MEMPERLAKUKAN ANAK DENGAN LEMAH LEMBUT TANPA KEKERASAN
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Sebuah tragedi memilukan dan susah untuk dipahami. Seorang anak kecil
tewas terbunuh oleh orang tuanya sendiri, lantaran orang tua gregetan
atas tangisan sang anak yang tidak segera berhenti. Sang ayah pun
“memperlihatkan” kekuatannya, sehingga darah dagingnya tersebut
menghembuskan nafas terakhir, di tangan orang tuanya sendiri.
Kisah memilukan semacam ini bukan imajinatif, tetapi pernah terjadi.
Sebuah tindak kekerasan orang tua di lingkungan keluarga. Yang semua
terjadi karena sikap emosi dan ketidak sabaran. Padahal, tubuh mungil
itu seharusnya mendapatkan belaian kasih sayang. Karena kewajiban bagi
orang tua untuk memberikan bimbingan bagi anak, sebagai implementasi
amanah yang dibebankan kepada orang tua. Meski saat menghadapi sang
anak, tak mustahil orang tua merasa kewalahan karena perilaku yang tidak
menyenangkan dari si anak. Begitulah, anak yang merupakan amanah,
tetapi juga bisa menjadi sumber cobaan.
ANAK MERUPAKAN AMANAH, SEKALIGUS SUMBER COBAAN
Sebagai konsekuensi dari amanah, orang tua dituntut untuk memberikan
perhatian, mencurahkannya kepada sang buah hati dengan penuh
kesungguhan. Baik yang berbentuk material maupun psikis. Orang tua harus
mempunyai kewajiban memberi bimbingan demi kebaikan dan keselamatan
anak. Secara implisit, di dalam al Qur`an surat Tahrim ayat 6, Allah
telah mengingatkan pentingnya hal ini.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…" [at Tahrim : 6].
Setelah mengetengahkan ayat di atas, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
mengatakan: “Ibu, ayah, guru dan masyarakat bertanggung jawab di hadapan
Allah Subhanahu wa Ta'ala kelak tentang pendidikan generasi penerus
mereka. Jika mereka telah melaksanakan yang terbaik, niscaya sang anak
dan mereka akan bahagia di dunia dan akhirat. Tetapi apabila melalaikan
pembinaannya, niscaya akan celaka, dan dosa akan berada di pundak-pundak
mereka”.[1]
Anak, selain berfungsi sebagai penyejuk mata orang tuanya, juga bisa
berperan menjadi fitnah yang bisa menggoda, bahkan berpotensi
menjerusmuskan orang tuanya menuju jurang kenistaan. Cobaan ini bisa
terjadi, lantaran fitrah orang tua yang sangat mencintai anak-anaknya,
sehingga terkadang apapun yang menjadi tuntutan kebutuhan sang anak,
selalu berusaha dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan tanpa reserve ini bisa
menjadi salah satu sumber fitnah ini, tak mustahil membebani kemampuan
orang tua, sehingga tatkala tak terpenuhi, ia bisa menimbulkan intrik
(masalah).
Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam al Qur`an memperingatkan :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadapnya …" [at Taghabun : 14].
Syaikh as Sa'di menyatakan: "Ini merupakan peringatan Allah bagi kaum
Mukminin agar tidak terjerumus oleh tipuan istri dan anak-anaknya.
Sebab, sebagian mereka bisa berperan sebagai musuh. Dan musuh adalah
sosok yang menginginkan kejelekan bagimu. Maka tugasmu adalah,
mewaspadai anggota rumah tangga dari sifat tersebut. Sementara tabiat
jiwa manusia berkecenderungan mencintai istri dan anak-anak…”[2]
KASIH-SAYANG MERUPAKAN PRINSIP ISLAM[3]
Sifat rahmat dalam agama kita cakupannya meliputi dunia dan akhirat,
manusia, hewan, bangsa burung dan lingkungan. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman :
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
"Dan rahmatku meliputi sagala sesuatu." [al A’raf : 156].
Dalam ayat di atas, Allah menyifati diriNya dengan sifat rahmat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". [al Anbiya’ : 107].
Kata al ‘alamin dalam ayat di atas bersifat umum, menyangkut manusia,
jin, hewan, burung, binatang-binatang penghuni daratan maupun lautan.
Allah l memerintahkan (kaum Muslimin) bersikap kasih-sayang dalam segala
hal dan tindakan. Semakin lemah seorang makhluk (manusia), maka curahan
kasih dan sayang padanya mesti lebih besar, dan kelembutan kepadanya
lebih dituntut lagi. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang
menghardik anak yatim dan berbuat jahat kepadanya. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ
"Dan adapun terhadap anak yatim, maka janganlah engkau bertindak sewenang-wenang". [adh Dhuha:9].
Siapapun menyukai kelembutan dan sikap simpatik. Hal ini sudah menjadi
tabiat manusia, mereka lebih menyenangi sosok-sosok yang penampilannya
sejuk tidak angker. Cerminan implemenatsi kasih-sayang ini telah
dicontohkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau mencela orang
yang tidak mempunyai rasa kasih-sayang pada anak-anaknya.
Imam al Bukhari menuliskan sebuah judul, bab rahmatu al waladi wa
taqbilihi wa mu’anaqatihi, (bab kasih-sayang pada anak, menciumi dan
memeluknya). Dalam bab ini, Imam al Bukhari membawakan sebuah hadits
yang menceritakan, bahwa suatu ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
kedatangan seorang sahabat yang bernama Aqra’ bin Habis. Ia melihat
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang mencium al Hasan (cucunya).
Maka ia berkomentar: “Aku mempunyai sepuluh orang anak, (namun) aku
tidak pernah mencium satu pun dari mereka,” maka Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ لَا يَرْحَمُ لَا يُرْحَمُ
"Barangsiapa tidak menyayangi, maka tidak disayangi".[4]
BUKAN KEKERASAN, TETAPI LEMAH-LEMBUT
Di tengah keluarga, anak-anak juga mempunyai hak layaknya anggota
keluarga lainnya. Terutama hak untuk meraih hangatnya kasih-sayang dari
orang tua atau pun penghuni rumah yang lain. Anak-anak meruapakan bagian
dari keluarga yang mendapatkan perhatian dan kasih-sayang penuh, supaya
pertumbuhan jasmani dan psikisnya baik.
Semakin lemah seorang makhluk (manusia), maka curahan kasih dan sayang,
sikap lemah-lembut kepadanya, semestinya lebih besar. Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencurahkan perhatian ekstra
terhadap anak-anak, wanita dan orang tua renta, atau orang yang belum
tahu (jahil).
Sebagai contoh, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mencaci-maki
orang badui yang kencing di masjid, juga tidak memukulnya. Sebab orang
tersebut belum mengetahui hukum dan kondisi. Oleh karena itu, beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bersikap kasar kepadanya, justru
melarang sebagian sahabat yang berniat untuk menghentikan polahnya yang
tidak terpuji di masjid.[5]
Demikian juga, saat mengomentari kesalahan sahabat Mu’awiyah bin Hakam
as Sulami yang mendoakan orang yang bersin di tengah shalat. Usai
shalat, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya menasihati : “Ini
adalah shalat, tidak pantas di dalamnya diucapkan omongan-omongan dengan
orang. (Yang dikerjakan) hanya mengucapkan tasbih, takbir dan membaca
al Qur`an”.
Begitu melihat lembutnya teguran Nabi, maka ia pun berkata : “Aku tebus
engkau dengan ayah dan ibuku. Aku tidak pernah melihat pendidik sebelum
dan sesudah itu yang lebih baik cara mendidiknya dibandingkan beliau.
Beliau tidak menghardikku, tidak memukulku, (juga) tidak mencaci
makiku”.[6]
Itulah karakter yang mendominasi pribadi Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, menjadi uswah (teladan) bagi seorang guru, pendidik ataupun
orang tua. Sifat kelembutan dan kasih-sayang menjadi simbol, apalagi
kepada anak-anak.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan sungguh pada diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagi
kalian, (yaitu) orang yang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan
mengingat Allah dengan banyak". [al Ahzab : 21].
Apabila rasa cinta, kasih sayang orang tua (dan pendidik) kurang
tercurahkan pada diri anak-anak, tak mustahil sang anak akan tumbuh
sebagai pribadi yang berperi laku aneh di tengah komunitasnya, yaitu
kawan-kawannya. Misalnya tidak pandai berinteraksi dengan orang luar,
kurang memiliki kepercayaan diri, kurang memiliki kepekaan social, tidak
mampu menumbuhkan semangat gotong-royong ataupun pengorbanan. Kelak,
kadang-kadang ia tidak bisa menjadi seorang ayah yang penyayang, atau
pasangan yang baik interaksinya, juga tidak bisa berperan sebagai
tetangga yang enggan mengganggu tetangganya, dan efek negatif lainnya.
Sebab itu, merupakan kewajiban bagi orang tua untuk memenuhi kebutuhan
cinta dan kasih kepada anak-anaknya.[7]
KEZHALIMAN AKAN MENDAPAT BALASAN
Islam memberlakukan juga cara mendidik anak dengan sanksi (iqab). Namun
bentuk-bentuk sanksi itu merupakan pilihan terakhir, dan harus sesuai
dengan rambu-rambu yang telah digariskan Islam. Orang tua (setiap
muslim) tidak boleh bertindak aniaya kepada siapa saja, apalagi
menjadikan anak-anak sebagai obyek pelampiasan kemarahan, kompensasi
dari stress ataupun kejengkelan yang sedang menyelimuti kepala orang
tua. Menghukum orang dewasa yang tidak bersalah saja dilarang keras oleh
Islam, apalagi menghukum anak-anak yang masih kecil yang tidak berdosa
dan tidak berbuat salah.
Tindakan semena-mena yang dilakukan oleh oknum orang tua, ibu atau ayah,
baik yang bersifat fisik, emosi ataupun psikis, tetap saja termasuk
dalam kategori kezhaliman, yang akan dimintai tanggung jawabnya kelak di
Akhirat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ
"Maka, demi Rabb-mu, Kami pasti akan menanyai mereka semua". [al Hijr : 92].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan di dalam hadits
hasan riwayat an Nasa-i : “Sesungguhnya Allah akan menanyakan setiap
penggembala (setiap orang yang diamanahi dengan tanggung jawab) tentang
apa yang menjadi tanggung jawabnya, apakah ia memeliharanya atau
menyia-nyiakannya?”
Abu Mas'ud al Badri Radhiyallahu 'anhu pernah mengisahkan:
كُنْتُ أَضْرِبُ غُلَامًا لِي بِالسَّوْطِ فَسَمِعْتُ صَوْتًا مِنْ خَلْفِي
اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ فَلَمْ أَفْهَمْ الصَّوْتَ مِنْ الْغَضَبِ قَالَ
فَلَمَّا دَنَا مِنِّي إِذَا هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَإِذَا هُوَ يَقُولُ اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ اعْلَمْ أَبَا
مَسْعُودٍ قَالَ فَأَلْقَيْتُ السَّوْطَ مِنْ يَدِي فَقَالَ: اعْلَمْ أَبَا
مَسْعُودٍ أَنَّ اللَّهَ أَقْدَرُ عَلَيْكَ مِنْكَ عَلَى هَذَا الْغُلَامِ
قَالَ فَقُلْتُ لَا أَضْرِبُ مَمْلُوكًا بَعْدَهُ أَبَدًا. و في رواية :
فَسَقَطَ مِنْ يَدِي السَّوْطُ مِنْ هَيْبَتِهِ
"Aku pernah memukul budak lelakiku. Kemudian aku mendengar suara dari
belakang yang berbunyi : "Ketahuilah, wahai Abu Mas'ud," aku tidak
memahami suara itu karena larut dalam emosi. Tatkala orang itu mendekat,
ternyata adalah Rasulullah. Beliau berkata : "Ketahuilah, wahai Abu
Mas'ud. Sesungguhnya Allah lebih kuasa menghukummu daripada dirimu
terhadap budak lelaki itu”. Ia kemudian berkata : "Setelah itu, aku
tidak pernah memukul seorang budak pun". Dalam riwayat lain : "Cambukku
terjatuh dari tanganku karena kewibawaan beliau".[8]
EFEK NEGATIF KEKERASAN PADA ANAK DALAM RUMAH TANGGA
Orang tua yang sukses dalam mendidik anak harus menjauhi cara-cara
hukuman fisik. Impian setiap pasangan adalah, anak-anak mereka tumbuh
dan berkembang secara optimal, agar kelak menjadi manusia yang memiliki
kepribadian matang.
Kekerasan, disamping merupakan tindakan itu sia-sia, hal itu juga
berbahaya bagi pelaku dan obyeknya. Metode mendidik dengan tindakan
fisik, seperti menampar, mencubit atau memukul tidak efektif memberikan
penyadaran. Justru yang sangat mungkin akan menimbulkan luka batin,
trauma, serta mengganggu pertumbuhan kepribadian anak. Dia akan menjadi
pendiam dengan menyimpan kebencian karena karakternya sudah hancur oleh
penghinaan dan ejekan [9]. Atau sebaliknya, sang anak menjadi hiperaktif
atau dia justru mengalami depresi. Sangat mungkin pula terjadi, anak
menjadi dendam saat beranjak dewasa nanti atas perlakuan orang tuanya
yang menyakitkan.
Bahkan kemungkinan juga terjadi cacat fisik atau kematian. Pada saat
itulah akan muncul penyesalan, namun nasi sudah menjadi bubur.
Layak untuk direnungkan perkataan Ibnu Khaldun : “Barangsiapa yang pola
asuhannya dengan kekerasan dan otoriter, baik (ia) pelajar atau budak
ataupun pelayan, (maka) kekerasaan itu akan mendominasi jiwanya. Jiwanya
akan merasa sempit dalam menghadapinya. Ketekunannya akan sirna, dan
menyeretnya menuju kemalasan, dusta dan tindakan keji. Yakni menampilkan
diri dengan gambar yang berbeda dengan hatinya, lantaran takut ayunan
tangan yang akan mengasarinya”.[10]
Oleh karenanya, untuk menjadi perhatian kita, bahwa :
1. Berinteraksi dengan anak kecil harus dilandasi dengan sifat kasih
sayang dan cinta. Kekerasan hanya akan menimbulkan efek yang negatif
bagi anak.
2. Islam melindungi hak-hak anak-anak.
3. Setiap apa yang kita lakukan, termasuk kezhaliman, maka perbuatan seperti ini akan mendapat balasan.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
________
Footnote
[1]. Kaifa Nurabbi Auladana, hlm. 22.
[2]. Taisiru al Karimi ar Rahman, hlm. 868.
[3]. Pembicaraan tentang rahmat disarikan dari tulisan ar Rahimuna
Yarhamuhu ar Rahman, Syaikh Dr. Muhamammad bin Musa bin Nashr, Majalah
al Ashalah, edisi 21, Th. IV, Rabi’ul Akhir 1420H, secara ringkas,
Ithafu al Khiayarari al Maharati fi Ma’rifati Wasaili at Tarbiyah al
Muatstsirah, hlm. 6-61.
[4]. Shahih al Bukhari, kitab al Adab, 18, bab Rahmatu al Waladi wa
Taqbilihi wa Mu’anaqatihi; Muslim, kitab al Fadhail no (65).
[5]. HR Muslim no. 285.
[6]. HR Muslim no. 537.
[7]. Lihat Ushul at Tarbiyah al Islamiyyah, karya Abdur Rahman an Nahlawi, hlm. 137.
[8]. HR Muslim no. 3135.
[9]. Kaifa Nurabbi Waladaka, hlm. 92.
[10]. Al Muqaddimah, 540. Lihat pula Kaifa Nurabbi Waladaka, karya Laila bintu Abdir Rahman al Juraiba, hlm. 91.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar