Rabu, 10 Oktober 2012

Kategori Ahkam Bahaya Mencemooh Agama

Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.Diantara sifat orang beriman adalah mengagungkan Allah dan mengagungkan apa-apa yang diagungkan oleh Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati. [Al Hajj:32]

Namun di zaman ini, banyak orang meremehkan, merendahkan, dan memperolok-olok sesuatu yang berkaitan dengan agama. Hal ini merupakan perkara yang sangat berbahaya. Maka sepantasnya seseorang mengetahui bahaya istihza’ terhadap agama.

Istihza’, artinya: mengejek, memperolok-olok, atau mencemooh. Istihza’ terhadap Allah, ayat-ayatNya, RasulNya, agamaNya, dan istihza’ kepada orang-orang yang beriman, merupakan perilaku orang kafir, dan termasuk perkara yang menyebabkan murtad jika dilakukan oleh orang Islam.

ISTIZHA’ TERHADAP ALLAH
Allah berfirman.

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah:"Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?[At Taubah:65].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, bahwa semata-mata istihza’ terhadap Allah merupakan kekafiran, istihza’ terhadap Rasul merupakan kekafiran, dan istihza’ terhadap ayat-ayat Allah juga merupakan kekafiran. Istihza’ terhadap perkara-perkara di atas saling berkaitan.[1]

Sebab turunnya ayat ini, Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu berkata: Pada suatu hari, di satu majelis dalam perang Tabuk, seorang laki-laki berkata “Aku tidak pernah melihat semisal para qari’ (ahli Al Qur’an atau ahli agama) kita ini, lebih rakus perutnya, lebih dusta lidahnya, dan lebih penakut di saat pertempuran”. Lalu seorang laki-laki di majelis itu berkata: “Engkau dusta, tetapi engkau seorang munafik. Aku benar-benar akan memberitahukan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” Dan Al Qur’an turun.

Abdullah bin Umar berkata: “Maka aku melihat laki-laki itu bergantung pada kendali onta Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, batu-batu melukai kakinya, dan dia mengatakan: “Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Rasulullah, berkata: “Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?” [At Taubah:65] [2]

Istihza’ yang mereka lakukan di atas menyebabkan kemurtadan mereka, sebagaimana pada ayat berikutnya:

لاَ تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah keimanan kamu. [At Taubah:66].

Sebagian orang berpendapat, mereka itu semenjak awalnya adalah orang-orang munafik. Namun pendapat ini tidak kuat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Pendapat orang yang mengatakan tentang semisal ayat-ayat ini bahwa mereka telah kafir sesudah keimanan mereka dengan lidah mereka, sedangkan hati mereka kafir semenjak awal; pendapat ini tidak benar. Karena iman dengan lidah bersamaan dengan kekafiran hati, berarti kekafiran selalu menyertainya, sehingga tidak dikatakan: “kamu telah kafir sesudah keimanan kamu”, karena hakikatnya mereka terus sebagai orang kafir. Dan jika dimaksudkan “bahwa kamu menampakkan kekafiran setelah kamu menampakkan keimanan”, maka mereka itu tidaklah menampakkan kekafiran kepada semua manusia, kecuali kepada orang-orang dekat mereka. Mereka bersama orang-orang dekat mereka selalu begitu. Bahkan (yang benar), ketika mereka berbuat nifak dan takut akan diturunkan terhadap mereka surat yang menerangkan kemunafikan yang tersembunyi di dalam hati mereka, mereka(pun) berbicara dengan istihza’. Mereka menjadi orang-orang kafir setelah keimanan mereka. Lafazh itu tidak menunjukkan bahwa mereka munafik semenjak dahulu”.[3]

ISTIZHA’ TERHADAP AYAT
Ini merupakan perbuatan orang kafir yang akan mendapatkan siksa yang pedih! Allah berfirman:

وَيْلٌ لِّكُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ يَسْمَعُ ءَايَاتِ اللهِ تُتٍلَى عَلَيْهِ ثُمَّ يُصِرُّ مُسْتَكْبِرًا كَأَن لَّمْ يَسْمَعْهَا فَبِشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ وَإِذَا عَلِمَ مِنْ ءَايَاتِنَا شَيْئًا اتَّخَذَهَا هُزُوًا أُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Kecelakaan yang besarlah bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa, dia mendengar ayat-ayat Allah yang dibacakan kepadanya kemudian dia tetap menyombongkan diri seakan-akan dia tidak mendengarnya. Maka beri khabar gembiralah dia dengan adzab yang pedih. Dan apabila dia mengetahui barang sedikit tentang ayat-ayat Kami, maka ayat-ayat itu dijadikan olok-olok. Merekalah yang memperoleh adzab yang menghinakan. [Al Jatsiyah:7-9]

Allah Azza wa Jalla telah melarang umat Islam duduk bersama orang-orang kafir yang sedang memperolok-olok ayat-ayatNya. Allah berfirman.

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ إِنَّ اللهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا

Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam. [An Nisa’:140]

Oleh karena itu, barangsiapa mendengar orang-orang yang memperolok-olok ayat-ayat Alloh, sedangkan dia duduk bersama mereka dengan ridha, maka dia semisal mereka di dalam dosa, kekafiran, dan keluar dari Islam.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah ditanya tentang orang yang bersendau-gurau dengan sesuatu dari ayat-ayat Allah, beliau berkata: “Dia kafir”. Beliau berdalil dengan ayat 65 surat At Taubah yang telah kami sebutkan di atas. [4]

ISTIZHA’ TERHADAP RASUL
Demikian juga istihza’ terhadap Rasul, merupakan kebiasaan orang-orang kafir semenjak dahulu. Allah berfirman.

وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِّن قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِينَ سَخِرُوا مِنْهُم مَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِءُونَ

Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan diantara mereka balasan (adzab) olok-olokkan mereka. [Al An’am:10].

Adapun orang yang hatinya terdapat keimanan, tidak mungkin mencela dan memperolok-olok manusia pilihan Allah; manusia yang wajib dicintai, dihormati, dan diagungkan sesuai dengan kedudukannya yang agung di sisi Allah.

ISTIZHA’ AGAMA

وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمُُ لاَّ يَعْقِلُونَ

Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) shalat, mereka menjadikan buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. [Al Maidah:58].

Istihza’ terhadap agama juga merupakan kekafiran. Seperti istihza’ terhadap pahala dan siksa Allah, istihza’ terhadap shalat, istihza’ terhadap syari’at memelihara lihyah (jenggot dan jambang) bagi laki-laki, istihza’ terhadap larangan isbal (pakaian laki-laki menutupi mata kaki), dan lainnya.

ISTIZHA’ ORANG BERIMAN
Hai ini juga merupakan kebiasaan orang-orang kafir. Mereka akan mengetahui balasannya di hari kiamat kelak. Mereka biasa menertawakan orang-orang yang beriman di dunia, karena keimanan mereka, maka orang-orang beriman akan membalas menertawakan mereka. Allah berfirman.

إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُوا مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا يَضْحَكُونَ {29} وَإِذَا مَرُّوا بِهِمْ يَتَغَامَزُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. Apabila orang-orang beriman berlalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. [Al Muthaffifin:29-30]

BENTUK ISTIHZA’
Dilihat dari bentuknya, sebagian ulama membagi istihza’ terhadap agama menjadi dua bagian.

Pertama. Istihza’ Sharih (nyata, terang-terangan). Contohnya:
• Perkataan orang yang menjadi sebab turunnya ayat 65 surat At Taubah, yang mengatakan tentang Nabi dan para sahabat dengan perkataan: “Aku tidak pernah melihat semisal para qari’ (ahli Al Qur’an atau ahli agama) kita ini, lebih rakus perutnya, lebih dusta lidahnya, dan lebih penakut di saat pertempuran”.
• Mengejek agama dengan perkataan “agama kamu ini agama ke lima”.
• Mengejek agama dengan perkataan “agama kamu ini sudah usang (kuno)”.
• Ketika melihat orang beramar ma’ruf nahi munkar, mengatakan “datang ahli agama”, “datang orang ‘alim”, yang maksudnya untuk merendahkan dan menertawakan. Dan semacamnya.

Kedua. Istihza’ Ghairush Sharih (tidak nyata, tidak terang-terangan). Contohnya:
• Mengedipkan mata, menjulurkan lidah, mencibirkan bibir, mencubit dengan tangan, saat dibacakan Al Qur’an atau hadits Nabi atau ketika seseorang melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
• Mengatakan “agama Islam tidak pantas pada abad ini, hanya pantas untuk abad pertengahan, abad onta”.
• Mengatakan “agama Islam agama kemunduran, terbelakang”.
• Mengatakan “hukuman dalam agama Islam kejam, biadab, buas, dan semacamnya”.
• Mengatakan “agama Islam menzhalimi wanita, karena membolehkan poligami”.
• Perkataan “hukum buatan manusia lebih baik dari pada hukum Islam”.
• Terhadap orang yang mendakwahkan tauhid dan melarang syirik mengatakan “orang ini ekstrimis, fundamentalis”, atau “orang ini ingin memecah-belah umat Islam”, atau “orang ini Wahhabi”, dan semacamnya.
• Terhadap orang yang menyerukan Sunnah Nabi mengatakan “agama bukan pada rambut”, atau “agama bukan pada pakaian”, atau semacamnya. [5]

Sebagai penutup tulisan ini, kami sampaikan firman Allah yang memberitakan tentang balasan pedih terhadap orang-orang yang menjadikan ayat-ayat Allah sebagai ejekan. Allah berfirman.

وَقِيلَ الْيَوْمَ نَنسَاكُمْ كَمَا نَسِيتُمْ لِقَآءَ يَوْمِكُمْ هَذَا وَمَأْوَاكُمُ النَّارُ وَمَالَكُم مِّن َّناصِرِينَ , ذَلِكُم بِأَنَّكُمُ اتَّخَذْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ هُزُوًا وَغَرَّتْكُمُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَالْيَوْمَ لاَيُخُرَجُونَ مِنْهَا وَلاَهُمْ يُسْتَعْتَبُونَ ,

Dan dikatakan (kepada mereka):"Pada hari ini Kami melupakan kamu sebagaimana kamu telah melupakan pertemuan (dengan) harimu ini dan tempat kembalimu ialah neraka dan kamu sekali-kali tidak memperoleh penolong. Yang demikian itu, karena sesungguhnya kamu menjadikan ayat-ayat Allah sebagai olok-olokan dan kamu telah ditipu oleh kehidupan dunia, maka pada hari ini mereka tidak dikeluarkan dari neraka dan tidak pula mereka diberi kesempatan untuk bertaubat. [Al Jatsiyah:34-35].

Semoga Allah selalu membimbing kita di atas kebenaran.


_______
Footnote
[1]. Lihat Majmu’ Fatawa (15/48)
[2]. HR Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir Ath Thabari, dinukil dari Ash Shahihul Musnad Min Asbabiln Nuzul, hlm. 122-123, karya Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i
[3]. Al Iman, hlm. 259, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, takhrij Al Albani
[4]. Ash Sharimul Maslul, hlm. 513, dinukil dari Syarh Nawaqidhul Islam, hlm. 74, karya Syaikh Abu Usamah bin Ali Al ‘Awaji.
[5]. Lihat Majmu’atut Tauhid An Najdiyah, hlm. 409; Kitab At Tauhid, hlm. 43-44, karya Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, Penerbit Darul Qasim, Cet. 2, Th. 1421 H / 2000 M; At Tibyan Syarh Nawaqidhul Islam, hlm. 47, karya Syaikh Sulaiman bin Nashir bin Abdullah Al ‘Ulwan, Penerbit Darul Muslim, Cet. 6, Th: 1417 H / 1996 M.

Kategori Ahkam Melecehkan Agama Sebab Dan Solusi

Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.Para ulama telah sepakat bahwa pelecehan terhadap agama merupakan perbuatan kufur, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Dan pelecehan terhadap agama termasuk dalam “Nawaqidhul Islam” (pembatal keislaman) yaitu hal-hal yang dapat membatalkan keislaman seseorang.

Dari Ibnu Umar bahwa seseorang berkata pada peperangan Tabuk;“Kita tidak melihat seperti qari kita (yaitu Nabi dan para sahabat beliau) kecuali yang paling banyak makannya, acap kali berdusta serta paling penakut ketika berperang”. Berkata Auf bin Malik: “Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau munafik! Akan aku kabarkan hal ini kepada Rasulullah”. Kemudian Aufpun mengabarkannya kepada Rasulullah, kiranya Al-Quran telah mendahuluinya.

Kemudian datanglah laki-laki tersebut menemui Rasulullah langsung berangkat menunggang untanya sambil berkata:“Ya Rasulullah, kami hanya bermain dan bergurau dan bercengkrama seperti musafir menuntaskan perjalanan dengan bercengkrama dengan sahabatnya?!”.

Ibnu Umar berkata:“Seakan-akan masih terlihat olehku dia berpegangan pada tali unta Rasulullah sedangkan kerikil-kerikil tajam menusuk kakinya, sambil berkata:“Sesungguhnya kami bermain dan bergurau”, sedangkan Rasulullah menjawab:“Apakah dengan Allah, ayat dan RasulNya, kalian mengolok-olok?!”, dengan tidak menoleh kepadanya dan tidak menambah ucapan Beliau. [1]

Kemudian keluarlah vonis dari langit ketujuh bagaikan ketukan palu hakim terhadap pesakitan dari ulah dia sendiri.

لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

Tidak perlu kalian mengajukan uzur, kalian telah kufur setelah kalian beriman.[At-Taubah:65].

Tidak hanya yang berucap memperolehnya akan tetapi juga termasuk orang-orang yang ikut serta bersenda gurau dengannya menuai getahnya;

وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ

Sungguh mereka telah berucap kata-kata kufur, dan telah kufur setelah islam mereka. [At-Taubah:66]

SUNNAH ORANG-ORANG TERDAHULU
Sebenarnya istihza` (pelecehan) terhadap agama bukan hal yang baru, akan tetapi perbuatan kufur yang sudah berkarat diwariskan generasi ke generasi oleh umat terdahulu yang memperlakukan para rasul dan para pengikut mereka;

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي شِيَعِ الْأَوَّلِينَ(10)وَمَا يَأْتِيهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (beberapa rasul) sebelum kamu kepada umat-umat yang terdahulu. Dan tidak datang seorang rasulpun kepada mereka, melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya.[Al-Hijir:10-11]

Akan tetapi olok-olokan dari kaum hanya bersifat sementara, kemudian ditimpakan terhadap mereka bala dari perlakuan mereka tersebut;

وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِنْ قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِينَ سَخِرُوا مِنْهُمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُون
َ
Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan (`azab) olok-olokan mereka. [Al-An`am:10 dan Al-Anbiya:41]

Pelecehan atau olok-olokan tersebut diterangkan oleh Allah dalam berbagai bentuk;

• Kadang- kadang dengan melecehkan ayat-ayat Allah;

وَاتَّخَذُوا ءَايَاتِي وَمَا أُنْذِرُوا هُزُوًا

Dan mereka menganggap ayat-ayat Kami dan peringatan-peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokkan”. [Al-Kahfi:56]

• Terkadang melecehkan agama dan hukumnya;

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ(57)وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal”. [Al-Maidah:57-58]

• Dan tidak jarang melecehkan penganut agama yang baik dan pembawa kebenaran;

وَإِذَا رَآكَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَتَّخِذُونَكَ إِلَّا هُزُوًا أَهَذَا الَّذِي يَذْكُرُ ءَالِهَتَكُمْ وَهُمْ بِذِكْرِ الرَّحْمَنِ هُمْ كَافِرُونَ

Dan apabila orang-orang kafir itu melihat kamu, mereka hanya membuat kamu menjadi olok-olok. (Mereka mengatakan): "Apakah ini orang yang mencela tuhan-tuhanmu?", padahal mereka adalah orang-orang yang inkar mengingat Allah Yang Maha Pemurah”. [Al-Anbiya:36]

Sedangkan tuduhan yang diucapkan kepada para rasul dengan tuduhan gila, ini kaum Nuh telah menuduhnya dengan tuduhan tersebut, sebagaimana yang diceritakan Allah dalam KitabNya;

إِنْ هُوَ إِلَّا رَجُلٌ بِهِ جِنَّةٌ فَتَرَبَّصُوا بِهِ حَتَّى حِينٍ

Ia tidak lain hanyalah seorang laki-laki yang berpenyakit gila, maka tunggulah (sabarlah) terhadapnya sampai suatu waktu”. [Al-Mukminun:25]

Sedangkan perlakuan Firaun terhada Nabi Musa tidak jauh berbeda;

قَالَ إِنَّ رَسُولَكُمُ الَّذِي أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ لَمَجْنُونٌ

Fir`aun berkata: "Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar orang gila”. [As-Syu`ara`:27].

Begitu juga yang dilakukan oleh Kafir Quraisy terhadap Nabi kita yang mulia;

وَقَالُوا يَاأَيُّهَا الَّذِي نُزِّلَ عَلَيْهِ الذِّكْرُ إِنَّكَ لَمَجْنُونٌ

Mereka berkata: "Hai orang yang diturunkan Al Qur'an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila”. [Al-Hijir:6]

وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ

Dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?”. [As-Shaffat:36]

ثُمَّ تَوَلَّوْا عَنْهُ وَقَالُوا مُعَلَّمٌ مَجْنُونٌ

Kemudian mereka berpaling daripadanya dan berkata: "Dia adalah seorang yang menerima ajaran (dari orang lain) lagi pula seorang yang gila. [Ad-Dukhan:14]

Dengan mengamati yang terjadi kenyataan dewasa ini, bahwa sebab-sebab terjadinya pelecehan agama termasuk permasalahan yang pelik, benangnya telah kusut yang sulit direntangkan, tidak dapat hanya menjabarkannya dengan satu sebab atau dua. Permasalahan yang saling berkaitan satu sama lain begitu juga pengaruhnya yang berbeda-beda pada sebuah tempat dengan tempat lain. Akan tetapi dapat kita ringkas dengan sebab-sebab berikut ini;

1. Memperturutkan Hawa Nafsu
Seringkali kita dapatkan orang yang melecehkan agama karena memperturutkan hawa nafsu semata, baik hal itu karena merasa senang dan ada perasaan puas dengan mengolok-olok agama beserta pemeluknya, bentuk ini dapat dikatagorikan dalam syahwat, ada juga karena kesalahan dalam memahami agama yang benar atau kesalahan persepsi sehingga terjadi tindak pelecehan, dan bentuk ini masuk dalam kategori syubhat.

Akan tetapi “memperturutkan hawa nafsu dalam perkara keagamaan lebih besar (dosanya) dari orang yang memperturutkan hawa nafsunya dalam syahwat, keadaan orang pertama sama dengan hal orang-orang kafir dari ahli kitab…Oleh karenanya semua orang yang keluar dari garis Kitab dan Sunnah dari kalangan ulama dan ahli ibadah dimasukkan ke dalam kategori Ahli Ahwa (Pengikut Hawa Nafsu)”.[2]

Allah telah menerangkan bahwa asal tersesatnya orang yang sesat karena mengikuti hawa dan prasangka serta berpaling dari wahyu dan ilmu;

إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَءَابَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ

Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (mengibadati)Nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka”. [An-Najm;23]

فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. [Qashash:50]

بَلِ اتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَهْوَاءَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَمَنْ يَهْدِي مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun. [Rum: 29]

Ketika bahaya memperturutkan hawa nafsu sedemikian rupa, bahwa dia adalah kunci kerusakan dan kejahatan serta kesesatan, Allah memerintahkan kita untuk mawas diri agar tidak meniti jalan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan Dia menerangkan bahwa orang yang memperturutkan hawa nafsunya Allah akan cabut baginya pertolongan dan bantuanNya dan dia menjadi orang yang zhalim.

وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ

Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim. [Al-Baqarah:145]

وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَمَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا وَاقٍ

Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah. [Ar-Ra`ad:37]

Oleh karenanya pelaku pelecehan agama kebanyakan dari orang-orang yang mengikuti hawa nafsu, kalau tidak kita katakan semuanya, berkata Imam Syathibi : Para pengikut hawa nafsu, jika hawa nafsu mereka telah mencengkram mereka, mereka tidak peduli dengan apapun dan tidak pernah mempertimbangkan sesuatu yang menyelisihi pendapat mereka, tidak pula mencoba berpikir ulang seperti orang-orang yang menyalahkan pendapatnya sendiri (sebelum menyalahkan pendapat orang lain-pen) dan orang yang berhenti pada permasalahan yang pelik. Sedangkan sebagian yang memperturutkan hawa nafsu tidak pernah mengambil pusing terhadap celaan orang yang mencelanya, dan ada sekolompok lagi bergabung bersama mereka yang telah meresap hawa nafsu di hati mereka sehingga dia tidak peduli dengan selain yang dia pikirkan. [3]

2.Kosongnya Hati Dari Kecintaan Terhadap Allah
Allah ciptakan hati tidak dapat memuat dua sifat yang bertentangan dalam satu waktu. Iman dengan maksiat, cinta dengan kebencian serta begitu seterusnya, Allah berfirman.

مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ

Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya. [Al-Ahzab:4].

Oleh karenanya Allah menafikan keimanan tatkala seseorang melakukan zina, pencurian dan menenggak minuman keras.

Begitu juga terhadap orang yang melecehkan agama, ketika tidak ada perasaan cinta terhadap Allah, maka diisilah oleh kebencian terhadap agamaNya sehingga melahirkan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan penyerahan diri kepadaNya, diantaranya; melecehkan dan mengolok-olok agama.

Syaikhul Islam Ibnu Taymiah berkata : Orang-orang yang sesat melecehkan permasalahan tauhid kepada Allah dan mengagungkan orang yang meminta kepada orang yang telah mati, jika diperintahkan untuk bertauhid dan dilarang untuk berbuat syirik mereka melecehkannya, sebagaimana yang disebut Allah.

وَإِذَا رَأَوْكَ إِنْ يَتَّخِذُونَكَ إِلَّا هُزُوًا

Dan apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai ejekan. [Al-Furqan:41].

Merekapun melecehkan Rasul tatkala beliau melarang mereka dari syirik, begitulah kaum musyrikin mencela para Nabi dan mensifati mereka dengan kebodohan, sesat dan gila setiap kali mereka mengajak kepada tauhid, karena pada diri mereka adanya syirik yang besar”. [4]

3. Teman Yang Fasiq
Pengaruh teman tidak dapat diragukan lagi dapat mempengaruhi seseorang dalam bersikap, ketika seseorang berteman dengan orang-orang yang tidak mengenal agama, mereka akan mengolok-olok orang yang berpegang teguh dalam mempertahankan prinsip agamanya, terutama ketika mereka bersama-sama .

Begitulah yang terjadi pada orang-orang munafik pada zaman Rasulullah “mereka jika telah bersama dengan syaithan-syaithan mereka mulailah mereka memperolok-olokan Allah, ayat dan rasulNya serta kaum mukminin”. [5]

وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ ءَامَنُوا قَالُوا ءَامَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ

Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman." Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok. [Al-Baqarah:14]

4. Tidak Memahami Bahaya Lisan
Pepatah kita mengatakan “Lidahmu harimaumu”, yang lebih baik dari pepatah itu sabda Rasulullah kepada Mu`az.

ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ، وَ هَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتُهُمْ

Celaka engkau, apakah manusia terjerembab muka mereka atau hidung mereka ke dalam neraka, kecuali karena apa yang dituai oleh lidah mereka?!!”.[6]

“Zhahir hadits Mu`az menunjukkan bahwa kebanyakan manusia masuk neraka adalah karena berbicara dengan lisan mereka, karena maksiat percakapan masuk di dalamnya syirik dan dia adalah dosa terbesar di sisi Allah, begitu juga termasuk berkata atas nama Allah tanpa ilmu, dan dia adalah teman syirik serta masuk juga persaksian palsu yang menyamai dengan syirik kepada Allah, dan masuk ke dalamnya sihir, qazaf (menuduh seseorang berzina-pen) dan yang lainnya dari dosa-besar maupun dosa kecil, seperti; dusta, namimah dan semua maksiat perbuatan tidak lepas dari ucapan yang menemaninya”. [7]

Saya berkata; “Dan diantara dosa yang banya dituai oleh lisan pada zaman sekarang adalah melecehkan agama, sunnah Rasulullah dan pemeluknya”.

5. Kebodohan Terhadap Agama Allah
Kebodohan serta jauh dari pengajaran Islam mempunyai peran penting dalam meluasnya pelecehan terhadap agama sendiri. Seseorang mengatakan.

مَنْ جَهِل شَيْئاً عَادَاهُ

Barang siapa yang tiak mengenal tentang sesuatu, dia akan memusuhinya.

Jika seandainya pelaku pelecehan mengetahui kepada siapa sebenarnya dia telah berbuat kesalahan, niscaya dia akan berhenti, jika mengetahui besarnya dosa orang yang melecehkan agamanya, niscaya dia akan berpikir panjang untuk mengucapkannya.

6. Lemahnya Ahli Iman Dalam Amar Makruf Dan Nahi Munkar
Inilah akibatnya jika seorang muslim mengidap penyakit ‘Inhizamiah’ yaitu minder dengan aqidah yang meresap ke dalam hatinya, pengagungan terhadap Allah yang memenuhi dirinya.

Jika setiap muslim mempunyai mental ‘tempe’ dan memiliki sifat’kerupuk’, belum apa-apa sudah penyek, atau baru sedikit saja disentuh sudah rapuh, maka akan leluasa pelaku kebejatan melakukan apa yang dikehendaki oleh hawanya, dan akan terjadi kerusakan yang besar.
Allah berfirman.

وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ

Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar”. [Al-Anfal:73]

7. Pengaruh Media Massa
Tidak ada seorangpun meragukan pengaruh media massa dalam merusak citra Islam dan pemeluknya, bahkan media massa menjadi ujung tombak musuh-musuh Islam dalam merusak umat Islam terutama generasi mudanya yang dikenal dalam dunia Islam dengan “Ghazwul Fikri” yaitu perang urat syaraf. Sangat disayangkan sebagian kaum muslimin tidak mempunyai filter yang baik dalam menyaring berita, sehingga terbetuntuklah opini tentang dunia Islam sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh musuh-musuh Islam.

Contoh dalam hal ini sangatlah banyak, baik dalam bentuk karikatur, sampul film, sinetron, stiker dan semacamnya.

8. Usaha Orang Kuffar Merusak Citra Islam.
Sunnatullah telah berlaku terhadap hambanya dengan memberi cobaan tehadap Rasul, para juru dakwah. Menguji mereka untuk melihat siapa yang dapat memenuhi panggilan dan siapa yang berpaling, dan menguji mereka siapa yang bersabar dari yang tidak sabar.

Ketika kita bentangkan dakwah para rasul, kita temukan bahwa mereka mendapatkan berbagai macam bentuk cobaan, dakwah mereka dihadang oleh berbagai macam persekongkolan dari orang-orang kafir kepada Allah dan rasulNya yang merasa takut kehilangan kemashlahatan, Allah berfirman;

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai”. [At-Taubah:32]

Islam telah menyaksikan sendiri sejarahnya, bagaimana persekongkolan orang kafir terhadap Islam semenjak hari-hari pertama diutusnya Rasul, merekapun berjanji dan berbaiat, dan apa yang terjadi pada peperangan Ahzab (sekutu) kecuali merupakan satu bentuk dari beberapa bentuk persekongkolan tersebut.

Bukanlah permasalahan sebatas penginjilan yang menginginkan kaum muslimin mendapat petunjuk masuk ke dalam agama Nashrani atau rasa cemas mereka nantinya kaum muslimin tidak mendapatkan kenikmatan akhirat -sebagaimana yang digambarkan oleh mereka-, akan tetapi tujuan mereka adalah menghalang risalah Allah sampai kepada manusia,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً ثُمَّ يُغْلَبُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan”. [Al-Anfal:32].

Dalam menyebutkan sasaran-sasaran yang dituju oleh kaum missionoris, penjajah Salibis dan Orentalis dalam memerangi orang-orang muslim, Al Ustadz Abdurrahman Al Maidani berkata:"...Sasaran Ketiga: Mereka merusak Islam dengan menggambarkan Islam sebagai agama yang menyeramkan. Lingkup sasarannya adalah hukum, rukun dan syariat Islam dengan mengolok-olok dan pelecehan. Juga menggambarkan dan menjuluki orang yang berpegang teguh dengan Islam dengan sebutan kuno, fundamentalis, fanatik, jumud serta ucapan-ucapan sejenis. Tujuannnya untuk melemahkan semangat orang Islam dalam berpegang teguh terhaap Islam . kemudian, mereka diharapkan membelot dari Islam untuk sesuatu kepentingan, terakhir mereka merendahkan dan mencela ulama yang berpegang teguh dengan Al-Quran, mendorong dan menyusahkan mereka dalam mata pencaharian agar orang-orang lari dari ajaran Islam. Lalu, menjadikan orang-orang yang bodoh dan sesat sebagai fokus berita. Tujuannya untuk memberikan atau menghasilkan gambaran yang jelek terhadap praktek ajaran Islam, juga untuk mengaburkan Islam itu sendiri”. [8]

Dan persekongkolan ini kelihatan jelas dalam dua bentuk : Al-Ghazwul Fikri (perang urat syaraf), Peperangan dengan senjata. [9]

Dewasa ini -sebagai contoh- bagaimana Barat berhasil menanamkan ke dalam pemikiran kaum muslimin, bahwa sosok orang yang multazim (berpegang teguh dengan agamanya) dengan jenggot dan pakaian sebatas mata kaki sebagai momok yang sangat menakutkan bagi kaum muslimin sendiri, dia tidak lagi bebas bergerak, terasing dalam keramaian umatnya, sebab semua mata memandangnya dengan pandangan penuh kecurigaan, karena menurut mereka itulah gambaran sosok teroris yang beringas, tidak mempunyai rasa kasih terhadap sesama.

SOLUSI DAN ALTERNATIF
Mengamati nash-nash syariat melalui pemahaman ulama yang telah mengupas tuntas tentang hakikat pelecehan agama, berdasarkan kajian terhadap kenyataan keadaan Salaf rahimahullah dalam menanggulangi dan mencari jalan keluar dari problema ini, dapat kita ringkas melalui dua jalan.

• Merubah sikap dan mental pelaku pelecehan itu sendiri.
• Mengukuhkan kembali pencegahan dari hal-hal yang punya hubungan dengan pelaku dari masyarakat, lingkungan, para juru dakwah dan orang yang merasa dirinya terpanggil untuk menjaga agamanya agar tidak dilecehkan.

Pertama : Solusi Internal Pelaku Pelecehan Agama
Maksudnya hendaknya pelaku pelecehan merasakan bahaya perbuatannya yang dapat merugikan dunia dan akhiratnya dengan siraman rohani sehingga kesadaran itu datang dengan sendirinya , ini dikenal dalam istilah syariat dengan “ Wazi` Diniy”.

Pengaruh sarana pendidikan yang Islami serta media massa Islam mempunyai peranan penting, sehingga mereka dapat meletakkan kedudukan Allah sesuai dengan keagunganNya begitu juga mengenal kehormatan agama yang hanif ini.

Ini seruan terhadap orang yang jatuh ke dalam jeratan syaithan sehingga dia jatuh ke dalam pelecehan terhadap agamanya sendiri;

Sudah waktunya anda belajar dan bersimpuh mengkaji Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, jika anda berpaling maka kehidupan sempit akan menimpa anda di dunia sebelum akhirat, syaithanpun menjadi penunjuk jalan anda menuju neraka.

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". [Thaha:124]

وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ

Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Yang Maha Pemurah (Al Qur'an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya”.[Az-Zukhruf:36]

Sudah saatnya anda memenuhi hati anda dengan kecintaan kepada Allah dan Rasulnya, sehingga tidak ada yang anda cinta kecuali Dia dan mencintai sesuatu yang dapat mendekatkan kepadanya, sebaliknya membenci semua yang dibenci olehNya.

Adalah Abu Bakar pernah mengucapkan dengan suara lantang keluar dari kalbu yang dipenuhi kecintaan kepada Allah dan RasulNya ketika mendengar agamanya dilecehkan.

أَيَنْقُصُ الدِّيْنُ وَ أَنَا حَيٌّ؟!

Apakah agama akan berkurang, sedangkan aku masih hidup?!

Hendaknya mereka menjaga lidah mereka, karena berapa banyak orang jatuh ke dalam neraka selama 70 musim karena sepotong kalimat yang dia ucapkan! Abdullah bin Masud bersumpah dengan nama Allah; “Tidak ada di atas permukaan bumi ini yang harus lama dipenjara kecuali lisan”. [10]

Kedua: Solusi Ektsternal
Yang dimaksud dengan hal ini adalah komponen penting dari kalangan mushlihin (yang menghendaki perbaikan) dalam masyarakat, dan mereka terbagi tiga kelompok.

• Penguasa; Nabi mengatakan: “Bahwa Allah menangkal (kejahatan) dengan sultan (kekuasaan) yang tidak dapat ditangkal oleh Al-Quran”. Dengan menggunakan kekuasaan yang telah diamanahkan Allah kepadanya untuk memberi hukuman yang setimpal bagi pelaku pelecehan, mencekal dan membredel buku atau makalah yang melecehkan Islam dan sebagainya.
• Juru Dakwah dan kalangan intelektual; Dengan menanamkan rasa hormat kepada agama dan pemeluknya, membantah tulisan atau ceramah yang dapat merusak citra Islam serta mentahzir orang-orang yang telah melecehkan agama.
• Masyarakat Muslim; Dengan mengambil tangan pelaku dan menasehatinya atau mengadukan kepada yang berwenang.

Dan ini kelihatan jelas pada masa Rasulullah, apa yang dilakukan oleh Auf bin Malik Radhiyallahu 'anhu, ketika dia berbalik membalas dengan kata yang cukup pedas sambil mengadukan langsung kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Maka sudah saatnya para muslihin mengangkat kepala mereka, dan tidak membiarkan keindahan Islam dikotori oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Wallahu a`lam.


_______
Footnote
[1]. HR Ibnu Jarir (10/119) dengan sanad hasan.
[2]. Al Istiqamah, Ibnu Taimiyah, 2/223-225.
[3]. Al I’tisham, Sathibi (2/781).
[4]. Majmu’ Fatawa (15/48)
[5]. Taisirul ‘Azizil Hamid, Sulaiman bin Abdul Wahab, hlm. 468
[6]. HR Ahmad (5/230, 236), Tirmidzi (2616) dan yang lainnya dengan sanad shahih.
[7]. Jami‘ Ulum Wal Hikam, Ibnu Rajab (2/147).
[8]. Ajnibatul Makris Tsalats, hlm.191-192.
[9]. Musykilatul Ghuluw Fiddin, Dr. Abdurrahman Al Luwaihiq, (2/642-652).
10) Hilyatul Auliya‘, Abu Nu‘aim (1/134).

Kategori Ahkam Nasikh Dan Mansukh

Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.Naskh secara bahasa artinya: menghilangkan; menghapuskan; memindahkan; menulis. Adapun secara istilah, maka ada dua macam:

Pertama. Naskh menurut istilah para ulama ushul fiqih Muta-akhirin. Mereka memiliki ta’rif yang berbeda-beda.

Al-Baidhowi rahimahullah (wafat th 685 H) mendefinisikan dengan : “Naskh adalah penjelasan berhentinya hukum syari’at dengan jalan syar’i yang datang setelahnya”. [1]

Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 620 H) menyebutkan definisi naskh dengan menyatakan: “Menghilangkan hukum yang ada dengan perkataan (dalil) yang dahulu, dengan perkataan yang datang setelahnya”. [2]

Di antara ta’rif yang ringkas dan mencakup adalah yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, yaitu: “menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah”. [3]

Kedua : Naskh menurut istilah Salafush Sholih Mutaqoddimin. Istilah naskh yang ada pada mereka lebih luas daripada definisi para ulama ushul Mutaakhirin.

Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu berkata: “Yang memberi fatwa kepada manusia hanyalah tiga orang: Orang yang mengetahui yang mansukh dari Al-Qur’an; atau amir (pemimpin) yang harus (berfatwa); atau orang dungu yang memaksakan diri”. [4]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengomentari perkataan di atas: “Yang dimaksudkan oleh beliau (Hudzaifah) dan yang dimaksudkan oleh kebanyakan Salaf dengan (istilah) naasikh dan mansukh terkadang adalah: menghapuskan hukum sekaligus, dan ini merupakan istilah muta-akhirin, dan terkadang adalah: menghapus penunjukkan dalil ‘am, [5] mutlaq, [6] zhahir, [7] dan lainnya, kemungkinan dengan takhshish (pengkhususan), taqyiid (penentuan), atau membawa yang muthlaq kepada muqayyad (yang ditentukan), dan tafsir (penjelasan) serta tanbiih (mengingatkan). Sehingga mereka (Salaf) menamakan istitsna’ (pengecualian), syarath, dan sifat dengan naskh, karena hal itu menghapus penunjukkan zhahir dan menjelaskan yang dimaksudkan. Maka naskh, menurut mereka (Salaf) dan bahasa mereka adalah: menjelaskan yang dimaksudkan dengan bukan lafazh itu, tetapi dengan perkara yang di luarnya. Barangsiapa memperhatikan perkataan mereka, akan melihat padanya dari hal itu apa-apa yang tidak dapat dihitung, dan dengan sebab itu akan hilang darinya kesulitan-kesulitan yang diakibatkan karena membawa perkataan mereka pada istilah baru yang akhir”. [8]

Nasikh artinya : yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah yang menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakekatnya naasikh (yang menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla.

Mansukh artinya : yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau lafazhnya yang dihapuskan.

PENUNJUKKAN ADANYA NASKH DALAM SYARI’AT
Perlu diketahui bahwa adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh (dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil akal, dan ijma’.

Dalil Naql
Firman Allah Azza wa Jalla.

مَا نَنسَخْ مِنْ ءَايَةٍ

Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)... [Al Baqarah:106]

Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana penafsiran Salafush Sholih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir [Lihat Taffsir Ibnu Katsir, surat Al-Baqarah: 106]

Adapun manafsirkan kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan “mu’jizat”, sebagaimana dalam Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A.Hassan rahimahullah, maka kami khawatir itu merupakan tafsir bid’ah. Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan ijma’ ahli tafsir sebagaimana di atas. Wallohu a’lam.

Firman Allah Azza wa Jalla.

وَإِذَا بَدَّلْنَآ ءَايَةً مَّكَانَ ءَايَةٍ

Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain. [An Nahl:101]

Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Alloh jadikan pengganti adalah naasikh, ayat yangdigantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Alloh. Lebih luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.

Dalil Akal.
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Naskh boleh terjadi menurut akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal, karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan) miliknya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Maalik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hambanya apa yang dituntut oleh hikmahNya dan rahmatNya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki? Kemudian bahwa kandungan hikmah Allah dan rahmatNya terhadap hamba-hambaNya adalah Dia mensyari’atkan untuk mereka apa-apa yang Allah mengetahui bahwa padanya terdapat mashlahat-mashlahat agama dan dunia mereka. Sedangkan mashlahat-mashlahat berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan zaman. Terkadang suatu hukum lebih mashlahat bagi para hamba pada satu waktu atau satu keadaan. Dan terkadang hukum lainnya pada waktu dan keadaan yang lain lebih mashlahat. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. [Ushul Fiqih, hal: 45, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin]

Dalil Ijma’.
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Al-Baji rahimahullah berkata: “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at menurut akal dan syara’”. [9]

Al-Kamal Ibnul Humam rahimahullah berkata: “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara syari’at)”. [10]

Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwa tiga bentuk ini (yaitu naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an; naskh Sunnah Mutawatir dengan Sunnah Mutawatir; dan naskh Sunnah Ahad dengan Ahad) tidak ada perselisihan padanya di antara ulama yang dipercaya, sebagaimana banyak ulama telah menukilkan adanya ijma’ padanya. Maka penyelisihan orang yang menyelisihi dalam hal ini tidak dihitung dan tidak ada dalil untuknya”. [hal: 148]

Dr. Ali berkata: “Mereka (para ulama) mengatakan: Sesungguhnya para sahabat Radhiyallahu 'anhum dan seluruh Salaf telah ijma’ (sepakat) bahwa syari’at Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menghapus seluruh syari’at yang telah lalu. Sebagaimana mereka juga telah ijma’ bahwa naskh telah terjadi pada banyak hukum-hukum syari’at Islam. Dan terjadinya hal itu cukup sebagai dalil untuk menetapkan bolehnya/mungkinnya (naskh menurut akal-red)”. [Araul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 425, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi]

Syaikh Tsanaulloh Az-Zahidi berkata: “Ahli fiqih dan ushul telah sepakat atas kebolehan/kemungkinan adanya naskh menurut akal, dan atas terjadinya menurut syara’. Kecuali apa yang dinukilkan dari Abu Muslim Muhammad bin Bahr Al-Ashfahani seorang Mu’tazilah yang mati tahun 322 H”. [11]

MACAM-MACAM NASKH
Pertama : Macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga bagian: [12]

1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap.
Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap.

Hikmah naskh jenis ini adalah: tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan dimudahkan.

Contohnya firman Allah Azza wa Jalla.

يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَّكُن مِّنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَفْقَهُونَ

Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. [Al Anfal :65]

Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200 orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1000 orang-orang kafir.

Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.

الْئَانَ خَفَّفَ اللهُ عَنكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا فَإِن يَكُن مِّنكُم مِّائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ وَإِن يَكُنْ مِّنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ

Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. [Al Anfal :66]

Abdullah bin Abbas berkata:

لَمَّا نَزَلَتْ ( إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ) شَقَّ ذَلِكَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ حِينَ فُرِضَ عَلَيْهِمْ أَنْ لَا يَفِرَّ وَاحِدٌ مِنْ عَشَرَةٍ فَجَاءَ التَّخْفِيفُ فَقَالَ ( الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضُعْفًا فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ) قَالَ فَلَمَّا خَفَّفَ اللَّهُ عَنْهُمْ مِنَ الْعِدَّةِ نَقَصَ مِنَ الصَّبْرِ بِقَدْرِ مَا خُفِّفَ عَنْهُمْ

Ketika turun (firman Allah): “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh” (Al-Anfal: 65), hal itu berat atas umat Islam, yaitu ketika diwajibkan atas mereka, bahwa satu orang tidak boleh lari menghadapi 10 (musuh). Kemudian datanglah keringanan, Allah berfirman: “Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.” (Al-Anfal: 66) Ketika Allah telah meringankan dari mereka jumlah (musuh yang wajib dihadapi-red), kesabaranpun berkurang seukuran apa yang Allah telah meringankan dari mereka”. [HR. Bukhari, no: 4653]

Inilah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan mansukhnya hukum dalam ayat 65 surat Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu Abbas, juga diriwayatkan dari Mujahid, Atho’, ‘Ikrimah, Al-Hasan Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho Al-Khurosani, Adh-Dhohhak, dan lainnya. [13] Orang yang menolak adanya mansukh dalam Al-Qur’an telah menyelisihi penafsiran mereka.

2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap.
Al-Aamidi rahimahullah menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Mu’tazilah. [14]

Hikmah naskh jenis ini adalah: agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihissallam bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Isma’il, dengan sumber mimpi, sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi. Wallahu a’lam. [15]

Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata: “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda dengan orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi nash rajm di dalam Taurat”. [16]

Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajm [17] Umar bin Al-Khathab berkata:

لَقَدْ خَشِيتُ أَنْ يَطُولَ بِالنَّاسِ زَمَانٌ حَتَّى يَقُولَ قَائِلٌ لَا نَجِدُ الرَّجْمَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَيَضِلُّوا بِتَرْكِ فَرِيضَةٍ أَنْزَلَهَا اللَّهُ أَلَا وَإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَى وَقَدْ أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَلُ أَوِ الِاعْتِرَافُ قَالَ سُفْيَانُ كَذَا حَفِظْتُ أَلَا وَقَدْ رَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ

Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan berkata: “Kita tidak mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah, sesungguhnya rajm adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan”. Sufyan berkata: “Demikianalh yang aku ingat”. “Ingatlah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melakukan rajm, dan kita telah melakukan rajm setelah beliau”. [HR. Bukhari, no: 6829; Muslim, no: 1691; dan lainnya]

Adapun lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:

الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ نَكَالاً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Laki-laki yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. [Lihat Fathul Bari, 12/169, Darul Hadits, Kairo, cet: 1, th: 1419 H / 1998 M, syarh hadits no: 6829]

3. Nash Yang Mansukh Hukumnya Dan Lafazhnya.
Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata:

كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ

Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan”, kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima kali penyusuan yang diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no: 1452]

Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:
• Yaitu : Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.
• Atau : Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya. [18]

Kedua : Macam-macam naskh dilihat dari nash yang naasikh (menghapus) –secara ringkas- ada empat bagian:

1. Al-Qur’an Dimansukh Dengan Al-Qur’an.
Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama’, adapun orang yang beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya tidak dianggap. [19]

Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal, sebagaimana telah kami sampaikan di atas. Contoh lain: firman Allah Azza wa Jalla.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرُُ لَّكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Mujadilah :12]

Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan kewajiban tersebut. Lihat hal ini dalam Tafsir Ibnu Katsir. Allah Azza wa Jalla firmanNya:

ءَأَشْفَقْتُمْ أَن تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَاللهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al Mujadilah:13]

2. Al-Qur’an Dimansukh Dengan As-Sunnah.
Pada jenis ini ada dua bagian:

a). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir.
Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau menyatakan: “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…”. Namun Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya”. [20]

b). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad.
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih –wallohu a’lam- hal ini ada dan terjadi. Contohnya:

Firman Allah Azza wa Jalla.

قُل لآ أَجِدُ فِي مَآ أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَّكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ

Katakanlah:"Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang disembelih atas nama selain Allah. [Al An’am :145]

Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan -di saat ayat ini diturunkan- hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, di saat itu, daging keledai jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk surat Al-An’am, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijroh, dengan kesepakatan ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah itu di Khoibar.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتِ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُكِلَتِ الْحُمُرُ ثُمَّ جَاءَهُ جَاءٍ فَقَالَ أُفْنِيَتِ الْحُمُرُ فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى فِي النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ فَأُكْفِئَتِ الْقُدُورُ وَإِنَّهَا لَتَفُورُ بِاللَّحْمِ

Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam didatangi oleh seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian beliau memerintahkan seorang penyeru, lalu dia menyeru di kalangan orang banyak: “Sesungguhnya Alloh dan RasulNya melarang kamu dari daging keledai jinak, sesungguhnya ia kotor/najis”. Maka periuk-periuk dibalikkan, sedangkan periuk-periuk itu mendidih (berisi) daging (keledai jinak). [21]

Antara ayat di atas dengan hadits yang mengharamkan daging keledai jinak tidak bertentangan, karena waktu keduanya berbeda. Di saat ayat di atas turun, daging keledai jinak halal, karena yang diharamkan hanyalah empat jenis makanan. Kemudian setelah itu datang pengharaman daging keledai jinak. [Mudzakiroh, hal: 153-155]

3. As-Sunnah Dimansukh Dengan Al-Qur’an.
Contoh jenis ini adalah: syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskannya dengan firman Allah Azza wa Jalla.

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. [Al Baqarah :144]

4. As-Sunnah Dimansukh Dengan As-Sunnah.
Contoh: Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا

Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur). [HR. Muslim, no: 977]

Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh (ayat yang menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat yang dihapus) hukumnya atau lafazhnya.

Demikian, semoga bermanfaat


_______
Footnote
[1]. Lihat: Al-Minhaj Bi Syarhil Ibhaaj 2/247; dinukil dari Araul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 412-413, Syeikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi
[2]. Idem, hal: 413
[3]. Ushulul Fiqh, hal: 45, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
[4]. [I’lamul Muwaqqi’in 1/36, Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 M
[5]. ‘Am adalah: lafazh yang meliputi seluruh apa yang pantas baginya sekaligus dan sesuai dengan bentuknya dengan tanpa pembatasan”. Lihat: Taisirul Ushul, hal: 95, Syaikh Hafizh Tsanaullah Az-Zahidi, cet: 1, th: 1410 H
[6]. Muthlaq adalah: lafazh yang mengenai satu yang tidak tertentu dalam kedudukan hakekat yang mencakup terhadap jenisnya. Lihat: Taisirul Ushul, hal: 90
[7]. Zhahir adalah: lafazh yang mengandung dua makna atau lebih, namun lebih nampak pada salah satunya, mungkin dari sisi syara’ atau bahasa atau ‘urf (kebiasaan). Lihat: Taisirul Ushul, hal: 32
[8]. Idem
[9]. Ihkamul Fushul, hal: 391, dinukil dari 421
[10]. At-Tahrir bi Syarhit Taisir 3/181, dinukil dari Aroul Mu’tazilah Al-Ushuliyyah, hal: 421, karya Syaikh Dr. Ali bin Sa’id bin Shalih Adh-Dhuweihi
[11]. Taisirul Ushul, hal: 216
[12]. Lihat: Mudzakirah Ushulul Fiqh ‘Ala Raudhatun Nazhir, hal: 127, karya Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi, tahqiq: Abu Hafsh Sami Al-‘Arabi, Darul Yaqin,; Ushulul Fiqh, hal: 47-48, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin; Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 170-173, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan; Taisirul Ushul, hal: 214-216, Syeikh Hafizh Tsanaullah Az-Zahidi, cet: 1, th: 1410 H
[13]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Anfal 65-66
[14]. Al-Ihkaam 3/154, karya Al-Amidi ; dinukil dari Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 170, karya Syeikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[15]. Lihat: Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 171, karya Syeikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[16]. Ushul Fiqh, hal: 48, karya Syeikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin
[17]. Yaitu had (hukuman) bagi pezina yang sudah menikah dengan dilempari batu sampai mati
[18]. Lihat: Syarh Al-Waraqat Fii Ushulil Fiqh, hal: 170, karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan
[19]. Lihat: Mudzakirah ‘Ala Ushul Fiqh, hal: 148, karya Syeikh Muhammad Al-Amin Syinqithi
[20]. Mudzakiroh Ushul Fiqih, hal: 150
[21]. HR. Bukhari, no: 5528; Muslim, no: 1940 (35)

Kategori Ahkam Islam Dan Aborsi Satu Tinjaun Hukum Fikih.

Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.ISLAM DAN ABORSI SATU TUJUAN HUKUM FIKIH [1]


Allah Azza wa Jalla dengan hikmah-Nya yang agung menjadikan keturunan sebagai satu tuntutan alami pada manusia. Keturunan ini ada akibat bertemunya sepasang suami istri dengan cara yang telah dianjurkan dan ditetapkan oleh syari’at. Lalu menjadikan anak dan keturunan yang disukai sebagai buah pernikahan dan dicintai setiap manusia yang masih lurus fitrahnya.

Begitu pentingnya keturunan dan nasabnya ini, sehingga Islam menjadikannya sebagai salah satu dari lima perkara penting dan pasti terjaga dalam Islam (adh-Dharuriyât al-Khamsu). Dari sini perhatian dan perlindungan janin termasuk perkara penting agama Islam dalam seluruh fase-fase pembentukannya. Apalagi di masa kiwari (masa kini) ini yang bermunculan beragam sarana yang mudah dan modern untuk menggugurkan kandungan. Banyaknya iklan dan slogan kebebasan berekspresi dalam semua sektor kehidupan membawa manusia melakukan perbuatan nista tanpa ada rasa malu dan takut kepada Allah Azza wa Jalla . Banyaknya orang hamil di luar nikah membuat mereka akhirnya mengambil aborsi sebagai salah satu solusi menghilangkan rasa malu pada masyarakat.

Hal ini menjadi semakin parah dengan adanya campur tangan tangan-tangan jahat musuh Islam yang ingin merusak tata kehidupan dan kualitas kaum Muslimin sekarang ini. Karena itulah, perlu sekali adanya pencerahan tentang permasalahan ini agar masyarakat lebih berhati-hati terhadap hak dan kemulian janin.

DEFINISI ABORSI ANTARA MEDIS DAN SYARI’AT.
Gugur kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus) dikenal dalam istilah para ulama Islam dengan al-Ijhâdh atau as-Saqthu. Ada juga yang menyebutnya al-Imlâsh atau al-Islâb.

Aborsi dalam istilah medis adalah berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin. Apabila janin lahir selamat (hidup) sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah kelahiran prematur.

Sedangkan dalam istilah syari’at, aborsi adalah kematian janin atau keguguran sebelum sempurna; walaupun janin belum mencapai usia enam bulan.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa aborsi secara syari’at tidak melihat kepada usia kandungan, namun melihat kepada kesempurnaan bentuk janin tersebut.

KLASIFIKASI ABORTUS.
Keguguran atau abortus (al-Ijhâdh) dapat diklasifikasikan dalam tiga jenis:

1. Al-Ijhâdh at-Tilqâ’i atau al-‘Afwi ( Abortus spontanea) yaitu proses alami yang dilakukan rahim untuk mengeluarkan janin yang tidak mungkin sempurna unsur-unsur kehidupan padanya. Bisa jadi ini terjadi dengan sebab kecacatan besar yang menimpanya karena akibat sakitnya sang ibu yang terkena penyakit beragam seperti diabetes atau lainnya.

2. Al-Ijhâdh al-‘Ilâji (Abortus Provokatus Medisinalis/Artificialis/Therapeuticus) adalah abortus (keguguran) yang sengaja dilakukan para medis (dokter) demi menyelamatkan nyawa ibu yang dalam keadaan sangat jarang bahwa kehamilannya dapat berlanjut dengan selamat.

3. Al-Ijhâdh al-Ijtimâ–’i dinamakan juga al-Ijhâdh al-Jinâ`i atau al-Ijrâmi (Abortus Provokatus Kriminalis) adalah aborsi yang sengaja dilakukan tanpa adanya indikasi medik (ilegal). Tujuannya hanya untuk tidak melahirkan bayi atau untuk menjaga penampilan atau menutupi aib dan sejenisnya. Biasanya pengguguran dilakukan dengan menggunakan berbagai cara termasuk dengan alat-alat atau obat-obat tertentu.

SYARI’AT MEMANDANG ABORSI.
Melihat klasifikasi yang ada di atas, dapat dilihat bahwa jenis pertama tidak masuk dalam kemampuan dan kehendak manusia, sehingga tentunya masuk dalam firman Allah Azza wa Jalla :

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.[al-Baqarah/2:168]

Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وُضِعَ عَنْ أُمَّتِيْ الخَطَأُ وَ النِّسْيَانُ وَ مَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ

Dimaafkan dari umatku kesalahan (tanpa sengaja), lupa dan keterpaksaan [HR al-Baihaqi dalam Sunannya dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni dalam Shahîhul-Jâmi no. 13066]

Sedangkan jenis kedua tidaklah dilakukan kecuali dalam keadaan darurat yang menimpa sang ibu, sehingga kehamilan dan upaya mempertahankannya dapat membahayakan kehidupan sang ibu. Sehingga aborsi menjadi satu-satunya cara mempertahankan jiwa sang ibu; dalam keadaan tidak mungkin bisa mengupayakan kehidupan sang ibu dan janinnya bersama-sama. Dalam keadaan seperti inilah mengharuskan para medis spesialis kebidanan mengedepankan nyawa ibu daripada janinnya. Memang nyawa janin sama dengan nyawa sang ibu dalam kesucian dan penjagaannya, namun bila tidak mungkin menjaga keduanya kecuali dengan kematian salah satunya maka hal ini masuk dalam kaedah “Melanggar yang lebih ringan dari dua madharat untuk menolak yang lebih berat lagi” (Irtikâbul khaffi ad-Dhararain Lidaf’i A’lahuma).

Di sini jelaslah kemaslahatan mempertahankan nyawa sang ibu didahulukan daripada kehidupan sang janin, karena ibu adalah induk dan tiang keluarga. Dengan takdir Allah Azza wa Jalla ia bisa melahirkan berulang kali, sehingga didahulukan nasib sang ibu dari janinnya.

Syaikh Ahmad al-Ghazâli seorang Ulama Indonesia menyatakan: “Adapun ulama Indonesia berpendapat keharaman aborsi kecuali apabila ada dengan sebab terpaksa yang harus dilakukan dan menyebabkan kematian sang ibu. Hal ini karena syari’at Islam dalam keadaan seperti itu memerintahkan untuk melanggar salah satu madharat yang teringan. Apabila tidak ada di sana solusi lain selain menggugurkan janin untuk menjaga hidup sang ibu”. [2] Wallâhu a’lam

Permasalahan yang penting dalam pembahasan ini adalah hukum aborsi jenis ketiga yaitu Al-Ijhâdh al-Ijtimâ’i dinamakan juga al-Ijhâdh al-Jinâ`i atau al-Ijrâmi (Abortus Provokatus Kriminalis).

HUKUM ABORSI JENIS INI.
Telah dimaklumi bahwa janin mengalami fase-fase pembentukan sebelum menjadi janin yang sempurna dan lahir menjadi bayi. Di antara pembeda yang banyak dilihat para ahli fikih yang berbicara dalam hal ini adalah adanya ruh dalam janin tersebut. Dengan dasar ini maka hukum aborsi dapat diklasifikasikan secara umum menjadi dua:

a. Aborsi Sebelum Ditiupkan Ruh
Melihat pendapat para Ulama fikih dari berbagai madzhab, dapat disimpulkan bahwa pendapat mereka dalam masalah ini menjadi 3 kelompok:

1. Kelompok yang membolehkan aborsi sebelum ditiup ruh pada janin. Ini pendapat minoritas Ulama madzhab Syâfi’iyah, Hambaliyah dan Hanafiyah.

2. Kelompok yang membolehkan aborsi sebelum dimulai pembentukan bentuk janin yaitu sebelum empat puluh hari pertama. Ini pendapat mayoritas mazhhab Hanafiyah, Syâfi;’iyah dan Hambaliyah. Pendapat ini dirajihkan Syaikh Ali Thanthawi rahimahullah.

3. Kelompok yang mengharamkan aborsi sejak terjadinya pembuahan dalam rahim. Ini pendapat yang rajih dalam madzhab Mâlikiyah, pendapat imam al-Ghazâli, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Rajab al-Hambali dan Ibnu al-Jauzi. Inilah pendapat madzhab Zhahiriyah.

Pendapat inilah yang dirajihkan mayoritas Ulama kontemporer dewasa ini, karena adanya pelanggaran terhadap hak janin untuk hidup dan juga hak masyarakat. DR. Wahbah az-Zuhaili menjelaskan hal ini dengan menyatakan bahwa para Ulama sepakat mengharamkan aborsi tanpa udzur setelah bulan keempat, yaitu setelah berlalu seratus dua puluh hari dari permulaan kehamilan. Mereka juga sepakat menganggap ini sebagai kejahatan yang mengharuskan adanya diyat, karena ada upaya menghilangkan jiwa dan pembunuhan. Saya sendiri merajihkan larangan aborsi sejak awal kehamilan, karena adanya kehidupan dan permulaan pembentukan janin; kecuali karena keadaan darurat seperti terkena penyakit akut/parah contohnya kelumpuhan atau kanker. Saya sendiri condong sepakat dengan pendapat al-Ghazâli yang menganggap aborsi, walaupun dilakukan di hari pertama kehamilan adalah seperti membunuh janin hidup-hidup (al-Wa`du) yang merupakan kejahatan terhadap sesuatu yang ada.
Sedangkan Syaikh Ahmad Sahnuun seorang Ulama dari Maroko menyatakan: “Aborsi adalah perbuatan tercela dan kejahatan besar yang dilarang dalam Islam. Juga diingkari jiwa kemanusian dan jiwa-jiwa yang mulia menolaknya. Sebab hal itu adalah pembunuhan jiwa yang Allah Azza wa Jalla haramkan, perubahan ciptaan Allah Azza wa Jalla dan menentang takdir/kehendak Allah Azza wa Jalla ”. Islam telah melarang membunuh jiwa seperti dalam firman Allah Azza wa Jalla :

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. (Qs al-Isra`/17:33) sebagaimana juga melarang sikap merubah ciptaan Allah Azza wa Jalla dalam firmanNya:

وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ

Dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya. [an-Nisaa`/4:119]

Aborsi mirip dengan al-Wa`du (membunuh anak hidup-hidup) yang dahulu pernah dilakukan di zaman Jahiliyah, bahkan tidak lebih kecil kejahatannya. Islam sangat mengingkari hal ini sebagaimana firman-Nya:

وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ

Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, [at-Takwîr/81: 8]

Baik aborsi dilakukan di fase awal janin atau setelah ditiupkan ruh padanya. Sebab semua fase pembentukan janin berisi kehidupan yang harus dihormati, yaitu kehidupan pertumbuhan dan pembentukannya. Hal ini menyelisihi orang-orang yang membolehkan aborsi sebelum ruh ditiupkan. Mereka beranggapan bahwa sebelum adanya ruh maka tidak ada kehidupan padanya, sehingga tidak ada kejahatan dan keharaman. Mereka dengan membolehkan hal itu berarti telah membuka pintu yang sulit dibendung dan memberikan senjata kepada tangan lawan dan musuh Islam untuk mencela Islam. Juga melegalkan semua yang terjadi di luar negara Islam yang berupa perbuatan nista dan tercela; yang membuat pusing para intelektual dan menggoyangkan tatanan gereja dan para pendetanya. Setelah dipastikan secara ilmiyah bahwa aborsi memiliki bahaya bagi kesehatan dan kehidupan wanita, sehingga aborsi diharamkan untuk dilakukan, karena menghilangkan madharat lebih didahulukan dari mengambil kemaslahatan.[4]

Sedangkan DR. Ibrahim Haqqi menyatakan: “Diharamkan aborsi karena merupakan pembunuhan jiwa yang tidak berdosa dan menjerumuskan jiwa lainnya yaitu sang ibu kepada bahaya yang banyak hingga bahaya kematian. Ini adalah perkara yang terlarang.”[5]

Demikian juga pendapat yang disampaikan Syaikh Ahmad al-Ghazâli seorang Ulama Indonesia mengatasnamakan Ulama Indonesia.[6]

Inilah pendapat yang dirajihkan Umar bin Ibrahim Ghânim penulis kitab Ahkâmul-Janîn dalam pernyataan beliau : “Sudah pasti pendapat kelompok yang melarang aborsi sejak pembuahan adalah yang lebih dekat kepada kebenaran dan sesuai dengan ruh Islam. Ruh Islam yang memerintahkan untuk melindungi dan menjaga keturunan; juga menghalangi kesempatan pengekor hawa dan nafsu syahwat yang ingin mengambil kesempatan untuk merealisasikan tujuan dan keinginan mereka untuk melemahkan keturunan kaum Muslimin. Demikian juga fatwa larangan ini termasuk saddu adz-Dzarî’at yang sangat bersesuaian dengan ruh syari’at Islam yang mulia.

b. Aborsi Setelah Ditiupkan Ruh Pada Janin (Setelah Empat Bulan) .
Telah dijelaskan bahwa ada perbendaan pendapat di antara para Ulama dalam hukum aborsi saat sebelum peniupan ruh pada janin. Sedangkan setelah peniupan ruh, para ahli fikih sepakat bahwa janin telah menjadi manusia dan bernyawa yang memiliki kehormatan dan kemuliaan, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Azza wa Jalla :

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. [al-Isrâ`/17 : 70] dan firman Allah Azza wa Jalla :

مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا

Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya.[al-Mâidah/5:32]

Di antara Ulama yang menukil kesepakatan ini adalah Ibnu Jizzi[7], DR. Wahbah az-Zuhaili[8] dan DR. Muhammad Ali al-Bâr [9]

Demikianlah, menjadi jelas bagi kita bahwa aborsi setelah ditiupkan ruh pada janin adalah kejahatan yang tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan sangat darurat yang dipastikan. Caranya dengan mengambil keputusan para medis yang terpercaya dan ahli di bidang tersebut; yaitu bahwa adanya janin itu membahayakan kehidupan sang ibu. Perlu diketahui dengan adanya kemajuan sarana kedokteran modern dan kemampuan ilmu serta tersedianya semua keperluan tentang hal itu, maka aborsi untuk penyelamatan nyawa ibu adalah peristiwa yang sangat jarang terjadi. Wallâhu a’lam.

Mudah-mudahan pembahasan ini bermanfaat.


_______
Footnote
[1]. Diadaptasi dari kitab Ahkâmul-Janîn fîl-Fiqhil-Islâm, karya Umar bin Muhammad bin Ibrâhim Ghânim, cetakan pertama tahun1421 H, Dâr Ibni Hazm
[2]. Al-Ijhâdh wa Nazharatul-Islam Ilaihi –makalah yang disusun Ahmad al-Ghazâli dan diajukan kepada muktamar ar-Ribâth yang diadakan dari tanggal 24-29/11/19721 M.
[3]. Al-Fikhul-Islami wa Adilatuhu 3/556-557
[4]. Al-Ijhâdhul-‘Amd , makalah disampaikan dalam muktamar ar-Ribâth hal. 309-346
[5]. Mauqifud-Dinil-islâm minal-Ijhâdh, makalah yang disampaikan dalam muktamar ar-Ribâth, lihat Islam wa tanzhîm al-Wâlidiyah hal. 418.
[6]. Al-Ijhâdh wa Nazharatul-Islâm Ilaihi –makalah yang disusun Ahmad al-Ghazâli dan diajukan kepada muktamar ar-Ribâth yang diadakan dari tanggal 24-29/11/19721 M.
[7]. Al- Qawâninul-Fiqhiyah hal.141
[8]. Al-Fiqhul-Islâmi wa Adillatuhu 3/556
[9]. Siyâsah wa Wasâil tahdîdin-nasl hal. 167

Kategori Ahkam Adakah Aborsi Yang Boleh Dilakukan ?

Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.Syari’at Islam, diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla untuk mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh manusia, untuk menjaga agama, jiwa, harta, kehormatan dan keturunan. Lima hal pokok ini kemudian disebut dengan ad-dharûriyatul khams. Segala tindakan yang mengarahkan kepada pengerusakan terhadap lima perkara pokok yang dilindungi syari’at ini, dianggap sebagai tindakan kriminal dan dihukumi haram. Pelakunya diancam dengan berbagai macam hukuman.

Salah satu tindakan kriminal itu adalah aborsi tanpa alasan yang dibenarkan syari’at. Janin yang sudah diberikan ruh oleh Allah Azza wa Jalla memiliki hak hidup yang diakui syari’at Islam. Oleh karena itu, semua pelaku tindakan yang menyebabkan sang janin kehilangan hak hidup, berhak mendapatkan hukuman.

Syaikh Shalih Fauzân hafidahullâh mengatakan : “Apabila ruh telah ditiupkan ke dalam kandungan (janin); kemudian janin itu mati karena aborsi, maka itu salah satu bentuk pembunuhan terhadap jiwa yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla dengan tanpa alasan yang dibenarkan syari’at. Allah Azza wa Jalla telah menetapkan hukum-hukum pidana, seperti pelaku berkewajiban membayar diyat sesuai dengan rincian ketentuan yang ada. Sebagian imam memandang, pelaku berkewajiban membayar kafarat yaitu memerdekakan budak wanita yang Mukmin, jika tidak mendapatkannya maka berkewajiban berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Sebagian Ulama menamakan perbuatan ini dengan al-ma’udatush-shughra (bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup). [1]

Begitu juga yang disampaikan oleh Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah t ketika ditanya tentang kewajiban seorang tuan yang dengan sengaja menggugurkan janin hasil persetubuhannya dengan budak wanitanya. Si tuan berkewajiban membayar ghurrah (denda). [2]

Jadi, hukum asal dari aborsi yaitu haram dilakukan pada berbagai usia janin. Namun hukum asal ini bisa berubah, ketika ada kondisi darurat, misalnya nyawa ibu terancam atau berbagai kondisi lainnya. Para Ulama memberikan ketentuan yang sangat ketat terkait dengan kondisi-kondisi yang bisa mengakibatkan perubahan hukum asal aborsi. Di antara kondisi-kondisi yang menyebabkan aborsi menjadi boleh dilakukan yaitu :

A. Ketika Sang Janin Sudah Mati
Syaikh Muhammad bin Ibrâhîm rahimahullah mengatakan dalam Majmu` Fatâwa beliau (11/151) : “Tentang usaha menggugurkan kandungan, maka itu tidak boleh dilakukan selama sang janin belum terbukti sudah mati. Namun jika sang janin sudah dipastikan mati, maka boleh digugurkan.” [3]

B. Ketika Keselamatan Sang Ibu Terancam.
Dalam fatwa Lajnah Da`imah disebutkan :
1. Menurut syari’at, hukum asal menggugurkan kandungan dalam berbagai usia itu tidak boleh.

2. Menggugurkan kandungan pada priode awal yaitu saat usia kandungan 40 hari, tidak boleh dilakukan kecuali untuk mencegah bahaya yang dikhawatirkan akan terjadi atau untuk mewujudkan maslahah syar’iyyah (kebaikan yang sesuai syari’at). Semuanya sesuai dengan ketentuan orang yang ahli, baik secara medis ataupun secara syar’i. Sedangkan pengguguran kandungan pada masa sekarang ini, yang dilakukan karena alasan takut susah dalam mendidik anak, atau takut tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup dan memenuhi biaya pendidikan, atau dengan dalih demi masa depan mereka, atau dengan dalih sudah cukup dengan jumlah tertentu anak-anak yang sudah didapatkan oleh pasangan suami istri, maka itu tidak boleh dilakukan.

3. Apabila kandungan itu sudah berbentuk ‘alaqah (segumpal darah) atau mudhghah (segumpal daging), maka tidak boleh digugurkan, sampai ada tim dokter yang bisa dipercaya menetapkan bahwa jika membiarkan kehamilan berlanjut akan membahayakan keselamatan sang ibu. (Misalnya-pent) dikhawatir akan menyebabkan kematian sang ibu. Jika ada tim ahli yang menetapkan seperti itu, maka kandungan tersebut boleh digugurkan setelah menempuh segala upaya untuk menghindari bahaya tersebut.

4. Setelah priode ketiga dan setelah usia kandungan genap empat bulan, maka tidak diperbolehkan menggugurkan kandungan sampai diputuskan oleh tim dokter spesialis yang bisa dipercaya, bahwa membiarkan janin tetap berada dalam perut sang ibu bisa menyebabkan kematian ibunya. Itupun setelah menempuh berbagai upaya untuk menyelamatkan hidup sang ibu. Rukhshah (keringanan hukum) bolehnya menggugurkan kandungan dengan syarat-syarat (yang telah disebutkan-pent) ini adalah demi mencegah bahaya yang lebih besar dari dua bahaya dan untuk mengambil maslahat yang lebih besar dari dua maslahat. [4]

FATAWA : ABORSI KARENA CACAT FISIK

Syaikh Abdul Azîz bin Abdullâh bin Bâz rahimahullah ditanya : "Jika selama proses kehamilan, setelah dilakukan pemeriksaan, diketahui adanya cacat fisik pada janin, bolehkah kita menggugurkannya? maksudnya mengeluarkan janin sebelum masa kelahirannya ?

Beliau rahimahullah menjawab :
Tidak boleh, bahkan wajib dibiarkan, karena terkadang Allah Azza wa Jalla merubahnya. Banyak para dokter telah menyampaikan dugaan-dugaan mereka, namun Allah Azza wa Jalla membatalkan dugaan mereka, anak terlahir dengan selamat. Dan (untuk diingat-pent), Allah Azza wa Jalla menguji para hamba-Nya dengan kesenangan dan juga dengan kesusahan. Jadi tidak boleh menggugurkan kandungan karena dugaan cacat dari seorang dokter, bahkan janin itu tetap harus dibiarkan. Jika dia memang cacat, maka alhamdulillâh si orang tua bisa mendidiknya dan tetap bersabar mengurusinya. (jika demikian-pent) Kedua orang tuanya akan mendapatkan pahala yang besar. Mereka juga bisa menyerahkannya ke panti-panti rehabilitasi yang didirikan oleh pemerintah untuk tujuan ini. Kedua orang tuanya tidak mendapatkan dosa.

Terkadang keadaan berubah, mereka sudah menduga akan cacat namun pada bulan kelima atau keenam, kondisinya berubah normal, Allah Azza wa Jalla memberikan kesembuhan serta faktor-faktor yang menyebabkan cacat menjadi sirna. [5]


_______
Footnote
[1]. At-Tanbîhât ‘ala Ahkâmin Takhtasshu Bihan Nisâ’, hlm. 25
[2]. Jâmi’ Ahkâmin Nisâ’ 4/607
[3]. At-Tanbîhât ‘alâ Ahkâmin Takhtasshu Bihan Nisâ’, hlm. 26
[4]. Fatâwa Lajnatid Dâimah Lil Buhûts Wal Iftâ`, 21/435-436
[5]. al Fatâwa al Muta’alliqah Bit Thibbi Wa Ahkâmil Mardha, hlm. 275.

Kategori Adab Dan Perilaku Adab Meminta Izin

Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.Di tengah masyarakat sekarang ini, masih sering kita saksikan perbuatan salah yang dianggap lumrah. Atau perbuatan berbahaya yang dianggap biasa. Hal ini wajar, karena masih sangat sedikit dari mayoritas kaum muslimin orang yang benar-benar memahami tuntunan syari'at. Sedikit juga orang yang berkemauan keras untuk belajar dan mendalami agamanya.

Diantara kebiasaan yang kerap kita saksikan, yaitu seseorang memasuki rumah orang lain tanpa meminta izin si empunya rumah. Atau kita dapati seseorang mengintip ke dalam rumah orang lain karena si empunya tak menjawab salamnya.

Masih banyak kaum muslimin yang menganggap ini sebagai perbuatan sepele yang sah-sah saja. Apalagi bila si empunya rumah termasuk kerabat atau sahabat yang dekat dengannya. Mereka sama sekali tidak menyadari, bahwa perbuatan seperti itu merupakan perbuatan dosa yang dapat membawa mudharat yang sangat berbahaya.

Rumah, pada hakikatnya adalah hijab bagi seseorang. Di dalamnya seseorang biasa membuka aurat. Di sana juga terdapat perkara-perkara yang ia merasa malu bila orang lain melihatnya. Tidak dapat kita bayangkan, bagaimana bila akhirnya pandangan mata terjatuh pada perkara-perkara yang haram. Ditambah lagi tabiat manusia yang mudah curiga-mencurigai, berprasangka buruk satu sama lain. Akankah akibat-akibat buruk itu dapat terelakkan bila masing-masing pribadi jahil dan tak mengindahkan tuntunan agama?

Syari'at Islam adalah syari'at yang universal. Tidak ada satupun perkara yang membawa kemashlahatan bagi kehidupan manusia, kecuali Islam memerintahkannya. Dan tidak ada satu pun perkara yang dapat membawa mudharat bagi kehidupan manusia, kecuali Islam melarangnya. Tidak terkecuali dalam masalah adab meminta izin atau disebut isti'dzan. Islam telah memberikan tuntunan adab yang sangat agung dalam masalah ini. Berikut ini kami berusaha sedikit mengulasnya.

MEMINTA IZIN BERBEDA DENGAN UCAPAN SALAM
Sebagian orang beranggapan, bila salam telah dijawab, berarti ia boleh masuk ke dalam rumah tanpa harus meminta izin. Ini adalah anggapan yang jelas keliru. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

"Hai, orang orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat".[An Nur:27].

Ayat di atas dengan jelas membedakan antara salam dan meminta izin. Dengan demikian, seseorang yang telah dijawab salamnya, harus meminta izin sebelum masuk ke dalam rumah. Inilah adab yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Kaladah bin Al Hambal, bahwasanya Shafwan bin Umayyah mengutusnya pada hari penaklukan kota Makkah dengan membawa liba' [1], jadayah [2] dan dhaghabis [3]. Ketika itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di atas lembah. Aku menemui Beliau tanpa mengucapkan salam dan tanpa minta izin. Maka Beliau bersabda:

"اِرْجِعْ فَقُلْ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أأدخل"

"Keluarlah, ucapkanlah salam dan katakan: “Bolehkah aku masuk?” [Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasa’i]

HENDAKLAH BERDIRI DI SISI KIRI ATAU KANAN PINTU
Bagi orang yang meminta izin, hendaklah berdiri di sisi kanan atau kiri pintu. Dan janganlah ia berdiri tepat di depan pintu. Hal ini dimaksudkan agar pandangan mata tidak jatuh pada perkara-perkara yang tidak layak dipandang saat pintu terkuak. Terlebih lagi, jika pintu memang dalam keadaan terbuka. Sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari Abdullah bin Bisyr, ia berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَي بَابَ قَوْمٍ لَمْ يَسْتَقْبِلِ البَابَ مِنْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ وَلَكِنْ مِنْ رُكْنِهِ الأَيْمَنِ أَوْ الأَيْسَرِ وَيَقُوْلُ "السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ"

"Apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi rumah orang, Beliau tidak berdiri di depan pintu, akan tetapi di samping kanan atau samping kiri, kemudian Beliau mengucapkan salam "assalamu 'alaikum, assalamu 'alaikum", karena saat itu rumah-rumah belum dilengkapi dengan tirai". [Hadist riwayat Abu Dawud].

Abu Dawud juga meriwayatkan dari Huzail, ia berkata: "Seorang lelaki –Utsman bin Abi Syaibah menyebutkan, lelaki ini adalah Sa'ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu 'anhu - datang lalu berdiri di depan pintu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta izin. Dia berdiri tepat di depan pintu. Utsman bin Abi Syaibah mengatakan: Berdiri menghadap pintu. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya:

"هَكَذَا عَنْكَ - أَوْ هَكَذَا - فَإِنَّمَا الاِسْتِئْذَانُ مِنَ النَّظَرِ"

"Menyingkirlah dari depan pintu, sesungguhnya meminta izin disyari’atkan untuk menjaga pandangan mata".

BILA TIDAK DIIZINKAN HENDAKLAH IA KEMBALI
Dalam Al Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فِيهَآ أَحَدًا فَلاَ تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِن قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ ازْكَى لَكُمْ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

"Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu "Kembali (saja)lah,” maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". [An Nur:28].

Apabila seseorang telah mengucapkan salam dan meminta izin sebanyak tiga kali, namun tidak juga dipersilakan, hendaklah ia kembali. Boleh jadi tuan rumah sedang enggan menerima tamu, atau ia sedang bepergian. Karena seorang tuan rumah mempunyai kebebasan antara mengizinkan atau menolak tamu. Demikianlah adab yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Musa Al Asy'ari Radhiyallahu 'anhu, Beliau bersabda:

"إِذَا اسْتَأَذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلاَثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَنْصَرِفْ"

"Jika salah seorang dari kamu sudah meminta izin sebanyak tiga kali, namun tidak diberi izin, maka kembalilah". [Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim].

LARANGAN MENGINTIP KE DALAM RUMAH ORANG LAIN
Sering kita jumpai orang-orang yang jahil tentang tuntunan syari'at, karena terdorong rasa ingin tahu, ia mengintip ke dalam rumah orang lain. Baik karena salam yang tak terjawab, atau hanya sekedar iseng. Mereka tidak menyadari, bahwa perbuatan seperti ini diancam keras oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Beliau bersabda:

"لَوْ أَنَّ امْرَأً اِطْلَعَ عَلَيْكَ بِغَيْرِ إِذْنٍ فَخَذَفَتْهُ بِحُصَاةٍ فَفَقَأَتْ عَيْنُهُ مَا كَانَ عَلَيْكَ مِنْ جُنَاحٍ"

"Sekiranya ada seseorang yang mengintip rumahmu tanpa izin, lalu engkau melemparnya dengan batu hingga tercungkil matanya, maka tiada dosa atasmu". [Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim].

Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Sahal bin Saad As Sa'idi Radhiyallahu 'anhu, ia mengabarkan bahwasanya seorang laki laki mengintip pada lubang pintu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika itu, Beliau tengah membawa sebuah sisir yang biasa Beliau gunakan untuk menggaruk kepalanya. Ketika melihatnya, Beliau bersabda: "Seandainya aku tahu engkau tengah mengintipku, niscaya telah aku lukai kedua matamu dengan sisir ini". Beliau bersabda: "Sesungguhnya permintaan izin itu diperintahakan untuk menjaga pandangan mata." [Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim].

Demikianlah beberapa perkara yang harus diperhatikan ketika hendak memasuki rumah orang lain, kecuali rumah-rumah yang tidak didiami oleh seorangpun, dan ia ada keperluan di dalamnya. Seperti rumah yang memang disediakan untuk para tamu, jika di awal ia telah diberi izin, maka cukuplah baginya. Demikian juga tempat-tempat umum, seperti tempat-tempat jualan, penginapan dan lain sebagainya.

Kini muncul pertanyaan, apakah kita juga harus meminta izin ketika hendak masuk menemui salah seorang anggota keluarga kita? Berikut ini perinciannya.

SEORANG LAKI-LAKI HARUS MEMINTA IZIN KETIKA HENDAK MASUK MENEMUI IBUNYA
Seorang anak laki laki yang telah baligh, wajib meminta izin secara mutlak ketika hendak masuk menemui ibunya.

Di dalam kitab Adabul Mufrad, Imam Al Bukhari menyebutkan sebuah riwayat dari Muslim bin Nadzir, bahwasanya ada seorang laki laki bertanya kepada Hudzaifah Ibnul Yaman: "Apakah saya harus meminta izin ketika hendak masuk menemui ibuku?" Maka ia menjawab: "Jika engkau tidak meminta izin, niscaya engkau akan melihat sesuatu yang tidak engkau sukai." [Hadits mauquf shahih].

Demikian juga riwayat dari Alqamah, ia berkata: Seorang laki laki datang kepada Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu dan berkata: "Apakah aku harus meminta jika hendak masuk menemui ibuku?" Maka ia menjawab: "Tidaklah dalam semua keadaannya ia suka engkau melihatnya." [Hadits mauquf shahih].

SEORANG LAKI-LAKI HARUS MEMINTA IZIN KETIKA HENDAK MENEMUI SAUDARA PEREMPUANNYA
Demikian juga seorang laki laki baligh, harus meminta izin ketika hendak masuk menemui saudara perempuannya.

Di dalam kitab Al Adabul Mufrad, Imam Al Bukhari menyebutkan sebuah riwayat dari Atha'. Dia berkata, aku bertanya kepada Ibnu 'Abbas: "Apakah aku harus meminta izin jika hendak masuk menemui saudara perempuanku?" Dia menjawab,”Ya.” Aku mengulangi pertanyaanku: "Dua orang saudara perempuanku berada di bawah tanggunganku. Aku yang mengurus dan membiayai mereka. Haruskah aku meminta izin jika hendak masuk menemui mereka?" Maka dia menjawab,”Ya. Apakah engkau suka melihat mereka berdua dalam keadaan telanjang?" [Hadits mauquf shahih].

PERINTAH KEPADA ORANG TUA AGAR MENGAJARI ANAK-ANAK DAN PARA PELAYANNYA TENTANG KEHARUSAN MEMINTA IZIN PADA TIGA WAKTU
Di dalam Al Qur’an surat An Nur ayat 58, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan sesudah sesudah shalat Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana".

Dalam ayat di atas Allah memerintahkan kaum mukminin, agar para pelayan yang mereka miliki dan anak-anak yang belum baligh meminta izin kepada mereka pada tiga waktu.

Pertama : Sebelum shalat subuh, karena biasanya orang-orang pada waktu itu sedang nyenyak tidur di pembaringan mereka.

Kedua : Ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari”, yaitu pada waktu tidur siang, karena pada saat itu orang-orang melepas pakaian mereka untuk bersantai bersama keluarga.

Ketiga : Sesudah sesudah shalat Isya, karena saat itu adalah waktu tidur.

Pelayan dan anak-anak diperintahkan agar tidak masuk menemui ahli bait pada waktu-waktu tersebut, karena dikhawatirkan seseorang sedang bersama isterinya, atau sedang melakukan hal-hal yang bersifat pribadi.

Oleh sebab itu, Allah mengatakan: "Itulah tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu", yakni jika mereka masuk pada waktu di luar tiga waktu tersebut, maka tiada dosa atas kamu bila membuka kesempatan buat mereka (untuk masuk), dan tiada dosa atas mereka bila melihat sesuatu di luar tiga waktu tersebut. Karena mereka telah diizinkan untuk masuk menemui kalian, karena mereka keluar masuk untuk melayani kamu atau untuk urusan lainnya.

Para pelayan yang biasa keluar masuk diberi dispensasi yang tidak diberikan kepada selain mereka. Oleh karena itu, Imam Malik, Imam Ahmad dan penulis kitab Sunan meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang kucing:

"إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسَةٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِيْنَ عَلَيْكُمْ أَوْ وَالطَّوَّافَاتِ"

"Ia (kucing) tidaklah najis, karena ia selalu berkeliaran di sekitar kamu".

Selanjutnya Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin", yakni apabila anak-anak yang sebelumnya harus meminta izin pada tiga waktu yang telah disebutkan di atas. Apabila mereka telah mencapai usia baligh, mereka wajib meminta izin di setiap waktu, seperti halnya orang-orang dewasa dari putera seseorang, atau dari kalangan karib-kerabatnya wajib meminta izin.

Al Auza'i meriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir, ia mengatakan: "Apabila seorang anak masih balita, ia harus meminta izin kepada kedua orang tuanya (bila ingin masuk menemui keduanya dalam kamar) pada tiga waktu tersebut. Apabila ia telah mencapai usia baligh ia harus meminta izin di setiap waktu."

Demikianlah paparan singkat tentang perkara-perkara yang berkaitan dengan adab-adab isti'dzan. Mudah-mudahan dapat memambah pemahaman kita tentang ajaran Islam dalam membimbing umat manusia, guna memperoleh seluruh kemashlahatan dan menggapai kabahagiaan hidup di dunia dan di dunia dan akhirat.


________
Footnote
[1]. Susu yang diperah saat unta baru saja melahirkan
[2]. Rusa yang baru berusia enam bulan
[3]. Buah semacam mentimun

Kategori Adab Dan Perilaku Meningkatkan Nilai Ibadah Seorang Muslim

Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.Bulan suci Ramadhan telah berlalu. Pelipatgandaan pahala, kemudahan dari Allah di bulan Ramadhan pergi seiring dengan kepergian tamu kita, bulan Ramadhan. Nuansa Ramadhan yang istimewa pun lewat. Tapi kaum muslimin mesti TETAP berlomba untuk menggapai rahmat dan hidayah Allah melalui peningkatan ibadah dan doa kepada-Nya, di bulan-bulan lainnya. Hanya saja, terkadang seorang muslim dihadapkan pada sekian banyak amalan yang ingin ia kerjakan semuanya. Namun kadang-kadang kesempatan, waktu dan fisik tidak memungkinkannya untuk menuntaskan segala amalan sholeh yang ia inginkan. Apalagi bagi mereka yang sudah berkeluarga, mempunyai istri (atau suami) dan anak-anak.

Dalam kondisi demikian, dipandang perlu agar seorang muslim mengetahui beberapa kaedah dalam beramal sholeh untuk memudahkan bagi dirinya dalam memilih amalan yang lebih baik dan berkualitas, lebih dicintai oleh Allah l dan mengundang pahala yang lebih besar dibandingkan amalan lainnya.
Urgensi aspek ini:

1.Perhatian Generasi Salaf Terhadap Masalah Ini.
Topik ini menjadi fokus perhatian ekstra dari generasi Salaf. Hasrat mereka untuk mendalami permasalahan ini sangat besar. Para sahabat menjadi teladan dengan melontarkan banyak pertanyaan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Generasi tabi'in dan para tokoh ulama Islam pun memberi porsi perhatian yang besar. Kongkretnya, tercermin dalam penulisan buku dan pembakuan kaedah dalam materi ini.

2. Ekonomis Dalam Beramal
Seorang muslim yang memahami bab ini, akan meraih kebaikan besar dalam masa yang singkat dan modal yang minim, yang dikerjakan oleh orang lain dengan waktu panjang dan tenaga besar. Hal ini penting sekali diketahui, terutama pada akhir-akhir ini yang begitu banyak kesibukan dan halangan untuk bisa beribadah dengan frekuensi yang banyak.

3. Penyimpangan Yang Dilakukan Sebagian Firqah Dalam Aspek Ini.
Sebagian firqah menyimpang dari garis sunnah lantaran kegandrungan mereka kepada bid'ah daripada sunnah Nabi. Amalan sunnah lebih diutamakan daripada kewajiban. Lebih berbahaya lagi ketika amalan bid'ah lebih disukai daripada ajaran Islam.

4. Bahaya Jerat Syaithan Terhadap Sebagian Ahli Ibadah.
Sebagian ahli ibadah tertipu oleh bisikan syaithan dengan mengamalkan amalan yang kualitasnya di bawah.

Berikut ini beberapa faktor yang bisa mempengaruhi peningkatan kualitas amalan ibadah:

TINGKATKAN KEIKHLASAN DAN PERBAIKI NIAT
Ikhlas dalam amalan merupakan tonggak asasi dalam setiap amalan sholeh. Disamping itu, juga tingkatkan unsur mutaba'ah (mengikuti) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beribadah. Dua hal ini merupakan syarat diterimanya amalan seseorang. Dalilnya, Allah berfirman:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, hendaknya ia mengerjakan amalan yang sholeh dan janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya". [1]

Ibnu Katsir berkata: ‘(Yaitu orang yang ) mengharapkan pahala, dan ganjaran dariNya, [فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا / hendaknya ia mengerjakan amalan yang sholeh ] yaitu amalan yang bertepatan dengan petunjuk syariat, [ وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا / dan janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya ] yaitu amalan yang ditujukan untuk mendapatkan wajah Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Dua hal ini adalah dua syarat diterimanya amalan. Mesti murni karena Allah, lagi cocok dengan aturan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam". [2]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَآءُ

"Dan Allah melipatgandakan (pahala) bagi yang Dia kehendaki" [3].

Ibnu Katsir menjelaskan : "Berdasarkan keikhlasannya dalam beramal". [4]

Syaikh As Sa'di berkata: "Itu bergantung pada kekuatan iman dan kesempurnaan ikhlas yang terdapat pada orang yang berinfak"[5]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلَامَهُ فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ وَكُلُّ سَيِّئَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِمِثْلِهَا

"Jika salah seorang dari kalian telah memperindah Islamnya, maka setiap kebaikan yang diamalkannya akan dicatat baginya dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus lipat. Dan setiap kejelekan yang ia kerjakan akan dicatat baginya satu kejelekan semisalnya". [6]

Ibnu Rajab berkata tentang hadits di atas : "Pelipatgandaan kebaikan dengan sepuluh kali lipat pasti terjadi. Sedangkan tambahan yang lebih dari itu tergantung pada kebaikan nilai Islam seseorang, dan keikhlasan niatnya, serta urgensi dan keutamaan amalan tersebut"[7].

Sebagai pelengkap dalam menetapkan naiknya tingkatan amalan yang dibarengi kekuatan ikhlas, adanya beberapa nash yang menyatakan keutamaan amalan yang dilakukan secara tersembunyi dibandingkan amalan yang dilakukan di hadapan khalayak. Allah Subhanhu wa Ta'ala berfirman:

إِن تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرُُ لَّكُمْ

"Jika kalian memperlihatkan sedekah maka itu baik. Dan jika kalian menyembunyikan sedekah dan memberikannya kepada orang-orang fakir, niscaya lebih baik …" [8].

Ibnu Katsir berkata: "Dalam ayat ini terkandung petunjuk bahwa menyembunyikan sedekah lebih baik daripada memperlihatkannya. Sebab lebih jauh dari noda riya`. Kecuali bila dengan memperlihatkan saat mengeluarkan sedekah ada unsur maslahat yang pasti"[9].

Ibnul Qayyim menjelaskan rahasia mengapa sedekah yang dilakukan dengan sembunyi lebih baik dengan berkata: "Adapun memberikannya kepada orang-orang fakir, jika dilakukan dengan cara tersembunyi mengandung beberapa manfaat, menutupi jati dirinya (pemberi sedekah) , dan tidak membuat malu si penerima di hadapan orang banyak, tidak menempatkan dirinya sebagai orang yang sedang direndahkan kehormatannya, dan supaya orang tidak melihat bahwa tangannya sufla, juga agar orang tidak berkomentar dirinya (sang penerima) tidak ada harganya sama sekali sehingga mereka enggan untuk berinteraksi dan melakukan tukar-menukar dengannya. Ini adalah manfaat tambahan selain berbuat baik kepadanya dengan memberi sedekah, di samping penjagaan aspek ikhlas.

Hal ini berlaku pada ibadah yang sifatnya tathawu' (sunnah).

Dari Bustham bin Huraits, ia berkata: ‘Adalah Ayyub pernah terharu (karena takut kepada Allah), sehingga air matanya keluar. Namun ia ingin menyembunyikannya. Maka ia memegangi hidungnya, bersikap seolah-oleh orang yang sedang mengalami influenza. Jika ia khawatir , air matanya semakin deras, maka ia beranjak pergi"[10]

TINGKATKAN PERHATIAN PADA ASPEK MUTABA'AH KEPADA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM DALAM BERIBADAH.
Maksud dari mutaba'ah dalam beramal adalah "menjalankan perintah Nabi dalam suatu amalan dan melaksanakannya sesuai dengan aturan syariat yang dahulu dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ".

Sementara Syaikhul Islam menjelaskannya dengan :

أنْ يُفْعَلَ مِثْلَ مَا فَعَلَ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِيْ فَعَلَ

"Hendaknya dikerjakan persis dengan yang dilakukan Nabi sesuai dengan aturan pelaksanaannya"[11].

Jadi mutaba'ah kepada Nabi harus memenuhi dua unsur:
a. Kesesuaian dengan Nabi dalam pelaksanaan, persis dengan tata cata beliau
b. Kesesuaian dalam niat, ditujukan untuk beribadah
Dalam point ini, maksudnya adalah penjelasan peningkatan nilai amalan yang lahir sebagai dampak dari mutaba'ah.

Topik mutaba’ah adalah pembahasan yang sangat luas. Hakikatnya, berusaha mengerjakan seluruh aturan syariat atau mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang umum. Jalan perealisasiannya, melalui kesempurnaan memahami agama, kekuatan tekad yang penuh dalam beramal -dengan bantuan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala - ada beberapa prinsip dalam mutaba’ah yang terangkum dalam beberapa point berikut ini:

Mutaba’ah kepada Nabi dalam keseluruhan ibadah, tidak hanya menyibukkan dengan salah satu jenis ibadah saja dengan menelantarkan ibadah lainnya. Tapi ‘namanya selalu tercantum’ dalam setiap ibadah. Dengan kata lain, berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan seluruh cabang iman qalbiyyah, amaliyyah maupun qauliyyah

Disebutkan dalam hadits keutamaan orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai amaliah, mereka akan dipanggil dari berbagai pintu syurga. Setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan orang-orang yang dipanggil dari pintu yang sesuai dengan ibadah yang ia tekuni, Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu bertanya:

فَهَلْ يُدْعَى أَحَدٌ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ كُلِّهَا

"Apakah ada seseorang yang dipanggil dari seluruh pintu?"

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

نَعَمْ وَأَرْجُو أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ

"Ya, dan aku berharap engkau termasuk mereka, wahai Abu Bakar" [12].

Mutaba’ah kepada Nabi dalam aspek kontinyuitas amalan.
Mutaba’ah kepada Nabi dengan mengerjakan amalan tanpa unsur memberatkan diri (takalluf).

Oleh karena itu, beliau melarang shaumud dahri (puasa setahun penuh) atau meninggalkan perkawinan, makanan, tidur dengan dalih memfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ

"Sesungguhnya agama ini mudah. Tidak ada orang yang bersikap keras dengannya, kecuali akan terkalahkan.." [13]

Mutaba’ah kepada Nabi dengan melakukan keseimbangan (balancing) terhadap hak-hak yang ada, tidak menyisihkan salah satu hak demi pemenuhan hak lainnya. Tapi memberikan hak kepada para pemiliknya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

"Maka, sesungguhnya bagi jasadnya ada hak atasmu, bagi matamu ada hak atasmu dan bagi istrimu ada hak atasmu dan bagi tamumu ada hak atasmu" [14]

UTAMAKAN & BERIKAN PERHATIAN EKSTRA TERHADAP AMALAN YANG WAJIB
Amalan yang wajib lebih utama daripada amalan yang sunnah. Demikian juga, memperhatikan ibadah yang wajib lebih dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala daripada ibadah yang sunnah.

Abu Hurairah meriwayatkan, ia berkata: Rasulullah Sh bersabda:

إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ُ

"Sesungguhnya Allah berfirman: ‘Barangsiapa yang memusuhi waliKu, maka Aku telah mengobarkan peperangan dengannya. Dan tidaklah ada seorang hambaKu yang mendekatkan dirinya kepada-Ku, dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada amalan yang Aku wajibkan kepadanya…' [15]

Ibnu Hajar berkata: "Dapat disimpulkan dari hadits tersebut, bahwa melaksanakan amalan yang wajib merupakan tindakan yang paling dicintai oleh Allah" [16].

Abu Bakar pernah berwasiat kepada Umar dengan mengatakan:

وَأنَّهُ لاَ يَـقـْـبَلُ نَافِلَةً حَتَّى تُؤَدَّى الْفَريِْضَة

"Sesungguhnya Allah tidak akan menerima ibadah sunnah kecuali apabila amalan ibadah yang wajib telah ditunaikan"[17].

Ibnu Taimiyah menegaskan pula: "Oleh karena itu, wajib bertaqarrub kepada Allah dengan amalan-amalan yang wajib sebelum menjalankan amalan yang sunnah. Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan yang sunnah terhitung sebagai ibadah jika amalan yang wajib sudah dikerjakan"[18].

Al Hafizh Ibnu Hajar menukil dari sebagian ulama besar zaman dahulu, mereka menetapkan :

مَنْ شَغَلَهُ الْفَرْضُ عَنِ النَّفْلِ فَهُوَ مَعْذُورٌ وَ مَنْ شَغَلَهُ النَّفْلُ عَنِ الْفَرْضِِ فَهُوَ مَغْرُورٌ

"Barangsiapa disibukkan dengan perkara wajib sehingga melupakan perkara sunnah, maka ia termaafkan. Barangsiapa disibukkan dengan perkara sunnah sehingga perkara wajib terbengkalai, maka ia adalah orang yang tertipu" [19]

KERJAKAN SATU AMALAN SHOLEH DENGAN KONTINYU
Faktor lain yang bisa meningkatkan nilai amaliah seseorang adalah al mudawamah (kontinyuitas dalam beramal). Amalan yang sedikit, tapi kontinyu lebih utama dari amalan yang putus-putus, tidak dikerjakan secara terus-menerus, kendati banyak.

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

"Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling kontinyu dikerjakan, meskipun sedikit" [20].

Demikian pula, ini merupakan kebiasaan Rasulullah. Amaliah beliau sehari-hari diimah (kontinyu), yaitu dikerjakan secara terus menerus, tidak putus darinya. Dan beliau menganjurkan umatnya untuk itu, memperingatkan dari amalan-amalan yang memberatkan yang tidak kuat dipikul oleh seseorang. Sebab hal itu rawan sekali untuk ditinggalkan sehingga tidak berlangsung lama.

Dalam hadits lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنْ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ

"Wahai manusia, kerjakanlah amalan yang kalian sanggupi" [21]

Al Qadhi ‘Iyadh menerangkan sabda beliau dengan: Kerjakanlah amalan yang kalian sanggup untuk mengerjakannya dengan kontinyu [22]. Sementara Imam An Nawawi rahimahullah menyimpulkan dari hadits di atas: Di dalamnya terkandung anjuran untuk kontinyu dalam beribadah, dan amalan yang sedikit (tapi) kontinyu lebih baik daripada amalan banyak tapi ditinggalkan [23].

Para ulama telah memaksimalkan daya pikir untuk menyibak rahasia mengapa amalan sedikit tapi kontinyu dapat lebih utama dan mulia dibandingkan amalam lain. Di antara keterangan mereka:

Al Qurthubi berkata: "Sebabnya, amalan yang ringan, bisa dikerjakan dengan berkesinambungan dan hati yang giat, sehingga pahala semakin banyak lantaran terjadinya pengulangan amalan tersebut yang disertai oleh konsentrasi pikirannya. Berbeda dengan amalan yang berat, biasanya disertai dengan terganggunya konsentrasi dan menyebabkan seseorang meninggalkannya" [24].

Sementara itu, Imam An Nawawi memberikan alasan: "Amalan sedikit yang langgeng itu lebih baik dari amalan banyak tapi putus di jalan, karena dengan kontinyu dalam satu amalan yang sedikit, bararti ketaatannya kepada Allah juga berlangsung terus-menerus, demikian juga dzikir, muraqabah, niat, keikhjlasan serta sikapnya menghadapkan dirinya kepada Allah berjalan terus. Sehingga yang sedikit tapi kontinyu akan membuahkan hasil yang berlipat-lipat daripada amalan banyak tapi ditinggalkan".

Adapun Ibnul Jauzi mengajukan keterangan, bahwa orang yang meninggalkan amalan setelah pernah ia lakukan bagaikan orang yang berpaling darinya sehingga pantas untuk dicela. Dan alasan kedua, orang yang senantiasa beramal, berarti ia senantiasa melakukan penghambaan diri kepada Allah. Dan orang yang sering mengetuk di satu waktu setiap harinya tidak sama dengan orang yang menunggu pintu seharian kemudian ia tinggalkan’

TINGKATKAN KAPASITAS ILMIAH ANDA
Di antara aspek yang bisa meningkatkan kualitas amaliah seseorang adalah, kemuliaan dan kedudukannya di sisi Allah.

Rasulullah bersabda:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

"Janganlah kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai pahala infak mereka sebesar satu mud ataupun setengahnya".

Al Baidhawi menerangkan hadits ini dengan berkata: Makna hadits ini, salah seorang dari kalian tidak akan mampu menggapai dengan infak sebesar gunung Uhud yang berupa emas, keutamaan dan pahala yang diraih oleh salah seorang mereka (sahabat) dengan infak satu mud atau setengahnya. Sebab perbedaan ini, kondisi yang menyertai orang yang lebih mulia yang berupa kekuatan ikhlas yang lebih tinggi dan kejujuran niat mereka.

Dengan ini, menjadi jelas keutamaan para sahabat dan amalan yang mereka lakukan dibandingkan amalan selain mereka.

Sebagian ulama telah menyinggung beberapa sebab pengutamaan dalam kaedah ini. meskipun melalui nash-nash yang ada, peningkatan nilai amaliah tergantung dari kedudukan orang yang beramal, tapi ada beberara rahasia di belakang itu, yang telah disinggung oleh sebagian ulama.

Di antaranya: Keutamaan yang mereka raih itu berangkat dari kondisi batiniah mereka yang mengalahkan orang lain. Seperti yang dikatakan Ibnu Mas’ud: Kalian itu lebih banyak puasanya dibandingkan para sahabat Muhammad, tapi mereka tetap lebih baik dari kalian. Mereka bertanya: Apa sebabnya?’. Ibnu Mas’ud menjawab:

كَانُوا أَزْهَدَ مِنْـكـُمْ فِي الدُّنـيَا وَأرْغَبَ فِي الأخِرَة

"Mereka (para sahabat) lebih zuhud kepada dunia dan lebih berharap kepada akhirat daripada kalian".

Kedua, lantaran mereka lebih paham terhadap agama, dan itu otomatis berpengaruh pada kualitas ibadah mereka sehingga dilaksanakan dengan cara yang lebih baik.

Ini makna yang terkandung pada pernyataan Abu Darda`: Dan satu biji sawi kebaikan orang yang bertakwa dan yakin, lebih besar, lebih utama dan lebih berat timbangannya seperti beratnya gunung-gunung dibandingkan ibadah orang-orang yang tertipu’.

UTAMAKAN AMALAN SOSIAL DARIPADA AMALAN YANG MANFAATNYA TERBATAS PADA PRIBADI SEMATA
Ditinjau dari sudut kemanfaatannya bagi orang lain, amalan sholeh terkualifikasikan menjadi dua:

A. Amalan yang hanya terbatas kemanfaatannya bagi pelakunya saja, tidak bisa dinikmati oleh orang lain. Misalnya seluruh ibadah yang menjadi kendaraan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa ada kaitan dengan makhluk.

B. Amalan yang manfaatnya bisa dinikmati oleh orang lain, sehingga maslahat keagamaan dan duniawi mereka terpenuhi.

Dalam masalah pemilahan amalan sholeh, para ulama telah menetapkan bahwa amalan sholeh yang bersifat sosial lebih utama dibandingkan amalan yang manfaatnya terbatas pada pelakunya sendiri. Sebabnya, terwujudnya maslahat serta dampak positif yang dapat dirasakan oleh orang lain. Dasar penetapan mereka adalah semua dalil yang menunjukkan ketinggian nilai amal sholeh yang bersifat sosial, anjuran untuk melakukannya serta sanjungan bagi para pelakunya.

Di antaranya :

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ
لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

"Barangsiapa menyeru kepada hidayah, niscaya ia mendapatkan pahala sebesar pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.." [al hadits] [25]

Hadits di atas, dengan jelas menggambarkan besarnya keutamaan menyalurkan dan mengajarkan ilmu kepada orang lain. Dan nash-nash yang senada dengan makna hadits di atas sangat banyak.

Demikian juga, terdapat dalil yang berisi sanjungan bagi orang-orang yang sering berbuat baik untuk orang lain, mereka adalah makhluk pilihan di sisi Allah. Nabi bersabda:

خَيْرُ الْأَصْحَابِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيرَانِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ

"Sebaik-baik kawan di sisi Allah, ialah yang paling bermanfaat bagi kawannya. Dan sebaik-baik tetangga adalah tetangga yang paling baik bagi tetangganya" [26].

Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda:

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang terbaik bagi keluarganya. Dan aku adalah orang yang terbaik bagi keluargaku"[27].

Nabi pernah bertanya kepada para sahabat tentang orang-orang yang baik dan orang-orang yang buruk sampai tiga kali. Namun mereka diam. Maka beliau menerangkan:

خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ وَشَرُّكُمْ مَنْ لَا يُرْجَى خَيْرُهُ وَلَا يُؤْمَنُ شَرُّهُ

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang diharapkan kebaikannya dan dirasa aman keburukannya. Dan sejelek-jelek kalian adalah orang yang tidak pernah diharapkan kebaikannya dan tidak dirasa aman keburukannya".

Hadits-hadits di atas mengindikasikan bahwa manusia pilihan di sisi Allah adalah mereka yang terbaik di mata manusia. Dan yang paling utama dari kalangan mereka di sisi Allah, adalah insan yang paling bermanfaat bagi orang lain.

Kaidah ini sudah diaplikasikan oleh generasi Salaf. Mereka mengutamakan amalan yang bermanfaat bagi orang lain daripada amalan sholeh yang bersifat pribadi.

Majjaad berkata: ‘Aku pernah menemani perjalanan Ibnu Umar untuk membantunya tapi justru dialah yang melayaniku”. Sebagian dari mereka, kalangan Salaf, bahkan mengajukan syarat saat akan melakukan perjalanan bersama dengan kawan-kawan lain agar dia saja yang melayani mereka di tengah perjalanan. Di antara mereka, ‘Amir bin Abdi Qais, ‘Amr bin Utbah bin Farqad, orang-orang yang dikenal dengan ketekunan mereka dalam beribadah.

Meskipun melayani orang lain itu makan tenaga dan waktu, tapi ternyata mereka lebih mengutamakannya. Seandainya menurut mereka ibadah qashirah itu lebih afdhal sudah mesti mereka tidak akan menyibukkan diri dengan amalan sosial tersebut. Padahal mereka adalah orang-orang yang faqih dan sangat antusias melakukan kebaikan. Artinya, amalan sosial itu lebih berharga dan bernilai menurut mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Ibnu Rajab menetapkan: "Berbuat baik kepada teman perjalanan lebih baik daripada ibadah qashirah (yang manfaatnya hanya direguk secara pribadi), apalagi jika seseorang punya keinginan sendiri untuk menservis kawan-kawannya" [28]. (Red).

Petikan dari Kitab Tajridu Al Ittiba’I Fi Bayani Asbabi Tafadhuli Al A’mali karya Syaikh DR. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili, Maktabah Ulum Wal Hikam Madinah Munawwarah, Cet. I TH. 1424 H.


________
Footnote
[1]. Al Kahfi : 110.
[2]. Tafsir Ibnu Katsir : 5/205.
[3]. Al Baqarah : 261
[4]. Tafsir Ibnu Katsir: 1/693
[5]. Tafsir As Sa’di : 1/157.
[6]. Shahih Al Bukhari (Fathul Bari: 1/100 hadits no: 42), Shahih Muslim : 1/118 no: 129.
[7]. Jami’ul Ulumi Wal Hikam : 1/213.
[8]. Al Baqarah: 271
[9]. Tafsir Ibnu Katsir : 1/701.
[10]. Dzammu Ar Riya` hlm. 180.
[11]. Majmu’ Al Fatawa: 1/280
[12]. HR. Bukhari (Fathul Bari : 7/19 no: 3666), Muslim (2/711 no: 1027).
[13]. HR. Bukhari (Fathul Bari : 1/93 no: 39).
[14]. Diriwayatkan Bukhari (Fathul Bari: 10/531 no: 6134), Muslim : 2/813
[15] HR. Bukhari no: 6502.
[16]. Fathul Bari : 11/343
[17]. Diriwayatkan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah : 1/36
[18]. Majmu’ Al Fatawa : 17/133
[19]. Fathul Bari : 11/442
[20]. HR. Muslim : 1/541
[21]. HR. Bukhari (Fathul Bari : 1/101 no: 43), Muslim : 1/542 no: 758
[22]. Ikmal Al Mu’lim : 3/147
[23]. Syarah Shahih Muslim : 6/71
[24]. Al Mufhim : 2/413
[25]. HR. Muslim no: 2674.
[26] HR. At Tirmidzi no: 1944, Al Hakim dan berkata: ‘Shahih berdasarkan syarat Syaikhan’ dan disepakati oleh Adz Dzahabi
[28]. HR. Ibnu Majah no: 1977 (Ash Shahihah: 285).
Lathaiful Ma’arfi hlm. 411.