ZAKAT FITRAH. https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, Hukumnya
Mengeluarkan zakat fitrah, wajib hukumnya atas setiap muslim,
berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata,
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah
sebesar satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas orang yang merdeka
dan budak, laki-laki dan perempuan, besar maupun kecil dari kaum
muslimin. Dan beliau memerintahkan agar dikeluarkan sebelum orang-orang
keluar menunaikan shalat (‘Idul Fithri).” [1]
Hikmah Zakat Fitrah
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih
bagi orang yang berpuasa dari perkataan yang tak berguna dan kotor, dan
sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa yang
mengeluarkannya sebelum shalat (‘Id), maka ia zakat yang diterima. Dan
barang-siapa yang mengeluarkannya setelah shalat, maka ia menjadi
se-ekah biasa.” [2]
Kepada Siapa Zakat Fitrah Itu Diwajibkan?
Zakat fitrah diwajibkan atas seorang muslim yang merdeka, yang memiliki
kelebihan dari bahan makanan pokok untuk diri dan keluarganya selama
sehari semalam, maka wajib baginya mengeluarkan zakat untuk dirinya dan
untuk orang-orang yang di bawah tanggung jawabnya, seperti isteri,
anak-anak, dan budaknya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar
Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam memerintahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah dari anak kecil dan
dewasa, orang merdeka, dan budak yang kalian beri nafkah.” [3]
Ukuran Zakat Fitrah
Setiap orang wajib mengeluarkan setengah sha’ dari qamh (gandum) atau
satu sha’ dari kurma atau kismis atau sya'ir (gandum), keju atau bahan
makanan yang lain yang semisal dengan yang tadi, seperti beras, jagung
dan yang lainnya yang termasuk makanan pokok.
Adapun tentang wajibnya mengeluarkan setengah sha’ dari qamh, maka
berdasarkan hadits ‘Urwah bin Zubair Radhiyallahu anhu, bahwasanya Asma’
binti Abi Bakar Radhiyalahu anhu mengeluarkan zakat pada masa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk keluarganya -baik yang
merdeka ataupun budak -sebanyak dua mud hinthah (gandum) atau satu sha’
kurma dengan ukuran sha’ dan mud yang mereka biasa gunakan pada masa
itu. [4]
Sedangkan tentang wajibnya mengeluarkan satu sha’ dari bahan makanan
selain qamh (gandum), berdasarkan hadits Abu Sa’id al-Khudri
Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami selalu mengeluarkan zakat fitrah
sebanyak satu sha’ makanan atau satu sha’ sya'ir atau satu sha’ kurma
atau satu sha’ keju atau satu sha’ kismis.” [5]
Dan kebanyakan ulama melarang mengeluarkan harga dari zakat fitrah
tersebut, sedangkan Abu Hanifah membolehkan hal ini. Masalah ini
disebutkan oleh an-Nawawi di dalam kitab Syarah Shahiih Muslim (VII/60).
Saya (penulis) katakan, “Pendapat Abu Hanifah ini tidak bisa diterima,
karena Allah tidak akan pernah lupa, jika nilai harga dari zakat fitrah
bisa mencukupi, niscaya Allah dan Rasul-Nya akan menerangkan hal
tersebut. Dan wajib atas setiap muslim untuk memahami dalil sesuai
dengan zhahirnya, tanpa diubah dan di ta’wil.”
Waktu Mengeluarkannya
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan agar (zakat fitrah) dikeluarkan sebelum
orang-orang keluar menunaikan shalat (‘Idul Fithri).”[6]
Boleh menyerahkannya kepada amil zakat lebih cepat sehari atau dua hari
dari hari ‘Idul Fithri. Diriwayatkan dari Nafi’ ia berkata, “Ibnu ‘Umar
menyerahkan zakat fitrah kepada panitia zakat, kemudian mereka
membagikannya sehari atau dua hari sebelum hari ‘Idul Fithri.” [7]
Dan diharamkan mengakhirkan pengeluarannya dari waktunya dengan tanpa
ada alasan yang jelas. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu
anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan
zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan
yang tak berguna dan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang
miskin. Sehingga barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum shalat (‘Id),
maka ia zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang mengeluarkannya
setelah shalat, ia menjadi sedekah biasa.” [8]
Orang yang Berhak Menerimanya
Zakat fitrah tidak boleh diberikan kecuali kepada orang miskin,
berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hadits
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, “Dan (zakat fitrah) sebagai makanan
bagi orang-orang miskin.” [9]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz,
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Muttafaq 'alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/367, no.
1503), Shahiih Muslim (II/677, 679, 984, 986), Sunan at-Tirmidzi (II/92,
93, no. 670, 672), Sunan Abi Dawud (V/4, V/96, 1595), Sunan an-Nasa-i
(V/48), Sunan Ibni Majah (I/584, no. 1826) dan tidak ada padanya bagian
yang kedua dari hadits ini.
[2]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 148)], Sunan Ibni Majah (I/585, no. 1827), Sunan Abi Dawud (V/3, no. 1594).
[3]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 835)], ad-Daraquthni (II/141, no. 12), al-Bai-haqi (IV/161).
[4]. Ath-Thahawi (II/43) dan ini adalah lafazhnya.
[5]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/371, no.
1506), Shahiih Muslim (II/678, no. 985), Sunan at-Tirmidzi (II/91, no.
667), Sunan Abi Dawud (V/13, no. 1601), Sunan an-Nasa-i (V/51), Sunan
Ibni Majah (I/585, no. 1829).
[6]. Telah berlalu takhrijnya.
[7]. Shahih: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/375, no. 1511).
[8]. Telah berlalu takhrijnya.
[9]. Telah berlalu takhrijnya.
Rabu, 17 Oktober 2012
Kategori Alwajiz : Zakat Golongan Yang Berhak Menerima Zakat
GOLONGAN YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT. https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, Allah berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” [At-Taubah: 60]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ini (II/364), “Manakala Allah menyebutkan penolakan orang-orang munafik dan pencelaannya kepada Rasulullah j dalam masalah pembagian sedekah. Dia melanjutkannya dengan menjelaskan bahwa yang menetapkan pembagian tersebut, menerangkan hukumnya serta yang menangani masalah ini adalah Allah sendiri. Dia tidak mewakilkan pembagiannya kepada seorang pun, kemudian Dia-lah yang membagi shadaqah tersebut kepada golongan-golongan yang tersebut di dalam ayat di atas.”
Apakah Wajib Membagi Rata Harta Zakat Kepada Semua GolonganTersebut?
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah, “Para ulama berselisih pendapat berkenaan dengan delapan golongan yang berhak menerima zakat, apakah wajib menyerahkan harta zakat kepada setiap golongan atau boleh diserahkan kepada sebagian golongan saja yang memungkinkan untuk diberikan kepadannya? Dalam masalah ini ada dua pendapat:
Pertama: Wajib menyerahkannya kepada semua golongan dan ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan jama’ah para ulama.
Kedua: Tidak wajib menyerahkannya kepada semua golongan, bahkan boleh membagikannya kepada satu golongan saja dan menyerahkan semua harta zakat kepada mereka walaupun ada golongan yang lain. Dan ini adalah pendapat Imam Malik dan beberapa orang dari kaum Salaf dan khalaf, di antara mereka ‘Umar, Hudzaifah, Ibnu ‘Abbas, Abul ‘Aliyah, Sa’id bin Zubair dan Maimun bin Mihran. Berkata Ibnu Jarir, ‘Ini adalah pendapat kebanyakan ahli ilmu.’ Berdasarkan pendapat ini, maka tujuan penyebutan golongan-golongan tersebut dalam ayat ini adalah untuk menerangkan tentang golongan yang berhak menerima zakat bukan untuk menjelaskan kewajiban membagikannya kepada semua golongan tersebut.”
Ibnu Katsir rahimahullah kembali berkata, “Kami akan menyebutkan beberapa hadits yang berkaitan dengan delapan golongan tersebut:
Pertama : Orang-Orang Fakir
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Amr Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقََةُ لِغَنِيٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ سَوِيٍّ.
“Zakat tidak halal diberikan kepada orang kaya dan mereka yang memiliki kekuatan untuk bekerja.” [1]
Dari ‘Ubaidillah bin 'Adi bin al-Khiyar bahwa ada dua orang yang telah bercerita kepadanya bahwa mereka telah menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta zakat kepada beliau. Kemudian beliau memperhatikan mereka dan beliau melihat mereka masih kuat, lalu beliau bersabda:
إِنْ شِئْتُمَا أَعْطَيْتُكُمَا وَلاَ حَظَّ فِيْهَا لِغَنِيٍّ وَ لاَ لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ.
“Jika kalian mau aku akan berikan kalian zakat, namun tidak ada zakat bagi orang kaya dan mereka yang masih kuat untuk bekerja.” [2]
Kedua : Orang-Orang Miskin
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
لَيْسَ الْمِسْكِيْنُ بِهَذَا الطَّوَافِ الَّذِي يَطُوْفُ عَلَى النَّاسِ, فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ, وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ, قَالُوْا فَمَا الْمِسْكِيْنُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: اَلَّذِي لاَيَجِدُ غِنًى يُغْنِيْهِ, وَلاَ يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ, وَلاَ يَسْأَلُ النَّاسَ.
“Bukanlah termasuk orang miskin mereka yang keliling meminta-minta kepada manusia, kemudian hanya dengan sesuap atau dua suap makanan dan satu atau dua buah kurma ia kembali pulang.” Para Sahabat bertanya, “Kalau begitu siapakah yang dikatakan sebagai orang miskin, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhannya. Namun tidak ada yang mengetahui keadaannya sehingga ada yang mau memberinya sedekah dan ia juga tidak meminta-minta kepada manusia.” [3]
Ketiga : Amil Zakat
Mereka adalah petugas yang mengumpulkan dan menarik zakat, mereka berhak menerima sejumlah harta zakat sebagai ganjaran atas kerja mereka dan tidak boleh mereka termasuk dari keluarga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diharamkan atas mereka memakan se-dekah, sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahiih Muslim dari ‘Abdul Muththalib bin Rabi’ah bin al-Harits, bahwasanya ia dan al-Fadhl bin al-‘Abbas pergi menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta agar mereka berdua dijadikan sebagai amil zakat, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الصَّدَقَةَ لاَتَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ ِلآلِ مُحَمَّدٍ, إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ.
“Sesungguhnya zakat itu tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad, karena ia sebenarnya adalah kotoran manusia.” [4]
Keempat : Mu-allaf (Orang-Orang yang Dilunakkan Hatinya)
Mereka ada beberapa macam. Ada yang diberikan harta zakat agar mereka masuk Islam, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan Shafwan bin Umayyah harta dari hasil rampasan perang Hunain, dan dia ikut berperang dalam keadaan masih musyrik, ia bercerita, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak henti-hentinya memberiku harta rampasan hingga akhirnya beliau menjadi manusia yang paling aku cintai, padahal sebelum itu beliau adalah manusia yang paling aku benci.” [5]
Dan di antara mereka ada yang sengaja diberikan harta zakat agar mereka semakin bagus keislamannya dan semakin kuat hatinya dalam Islam, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salla ketika perang Hunain, beliau memberikan seratus ekor unta kepada sekelompok pemuka kaum ath-Thulaqa’ (orang-orang kafir Quraisy yang tidak diperangi di saat penaklukan Makkah), kemu-dian beliau bersabda:
إِنِّي َلأُعْطِيَ الرَّجُلَ، وَغَيْرَهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ, خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ.
“Sesungguhnya aku memberi (harta) pada seseorang, padahal yang lainnya lebih aku cintai daripadanya, hanya saja aku takut Allah akan memasukkannya ke dalam Neraka.” [6]
Dalam ash-Shahiihain diriwayatkan dari Abu Sa’id, bahwasanya ‘Ali menyerahkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam emas mentah batangan dari Yaman, kemudian beliau membagikannya kepada empat orang, al-Aqra’ bin Habis, ‘Uyainah bin Badar, ‘Alqamah bin ‘Ulatsah dan Zaid al-Khair, lalu beliau bersabda, “Aku ingin melunakkan hati mereka.” [7]
Di antara mereka ada yang diberikan zakat dengan maksud agar orang-orang yang seperti mereka ikut masuk Islam. Juga ada yang diberikan harta zakat supaya nantinya bisa mengumpulkan harta zakat dari orang-orang yang setelahnya atau untuk mencegah bahaya dari beberapa negeri terhadap kaum muslimin.
Allaahu a'lam.
Apakah harta zakat masih diberikan kepada orang-orang yang dilunakkan hatinya setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal ?
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat:
Diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Amir, Sya’bi dan sejumlah ulama lainnya, bahwasanya mereka tidak diberikan harta zakat setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, karena Islam dan kaum muslimin telah jaya dan mereka telah menguasai beberapa negara, serta telah ditundukkan bagi mereka banyak kaum.
Dan pendapat yang lain mengatakan bahwasanya mereka tetap berhak menerima zakat, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap memberikan mereka zakat setelah penaklukan Makkah dan Hawazin. Dan perkara ini terkadang dibutuhkan sehingga harta zakat diberikan kepada mereka.”
Kelima :Budak
Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, Sa’id bin Jubair, an-Nakha’i, az-Zuhri dan Ibnu Zaid mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan budak adalah al-Mukatab (budak yang telah mengadakan perjanjian dengan tuannya untuk membayar sejumlah uang sebagai tebusan atas dirinya). Hal ini juga diriwayatkan dari Abu Musa al-‘Asyari. Dan ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i juga al-Laitsi. Berkata Ibnu ‘Abbas dan al-Hasan, “Tidak mengapa harta zakat tersebut dijadikan sebagai tebusan untuk memerdekakan budak.” Dan ini adalah madzhab Ahmad, Malik dan Ishaq. Maksudnya bahwa memberikan zakat kepada budak sifatnya lebih umum dari sekedar memerdekakan al-Mukatab atau membeli budak, kemudian memerdekakannya. Banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan tentang pahala orang-orang yang memerdekakan budak. Dan sesungguhnya Allah akan membebaskan dari api Neraka anggota badan orang yang memerdekakan budak sebagai ganjaran dari anggota badan budak yang ia merdekakan, hingga kemaluan dengan kemaluan [8]. Hal ini semua karena balasan dari suatu amalan se-suai dengan jenis amalan tersebut:
وَمَا تُجْزَوْنَ إِلاَّ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ.
“Dan tidaklah kalian diberi ganjaran kecuali sesuai dengan amalan yang kalian kerjakan.”
Keenam : Orang yang Berhutang
Mereka ada beberapa jenis, ada yang menanggung hutang orang lain dan manakala telah sampai waktu pembayaran ia menggunakan hartanya untuk melunasinya sehingga hartanya habis, ada yang tidak bisa melunasi hutangnya, ada yang merugi karena kemaksiatan yang diperbuat kemudian dia bertaubat, mereka inilah yang berhak menerima zakat.
Dalil dalam masalah ini adalah hadits Qabishah bin Mukhariq al-Hilali, ia berkata, “Aku sedang menanggung hutang orang lain, kemudian aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta bantuan beliau, beliau berkata, “Tunggulah, jika ada zakat yang kami dapatkan kami akan menyerahkannya kepadamu.” Selanjutnya beliau bersabda:
يَا قَبِيْصَةُ , إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَتَحِلُّ إِلاَّ ِلأَحَدِ ثَلاَثَةٍ: رَجُلٌ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِِكَ, وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اِجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ, حَتَّى يُصِيْبَ قِوَاماً مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ, وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ, فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ, حَتَّى يُصِيْبَ قِوَاماً مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ, فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبيْصَةُ ! سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.
“Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi salah satu dari tiga orang, yaitu orang yang menanggung hutang orang lain, maka ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian ia berhenti meminta-minta, orang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup atau beliau berkata, sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, dan orang yang ditimpa kesengsaraan hidup sampai tiga orang dari kaumnya yang berpengetahuan (alim) berkata, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup.’ Ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup atau beliau berkata: Sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun selain tiga golongan tersebut, wahai Qabishah, maka haram hukumnya dan mereka yang memakannya adalah memakan makanan yang haram.’” [9]
Ketujuh : Orang yang Berjuang di Jalan Allah (Fii Sabilillaah)
Mereka adalah para pasukan perang yang tidak punya hak dari baitul mal. Adapun Imam Ahmad, al-Hasan dan Ishaq mengatakan bahwa orang yang berhaji termasuk dalam fii sabilillaah, ber-dasarkan sebuah hadits.
Saya (penulis) berkata, “Yang mereka maksud dengan hadits adalah hadits Ibnu ‘Abbas, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menunaikan haji dan ada seorang isteri yang berkata kepada suaminya, ‘Sertakanlah aku berhaji bersama Rasulullah.’ Suami tersebut menjawab, ‘Aku tidak memiliki harta yang bisa kugunakan untuk membiayaimu pergi haji.’ Lalu isterinya berkata, ‘Hajikanlah aku dengan untamu itu.’ Dia berkata, ‘Itu adalah unta yang aku gunakan untuk berjuang di jalan Allah.’ Kemudian lelaki tersebut datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku mengucapkan salam atasmu dan ia telah memintaku untuk menghajikannya bersamamu, ia berkata, ‘Hajikanlah aku bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.’ Lalu aku menjawab, ‘Sesungguhnya aku tidak memiliki harta yang akan kugunakan untuk membia-yaimu pergi haji.’ Ia berkata lagi, ‘Kalau begitu hajikanlah aku dengan untamu itu.’ Aku berkata kepadanya, ‘Itu adalah unta yang aku gunakan untuk berjuang di jalan Allah.’’ Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya jika engkau menghajikan ia dengan unta tersebut juga termasuk dalam fii sabilillaah.’” [10]
Kedelapan : Ibnus Sabil
Dia adalah musafir yang berada di suatu negeri dan tidak memiliki sesuatu apa pun yang bisa membantunya dalam perjalanan, maka ia diberikan dari harta zakat secukupnya yang bisa diguna-kan untuk pulang kampung, walaupun mungkin dia memiliki sedikit harta. Dan hukum ini berlaku bagi mereka yang melakukan perjalanan jauh dari negerinya dan tidak ada sesuatu apa pun bersamanya, maka ia diberikan sejumlah harta dari zakat yang bisa mencukupinya untuk bekal pulang pergi. Dan dalilnya adalah ayat tentang golongan yang berhak menerima zakat, juga apa yang diri-wayatkan oleh Imam Abu Dawud, Ibnu Majah dari hadits Ma’mar dari Yazid bin Aslam, dari ‘Atha' bin Yasar, dari Abu Sa’id radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلاَّ خَمْسَةٍ: اَلْعَامِلُ عَلَيْهَا أَوْ رَجُلٌ اِشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ غَارِمٌ اَوْ غَازٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ أَوْ مِسْكِيْنٌ تُصُدِّقَ عَلَيْهِ فَأَهْدَى مِنْهَا لِغَنِيٍّ.
“Zakat itu tidak halal diberikan kepada orang kaya kecuali lima macam, yaitu amil zakat atau orang yang membelinya dengan hartanya atau orang yang berhutang atau orang yang berperang di jalan Allah atau orang miskin yang menerima zakat, kemudian dia menghadiahkannya kepada orang kaya.”[11]
Selesai perkataan Ibnu Katsir.”-pent.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7251)], Sunan at-Tirmidzi (II/81, no. 647), Sunan Abi Dawud (V/42, no. 1617), dan diriwayatkan dari Abu Hurairah z: Sunan Ibni Majah (I/589, no. 1839), Sunan an-Nasa-i (V/99).
[2]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1438)], Sunan Abi Dawud (V/41, no. 1617), Sunan an-Nasa-i (V/99).
[3]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim II/719, no. 1039), dan ini adalah lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari III/341, no. 1479), Sunan an-Nasa-i (V/75), Sunan Abi Dawud (V/39, no. 1615).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 1664)], Shahiih Muslim (II/752, no. 1072), Sunan Abi Dawud (VII/205, no. 2969), Sunan an-Nasa-i (V/105). Berkata an-Nawawi, “Yang dimaksud dengan ausaakhun naas, bahwasanya zakat tersebut sebagai pembersih dan pensuci bagi harta dan jiwa mereka, sebagaimana firman Allah, ‘Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.’ Maka, zakat tersebut ibarat alat pencuci kotoran.” (Shahiih Muslim Syarah an-Nawawi (VII/251), cet. Qurthubah).
[5]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 1588)], Shahiih Muslim (II/754, no. 1072 (168)), Sunan Abi Dawud (VIII/205-208, no. 2969), Sunan an-Nasa-i (V/ 105-106)
[6]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/79, no. 27), Shahiih Muslim (I/132, no. 150), Sunan Abi Dawud (XII/440, no. 4659), Sunan an-Nasa-i (VIII/103).
[7]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (VIII/67, no. 4351), Sha-hiih Muslim (II/741, no. 1064), Sunan Abi Dawud (XIII/109, no. 4738).
[8]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6051)]. Diriwayatkan oleh at-Tir-midzi dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اعْتَقَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً أَعْتَقَ اللهُ مِنْهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنَ النَّارِ حَتَّى يَعْتِقَ فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ.
“Barangsiapa yang memerdekakan seorang budak yang beriman niscaya Allah akan memerdekakan dengannya (anggota badan budak) setiap anggota badan orang yang memerdekakannya dari api Neraka sampai kemaluannya dengan kemaluannya.” (III/49, no. 1541).
[9]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 568)], Shahiih Muslim (II/722, no. 1044), Sunan Abi Dawud (V/49, no. 1624), Sunan an-Nasa-i (V/96). Dan termasuk dari zawil hija orang yang berakal dan pintar.
[10]. Hasan shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 1753)], Sunan Abi Dawud (V/465, no. 19740), Mustadrak al-Hakim (I/183), al-Baihaqi (VI/164).
[11]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 725)], Sunan Abi Dawud (V/44, no. 1619), Sunan Ibni Majah (I/590, no. 1841).
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” [At-Taubah: 60]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ini (II/364), “Manakala Allah menyebutkan penolakan orang-orang munafik dan pencelaannya kepada Rasulullah j dalam masalah pembagian sedekah. Dia melanjutkannya dengan menjelaskan bahwa yang menetapkan pembagian tersebut, menerangkan hukumnya serta yang menangani masalah ini adalah Allah sendiri. Dia tidak mewakilkan pembagiannya kepada seorang pun, kemudian Dia-lah yang membagi shadaqah tersebut kepada golongan-golongan yang tersebut di dalam ayat di atas.”
Apakah Wajib Membagi Rata Harta Zakat Kepada Semua GolonganTersebut?
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah, “Para ulama berselisih pendapat berkenaan dengan delapan golongan yang berhak menerima zakat, apakah wajib menyerahkan harta zakat kepada setiap golongan atau boleh diserahkan kepada sebagian golongan saja yang memungkinkan untuk diberikan kepadannya? Dalam masalah ini ada dua pendapat:
Pertama: Wajib menyerahkannya kepada semua golongan dan ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan jama’ah para ulama.
Kedua: Tidak wajib menyerahkannya kepada semua golongan, bahkan boleh membagikannya kepada satu golongan saja dan menyerahkan semua harta zakat kepada mereka walaupun ada golongan yang lain. Dan ini adalah pendapat Imam Malik dan beberapa orang dari kaum Salaf dan khalaf, di antara mereka ‘Umar, Hudzaifah, Ibnu ‘Abbas, Abul ‘Aliyah, Sa’id bin Zubair dan Maimun bin Mihran. Berkata Ibnu Jarir, ‘Ini adalah pendapat kebanyakan ahli ilmu.’ Berdasarkan pendapat ini, maka tujuan penyebutan golongan-golongan tersebut dalam ayat ini adalah untuk menerangkan tentang golongan yang berhak menerima zakat bukan untuk menjelaskan kewajiban membagikannya kepada semua golongan tersebut.”
Ibnu Katsir rahimahullah kembali berkata, “Kami akan menyebutkan beberapa hadits yang berkaitan dengan delapan golongan tersebut:
Pertama : Orang-Orang Fakir
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Amr Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقََةُ لِغَنِيٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ سَوِيٍّ.
“Zakat tidak halal diberikan kepada orang kaya dan mereka yang memiliki kekuatan untuk bekerja.” [1]
Dari ‘Ubaidillah bin 'Adi bin al-Khiyar bahwa ada dua orang yang telah bercerita kepadanya bahwa mereka telah menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta zakat kepada beliau. Kemudian beliau memperhatikan mereka dan beliau melihat mereka masih kuat, lalu beliau bersabda:
إِنْ شِئْتُمَا أَعْطَيْتُكُمَا وَلاَ حَظَّ فِيْهَا لِغَنِيٍّ وَ لاَ لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ.
“Jika kalian mau aku akan berikan kalian zakat, namun tidak ada zakat bagi orang kaya dan mereka yang masih kuat untuk bekerja.” [2]
Kedua : Orang-Orang Miskin
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
لَيْسَ الْمِسْكِيْنُ بِهَذَا الطَّوَافِ الَّذِي يَطُوْفُ عَلَى النَّاسِ, فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ, وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ, قَالُوْا فَمَا الْمِسْكِيْنُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: اَلَّذِي لاَيَجِدُ غِنًى يُغْنِيْهِ, وَلاَ يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ, وَلاَ يَسْأَلُ النَّاسَ.
“Bukanlah termasuk orang miskin mereka yang keliling meminta-minta kepada manusia, kemudian hanya dengan sesuap atau dua suap makanan dan satu atau dua buah kurma ia kembali pulang.” Para Sahabat bertanya, “Kalau begitu siapakah yang dikatakan sebagai orang miskin, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhannya. Namun tidak ada yang mengetahui keadaannya sehingga ada yang mau memberinya sedekah dan ia juga tidak meminta-minta kepada manusia.” [3]
Ketiga : Amil Zakat
Mereka adalah petugas yang mengumpulkan dan menarik zakat, mereka berhak menerima sejumlah harta zakat sebagai ganjaran atas kerja mereka dan tidak boleh mereka termasuk dari keluarga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diharamkan atas mereka memakan se-dekah, sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahiih Muslim dari ‘Abdul Muththalib bin Rabi’ah bin al-Harits, bahwasanya ia dan al-Fadhl bin al-‘Abbas pergi menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta agar mereka berdua dijadikan sebagai amil zakat, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الصَّدَقَةَ لاَتَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ ِلآلِ مُحَمَّدٍ, إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ.
“Sesungguhnya zakat itu tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad, karena ia sebenarnya adalah kotoran manusia.” [4]
Keempat : Mu-allaf (Orang-Orang yang Dilunakkan Hatinya)
Mereka ada beberapa macam. Ada yang diberikan harta zakat agar mereka masuk Islam, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan Shafwan bin Umayyah harta dari hasil rampasan perang Hunain, dan dia ikut berperang dalam keadaan masih musyrik, ia bercerita, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak henti-hentinya memberiku harta rampasan hingga akhirnya beliau menjadi manusia yang paling aku cintai, padahal sebelum itu beliau adalah manusia yang paling aku benci.” [5]
Dan di antara mereka ada yang sengaja diberikan harta zakat agar mereka semakin bagus keislamannya dan semakin kuat hatinya dalam Islam, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salla ketika perang Hunain, beliau memberikan seratus ekor unta kepada sekelompok pemuka kaum ath-Thulaqa’ (orang-orang kafir Quraisy yang tidak diperangi di saat penaklukan Makkah), kemu-dian beliau bersabda:
إِنِّي َلأُعْطِيَ الرَّجُلَ، وَغَيْرَهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ, خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ.
“Sesungguhnya aku memberi (harta) pada seseorang, padahal yang lainnya lebih aku cintai daripadanya, hanya saja aku takut Allah akan memasukkannya ke dalam Neraka.” [6]
Dalam ash-Shahiihain diriwayatkan dari Abu Sa’id, bahwasanya ‘Ali menyerahkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam emas mentah batangan dari Yaman, kemudian beliau membagikannya kepada empat orang, al-Aqra’ bin Habis, ‘Uyainah bin Badar, ‘Alqamah bin ‘Ulatsah dan Zaid al-Khair, lalu beliau bersabda, “Aku ingin melunakkan hati mereka.” [7]
Di antara mereka ada yang diberikan zakat dengan maksud agar orang-orang yang seperti mereka ikut masuk Islam. Juga ada yang diberikan harta zakat supaya nantinya bisa mengumpulkan harta zakat dari orang-orang yang setelahnya atau untuk mencegah bahaya dari beberapa negeri terhadap kaum muslimin.
Allaahu a'lam.
Apakah harta zakat masih diberikan kepada orang-orang yang dilunakkan hatinya setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal ?
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat:
Diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Amir, Sya’bi dan sejumlah ulama lainnya, bahwasanya mereka tidak diberikan harta zakat setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, karena Islam dan kaum muslimin telah jaya dan mereka telah menguasai beberapa negara, serta telah ditundukkan bagi mereka banyak kaum.
Dan pendapat yang lain mengatakan bahwasanya mereka tetap berhak menerima zakat, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap memberikan mereka zakat setelah penaklukan Makkah dan Hawazin. Dan perkara ini terkadang dibutuhkan sehingga harta zakat diberikan kepada mereka.”
Kelima :Budak
Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, Sa’id bin Jubair, an-Nakha’i, az-Zuhri dan Ibnu Zaid mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan budak adalah al-Mukatab (budak yang telah mengadakan perjanjian dengan tuannya untuk membayar sejumlah uang sebagai tebusan atas dirinya). Hal ini juga diriwayatkan dari Abu Musa al-‘Asyari. Dan ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i juga al-Laitsi. Berkata Ibnu ‘Abbas dan al-Hasan, “Tidak mengapa harta zakat tersebut dijadikan sebagai tebusan untuk memerdekakan budak.” Dan ini adalah madzhab Ahmad, Malik dan Ishaq. Maksudnya bahwa memberikan zakat kepada budak sifatnya lebih umum dari sekedar memerdekakan al-Mukatab atau membeli budak, kemudian memerdekakannya. Banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan tentang pahala orang-orang yang memerdekakan budak. Dan sesungguhnya Allah akan membebaskan dari api Neraka anggota badan orang yang memerdekakan budak sebagai ganjaran dari anggota badan budak yang ia merdekakan, hingga kemaluan dengan kemaluan [8]. Hal ini semua karena balasan dari suatu amalan se-suai dengan jenis amalan tersebut:
وَمَا تُجْزَوْنَ إِلاَّ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ.
“Dan tidaklah kalian diberi ganjaran kecuali sesuai dengan amalan yang kalian kerjakan.”
Keenam : Orang yang Berhutang
Mereka ada beberapa jenis, ada yang menanggung hutang orang lain dan manakala telah sampai waktu pembayaran ia menggunakan hartanya untuk melunasinya sehingga hartanya habis, ada yang tidak bisa melunasi hutangnya, ada yang merugi karena kemaksiatan yang diperbuat kemudian dia bertaubat, mereka inilah yang berhak menerima zakat.
Dalil dalam masalah ini adalah hadits Qabishah bin Mukhariq al-Hilali, ia berkata, “Aku sedang menanggung hutang orang lain, kemudian aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta bantuan beliau, beliau berkata, “Tunggulah, jika ada zakat yang kami dapatkan kami akan menyerahkannya kepadamu.” Selanjutnya beliau bersabda:
يَا قَبِيْصَةُ , إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَتَحِلُّ إِلاَّ ِلأَحَدِ ثَلاَثَةٍ: رَجُلٌ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِِكَ, وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اِجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ, حَتَّى يُصِيْبَ قِوَاماً مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ, وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ, فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ, حَتَّى يُصِيْبَ قِوَاماً مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ, فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبيْصَةُ ! سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.
“Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi salah satu dari tiga orang, yaitu orang yang menanggung hutang orang lain, maka ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian ia berhenti meminta-minta, orang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup atau beliau berkata, sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, dan orang yang ditimpa kesengsaraan hidup sampai tiga orang dari kaumnya yang berpengetahuan (alim) berkata, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup.’ Ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup atau beliau berkata: Sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun selain tiga golongan tersebut, wahai Qabishah, maka haram hukumnya dan mereka yang memakannya adalah memakan makanan yang haram.’” [9]
Ketujuh : Orang yang Berjuang di Jalan Allah (Fii Sabilillaah)
Mereka adalah para pasukan perang yang tidak punya hak dari baitul mal. Adapun Imam Ahmad, al-Hasan dan Ishaq mengatakan bahwa orang yang berhaji termasuk dalam fii sabilillaah, ber-dasarkan sebuah hadits.
Saya (penulis) berkata, “Yang mereka maksud dengan hadits adalah hadits Ibnu ‘Abbas, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menunaikan haji dan ada seorang isteri yang berkata kepada suaminya, ‘Sertakanlah aku berhaji bersama Rasulullah.’ Suami tersebut menjawab, ‘Aku tidak memiliki harta yang bisa kugunakan untuk membiayaimu pergi haji.’ Lalu isterinya berkata, ‘Hajikanlah aku dengan untamu itu.’ Dia berkata, ‘Itu adalah unta yang aku gunakan untuk berjuang di jalan Allah.’ Kemudian lelaki tersebut datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku mengucapkan salam atasmu dan ia telah memintaku untuk menghajikannya bersamamu, ia berkata, ‘Hajikanlah aku bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.’ Lalu aku menjawab, ‘Sesungguhnya aku tidak memiliki harta yang akan kugunakan untuk membia-yaimu pergi haji.’ Ia berkata lagi, ‘Kalau begitu hajikanlah aku dengan untamu itu.’ Aku berkata kepadanya, ‘Itu adalah unta yang aku gunakan untuk berjuang di jalan Allah.’’ Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya jika engkau menghajikan ia dengan unta tersebut juga termasuk dalam fii sabilillaah.’” [10]
Kedelapan : Ibnus Sabil
Dia adalah musafir yang berada di suatu negeri dan tidak memiliki sesuatu apa pun yang bisa membantunya dalam perjalanan, maka ia diberikan dari harta zakat secukupnya yang bisa diguna-kan untuk pulang kampung, walaupun mungkin dia memiliki sedikit harta. Dan hukum ini berlaku bagi mereka yang melakukan perjalanan jauh dari negerinya dan tidak ada sesuatu apa pun bersamanya, maka ia diberikan sejumlah harta dari zakat yang bisa mencukupinya untuk bekal pulang pergi. Dan dalilnya adalah ayat tentang golongan yang berhak menerima zakat, juga apa yang diri-wayatkan oleh Imam Abu Dawud, Ibnu Majah dari hadits Ma’mar dari Yazid bin Aslam, dari ‘Atha' bin Yasar, dari Abu Sa’id radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلاَّ خَمْسَةٍ: اَلْعَامِلُ عَلَيْهَا أَوْ رَجُلٌ اِشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ غَارِمٌ اَوْ غَازٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ أَوْ مِسْكِيْنٌ تُصُدِّقَ عَلَيْهِ فَأَهْدَى مِنْهَا لِغَنِيٍّ.
“Zakat itu tidak halal diberikan kepada orang kaya kecuali lima macam, yaitu amil zakat atau orang yang membelinya dengan hartanya atau orang yang berhutang atau orang yang berperang di jalan Allah atau orang miskin yang menerima zakat, kemudian dia menghadiahkannya kepada orang kaya.”[11]
Selesai perkataan Ibnu Katsir.”-pent.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7251)], Sunan at-Tirmidzi (II/81, no. 647), Sunan Abi Dawud (V/42, no. 1617), dan diriwayatkan dari Abu Hurairah z: Sunan Ibni Majah (I/589, no. 1839), Sunan an-Nasa-i (V/99).
[2]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1438)], Sunan Abi Dawud (V/41, no. 1617), Sunan an-Nasa-i (V/99).
[3]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim II/719, no. 1039), dan ini adalah lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari III/341, no. 1479), Sunan an-Nasa-i (V/75), Sunan Abi Dawud (V/39, no. 1615).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 1664)], Shahiih Muslim (II/752, no. 1072), Sunan Abi Dawud (VII/205, no. 2969), Sunan an-Nasa-i (V/105). Berkata an-Nawawi, “Yang dimaksud dengan ausaakhun naas, bahwasanya zakat tersebut sebagai pembersih dan pensuci bagi harta dan jiwa mereka, sebagaimana firman Allah, ‘Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.’ Maka, zakat tersebut ibarat alat pencuci kotoran.” (Shahiih Muslim Syarah an-Nawawi (VII/251), cet. Qurthubah).
[5]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 1588)], Shahiih Muslim (II/754, no. 1072 (168)), Sunan Abi Dawud (VIII/205-208, no. 2969), Sunan an-Nasa-i (V/ 105-106)
[6]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/79, no. 27), Shahiih Muslim (I/132, no. 150), Sunan Abi Dawud (XII/440, no. 4659), Sunan an-Nasa-i (VIII/103).
[7]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (VIII/67, no. 4351), Sha-hiih Muslim (II/741, no. 1064), Sunan Abi Dawud (XIII/109, no. 4738).
[8]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6051)]. Diriwayatkan oleh at-Tir-midzi dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اعْتَقَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً أَعْتَقَ اللهُ مِنْهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنَ النَّارِ حَتَّى يَعْتِقَ فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ.
“Barangsiapa yang memerdekakan seorang budak yang beriman niscaya Allah akan memerdekakan dengannya (anggota badan budak) setiap anggota badan orang yang memerdekakannya dari api Neraka sampai kemaluannya dengan kemaluannya.” (III/49, no. 1541).
[9]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 568)], Shahiih Muslim (II/722, no. 1044), Sunan Abi Dawud (V/49, no. 1624), Sunan an-Nasa-i (V/96). Dan termasuk dari zawil hija orang yang berakal dan pintar.
[10]. Hasan shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 1753)], Sunan Abi Dawud (V/465, no. 19740), Mustadrak al-Hakim (I/183), al-Baihaqi (VI/164).
[11]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 725)], Sunan Abi Dawud (V/44, no. 1619), Sunan Ibni Majah (I/590, no. 1841).
Kategori Alwajiz : Zakat Harta Yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya
HARTA YANG WAJIB DIKELUARKAN ZAKATNYA. https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah emas dan perak, tanaman, buah-buahan, binatang ternak, dan harta karun.
Pertama : Zakat Emas dan Perak
Nishab Dan Ukuran Yang Wajib Dikeluarkan
Nisab emas sebanyak 20 dinar, sedangkan perak 200 dirham, zakat keduanya sebanyak seperempatpuluh, sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيْهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَئٌ -يَعْنَى فِي الذَّهَبِ- حَتَّى يَكُوْنَ لَكَ عِشْرُوْنَ دِيْنَارًا, فَإِذَا كَانَتْ لَكَ عِشْرُوْنَ دِيْنَارٍ وَحَالَ
عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيْهَا نِصْفُ دِيْنَارٍ.
“Apabila engkau memiliki 200 dirham dan telah lewat satu tahun, maka zakatnya sebanyak 5 dirham. Tidak wajib atasmu zakat (emas) kecuali engkau memiliki 20 dinar, jika engkau memiliki 20 dinar dan telah lewat satu tahun, maka zakatnya setengah dinar.” [1]
Kedua :Zakat Perhiasan
Zakat perhiasan wajib hukumnya, berdasarkan keumuman ayat dan hadits yang menunjukkan kewajiban zakat, dan tidak ada dalil bagi mereka yang mengecualikannya dari keumuman ayat dan hadits-hadits tersebut. Di samping itu juga ada beberapa dalil-dalil khusus yang menunjukkan akan kewajiban zakat perhiasan, di antaranya:
Diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Aku mengenakan perhiasan dari perak, lalu aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, apakah ini termasuk harta simpanan?” Beliau menjawab:
مَا بَلَغَ أَنْ تُؤَدِّيَ زَكَاتَهُ فَزُكِّيَ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ.
“Harta yang sudah sampai batas untuk dikeluarkan zakatnya, lalu dikeluarkan zakatnya, maka bukan lagi termasuk harta simpanan.” [2]
Juga dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangiku dan beliau melihat di tanganku ada cincin tak bermata yang terbuat dari perak, kemudian beliau berkata, ‘Apa ini, wahai ‘Aisyah ?’ Aku menjawab, ‘Aku sengaja membuatnya agar aku bisa berhias untukmu wahai Rasulullah.’ Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah engkau tunaikan zakatnya?’ Aku menjawab, ‘Tidak atau maasya Allah.’ Lalu beliau berkata, ‘Hal ini cukup untuk memasukkanmu ke dalam Neraka.’” [3]
Ketiga : Zakat Tanaman dan Buah-Buahan
Allah Ta’ala berfirman:
وَهُوَ الَّذِي أَنشَأَ جَنَّاتٍ مَّعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ ۚ كُلُوا مِن ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ ۖ وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Dan Dia-lah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya) dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” [Al-An’aam: 141]
Jenis-Jenis Tanaman Dan Buah-Buahan Yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya:
Tidak wajib mengeluarkan zakat kecuali dari empat jenis tanaman yang disebutkan dalam hadits berikut ini. Dari Abi Burdah, dari Abu Musa dan Mu’adz Radhiyallahu anhuma, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus mereka berdua ke Yaman untuk mengajarkan penduduk Yaman ilmu agama, dan beliau memerintahkan mereka berdua agar jangan mengambil zakat kecuali dari empat jenis tanaman, yaitu hinthah (gandum), sya’ir (gandum), kurma dan anggur kering.” [4]
Nishabnya:
Syarat wajibnya zakat tanaman dan buah-buahan adalah jika telah sampai nishabnya, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits berikut.
Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ فيِمَا دُونَ خَمْسِِ ذَوْدٍ مِنَ اْلإِبِلِ صَدَقَةٌ, وَلَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ, وَلَيْسَ فِيْمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ.
“Tidak ada zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari 5 ekor, juga pada perak yang kurang dari 5 awaq [5] , dan tidak pula pada kurma yang kurang dari 5 ausuq .” [6][7]
Ukuran Yang Wajib Dikeluarkan:
Diriwayatkan dari Jabir, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
فِيْمَا سَقَتِ اْلأَنْهَارُ وَالْغَيْمُ الْعُشُوْرُ, وَفِيْمَا سُقِيَ بِالسَّانِيَّةِ نِصْفُ الْعُشُورِ.
“Pada (perkebunan) yang disirami dari sungai dan hujan ada kewajiban zakat sepersepuluh, dan yang disirami dengan alat seperduapuluh.”[8]
Juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
فيِمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُوْنُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًا الْعُشْرُ, وَفِيْمَا سُقِيَ بِالنُضْحِ نِصْفُ الْعُشُرِ.
“Tanaman yang disiram dengan air hujan atau dengan sumber air atau dengan pengisapan air dari tanah, zakatnya sepersepuluh, dan tanaman yang disiram dengan tenaga manusia, zakatnya seperduapuluh.” [9]
Menaksir (Khirshu an-Nakhiil)* Kurma dan Anggur
Diriwayatkan dari Abu Humaid as-Sa’di, dia bercerita, “Kami pergi berperang bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada perang Tabuk, ketika kami tiba di lembah Qura, ada seorang wanita yang sedang di kebunnya, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Sahabat-Sahabatnya, ‘Taksirlah jumlah buah tanamannya.’ Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menaksirkannya sebanyak sepuluh ausaq, kemudian beliau berkata kepada wanita tersebut, ‘Hitunglah berapa jumlah hasil panen yang engkau dapat.’ Ketika kami kembali ke lembah Qura (dari Tabuk), beliau bertanya kepada wanita pemilik kebun tersebut, ‘Berapa hasil panen yang engkau dapat dari kebunmu?’ Wanita itu menjawab, ‘Sepuluh ausuq, sebagaimana yang ditaksir oleh Rasulullah.’”[10]
Dan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus ‘Abdullah bin Rawahah untuk menaksir buah kurma ketika sudah mulai matang sebelum dikonsumsi, kemudian beliau memberikan pilihan kepada orang-orang Yahudi apakah jumlah taksiran tersebut akan diambil oleh amil zakat atau mereka yang nantinya menyerahkannya langsung kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, agar zakatnya dihitung sebelum kurma tersebut dikonsumsi dan dipilah-pilah.” [11]
Keempat : Zakat Hewan Ternak
Hewan ternak yang wajib dizakati ada tiga jenis, yaitu unta, sapi, dan kambing.
1. Zakat Unta
Nishabnya:
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, diriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ فيِمَا دُوْنَ خَمْسِ ذَوْدٍ مِنَ اْلإِبِلِ صَدَقَةٌ.
“Tidak ada zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari 5 ekor.” [12]
Jumlah Zakat Yang Wajib Dikeluarkan:
Dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Abu Bakar Radhiyallahu anhu menulis surat untuknya yaitu ketika dia diutus ke al-Bahrain, di antara isinya: “Bismillaahir Rahmaanir Rahiim (dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang). Ini adalah kewajiban zakat yang diwajibkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atas kaum muslimin dan ini pula yang diperintahkan Allah atas Rasul-Nya, maka barangsiapa dari kaum muslimin yang diminta untuk mengeluarkannya dengan cara yang benar, maka hendaklah mereka mengeluarkannya. Dan barangsiapa yang diminta lebih dari apa yang telah diwajibkan, maka janganlah dia menyerahkannya, yaitu setiap 24 ekor unta ke bawah wajib mengeluarkan kambing, yaitu setiap kelipatan lima ekor unta zakatnya seekor kambing. Jika mencapai 25 hingga 35 ekor unta, zakatnya berupa bintu makhad (seekor anak unta betina yang umurnya telah menginjak tahun kedua). Jika mencapai 36 hingga 45 ekor unta, zakatnya berupa bintu labun (seekor anak unta betina yang umurnya telah menginjak tahun ketiga). Jika mencapai 46 hingga 60 ekor unta, zakatnya berupa hiqqah tharuqatul jamal (seekor anak unta betina yang umurnya telah masuk tahun keempat dan bisa dikawini unta jantan). Jika mencapai 61 hingga 75 ekor unta, zakatnya berupa jaza’ah (seekor unta betina yang umurnya telah masuk tahun kelima). Jika mencapai 76 hingga 90 ekor unta, maka zakatnya dua ekor bintu labun. Jika mencapai 91 hingga 120 ekor unta, zakatnya dua ekor hiqqah tharuqatul jamal. Jika telah melebihi 120 ekor unta, maka setiap 40 ekor unta, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun ketiga. Dan setiap 50 ekor, zakatnya seekor unta betina yang umurnya masuk tahun keempat. Dan bagi mereka yang tidak memiliki unta kecuali empat ekor, maka tidak wajib atasnya zakat kecuali jika pemiliknya menghendakinya, jika telah mencapai 5 ekor unta, maka wajib mengeluarkan zakat berupa seekor kambing.” [13]
BarangsiapaYyang Wajib Mengeluarkan Zakat Berupa Hewan Dengan Umur Tertentu Tetapi Dia Tidak Memilikinya
Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwasanya Abu Bakar Radhiyallahu anhu telah menulis surat untuknya yang berisi kewajiban zakat yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, di antara isi surat tersebut, “Barangsiapa yang jumlah untanya telah wajib mengeluarkan seekor unta betina yang umurnya telah memasuki tahun kelima (jaza'ah), padahal dia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya memasuki tahun keempat (hiqqah), maka ia boleh mengeluarkannya ditambah dua ekor kambing jika memungkinkan atau 20 dirham. Barangsiapa yang wajib mengeluarkan seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun keempat, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun kelima, maka ia boleh mengeluarkannya ditambah 20 dirham atau dua ekor kambing. Barangsiapa yang wajib mengeluarkan seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun keempat, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun ketiga (bintu labun), maka ia boleh mengeluarkannya ditambah dua ekor kambing atau 20 dirham. Barangsiapa yang wajib mengeluarkan seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun ketiga, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun keempat, maka ia boleh mengeluarkannya ditambah 20 dirham atau dua ekor kambing. Barangsiapa yang wajib mengeluarkan seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun ketiga, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun kedua (bintu makhad), maka ia boleh mengeluarkannya ditambah 20 dirham atau dua ekor kambing.” [14]
2. Zakat Sapi
Nishab Dan Ukuran (Jumlah) Yang Wajib Dikeluarkan
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengutusku ke Yaman dan beliau memerintahkanku agar mengambil zakat dari setiap 40 ekor sapi, seekor sapi betina berumur dua tahun lebih (musinnah), dan dari setiap 30 ekor sapi, seekor anak sapi berumur setahun lebih (tabi’) yang jantan atau yang betina.” [15]
3. Zakat Kambing
Nishab Dan Jumlah Yang Wajib Dikeluarkan
Dari Anas bahwasanya Abu Bakar telah menulis surat untuknya yang berisi kewajiban zakat yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, di antara isinya, “Zakat kambing yang dilepas mencari makan sendiri, jika telah mencapai jumlah 40 hingga 120 ekor, zakatnya seekor kambing. Jika lebih dari 120 hingga 200 ekor, zakatnya dua ekor kambing. Jika lebih dari 200 hingga 300 ekor, zakatnya tiga ekor kambing. Jika lebih dari 300 ekor kambing, maka setiap 100 ekor zakatnya satu ekor kambing. Apabila jumlah kambing yang dilepas mencari makan sendiri tersebut kurang dari 40 ekor, maka tidak wajib atasnya zakat kecuali jika pemiliknya menginginkan hal tersebut.”[16]
Syarat-Syarat Wajibnya Zakat Hewan Ternak
1. Telah sampai nishabnya. Dan hal ini telah diterangkan secara jelas dalam hadits-hadits yang telah berlalu.
2. Telah berlalu haul (satu tahun), berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
لاَ زَكَاةَ فِي مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ.
“Tidak wajib zakat pada harta yang belum sampai haulnya (satu tahun).” [17]
3. Hendaklah hewan ternak tersebut selama setahun lebih sering digembalakan dengan cara mencari rumput sendiri, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Zakat kambing yang dilepas mencari makan sendiri, jika telah mencapai jumlah 40 hingga 120 ekor, zakatnya seekor kambing...” [18]
Dan juga sabdanya:
فِي كُلِّ إِبِلٍ سَائِمَةٍ فِي كُلِّ أَرْبَعِيْنَ ابْنَةُ لَبُوْنٍ.
“Pada setiap 40 ekor unta yang dilepas mencari makan sendiri, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya memasuki tahun ketiga.” [19]
Jenis Harta Yang Tidak Boleh Diambil Sebagai Zakat
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mengutus Mu’adz ke Yaman beliau bersabda:
وَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ.
“Dan janganlah engkau mengambil harta-harta mereka yang mulia (sebagai zakat)...” [20]
Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwasanya Abu Bakar Radhiyallahu anhu telah menulis surat untuknya yang berisi kewajiban zakat yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, yang berbunyi, “Tidak boleh dikeluarkan untuk zakat hewan, hewan yang tua dan yang cacat, dan tidak bo-leh dikeluarkan yang jantan kecuali jika pemiliknya menghendaki.” [21]
Hukum Harta Yang Terkumpul Padanya Dua Hak
Jika tercampur harta dua orang atau lebih dari orang-orang yang wajib zakat dan tidak bisa dibedakan antara harta salah seorang di antara mereka dengan yang lainnya, maka mereka berdua mengeluarkan satu zakat saja jika telah wajib atas mereka berdua mengeluarkan zakat.
Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwasanya Abu Bakar Radhiyallahu anhu telah menulis surat untuknya yang berisi kewajiban zakat yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, yang di antaranya berbunyi, “Tidak boleh dikumpulkan antara hewan-hewan ternak yang terpisah dan tidak boleh dipisahkan antara hewan-hewan ternak yang terkumpul karena takut mengeluarkan zakat. Hewan ternak kumpulan dari dua orang, pada waktu zakat harus kembali dibagi rata antar keduanya.” [22]
Kelima : Zakat Harta Karun (Rikaz)
Ar-Rikaz adalah harta yang terpendam sejak zaman Jahiliyyah yang kemudian dikeluarkan tanpa membutuhkan biaya dan tenaga yang banyak.
Diwajibkan untuk segera mengeluarkan zakatnya tanpa ada syarat harus sampai nishab dan haul. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
وَ فِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ.
“Zakat rikaz adalah seperlima.” [23]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1391)], Sunan Abi Dawud (IV/447, no. 1558).
[2]. Hasan: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir, (no. 5582)], [Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 559)], Sunan Abi Dawud (IV/426, no. 1549), Ad-Daraquthni (II/105).
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1384)], Sunan Abi Dawud (IV/427, no. 1550), ad-Daraquthni (II/105).
[4]. Shahih: [ Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah 879], Mustadrak al-Hakim (I/401), al-Baihaqi (IV/125).
[5]. Awaaq: bentuk jamak dari auqiyah, Ibnu Hajar berkata, “Telah disepakati bahwa ukuran auqiyah dalam hadits ini sama dengan 40 dirham yang ter-buat dari perak murni.”
[6]. Ausuq: bentuk jamak dari wasaq -dengan huruf wawu difat-hahkan atau boleh juga dikasrahkan- yaitu 60 sha’, lihat Fat-hul Baari (III/364), cet. Daar ar-Rayyan.
[7]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/310, no. 1447) ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (II/673, no. 979), Sunan at-Tirmidzi (II/69, no. 622), Sunan an-Nasa-i (V/17), Sunan Ibni Majah (I/571, no. 1793).
[8]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4271)], Shahiih Muslim (II/675, no. 981) ini adalah lafazhnya, Sunan Abi Dawud (IV/486, no. 1582), Sunan an-Nasa-i (V/42).
[9]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 427)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/347, no. 1483) dan ini adalah lafazhnya, Sunan Abi Dawud (IV/485, no. 1581), Sunan at-Tirmidzi (II/76, no. 635), Sunan an-Nasa-i (V/41), Sunan Ibni Majah (I/581, no. 1817).
* Khirsh an-Nakhiil: Memperkirakan berapa jumlah buah kurma kering yang akan diperoleh dari buah kurma basah yang terdapat di sebuah pohon. At-Tirmidzi menceritakan dari sebagian ahli ilmu bahwa yang dimaksud di sini adalah jika terdapat buah kurma basah (ruthab) dan anggur yang wajib untuk dikeluarkan zakatnya, maka pemerintah setempat mengutus sese-orang yang ahli untuk menaksirkan berapa jumlah zakat yang harus dike-luarkan, kemudian dia memperhatikan pohon tersebut lalu berkata: Dari pohon ini akan menghasilkan sejumlah sekian dari kurma kering (tamr), lalu dia menghitungnya dan menghitung zakatnya sebanyak sepersepuluh dari jumlah yang diperkirakan, kemudian meninggalkannya bersama pemiliknya, manakala datang waktu panen diambil darinya zakat sebanyak sepersepuluh. (Fat-hul Baari III/403, cet. Dar ar-Rayyan)
[10]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 2643)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari (III/343, no. 1481, 3079).
[11]. Hasan lighairihi (hadits yang dha'if tetapi karena banyak jalur sanadnya, maka ia naik menjadi hasan): [Irwaa-ul Ghaliil (no. 805)], Sunan Abi Dawud (IX/276, no. 3396).
[12]. Telah berlalu takhrijnya
[13]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1375)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/317, no. 1454), (III/316, no. 1453), Sunan Abi Dawud (IV/431, no. 1552), Sunan an-Nasa-i (V/18), Sunan Ibni Majah (I/575/1800) hadits yang kedua saja.
[14]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1375)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari (III/317, no. 1454, III/316, no. 1453)), Sunan Abi Dawud (IV/431, no. 1552), Sunan an-Nasa-i (V/18), Sunan Ibni Majah (I/575, no. 1800) pada hadits yang kedua saja.
[15]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1394)], Sunan at-Tirmidzi (II/68, no. 619), Sunan Abi Dawud (IV/457, no. 1561), Sunan an-Nasa-i (V/26), Sunan Ibni Majah (I/576, no. 1803) dan lafazh ini adalah miliknya, sedangkan da-lam riwayat yang lainnya ada tambahan pada akhir hadits ini.
[16]. Telah berlalu takhrijnya.
[17]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7497)], Sunan Ibni Majah (I/571, no. 1792), ad-Daraquthni (II/90, no. 3), al-Baihaqi (IV/103).
[18]. Penggalan hadits Abu Bakar yang telah berlalu takhrijnya.
[19]. Telah berlalu takhrijnya.
[20]. Muttafaq 'alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/357, no. 1496), Sha-hiih Muslim (I/50, no. 19), Sunan at-Tirmidzi (II/69, no. 621), Sunan Abi Dawud (IV/467, no. 1569), Sunan an-Nasa-i (V/55).
[21]. Telah berlalu takhrijnya
[22]. Telah berlalu takhrijnya.
[23]. Muttafaq 'alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari (III/364, no. 1499)), Sha-hiih Muslim (III/1334, no. 1710), Sunan at-Tirmidzi (II/77, no. 637), Sunan an-Nasa-i (V/45), Sunan Ibni Majah (II/839, no. 2509), Sunan Abi Dawud (VIII/341, no. 3069), hadits ini dalam riwayat dua kitab, yang pertama diriwayatkan secara panjang, adapun dalam kitab yang lainnya tidaklah disebutkan kecuali seperti lafazh di atas.
Pertama : Zakat Emas dan Perak
Nishab Dan Ukuran Yang Wajib Dikeluarkan
Nisab emas sebanyak 20 dinar, sedangkan perak 200 dirham, zakat keduanya sebanyak seperempatpuluh, sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيْهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَئٌ -يَعْنَى فِي الذَّهَبِ- حَتَّى يَكُوْنَ لَكَ عِشْرُوْنَ دِيْنَارًا, فَإِذَا كَانَتْ لَكَ عِشْرُوْنَ دِيْنَارٍ وَحَالَ
عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيْهَا نِصْفُ دِيْنَارٍ.
“Apabila engkau memiliki 200 dirham dan telah lewat satu tahun, maka zakatnya sebanyak 5 dirham. Tidak wajib atasmu zakat (emas) kecuali engkau memiliki 20 dinar, jika engkau memiliki 20 dinar dan telah lewat satu tahun, maka zakatnya setengah dinar.” [1]
Kedua :Zakat Perhiasan
Zakat perhiasan wajib hukumnya, berdasarkan keumuman ayat dan hadits yang menunjukkan kewajiban zakat, dan tidak ada dalil bagi mereka yang mengecualikannya dari keumuman ayat dan hadits-hadits tersebut. Di samping itu juga ada beberapa dalil-dalil khusus yang menunjukkan akan kewajiban zakat perhiasan, di antaranya:
Diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Aku mengenakan perhiasan dari perak, lalu aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, apakah ini termasuk harta simpanan?” Beliau menjawab:
مَا بَلَغَ أَنْ تُؤَدِّيَ زَكَاتَهُ فَزُكِّيَ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ.
“Harta yang sudah sampai batas untuk dikeluarkan zakatnya, lalu dikeluarkan zakatnya, maka bukan lagi termasuk harta simpanan.” [2]
Juga dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangiku dan beliau melihat di tanganku ada cincin tak bermata yang terbuat dari perak, kemudian beliau berkata, ‘Apa ini, wahai ‘Aisyah ?’ Aku menjawab, ‘Aku sengaja membuatnya agar aku bisa berhias untukmu wahai Rasulullah.’ Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah engkau tunaikan zakatnya?’ Aku menjawab, ‘Tidak atau maasya Allah.’ Lalu beliau berkata, ‘Hal ini cukup untuk memasukkanmu ke dalam Neraka.’” [3]
Ketiga : Zakat Tanaman dan Buah-Buahan
Allah Ta’ala berfirman:
وَهُوَ الَّذِي أَنشَأَ جَنَّاتٍ مَّعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ ۚ كُلُوا مِن ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ ۖ وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Dan Dia-lah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya) dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” [Al-An’aam: 141]
Jenis-Jenis Tanaman Dan Buah-Buahan Yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya:
Tidak wajib mengeluarkan zakat kecuali dari empat jenis tanaman yang disebutkan dalam hadits berikut ini. Dari Abi Burdah, dari Abu Musa dan Mu’adz Radhiyallahu anhuma, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus mereka berdua ke Yaman untuk mengajarkan penduduk Yaman ilmu agama, dan beliau memerintahkan mereka berdua agar jangan mengambil zakat kecuali dari empat jenis tanaman, yaitu hinthah (gandum), sya’ir (gandum), kurma dan anggur kering.” [4]
Nishabnya:
Syarat wajibnya zakat tanaman dan buah-buahan adalah jika telah sampai nishabnya, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits berikut.
Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ فيِمَا دُونَ خَمْسِِ ذَوْدٍ مِنَ اْلإِبِلِ صَدَقَةٌ, وَلَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ, وَلَيْسَ فِيْمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ.
“Tidak ada zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari 5 ekor, juga pada perak yang kurang dari 5 awaq [5] , dan tidak pula pada kurma yang kurang dari 5 ausuq .” [6][7]
Ukuran Yang Wajib Dikeluarkan:
Diriwayatkan dari Jabir, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
فِيْمَا سَقَتِ اْلأَنْهَارُ وَالْغَيْمُ الْعُشُوْرُ, وَفِيْمَا سُقِيَ بِالسَّانِيَّةِ نِصْفُ الْعُشُورِ.
“Pada (perkebunan) yang disirami dari sungai dan hujan ada kewajiban zakat sepersepuluh, dan yang disirami dengan alat seperduapuluh.”[8]
Juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
فيِمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُوْنُ أَوْ كَانَ عَثَرِيًا الْعُشْرُ, وَفِيْمَا سُقِيَ بِالنُضْحِ نِصْفُ الْعُشُرِ.
“Tanaman yang disiram dengan air hujan atau dengan sumber air atau dengan pengisapan air dari tanah, zakatnya sepersepuluh, dan tanaman yang disiram dengan tenaga manusia, zakatnya seperduapuluh.” [9]
Menaksir (Khirshu an-Nakhiil)* Kurma dan Anggur
Diriwayatkan dari Abu Humaid as-Sa’di, dia bercerita, “Kami pergi berperang bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada perang Tabuk, ketika kami tiba di lembah Qura, ada seorang wanita yang sedang di kebunnya, lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Sahabat-Sahabatnya, ‘Taksirlah jumlah buah tanamannya.’ Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menaksirkannya sebanyak sepuluh ausaq, kemudian beliau berkata kepada wanita tersebut, ‘Hitunglah berapa jumlah hasil panen yang engkau dapat.’ Ketika kami kembali ke lembah Qura (dari Tabuk), beliau bertanya kepada wanita pemilik kebun tersebut, ‘Berapa hasil panen yang engkau dapat dari kebunmu?’ Wanita itu menjawab, ‘Sepuluh ausuq, sebagaimana yang ditaksir oleh Rasulullah.’”[10]
Dan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus ‘Abdullah bin Rawahah untuk menaksir buah kurma ketika sudah mulai matang sebelum dikonsumsi, kemudian beliau memberikan pilihan kepada orang-orang Yahudi apakah jumlah taksiran tersebut akan diambil oleh amil zakat atau mereka yang nantinya menyerahkannya langsung kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, agar zakatnya dihitung sebelum kurma tersebut dikonsumsi dan dipilah-pilah.” [11]
Keempat : Zakat Hewan Ternak
Hewan ternak yang wajib dizakati ada tiga jenis, yaitu unta, sapi, dan kambing.
1. Zakat Unta
Nishabnya:
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, diriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ فيِمَا دُوْنَ خَمْسِ ذَوْدٍ مِنَ اْلإِبِلِ صَدَقَةٌ.
“Tidak ada zakat pada unta yang jumlahnya kurang dari 5 ekor.” [12]
Jumlah Zakat Yang Wajib Dikeluarkan:
Dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Abu Bakar Radhiyallahu anhu menulis surat untuknya yaitu ketika dia diutus ke al-Bahrain, di antara isinya: “Bismillaahir Rahmaanir Rahiim (dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang). Ini adalah kewajiban zakat yang diwajibkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atas kaum muslimin dan ini pula yang diperintahkan Allah atas Rasul-Nya, maka barangsiapa dari kaum muslimin yang diminta untuk mengeluarkannya dengan cara yang benar, maka hendaklah mereka mengeluarkannya. Dan barangsiapa yang diminta lebih dari apa yang telah diwajibkan, maka janganlah dia menyerahkannya, yaitu setiap 24 ekor unta ke bawah wajib mengeluarkan kambing, yaitu setiap kelipatan lima ekor unta zakatnya seekor kambing. Jika mencapai 25 hingga 35 ekor unta, zakatnya berupa bintu makhad (seekor anak unta betina yang umurnya telah menginjak tahun kedua). Jika mencapai 36 hingga 45 ekor unta, zakatnya berupa bintu labun (seekor anak unta betina yang umurnya telah menginjak tahun ketiga). Jika mencapai 46 hingga 60 ekor unta, zakatnya berupa hiqqah tharuqatul jamal (seekor anak unta betina yang umurnya telah masuk tahun keempat dan bisa dikawini unta jantan). Jika mencapai 61 hingga 75 ekor unta, zakatnya berupa jaza’ah (seekor unta betina yang umurnya telah masuk tahun kelima). Jika mencapai 76 hingga 90 ekor unta, maka zakatnya dua ekor bintu labun. Jika mencapai 91 hingga 120 ekor unta, zakatnya dua ekor hiqqah tharuqatul jamal. Jika telah melebihi 120 ekor unta, maka setiap 40 ekor unta, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun ketiga. Dan setiap 50 ekor, zakatnya seekor unta betina yang umurnya masuk tahun keempat. Dan bagi mereka yang tidak memiliki unta kecuali empat ekor, maka tidak wajib atasnya zakat kecuali jika pemiliknya menghendakinya, jika telah mencapai 5 ekor unta, maka wajib mengeluarkan zakat berupa seekor kambing.” [13]
BarangsiapaYyang Wajib Mengeluarkan Zakat Berupa Hewan Dengan Umur Tertentu Tetapi Dia Tidak Memilikinya
Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwasanya Abu Bakar Radhiyallahu anhu telah menulis surat untuknya yang berisi kewajiban zakat yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, di antara isi surat tersebut, “Barangsiapa yang jumlah untanya telah wajib mengeluarkan seekor unta betina yang umurnya telah memasuki tahun kelima (jaza'ah), padahal dia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya memasuki tahun keempat (hiqqah), maka ia boleh mengeluarkannya ditambah dua ekor kambing jika memungkinkan atau 20 dirham. Barangsiapa yang wajib mengeluarkan seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun keempat, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun kelima, maka ia boleh mengeluarkannya ditambah 20 dirham atau dua ekor kambing. Barangsiapa yang wajib mengeluarkan seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun keempat, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun ketiga (bintu labun), maka ia boleh mengeluarkannya ditambah dua ekor kambing atau 20 dirham. Barangsiapa yang wajib mengeluarkan seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun ketiga, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun keempat, maka ia boleh mengeluarkannya ditambah 20 dirham atau dua ekor kambing. Barangsiapa yang wajib mengeluarkan seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun ketiga, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun kedua (bintu makhad), maka ia boleh mengeluarkannya ditambah 20 dirham atau dua ekor kambing.” [14]
2. Zakat Sapi
Nishab Dan Ukuran (Jumlah) Yang Wajib Dikeluarkan
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengutusku ke Yaman dan beliau memerintahkanku agar mengambil zakat dari setiap 40 ekor sapi, seekor sapi betina berumur dua tahun lebih (musinnah), dan dari setiap 30 ekor sapi, seekor anak sapi berumur setahun lebih (tabi’) yang jantan atau yang betina.” [15]
3. Zakat Kambing
Nishab Dan Jumlah Yang Wajib Dikeluarkan
Dari Anas bahwasanya Abu Bakar telah menulis surat untuknya yang berisi kewajiban zakat yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, di antara isinya, “Zakat kambing yang dilepas mencari makan sendiri, jika telah mencapai jumlah 40 hingga 120 ekor, zakatnya seekor kambing. Jika lebih dari 120 hingga 200 ekor, zakatnya dua ekor kambing. Jika lebih dari 200 hingga 300 ekor, zakatnya tiga ekor kambing. Jika lebih dari 300 ekor kambing, maka setiap 100 ekor zakatnya satu ekor kambing. Apabila jumlah kambing yang dilepas mencari makan sendiri tersebut kurang dari 40 ekor, maka tidak wajib atasnya zakat kecuali jika pemiliknya menginginkan hal tersebut.”[16]
Syarat-Syarat Wajibnya Zakat Hewan Ternak
1. Telah sampai nishabnya. Dan hal ini telah diterangkan secara jelas dalam hadits-hadits yang telah berlalu.
2. Telah berlalu haul (satu tahun), berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
لاَ زَكَاةَ فِي مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ.
“Tidak wajib zakat pada harta yang belum sampai haulnya (satu tahun).” [17]
3. Hendaklah hewan ternak tersebut selama setahun lebih sering digembalakan dengan cara mencari rumput sendiri, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Zakat kambing yang dilepas mencari makan sendiri, jika telah mencapai jumlah 40 hingga 120 ekor, zakatnya seekor kambing...” [18]
Dan juga sabdanya:
فِي كُلِّ إِبِلٍ سَائِمَةٍ فِي كُلِّ أَرْبَعِيْنَ ابْنَةُ لَبُوْنٍ.
“Pada setiap 40 ekor unta yang dilepas mencari makan sendiri, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya memasuki tahun ketiga.” [19]
Jenis Harta Yang Tidak Boleh Diambil Sebagai Zakat
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mengutus Mu’adz ke Yaman beliau bersabda:
وَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ.
“Dan janganlah engkau mengambil harta-harta mereka yang mulia (sebagai zakat)...” [20]
Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwasanya Abu Bakar Radhiyallahu anhu telah menulis surat untuknya yang berisi kewajiban zakat yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, yang berbunyi, “Tidak boleh dikeluarkan untuk zakat hewan, hewan yang tua dan yang cacat, dan tidak bo-leh dikeluarkan yang jantan kecuali jika pemiliknya menghendaki.” [21]
Hukum Harta Yang Terkumpul Padanya Dua Hak
Jika tercampur harta dua orang atau lebih dari orang-orang yang wajib zakat dan tidak bisa dibedakan antara harta salah seorang di antara mereka dengan yang lainnya, maka mereka berdua mengeluarkan satu zakat saja jika telah wajib atas mereka berdua mengeluarkan zakat.
Dari Anas Radhiyallahu anhu bahwasanya Abu Bakar Radhiyallahu anhu telah menulis surat untuknya yang berisi kewajiban zakat yang telah diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, yang di antaranya berbunyi, “Tidak boleh dikumpulkan antara hewan-hewan ternak yang terpisah dan tidak boleh dipisahkan antara hewan-hewan ternak yang terkumpul karena takut mengeluarkan zakat. Hewan ternak kumpulan dari dua orang, pada waktu zakat harus kembali dibagi rata antar keduanya.” [22]
Kelima : Zakat Harta Karun (Rikaz)
Ar-Rikaz adalah harta yang terpendam sejak zaman Jahiliyyah yang kemudian dikeluarkan tanpa membutuhkan biaya dan tenaga yang banyak.
Diwajibkan untuk segera mengeluarkan zakatnya tanpa ada syarat harus sampai nishab dan haul. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
وَ فِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ.
“Zakat rikaz adalah seperlima.” [23]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1391)], Sunan Abi Dawud (IV/447, no. 1558).
[2]. Hasan: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir, (no. 5582)], [Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 559)], Sunan Abi Dawud (IV/426, no. 1549), Ad-Daraquthni (II/105).
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1384)], Sunan Abi Dawud (IV/427, no. 1550), ad-Daraquthni (II/105).
[4]. Shahih: [ Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah 879], Mustadrak al-Hakim (I/401), al-Baihaqi (IV/125).
[5]. Awaaq: bentuk jamak dari auqiyah, Ibnu Hajar berkata, “Telah disepakati bahwa ukuran auqiyah dalam hadits ini sama dengan 40 dirham yang ter-buat dari perak murni.”
[6]. Ausuq: bentuk jamak dari wasaq -dengan huruf wawu difat-hahkan atau boleh juga dikasrahkan- yaitu 60 sha’, lihat Fat-hul Baari (III/364), cet. Daar ar-Rayyan.
[7]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/310, no. 1447) ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (II/673, no. 979), Sunan at-Tirmidzi (II/69, no. 622), Sunan an-Nasa-i (V/17), Sunan Ibni Majah (I/571, no. 1793).
[8]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4271)], Shahiih Muslim (II/675, no. 981) ini adalah lafazhnya, Sunan Abi Dawud (IV/486, no. 1582), Sunan an-Nasa-i (V/42).
[9]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 427)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/347, no. 1483) dan ini adalah lafazhnya, Sunan Abi Dawud (IV/485, no. 1581), Sunan at-Tirmidzi (II/76, no. 635), Sunan an-Nasa-i (V/41), Sunan Ibni Majah (I/581, no. 1817).
* Khirsh an-Nakhiil: Memperkirakan berapa jumlah buah kurma kering yang akan diperoleh dari buah kurma basah yang terdapat di sebuah pohon. At-Tirmidzi menceritakan dari sebagian ahli ilmu bahwa yang dimaksud di sini adalah jika terdapat buah kurma basah (ruthab) dan anggur yang wajib untuk dikeluarkan zakatnya, maka pemerintah setempat mengutus sese-orang yang ahli untuk menaksirkan berapa jumlah zakat yang harus dike-luarkan, kemudian dia memperhatikan pohon tersebut lalu berkata: Dari pohon ini akan menghasilkan sejumlah sekian dari kurma kering (tamr), lalu dia menghitungnya dan menghitung zakatnya sebanyak sepersepuluh dari jumlah yang diperkirakan, kemudian meninggalkannya bersama pemiliknya, manakala datang waktu panen diambil darinya zakat sebanyak sepersepuluh. (Fat-hul Baari III/403, cet. Dar ar-Rayyan)
[10]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 2643)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari (III/343, no. 1481, 3079).
[11]. Hasan lighairihi (hadits yang dha'if tetapi karena banyak jalur sanadnya, maka ia naik menjadi hasan): [Irwaa-ul Ghaliil (no. 805)], Sunan Abi Dawud (IX/276, no. 3396).
[12]. Telah berlalu takhrijnya
[13]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1375)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/317, no. 1454), (III/316, no. 1453), Sunan Abi Dawud (IV/431, no. 1552), Sunan an-Nasa-i (V/18), Sunan Ibni Majah (I/575/1800) hadits yang kedua saja.
[14]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1375)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari (III/317, no. 1454, III/316, no. 1453)), Sunan Abi Dawud (IV/431, no. 1552), Sunan an-Nasa-i (V/18), Sunan Ibni Majah (I/575, no. 1800) pada hadits yang kedua saja.
[15]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1394)], Sunan at-Tirmidzi (II/68, no. 619), Sunan Abi Dawud (IV/457, no. 1561), Sunan an-Nasa-i (V/26), Sunan Ibni Majah (I/576, no. 1803) dan lafazh ini adalah miliknya, sedangkan da-lam riwayat yang lainnya ada tambahan pada akhir hadits ini.
[16]. Telah berlalu takhrijnya.
[17]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7497)], Sunan Ibni Majah (I/571, no. 1792), ad-Daraquthni (II/90, no. 3), al-Baihaqi (IV/103).
[18]. Penggalan hadits Abu Bakar yang telah berlalu takhrijnya.
[19]. Telah berlalu takhrijnya.
[20]. Muttafaq 'alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/357, no. 1496), Sha-hiih Muslim (I/50, no. 19), Sunan at-Tirmidzi (II/69, no. 621), Sunan Abi Dawud (IV/467, no. 1569), Sunan an-Nasa-i (V/55).
[21]. Telah berlalu takhrijnya
[22]. Telah berlalu takhrijnya.
[23]. Muttafaq 'alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari (III/364, no. 1499)), Sha-hiih Muslim (III/1334, no. 1710), Sunan at-Tirmidzi (II/77, no. 637), Sunan an-Nasa-i (V/45), Sunan Ibni Majah (II/839, no. 2509), Sunan Abi Dawud (VIII/341, no. 3069), hadits ini dalam riwayat dua kitab, yang pertama diriwayatkan secara panjang, adapun dalam kitab yang lainnya tidaklah disebutkan kecuali seperti lafazh di atas.
Kategori Alwajiz : Zakat Kedudukan Zakat Dalam Agama Islam
.KITAB ZAKAT. https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, Zakat adalah salah satu rukun Islam dan salah satu kewajibanya. Dari
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ, شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ, وَإِقَامِ الصَّلاَةِ, وَإيِْتَاءِ الزَّكَاةِ, وَحَجِّ الْبَيْتِ, وَصِيَامِ رَمَضَانَ.
“Islam didirikan di atas lima dasar, yaitu bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berhaji ke Baitullah, dan puasa pada bulan Ramadhan.” [1]
Dan telah disebutkan secara bergandengan dengan shalat dalam delapan puluh dua ayat.
Anjuran Untuk Mengeluarkan Zakat
Allah Ta’ala berfirman:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari harta mereka dengan guna membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’amu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” [At-Taubah: 103]
Dan juga firman-Nya Ta’ala:
وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّبًا لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” [Ar-Ruum: 39]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلاَ يَقْبَلُ اللهُ إِلاَّ الطَّيِّبَ, فَإِنَّ اللهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يُرَبِّيْهَا لِصَاحِبِهَا كَمَا يُرَبِّى أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُوْنَ مِثْلَ الْجَبَلِ.
“Barangsiapa yang bersedekah dengan seukuran biji kurma dari sumber yang halal dan Allah tidaklah menerima kecuali dari sumber yang baik, maka Allah menerima sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya, lalu Allah mengembangkannya bagi yang bersedekah sebagaimana salah seorang di antara ka-ian mengembangkan anak kudanya, hingga akhirnya (pahalanya) menjadi seperti gunung.”[2]
Ancaman Bagi Mereka Yang Tidak Mau Mengeluarkan Zakat
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُم ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari Kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Ali ‘Imran: 180]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ، مُثِّلَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ لَهُ زَبِيْبَتَانِ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, ثُمَّ يَأْخُذُ بِلَهْزَمَتَيْهِ -يَعْنِى شَدَقَيْهِ- ثُمَّ يَقُوْلُ: أَنَا كَنْزُكَ، أَنَا مَالُكَ, ثُمَّ تَلاَ هَذِهِ اْلآيَةَ: وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ
“Barangsiapa yang diberikan karunia harta oleh Allah dan ia tidak menunaikan zakat harta tersebut, maka pada hari Kiamat kelak hartanya tersebut akan diwujudkan dalam bentuk ular yang memiliki dua bisa kemudian dikalungkan di leher-nya, lalu ular itu menggigit dua tulang rahang bawahnya, sambil berkata, ‘Aku adalah harta simpananmu.’” Kemudian Rasulullah membaca ayat, “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka...’” [3]
Dan juga firman Allah:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ
“... Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak, lalu tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka kabarkanlah kepada mereka adzab yang sangat pedih. Pada hari dipanaskan emas pe-rak itu di dalam Neraka Jahannam, lalu dibakarnya dahi mere-ka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada me-reka, ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan.’” [At-Taubah: 34-35]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhua, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّى مِنْهَا حَقَّهَا إِلاَّ إِذَا
كَانَ يَوْمُ القِيَامَةِ, صُفِحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِيْنُهُ وَظَهْرُهُ, كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيْدَتْ لَهُ , فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ, حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ, فَيَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! فَاْلإِبِلُ؟ قَالَ: وَلاَ صَاحِبُ إِبِلٍ لاَيُؤَدِّى مِنْهَا حَقَّهَا, وَمِنْ حَقِّهَا حَلَبُهَا يَوْمَ وِرْدِهَا إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ بُطِحَ لَهَا بِقَاعٍ قَرْقَرٍ أَوْفَرَ مَاكَانَتْ لاَ يَفْقِدُ مِنْهَا فَصِيْلاً وَاحِدًا تَطَؤُهُ بِأَخْفَافِهَا وَتَعَضُّهُ بِأَفْوَاهِهَا, كُلَّمَا مَرَّعَلَيْهِ أُوْلاَهَا رُدَّ عَلَيْهِ أُخْرَاهَا فيِ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ, حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ.
“Tidaklah seorang yang memiliki harta simpanan dari emas maupun perak dan ia tidak menunaikan zakatnya, maka pada hari Kiamat nanti akan dibentangkan baginya lempengan-lempengan logam dari Neraka yang telah dipanaskan di Neraka Jahannam, kemudian lempengan tersebut disetrikakan di lambung, dahi dan punggungnya. Manakala telah dingin, lempengan itu dipanaskan kembali. Hal ini terjadi pada hari yang lamanya sama seperti lima puluh ribu tahun, sampai tiba hari penghisaban antara para hamba, setelah itu dia akan melihat jalannya, apakah ke Surga atau ke Neraka. Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana dengan mereka yang memiliki unta?’ Beliau menjawab, ‘Begitu pula dengan mereka yang memiliki unta dan tidak menunaikan kewajibannya, dan termasuk dari kewajiban yang harus dikeluarkan adalah air susu yang diperah di saat masa pemerahan, maka di hari Kiamat kelak dibentangkan bagi mereka tanah lapang yang terkumpul padanya semua yang dia miliki dari hewan, sampai yang masih menyapih, lalu semua hewan itu menginjak dan menggigitnya, manakala yang pertama telah berlalu dilanjutkan kembali oleh yang berikutnya. Hal ini terjadi pada hari yang lamanya sama seperti lima puluh ribu tahun, sampai tiba saatnya hari penghisaban antara para hamba, setelah itu dia akan melihat jalannya, apakah ke Surga atau ke Neraka.’” [4]
Hukum Orang Yang Tidak Mengeluarkan Zakat
Zakat merupakan salah satu kewajiban yang telah disepakati oleh para ulama dan telah diketahui oleh semua umat, sehingga ia termasuk salah satu hal yang mendasar dalam agama, yang mana jika ada salah seorang dari kaum muslimin yang mengingkari kewajibannya, maka dia telah keluar dari Islam dan dibunuh dalam keadaan kafir, kecuali jika ia baru mengenal Islam, maka dia dimaaf-kan disebabkan karena kejahilannya akan hukum.
Adapun mereka yang tidak mau mengeluarkannya dengan tetap meyakini akan kewajibannya, maka dia berdosa karena sikapnya tersebut, tapi hal ini tidak mengeluarkannya dari Islam dan seorang hakim (penguasa) boleh mengambil zakat tersebut dengan paksa [5] beserta setengah hartanya sebagai hukuman atas perbuatannya. Hal ini berdasarkan hadits Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata, “Aku telah mendengar Ra-sulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فِي كُلِّ إِبِلٍ سَائِمَةٍ, فِي كُلِّ أَرْبَعِيْنَ اِبْنَةُ لَبُوْنٍ, لاَ يُفَرَّقُ إِبِلٌ عَنْ حِسَابِهَا, مَنْ أَعْطَاهَا مُؤْتَجِرًا فَلَهُ أَجْرُهَا, وَمَنْ مَنَعَهَا فَإِنَّا آخِذُوهَا وَشَطْرَ مَالِهِ عَزْمَةٌ مِنْ عَزَمَاتِ رَبِّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى, وَلاَ يَحِلُّ ِلآلِ مَحَمَّدٍ مِنْهَا شَئٌ.
“Pada setiap 40 ekor unta yang dilepas mencari makan sendiri, zakatnya seekor bintu labun (anak unta betina yang umurnya memasuki tahun ketiga). Tidak boleh dipisahkan unta itu dari kumpulannya untuk mengurangi perhitungan zakat. Barangsiapa yang mengeluarkannya dengan mengharap pahala, maka dia akan mendapatkan pahalanya dan barangsiapa yang menolak untuk mengeluarkannya, maka kami akan mengambilnya beserta setengah hartanya karena ini merupakan salah satu kewajiban dari Allah. Dan zakat ini tidak halal untuk dimakan oleh keluarga Muhammad sedikit pun.” [6]
Jika suatu kaum menolak untuk mengeluarkannya padahal mereka tetap meyakini kewajibannya dan mereka memiliki kekuatan untuk melarang orang memungutnya dari mereka, maka mereka harus diperangi hingga mereka mengeluarkannya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
أُمِرْتُ أَنْ اُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ, فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ.
“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mau bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Apabila mereka telah melakukan itu, maka mereka telah melindungi darah dan hartanya dariku kecuali karena ada hak (hukum) Islam, sedang-kan hisab mereka kembali kepada Allah.” [7]
Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Manakala Rasulullah telah wafat, kemudian pada masa khilafah Abu Bakar, ada sebagian bangsa Arab telah kafir (saat itu Abu Bakar ingin memerangi mereka), maka ‘Umar berkata kepadanya, ‘Bagaimana engkau akan memerangi manusia? Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah. Dan barangsiapa yang mengucapkannya, maka ia telah melindungi harta dan jiwanya dariku kecuali karena hak Islam dan hisab mereka kembali kepada Allah.’ Lalu Abu Bakar berkata, ‘Demi Allah aku akan memerangi siapa saja yang membeda-bedakan antara shalat dan zakat, sesungguhnya zakat adalah hak yang diambil dari harta. Demi Allah kalau mereka mencegahku dari mengambil seekor anak kambing betina padahal mereka dahulu menyerahkannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, niscaya aku akan memerangi mereka karena sikap mereka tersebut.’ Setelah itu ‘Umar berkata, ‘Demi Allah, setelah Allah melapangkan hati Abu Bakar untuk memerangi mereka, barulah aku meyakini akan kebenaran hal ini.’”[8]
Siapakah yang Wajib Mengeluarkan Zakat ?
Zakat diwajibkan atas setiap muslim yang merdeka, yang memiliki harta yang telah sampai nisabnya dan telah melewati satu tahun (haul), kecuali zakat tanaman, maka ia dikeluarkan pada saat panen jika telah sampai nishabnya, sebagaimana firman Allah:
أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا ۚ وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِّن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Dan Dia-lah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tu-naikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluar-kan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguh-nya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” [Al-An’aam: 141]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Telah berlalu takhrijnya pada Kitab Thaharah.
[2]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/278, no. 1410) dan ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (II/702, no. 1014), Sunan at-Tirmidzi (II/85, no. 656), Sunan an-Nasa-i (V/57).
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 2327)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/268, no. 1403).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5729)], Shahih Muslim (II/680, no. 987), Sunan Abi Dawud (V/75, no. 1642).
[5]. Fiqhus Sunnah (I/281).
[6]. Hasan: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4265)], Sunan Abi Dawud (IV/452, no. 1560), Sunan an-Nasa-i (V/25), Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani (VIII/217, no. 28)).
[7]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari (I/75, no. 25)) ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (I/53, no. 22).
[8]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari (III/626, no. 1399-1400)), Shahiih Muslim (I/51, no. 20), Sunan Abi Dawud (IV/414, no. 1541), Sunan an-Nasa-i (V/14), Sunan at-Tirmidzi (IV/117, no. 2734).
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ, شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ, وَإِقَامِ الصَّلاَةِ, وَإيِْتَاءِ الزَّكَاةِ, وَحَجِّ الْبَيْتِ, وَصِيَامِ رَمَضَانَ.
“Islam didirikan di atas lima dasar, yaitu bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berhaji ke Baitullah, dan puasa pada bulan Ramadhan.” [1]
Dan telah disebutkan secara bergandengan dengan shalat dalam delapan puluh dua ayat.
Anjuran Untuk Mengeluarkan Zakat
Allah Ta’ala berfirman:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari harta mereka dengan guna membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’amu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” [At-Taubah: 103]
Dan juga firman-Nya Ta’ala:
وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّبًا لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” [Ar-Ruum: 39]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلاَ يَقْبَلُ اللهُ إِلاَّ الطَّيِّبَ, فَإِنَّ اللهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يُرَبِّيْهَا لِصَاحِبِهَا كَمَا يُرَبِّى أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُوْنَ مِثْلَ الْجَبَلِ.
“Barangsiapa yang bersedekah dengan seukuran biji kurma dari sumber yang halal dan Allah tidaklah menerima kecuali dari sumber yang baik, maka Allah menerima sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya, lalu Allah mengembangkannya bagi yang bersedekah sebagaimana salah seorang di antara ka-ian mengembangkan anak kudanya, hingga akhirnya (pahalanya) menjadi seperti gunung.”[2]
Ancaman Bagi Mereka Yang Tidak Mau Mengeluarkan Zakat
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُم ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari Kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Ali ‘Imran: 180]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ، مُثِّلَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ لَهُ زَبِيْبَتَانِ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, ثُمَّ يَأْخُذُ بِلَهْزَمَتَيْهِ -يَعْنِى شَدَقَيْهِ- ثُمَّ يَقُوْلُ: أَنَا كَنْزُكَ، أَنَا مَالُكَ, ثُمَّ تَلاَ هَذِهِ اْلآيَةَ: وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ
“Barangsiapa yang diberikan karunia harta oleh Allah dan ia tidak menunaikan zakat harta tersebut, maka pada hari Kiamat kelak hartanya tersebut akan diwujudkan dalam bentuk ular yang memiliki dua bisa kemudian dikalungkan di leher-nya, lalu ular itu menggigit dua tulang rahang bawahnya, sambil berkata, ‘Aku adalah harta simpananmu.’” Kemudian Rasulullah membaca ayat, “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka...’” [3]
Dan juga firman Allah:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ
“... Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak, lalu tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka kabarkanlah kepada mereka adzab yang sangat pedih. Pada hari dipanaskan emas pe-rak itu di dalam Neraka Jahannam, lalu dibakarnya dahi mere-ka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada me-reka, ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan.’” [At-Taubah: 34-35]
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhua, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّى مِنْهَا حَقَّهَا إِلاَّ إِذَا
كَانَ يَوْمُ القِيَامَةِ, صُفِحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبِيْنُهُ وَظَهْرُهُ, كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيْدَتْ لَهُ , فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ, حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ, فَيَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! فَاْلإِبِلُ؟ قَالَ: وَلاَ صَاحِبُ إِبِلٍ لاَيُؤَدِّى مِنْهَا حَقَّهَا, وَمِنْ حَقِّهَا حَلَبُهَا يَوْمَ وِرْدِهَا إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ بُطِحَ لَهَا بِقَاعٍ قَرْقَرٍ أَوْفَرَ مَاكَانَتْ لاَ يَفْقِدُ مِنْهَا فَصِيْلاً وَاحِدًا تَطَؤُهُ بِأَخْفَافِهَا وَتَعَضُّهُ بِأَفْوَاهِهَا, كُلَّمَا مَرَّعَلَيْهِ أُوْلاَهَا رُدَّ عَلَيْهِ أُخْرَاهَا فيِ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ, حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ.
“Tidaklah seorang yang memiliki harta simpanan dari emas maupun perak dan ia tidak menunaikan zakatnya, maka pada hari Kiamat nanti akan dibentangkan baginya lempengan-lempengan logam dari Neraka yang telah dipanaskan di Neraka Jahannam, kemudian lempengan tersebut disetrikakan di lambung, dahi dan punggungnya. Manakala telah dingin, lempengan itu dipanaskan kembali. Hal ini terjadi pada hari yang lamanya sama seperti lima puluh ribu tahun, sampai tiba hari penghisaban antara para hamba, setelah itu dia akan melihat jalannya, apakah ke Surga atau ke Neraka. Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana dengan mereka yang memiliki unta?’ Beliau menjawab, ‘Begitu pula dengan mereka yang memiliki unta dan tidak menunaikan kewajibannya, dan termasuk dari kewajiban yang harus dikeluarkan adalah air susu yang diperah di saat masa pemerahan, maka di hari Kiamat kelak dibentangkan bagi mereka tanah lapang yang terkumpul padanya semua yang dia miliki dari hewan, sampai yang masih menyapih, lalu semua hewan itu menginjak dan menggigitnya, manakala yang pertama telah berlalu dilanjutkan kembali oleh yang berikutnya. Hal ini terjadi pada hari yang lamanya sama seperti lima puluh ribu tahun, sampai tiba saatnya hari penghisaban antara para hamba, setelah itu dia akan melihat jalannya, apakah ke Surga atau ke Neraka.’” [4]
Hukum Orang Yang Tidak Mengeluarkan Zakat
Zakat merupakan salah satu kewajiban yang telah disepakati oleh para ulama dan telah diketahui oleh semua umat, sehingga ia termasuk salah satu hal yang mendasar dalam agama, yang mana jika ada salah seorang dari kaum muslimin yang mengingkari kewajibannya, maka dia telah keluar dari Islam dan dibunuh dalam keadaan kafir, kecuali jika ia baru mengenal Islam, maka dia dimaaf-kan disebabkan karena kejahilannya akan hukum.
Adapun mereka yang tidak mau mengeluarkannya dengan tetap meyakini akan kewajibannya, maka dia berdosa karena sikapnya tersebut, tapi hal ini tidak mengeluarkannya dari Islam dan seorang hakim (penguasa) boleh mengambil zakat tersebut dengan paksa [5] beserta setengah hartanya sebagai hukuman atas perbuatannya. Hal ini berdasarkan hadits Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata, “Aku telah mendengar Ra-sulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فِي كُلِّ إِبِلٍ سَائِمَةٍ, فِي كُلِّ أَرْبَعِيْنَ اِبْنَةُ لَبُوْنٍ, لاَ يُفَرَّقُ إِبِلٌ عَنْ حِسَابِهَا, مَنْ أَعْطَاهَا مُؤْتَجِرًا فَلَهُ أَجْرُهَا, وَمَنْ مَنَعَهَا فَإِنَّا آخِذُوهَا وَشَطْرَ مَالِهِ عَزْمَةٌ مِنْ عَزَمَاتِ رَبِّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى, وَلاَ يَحِلُّ ِلآلِ مَحَمَّدٍ مِنْهَا شَئٌ.
“Pada setiap 40 ekor unta yang dilepas mencari makan sendiri, zakatnya seekor bintu labun (anak unta betina yang umurnya memasuki tahun ketiga). Tidak boleh dipisahkan unta itu dari kumpulannya untuk mengurangi perhitungan zakat. Barangsiapa yang mengeluarkannya dengan mengharap pahala, maka dia akan mendapatkan pahalanya dan barangsiapa yang menolak untuk mengeluarkannya, maka kami akan mengambilnya beserta setengah hartanya karena ini merupakan salah satu kewajiban dari Allah. Dan zakat ini tidak halal untuk dimakan oleh keluarga Muhammad sedikit pun.” [6]
Jika suatu kaum menolak untuk mengeluarkannya padahal mereka tetap meyakini kewajibannya dan mereka memiliki kekuatan untuk melarang orang memungutnya dari mereka, maka mereka harus diperangi hingga mereka mengeluarkannya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
أُمِرْتُ أَنْ اُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ, فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ.
“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mau bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Apabila mereka telah melakukan itu, maka mereka telah melindungi darah dan hartanya dariku kecuali karena ada hak (hukum) Islam, sedang-kan hisab mereka kembali kepada Allah.” [7]
Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Manakala Rasulullah telah wafat, kemudian pada masa khilafah Abu Bakar, ada sebagian bangsa Arab telah kafir (saat itu Abu Bakar ingin memerangi mereka), maka ‘Umar berkata kepadanya, ‘Bagaimana engkau akan memerangi manusia? Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan tiada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah. Dan barangsiapa yang mengucapkannya, maka ia telah melindungi harta dan jiwanya dariku kecuali karena hak Islam dan hisab mereka kembali kepada Allah.’ Lalu Abu Bakar berkata, ‘Demi Allah aku akan memerangi siapa saja yang membeda-bedakan antara shalat dan zakat, sesungguhnya zakat adalah hak yang diambil dari harta. Demi Allah kalau mereka mencegahku dari mengambil seekor anak kambing betina padahal mereka dahulu menyerahkannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, niscaya aku akan memerangi mereka karena sikap mereka tersebut.’ Setelah itu ‘Umar berkata, ‘Demi Allah, setelah Allah melapangkan hati Abu Bakar untuk memerangi mereka, barulah aku meyakini akan kebenaran hal ini.’”[8]
Siapakah yang Wajib Mengeluarkan Zakat ?
Zakat diwajibkan atas setiap muslim yang merdeka, yang memiliki harta yang telah sampai nisabnya dan telah melewati satu tahun (haul), kecuali zakat tanaman, maka ia dikeluarkan pada saat panen jika telah sampai nishabnya, sebagaimana firman Allah:
أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا ۚ وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِّن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ ۖ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Dan Dia-lah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tu-naikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluar-kan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguh-nya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” [Al-An’aam: 141]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Telah berlalu takhrijnya pada Kitab Thaharah.
[2]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/278, no. 1410) dan ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (II/702, no. 1014), Sunan at-Tirmidzi (II/85, no. 656), Sunan an-Nasa-i (V/57).
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 2327)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/268, no. 1403).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 5729)], Shahih Muslim (II/680, no. 987), Sunan Abi Dawud (V/75, no. 1642).
[5]. Fiqhus Sunnah (I/281).
[6]. Hasan: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4265)], Sunan Abi Dawud (IV/452, no. 1560), Sunan an-Nasa-i (V/25), Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani (VIII/217, no. 28)).
[7]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari (I/75, no. 25)) ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (I/53, no. 22).
[8]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari (III/626, no. 1399-1400)), Shahiih Muslim (I/51, no. 20), Sunan Abi Dawud (IV/414, no. 1541), Sunan an-Nasa-i (V/14), Sunan at-Tirmidzi (IV/117, no. 2734).
Kategori Alwajiz : Shalat Sunnah Shalat Khauf
SHALAT KHAUF. https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, Allah Ta'ala berfirman:
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَىٰ لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (Sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka'at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bershalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata...” [An-Nisaa': 102].
Tata Caranya
Al-Khaththabi rahimahullah berkata, "Shalat khauf banyak ragamnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukannya pada keadaan dan cara yang berbeda-beda. Masing-masing disesuaikan agar shalat terlaksana lebih baik dan lebih mendukung untuk pengawasan musuh. Sekalipun tata caranya berbeda, namun intinya tetap sama. [1]
1. Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan shalat khauf satu raka’at bersama salah satu golongan, sementara golongan yang lain menghadap ke musuh. Kemudian golongan pertama berpaling dan menggantikan di tempat kawan-kawan mereka yang lain sambil menghadap ke arah musuh. Setelah itu, datanglah golongan kedua yang lalu shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam satu raka’at. Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam salam dan golongan kedua pun meneruskan satu raka’at, begitu juga dengan golongan yang pertama." [2]
2. Dari Sahl bin Abi Hatsmah Radhiyallahu anhu, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami para Sahabatnya pada waktu shalat khauf. Beliau membariskan mereka di belakangnya menjadi dua shaff. Kemudian beliau shalat satu raka’at bersama shaff yang dekat dengannya (shaff pertama). Setelah itu, beliau berdiri dan terus berdiri hingga para Sahabat di shaff pertama merampungkan satu raka’at (yang tersisa secara sendiri-sendiri). Kemudian para Sahabat di shaff kedua maju, dan golongan yang berada di shaff pertama mundur ke belakang. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami mereka (yang awal mulanya berada di shaff kedua) lalu duduk (dan menunggu) hingga mereka merampungkan satu raka’at (yang tertinggal). Kemudian beliau salam (beserta mereka)." [3]
3. Dari Jabir bin 'Abdillah Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Aku pernah shalat khauf bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau membariskan kami dalam dua shaff. Satu shaff di belakang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sementara musuh berada di antara kami dan kiblat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir, lalu kami semua bertakbir. Ketika beliau ruku', kami semua pun ruku', kemudian bangkit dari ruku’, kami pun melakukannya besama-sama. Kemudian beliau dan shaff terdepan menyungkur sujud. Sedangkan shaff terakhir tetap berdiri menghadap musuh. Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan shaff terdepan selesai sujud lalu berdiri, shaff belakang pun sujud lalu berdiri. Kemudian shaff belakang maju ke depan dan shaff yang di depan mundur. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam ruku', dan kami semua pun ruku'. Dan ketika bangkit dari ruku’, kami pun bangkit bersama-sama. Kemudian beliau dan shaff pertama yang sebelumnya pada raka’at pertama berada di belakang, menyungkur sujud. Sementara shaff kedua berdiri menghadap ke musuh. Saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan shaff di belakang beliau selesai sujud, shaff belakang pun menyungkur sujud. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam salam, dan kemudian kami pun salam bersama-sama."[4]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz,https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Syarh Shahiih Muslim oleh an-Nawawi (VI/126).
[2]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/573 no. 839)], ini adalah lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/429 no. 942), Sunan Abu Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/118 no. 1230), Sunan at-Tirmidzi (II/39 no. 561), dan Sunan an-Nasa-i (III/171).
[3]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/575 no. 841)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (VII/422 no. 4131), dengan lafazh yang mirip. Sunan an-Nasa-i (III/170), dan Sunan at-Tirmidzi (II/40 no. 562).
[4]. Shahih: [Lafazh Shahiih Muslim], Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1456), Shahiih Muslim (I/574 no. 840), dan Sunan an-Nasa-i (III/175).
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَىٰ لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (Sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka'at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bershalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata...” [An-Nisaa': 102].
Tata Caranya
Al-Khaththabi rahimahullah berkata, "Shalat khauf banyak ragamnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukannya pada keadaan dan cara yang berbeda-beda. Masing-masing disesuaikan agar shalat terlaksana lebih baik dan lebih mendukung untuk pengawasan musuh. Sekalipun tata caranya berbeda, namun intinya tetap sama. [1]
1. Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan shalat khauf satu raka’at bersama salah satu golongan, sementara golongan yang lain menghadap ke musuh. Kemudian golongan pertama berpaling dan menggantikan di tempat kawan-kawan mereka yang lain sambil menghadap ke arah musuh. Setelah itu, datanglah golongan kedua yang lalu shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam satu raka’at. Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam salam dan golongan kedua pun meneruskan satu raka’at, begitu juga dengan golongan yang pertama." [2]
2. Dari Sahl bin Abi Hatsmah Radhiyallahu anhu, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami para Sahabatnya pada waktu shalat khauf. Beliau membariskan mereka di belakangnya menjadi dua shaff. Kemudian beliau shalat satu raka’at bersama shaff yang dekat dengannya (shaff pertama). Setelah itu, beliau berdiri dan terus berdiri hingga para Sahabat di shaff pertama merampungkan satu raka’at (yang tersisa secara sendiri-sendiri). Kemudian para Sahabat di shaff kedua maju, dan golongan yang berada di shaff pertama mundur ke belakang. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami mereka (yang awal mulanya berada di shaff kedua) lalu duduk (dan menunggu) hingga mereka merampungkan satu raka’at (yang tertinggal). Kemudian beliau salam (beserta mereka)." [3]
3. Dari Jabir bin 'Abdillah Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Aku pernah shalat khauf bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau membariskan kami dalam dua shaff. Satu shaff di belakang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sementara musuh berada di antara kami dan kiblat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir, lalu kami semua bertakbir. Ketika beliau ruku', kami semua pun ruku', kemudian bangkit dari ruku’, kami pun melakukannya besama-sama. Kemudian beliau dan shaff terdepan menyungkur sujud. Sedangkan shaff terakhir tetap berdiri menghadap musuh. Tatkala Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan shaff terdepan selesai sujud lalu berdiri, shaff belakang pun sujud lalu berdiri. Kemudian shaff belakang maju ke depan dan shaff yang di depan mundur. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam ruku', dan kami semua pun ruku'. Dan ketika bangkit dari ruku’, kami pun bangkit bersama-sama. Kemudian beliau dan shaff pertama yang sebelumnya pada raka’at pertama berada di belakang, menyungkur sujud. Sementara shaff kedua berdiri menghadap ke musuh. Saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan shaff di belakang beliau selesai sujud, shaff belakang pun menyungkur sujud. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam salam, dan kemudian kami pun salam bersama-sama."[4]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz,https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Syarh Shahiih Muslim oleh an-Nawawi (VI/126).
[2]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/573 no. 839)], ini adalah lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/429 no. 942), Sunan Abu Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/118 no. 1230), Sunan at-Tirmidzi (II/39 no. 561), dan Sunan an-Nasa-i (III/171).
[3]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/575 no. 841)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (VII/422 no. 4131), dengan lafazh yang mirip. Sunan an-Nasa-i (III/170), dan Sunan at-Tirmidzi (II/40 no. 562).
[4]. Shahih: [Lafazh Shahiih Muslim], Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1456), Shahiih Muslim (I/574 no. 840), dan Sunan an-Nasa-i (III/175).
Kategori Alwajiz : Shalat Sunnah Shalat Dua Hari Raya
SHALAT DUA HARI RAYA. https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, A. Hukumnya
Shalat dua hari raya wajib bagi laki-laki dan perempuan. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa melaksanakannya serta memerintahkan orang-orang mendatanginya.
Dari Ummu 'Athiyah Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Kami diperintahkan untuk mengeluarkan para gadis dan wanita yang sedang dalam pingitan (untuk menghadiri shalat ‘Id)."[1]
Dari Hafshah binti Sirin, dia berkata, "Dahulu, ketika hari raya, kami pernah melarang gadis-gadis kami keluar. Kemudian datanglah seorang wanita yang singgah di istana Bani Khalaf.(*) Aku pun lantas mendatanginya. Dia bercerita bahwa suami saudarinya pernah ikut perang bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebanyak dua belas kali peperangan. Saudarinya juga pernah menyertainya berperang sebanyak enam kali peperangan. Dia berkata,"Kami mengurusi orang-orang yang sakit dan mengobati orang-orang yang terluka." Dia berkata lagi,"Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bolehkah salah seorang di antara kami tidak keluar jika tidak memiliki jilbab?" Beliau bersabda, "Hendaklah saudarinya memakaikan jilbab kepadanya. Kemudian hendaklah mereka menyaksikan kebaikan dan do’a orang-orang yang beriman."[2]
B. Waktunya
Dari Yazid bin Khumair ar-Rahabi, dia berkata, “'Abdullah bin Busr, Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluar bersama orang-orang pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha. Kemudian dia mengingkari keterlambatan imam. Dia berkata, ‘Dahulu kami selesai pada saat seperti ini, yaitu ketika tasbih.’” [3]
C. Keluar ke Tanah Lapang
Dari beberapa hadits terdahulu, diketahui bahwa tempat shalat ‘Id adalah tanah lapang, bukan masjid. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar ke sana dan orang-orang setelah beliau pun melakukan hal yang sama.
Apakah terdapat adzan dan iqamat?
Dari Ibnu 'Abbas dan Jabir bin 'Abdillah Radhiyallahu anhum, mereka berkata, "Tidak pernah terdapat adzan pada waktu (shalat) hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha.”[4]
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, “Tidak ada adzan, iqamat, seruan tertentu atau apa saja untuk shalat ‘Idul Fithri, baik ketika imam keluar, ataupun setelah selesai. Pada hari tersebut tidak ada adzan dan iqamat." [5]
D. Tata Cara Shalat ‘Id
Shalat ‘Id terdiri dari dua raka’at. Pada kedua raka’at tersebut terdapat dua belas takbir. Tujuh pada raka’at pertama setelah takbiratul ihram sebelum memulai bacaan, dan lima pada raka’at kedua sebelum memulai bacaan.
Dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya: "Ketika melaksanakan dua shalat ‘Id, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir tujuh kali pada raka’at pertama, dan lima kali pada raka’at terakhir."[6]
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma: "Pada waktu shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adh-ha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir tujuh dan lima kali, selain dua takbir ruku'."[7]
E. Surat Yang Dibaca
Dari an-Nu'man bin Basyir: "Pada waktu shalat dua hari raya dan shalat Jum’at, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca sabbihisma rabbikal
a'laa dan hal ataaka hadiitsul ghaasyiyah." [8]
Dari 'Ubaidullah bin 'Abdillah, dia berkata, "'Umar keluar pada hari raya. Lantas dia mengirim surat ke Abu Waqid al-Laitsi yang isinya, "Pada waktu hari raya seperti ini, (surat) apa yang dibaca Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Dia menjawab, "(Surat) Qaaf dan Waqtarabat." [9]
F. Khutbah Setelah ‘Id
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Aku pernah menghadiri shalat ‘Id bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, 'Umar, dan 'Utsman Radhiyallahu anhum. Masing-masing melaksanakan shalat sebelum khutbah." [10]
G. Shalat Sunnah Sebelum Dan Sesudahnya
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat ‘Idul Fithri dua raka’at. Beliau tidak melakukan shalat sebelum dan sesudahnya."[11]
H. Hal-Hal Yang Disunnahkan Pada Waktu Hari Raya
1. Mandi
Dari 'Ali Radhiyallahu anhu, dia ditanya tentang mandi, lalu dia berkata: "(Ketika) hari Jum’at, hari 'Arafah, hari raya ‘Idul Fithri, dan ‘Idul Adh-ha."(*)
2. Mengenakan Pakaian Terbaik
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengenakan pakaian merah bermotif pada waktu hari raya." [12]
3. Makan Sebelum Keluar Pada Waktu Hari Raya ‘Idul Fithri
Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar di pagi hari raya Idul Fithri melainkan makan beberapa buah kurma terlebih dahulu." [13]
4. Mengakhirkan Makan Ketika Hari Raya ‘Idul Adh-ha Hingga Makan dari Sembelihannya.
Dari Abu Buraidah Radhiyallahu anhu, "Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar di hari raya ‘Idul Fithri (untuk melakukan shalat ‘Id) melainkan makan terlebih dahulu. Dan tidaklah beliau makan pada waktu
hari raya ‘Idul Qurban kecuali setelah menyembelih." [14]
5. Menempuh Jalan yang Berbeda (Ketika Pergi dan Pulang)
Dari Jabir : "Ketika hari raya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengambil jalan yang berbeda."[15]
6. Bertakbir pada Kedua Hari Raya
Allah berfirman:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“... dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [Al-Baqarah: 185].
Ayat ini berkenaan dengan ‘Idul Fithri.
Mengenai 'Idul Adh-ha, Allah berfirman:
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang...” [Al-Baqarah: 203].
Dan firman-Nya:
كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ
“... Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepadamu...” [Al-Hajj: 37]
Waktu bertakbir pada hari raya ‘Idul Fithri semenjak keluar menuju tanah lapang sampai shalat akan ditegakkan
Ibnu Abi Syaibah rahimahullah berkata [16] , “Yazid bin Harun meriwayatkan kepada kami dari Ibnu Abi Dzi'b, dari az-Zuhri, ‘Ketika hari raya 'Idul Fithri, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar sambil bertakbir hingga tiba di tanah lapang. Bahkan hingga ketika akan shalat. Seusai beliau shalat, beliau hentikan takbir.’”
Al-Albani rahimahullah berkata,(*) "Sanadnya shahih mursal. Diriwayatkan pula dari jalur lain, dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma secara marfu' yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi (III/279), dari jalan 'Abdullah Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nafi', dari 'Abdullah Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar pada waktu dua hari raya bersama al-Fadhl bin 'Abbas, 'Abdullah bin 'Abbas, 'Ali, Ja'far, al-Hasan, al-Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Aiman bin Ummi Aiman sambil mengeraskan tahlil dan takbir. Beliau menempuh jalan al-Hadzdzaa'iin hingga tiba di tempat shalat. Tatkala selesai, beliau pulang melalui al- Hadzdzaa'iin hingga sampai di rumah." Al-Baihaqi berkata, "Riwayat ini lebih baik daripada yang pertama tadi."
Saya (al-Albani) berkata, "Para perawinya terpercaya. Mereka adalah para perawi Muslim, kecuali 'Abdullah Ibnu 'Umar, yaitu al-'Umari. Adz-Dzahabi berkata, "Tepercaya tapi ada masalah dalam hafalannya." Adz-Dzahabi dan selainnya dalam rumusnya menyatakan bahwa dia termasuk perawi Muslim. Perawi semisal ini dapat dijadikan sebagai penguat. Dia adalah penguat yang bagus untuk hadits mursal dari az-Zuhri. Menurut saya hadits tersebut shahih, baik secara mauquf maupun marfu, wallahu a'lam."
Waktu takbir hari raya ‘Idul Adh-ha dari shubuh hari 'Arafah hingga 'Ashar di akhir hari tasyriiq (13 Dzul Hijjah, yaitu saat terbenamnya matahari-ed.)
Berdasarkan hadits shahih dari 'Ali, Ibnu 'Abbas, dan Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu.[17]
Lafazh takbir banyak ragamnya. ‘Riwayat Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhuma menyebutkan dengan lafazh genap. Dia bertakbir pada hari tasyriiq dengan lafazh, "Allaahu akbar, Allaahu akbar, laa ilaaha illallaah, Allaahu akbar, Allaahu akbar wa lillaahil hamd."
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan lafazh tersebut (II/167) dengan sanad shahih. Akan tetapi dia menyebutkannya di tempat lain dengan sanad yang sama dengan takbir tiga kali. Al-Baihaqi (III/ 315) juga meriwayatkannya dari Yahya bin Sa'id dari al-Hakam, yaitu Ibnu Farwah Abu Bakar dari 'Ikrimah dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma dengan takbir tiga kali. Sanadnya juga shahih."[18]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/463 no. 974)], Shahiih Muslim (II/605 no. 890), Sunan Abu Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/487 no. 1124), Sunan at-Tirmidzi (II/25 no. 537), Sunan Ibnu Majah (I/414 no. 1307), dan Sunan an-Nasa-i (III/180).
(*). Suatu tempat di Bashrah. Lihat Mu'jamul Buldaan,-ed.
[2]. Muttafaq 'alaihi: [Al-Misykaah (no. 1431)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/469 no. 980).
[3]. Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 1005)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/486 no. 1123), Sunan Ibni Majah (I/418 no. 1317). Tasbih adalah waktu ketika matahari telah naik, berlalunya waktu yang dimakruhkan untuk shalat, dan masuknya waktu shalat subhah, yaitu nafilah (sunnah). Lihat ‘Aunul Ma’buud (III/486).
[4]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/451 no. 960)], Shahiih Muslim (II/604 no. 886).
[5]. Cuplikan dari hadits sebelumnya pada riwayat Muslim.
[6]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibnu Majah (no. 1057)], al-Misykaah (no. 1441), dan Sunan Ibnu Majah (I/407 no. 1279).
[7]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 639)], Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1058), Sunan Ibni Majah (I/407 no. 1280), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/6, 7 no. 37, 1138).
[8]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 644)], Shahiih Sunan Ibnu Majah (no. 1281), Shahiih Muslim (II/598 no. 878), Sunan Abu Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/472 no. 1109), Sunan at-Tirmidzi (II/22 no. 531), Sunan an-Nasa-i (III/184), dan Sunan Ibnu Majah (I/408/1281), tanpa kalimat: "Dan shalat Jum’at".
[9]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (III/118)], Shahiih Sunan Ibnu Majah (no. 106), Shahiih Muslim (II/607 no. 891), Sunan Abu Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/15 no. 1142), Sunan at-Tirmidzi (II/23 no. 532), Sunan an-Nasa-i (III/183), dan Sunan Ibni Majah (I/408 no. 1282).
[10]. Shahih: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/453 no. 962)], Shahiih Muslim (II/602 no. 884).
[11]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/453 no. 964)], Shahiih Muslim (II/606 no. 884), dan Sunan an-Nasa-i (III/193).
(*). Telah disebutkan takhrijnya.
[12]. Sanadnya jayyid: [Ash-Shahiihah (no. 1279)], al-Haitsami berkata dalam Majmaa'uz Zawaaid (II/201), "Ath-Thabrani meriwayatkannya dalam al-Ausath, dan para perawinya terpercaya."
[13]. Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 448)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/446 no. 953), dan Sunan at-Tirmidzi (II/27 no. 541).
[14]. Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 447)], Shahiih Ibni Khuzaimah (II/341 no. 1426), dan Sunan at-Tirmidzi (II/27 no. 540), dengan lafazh:"Sampai mengerjakan shalat."
[15]. Shahih: [Al-Misykaah (no. 1434)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/472 no. 986).
[16]. Shahih: [Ash-Shahihah (171)], (II/146).
(*). Al-Irwaa’ (III/123).
[17]. Diriwayatkan dari 'Ali bin Abu Syaibah (II/165), dari dua jalur. Salah satunya baik. Dari jalur ini pula al-Baihaqi meriwayatkan (III/314). Diriwayatkan pula semisalnya dari Ibnu 'Abbas c dengan sanad shahih. Al-Hakim juga meriwayatkan darinya serta Ibnu Mas'ud z (I/300). Lihat Irwaa’ul Ghaliil (III/125).
[18]. Irwaa’ul Ghaliil (III/125).
Shalat dua hari raya wajib bagi laki-laki dan perempuan. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa melaksanakannya serta memerintahkan orang-orang mendatanginya.
Dari Ummu 'Athiyah Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Kami diperintahkan untuk mengeluarkan para gadis dan wanita yang sedang dalam pingitan (untuk menghadiri shalat ‘Id)."[1]
Dari Hafshah binti Sirin, dia berkata, "Dahulu, ketika hari raya, kami pernah melarang gadis-gadis kami keluar. Kemudian datanglah seorang wanita yang singgah di istana Bani Khalaf.(*) Aku pun lantas mendatanginya. Dia bercerita bahwa suami saudarinya pernah ikut perang bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebanyak dua belas kali peperangan. Saudarinya juga pernah menyertainya berperang sebanyak enam kali peperangan. Dia berkata,"Kami mengurusi orang-orang yang sakit dan mengobati orang-orang yang terluka." Dia berkata lagi,"Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bolehkah salah seorang di antara kami tidak keluar jika tidak memiliki jilbab?" Beliau bersabda, "Hendaklah saudarinya memakaikan jilbab kepadanya. Kemudian hendaklah mereka menyaksikan kebaikan dan do’a orang-orang yang beriman."[2]
B. Waktunya
Dari Yazid bin Khumair ar-Rahabi, dia berkata, “'Abdullah bin Busr, Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluar bersama orang-orang pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha. Kemudian dia mengingkari keterlambatan imam. Dia berkata, ‘Dahulu kami selesai pada saat seperti ini, yaitu ketika tasbih.’” [3]
C. Keluar ke Tanah Lapang
Dari beberapa hadits terdahulu, diketahui bahwa tempat shalat ‘Id adalah tanah lapang, bukan masjid. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar ke sana dan orang-orang setelah beliau pun melakukan hal yang sama.
Apakah terdapat adzan dan iqamat?
Dari Ibnu 'Abbas dan Jabir bin 'Abdillah Radhiyallahu anhum, mereka berkata, "Tidak pernah terdapat adzan pada waktu (shalat) hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha.”[4]
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, “Tidak ada adzan, iqamat, seruan tertentu atau apa saja untuk shalat ‘Idul Fithri, baik ketika imam keluar, ataupun setelah selesai. Pada hari tersebut tidak ada adzan dan iqamat." [5]
D. Tata Cara Shalat ‘Id
Shalat ‘Id terdiri dari dua raka’at. Pada kedua raka’at tersebut terdapat dua belas takbir. Tujuh pada raka’at pertama setelah takbiratul ihram sebelum memulai bacaan, dan lima pada raka’at kedua sebelum memulai bacaan.
Dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya: "Ketika melaksanakan dua shalat ‘Id, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir tujuh kali pada raka’at pertama, dan lima kali pada raka’at terakhir."[6]
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma: "Pada waktu shalat ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adh-ha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir tujuh dan lima kali, selain dua takbir ruku'."[7]
E. Surat Yang Dibaca
Dari an-Nu'man bin Basyir: "Pada waktu shalat dua hari raya dan shalat Jum’at, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca sabbihisma rabbikal
a'laa dan hal ataaka hadiitsul ghaasyiyah." [8]
Dari 'Ubaidullah bin 'Abdillah, dia berkata, "'Umar keluar pada hari raya. Lantas dia mengirim surat ke Abu Waqid al-Laitsi yang isinya, "Pada waktu hari raya seperti ini, (surat) apa yang dibaca Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Dia menjawab, "(Surat) Qaaf dan Waqtarabat." [9]
F. Khutbah Setelah ‘Id
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Aku pernah menghadiri shalat ‘Id bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, 'Umar, dan 'Utsman Radhiyallahu anhum. Masing-masing melaksanakan shalat sebelum khutbah." [10]
G. Shalat Sunnah Sebelum Dan Sesudahnya
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat ‘Idul Fithri dua raka’at. Beliau tidak melakukan shalat sebelum dan sesudahnya."[11]
H. Hal-Hal Yang Disunnahkan Pada Waktu Hari Raya
1. Mandi
Dari 'Ali Radhiyallahu anhu, dia ditanya tentang mandi, lalu dia berkata: "(Ketika) hari Jum’at, hari 'Arafah, hari raya ‘Idul Fithri, dan ‘Idul Adh-ha."(*)
2. Mengenakan Pakaian Terbaik
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengenakan pakaian merah bermotif pada waktu hari raya." [12]
3. Makan Sebelum Keluar Pada Waktu Hari Raya ‘Idul Fithri
Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar di pagi hari raya Idul Fithri melainkan makan beberapa buah kurma terlebih dahulu." [13]
4. Mengakhirkan Makan Ketika Hari Raya ‘Idul Adh-ha Hingga Makan dari Sembelihannya.
Dari Abu Buraidah Radhiyallahu anhu, "Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar di hari raya ‘Idul Fithri (untuk melakukan shalat ‘Id) melainkan makan terlebih dahulu. Dan tidaklah beliau makan pada waktu
hari raya ‘Idul Qurban kecuali setelah menyembelih." [14]
5. Menempuh Jalan yang Berbeda (Ketika Pergi dan Pulang)
Dari Jabir : "Ketika hari raya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengambil jalan yang berbeda."[15]
6. Bertakbir pada Kedua Hari Raya
Allah berfirman:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“... dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [Al-Baqarah: 185].
Ayat ini berkenaan dengan ‘Idul Fithri.
Mengenai 'Idul Adh-ha, Allah berfirman:
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang...” [Al-Baqarah: 203].
Dan firman-Nya:
كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ
“... Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepadamu...” [Al-Hajj: 37]
Waktu bertakbir pada hari raya ‘Idul Fithri semenjak keluar menuju tanah lapang sampai shalat akan ditegakkan
Ibnu Abi Syaibah rahimahullah berkata [16] , “Yazid bin Harun meriwayatkan kepada kami dari Ibnu Abi Dzi'b, dari az-Zuhri, ‘Ketika hari raya 'Idul Fithri, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar sambil bertakbir hingga tiba di tanah lapang. Bahkan hingga ketika akan shalat. Seusai beliau shalat, beliau hentikan takbir.’”
Al-Albani rahimahullah berkata,(*) "Sanadnya shahih mursal. Diriwayatkan pula dari jalur lain, dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma secara marfu' yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi (III/279), dari jalan 'Abdullah Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, dari Nafi', dari 'Abdullah Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar pada waktu dua hari raya bersama al-Fadhl bin 'Abbas, 'Abdullah bin 'Abbas, 'Ali, Ja'far, al-Hasan, al-Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Aiman bin Ummi Aiman sambil mengeraskan tahlil dan takbir. Beliau menempuh jalan al-Hadzdzaa'iin hingga tiba di tempat shalat. Tatkala selesai, beliau pulang melalui al- Hadzdzaa'iin hingga sampai di rumah." Al-Baihaqi berkata, "Riwayat ini lebih baik daripada yang pertama tadi."
Saya (al-Albani) berkata, "Para perawinya terpercaya. Mereka adalah para perawi Muslim, kecuali 'Abdullah Ibnu 'Umar, yaitu al-'Umari. Adz-Dzahabi berkata, "Tepercaya tapi ada masalah dalam hafalannya." Adz-Dzahabi dan selainnya dalam rumusnya menyatakan bahwa dia termasuk perawi Muslim. Perawi semisal ini dapat dijadikan sebagai penguat. Dia adalah penguat yang bagus untuk hadits mursal dari az-Zuhri. Menurut saya hadits tersebut shahih, baik secara mauquf maupun marfu, wallahu a'lam."
Waktu takbir hari raya ‘Idul Adh-ha dari shubuh hari 'Arafah hingga 'Ashar di akhir hari tasyriiq (13 Dzul Hijjah, yaitu saat terbenamnya matahari-ed.)
Berdasarkan hadits shahih dari 'Ali, Ibnu 'Abbas, dan Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhu.[17]
Lafazh takbir banyak ragamnya. ‘Riwayat Ibnu Mas'ud Radhiyallahu anhuma menyebutkan dengan lafazh genap. Dia bertakbir pada hari tasyriiq dengan lafazh, "Allaahu akbar, Allaahu akbar, laa ilaaha illallaah, Allaahu akbar, Allaahu akbar wa lillaahil hamd."
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan lafazh tersebut (II/167) dengan sanad shahih. Akan tetapi dia menyebutkannya di tempat lain dengan sanad yang sama dengan takbir tiga kali. Al-Baihaqi (III/ 315) juga meriwayatkannya dari Yahya bin Sa'id dari al-Hakam, yaitu Ibnu Farwah Abu Bakar dari 'Ikrimah dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma dengan takbir tiga kali. Sanadnya juga shahih."[18]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/463 no. 974)], Shahiih Muslim (II/605 no. 890), Sunan Abu Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/487 no. 1124), Sunan at-Tirmidzi (II/25 no. 537), Sunan Ibnu Majah (I/414 no. 1307), dan Sunan an-Nasa-i (III/180).
(*). Suatu tempat di Bashrah. Lihat Mu'jamul Buldaan,-ed.
[2]. Muttafaq 'alaihi: [Al-Misykaah (no. 1431)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/469 no. 980).
[3]. Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 1005)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/486 no. 1123), Sunan Ibni Majah (I/418 no. 1317). Tasbih adalah waktu ketika matahari telah naik, berlalunya waktu yang dimakruhkan untuk shalat, dan masuknya waktu shalat subhah, yaitu nafilah (sunnah). Lihat ‘Aunul Ma’buud (III/486).
[4]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/451 no. 960)], Shahiih Muslim (II/604 no. 886).
[5]. Cuplikan dari hadits sebelumnya pada riwayat Muslim.
[6]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibnu Majah (no. 1057)], al-Misykaah (no. 1441), dan Sunan Ibnu Majah (I/407 no. 1279).
[7]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 639)], Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1058), Sunan Ibni Majah (I/407 no. 1280), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/6, 7 no. 37, 1138).
[8]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 644)], Shahiih Sunan Ibnu Majah (no. 1281), Shahiih Muslim (II/598 no. 878), Sunan Abu Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/472 no. 1109), Sunan at-Tirmidzi (II/22 no. 531), Sunan an-Nasa-i (III/184), dan Sunan Ibnu Majah (I/408/1281), tanpa kalimat: "Dan shalat Jum’at".
[9]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (III/118)], Shahiih Sunan Ibnu Majah (no. 106), Shahiih Muslim (II/607 no. 891), Sunan Abu Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/15 no. 1142), Sunan at-Tirmidzi (II/23 no. 532), Sunan an-Nasa-i (III/183), dan Sunan Ibni Majah (I/408 no. 1282).
[10]. Shahih: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/453 no. 962)], Shahiih Muslim (II/602 no. 884).
[11]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/453 no. 964)], Shahiih Muslim (II/606 no. 884), dan Sunan an-Nasa-i (III/193).
(*). Telah disebutkan takhrijnya.
[12]. Sanadnya jayyid: [Ash-Shahiihah (no. 1279)], al-Haitsami berkata dalam Majmaa'uz Zawaaid (II/201), "Ath-Thabrani meriwayatkannya dalam al-Ausath, dan para perawinya terpercaya."
[13]. Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 448)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/446 no. 953), dan Sunan at-Tirmidzi (II/27 no. 541).
[14]. Shahih: [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 447)], Shahiih Ibni Khuzaimah (II/341 no. 1426), dan Sunan at-Tirmidzi (II/27 no. 540), dengan lafazh:"Sampai mengerjakan shalat."
[15]. Shahih: [Al-Misykaah (no. 1434)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/472 no. 986).
[16]. Shahih: [Ash-Shahihah (171)], (II/146).
(*). Al-Irwaa’ (III/123).
[17]. Diriwayatkan dari 'Ali bin Abu Syaibah (II/165), dari dua jalur. Salah satunya baik. Dari jalur ini pula al-Baihaqi meriwayatkan (III/314). Diriwayatkan pula semisalnya dari Ibnu 'Abbas c dengan sanad shahih. Al-Hakim juga meriwayatkan darinya serta Ibnu Mas'ud z (I/300). Lihat Irwaa’ul Ghaliil (III/125).
[18]. Irwaa’ul Ghaliil (III/125).
Kategori Alwajiz : Shalat Sunnah Adab-Adab Pada Hari Jum’at
SHALAT JUM'AT. https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, D. Adab-Adab Pada Hari Jum’at
1. Disunnahkan bagi orang yang hendak menghadiri shalat Jum’at agar mengamalkan beberapa hadits berikut ini:
Dari Salman al-Farisi, dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنَ الطُّهْرِ، وَيُدَهِّنُ مِنْ دُهْنِهِ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيْبِ بَيْتِهِ، ثُمَّ يَخْـرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ، ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يَنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ اْلإِمَامُ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى.
"Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari Jum’at, lalu bersuci dengan sebaik-baiknya. Setelah itu berminyak rambut atau memakai wangi-wangian dari rumahnya. Kemudian keluar (menuju masjid), tidak memisahkan antara dua orang, lalu shalat sunnah semampunya. Lantas diam ketika imam berkhutbah, melainkan diampuni dosanya antara Jum’at itu dan Jum’at yang lain." [1]
Dari Abu Sa'id Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, mengenakan baju terbaiknya, dan mengenakan minyak wangi, jika ada. Kemudian menghadiri shalat Jum’at dan tidak melangkahi orang-orang. Setelah itu shalat semampunya lantas diam ketika imam keluar hingga selesai shalat. Maka itu semua adalah penghapus dosa antara Jum’at itu dan Jum’at sebelumnya." [2]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ كَانَ عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ مَلاَئِكَةٌ يَكْتُبُوْنَ النَّاسَ عَلَى قَدْرِ مَنَازِلِهِمُ اْلأَوَّلُ فَاْلأَوَّلِ، فَإِذَا جَلَسَ اْلإِمَامُ طَوُوا الصُّحُفَ وَجَاؤُوْا يَسْتَمِعُوْنَ الذِّكْرَ، وَمَثَلُ الْمُهَجِّرِ كَمَثَلِ الَّذِيْ يُهْدِي بَدَنَةً، ثُمَّ كَالَّذِيْ يُهْدِي بَقَرَةً، ثُمَّ كَالَّذِيْ يُهْدِي الْكَبْشَ، ثُمَّ كَالَّذِيْ يُهْدِي الدَّجَاجَةَ، ثُمَّ كَالَّذِيْ يُهْدِي الْبَيْضَةَ.
"Jika hari Jum’at tiba, maka sepada tiap pintu-pintu masjid terdapat para Malaikat. Mereka mencatat orang-orang berdasarkan kedudukan mereka. Yang datang pertama mendapat kedudukan pertama. Jika imam duduk, maka mereka menutup lembar catatan dan masuk untuk mendengar dzikir (khutbah). Perumpamaan orang yang datang di awal waktu ibarat orang yang berkurban dengan unta. Setelah itu seperti orang yang berkurban dengan sapi. Kemudian seperti orang yang berkurban dengan domba. Lalu seperti orang yang berkurban dengan ayam. Berikutnya lagi seperti orang yang berkurban telur." [3]
2. Beberapa Dzikir Dan Do’a Yang Disunnahkan Pada Hari Jum’at:
a. Memperbanyak shalawat dan salam atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam
Dari Aus bin Aus, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَفْضَلَ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فِيْهِ خُلِقَ آدَمُ، وَفِيْهِ قُبِضَ، وَفِيْهِ النَّفْخَةُ، وَفِيْهِ الصَّعِقَةُ، فَأَكْثِرُوْا عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِيْهِ، فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوْضَةٌ عَلَيَّ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَكَيْفَ تُعْرِضُ عَلَيْكَ صَلاَتَنَا وَقَدْ أَرَمْتَ؟ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ k حَرَّمَ عَلَى اْلأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ اْلأَنْبِيَاءِ.
"Sesungguhnya seutama-utama hari kalian adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan dan diwafatkan. Pada hari itu pula sangkakala (kedua) ditiup dan manusia dimatikan (tiupan sangkakala pertama.-ed.) pada hari itu perbanyaklah mengucap shalawat atasku. Karena sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku." Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat kami sampai kepada engkau, padahal jasad engkau telah rusak?" Beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengharamkan bumi memakan (merusak) jasad para Nabi." [4]
b. Membaca surat al-Kahfi
Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ فِيْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ النُّوْرُ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ.
"Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at, maka terdapat cahaya yang meneranginya di antara dua Jum’at." [5]
c. Memperbanyak do’a sambil mengharap waktu yang mustajab
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
يَوْمُ الْجُمُعَةِ اِثْنَتَـا عَشْرَةَ سَاعَةً، لاَ يُوْجَدُ فِيْهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ k شَيْئًا إِلاَّ اَتَاهُ إِيَّاهُ، فَالْتَمِسُوْهَا آخِرَ سَـاعَةٍ بَعْدَ صَلاَةِ الْعَصْرِ.
"Hari Jum’at terdiri dari dua belas waktu. Tidak ada seorang hamba muslim pun yang saat itu meminta pada Allah melainkan Allah mengabulkannya. Carilah ia (waktu yang mustajab) di akhir waktu tersebut, yaitu setelah shalat 'Ashar." [6]
3. Shalat Jum’at di masjid jami'
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Dulu pada hari Jum’at orang-orang berbondong-bondong dari rumah-rumah mereka dan dataran tinggi..."[7]
Dari az-Zuhri rahimahullah, "Dahulu penduduk Dzul Hulaifah berkumpul bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal jaraknya enam mil dari Madinah."[8]
Dari 'Atha' bin Abi Rabbah rahimahullah, dia berkata, "Dahulu penduduk Mina menghadiri shalat Jum’at di Makkah." [9]
Al-Hafizh berkata dalam at-Talkhish (II/55), "Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkan seseorang mendirikan shalat Jum’at di beberapa masjid di Madinah. Tidak pula di desa-desa terdekat."
4. Hari raya (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha) bertepatan dengan hari Jum’at [10]
Jika hari raya terjadi (bertepatan) pada hari Jum’at, maka gugurlah kewajiban shalat Jum’at bagi yang telah melakukan shalat ‘Id.
Dari Zaid bin Arqam Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Nabi Shallallahu 'alaihi shalat ‘Id kemudian memberi keringanan dalam shalat Jum’at. Beliau bersabda:
مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ.
"Barangsiapa ingin shalat, maka shalatlah."[11]
Disunnahkan agar imam mendirikan shalat Jum’at agar orang yang ingin melaksanakannya dan orang yang tidak shalat ‘Id melaksanakannya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
قَدِ اجْتَمَعَ فِـيْ يَوْمِكُمْ هذَا عِيْدَانِ، فَمَنْ شَـاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُوْنَ.
"Pada hari ini telah berlangsung dua hari raya. Barangsiapa telah melakukan shalat ‘Id, maka dia boleh meninggalkan shalat Jum’at. Namun, kami akan melakukan shalat Jum’at." [12]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz,https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 7736)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/370 no. 883).
[2]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 6066)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/7 no. 339).
[3]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 775)], Shahiih Muslim (II/587 no. 850), Sunan an-Nasa-i (III/98), dan Sunan Ibni Majah (I/347 no. 1092).
[4]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 889)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/370 no. 1034), Sunan Ibni Majah (I/345 no. 1085), dan Sunan an-Nasa-i (III/91).
[5]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 626)], Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 6470), Mustadrak al-Hakim (II/368), dan al-Baihaqi (III/249).
[6]. Shahih: Abu Dawud, an-Nasa-i, dan al-Hakim meriwayatkan lafazh ini. Dia berkata: "Shahih berdasarkan syarat Muslim [Shahih at-Targhiib (no. 705)], Shahiih Muslim (II/584 no. 853).
[7]. Muttafaq 'alaihi: [Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/380 no. 1042)], secara ringkas, ini adalah bagian dari hadits panjang yang diriwayatkan dalam Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/385 no. 902), dan Shahiih Muslim (II/ 581 no. 847).
[8]. Al-Baihaqi (III/175).
[9]. Al-Baihaqi (III/175).
[10]. Fiqhus Sunnah (I/267).
[11]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibnu Majah (no. 1082)], Sunan Abu Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/407 no. 1057), dan Sunan Ibni Majah (I/415 no. 1310).
[12]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibnu Majah (no. 1083)], Sunan Abu Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/410 no. 1060), dan Sunan Ibni Majah (I/416 no. 1311), dari hadits Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma.
1. Disunnahkan bagi orang yang hendak menghadiri shalat Jum’at agar mengamalkan beberapa hadits berikut ini:
Dari Salman al-Farisi, dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنَ الطُّهْرِ، وَيُدَهِّنُ مِنْ دُهْنِهِ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيْبِ بَيْتِهِ، ثُمَّ يَخْـرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ، ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يَنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ اْلإِمَامُ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى.
"Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari Jum’at, lalu bersuci dengan sebaik-baiknya. Setelah itu berminyak rambut atau memakai wangi-wangian dari rumahnya. Kemudian keluar (menuju masjid), tidak memisahkan antara dua orang, lalu shalat sunnah semampunya. Lantas diam ketika imam berkhutbah, melainkan diampuni dosanya antara Jum’at itu dan Jum’at yang lain." [1]
Dari Abu Sa'id Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, mengenakan baju terbaiknya, dan mengenakan minyak wangi, jika ada. Kemudian menghadiri shalat Jum’at dan tidak melangkahi orang-orang. Setelah itu shalat semampunya lantas diam ketika imam keluar hingga selesai shalat. Maka itu semua adalah penghapus dosa antara Jum’at itu dan Jum’at sebelumnya." [2]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ كَانَ عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ مَلاَئِكَةٌ يَكْتُبُوْنَ النَّاسَ عَلَى قَدْرِ مَنَازِلِهِمُ اْلأَوَّلُ فَاْلأَوَّلِ، فَإِذَا جَلَسَ اْلإِمَامُ طَوُوا الصُّحُفَ وَجَاؤُوْا يَسْتَمِعُوْنَ الذِّكْرَ، وَمَثَلُ الْمُهَجِّرِ كَمَثَلِ الَّذِيْ يُهْدِي بَدَنَةً، ثُمَّ كَالَّذِيْ يُهْدِي بَقَرَةً، ثُمَّ كَالَّذِيْ يُهْدِي الْكَبْشَ، ثُمَّ كَالَّذِيْ يُهْدِي الدَّجَاجَةَ، ثُمَّ كَالَّذِيْ يُهْدِي الْبَيْضَةَ.
"Jika hari Jum’at tiba, maka sepada tiap pintu-pintu masjid terdapat para Malaikat. Mereka mencatat orang-orang berdasarkan kedudukan mereka. Yang datang pertama mendapat kedudukan pertama. Jika imam duduk, maka mereka menutup lembar catatan dan masuk untuk mendengar dzikir (khutbah). Perumpamaan orang yang datang di awal waktu ibarat orang yang berkurban dengan unta. Setelah itu seperti orang yang berkurban dengan sapi. Kemudian seperti orang yang berkurban dengan domba. Lalu seperti orang yang berkurban dengan ayam. Berikutnya lagi seperti orang yang berkurban telur." [3]
2. Beberapa Dzikir Dan Do’a Yang Disunnahkan Pada Hari Jum’at:
a. Memperbanyak shalawat dan salam atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam
Dari Aus bin Aus, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَفْضَلَ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فِيْهِ خُلِقَ آدَمُ، وَفِيْهِ قُبِضَ، وَفِيْهِ النَّفْخَةُ، وَفِيْهِ الصَّعِقَةُ، فَأَكْثِرُوْا عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ فِيْهِ، فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ مَعْرُوْضَةٌ عَلَيَّ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَكَيْفَ تُعْرِضُ عَلَيْكَ صَلاَتَنَا وَقَدْ أَرَمْتَ؟ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ k حَرَّمَ عَلَى اْلأَرْضِ أَنْ تَأْكُلَ أَجْسَادَ اْلأَنْبِيَاءِ.
"Sesungguhnya seutama-utama hari kalian adalah hari Jum’at. Pada hari itu Adam diciptakan dan diwafatkan. Pada hari itu pula sangkakala (kedua) ditiup dan manusia dimatikan (tiupan sangkakala pertama.-ed.) pada hari itu perbanyaklah mengucap shalawat atasku. Karena sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku." Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana shalawat kami sampai kepada engkau, padahal jasad engkau telah rusak?" Beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mengharamkan bumi memakan (merusak) jasad para Nabi." [4]
b. Membaca surat al-Kahfi
Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ فِيْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ النُّوْرُ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ.
"Barangsiapa membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at, maka terdapat cahaya yang meneranginya di antara dua Jum’at." [5]
c. Memperbanyak do’a sambil mengharap waktu yang mustajab
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
يَوْمُ الْجُمُعَةِ اِثْنَتَـا عَشْرَةَ سَاعَةً، لاَ يُوْجَدُ فِيْهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ k شَيْئًا إِلاَّ اَتَاهُ إِيَّاهُ، فَالْتَمِسُوْهَا آخِرَ سَـاعَةٍ بَعْدَ صَلاَةِ الْعَصْرِ.
"Hari Jum’at terdiri dari dua belas waktu. Tidak ada seorang hamba muslim pun yang saat itu meminta pada Allah melainkan Allah mengabulkannya. Carilah ia (waktu yang mustajab) di akhir waktu tersebut, yaitu setelah shalat 'Ashar." [6]
3. Shalat Jum’at di masjid jami'
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Dulu pada hari Jum’at orang-orang berbondong-bondong dari rumah-rumah mereka dan dataran tinggi..."[7]
Dari az-Zuhri rahimahullah, "Dahulu penduduk Dzul Hulaifah berkumpul bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal jaraknya enam mil dari Madinah."[8]
Dari 'Atha' bin Abi Rabbah rahimahullah, dia berkata, "Dahulu penduduk Mina menghadiri shalat Jum’at di Makkah." [9]
Al-Hafizh berkata dalam at-Talkhish (II/55), "Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengizinkan seseorang mendirikan shalat Jum’at di beberapa masjid di Madinah. Tidak pula di desa-desa terdekat."
4. Hari raya (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha) bertepatan dengan hari Jum’at [10]
Jika hari raya terjadi (bertepatan) pada hari Jum’at, maka gugurlah kewajiban shalat Jum’at bagi yang telah melakukan shalat ‘Id.
Dari Zaid bin Arqam Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Nabi Shallallahu 'alaihi shalat ‘Id kemudian memberi keringanan dalam shalat Jum’at. Beliau bersabda:
مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ.
"Barangsiapa ingin shalat, maka shalatlah."[11]
Disunnahkan agar imam mendirikan shalat Jum’at agar orang yang ingin melaksanakannya dan orang yang tidak shalat ‘Id melaksanakannya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
قَدِ اجْتَمَعَ فِـيْ يَوْمِكُمْ هذَا عِيْدَانِ، فَمَنْ شَـاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ، وَإِنَّا مُجَمِّعُوْنَ.
"Pada hari ini telah berlangsung dua hari raya. Barangsiapa telah melakukan shalat ‘Id, maka dia boleh meninggalkan shalat Jum’at. Namun, kami akan melakukan shalat Jum’at." [12]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz,https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 7736)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/370 no. 883).
[2]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 6066)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/7 no. 339).
[3]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 775)], Shahiih Muslim (II/587 no. 850), Sunan an-Nasa-i (III/98), dan Sunan Ibni Majah (I/347 no. 1092).
[4]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 889)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/370 no. 1034), Sunan Ibni Majah (I/345 no. 1085), dan Sunan an-Nasa-i (III/91).
[5]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 626)], Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 6470), Mustadrak al-Hakim (II/368), dan al-Baihaqi (III/249).
[6]. Shahih: Abu Dawud, an-Nasa-i, dan al-Hakim meriwayatkan lafazh ini. Dia berkata: "Shahih berdasarkan syarat Muslim [Shahih at-Targhiib (no. 705)], Shahiih Muslim (II/584 no. 853).
[7]. Muttafaq 'alaihi: [Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/380 no. 1042)], secara ringkas, ini adalah bagian dari hadits panjang yang diriwayatkan dalam Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/385 no. 902), dan Shahiih Muslim (II/ 581 no. 847).
[8]. Al-Baihaqi (III/175).
[9]. Al-Baihaqi (III/175).
[10]. Fiqhus Sunnah (I/267).
[11]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibnu Majah (no. 1082)], Sunan Abu Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/407 no. 1057), dan Sunan Ibni Majah (I/415 no. 1310).
[12]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibnu Majah (no. 1083)], Sunan Abu Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/410 no. 1060), dan Sunan Ibni Majah (I/416 no. 1311), dari hadits Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma.
Kategori Alwajiz : Shalat Sunnah Shalat Jum’at
SHALAT JUM'AT. https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, Melaksanakan shalat Jum’at adalah fardhu 'ain bagi setiap muslim,
kecuali lima orang: hamba sahaya, wanita, anak-anak, orang sakit, atau
musafir. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [al-Jumu'ah: 9].
Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اَلْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِيْ جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةٌ: عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ.
"Shalat Jum’at dengan berjama'ah wajib bagi setiap muslim kecuali empat orang: hamba sahaya, wanita, anak-anak, atau orang sakit." [1]
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ.
"Shalat Jum’at tidak wajib bagi musafir." [2]
A. Anjuran Untuk Melaksanakannya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنِ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ، ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ، ثُمَّ يُصَلِّيْ مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى وَفُضِّلَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ.
"Barangsiapa mandi, kemudian datang ke masjid untuk shalat Jum’at, lalu shalat (sunnah) semampunya. Setelah itu diam sambil mendengarkan khatib berkhutbah hingga selesai, lantas shalat berjama’ah bersamanya, maka diampunilah dosanya ketika itu hingga Jum’at yang akan datang, dan dilebihkan tiga hari."[3]
Dan juga darinya, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسِ، الْجُمُعَةُ إِلَـى الْجُمُعَةِ، وَرَمَضَـانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ.
"Shalat lima waktu, dari (shalat) Jum’at ke (shalat) Jum’at yang lain, dan dari (puasa) Ramadhan ke (puasa) Ramadhan yang lain adalah penghapus dosa-dosa kecil di antara waktu-waktu tersebut selama tidak melakukan dosa besar."[4]
Peringatan agar tidak menyepelekannya
Dari Ibnu 'Umar dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhuma, mereka berdua mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di atas mimbar kayunya:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَـاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنُنَّ مِنَ الْغَافِلِيْنَ.
"Hendaklah orang-orang benar-benar berhenti meninggalkan shalat Jum’at. Atau Allah akan menutup hati mereka sehingga mereka benar-benar menjadi orang-orang yang lalai."[5]
Dari 'Abdullah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada orang-orang yang meninggalkan shalat Jum’at:
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلاً يُصَلِّيْ بِالنَّـاسِ، ثُمَّ أَحْرِقُ عَلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُوْنَ عَنِ الْجُمُعَةِ بُيُوْتَهُمْ.
"Aku benar-benar ingin menyuruh seseorang agar mengimami manusia. Kemudian aku bakar rumah seluruh laki-laki yang meninggalkan shalat Jum’at." [6]
Dari Abu Ja'd adh-Dhamri Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَْنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللهُ عَلَى قَلْبِهِ.
"Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat Jum’at karena menyepelekannya, Allah akan menutup hatinya." [7]
Dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمُعَاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ كُتِبَ مِنَ الْمُنَافِقِيْنَ.
"Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat Jum’at tanpa 'udzur, maka dia dicatat dalam golongan orang-orang munafik." [8]
B. Waktunya
Waktunya sebagaimana shalat Zhuhur, namun dibolehkan sebelumnya
Dari Anas Radhiyallahu anhu : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Jum’at ketika matahari sedang tergelincir." [9]
Dari Jabir bin 'Abdullah Radhiyallahu anhu, dia ditanya, "Kapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Jum’at?" Dia menjawab, "Setelah beliau melakukan shalat tersebut, lantas kami mendatangi unta-unta kami. Lalu kami menjalankannya sedang matahari tergelincir."[10]
C. Khutbah
Hukumnya wajib. Karena beliau senantiasa melakukannya dan tidak pernah meninggalkannya sama sekali. Juga berdasarkan sabda beliau:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ.
"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat."[11]
1. Petunjuk beliau dalam khutbah
Beliau pernah bersabda:
إِنًَّ طُوْلَ صَلاَةِ الرَّجُلِِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ، فَأَطِيْلُوا الصَّلاَةَ وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ، وَإِنَّ مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا.
"Sesungguhnya panjang shalat dan singkatnya khutbah seseorang menunjukkan kefaqihannya (kefahamannya). Maka panjangkan shalat dan persingkatlah khutbah. Sesungguhnya kata-kata yang indah ibarat sihir." [12]
Dari Jabir bin Samurah, dia berkata, "Aku pernah shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam selama beberapa kali. Shalat dan khutbah beliau seimbang." [13]
Dari Jabir bin 'Abdullah Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah, kedua mata beliau memerah, suaranya meninggi, dan semangatnya berkobar. Seolah-olah beliau memperingatkan pasukan sambil berkata, "Musuh kalian akan datang pada pagi dan petang!" [14]
2. Khutbatul Haajah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengawali khutbah, nasihat, dan ceramah, serta berbagai pelajarannya dengan khutbah ini, yaitu yang dikenal dengan khutbatul Haajah. Bunyinya sebagai berikut:
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِـاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْـكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Sesungguhnya, segala puji hanya bagi Allah. Kami memujinya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya. Kami juga berlindung kepada-Nya dari kejahatan jiwa kami, serta keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa ditunjuki oleh Allah, maka tidak ada yang mampu menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan oleh-Nya, maka tidak ada yang mampu menunjukinya. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” [Ali 'Imran: 102]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu." [An-Nisaa': 1].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab: 70-71]
أَمَّا بَعْدُ:
فَإِنًَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan (dalam agama). Karena setiap pekara yang diada-adakan adalah bid'ah. Dan setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.
"Barangsiapa merenungkan khutbah-khutbah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beserta para ٍSahabatnya, maka dia akan mendapatkan banyak pelajaran tentang petunjuk, tauhid, sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, pokok-pokok iman secara menyeluruh, dan dakwah ke jalan Allah. Begitupula nikmat-nikmat-Nya yang membuat para makhluk cinta kepada-Nya, juga hari pembalasan beserta adzab-adzab yang menakutkan. Terdapat juga perintah terhadap makhluk agar senantiasa berdzikir dan bersyukur kepada-Nya. Hal ini membuat mereka dicintai Allah. Sehingga mereka selalu ingat dengan keagungan Allah, sifat-sifat, dan asma'-Nya yang membuat-Nya cinta kepada para hamba-Nya. Lalu mereka pun diperintahkan agar taat, bersyukur, dan berdzikir. Hal ini membuat mereka cinta kepada-Nya. Setelah itu para pendengar akan pulang dengan perasaan cinta kepada Allah, dan Allah pun mencintai mereka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seringkali menyampaikan khutbah dengan al-Qur-an dan surat Qaaf." [15]
Ummu Hisyam binti al-Harits bin an-Nu'man Radhiyallahu anhu berkata, "Tidaklah aku menghafal surat Qaaf melainkan dari lisan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saat menyampaikan khutbah dengan surat tersebut di atas mimbar." [16]
3. Wajibnya diam dan larangan berbicara ketika khutbah berlangsung
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا قُلْتَ لِصَـاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَاْلإِمَـامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ.
"Jika pada hari Jum’at, saat khatib sedang khutbah engkau berkata pada temanmu "diam!", maka engkau telah mengucapkan kata yang sia-sia (perkataan yang bathil)." [17]
4. Kapankah seseorang dianggap masih mendapatkan shalat Jum’at?
Shalat Jum’at terdiri dari dua raka’at yang dikerjakan secara berjama’ah. Barangsiapa meninggalkan jama’ah shalat Jum’at karena memang tidak wajib baginya atau ada halangan, maka dia shalat Zhuhur empat raka’at. Barangsiapa mendapati satu raka’at shalat Jum’at bersama imam, maka dia telah mendapatkan shalat Jum’at.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلاَةِ الْجُمُعَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ.
"Barangsiapa mendapati satu raka’at dari shalat Jum’at, maka dia telah mendapatkan shalat." [18]
5. Shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat Jum’at
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ أَتَـى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ، ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّـى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ، ثُمَّ يُصَلِّي مَعَهُ، غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى وَفُضِّلَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ.
"Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, kemudian datang ke masjid untuk shalat Jum’at, lalu shalat (sunnah) semampunya. Setelah itu diam sambil mendengarkan khatib berkhutbah hingga selesai, lantas shalat berjama’ah dengannya, maka di-ampunilah dosanya antara Jum’at itu dan Jum’at yang lain, dan dilebihkan tiga hari." [19]
Barangsiapa datang sebelum shalat Jum’at dimulai, maka hendaklah shalat sunnah semampunya hingga imam tiba. Adapun yang pada zaman ini dikenal sebagai shalat sunnah qabliyyah Jum’at, maka tidak ada dasarnya sama sekali. Sesungguhnya yang dikenal adalah: "Jika Bilal selesai adzan, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memulai khutbah. Tidak seorang pun melakukan shalat dua raka’at. Tidak pula terdapat adzan melainkan satu kali. Jadi, kapan mereka melakukan shalat sunnah tersebut?" [20]
Adapun seusai shalat Jum’at, maka boleh shalat empat atau dua raka’at sesuai keinginan.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا.
"Jika salah seorang di antara kalian telah melaksanakan shalat Jum’at, maka hendaklah shalat empat raka’at sesudahnya." [21]
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhu : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak shalat setelah Jum’at hingga beliau pulang dan shalat dua raka’at di rumahnya."[22]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 942)], Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 3111), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/394 no. 1054), ad-Daraquthni (II/3 no. 2), al-Baihaqi (III/172), dan Mustadrak al-Hakim (I/288).
[2]. Ad-Daraquthni (II/4 no. 4).
[3]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 6062)], Shahiih Muslim (II/587 no. 857).
[4]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 3875)], Shahiih Muslim (I/209 no. 233 (16)), dan Sunan at-Tirmidzi (I/138 no. 214), tanpa kalimat: “وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ (dan Ramadhan ke Ramadhan).”
[5]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 5480)], Shahiih Muslim (II/591 no. 865), dan Sunan an-Nasa-i (III/88).
[6]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 5142)], Shahiih Muslim (I/452 no. 652).
[8]. Hasan Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 923)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/377 no. 1039), Sunan at-Tirmidzi (II/5 no. 498), Sunan an-Nasa-i (III/88), dan Sunan Ibni Majah (I/357 no. 1125).
[9]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 6144)], ath-Thabrani dalam ash-Shagiir (I/170 no. 422).
[10]. Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 960)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/386 no. 904), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/427 no. 1071), dan Sunan at-Tirmidzi (II/7 no. 501).
[11]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 597)], Shahiih Muslim (II/588 no. 858 (29)).
[12]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 262)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/111 no. 631).
[13]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 2100)], Irwaa’ul Ghaliil (no. 618), Shahiih Muslim (II/594 no. 869).
[14]. Shahih: [Shahih Sunan at-Tirmidzi (no. 418)], Shahiih Muslim (II/591 no. 886), dan Sunan at-Tirmidzi (II/9 no. 505).
[15]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 4711)], Irwaa’ul Ghaliil (no. 611), Shahiih Muslim (II/591 no. 866), dan Sunan at-Tirmidzi (II/9 no. 505).
[16]. Zaad al-Ma'aad (I/116).
[17]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/414 no. 934)], Shahiih Muslim (II/582 no. 851), Sunan an-Nasa-i (III/104), Sunan Ibni Majah (I/352 no. 1110), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/460 no. 1099) secara ringkas, dan Sunan at-Tirmidzi (II/12 no. 5111) dengan lafazh yang mirip.
[18]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 911)], Sunan an-Nasa-i (III/112), dan Sunan Ibni Majah (I/356 no. 1110) dengan lafazh yang serupa.
[19]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 622)], Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 5999), Sunan an-Nasa-i (III/112), dan Sunan Ibni Majah (I/356 no. 1121) dengan lafazh yang serupa.
[20]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 6062)], Shahiih Muslim (II/587 no. 857).
[21]. Zaad al-Ma'aad (I/118).
[22]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 625)], Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 640), Shahiih Muslim (II/600 no. 882), dan lafazh ini miliknya, Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/481 no. 1118), dan Sunan at-Tirmidzi (II/17 no. 522).
[23]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (II/600 no. 822 (71))], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/425 no. 937), dalam riwayatnya tidak terdapat lafazh: "Di rumahnya."
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [al-Jumu'ah: 9].
Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اَلْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِيْ جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةٌ: عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ.
"Shalat Jum’at dengan berjama'ah wajib bagi setiap muslim kecuali empat orang: hamba sahaya, wanita, anak-anak, atau orang sakit." [1]
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ.
"Shalat Jum’at tidak wajib bagi musafir." [2]
A. Anjuran Untuk Melaksanakannya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنِ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ، ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ، ثُمَّ يُصَلِّيْ مَعَهُ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى وَفُضِّلَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ.
"Barangsiapa mandi, kemudian datang ke masjid untuk shalat Jum’at, lalu shalat (sunnah) semampunya. Setelah itu diam sambil mendengarkan khatib berkhutbah hingga selesai, lantas shalat berjama’ah bersamanya, maka diampunilah dosanya ketika itu hingga Jum’at yang akan datang, dan dilebihkan tiga hari."[3]
Dan juga darinya, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسِ، الْجُمُعَةُ إِلَـى الْجُمُعَةِ، وَرَمَضَـانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ.
"Shalat lima waktu, dari (shalat) Jum’at ke (shalat) Jum’at yang lain, dan dari (puasa) Ramadhan ke (puasa) Ramadhan yang lain adalah penghapus dosa-dosa kecil di antara waktu-waktu tersebut selama tidak melakukan dosa besar."[4]
Peringatan agar tidak menyepelekannya
Dari Ibnu 'Umar dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhuma, mereka berdua mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di atas mimbar kayunya:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَـاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنُنَّ مِنَ الْغَافِلِيْنَ.
"Hendaklah orang-orang benar-benar berhenti meninggalkan shalat Jum’at. Atau Allah akan menutup hati mereka sehingga mereka benar-benar menjadi orang-orang yang lalai."[5]
Dari 'Abdullah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada orang-orang yang meninggalkan shalat Jum’at:
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلاً يُصَلِّيْ بِالنَّـاسِ، ثُمَّ أَحْرِقُ عَلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُوْنَ عَنِ الْجُمُعَةِ بُيُوْتَهُمْ.
"Aku benar-benar ingin menyuruh seseorang agar mengimami manusia. Kemudian aku bakar rumah seluruh laki-laki yang meninggalkan shalat Jum’at." [6]
Dari Abu Ja'd adh-Dhamri Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَْنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللهُ عَلَى قَلْبِهِ.
"Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat Jum’at karena menyepelekannya, Allah akan menutup hatinya." [7]
Dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمُعَاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ كُتِبَ مِنَ الْمُنَافِقِيْنَ.
"Barangsiapa meninggalkan tiga kali shalat Jum’at tanpa 'udzur, maka dia dicatat dalam golongan orang-orang munafik." [8]
B. Waktunya
Waktunya sebagaimana shalat Zhuhur, namun dibolehkan sebelumnya
Dari Anas Radhiyallahu anhu : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Jum’at ketika matahari sedang tergelincir." [9]
Dari Jabir bin 'Abdullah Radhiyallahu anhu, dia ditanya, "Kapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Jum’at?" Dia menjawab, "Setelah beliau melakukan shalat tersebut, lantas kami mendatangi unta-unta kami. Lalu kami menjalankannya sedang matahari tergelincir."[10]
C. Khutbah
Hukumnya wajib. Karena beliau senantiasa melakukannya dan tidak pernah meninggalkannya sama sekali. Juga berdasarkan sabda beliau:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ.
"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat."[11]
1. Petunjuk beliau dalam khutbah
Beliau pernah bersabda:
إِنًَّ طُوْلَ صَلاَةِ الرَّجُلِِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ، فَأَطِيْلُوا الصَّلاَةَ وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ، وَإِنَّ مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا.
"Sesungguhnya panjang shalat dan singkatnya khutbah seseorang menunjukkan kefaqihannya (kefahamannya). Maka panjangkan shalat dan persingkatlah khutbah. Sesungguhnya kata-kata yang indah ibarat sihir." [12]
Dari Jabir bin Samurah, dia berkata, "Aku pernah shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam selama beberapa kali. Shalat dan khutbah beliau seimbang." [13]
Dari Jabir bin 'Abdullah Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah, kedua mata beliau memerah, suaranya meninggi, dan semangatnya berkobar. Seolah-olah beliau memperingatkan pasukan sambil berkata, "Musuh kalian akan datang pada pagi dan petang!" [14]
2. Khutbatul Haajah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengawali khutbah, nasihat, dan ceramah, serta berbagai pelajarannya dengan khutbah ini, yaitu yang dikenal dengan khutbatul Haajah. Bunyinya sebagai berikut:
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِـاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْـكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Sesungguhnya, segala puji hanya bagi Allah. Kami memujinya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya. Kami juga berlindung kepada-Nya dari kejahatan jiwa kami, serta keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa ditunjuki oleh Allah, maka tidak ada yang mampu menyesatkannya. Dan barangsiapa disesatkan oleh-Nya, maka tidak ada yang mampu menunjukinya. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” [Ali 'Imran: 102]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu." [An-Nisaa': 1].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab: 70-71]
أَمَّا بَعْدُ:
فَإِنًَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan (dalam agama). Karena setiap pekara yang diada-adakan adalah bid'ah. Dan setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.
"Barangsiapa merenungkan khutbah-khutbah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beserta para ٍSahabatnya, maka dia akan mendapatkan banyak pelajaran tentang petunjuk, tauhid, sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, pokok-pokok iman secara menyeluruh, dan dakwah ke jalan Allah. Begitupula nikmat-nikmat-Nya yang membuat para makhluk cinta kepada-Nya, juga hari pembalasan beserta adzab-adzab yang menakutkan. Terdapat juga perintah terhadap makhluk agar senantiasa berdzikir dan bersyukur kepada-Nya. Hal ini membuat mereka dicintai Allah. Sehingga mereka selalu ingat dengan keagungan Allah, sifat-sifat, dan asma'-Nya yang membuat-Nya cinta kepada para hamba-Nya. Lalu mereka pun diperintahkan agar taat, bersyukur, dan berdzikir. Hal ini membuat mereka cinta kepada-Nya. Setelah itu para pendengar akan pulang dengan perasaan cinta kepada Allah, dan Allah pun mencintai mereka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seringkali menyampaikan khutbah dengan al-Qur-an dan surat Qaaf." [15]
Ummu Hisyam binti al-Harits bin an-Nu'man Radhiyallahu anhu berkata, "Tidaklah aku menghafal surat Qaaf melainkan dari lisan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saat menyampaikan khutbah dengan surat tersebut di atas mimbar." [16]
3. Wajibnya diam dan larangan berbicara ketika khutbah berlangsung
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا قُلْتَ لِصَـاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَاْلإِمَـامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ.
"Jika pada hari Jum’at, saat khatib sedang khutbah engkau berkata pada temanmu "diam!", maka engkau telah mengucapkan kata yang sia-sia (perkataan yang bathil)." [17]
4. Kapankah seseorang dianggap masih mendapatkan shalat Jum’at?
Shalat Jum’at terdiri dari dua raka’at yang dikerjakan secara berjama’ah. Barangsiapa meninggalkan jama’ah shalat Jum’at karena memang tidak wajib baginya atau ada halangan, maka dia shalat Zhuhur empat raka’at. Barangsiapa mendapati satu raka’at shalat Jum’at bersama imam, maka dia telah mendapatkan shalat Jum’at.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلاَةِ الْجُمُعَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ.
"Barangsiapa mendapati satu raka’at dari shalat Jum’at, maka dia telah mendapatkan shalat." [18]
5. Shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat Jum’at
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ أَتَـى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ، ثُمَّ أَنْصَتَ حَتَّـى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ، ثُمَّ يُصَلِّي مَعَهُ، غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى وَفُضِّلَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ.
"Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, kemudian datang ke masjid untuk shalat Jum’at, lalu shalat (sunnah) semampunya. Setelah itu diam sambil mendengarkan khatib berkhutbah hingga selesai, lantas shalat berjama’ah dengannya, maka di-ampunilah dosanya antara Jum’at itu dan Jum’at yang lain, dan dilebihkan tiga hari." [19]
Barangsiapa datang sebelum shalat Jum’at dimulai, maka hendaklah shalat sunnah semampunya hingga imam tiba. Adapun yang pada zaman ini dikenal sebagai shalat sunnah qabliyyah Jum’at, maka tidak ada dasarnya sama sekali. Sesungguhnya yang dikenal adalah: "Jika Bilal selesai adzan, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memulai khutbah. Tidak seorang pun melakukan shalat dua raka’at. Tidak pula terdapat adzan melainkan satu kali. Jadi, kapan mereka melakukan shalat sunnah tersebut?" [20]
Adapun seusai shalat Jum’at, maka boleh shalat empat atau dua raka’at sesuai keinginan.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا.
"Jika salah seorang di antara kalian telah melaksanakan shalat Jum’at, maka hendaklah shalat empat raka’at sesudahnya." [21]
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhu : "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak shalat setelah Jum’at hingga beliau pulang dan shalat dua raka’at di rumahnya."[22]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 942)], Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 3111), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/394 no. 1054), ad-Daraquthni (II/3 no. 2), al-Baihaqi (III/172), dan Mustadrak al-Hakim (I/288).
[2]. Ad-Daraquthni (II/4 no. 4).
[3]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 6062)], Shahiih Muslim (II/587 no. 857).
[4]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 3875)], Shahiih Muslim (I/209 no. 233 (16)), dan Sunan at-Tirmidzi (I/138 no. 214), tanpa kalimat: “وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ (dan Ramadhan ke Ramadhan).”
[5]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 5480)], Shahiih Muslim (II/591 no. 865), dan Sunan an-Nasa-i (III/88).
[6]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 5142)], Shahiih Muslim (I/452 no. 652).
[8]. Hasan Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 923)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/377 no. 1039), Sunan at-Tirmidzi (II/5 no. 498), Sunan an-Nasa-i (III/88), dan Sunan Ibni Majah (I/357 no. 1125).
[9]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 6144)], ath-Thabrani dalam ash-Shagiir (I/170 no. 422).
[10]. Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 960)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/386 no. 904), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/427 no. 1071), dan Sunan at-Tirmidzi (II/7 no. 501).
[11]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 597)], Shahiih Muslim (II/588 no. 858 (29)).
[12]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 262)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/111 no. 631).
[13]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 2100)], Irwaa’ul Ghaliil (no. 618), Shahiih Muslim (II/594 no. 869).
[14]. Shahih: [Shahih Sunan at-Tirmidzi (no. 418)], Shahiih Muslim (II/591 no. 886), dan Sunan at-Tirmidzi (II/9 no. 505).
[15]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 4711)], Irwaa’ul Ghaliil (no. 611), Shahiih Muslim (II/591 no. 866), dan Sunan at-Tirmidzi (II/9 no. 505).
[16]. Zaad al-Ma'aad (I/116).
[17]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/414 no. 934)], Shahiih Muslim (II/582 no. 851), Sunan an-Nasa-i (III/104), Sunan Ibni Majah (I/352 no. 1110), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/460 no. 1099) secara ringkas, dan Sunan at-Tirmidzi (II/12 no. 5111) dengan lafazh yang mirip.
[18]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 911)], Sunan an-Nasa-i (III/112), dan Sunan Ibni Majah (I/356 no. 1110) dengan lafazh yang serupa.
[19]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 622)], Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 5999), Sunan an-Nasa-i (III/112), dan Sunan Ibni Majah (I/356 no. 1121) dengan lafazh yang serupa.
[20]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 6062)], Shahiih Muslim (II/587 no. 857).
[21]. Zaad al-Ma'aad (I/118).
[22]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 625)], Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 640), Shahiih Muslim (II/600 no. 882), dan lafazh ini miliknya, Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/481 no. 1118), dan Sunan at-Tirmidzi (II/17 no. 522).
[23]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (II/600 no. 822 (71))], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/425 no. 937), dalam riwayatnya tidak terdapat lafazh: "Di rumahnya."
Langganan:
Postingan (Atom)