamatan putranya yang merupakan darah dagingnya ? Yidak, demi Allah, bahkan ia memompakan keberanian dan kesabaran sampai ia mati syahid.
Dengan keberanian dan jihad semacam inilah akan tegak berdiri daulah islamiah yang diharapkan, dengan izin Allah Azza wa Jalla.
13. Bersikap Adil Diantara Anak-Anak.
Dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ ،اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ ،اعْدِلُوا بَيْنَ أَبْنَائِكُمْ
"Bersikap adillah diantara ank-anakmu, adillah diantara anak-anakmu, adillah diantara anak-anakmu”[25]
Pada akhir dari pembahasan ini, ingin aku sitirkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui lisan Luqman Al Hakim kepada anaknya sebagai nasehat atas anak. "Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) menerjakan kebaikan dan cegahlah (mereka) dari perbuatan mungkar dan bersabarlah terhadap apa-apa yang manimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesunguhnya seburk-buruk suara adalah suara keledai". [Luqman : 17-19]
Saudariku muslimah, sesungguhnya anak-anak kita adalah amanah yang Allah Azza wa Jalla titipkan kepada kita, dan Allah Azza wa Jalla akan menanyakannya kepada kita apakah kita menjaganya atau menyia-nyiakannya. Maka wajib atas kita untuk menjaga amanah ini, dengan keyakinan kita sedang mendidik generasi muslim, kita persiapkan mereka agar menjadi generasi kuat untuk menghadapi orang-orang yang menyimpangkan Al Kitab dan Assunnah. (Salamah Ummu Ismail).
Wallahu waliyyut Taufiiq
(Ditejemahkan oleh Salamah Ummu Ismail dari buku berjudul Wajibatul Mar’atil Muslimah ‘ala Dhou’il Kitab Was Sunnah hal.103-127 karya Ummu ‘Amr binti Ibrahim Badawi)
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Husnul uswah hal.215
[2]. H.R Tirmidzi dan berkata hadits hasan shahih
[3]. H.R selain Tirmidzi
[4]. Sabrah yakni Ibnu Abdil Aziz bin Rabi’ bin Sabroh Al Juhani
[5]. Dikeluarkan oleh Abu dawud (494), Tirmidzi (407) dan dia berkata,”Hasan shahih”. Ad Darimi (1/333), Ibnul Jarud (147), Ibnu Khuzaimah (1002), Hakim (1/201) dan dia berkata,’ Sahih atas syarat Muslim dan disepakati oelh Adz Dzahabi” Berkata Al Albani dalam Al Irwa’ (1/267),” Dan dalam apa-apa yag dikatakan keduanya perlu diteliti karena Muslim hanya mengeluarkan satu hadits saja dari Abdul Malli ini dalam hal mut’ah sebagai pendukung sebagaimana yang disebutkan oelh Al Hafizh dan lainnya. Hadits ini sanad-sanadnya dha’if akan tetapi dia mempunyai syahid yang menguatkannya kepada derajat shahih dari hadits Ibnu Amr
[6]. H.R Al Bukhari (25) dan Muslim (1/200 Nawawi)
[7]. Al Muhalla (2/239)
[8]. H.R Al Bukhari (14) Muslim (2/15 Nawawi), Ibnu Majah (67), Ad Darimi (2/307), Ahmad (3/77), Abdurrazzaq (2032), Ibnu Hazm dalam al Muhalla (10/333)
[9]. H.R al Bukhari (5027), Abu dawud (1452), At Tirmidzi (2907-2908), Ibnu Majah (211,212), ahmad (405,412, 413,500) Ath Thayalisi (1880) dan Ad Darimi (2/437)
[10]. H.R Abu dawud (4607), Tirmidzi (2676) dan di berkata,” Hasan shahih”, Ibnu Majah (42), Ad Darimi (1/44,45), Ahmad (4/126,127), Hakim (1/97), Ibnu abdil bar dalam Jami’ul ilmi 92/17,172)
[11]. H.R Tirmidzi (96/3535), Nasai (1/83), Ibnu Majah (284), ad darimi (1/101), ahmad (4/239,240), Ibnu Khuzaimah (17/193,196), Asy syafi’I dalam al umm (1/34,35), Hakim (1/100), Ibnu Abdil bar dalam al jami’ 91/32), Ibnu Hazm dalam Al muhalla (2/830, Ibnul Jarud 94), Humaidi (881)
[12]. Beliau adalah salah seorang imam dari enam madzhab, beliau adalah amirul mu’minin dalam hadits. Syu’bah, Ibnu Mubarak, Abu ‘Ashim, Ibu mu’ayyan dan lebih dari satu ulama lainnya, berkata,”Sufyan adalah amirul mu’minin dalam hadits” Ibnul Mubarak berkata,”Aku menulis dari seribu seratus syaikh, tidaklah aku menulis yang lebih utama daripada Suyan (At Tahdzib 4/112,113). Dikatakan pula bahwa Sufyana adalah penduduk dunia yang paling faqih (Siyar Alamin Nubala)
[13]. ‘Audatul Hijab karya Muhammad Ismail (2/143) dinukil dari Al Imam Sufyan Ats Tsauri” karya Muhammad Abul fath Al Bayanuni
[14]. Tafsir ibnu katsir (3/303,304)
[15]. Tafsir ibnu katsir (3/303,304)
[16]. Al Adabul Mufrad (1060)
[17]. Al Adabul mufrad (1063)
[18]. H.R Al Bukhari (6094), Muslim (16/60 Nawawi), Abu Daud (4989) , Tirmidzi (1972) dan dia berkata,”Hasan Shahih”
[19]. H.R Muslim (18/125 Nawawi)
[20]. H.R Muslim (18/125 Nawawi)
[21]. H.R Al Buhaaari (527), Muslim (2/73 nawawi0, Tirmidzi (173) dan dia berkata,”Hasan Shahih”, Nasaai (1/292), Ad Ddarimi (1/278), Ahmad (1/409,410,439), Humaidi (103), Thabrani dalam Ash shagir (446), Al Baihaqi dalamAl I’tiqad hal.42
[23]. Fathul Bari (6/33)
[24]. Fathul Bari (6/33)
[25]. H.R Abu Dawud 93544), Nasai (6,262), Ahmad (4/275,278,375)
Langganan:
Postingan (Atom)