MENJAGA DIRI DENGAN YANG HALAL
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya ketaqwaan. Ilmuilah
yang telah diwajibkan Allah terhadap diri kita. Yaitu berupa hukum-hukum
agama. Dengan begitu, kita akan selalu beribadah sesuai dengan yang
telah disyariatkan Allah, dan kita akan semakin mampu berpegang teguh
dengan agamaNya. Sehingga kita akan mendapatkan kebahagiaan di dunia
maupun di akhirat kelak.
Pada kesempatan kali ini, kami ingin menyampaikan sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalan sahabat Abu Hurairah,
bahwasanya Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ الهَa أَمَرَ
الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا
الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ
طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ
أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ
وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ
بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
"Sesungguhnya Allah itu Maha baik dan tidak menerima, kecuali sesuatu
yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum Mukminin
dengan perintah yang Allah gunakan untuk memerintahkan para rasul. Maka
Allah berfirman,”Wahai para rasul, makanlah segala sesuatu yang baik dan
beramal shalihlah (Al Mukminun : 41).” Dan Allah juga berfirman,”Wahai
orang-orang yang beriman, makanlah segala sesuatu yang baik, yang telah
kami berikan kepada kalian (Al Baqarah : 172).” Kemudian Rasulullah
menyebutkan tentang seseorang yang melakukan perjalanan panjang, kusut
rambutnya, kemudian mengangkat tangannya dan mengatakan : Wahai Rabb-ku,
Wahai Rabb-ku, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, perutnya
diisi dengan sesuatu yang haram, maka bagaimana Kami mengabulkan
doanya?" [HR Muslim]
Di dalam hadits mulia ini terdapat banyak pelajaran yang bisa kita ambil.
Pertama : Di antara nama Allah adalah thayyib. Maksudnya, Allah memiliki
sifat-sifat yang baik, suci dari segala kekurangan dan kejelekan. Allah
Maha baik di dalam dzatNya, Maha baik di dalam sifat-sifatNya,
nama-namaNya, hukum-hukumNya, perbuatan-perbuatanNya, dan dalam segala
apa yang bersumber dariNya.
Sehingga apabila melihat nama-nama Allah yang kita ketahui, maka kita
mengetahui bahwa semua nama-nama itu indah. Di dalamnya terkandung
sifat-sifat yang indah. Sedikitpun tidak kita dapatkan kekurangan di
dalam nama-nama Allah tersebut. Allah berfirman:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ
"Dan hanya milik Allah-lah nama-nama yang baik" [al A’raf : 180].
Demikian pula di dalam sifat-sifat Allah, maka Allah memiliki
sifat-sifat yang baik, Allah Maha mampu, Maha mendengar, Maha melihat
dan sifat-sifat baik lainnya yang dimiliki oleh Allah. Dan dalam segala
perbuatan Allah, selalu tersimpan hikmah-hikmah yang agung.
Kedua : Karena Allah Maha baik, maka Dia tidak menerima kecuali sesuatu
yang baik. Allah tidak menerima amalan-amalan yang tercampur dengan
berbuatan syirik, karena amalan syirik bukanlah amalan yang baik.
Demikian pula Allah tidak menerima amalan yang tercampur dengan
perbuatan bid’ah.
Perlu kita ketahui, ikhwani fiddin … Amalan yang baik, bukanlah amalan
yang banyak atau amalan yang dipuji oleh manusia, akan tetapi amalan
yang baik ialah amalan yang dilakukan dengan ikhlas, sesuai dengan yang
dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Sebagaimana
dikatakan Fudhail bin Iyad ketika ia menafsirkan firman Allah:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
"Dan Dia-lah yang telah menciptakan kehidupan dan kematian untuk menguji
kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalannya (al Mulk ayat
2), ia mengatakan, bahwa yang paling baik amalnya ialah, yang paling
benar dan yang paling ikhlas. Benar apabila sesuai dengan yang dibawa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan ikhlas, apabila hanya
dilakukan karena mengharap wajah Allah.
Kemudian hadits ini juga menjelaskan adanya amalan yang diterima dan yang ditolak oleh Allah.
Ketiga : Para rasul juga diperintahkan dan dilarang oleh Allah, sebagaimana pula kaum Mukminin.
Walaupun mereka adalah orang yang telah diampuni Allah, mereka tetap
beribadah kepada Allah, sebagaimana kita lihat bagaimana Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menegakkan qiyamullail sehingga kedua
kakinya bengkak. Ditanyakan kepada Beliau:
أَتَكَلَّفُ هَذَا وَقَدْ غَفَرَ الهُl لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ
“Apakah engkau melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan dosa yang akan datang?”
Ditanya seperti ini, bagaimanakah jawab Beliau? Rasulullan Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan jawaban yang menakjubkan:
أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا
"Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?" [Muttafaqun alaih].
Begitulah pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai suri
tauladan bagi kita sampai hari Kiamat. Demikian pula dengan para sahabat
Rasulullah. Mereka selalu bersemangat dalam beribadah kepada Allah.
Bahkan di antara mereka ada yang telah dijamin oleh Allah masuk ke dalam
surga, akan tetapi, jaminan tersebut tidak menjadikan mereka malas
beribadah kepada Allah, tetapi justru membuat mereka lebih
bersungguh-sungguh menjalankan syariatNya. Keadaan ini berbeda dengan
yang terjadi pada manusia zaman sekarang ini.
Keempat : Di dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
juga menyebutkan, bahwasanya Allah memerintahkan kepada para rasul dan
juga kaum Mukminin untuk memakan makanan yang baik. Yaitu makanan yang
dihalalkan oleh Allah. Dan dalam mencarinya juga dengan cara yang halal,
bukan dengan cara-cara yang dimurkai Allah.
Kemudian Allah memerintahkan agar beramal shalih, karena amal shalih
merupakan wujud rasa syukur seseorang kepada Allah. Artinya, setelah
seseorang diberi karunia dengan mendapatkan makanan yang halal dan
didapatkannya dengan cara yang halal, maka sudah sepantasnya ia
bersyukur kepada Allah. Yaitu dengan menyandarkan kenikmatan tersebut
kepada Allah dan beramal shalih.
Faidah kelima dari hadits mulya ini, bahwasanya Allah tidak akan
mengabulkan doa seseorang, yang di dalam diri orang tersebut terisi
dengan hal-hal yang diharamkan Allah, sekalipun ia melakukannya dengan
sungguh-sungguh; maka bagaimana Allah akan mengabulkan doa orang yang
perutya terisi dengan barang-barang yang haram, makanannya haram,
minumannya haram, ataupun makanan dan minuman yang halal akan tetapi
dicari dengan cara yang haram?
Oleh karena itu, ikhwani fiddin, ini merupakan sebuah peringatan keras
serta ancaman yang berat bagi orang yang tidak mau memperdulikan
darimana ia mendapatkan rezekinya. Patut disesalkan, ternyata masih
banyak orang yang bermuamalah dengan muamalah yang haram, dan tidak
jarang hanya demi sedikit harta, kemudian rela mencarinya dengan
melanggar batasan-batasan Allah. Waliyadzu billahi min dzalik. Benarlah
yang disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلاَلِ أَمْ مِنْ الْحَرَامِ
"Akan datang kepada manusia suatu zaman, yaitu seseorang tidak lagi
memperdulikan dari mana ia mengambil hartanya, apakah dari jalan yang
halal ataukah dari jalan yang haram". [HR Bukhari].
Kita lihat saat ini, berapa banyak di antara kaum Muslimin yang berjual
beli dengan sistim riba, ataupun utang-piutang dengan sistim riba?
Ingatlah wahai, kaum Muslimin! Apabila kita masih melakukan perbuatan
tersebut, sesungguhnya hanya dosa serta kehinaan yang akan kita
dapatkan.
Ikhwani fiddin, karena harta merupakan amanah dari Allah dan kita akan
dimintai pertanggung jawabannya kelak di hadapan Allah, maka marilah
kita renungan, dari manakah harta yang kita dapatkan? Apakah kita
dapatkan dengan cara yang halal, ataukah sebaliknya dengan cara yang
haram?
Dengan begitu, kita berharap semoga terhindar dari harta yang haram, sehingga doa yang kita panjatkan, dikabulkan oleh Allah.
Disamping itu, karena doa merupakan ibadah yang agung, maka marilah kita
lakukan dengan penuh keikhlasan, sesuai dengan yang dicontohkan
Rasulullah, dan kita penuhi syarat-syaratnya. Insya Allah, doa kita akan
diterima dan dikabulkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Demikianlah beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari hadits yang
mulia ini. Mudah-mudahan bermanfaat. Kebenaran hanya datang dari Allah,
dan kesalahan datang dari kami dan dari setan. Dan Allah berlepas diri
dari kesalahan tersebut.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
[Diangkat dari Syarah Hadits Arbain, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin]
Minggu, 18 November 2012
Kategori Risalah : Rizqi & Harta Agar Rizki Mendapat Keberkahan
AGAR RIZKI MENDAPAT KEBERKAHAN
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
MAKNA KEBERKAHAN
Betapa sering kita mengucapkan, mendengar, mendambakan dan berdo’a untuk mendapatkan keberkahan, baik dalam umur, keluarga, usaha, maupun dalam harta benda dan lain-lain. Akan tetapi, pernahkah kita bertanya, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan keberkahan itu? Dan bagaimana untuk memperolehnya?
Apakah keberkahan itu hanya terwujud jamuan makanan yang kita bawa pulang saat kenduri? Atau apakah keberkahan itu hanya milik para kiyai, tukang ramal, atau para juru kunci kuburan, sehingga bila salah seorang memiliki suatu hajatan, ia datang kepada mereka untuk “ngalap berkah”, agar cita-citanya tercapai?
Bila kita pelajari dengan sebenarnya, baik melalui ilmu bahasa Arab maupun melalui dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan mendapatkan bahwa kata al-barakah memiliki kandungan dan pemahaman yang sangat luas dan agung. Secara ilmu bahasa, al-barakah, berarti berkembang, bertambah dan kebahagian [1]. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata : “Asal makna keberkahan, ialah kebaikan yang banyak dan abadi” [2]
DAHULU, SABA MERUPAKAN NEGERI PENUH BERKAH
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang negeri mereka.
بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
“(Negerimu adalah) negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun” [Saba : 15]
Ayat diatas berbicara tentang negeri Saba’ sebelum mengalami kehancuran lantaran kekufuran mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan kisah bangsa Saba’, suatu negeri yang tatkala penduduknya beriman dan beramal shalih, maka mereka dilingkupi dengan keberkahan. Sampai-sampai ulama ahli tafsir mengisahkan, kaum wanita Saba’ tidak perlu bersusah-payah memanen buah-buahan di kebun mereka. Untuk mengambil hasil buahnya, cukup menaruh keranjang di atas kepala, lalu melintas di kebun, maka buah-buahan yang telah masak akan berjatuhan memenuhi keranjangnya, tanpa harus memetik atau mendatangkan pekerja untuk memanennya.
Sebagian ulama lain juga menyebutkan, dahulu di negeri Saba’ tidak ada lalat, nyamuk, kutu, atau serangga lainnya. Kondisi demikian itu lantaran udaranya yang bagus, cuacanya bersih, dan berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa meliputi mereka. [3]
Kisah keberkahan yang menakjubkan pada zaman keemasan umat Islam juga pernah diungkapkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah :”Sungguh, biji-bijian dahulu, baik gandum maupun yang lainnya lebih besar dibanding dengan yang ada sekarang, sebagaimana keberkahan yang ada padanya (biji-bijian kala itu, pent) lebih banyak. Imam Ahmad rahimahullah telah meriwayatkan melalui jalur sanadnya, bahwa telah ditemukan di gudang sebagian kekhilafahan Bani Umawi sekantung gandum yang biji-bijinya sebesar biji kurma, dan bertuliskan pada kantung luarnya :”Ini adalah gandum hasil panen pada masa keadilan ditegakkan” [4]
Bila demikian, tentu masing-masing kita mendambakan untuk mendapatkan keberkahan dalam pekerjaan, penghasilan dan harta. Sehingga kita bertanya-tanya, bagaimanakah cara agar usaha, penghasilan dan harta saya diberkahi Allah?
DUA SYARAT MERAIH KEBERKAHAN
Untuk memperoleh keberkahan dalam hidup secara umum dan dalam penghasilan secara khusus, terdapat dua syarat yang mesti dipenuhi.
Pertama. Iman Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Inilah syarat pertama dan terpenting agar rizki kita diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu dengan merealisasikan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Andaikata penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” [Al-A’raf : 96]
Demikian, balasan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, dan sekaligus menjadi penjelas bahwa orang yang kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya tidak akan pernah merasakan keberkahan dalam hidup.
Di antara perwujudan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berkaitan dengan penghasilan, ialah senantiasa yakin dan menyadari bahwa rizki apapun yang kita peroleh merupakan karunia dan kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala , bukan semata-mata jerih payah atau kepandaian kita. Yang demikian itu, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan kadar rizki setiap manusia semenjak ia masih berada dalam kandungan ibunya.
Bila kita pikirkan diri dan negeri kita, niscaya kita bisa membukukan buktinya. Setiap kali kita mendapatkan suatu keberkahan, maka kita lupa daratan, dan merasa keberhasilan itu karena kehebatan kita. Dan sebaliknya, setiap terjadi kegagalan atau bencana, maka kita menuduh alam sebagai penyebabnya, dan melupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bila demikian, maka mana mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberkahi kehidupan kita? Bukankah pola pikir semacam ini yang telah menyebabkan Qarun mendapatkan adzab dengan ditelan bumi? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِنْدِي ۚ أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا
“Qarun berkata : “Sesunguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak harta kumpulannya ..” [Al-Qashah : 78]
Perwujudan bentuk yang lain dalam hal keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berkaitan dengan rizki, yaitu kita senantiasa menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika hendak menggunakan salah satu kenikmatan-Nya, misalnya ketika makan.
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يَأْكُلُ طَعَاماً في سِتَّةِ نَفَرٍ من أَصْحَابِهِ فَجَاءَ أعرابي فَأَكَلَهُ بِلُقْمَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَا إِنَّهُ لَوْ كَانَ ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ لَكَفَاكُمْ. رواه أحمد والنَّسائي وابن حبان
“Dari Sahabat Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu saat sedang makan bersama enam orang sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab badui, lalu menyantap makanan beliau dalam dua kali suapan (saja). Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ketahuilah seandainya ia menyebut nama Allah (membaca Bismillah, pent), niscaya makanan itu akan mencukupi kalian”. [HR Ahmad, An-Nasa-i dan Ibnu Hibban]
Pada hadits lain, Nab Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketahuilah bahwasanya salah seorang dari kamu bila hendak menggauli istrinya ia berkata : “Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau karuniakan kepada kami”, kemudian mereka berdua dikaruniai anak (hasil dari hubungan tersebut, pent) niscaya anak itu tidak akan diganggu setan” [HR Al-Bukhari]
Demikian, sekilas penjelasan peranan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang terwujud pada menyebut nama-Nya ketika hendak menggunakan suatu kenikmatan, sehingga mendatangkan keberkahan pada harta dan anak keturunan.
Kedua : Amal Shalih
Yang dimaksud dengan amal shalih, ialah menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya sesuai dengan syari’at yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah hakikat ketakwaan yang menjadi syarat datangnya keberkahan sebagaimana ditegaskan pada surat Al-A’raf ayat 96 diatas.
Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang Ahlul Kitab yang hidup pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ
“Dan sekiranya mereka benar-benar menjalankan Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka, niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka” [Al-Ma’idah : 66]
Para ulama tafsir menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “mendapatkan makanan dari atas dan dari bawah kaki”, ialah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meielimpahkan kepada mereka rizki yang sangat banyak dari langit dan dari bumi, sehingga mereka akan mendapatkan kecukupan dan berbagai kebaikan, tanpa susah payah, letih, lesu, dan tanpa adanya tantangan atau berbagai hal yang mengganggu ketentraman hidup mereka [5]
Di antara contoh nyata keberkahan harta orang yang beramal shalih, ialah kisah Khidir dan Nabi Musa bersama dua orang anak kecil. Pada kisah tersebut, Khidir menegakkan tembok pagar yang hendak roboh guna menjaga agar harta warisan yang dimiliki dua orang anak kecil dan terpendam di bawah pagar tersebut , sehingga tidak nampak dan tidak bisa diambil oleh orang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirmn.
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua anak yatim di kota itu, dan dibawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu” [Al-Kahfi : 82]
Menurut penjelasan para ulama tafsir, ayah yang dinyatakan dalam ayat ini sebagai ayah yang shalih itu bukan ayah kandung dari kedua anak tersebut. Akan tetapi, orang tua itu ialah kakeknya yang ketujuh, yang semasa hidupnya berprofesi sebagai tukang tenun.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Pada kisah ini terdapat dalil bahwa anak keturunan orang shalih akan dijaga, dan keberkahan amal shalihnya akan meliputi mereka di dunia dan di akhirat. Ia akan memberi syafa’at kepada mereka, dan derajatnya akan diangkat ke tingkatan tertinggi, agar orang tua mereka menjadi senang, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an dan Sunnah’ [6]
Sebaliknya, bila seseorang enggan beramal shalih, atau bahkan malah berbuat kemaksiatan, maka yang ia petik juga kebalikan dari apa yang telah disebutkan di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
(إن الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ) رواه أحمد وابن ماجة والحاكم وغيرهم
“Sesungguhnya seseorang dapat saja tercegah dari rizkinya akibat dari dosa yang ia kerjakan” [HR Ahmad, Ibnu Majah, Al-Hakim dll]
Membusuknya daging dan basinya makanan, sebenarnya menjadi salah satu dampak buruk yang harus ditanggung manusia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa itu semua terjadi akibat perbuatan dosa umat manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لَوْلَا بَنُو إِسْرَائِيلَ لَمْ يَخْبُثْ الطَّعَامُ وَلَمْ يَخْنَزْ اللَّحْمُ (متفق عليه)
“Seandainya kalau bukan karena ulah Bani Israil, niscaya makanan tidak akan pernah basi dan daging tidak akan pernah membusuk” [Muttafaqun ‘alaih]
Para ulama menjelaskan, tatkala Bani Israil diberi rizki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa burung-burung salwa (semacam burung puyuh) yang datang dan dapat mereka tangkap dengan mudah setiap pagi hari, mereka dilarang untuk menyimpan daging-dading burung tersebut. Setiap pagi hari, mereka hanya dibenarkan untuk mengambil daging yang akan mereka makan pada hari tersebut. Akan tetapi, mereka melanggar perintah ini, dan mengambil daging dalam jumlah yang melebihi kebutuhan mereka pada hari tersebut, untuk disimpan. Akibat perbuatan mereka ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum mereka, sehingga daging-daging yang mereka simpan tersebut menjadi busuk. [7]
Demikian, penjelasan dua syarat penting guna meraih keberkahan.
AMAL SHALIH MEMBANTU MENDATANGKAN KEBERKAHAN
Setelah terpenuhi dua syarat diatas, keberkahan juga bisa diraih berkat beberapa amal shalih yang nyata telah kita lakukan. Misalnya sebagai berikut.
Pertama : Mensyukuri Segala Nikmat
Tiada kenikmatan, apapun wujudnya yang dirasakan menusia, melainkan datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atas dasar itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan manusia untuk senantiasa bersyukur kepada-Nya. Dengan cara senantiasa mengingat bahwasanya kenikmatan tersebut datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, diteruskan mengucapkan hamdalah, dan selanjutnya menafkahkan sebagai kekayaannya di jalan-jalan yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seseorang yang telah mendapatkan taufik untuk bersyukur, ia akan mendapatkan keberkahan dalam hidupnya, sehingga Allah akan senantiasa melipatgandakan kenikmatan baginya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan ingatlah tatkala Rabbmu mengumandangkan : “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” [Ibrahim : 7]
Pada ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ
“Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur demi (kebaikan) dirinya sendiri” [An-Naml : 40]
Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata :”Manfaat bersyukur tidak akan dirasakan, kecuali oleh pelakunya sendiri. Dengan itu, ia berhak mendapatkan kesempurnaan dari nikmat yang telah ia dapatkan, dan nikmat tersebut akan kekal dan bertambah. Sebagaimana syukur, juga berfungsi untuk mengikat kenikmatan yang telah didapat serta menggapai kenikmatan yang belum dicapai” [8]
Sebagai contoh nyata, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. (yang artinya) : “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Rabb) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan) : “Makanlah olehmu dari rizki yang (dianugrahkan) Rabbmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon atsel (cemara) dan pohon bidara” [Saba : 15-16]
Tatkala bangsa Saba’ masih dalam keadaan makmur dan tenteram, Allah subhanahu wa Ta’ala hanya memerintahkan kepada mereka agar bersyukur. Ini menunjukkan, dengan bersyukur, mereka dapat menjaga kenikmatan dari bencana, dan mendatangkan kenikmatan lain yang belum pernah mereka dapatkan.
Kedua : Membayar Zakat (Sedekah)
Zakat, baik zakat wajib maupun sunnah (sedekah), merupakan salah satu amalan yang menjadi faktor yang dapat menyebabkan turunnya keberkahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” [Al-Baqarah : 276]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا. وَيَقُولُ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا. متفق عليه
“Tiada pagi hari, melainkan ada dua malaikat yang turun, kemudian salah satunya berkata (berdo’a) : “Ya Allah, berilah pengganti bagi orang yang berinfak”, sedangkan yang lain berdo’a :”Ya Allah, timpakanlah kepada orang yang kikir (tidak berinfak) kehancuran” [Muttafaqun alaih]
Ketiga : Bekerja Mencari Rizki Dengan Hati Qona’ah, Tidak Dipenuhi Ambisi dan Tidak Serakah
Sifat qona’ah dan lapang dada dengan pembagian Allah Subhanahu wa Ta’ala, merupakan kekayaan yang tidak ada bandingannya. Dengan jiwa yang dipenuhi dengan qona’ah, dan keridhaan dengan segala rizki yang Allah turunkan untuknya, maka keberkahan akan datang kepadanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
(إن اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَبْتَلِيْ عَبْدَهُ بِمَا أَعْطَاهُ. فَمَنْ رضي بِمَا قَسَمَ الله لَهُ بَارَكَ الله لَهُ فِيْهِ وَوَسَّعَهُ . وَمَنْ لم يَرْضَ لم يُبَارِكْ لَهُ وَلَمْ يَزِدْهُ عَلَى مَا كُتِبَ لَهُ) رواه أحمد والبيهقي وصححه الألباني
“Sesungguhnya Allah Yang Maha Luas Karunia-nya lagi Maha Tinggi, akan menguji setiap hamba-Nya dengan rizki yang telah Ia berikan kepadanya. Barangsiapa yang ridha dengan pembagian Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah akan memberkahi dan melapangkan rizki tersebut untuknya. Dan barangsiapa yang tidak ridha (tidak puas), niscaya rizkinya tidak akan diberkahi” [HR Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani]
Al-Munawi rahimahullah menyebutkan : “Penyakit ini (yaitu tidak puas dengan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepadanya, pent) banyak dijumpai pada pemuja dunia. Hingga engkau temui salah seorang dari mereka meremehkan rizki yang telah dikaruniakan untuknya ; merasa hartanya sedikit, buruk, serta terpana dengan rizki orang lain dan menganggapnya lebih bagus dan banyak. Oleh karena itu, ia akan senantiasa membanting tulang untuk menambah hartanya , sampai umurnya habis, kekuatannya sirna ; dan ia pun menjadi tua renta (pikun) akibat dari ambisi yang digapainya dan rasa letih. Dengan itu, ia telah menyiksa tubuhnya, menghitamkan lembaran amalannya dengan berbagai dosa yang ia lakukan demi mendapatkan harta kekayaan. Padahal, ia tidak akan memperoleh selain apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan untuknya. Pada akhir hayatnya, ia meninggal dunia dalam keadaan pailit. Dia tidak mensyukuri yang telah ia peroleh, dan ia juga tidak berhasil menggapai apa yang ia inginkan” [9]
Oleh karena itu, Islam mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa menjaga kehormatan agama dan diri dalam setiap usaha yang ditempuhnya guna mencari rizki. Sehingga, seorang muslim tidak akan menempuh, melainkan jalan-jalan yang telah dihalalkan dan dengan telah menjaga kehormatan dirinya.
Keempat : Bertaubat Dari Segala Perbuatan Dosa
Sebagaimana perbuatan dosa menjadi salah satu penyebab terhalangnya rizki dari pelakunya, maka sebaliknya, taubat dan istighfar merupakan salah satu faktor yang dapat mendatangkan rizki dan keberkahannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang Nabi Hud Alaihissallam bersama kaumnya.
وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَىٰ قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ
“Dan (Hud berkata) : Hai kaumku, beristighfarlah kepada Rabbmu lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan atasmu hujan yang sangat deras, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuta dosa” [Hud : 52]
Akibat kekufuran dan perbuatan dosa kaum ‘Ad –berdasarkan keterangan para ulama tafsir- mereka ditimpa kekeringan dan kemandulan, sehingga tidak seorang wanita pun yang bisa melahirkan anak. Keadaan ini berlangsung selama beberapa tahun lamanya. Oleh karena itu, Nabi Hud Alaihissallam memerintahkan mereka untuk bertaubat dan beristighfar. Sebab, dengan taubat dan istighfar itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menurunkan hujan, dan mengaruniai mereka anak keturunan. [10]
Kelima : Menyambung Tali Silaturahmi
Di antara amal shalih yang akan mendatangkan keberkahan dalam hidup, yaitu menyambung tali silaturrahim. Ini merupakan upaya menjalin hubungan baik dengan setiap orang yang akan terkait hubungan nasab dengan kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ . ( متفق عليه )
“Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan (atau diberkahi) rizkinya, atau ditunda (dipanjangkan) umurnya, maka hendaknya ia bersilaturrahim” [Muttafaqun ‘alaih]
Yang dimaksud dengan ditunda ajalnya, ialah umurnya diberkahi, diberi taufiq untuk beramal shalih, mengisi waktunya dengan berbagai amalan yang berguna bagi kehidupannya di akhirat, dan ia terjaga dari menyia-nyiakan waktunya dalam hal yang tidak berguna. Atau menjadikan nama harumnya senantiasa dikenang orang. Atau benar-benar umurnya ditambah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. [11]
Keenam : Mencari Rizki Dari Jalan Yang Halal.
Merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya keberkahan harta, ialah memperolehnya dengan jalan yang halal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لاَ تَسْتَبْطِئُوْا الرِّزْقَ ، فَإِنَّهُ لَنْ يَمُوْتَ الْعَبْدُ حَتَّى يَبْلُغَهُ آَخِرُ رِزْقٍ هُوَ لَهُ، فَأَجْمِلوُاْ فِيْ الطَّلَبِ: أَخْذِ الْحَلَالِ، وَترَكِ الْحَرَامِ.
“Janganlah kamu merasa bahwa rizkimu datangnya terlambat. Karena sesunguhnya, tidaklah seorang hamba akan meninggal, hingga telah datang kepadanya rizki terakhir (yang telah ditentukan) untuknya. Maka, tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rizki, yaitu dengan mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram” [HR Abdur-Razaq, Ibnu Hibbanm dan Al-Hakim]
Salah satu yang mempengaruhi keberkahan ini ialah praktek riba. Perbuatan riba termasuk faktor yang dapat menghapus keberkahan.
يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” [Al-Baqarah : 276]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata :”Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa Dia akan memusnahkan riba. Maksudnya, bisa saja memusnahkannya secara keseluruhan dari tangan pemiliknya, atau menghalangi pemiliknya dari keberkahan hartanya tersebut. Dengan demikian, pemilik riba tidak mendapatkan manfaat dari harta ribanya. Bahkan dengan harta tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membinasakannya dalam kehidupan dunia, dan kelak di hari akhirat Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menyiksanya akibat harta tersebut” [12]
Bila mengamati kehidupan orang-orang yang menjalankan praktek riba, niscaya kita dapatkan banyak bukti bagi kebenaran ayat dan hadits di atas. Betapa banyak pemakan riba yang hartanya berlimpah, hingga tak terhitung jumlahnya, akan tetapi tidak satu pun dari mereka yang merasakan keberkahan, ketentraman dan kebahagiaan dari harta haram tersebut.
Begitu pula dengan meminta-minta (mengemis) dalam mencari rizki, termasuk perbuatan yang diharamkan dan tidak mengandung keberkahan. Dalam salah satu hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan sebagian dampak hilangnya keberkahan dari orang yang meminta-minta.
(ما يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ). متفق عليه
“Tidaklah seseorang terus-menerus meminta-minta kepada orang lain, hingga kelak akan datang pada hari Kiamat, dalam keadaan tidak ada secuil daging pun melekat di wajahnya” [Muttafaqun alaih]
Ketujuh : Bekerja Saat Waktu Pagi.
Di antara jalan untuk meraih keberkahan dari Allah, ialah menanamkan semangat untuk hidup sehat dan produktif, serta menyingkirkan sifat malas sejauh-jaunya. Caranya, senantiasa memanfaatkan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hal-hal yang berguna dan mendatangkan kemaslahatan bagi hidup kita.
Termasuk waktu yang paling baik untuk memulai bekerja dan mencari rizki, ialah waktu pagi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanjatkan do’a keberkahan.
اللَّهُمَّ باَرِكْ لِأُمَّتِيْ فِيْ بُكُوْرِهَا ( رواه أبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجة وصححه الألباني )
“Ya Allah, berkahilah untuk ummatku waktu pagi mereka” [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]
Hikmah dikhususkannya waktu pagi dengan doa keberkahan, lantaran waktu pagi merupakan waktu dimulainya berbagai aktifitas manusia. Saat itu pula, seseorang merasakan semangat usai beristirahat di malam hari. Oleh karenanya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan keberkahan pada waktu pagi ini agar seluruh umatnya memperoleh bagian dari doa tersebut.
Sebagai penerapan langsung dari doa ini, bila mengutus pasukan perang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya di pagi hari, sehingga pasukan diberkahi dan mendapatkan pertolongan serta kemenangan.
Contoh lain dari keberkahan waktu pagi, ialah sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Shakhr Al-Ghamidi Radhiyallahu ‘anhu. Yaitu perawi hadits ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Shakhr bekerja sebagai pedagang. Usai mendengarkan hadits ini, ia pun menerapkannya. Tidaklah ia mengirimkan barang dagangannya kecuali di pagi hari. Dan benarlah, keberkahan Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat ia peroleh. Diriwayatkan, perniagaannya berhasil dan hartanya melimpah ruah. Dan berdasarkan hadits ini pula, sebagian ulama menyatakan, tidur pada pagi hari hukumnya makruh.
Masih banyak lagi amalan-amalan yang akan mendatangkan keberkahan dalam kehidupan seorang muslim. Apa yang telah saya paparkan di atas hanyalah sebagai contoh
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa melimpahkan taufiq dan keberkahan-Nya kepada kita semua. Dan semoga pemaparan singkat ini dapat berguna bagi saya pribadi dan setiap orang yang mendengar atau membacanya. Tak lupa, bila pemaparan diatas ada kesalahan, maka hal itu datang dari saya dan dari setan, sehingga saya beristighfar kepada Allah. Dan bila ada kebenaran, maka itu semua atas taufik dan inayah-Nya.
Wallahu a’lam bish-shawab
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
________
Footnote
[1]. Al-Misbahul-Munir, 1/45. Al-Qamus Al-Muhith, 2/1236. Lisanul Arab 10/395
[2]. Syarhu Shahih Muslim, oleh An-Nawawi 1/225
[3]. Tafsir Ibnu Katsir, 3/531
[4]. Lihat Zadul Ma’ad, 4/363 dan Musnad Ahmad 2/296
[5]. Tafsir Ibnu Katsir, 2/76
[6]. Tafsir Ibnu Katsir, 3/99
[7]. Ma’alimut Tanzil, 1/97. Syarhu Shahih Muslim 10/59 Fathul Bari 6/411
[8]. Tafsir Al-qurthubi, 13/206
[9]. Faidhul Qadir, 2/236
[10]. Lihat Tafsir Ath-Thabari (15/359) dan Tafsir Al-Qurthubi (9/51)
[11]. Lihat Syarhu Shahih Muslim (8/350) dan Aunul Ma’bud (4/102)
[12]. Tafsir Ibnu Katsir, 1/328
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
MAKNA KEBERKAHAN
Betapa sering kita mengucapkan, mendengar, mendambakan dan berdo’a untuk mendapatkan keberkahan, baik dalam umur, keluarga, usaha, maupun dalam harta benda dan lain-lain. Akan tetapi, pernahkah kita bertanya, apakah sebenarnya yang dimaksud dengan keberkahan itu? Dan bagaimana untuk memperolehnya?
Apakah keberkahan itu hanya terwujud jamuan makanan yang kita bawa pulang saat kenduri? Atau apakah keberkahan itu hanya milik para kiyai, tukang ramal, atau para juru kunci kuburan, sehingga bila salah seorang memiliki suatu hajatan, ia datang kepada mereka untuk “ngalap berkah”, agar cita-citanya tercapai?
Bila kita pelajari dengan sebenarnya, baik melalui ilmu bahasa Arab maupun melalui dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan mendapatkan bahwa kata al-barakah memiliki kandungan dan pemahaman yang sangat luas dan agung. Secara ilmu bahasa, al-barakah, berarti berkembang, bertambah dan kebahagian [1]. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata : “Asal makna keberkahan, ialah kebaikan yang banyak dan abadi” [2]
DAHULU, SABA MERUPAKAN NEGERI PENUH BERKAH
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang negeri mereka.
بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
“(Negerimu adalah) negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun” [Saba : 15]
Ayat diatas berbicara tentang negeri Saba’ sebelum mengalami kehancuran lantaran kekufuran mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan kisah bangsa Saba’, suatu negeri yang tatkala penduduknya beriman dan beramal shalih, maka mereka dilingkupi dengan keberkahan. Sampai-sampai ulama ahli tafsir mengisahkan, kaum wanita Saba’ tidak perlu bersusah-payah memanen buah-buahan di kebun mereka. Untuk mengambil hasil buahnya, cukup menaruh keranjang di atas kepala, lalu melintas di kebun, maka buah-buahan yang telah masak akan berjatuhan memenuhi keranjangnya, tanpa harus memetik atau mendatangkan pekerja untuk memanennya.
Sebagian ulama lain juga menyebutkan, dahulu di negeri Saba’ tidak ada lalat, nyamuk, kutu, atau serangga lainnya. Kondisi demikian itu lantaran udaranya yang bagus, cuacanya bersih, dan berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa meliputi mereka. [3]
Kisah keberkahan yang menakjubkan pada zaman keemasan umat Islam juga pernah diungkapkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah :”Sungguh, biji-bijian dahulu, baik gandum maupun yang lainnya lebih besar dibanding dengan yang ada sekarang, sebagaimana keberkahan yang ada padanya (biji-bijian kala itu, pent) lebih banyak. Imam Ahmad rahimahullah telah meriwayatkan melalui jalur sanadnya, bahwa telah ditemukan di gudang sebagian kekhilafahan Bani Umawi sekantung gandum yang biji-bijinya sebesar biji kurma, dan bertuliskan pada kantung luarnya :”Ini adalah gandum hasil panen pada masa keadilan ditegakkan” [4]
Bila demikian, tentu masing-masing kita mendambakan untuk mendapatkan keberkahan dalam pekerjaan, penghasilan dan harta. Sehingga kita bertanya-tanya, bagaimanakah cara agar usaha, penghasilan dan harta saya diberkahi Allah?
DUA SYARAT MERAIH KEBERKAHAN
Untuk memperoleh keberkahan dalam hidup secara umum dan dalam penghasilan secara khusus, terdapat dua syarat yang mesti dipenuhi.
Pertama. Iman Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Inilah syarat pertama dan terpenting agar rizki kita diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu dengan merealisasikan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Andaikata penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” [Al-A’raf : 96]
Demikian, balasan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, dan sekaligus menjadi penjelas bahwa orang yang kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya tidak akan pernah merasakan keberkahan dalam hidup.
Di antara perwujudan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berkaitan dengan penghasilan, ialah senantiasa yakin dan menyadari bahwa rizki apapun yang kita peroleh merupakan karunia dan kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala , bukan semata-mata jerih payah atau kepandaian kita. Yang demikian itu, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan kadar rizki setiap manusia semenjak ia masih berada dalam kandungan ibunya.
Bila kita pikirkan diri dan negeri kita, niscaya kita bisa membukukan buktinya. Setiap kali kita mendapatkan suatu keberkahan, maka kita lupa daratan, dan merasa keberhasilan itu karena kehebatan kita. Dan sebaliknya, setiap terjadi kegagalan atau bencana, maka kita menuduh alam sebagai penyebabnya, dan melupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bila demikian, maka mana mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberkahi kehidupan kita? Bukankah pola pikir semacam ini yang telah menyebabkan Qarun mendapatkan adzab dengan ditelan bumi? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِنْدِي ۚ أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا
“Qarun berkata : “Sesunguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak harta kumpulannya ..” [Al-Qashah : 78]
Perwujudan bentuk yang lain dalam hal keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berkaitan dengan rizki, yaitu kita senantiasa menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika hendak menggunakan salah satu kenikmatan-Nya, misalnya ketika makan.
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يَأْكُلُ طَعَاماً في سِتَّةِ نَفَرٍ من أَصْحَابِهِ فَجَاءَ أعرابي فَأَكَلَهُ بِلُقْمَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَا إِنَّهُ لَوْ كَانَ ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ لَكَفَاكُمْ. رواه أحمد والنَّسائي وابن حبان
“Dari Sahabat Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu saat sedang makan bersama enam orang sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab badui, lalu menyantap makanan beliau dalam dua kali suapan (saja). Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ketahuilah seandainya ia menyebut nama Allah (membaca Bismillah, pent), niscaya makanan itu akan mencukupi kalian”. [HR Ahmad, An-Nasa-i dan Ibnu Hibban]
Pada hadits lain, Nab Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketahuilah bahwasanya salah seorang dari kamu bila hendak menggauli istrinya ia berkata : “Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau karuniakan kepada kami”, kemudian mereka berdua dikaruniai anak (hasil dari hubungan tersebut, pent) niscaya anak itu tidak akan diganggu setan” [HR Al-Bukhari]
Demikian, sekilas penjelasan peranan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang terwujud pada menyebut nama-Nya ketika hendak menggunakan suatu kenikmatan, sehingga mendatangkan keberkahan pada harta dan anak keturunan.
Kedua : Amal Shalih
Yang dimaksud dengan amal shalih, ialah menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya sesuai dengan syari’at yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah hakikat ketakwaan yang menjadi syarat datangnya keberkahan sebagaimana ditegaskan pada surat Al-A’raf ayat 96 diatas.
Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang Ahlul Kitab yang hidup pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ
“Dan sekiranya mereka benar-benar menjalankan Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka, niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka” [Al-Ma’idah : 66]
Para ulama tafsir menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “mendapatkan makanan dari atas dan dari bawah kaki”, ialah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meielimpahkan kepada mereka rizki yang sangat banyak dari langit dan dari bumi, sehingga mereka akan mendapatkan kecukupan dan berbagai kebaikan, tanpa susah payah, letih, lesu, dan tanpa adanya tantangan atau berbagai hal yang mengganggu ketentraman hidup mereka [5]
Di antara contoh nyata keberkahan harta orang yang beramal shalih, ialah kisah Khidir dan Nabi Musa bersama dua orang anak kecil. Pada kisah tersebut, Khidir menegakkan tembok pagar yang hendak roboh guna menjaga agar harta warisan yang dimiliki dua orang anak kecil dan terpendam di bawah pagar tersebut , sehingga tidak nampak dan tidak bisa diambil oleh orang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirmn.
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua anak yatim di kota itu, dan dibawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu” [Al-Kahfi : 82]
Menurut penjelasan para ulama tafsir, ayah yang dinyatakan dalam ayat ini sebagai ayah yang shalih itu bukan ayah kandung dari kedua anak tersebut. Akan tetapi, orang tua itu ialah kakeknya yang ketujuh, yang semasa hidupnya berprofesi sebagai tukang tenun.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Pada kisah ini terdapat dalil bahwa anak keturunan orang shalih akan dijaga, dan keberkahan amal shalihnya akan meliputi mereka di dunia dan di akhirat. Ia akan memberi syafa’at kepada mereka, dan derajatnya akan diangkat ke tingkatan tertinggi, agar orang tua mereka menjadi senang, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an dan Sunnah’ [6]
Sebaliknya, bila seseorang enggan beramal shalih, atau bahkan malah berbuat kemaksiatan, maka yang ia petik juga kebalikan dari apa yang telah disebutkan di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
(إن الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ) رواه أحمد وابن ماجة والحاكم وغيرهم
“Sesungguhnya seseorang dapat saja tercegah dari rizkinya akibat dari dosa yang ia kerjakan” [HR Ahmad, Ibnu Majah, Al-Hakim dll]
Membusuknya daging dan basinya makanan, sebenarnya menjadi salah satu dampak buruk yang harus ditanggung manusia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa itu semua terjadi akibat perbuatan dosa umat manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لَوْلَا بَنُو إِسْرَائِيلَ لَمْ يَخْبُثْ الطَّعَامُ وَلَمْ يَخْنَزْ اللَّحْمُ (متفق عليه)
“Seandainya kalau bukan karena ulah Bani Israil, niscaya makanan tidak akan pernah basi dan daging tidak akan pernah membusuk” [Muttafaqun ‘alaih]
Para ulama menjelaskan, tatkala Bani Israil diberi rizki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa burung-burung salwa (semacam burung puyuh) yang datang dan dapat mereka tangkap dengan mudah setiap pagi hari, mereka dilarang untuk menyimpan daging-dading burung tersebut. Setiap pagi hari, mereka hanya dibenarkan untuk mengambil daging yang akan mereka makan pada hari tersebut. Akan tetapi, mereka melanggar perintah ini, dan mengambil daging dalam jumlah yang melebihi kebutuhan mereka pada hari tersebut, untuk disimpan. Akibat perbuatan mereka ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum mereka, sehingga daging-daging yang mereka simpan tersebut menjadi busuk. [7]
Demikian, penjelasan dua syarat penting guna meraih keberkahan.
AMAL SHALIH MEMBANTU MENDATANGKAN KEBERKAHAN
Setelah terpenuhi dua syarat diatas, keberkahan juga bisa diraih berkat beberapa amal shalih yang nyata telah kita lakukan. Misalnya sebagai berikut.
Pertama : Mensyukuri Segala Nikmat
Tiada kenikmatan, apapun wujudnya yang dirasakan menusia, melainkan datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atas dasar itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan manusia untuk senantiasa bersyukur kepada-Nya. Dengan cara senantiasa mengingat bahwasanya kenikmatan tersebut datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, diteruskan mengucapkan hamdalah, dan selanjutnya menafkahkan sebagai kekayaannya di jalan-jalan yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seseorang yang telah mendapatkan taufik untuk bersyukur, ia akan mendapatkan keberkahan dalam hidupnya, sehingga Allah akan senantiasa melipatgandakan kenikmatan baginya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan ingatlah tatkala Rabbmu mengumandangkan : “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” [Ibrahim : 7]
Pada ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ
“Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur demi (kebaikan) dirinya sendiri” [An-Naml : 40]
Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata :”Manfaat bersyukur tidak akan dirasakan, kecuali oleh pelakunya sendiri. Dengan itu, ia berhak mendapatkan kesempurnaan dari nikmat yang telah ia dapatkan, dan nikmat tersebut akan kekal dan bertambah. Sebagaimana syukur, juga berfungsi untuk mengikat kenikmatan yang telah didapat serta menggapai kenikmatan yang belum dicapai” [8]
Sebagai contoh nyata, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. (yang artinya) : “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Rabb) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan) : “Makanlah olehmu dari rizki yang (dianugrahkan) Rabbmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon atsel (cemara) dan pohon bidara” [Saba : 15-16]
Tatkala bangsa Saba’ masih dalam keadaan makmur dan tenteram, Allah subhanahu wa Ta’ala hanya memerintahkan kepada mereka agar bersyukur. Ini menunjukkan, dengan bersyukur, mereka dapat menjaga kenikmatan dari bencana, dan mendatangkan kenikmatan lain yang belum pernah mereka dapatkan.
Kedua : Membayar Zakat (Sedekah)
Zakat, baik zakat wajib maupun sunnah (sedekah), merupakan salah satu amalan yang menjadi faktor yang dapat menyebabkan turunnya keberkahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” [Al-Baqarah : 276]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا. وَيَقُولُ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا. متفق عليه
“Tiada pagi hari, melainkan ada dua malaikat yang turun, kemudian salah satunya berkata (berdo’a) : “Ya Allah, berilah pengganti bagi orang yang berinfak”, sedangkan yang lain berdo’a :”Ya Allah, timpakanlah kepada orang yang kikir (tidak berinfak) kehancuran” [Muttafaqun alaih]
Ketiga : Bekerja Mencari Rizki Dengan Hati Qona’ah, Tidak Dipenuhi Ambisi dan Tidak Serakah
Sifat qona’ah dan lapang dada dengan pembagian Allah Subhanahu wa Ta’ala, merupakan kekayaan yang tidak ada bandingannya. Dengan jiwa yang dipenuhi dengan qona’ah, dan keridhaan dengan segala rizki yang Allah turunkan untuknya, maka keberkahan akan datang kepadanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
(إن اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَبْتَلِيْ عَبْدَهُ بِمَا أَعْطَاهُ. فَمَنْ رضي بِمَا قَسَمَ الله لَهُ بَارَكَ الله لَهُ فِيْهِ وَوَسَّعَهُ . وَمَنْ لم يَرْضَ لم يُبَارِكْ لَهُ وَلَمْ يَزِدْهُ عَلَى مَا كُتِبَ لَهُ) رواه أحمد والبيهقي وصححه الألباني
“Sesungguhnya Allah Yang Maha Luas Karunia-nya lagi Maha Tinggi, akan menguji setiap hamba-Nya dengan rizki yang telah Ia berikan kepadanya. Barangsiapa yang ridha dengan pembagian Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah akan memberkahi dan melapangkan rizki tersebut untuknya. Dan barangsiapa yang tidak ridha (tidak puas), niscaya rizkinya tidak akan diberkahi” [HR Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani]
Al-Munawi rahimahullah menyebutkan : “Penyakit ini (yaitu tidak puas dengan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepadanya, pent) banyak dijumpai pada pemuja dunia. Hingga engkau temui salah seorang dari mereka meremehkan rizki yang telah dikaruniakan untuknya ; merasa hartanya sedikit, buruk, serta terpana dengan rizki orang lain dan menganggapnya lebih bagus dan banyak. Oleh karena itu, ia akan senantiasa membanting tulang untuk menambah hartanya , sampai umurnya habis, kekuatannya sirna ; dan ia pun menjadi tua renta (pikun) akibat dari ambisi yang digapainya dan rasa letih. Dengan itu, ia telah menyiksa tubuhnya, menghitamkan lembaran amalannya dengan berbagai dosa yang ia lakukan demi mendapatkan harta kekayaan. Padahal, ia tidak akan memperoleh selain apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan untuknya. Pada akhir hayatnya, ia meninggal dunia dalam keadaan pailit. Dia tidak mensyukuri yang telah ia peroleh, dan ia juga tidak berhasil menggapai apa yang ia inginkan” [9]
Oleh karena itu, Islam mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa menjaga kehormatan agama dan diri dalam setiap usaha yang ditempuhnya guna mencari rizki. Sehingga, seorang muslim tidak akan menempuh, melainkan jalan-jalan yang telah dihalalkan dan dengan telah menjaga kehormatan dirinya.
Keempat : Bertaubat Dari Segala Perbuatan Dosa
Sebagaimana perbuatan dosa menjadi salah satu penyebab terhalangnya rizki dari pelakunya, maka sebaliknya, taubat dan istighfar merupakan salah satu faktor yang dapat mendatangkan rizki dan keberkahannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang Nabi Hud Alaihissallam bersama kaumnya.
وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَىٰ قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ
“Dan (Hud berkata) : Hai kaumku, beristighfarlah kepada Rabbmu lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan atasmu hujan yang sangat deras, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuta dosa” [Hud : 52]
Akibat kekufuran dan perbuatan dosa kaum ‘Ad –berdasarkan keterangan para ulama tafsir- mereka ditimpa kekeringan dan kemandulan, sehingga tidak seorang wanita pun yang bisa melahirkan anak. Keadaan ini berlangsung selama beberapa tahun lamanya. Oleh karena itu, Nabi Hud Alaihissallam memerintahkan mereka untuk bertaubat dan beristighfar. Sebab, dengan taubat dan istighfar itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menurunkan hujan, dan mengaruniai mereka anak keturunan. [10]
Kelima : Menyambung Tali Silaturahmi
Di antara amal shalih yang akan mendatangkan keberkahan dalam hidup, yaitu menyambung tali silaturrahim. Ini merupakan upaya menjalin hubungan baik dengan setiap orang yang akan terkait hubungan nasab dengan kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ . ( متفق عليه )
“Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan (atau diberkahi) rizkinya, atau ditunda (dipanjangkan) umurnya, maka hendaknya ia bersilaturrahim” [Muttafaqun ‘alaih]
Yang dimaksud dengan ditunda ajalnya, ialah umurnya diberkahi, diberi taufiq untuk beramal shalih, mengisi waktunya dengan berbagai amalan yang berguna bagi kehidupannya di akhirat, dan ia terjaga dari menyia-nyiakan waktunya dalam hal yang tidak berguna. Atau menjadikan nama harumnya senantiasa dikenang orang. Atau benar-benar umurnya ditambah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. [11]
Keenam : Mencari Rizki Dari Jalan Yang Halal.
Merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya keberkahan harta, ialah memperolehnya dengan jalan yang halal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لاَ تَسْتَبْطِئُوْا الرِّزْقَ ، فَإِنَّهُ لَنْ يَمُوْتَ الْعَبْدُ حَتَّى يَبْلُغَهُ آَخِرُ رِزْقٍ هُوَ لَهُ، فَأَجْمِلوُاْ فِيْ الطَّلَبِ: أَخْذِ الْحَلَالِ، وَترَكِ الْحَرَامِ.
“Janganlah kamu merasa bahwa rizkimu datangnya terlambat. Karena sesunguhnya, tidaklah seorang hamba akan meninggal, hingga telah datang kepadanya rizki terakhir (yang telah ditentukan) untuknya. Maka, tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rizki, yaitu dengan mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram” [HR Abdur-Razaq, Ibnu Hibbanm dan Al-Hakim]
Salah satu yang mempengaruhi keberkahan ini ialah praktek riba. Perbuatan riba termasuk faktor yang dapat menghapus keberkahan.
يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” [Al-Baqarah : 276]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata :”Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa Dia akan memusnahkan riba. Maksudnya, bisa saja memusnahkannya secara keseluruhan dari tangan pemiliknya, atau menghalangi pemiliknya dari keberkahan hartanya tersebut. Dengan demikian, pemilik riba tidak mendapatkan manfaat dari harta ribanya. Bahkan dengan harta tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membinasakannya dalam kehidupan dunia, dan kelak di hari akhirat Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menyiksanya akibat harta tersebut” [12]
Bila mengamati kehidupan orang-orang yang menjalankan praktek riba, niscaya kita dapatkan banyak bukti bagi kebenaran ayat dan hadits di atas. Betapa banyak pemakan riba yang hartanya berlimpah, hingga tak terhitung jumlahnya, akan tetapi tidak satu pun dari mereka yang merasakan keberkahan, ketentraman dan kebahagiaan dari harta haram tersebut.
Begitu pula dengan meminta-minta (mengemis) dalam mencari rizki, termasuk perbuatan yang diharamkan dan tidak mengandung keberkahan. Dalam salah satu hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan sebagian dampak hilangnya keberkahan dari orang yang meminta-minta.
(ما يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ). متفق عليه
“Tidaklah seseorang terus-menerus meminta-minta kepada orang lain, hingga kelak akan datang pada hari Kiamat, dalam keadaan tidak ada secuil daging pun melekat di wajahnya” [Muttafaqun alaih]
Ketujuh : Bekerja Saat Waktu Pagi.
Di antara jalan untuk meraih keberkahan dari Allah, ialah menanamkan semangat untuk hidup sehat dan produktif, serta menyingkirkan sifat malas sejauh-jaunya. Caranya, senantiasa memanfaatkan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hal-hal yang berguna dan mendatangkan kemaslahatan bagi hidup kita.
Termasuk waktu yang paling baik untuk memulai bekerja dan mencari rizki, ialah waktu pagi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanjatkan do’a keberkahan.
اللَّهُمَّ باَرِكْ لِأُمَّتِيْ فِيْ بُكُوْرِهَا ( رواه أبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجة وصححه الألباني )
“Ya Allah, berkahilah untuk ummatku waktu pagi mereka” [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]
Hikmah dikhususkannya waktu pagi dengan doa keberkahan, lantaran waktu pagi merupakan waktu dimulainya berbagai aktifitas manusia. Saat itu pula, seseorang merasakan semangat usai beristirahat di malam hari. Oleh karenanya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan keberkahan pada waktu pagi ini agar seluruh umatnya memperoleh bagian dari doa tersebut.
Sebagai penerapan langsung dari doa ini, bila mengutus pasukan perang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya di pagi hari, sehingga pasukan diberkahi dan mendapatkan pertolongan serta kemenangan.
Contoh lain dari keberkahan waktu pagi, ialah sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Shakhr Al-Ghamidi Radhiyallahu ‘anhu. Yaitu perawi hadits ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Shakhr bekerja sebagai pedagang. Usai mendengarkan hadits ini, ia pun menerapkannya. Tidaklah ia mengirimkan barang dagangannya kecuali di pagi hari. Dan benarlah, keberkahan Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat ia peroleh. Diriwayatkan, perniagaannya berhasil dan hartanya melimpah ruah. Dan berdasarkan hadits ini pula, sebagian ulama menyatakan, tidur pada pagi hari hukumnya makruh.
Masih banyak lagi amalan-amalan yang akan mendatangkan keberkahan dalam kehidupan seorang muslim. Apa yang telah saya paparkan di atas hanyalah sebagai contoh
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa melimpahkan taufiq dan keberkahan-Nya kepada kita semua. Dan semoga pemaparan singkat ini dapat berguna bagi saya pribadi dan setiap orang yang mendengar atau membacanya. Tak lupa, bila pemaparan diatas ada kesalahan, maka hal itu datang dari saya dan dari setan, sehingga saya beristighfar kepada Allah. Dan bila ada kebenaran, maka itu semua atas taufik dan inayah-Nya.
Wallahu a’lam bish-shawab
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
________
Footnote
[1]. Al-Misbahul-Munir, 1/45. Al-Qamus Al-Muhith, 2/1236. Lisanul Arab 10/395
[2]. Syarhu Shahih Muslim, oleh An-Nawawi 1/225
[3]. Tafsir Ibnu Katsir, 3/531
[4]. Lihat Zadul Ma’ad, 4/363 dan Musnad Ahmad 2/296
[5]. Tafsir Ibnu Katsir, 2/76
[6]. Tafsir Ibnu Katsir, 3/99
[7]. Ma’alimut Tanzil, 1/97. Syarhu Shahih Muslim 10/59 Fathul Bari 6/411
[8]. Tafsir Al-qurthubi, 13/206
[9]. Faidhul Qadir, 2/236
[10]. Lihat Tafsir Ath-Thabari (15/359) dan Tafsir Al-Qurthubi (9/51)
[11]. Lihat Syarhu Shahih Muslim (8/350) dan Aunul Ma’bud (4/102)
[12]. Tafsir Ibnu Katsir, 1/328
Kategori Risalah : Rizqi & Harta Jika Suami Tidak Memberi Nafkah
JIKA SUAMI TIDAK MEMBERI NAFKAH
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Sesungguhnya rasa kasih-sayang di antara suami-isteri hampir-hampir tidak ditemui bandingannya. Dua jenis manusia, pada mulanya tidak saling mengenal, kemudian Allah mempertemukan keduanya, sehingga terjalin hubungan yang melebihi seorang saudara dengan saudaranya, seorang kawan dengan kawannya. Maka ini termasuk salah satu tanda kekuasaan Allah yang mengagumkan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah, Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." [ar Ruum / 30:21]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Seandainya Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan Bani Adam (manusia) semuanya laki-laki, dan menjadikan wanita-wanita (isteri-isteri) mereka dari jenis selain mereka, mungkin dari jin atau binatang, maka tidak akan terjadi persatuan antara mereka dengan isteri-isteri mereka. Bahkan pasti akan terjadi keengganan, seandainya isteri-isteri itu bukan dari jenisnya. Kemudian, di antara kesempurnaan rahmat Allah terhadap Bani Adam, bahwa Dia menciptakan isteri-isteri mereka dari jenis mereka sendiri, dan menjadikan di antara mereka rasa kasih, yaitu kecintaan, dan rahmat, yaitu sayang. Karena seorang laki-laki menahan isterinya, kemungkinan kecintaannya kepada isterinya, atau karena sayangnya, karena dia telah memiliki anak darinya, atau karena dia membutuhkan nafkah darinya, atau karena keakraban antara keduanya, atau lainnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir".[1]
Oleh karena itulah, kasih-sayang yang telah tumbuh di antara pasangan suami-isteri itu, selayaknya dijaga dan dikembangkan, sehingga tidak layu dan akhirnya sirna. Dari sini kita mengetahui keagungan syari’at Allah Azza wa Jalla yang menerangkan hak dan kewajiban suami-isteri.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".[al Baqarah / 2:228]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yaitu, mereka (para isteri) memiliki hak yang menjadi kewajiban para laki-laki (suami), maka hendaklah setiap satu dari keduanya menunaikan kewajibannya kepada yang lain dengan baik”.[2]
NAFKAH BAGI ISTERI DAN ANAK
Di antara hak terbesar wanita yang menjadi kewajiban suaminya adalah nafkah. Nafkah, secara bahasa adalah, harta atau semacamnya yang diinfaqkan (dibelanjakan) oleh seseorang. Adapun secara istilah, nafkah adalah, apa yang diwajibkan atas suami untuk isterinya dan anak-anaknya, yang berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan, dan semacamnya.[3]
Nafkah bagi isteri ini hukumnya wajib berdasarkan al Kitab, as Sunnah, dan Ijma'.
Disebutkan dalam al Qur`an :
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf" [al Baqarah / 2:233]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, : “Dan kewajiban ayah si anak memberi nafkah (makan) dan pakaian kepada para ibu (si anak) dengan ma’ruf (baik), yaitu dengan kebiasaan yang telah berlaku pada semisal para ibu, dengan tanpa israf (berlebihan) dan tanpa bakhil (menyempitkan), sesuai dengan kemampuannya di dalam kemudahannya, pertengahannya, dan kesempitannya” [4].
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَاهُ اللهُ لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَآءَاتَاهَا
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya "[ath Thalaq / 65:7]
Menjelaskan ayat ini, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata : “Ini sesuai dengan hikmah dan rahmat Allah Ta’ala. Dia menjadikan (kewajiban) setiap orang sesuai dengan keadaannya, dan Dia meringankan dari orang yang kesusaha, sehingga, dalam masalah nafkah dan lainnya, Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) kemampuannya.”[5]
Adapun dalil-dalil dari as Sunnah, antara lain:
عَنْ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
"Dari Mu’awiyah al Qusyairi Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang dari kami yang menjadi kewajiban suaminya?” Beliau menjawab,"Engkau memberi makan kepadanya, jika engkau makan. Engkau memberi pakaian kepadanya, jika engkau berpakaian. Janganlah engkau pukul wajahnya, janganlah engkau memburukkannya, dan janganlah engkau meninggalkannya kecuali di dalam rumah”. [HR Abu Dawud, no. 2142; Ibnu Majah, no. 1850; Syaikh al Albani mengatakan: “Hasan shahih”].
Pada saat haji wada’ , Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah:
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف
"Bertakwalah kamu kepada Allah tentang para wanita (isteri), karena sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan amanah Allah, dan kamu telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah [6]. Dan kamu memiliki hak yang menjadi kewajiban mereka (para isteri), yaitu mereka tidak memperbolehkan seorangpun yang tidak kamu sukai menginjakkan permadani-permadani kamu [7]. Jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Dan mereka memiliki hak yang menjadi kewajiban kamu, yaitu (kamu wajib memberi) rizki (makanan) dan pakaian kepada mereka dengan ma’ruf (baik)". [HR Muslim, no. 1218].
Adapun menurut Ijma`, Imam Ibnul Qaththan rahimahullah (wafat 628 H) menukilkan Ijma' tentang masalah ini, dengan perkataan beliau: “Ahlul ilmi (para ulama) telah sepakat adanya kewajiban memberi nafkah untuk para isteri atas para suami, jika mereka (para suami itu) telah baligh, kecuali isteri yang nusyuz (maksiat) dan enggan (mentaati suami)” [8].
UKURAN NAFKAH
Dalam masalah pemberian nafkah kepada isteri, maka agama tidak menetapkan dengan ukuran tertentu. Akan tetapi Allah k memerintahkan suami agar bersikap kepada isterinya dengan ma’ruf (baik, patut, umum). Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam sebagai panutan, beliau telah menetapkan bahwa nafkah itu mencukupi isteri dan anak.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan kebenaran yang ditetapkan oleh mayoritas ulama, bahwa nafkah isteri kembalinya adalah ‘urf (kebiasaan). Ukurannya tidak ditetapkan oleh syari’at. Nafkah itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan negara-negara, waktu, dan keadaan suami-isteri, serta kebiasaan keduanya. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"(Dan bergaullah dengan mereka (isteri-isteri kamu) secara patut – an Nisaa’ ayat 19- dan Nabi n bersabda (kepada Hindun isteri Abu Sufyan)":
خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
"(Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan patut!)."
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
وَلَهُنَّ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف
"(Dan mereka (para isteri) memiliki hak, yaitu (kamu wajib memberi) rizki (makanan) dan pakaian kepada mereka dengan ma’ruf (baik. patut)[9].
JIKA SUAMI TIDAK MEMBERI NAFKAH DENGAN CUKUP (BAKHIL)
Jika suami tidak memberi nafkah yang cukup, padahal dia memiliki harta yang nampak, yang memungkinkan bagi isteri untuk mengambil sendiri, atau dengan keputusan hakim, maka isteri hendaklah bersabar, tidak menuntut cerai.
Demikian juga jika suami tidak memberi nafkah secara cukup bagi isteri dan anaknya, maka sang isteri boleh mengambil harta suami dengan tanpa idzin, tetapi dengan cara yang ma’ruf (patut, secukupnya), tidak boleh berlebihan.
Dalam masalah tersebut, Nabi Shallallahu 'alaihi wa salllam telah berfatwa, sebagaimana disebutkan di dalam hadits shahih :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
Dari ‘Aisyah bahwa Hindun binti ‘Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan (suamiku, Pen) seorang laki-laki yang bakhil. Dia tidak memberi (nafkah) kepadaku yang mencukupi aku dan anakku, kecuali yang aku ambil darinya sedangkan dia tidak tahu”. Maka beliau bersabda: “Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan patut”.[HR Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714].
Setelah membawakan hadits ini, Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlaan berkata: “Apa yang telah lalu ini menunjukkan kewajiban nafkah untuk isteri. Dan nafkah itu diukur dengan apa yang mencukupinya (isteri) dan anaknya dengan ma’ruf (patut, baik, umum). Jika suami tidak memberi nafkah, sesungguhnya sang isteri berhak mengambil nafkahnya dari harta suaminya, walau tanpa sepengetahuannya, dan hal itu hendaklah dengan ma’ruf. Dan sepantasnya bagi isteri tidak membebani suaminya dengan banyak tuntutan. Hendaklah dia ridha dengan sedikit (nafkah), khususnya jika suami berada dalam kesusahan dan kemiskinan”.[10]
JIKA SUAMI TIDAK MAMPU MEMBERI NAFKAH
Telah kita ketahui bahwa nafkah merupakan hak isteri yang menjadi kewajiban suami. Maka bagaimanakah sikap isteri jika suami tidak mampu memberi nafkah, dan dia tidak memiliki harta yang dapat diambil untuk nafkah? Bolehkah isteri menuntut cerai?
Dalam masalah ini ada tiga pendapat ulama.[11]
1). Boleh menuntut faskh (pembatalan aqad nikah). Demikian ini pendapat jumhur (mayoritas ulama) Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah. Juga diriwayatkan dari Umar bin al Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhum. Juga pendapat Sa’id bin Musayyib, al Hasan al Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah, Ishaq, Abu ‘Ubaid, dan Abu Tsaur.
2). Tidak boleh menuntut faskh, tetapi isteri wajib bersabar. Demikian pendapat Hanafiyah, yang satu pendapat dengan Imam Syafi’i. Begitu pula Syaikh Abdurrahman as Sa’di.
3). Tidak boleh menuntut faskh, bahkan isteri yang kaya wajib menafkahi suaminya yang miskin. Ini pendapat Ibnu Hazm rahimahullah.
Syaikh Umar Sulaiman al Asyqar –hafizhahullah- berkata: “Al Hanafiyah (para ulama madzhab Hanafi) membolehkan seorang isteri berhutang atas tanggungan suaminya untuk memenuhi nafkahnya, dalam keadaan suami tidak mampu memberikan nafkah. Sedangkan para fuqaha (para ahli fiqih) tiga madzhab, yaitu : Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, berpendapat, seorang isteri disuruh memilih antara tetap bersama suaminya dengan kesusahannya, atau berpisah darinya dengan faskh (pembatalan) aqad nikah, dan nafkah bagi isteri tidak wajib atas suaminya selama dia kesusahan”.[12]
Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at Tuwaijiri –hafizhahullah- berkata: “Jika suami kesusahan memberikan nafkah, pakaian, atau tempat tinggal, atau suami pergi dan tidak meninggalkan nafkah untuk isterinya dan susah mengambil dari hartanya (suami), maka isteri berhak faskh (membatalkan aqad nikah), jika dia berkehendak, dengan idzin hakim (pengadilan agama)”.[13]
Setelah memaparkan dalil masing-masing pendapat di atas, Abu Malik Kamal bin as Sayid Salim menyatakan : "Yang paling nampak (kebenarannya) dari yang telah lalu, adalah pendapat bolehnya perpisahan (isteri menuntut faskh, putus nikah, Pen) dengan sebab ketiadaan nafkah, berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan oleh jumhur. Terlebih lagi, para sahabat Radhiyallahu 'anhum telah berpendapat dengannya dan mengamalkannya. Dan karena di dalam pendapat ini menghilangkan kesusahan dari isteri, apalagi jika suami menolak menthalaqnya karena pilihannya (sendiri) atau bersepakat dengan isterinya. Namun yang lebih utama dan lebih baik, si isteri bersabar terhadap kesusahan suaminya dan mendampinginya, serta membantu semampunya. Adapun dalil-dalil (ulama) yang melarang perpisahan tidaklah kuat melawan dalil-dalil jumhur. Wallahu a’lam”.[14]
Dari pembahasan ini, kita mengetahui betapa tingginya ajaran Islam, dan alangkah besar kasih-sayang Allah kepada para hambaNya. Al-hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
________
Footnote
[1]. Tafsir al Qur’anul ‘Azhim, surat ar Ruum : 21.
[2]. Tafsir al Qur’anul ‘Azhim, surat al Baqarah : 228.
[3]. Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin as Sayid Salim, 3/198; Mu’jamul Wasith, 2/942; Ahkamuz Zawaj, Syaikh Umar Sulaiman al Asyqar.
[4]. Tafsir al Qur’anul ‘Azhim, surat al Baqarah : 233.
[5]. Tafsir Taisir Karimir Rahman, surat ath Thalaq : 7.
[6]. Maksud kalimat Allah dalam hadits ini adalah firman Allah Azza wa Jalla : (Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi -QS an Nisaa` / 4 ayat 3. Demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim 4/443, Penerbit Darul Hadits, Kairo.
[7]. Imam Nawawi, di dalam Syarah Muslim 4/443-444, Penerbit Darul Hadits, Kairo -menyatakan secara ringkas- maknanya yang terpilih adalah, bahwasanya mereka (para isteri) tidak boleh mengizinkan kepada seorangpun yang tidak kamu sukai untuk memasuki rumah-rumah kamu dan duduk di tempat duduk-tempat duduk kamu. Sama saja, yang diidzinkan itu seorang laki-laki asing (bukan mahram), atau seorang wanita, atau seseorang dari mahram isteri. Larangan itu mengenai semuanya, kecuali bagi orang yang si isteri mengetahui atau menyangka bahwa suaminya tidak membencinya, atau mengizinkannya, atau diketahui ridhanya dengan keumuman kebiasaan.
[8]. Al Isyraf ‘ala Madzahibi Ahlil ‘Ilmi karya Al-Hafizh Ibnul Mundzir, 1/119. Dinukil dari al Iqna fii Masailil Ijma’ 2/55, karya Imam Ibnul Qaththan, Tahqiq Hasan bin Fauzi ash Sha’idi, Penerbit al Faruq al Haditsah.
[9]. Majmu’ Fatawa, 34/83; Taisiril Fiqh al Jami’ lil Ikhtiyarat al Fiqhiyah li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, Dr. Ahmad al Muwafi, Penerbit Dar Ibnil Jauzi, 2/861.
[10]. Fiqhuz Zawaj, hlm. 130.
[11]. Lihat dalil masing-masing pendapat di dalam kitab Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin as Sayid Salim, 3/400-404.
[12]. Ahkamuz Zawaj, Penerbit Darun Nafais, hlm. 287-288.
[13]. Mukhtashar Fiqih Islami, Penerbit Baitul Afkar ad Dauliyah, hlm. 860.
[14]. Shahih Fiqih Sunnah, 3/400-404
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Sesungguhnya rasa kasih-sayang di antara suami-isteri hampir-hampir tidak ditemui bandingannya. Dua jenis manusia, pada mulanya tidak saling mengenal, kemudian Allah mempertemukan keduanya, sehingga terjalin hubungan yang melebihi seorang saudara dengan saudaranya, seorang kawan dengan kawannya. Maka ini termasuk salah satu tanda kekuasaan Allah yang mengagumkan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لأَيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah, Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." [ar Ruum / 30:21]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Seandainya Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan Bani Adam (manusia) semuanya laki-laki, dan menjadikan wanita-wanita (isteri-isteri) mereka dari jenis selain mereka, mungkin dari jin atau binatang, maka tidak akan terjadi persatuan antara mereka dengan isteri-isteri mereka. Bahkan pasti akan terjadi keengganan, seandainya isteri-isteri itu bukan dari jenisnya. Kemudian, di antara kesempurnaan rahmat Allah terhadap Bani Adam, bahwa Dia menciptakan isteri-isteri mereka dari jenis mereka sendiri, dan menjadikan di antara mereka rasa kasih, yaitu kecintaan, dan rahmat, yaitu sayang. Karena seorang laki-laki menahan isterinya, kemungkinan kecintaannya kepada isterinya, atau karena sayangnya, karena dia telah memiliki anak darinya, atau karena dia membutuhkan nafkah darinya, atau karena keakraban antara keduanya, atau lainnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir".[1]
Oleh karena itulah, kasih-sayang yang telah tumbuh di antara pasangan suami-isteri itu, selayaknya dijaga dan dikembangkan, sehingga tidak layu dan akhirnya sirna. Dari sini kita mengetahui keagungan syari’at Allah Azza wa Jalla yang menerangkan hak dan kewajiban suami-isteri.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".[al Baqarah / 2:228]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Yaitu, mereka (para isteri) memiliki hak yang menjadi kewajiban para laki-laki (suami), maka hendaklah setiap satu dari keduanya menunaikan kewajibannya kepada yang lain dengan baik”.[2]
NAFKAH BAGI ISTERI DAN ANAK
Di antara hak terbesar wanita yang menjadi kewajiban suaminya adalah nafkah. Nafkah, secara bahasa adalah, harta atau semacamnya yang diinfaqkan (dibelanjakan) oleh seseorang. Adapun secara istilah, nafkah adalah, apa yang diwajibkan atas suami untuk isterinya dan anak-anaknya, yang berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan, dan semacamnya.[3]
Nafkah bagi isteri ini hukumnya wajib berdasarkan al Kitab, as Sunnah, dan Ijma'.
Disebutkan dalam al Qur`an :
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf" [al Baqarah / 2:233]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, : “Dan kewajiban ayah si anak memberi nafkah (makan) dan pakaian kepada para ibu (si anak) dengan ma’ruf (baik), yaitu dengan kebiasaan yang telah berlaku pada semisal para ibu, dengan tanpa israf (berlebihan) dan tanpa bakhil (menyempitkan), sesuai dengan kemampuannya di dalam kemudahannya, pertengahannya, dan kesempitannya” [4].
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَاهُ اللهُ لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَآءَاتَاهَا
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya "[ath Thalaq / 65:7]
Menjelaskan ayat ini, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata : “Ini sesuai dengan hikmah dan rahmat Allah Ta’ala. Dia menjadikan (kewajiban) setiap orang sesuai dengan keadaannya, dan Dia meringankan dari orang yang kesusaha, sehingga, dalam masalah nafkah dan lainnya, Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) kemampuannya.”[5]
Adapun dalil-dalil dari as Sunnah, antara lain:
عَنْ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
"Dari Mu’awiyah al Qusyairi Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang dari kami yang menjadi kewajiban suaminya?” Beliau menjawab,"Engkau memberi makan kepadanya, jika engkau makan. Engkau memberi pakaian kepadanya, jika engkau berpakaian. Janganlah engkau pukul wajahnya, janganlah engkau memburukkannya, dan janganlah engkau meninggalkannya kecuali di dalam rumah”. [HR Abu Dawud, no. 2142; Ibnu Majah, no. 1850; Syaikh al Albani mengatakan: “Hasan shahih”].
Pada saat haji wada’ , Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah:
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف
"Bertakwalah kamu kepada Allah tentang para wanita (isteri), karena sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan amanah Allah, dan kamu telah menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah [6]. Dan kamu memiliki hak yang menjadi kewajiban mereka (para isteri), yaitu mereka tidak memperbolehkan seorangpun yang tidak kamu sukai menginjakkan permadani-permadani kamu [7]. Jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Dan mereka memiliki hak yang menjadi kewajiban kamu, yaitu (kamu wajib memberi) rizki (makanan) dan pakaian kepada mereka dengan ma’ruf (baik)". [HR Muslim, no. 1218].
Adapun menurut Ijma`, Imam Ibnul Qaththan rahimahullah (wafat 628 H) menukilkan Ijma' tentang masalah ini, dengan perkataan beliau: “Ahlul ilmi (para ulama) telah sepakat adanya kewajiban memberi nafkah untuk para isteri atas para suami, jika mereka (para suami itu) telah baligh, kecuali isteri yang nusyuz (maksiat) dan enggan (mentaati suami)” [8].
UKURAN NAFKAH
Dalam masalah pemberian nafkah kepada isteri, maka agama tidak menetapkan dengan ukuran tertentu. Akan tetapi Allah k memerintahkan suami agar bersikap kepada isterinya dengan ma’ruf (baik, patut, umum). Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam sebagai panutan, beliau telah menetapkan bahwa nafkah itu mencukupi isteri dan anak.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan kebenaran yang ditetapkan oleh mayoritas ulama, bahwa nafkah isteri kembalinya adalah ‘urf (kebiasaan). Ukurannya tidak ditetapkan oleh syari’at. Nafkah itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan negara-negara, waktu, dan keadaan suami-isteri, serta kebiasaan keduanya. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"(Dan bergaullah dengan mereka (isteri-isteri kamu) secara patut – an Nisaa’ ayat 19- dan Nabi n bersabda (kepada Hindun isteri Abu Sufyan)":
خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
"(Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan patut!)."
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
وَلَهُنَّ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف
"(Dan mereka (para isteri) memiliki hak, yaitu (kamu wajib memberi) rizki (makanan) dan pakaian kepada mereka dengan ma’ruf (baik. patut)[9].
JIKA SUAMI TIDAK MEMBERI NAFKAH DENGAN CUKUP (BAKHIL)
Jika suami tidak memberi nafkah yang cukup, padahal dia memiliki harta yang nampak, yang memungkinkan bagi isteri untuk mengambil sendiri, atau dengan keputusan hakim, maka isteri hendaklah bersabar, tidak menuntut cerai.
Demikian juga jika suami tidak memberi nafkah secara cukup bagi isteri dan anaknya, maka sang isteri boleh mengambil harta suami dengan tanpa idzin, tetapi dengan cara yang ma’ruf (patut, secukupnya), tidak boleh berlebihan.
Dalam masalah tersebut, Nabi Shallallahu 'alaihi wa salllam telah berfatwa, sebagaimana disebutkan di dalam hadits shahih :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
Dari ‘Aisyah bahwa Hindun binti ‘Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan (suamiku, Pen) seorang laki-laki yang bakhil. Dia tidak memberi (nafkah) kepadaku yang mencukupi aku dan anakku, kecuali yang aku ambil darinya sedangkan dia tidak tahu”. Maka beliau bersabda: “Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan patut”.[HR Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714].
Setelah membawakan hadits ini, Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlaan berkata: “Apa yang telah lalu ini menunjukkan kewajiban nafkah untuk isteri. Dan nafkah itu diukur dengan apa yang mencukupinya (isteri) dan anaknya dengan ma’ruf (patut, baik, umum). Jika suami tidak memberi nafkah, sesungguhnya sang isteri berhak mengambil nafkahnya dari harta suaminya, walau tanpa sepengetahuannya, dan hal itu hendaklah dengan ma’ruf. Dan sepantasnya bagi isteri tidak membebani suaminya dengan banyak tuntutan. Hendaklah dia ridha dengan sedikit (nafkah), khususnya jika suami berada dalam kesusahan dan kemiskinan”.[10]
JIKA SUAMI TIDAK MAMPU MEMBERI NAFKAH
Telah kita ketahui bahwa nafkah merupakan hak isteri yang menjadi kewajiban suami. Maka bagaimanakah sikap isteri jika suami tidak mampu memberi nafkah, dan dia tidak memiliki harta yang dapat diambil untuk nafkah? Bolehkah isteri menuntut cerai?
Dalam masalah ini ada tiga pendapat ulama.[11]
1). Boleh menuntut faskh (pembatalan aqad nikah). Demikian ini pendapat jumhur (mayoritas ulama) Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah. Juga diriwayatkan dari Umar bin al Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhum. Juga pendapat Sa’id bin Musayyib, al Hasan al Bashri, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah, Ishaq, Abu ‘Ubaid, dan Abu Tsaur.
2). Tidak boleh menuntut faskh, tetapi isteri wajib bersabar. Demikian pendapat Hanafiyah, yang satu pendapat dengan Imam Syafi’i. Begitu pula Syaikh Abdurrahman as Sa’di.
3). Tidak boleh menuntut faskh, bahkan isteri yang kaya wajib menafkahi suaminya yang miskin. Ini pendapat Ibnu Hazm rahimahullah.
Syaikh Umar Sulaiman al Asyqar –hafizhahullah- berkata: “Al Hanafiyah (para ulama madzhab Hanafi) membolehkan seorang isteri berhutang atas tanggungan suaminya untuk memenuhi nafkahnya, dalam keadaan suami tidak mampu memberikan nafkah. Sedangkan para fuqaha (para ahli fiqih) tiga madzhab, yaitu : Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, berpendapat, seorang isteri disuruh memilih antara tetap bersama suaminya dengan kesusahannya, atau berpisah darinya dengan faskh (pembatalan) aqad nikah, dan nafkah bagi isteri tidak wajib atas suaminya selama dia kesusahan”.[12]
Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at Tuwaijiri –hafizhahullah- berkata: “Jika suami kesusahan memberikan nafkah, pakaian, atau tempat tinggal, atau suami pergi dan tidak meninggalkan nafkah untuk isterinya dan susah mengambil dari hartanya (suami), maka isteri berhak faskh (membatalkan aqad nikah), jika dia berkehendak, dengan idzin hakim (pengadilan agama)”.[13]
Setelah memaparkan dalil masing-masing pendapat di atas, Abu Malik Kamal bin as Sayid Salim menyatakan : "Yang paling nampak (kebenarannya) dari yang telah lalu, adalah pendapat bolehnya perpisahan (isteri menuntut faskh, putus nikah, Pen) dengan sebab ketiadaan nafkah, berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan oleh jumhur. Terlebih lagi, para sahabat Radhiyallahu 'anhum telah berpendapat dengannya dan mengamalkannya. Dan karena di dalam pendapat ini menghilangkan kesusahan dari isteri, apalagi jika suami menolak menthalaqnya karena pilihannya (sendiri) atau bersepakat dengan isterinya. Namun yang lebih utama dan lebih baik, si isteri bersabar terhadap kesusahan suaminya dan mendampinginya, serta membantu semampunya. Adapun dalil-dalil (ulama) yang melarang perpisahan tidaklah kuat melawan dalil-dalil jumhur. Wallahu a’lam”.[14]
Dari pembahasan ini, kita mengetahui betapa tingginya ajaran Islam, dan alangkah besar kasih-sayang Allah kepada para hambaNya. Al-hamdulillahi Rabbil ‘alamin.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
________
Footnote
[1]. Tafsir al Qur’anul ‘Azhim, surat ar Ruum : 21.
[2]. Tafsir al Qur’anul ‘Azhim, surat al Baqarah : 228.
[3]. Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin as Sayid Salim, 3/198; Mu’jamul Wasith, 2/942; Ahkamuz Zawaj, Syaikh Umar Sulaiman al Asyqar.
[4]. Tafsir al Qur’anul ‘Azhim, surat al Baqarah : 233.
[5]. Tafsir Taisir Karimir Rahman, surat ath Thalaq : 7.
[6]. Maksud kalimat Allah dalam hadits ini adalah firman Allah Azza wa Jalla : (Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi -QS an Nisaa` / 4 ayat 3. Demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim 4/443, Penerbit Darul Hadits, Kairo.
[7]. Imam Nawawi, di dalam Syarah Muslim 4/443-444, Penerbit Darul Hadits, Kairo -menyatakan secara ringkas- maknanya yang terpilih adalah, bahwasanya mereka (para isteri) tidak boleh mengizinkan kepada seorangpun yang tidak kamu sukai untuk memasuki rumah-rumah kamu dan duduk di tempat duduk-tempat duduk kamu. Sama saja, yang diidzinkan itu seorang laki-laki asing (bukan mahram), atau seorang wanita, atau seseorang dari mahram isteri. Larangan itu mengenai semuanya, kecuali bagi orang yang si isteri mengetahui atau menyangka bahwa suaminya tidak membencinya, atau mengizinkannya, atau diketahui ridhanya dengan keumuman kebiasaan.
[8]. Al Isyraf ‘ala Madzahibi Ahlil ‘Ilmi karya Al-Hafizh Ibnul Mundzir, 1/119. Dinukil dari al Iqna fii Masailil Ijma’ 2/55, karya Imam Ibnul Qaththan, Tahqiq Hasan bin Fauzi ash Sha’idi, Penerbit al Faruq al Haditsah.
[9]. Majmu’ Fatawa, 34/83; Taisiril Fiqh al Jami’ lil Ikhtiyarat al Fiqhiyah li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, Dr. Ahmad al Muwafi, Penerbit Dar Ibnil Jauzi, 2/861.
[10]. Fiqhuz Zawaj, hlm. 130.
[11]. Lihat dalil masing-masing pendapat di dalam kitab Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin as Sayid Salim, 3/400-404.
[12]. Ahkamuz Zawaj, Penerbit Darun Nafais, hlm. 287-288.
[13]. Mukhtashar Fiqih Islami, Penerbit Baitul Afkar ad Dauliyah, hlm. 860.
[14]. Shahih Fiqih Sunnah, 3/400-404
Kategori Risalah : Rizqi & Harta Bolehkah Suami Memakan Gaji Isteri?
BOLEHKAH SUAMI MEMAKAN GAJI ISTERI?
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Gaji atau pendapatan milik isteri, yang ia peroleh dari kerjanya, dapat berpengaruh positif maupun negatif dalam kehidupana rumah tangga. Artinya, pendapatan tersebut bisa lebih menguatkan sendi-sendi keluarga, atau sebaliknya justru menghancurkannya. Ikatan suami-isteri itu menjadi kuat, atau justru merenggangkannya.
Kadang, karena isteri merasa memiliki pendapatan sendiri, ia berlaku hidup boros, dengan membelanjakan hasil pendapatannya untuk membeli keperluan pribadi yang diinginkannya. Tetapi juga bisa menempanya menjadi wanita yang hemat, dan lebih bijak dalam mengolah income pribadinya, ia lantaran mengetahui betapa berat dan susahnya mencari nafkah.
Yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah uang itu milik isteri semata, hingga tidak ada hak bagi suaminya untuk menikmatinya. Ataukah termasuk milik bersama-sama dengan suaminya. Kapan saja suami membutuhkan, ia dapat saja memakainya. Inilah tanda tanya yang muncul atas gaji atau pendapatan isteri.
Permasalahan timbul seiring dengan perjalanan hari, kian pelik dan kompleks. Seorang isteri yang mendapatkan uang (pendapatan) melalui aktifitas kerja (yang sesuai dengan kodratnya), kemudian adanya pemandangan yang berlawanan, yaitu suami yang memanfaatkan incomenya. Bisa jadi, sebagai suami ia hanya memperoleh pendapatan yang sesedikit, atau memang ia tidak bekerja. Bagaimana hukumnya dalam Islam? Menjawab perkara-perkara di atas, berikut adalah pembahasan yang akan mengantarkan menuju titik kejelasannya.
DALAM ISLAM, WANITA DIHORMATI
Hendaknya wanita muslimah bergembira dengan perlakuan Islam kepadanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengistimewakan wanita saat belay menyampaikan pesan agung pada waktu haji Wada'. Subtsansinya, memenuhi hak-hak wanita, perintah mencurahkan kebaikan kepada wanita dan memperlakukan dalam pergaulan dengannya secara baik, sebagaimana beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi pesan di kesempatan lainnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ
"Bertakwalah kalian dalam (memperlakukan) terhadap wanita". [HR Muslim, 1218].
Dalam Shahihain, dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah bersabda:
فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
"Hendaklah kalian memperhatikan kaum wanita dengan baik". [HR al Bukhari, 3331 dan Musim, 1468].
Oleh karenanya, seorang wanita harus memahami, di bawah naungan Islam, ia bakal hidup dalam kemuliaan lagi berharga, penuh perlindungan dan memperoleh hak-haknya, sebagaimana telah ditetapkan Allah baginya. Kondisi ini berbeda dengan wanita pada masa Jahiliyah.[1]
NAFKAH MERUPAKAN KEWAJIBAN SUAMI[2]
Pada dasarnya, wanita (perempuan), ia merupakan bagian masyarakat yang dijamin kehidupannya sepanjang fase usianya. Baik ia sebagai anak, isteri, ibu atau saudara perempuan. Kaum lelaki dari keluarganyalah yang bertanggung jawab atas kehidupannya. Wanita tidak wajib untuk menanggung nafkah keluarga.
Bila wanita sudah berkeluarga, maka kebutuhan dan keperluan rumah serta anak-anaknya menjadi tanggung jawab sang suaminya. Ini merupakan salah satu bentuk penghormatan Islam terhadap kaum wanita. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَآأَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
"Kaum lelaki itu adalah pemimpin kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum lelaki) atas sebagian yang lain (kaum wanita), dan karena mereka (kaum lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka". [an Nisaa`/4 : 34].
Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, sudah menjadi Ijma' ulama, ayah (suami)lah yang menafkahi anak-anak, tanpa dibarengi oleh ibu (isteri).[3]
MAHAR ADALAH MILIK WANITA
Mahar termasuk hak harta bagi seorang isteri, sehingga harus benar-benar diterima olehnya. Tidak ada orang yang lebih berhak dalam harta ini selain wanita. Syariat Islam telah menjamin kepemilikan mahar bagi wanita melalui beberapa aturan.
1). Syariat Melarang Penghapusan Mahar Dalam Pernikahan.
Mahar tidak boleh dimaafkan dan digugurkan pada awal pernikahan. Al Qurthubi, Ibnu Qudamah dan ulama lainnya telah mengutip adanya Ijma' tentang wajibnya mahar dalam pernikahan[4]. Apabila kedua belah pihak sepakat untuk menghilangkan mahar, maka masih wajib ditetapkan nilai mahar wanita semisalnya.
2). Wanita Boleh Menolak Untuk Menyerahkan Dirinya Kepada Suami, Sampai Mahar Ia Terima (Mahar Yang Berbentuk Utang Tidak Tunai).
Mahar menjadi hak wanita usai akad nikah. Saat itulah ia berhak memintanya. Tidak menutup kemungkinan mahar tidak berbentuk tunai. Atau sebagiannya masih hutang. Syariat menjamin hak ini bagi wanita dengan memperbolehkannya untuk menolak menyerahkan diri kepada suami, atau pindah ke rumah suami dan bepergian bersamanya, sampai ia menggengam maharnya.[5]
3). Mahar Yang Rusak Di Tangan Suami Sebelum Diserahkan Menjadi Tanggungan Suami.
Secara umum, para fuqaha telah sepakat, suami bertanggung jawab terhadap mahar yang hilang di tangannya. Suami wajib mengganti bila ada gantinya, atau menukarnya dengan nilainya, bila tidak ada gantinya.[6]
4). Wanita Berhak Memiliki Mahar Secara Utuh Ketika Suaminya Meninggal Setelah Akad, Meskipun Belum 'Disentuh'. Dan Wajib Diserahkan Setelah Terjadi Jima'.
Jika suami belum sempat berjima dan ia meninggal terlebih dahulu, maka wanita tetap berhak atas mahar melalui akad nikah yang telah dilaksanakan. Mahar bukan berarti batal (tidak diserahkan). Ini lantaran kondisi suami yang tidak memungkinkan untuk berhubungan badan dengan isterinya (karena ia meninggal), dan bukan dari sisi isteri, sehingga isteri berhak atas mahar secara penuh. Mahar akan menjadi hutang dalam tanggungan suami, sehingga harus dibayarkan kepada isteri, tidak gugur lantaran kematian. Hutang mahar, statusnya sama dengan hutang lainnya, ia tidak menjadi lunas karena kematian.
Para fuqaha telah menyepakati kepemilikan mahar yang disebutkan (dalam akad) secara utuh bagi isteri dengan kematian suaminya, atau mahar (wanita) semisalnya saat tidak disebutkan (dalam aqad), dengan menjadikan kematian (suaminya) sebagai faktor penegas penyerahan mahar.[7]
HASIL KERJA ISTERI, 100 % MILIKNYA
Melalui keterangan tentang mahar yang menjadi hak milik penuh isteri, yang harus ia terima dari suaminya, jawaban tentang pertanyaan di awal tulisan ini sebenarnya sudah tersibak. Kalau dalam mahar, dalam kondisi apapun, isteri akan memperolehnya, apalagi uang yang merupakan hasil dari jerih-payahnya.
Oleh karena itu, gaji, pendapatan, atau uang milik isteri yang didapatkannya dari jalan yang diperbolehkan syariat, secara penuh menjadi hak milik isteri. Sang suami, ia tidak mempunyai hak sedikit pun dari harta tersebut. Kelemahan fisik atau statusnya sebagai isteri, tidak berarti boleh "merampas" hak miliknya, atau memanfaatkan menurut kemauannya.
Syaikh 'Abdullah bin 'Abdur Rahman al Jibrin pernah ditanya tentang hukum suami yang mengambil uang (harta) milik isterinya[8], untuk digabungkan dengan uangnya (suami). Menjawab pertanyaan seperti ini, Syaikh al Jibrin mengatakan, tidak disangsikan lagi, isteri lebih berhak dengan mahar dan harta yang ia miliki, baik melalui usaha yang ia lakukan, hibah, warisan, dan lain sebagainya. Itu merupakan hartanya, dan menjadi miliknya. Dia yang paling berhak untuk melakukan apa saja dengan hartanya itu, tanpa ada campur tangan pihak lainnya.[9]
BOLEH DIMANFAATKAN, DENGAN SYARAT
Uang atau harta isteri adalah milik pribadinya, sehingga perlakuannya sama seperti halnya kepunyaan orang lain, tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan keridhaan dan kerelaannya. Bila ia telah memberikan keridhaan bagi suaminya pada sebagian yang ia miliki atau semuanya, maka boleh saja dan menjadi halal bagi suaminya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَءَاتُوا النِّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
"Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya". [an Nisaa`/4 : 4].
Ayat di atas, adalah ditujukan kepada para suami, bukan kepada para wali wanita. Inilah pendapat yang shahih.[10]
Syaikh 'Abdur Rahman as Sa'di di dalam tafsirnya menuliskan, ketika banyak orang (suami, Pen.) berbuat aniaya kepada kaum wanita dan merampas hak-hak mereka -terutama mas kawin- yang berjumlah banyak dan diserahkan sekaligus, dirasakan berat untuk diberikan kepada isteri, maka Allah memerintahkan para suami untuk tetap memberikan mahar kepada isteri.
Apabila para isteri mengizinkan bagi kalian (para suami) dengan ridha dan kerelaan, yaitu menggugurkan sebagian darinya, atau menunda, atau diganti dengan yang lain, maka tidak masalah bagi kalian (para suami).
Dalam ayat ini terdapat dalil, bahwa wanita mempunyai wewenang dalam pengelolaan terhadap hartanya -meskipun dengan menyedekahkannya- apabila ia sudah berpikir dewasa. Jika belum demikian (belum bisa bepikir secara dewasa, Pen.) maka pemberiannya tidak ada dampak hukumnya, dan bagi walinya, tidak ada hak sedikit pun atas mahar yang dimilikinya.[11]
Penegasan tentang terpeliharanya harta (dan darah serta kehormatan), juga telah disampaikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam momen yang sangat istimewa, yaitu pada haji Wada'. Menjadikan kedudukan harta laksana kehormatan hari raya Idul Adh-ha, bulan Dzul Hijjah dan kota Mekkah.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, pada asalnya, darah, harta dan kehormatan kaum Muslimin diharamkan untuk direbut oleh sebagian yang lain. Tidak halal, kecuali dengan izin Allah dan RasulNya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
"Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian, haram atas kalian seperti kehormatan hari ini, tempat ini dan di bulan ini". [HR al Bukhari, 1741, dan Muslim, 1679, dari Abu Bakrah].
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
"Setiap muslim terhadap muslim (lainnya) haram darahnya, hartanya dan kehormatannya". [HR Muslim dari Abu Hurairah].[12]
Ada pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh Bin Baz. Isi pertanyaannya : "Saya telah menikahi seorang guru. Apakah saya berhak mengambil dari gajinya dengan ridhanya untuk suatu kebutuhan dan keperluan berdua, misalnya membangun rumah?"
Beliau menjawab : Tidak masalah bagimu untuk mengambil gaji isterimu atas dasar ridhanya, jika ia seorang wanita rasyidah (berakal sehat). Begitu pula segala sesuatu yang ia berikan kepadamu untuk membantu dirimu, tidak masalah, bila engkau pergunakan. Dengan catatan, ia rela dan dewasa. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
"Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya". [an Nisaa`/4 : 4].[13]
Dia tidak boleh beranggapan hasil jerih-payah isteri bisa dipakai sesuka hatinya. Jika tidak, ia telah memakan harta orang lain dengan cara yang tidak sah.
TOLERANSI DAN EMPATI ANTARA SUAMI ISTERI
Idealnya, antara suami dan isteri terjalin kasih-sayang dan empati timbal-balik. Hubungan mesra mereka, sepantasnya tidak tergantung pada uang. Karena, harga kemesraan dan keutuhan keluarga tidak bisa diukur dengan uang. Kerjasama dan saling mendukung antara suami dan isteri harus tetap terjaga.
Apabila seorang suami berkecukupan, seyogyanya ia tidak mengambil milik isteri. Begitu pun sebaliknya, isteri yang berpenghasilan, sementara suaminya masih dalam kondisi ekonomi yang kurang, disyariatkan baginya untuk membantu suami, memberikan bantuan apa yang ia mampu untuk menopang kehidupan keluarga dengan jiwa yang ridha. Betapa indahnya, apabila seorang isteri bisa melakukan sebagaimana yang diperbuat Zainab, isteri Ibnu Mas'ud, dan bertindak seperti petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya.
Al Bukhari meriwayatkan hadits Abu Sa'id Radhiyallahu 'anhu dalam Shahihnya, ia berkata:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ رضي الله عنه : ...جَاءَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ تَسْتَأْذِنُ عَلَيْهِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ زَيْنَبُ فَقَالَ أَيُّ الزَّيَانِبِ فَقِيلَ امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ نَعَمْ ائْذَنُوا لَهَا فَأُذِنَ لَهَا قَالَتْ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنَّكَ أَمَرْتَ الْيَوْمَ بِالصَّدَقَةِ وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ فَزَعَمَ ابْنُ مَسْعُودٍ أَنَّهُ وَوَلَدَهُ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ
"Dari Abu Sa'id al Khudri : … Zainab, isteri Ibnu Mas'ud datang meminta izin untuk bertemu. Ada yang memberitahu: "Wahai Rasulullah, ini adalah Zainab," beliau bertanya,"Zainab yang mana?" Maka ada yang menjawab: "(Zainab) isteri Ibnu Mas'ud," beliau menjawab,"Baiklah. Izinkanlah dirinya," maka ia (Zainab) berkata: "Wahai, Nabi Allah. Hari ini engkau memerintahkan untuk bersedekah. Sedangkan aku mempunyai perhiasan dan ingin bersedekah. Namun Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa dirinya dan anaknya lebih berhak menerima sedekahku," Nabi bersabda,"Ibnu Mas'ud berkata benar. Suami dan anakmu lebih berhak menerima sedekahmu." Dalam lafazh lain, Nabi Shallallahu 'alaihi wa salllam menambahkan:
نَعَمْ لَهَا أَجْرَانِ أَجْرُ الْقَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ
"Benar, ia mendapatkan dua pahala, pahala menjalin tali kekerabatan dan pahala sedekah."
Penempatan hadits di atas oleh al Bukhari dalam (Bab zakat terhadap kaum kerabat, bab zakat kepada suami dan anak-anak yatim yang berada dalam pengawasannya), menunjukkan hal itu mencakup zakat yang wajib maupun yang bersifat tathawwu' (sukarela). Mayoritas ulama berpendapat, zakat yang wajib tidak boleh diserahkan kepada orang yang nafkah hidupnya menjadi kewajiban muzakki (yang berkewajiban membayar zakat). Dan tidak ada keraguan lagi, bahwa nafkah suami bukan kewajiban isteri, maka ia boleh memberikan zakatnya kepada suaminya, tetapi tidak sebaliknya. Oleh karena itu, suami tidak boleh menyerahkan zakatnya kepada isterinya. Adapun anak-anak, nafkah mereka menjadi tanggungan ayah mereka, bukan pada ibu mereka, selama sang ayah masih ada.
Syaikh Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd mengatakan, pelajaran dari hadits di atas :
1). Diperbolehkan bagi wanita bersedekah untuk suaminya yang miskin.
2). Suami adalah orang yang paling utama untuk menerima sedekah dari isterinya dibandingkan dengan orang lain.
3). Isteri diperbolehkan bersedekah untuk anak-anaknya dan kaum kerabatnya yang tidak menjadi tanggungannya.
4). Sedekah isteri tersebut termasuk bentuk sedekah yang paling utama.[14]
Dalam masalah sedekah kepada suami, terdapat sebuah teladan monumental telah dipahat oleh Ummul Mukminin Khadijah. Yaitu beliau membantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan jiwa, raga dan benda. Sungguh sebuah peranan yang besar seorang isteri bagi suaminya.
Oleh karena itu, layak untuk diperhatikan oleh seorang isteri. Bahwa isteri yang baik, mengelola uang dan harta milik pribadinya secara bijak, membelanjakan pada pos-pos yang bermanfaat bagi dirinya di dunia dan akhirat, tidak berbuat boros yang hanya akan mendatangkan kerugian baginya saja.
Wallahu a'lam. Washallallahu 'ala Muhammad wa 'ala Alihi wa Shahbihi ajma'in.
Referensi :
- Dhamanatu Huquqi al Mar`ah az Zaujiyyah, karya Dr. Muhammad bin Ya'qub ad Dahlawi, 'Imadah al Bahtsi al 'Ilmi Jami'ah Islamiyyah Madinah, Cet. I, Th. 1424 H.
- Fatawa al Mar`ah al Muslimah, susunan Abu Muhammad Asyraf bin 'Abdul Maqshud, Adhwau as Salaf, Riyadh, Cet. III, Th. 1417 H.
- Fiqhu al Islam Syarhu Bulugh al Maram, karya Abdl Qadir bin Syaibah al Hamd, tanpa tahun.
- Khuthabu wa Mawa'izhu min Hajjati al Wada`, Prof. Dr. 'Abdur Razaq bin 'Abdul Muhsin al Badr, Cet. I, Th. 1426 H.
- Taisiru al Karimi ar Rahman fi Tafsiri Kalami al Mannan, karya 'Abdur Rahman as Sa'id, Dar al Mughni, Riyadh, Cet. I, Th. 1419 H, dan lain-lain.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
________
Footnote
[1]. Khuthab wa Mawa'izh fi Hajjati al Wada`, hlm. 30-31.
[2]. Lebih lanjut tentang kewajiban nafkah atas suami beserta dalil-dalilnya, silahkan lihat di almanhaj http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0
[3]. Zaadul Ma'ad (5/448).
[4]. Al Jami'u li Ahkami al Qur`an, 5/17; al Mughni, 10/97. Dinukil dari Dhamanatu Huquqi al Mar`ah az Zaujiyyah, hlm. 101.
[5]. Bada'iu ash Shanai', 2/288-289; al Fatawa al Hindiyah, 1/317; al Qawaninu al Fiqhiyah, hlm. 43; Mughni al Muhtaj, 3/222; Kasysyafu al Qanna', 5/140, dan seterusnya. Dinukil dari Dhamanatu Huquqi al Mar`ah az Zaujiyyah, hlm. 102.
[6]. Syarhu Muntaha al Iradat, 3/68; Mughni al Muhtaj, 3/221; Hasyiatu ad Dasuqi 'ala asy Syarhi al Kabir, 2/2295. Dinukil dari Dhamanatu Huquqi al Mar`ah az Zaujiyyah, hlm. 105.
[7]. Bada'iu ash Shanai', 2/288-289; al Fatawa al Hindiyah, 1/317; al Qawaninu al Fiqhiyah, hlm. 43; Mughni al Muhtaj, 3/222; Kasysyafu al Qanna', 5/140, dan seterusnya. Dinukil dari Dhamanatu Huquqi al Mar`ah az Zaujiyyah, hlm. 102.
[8]. Pengertian uang disini bersifat umum, bisa berasal dari gaji, hasil pemberian, warisan atau lainnya, Pen.).
[9]. Fatawa al Mar'ah, hlm. 105. Kutipan dari Fatawa al Mar`ah al Muslimah, hlm. 674-675.
[10]. Lihat Jami'u al Bayani 'an Ta`wili ayi al Qur`an, 2/303; Ahkami al Qur`an, karya Ibnul 'Arabi, 1/369; al Jami'u li Ahkami al Qur`an, karya al Qurthubi, 5/26. [11]. Taisiru al Karimi ar Rahman fi Tafsiri Kalami al Mannan, hlm. 149.
[12]. Al Majmu' al Fatawa, 3/283. Dinukil dari Khuthab wa Mawa'izh fi Hajjati al Wada', hlm. 38.
[13]. Al Fatawa, Kitab ad Da'wah, 2/217. Dikutip dari Fatawa al Mar`ah al Muslimah, hlm. 672-673.
[14]. Penjelasan hadits dan faidah-faidahnya diambil dari Fiqhul Islam Syarhu Bulughi al Maram, karya Syaikh 'Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd, 3/154-156.
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Gaji atau pendapatan milik isteri, yang ia peroleh dari kerjanya, dapat berpengaruh positif maupun negatif dalam kehidupana rumah tangga. Artinya, pendapatan tersebut bisa lebih menguatkan sendi-sendi keluarga, atau sebaliknya justru menghancurkannya. Ikatan suami-isteri itu menjadi kuat, atau justru merenggangkannya.
Kadang, karena isteri merasa memiliki pendapatan sendiri, ia berlaku hidup boros, dengan membelanjakan hasil pendapatannya untuk membeli keperluan pribadi yang diinginkannya. Tetapi juga bisa menempanya menjadi wanita yang hemat, dan lebih bijak dalam mengolah income pribadinya, ia lantaran mengetahui betapa berat dan susahnya mencari nafkah.
Yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah uang itu milik isteri semata, hingga tidak ada hak bagi suaminya untuk menikmatinya. Ataukah termasuk milik bersama-sama dengan suaminya. Kapan saja suami membutuhkan, ia dapat saja memakainya. Inilah tanda tanya yang muncul atas gaji atau pendapatan isteri.
Permasalahan timbul seiring dengan perjalanan hari, kian pelik dan kompleks. Seorang isteri yang mendapatkan uang (pendapatan) melalui aktifitas kerja (yang sesuai dengan kodratnya), kemudian adanya pemandangan yang berlawanan, yaitu suami yang memanfaatkan incomenya. Bisa jadi, sebagai suami ia hanya memperoleh pendapatan yang sesedikit, atau memang ia tidak bekerja. Bagaimana hukumnya dalam Islam? Menjawab perkara-perkara di atas, berikut adalah pembahasan yang akan mengantarkan menuju titik kejelasannya.
DALAM ISLAM, WANITA DIHORMATI
Hendaknya wanita muslimah bergembira dengan perlakuan Islam kepadanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengistimewakan wanita saat belay menyampaikan pesan agung pada waktu haji Wada'. Subtsansinya, memenuhi hak-hak wanita, perintah mencurahkan kebaikan kepada wanita dan memperlakukan dalam pergaulan dengannya secara baik, sebagaimana beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi pesan di kesempatan lainnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ
"Bertakwalah kalian dalam (memperlakukan) terhadap wanita". [HR Muslim, 1218].
Dalam Shahihain, dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah bersabda:
فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
"Hendaklah kalian memperhatikan kaum wanita dengan baik". [HR al Bukhari, 3331 dan Musim, 1468].
Oleh karenanya, seorang wanita harus memahami, di bawah naungan Islam, ia bakal hidup dalam kemuliaan lagi berharga, penuh perlindungan dan memperoleh hak-haknya, sebagaimana telah ditetapkan Allah baginya. Kondisi ini berbeda dengan wanita pada masa Jahiliyah.[1]
NAFKAH MERUPAKAN KEWAJIBAN SUAMI[2]
Pada dasarnya, wanita (perempuan), ia merupakan bagian masyarakat yang dijamin kehidupannya sepanjang fase usianya. Baik ia sebagai anak, isteri, ibu atau saudara perempuan. Kaum lelaki dari keluarganyalah yang bertanggung jawab atas kehidupannya. Wanita tidak wajib untuk menanggung nafkah keluarga.
Bila wanita sudah berkeluarga, maka kebutuhan dan keperluan rumah serta anak-anaknya menjadi tanggung jawab sang suaminya. Ini merupakan salah satu bentuk penghormatan Islam terhadap kaum wanita. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَآأَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
"Kaum lelaki itu adalah pemimpin kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum lelaki) atas sebagian yang lain (kaum wanita), dan karena mereka (kaum lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka". [an Nisaa`/4 : 34].
Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, sudah menjadi Ijma' ulama, ayah (suami)lah yang menafkahi anak-anak, tanpa dibarengi oleh ibu (isteri).[3]
MAHAR ADALAH MILIK WANITA
Mahar termasuk hak harta bagi seorang isteri, sehingga harus benar-benar diterima olehnya. Tidak ada orang yang lebih berhak dalam harta ini selain wanita. Syariat Islam telah menjamin kepemilikan mahar bagi wanita melalui beberapa aturan.
1). Syariat Melarang Penghapusan Mahar Dalam Pernikahan.
Mahar tidak boleh dimaafkan dan digugurkan pada awal pernikahan. Al Qurthubi, Ibnu Qudamah dan ulama lainnya telah mengutip adanya Ijma' tentang wajibnya mahar dalam pernikahan[4]. Apabila kedua belah pihak sepakat untuk menghilangkan mahar, maka masih wajib ditetapkan nilai mahar wanita semisalnya.
2). Wanita Boleh Menolak Untuk Menyerahkan Dirinya Kepada Suami, Sampai Mahar Ia Terima (Mahar Yang Berbentuk Utang Tidak Tunai).
Mahar menjadi hak wanita usai akad nikah. Saat itulah ia berhak memintanya. Tidak menutup kemungkinan mahar tidak berbentuk tunai. Atau sebagiannya masih hutang. Syariat menjamin hak ini bagi wanita dengan memperbolehkannya untuk menolak menyerahkan diri kepada suami, atau pindah ke rumah suami dan bepergian bersamanya, sampai ia menggengam maharnya.[5]
3). Mahar Yang Rusak Di Tangan Suami Sebelum Diserahkan Menjadi Tanggungan Suami.
Secara umum, para fuqaha telah sepakat, suami bertanggung jawab terhadap mahar yang hilang di tangannya. Suami wajib mengganti bila ada gantinya, atau menukarnya dengan nilainya, bila tidak ada gantinya.[6]
4). Wanita Berhak Memiliki Mahar Secara Utuh Ketika Suaminya Meninggal Setelah Akad, Meskipun Belum 'Disentuh'. Dan Wajib Diserahkan Setelah Terjadi Jima'.
Jika suami belum sempat berjima dan ia meninggal terlebih dahulu, maka wanita tetap berhak atas mahar melalui akad nikah yang telah dilaksanakan. Mahar bukan berarti batal (tidak diserahkan). Ini lantaran kondisi suami yang tidak memungkinkan untuk berhubungan badan dengan isterinya (karena ia meninggal), dan bukan dari sisi isteri, sehingga isteri berhak atas mahar secara penuh. Mahar akan menjadi hutang dalam tanggungan suami, sehingga harus dibayarkan kepada isteri, tidak gugur lantaran kematian. Hutang mahar, statusnya sama dengan hutang lainnya, ia tidak menjadi lunas karena kematian.
Para fuqaha telah menyepakati kepemilikan mahar yang disebutkan (dalam akad) secara utuh bagi isteri dengan kematian suaminya, atau mahar (wanita) semisalnya saat tidak disebutkan (dalam aqad), dengan menjadikan kematian (suaminya) sebagai faktor penegas penyerahan mahar.[7]
HASIL KERJA ISTERI, 100 % MILIKNYA
Melalui keterangan tentang mahar yang menjadi hak milik penuh isteri, yang harus ia terima dari suaminya, jawaban tentang pertanyaan di awal tulisan ini sebenarnya sudah tersibak. Kalau dalam mahar, dalam kondisi apapun, isteri akan memperolehnya, apalagi uang yang merupakan hasil dari jerih-payahnya.
Oleh karena itu, gaji, pendapatan, atau uang milik isteri yang didapatkannya dari jalan yang diperbolehkan syariat, secara penuh menjadi hak milik isteri. Sang suami, ia tidak mempunyai hak sedikit pun dari harta tersebut. Kelemahan fisik atau statusnya sebagai isteri, tidak berarti boleh "merampas" hak miliknya, atau memanfaatkan menurut kemauannya.
Syaikh 'Abdullah bin 'Abdur Rahman al Jibrin pernah ditanya tentang hukum suami yang mengambil uang (harta) milik isterinya[8], untuk digabungkan dengan uangnya (suami). Menjawab pertanyaan seperti ini, Syaikh al Jibrin mengatakan, tidak disangsikan lagi, isteri lebih berhak dengan mahar dan harta yang ia miliki, baik melalui usaha yang ia lakukan, hibah, warisan, dan lain sebagainya. Itu merupakan hartanya, dan menjadi miliknya. Dia yang paling berhak untuk melakukan apa saja dengan hartanya itu, tanpa ada campur tangan pihak lainnya.[9]
BOLEH DIMANFAATKAN, DENGAN SYARAT
Uang atau harta isteri adalah milik pribadinya, sehingga perlakuannya sama seperti halnya kepunyaan orang lain, tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan keridhaan dan kerelaannya. Bila ia telah memberikan keridhaan bagi suaminya pada sebagian yang ia miliki atau semuanya, maka boleh saja dan menjadi halal bagi suaminya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَءَاتُوا النِّسَآءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
"Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya". [an Nisaa`/4 : 4].
Ayat di atas, adalah ditujukan kepada para suami, bukan kepada para wali wanita. Inilah pendapat yang shahih.[10]
Syaikh 'Abdur Rahman as Sa'di di dalam tafsirnya menuliskan, ketika banyak orang (suami, Pen.) berbuat aniaya kepada kaum wanita dan merampas hak-hak mereka -terutama mas kawin- yang berjumlah banyak dan diserahkan sekaligus, dirasakan berat untuk diberikan kepada isteri, maka Allah memerintahkan para suami untuk tetap memberikan mahar kepada isteri.
Apabila para isteri mengizinkan bagi kalian (para suami) dengan ridha dan kerelaan, yaitu menggugurkan sebagian darinya, atau menunda, atau diganti dengan yang lain, maka tidak masalah bagi kalian (para suami).
Dalam ayat ini terdapat dalil, bahwa wanita mempunyai wewenang dalam pengelolaan terhadap hartanya -meskipun dengan menyedekahkannya- apabila ia sudah berpikir dewasa. Jika belum demikian (belum bisa bepikir secara dewasa, Pen.) maka pemberiannya tidak ada dampak hukumnya, dan bagi walinya, tidak ada hak sedikit pun atas mahar yang dimilikinya.[11]
Penegasan tentang terpeliharanya harta (dan darah serta kehormatan), juga telah disampaikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam momen yang sangat istimewa, yaitu pada haji Wada'. Menjadikan kedudukan harta laksana kehormatan hari raya Idul Adh-ha, bulan Dzul Hijjah dan kota Mekkah.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, pada asalnya, darah, harta dan kehormatan kaum Muslimin diharamkan untuk direbut oleh sebagian yang lain. Tidak halal, kecuali dengan izin Allah dan RasulNya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
"Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian, haram atas kalian seperti kehormatan hari ini, tempat ini dan di bulan ini". [HR al Bukhari, 1741, dan Muslim, 1679, dari Abu Bakrah].
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
"Setiap muslim terhadap muslim (lainnya) haram darahnya, hartanya dan kehormatannya". [HR Muslim dari Abu Hurairah].[12]
Ada pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh Bin Baz. Isi pertanyaannya : "Saya telah menikahi seorang guru. Apakah saya berhak mengambil dari gajinya dengan ridhanya untuk suatu kebutuhan dan keperluan berdua, misalnya membangun rumah?"
Beliau menjawab : Tidak masalah bagimu untuk mengambil gaji isterimu atas dasar ridhanya, jika ia seorang wanita rasyidah (berakal sehat). Begitu pula segala sesuatu yang ia berikan kepadamu untuk membantu dirimu, tidak masalah, bila engkau pergunakan. Dengan catatan, ia rela dan dewasa. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
"Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya". [an Nisaa`/4 : 4].[13]
Dia tidak boleh beranggapan hasil jerih-payah isteri bisa dipakai sesuka hatinya. Jika tidak, ia telah memakan harta orang lain dengan cara yang tidak sah.
TOLERANSI DAN EMPATI ANTARA SUAMI ISTERI
Idealnya, antara suami dan isteri terjalin kasih-sayang dan empati timbal-balik. Hubungan mesra mereka, sepantasnya tidak tergantung pada uang. Karena, harga kemesraan dan keutuhan keluarga tidak bisa diukur dengan uang. Kerjasama dan saling mendukung antara suami dan isteri harus tetap terjaga.
Apabila seorang suami berkecukupan, seyogyanya ia tidak mengambil milik isteri. Begitu pun sebaliknya, isteri yang berpenghasilan, sementara suaminya masih dalam kondisi ekonomi yang kurang, disyariatkan baginya untuk membantu suami, memberikan bantuan apa yang ia mampu untuk menopang kehidupan keluarga dengan jiwa yang ridha. Betapa indahnya, apabila seorang isteri bisa melakukan sebagaimana yang diperbuat Zainab, isteri Ibnu Mas'ud, dan bertindak seperti petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepadanya.
Al Bukhari meriwayatkan hadits Abu Sa'id Radhiyallahu 'anhu dalam Shahihnya, ia berkata:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ رضي الله عنه : ...جَاءَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ تَسْتَأْذِنُ عَلَيْهِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ زَيْنَبُ فَقَالَ أَيُّ الزَّيَانِبِ فَقِيلَ امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ نَعَمْ ائْذَنُوا لَهَا فَأُذِنَ لَهَا قَالَتْ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنَّكَ أَمَرْتَ الْيَوْمَ بِالصَّدَقَةِ وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ فَزَعَمَ ابْنُ مَسْعُودٍ أَنَّهُ وَوَلَدَهُ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ
"Dari Abu Sa'id al Khudri : … Zainab, isteri Ibnu Mas'ud datang meminta izin untuk bertemu. Ada yang memberitahu: "Wahai Rasulullah, ini adalah Zainab," beliau bertanya,"Zainab yang mana?" Maka ada yang menjawab: "(Zainab) isteri Ibnu Mas'ud," beliau menjawab,"Baiklah. Izinkanlah dirinya," maka ia (Zainab) berkata: "Wahai, Nabi Allah. Hari ini engkau memerintahkan untuk bersedekah. Sedangkan aku mempunyai perhiasan dan ingin bersedekah. Namun Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa dirinya dan anaknya lebih berhak menerima sedekahku," Nabi bersabda,"Ibnu Mas'ud berkata benar. Suami dan anakmu lebih berhak menerima sedekahmu." Dalam lafazh lain, Nabi Shallallahu 'alaihi wa salllam menambahkan:
نَعَمْ لَهَا أَجْرَانِ أَجْرُ الْقَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ
"Benar, ia mendapatkan dua pahala, pahala menjalin tali kekerabatan dan pahala sedekah."
Penempatan hadits di atas oleh al Bukhari dalam (Bab zakat terhadap kaum kerabat, bab zakat kepada suami dan anak-anak yatim yang berada dalam pengawasannya), menunjukkan hal itu mencakup zakat yang wajib maupun yang bersifat tathawwu' (sukarela). Mayoritas ulama berpendapat, zakat yang wajib tidak boleh diserahkan kepada orang yang nafkah hidupnya menjadi kewajiban muzakki (yang berkewajiban membayar zakat). Dan tidak ada keraguan lagi, bahwa nafkah suami bukan kewajiban isteri, maka ia boleh memberikan zakatnya kepada suaminya, tetapi tidak sebaliknya. Oleh karena itu, suami tidak boleh menyerahkan zakatnya kepada isterinya. Adapun anak-anak, nafkah mereka menjadi tanggungan ayah mereka, bukan pada ibu mereka, selama sang ayah masih ada.
Syaikh Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd mengatakan, pelajaran dari hadits di atas :
1). Diperbolehkan bagi wanita bersedekah untuk suaminya yang miskin.
2). Suami adalah orang yang paling utama untuk menerima sedekah dari isterinya dibandingkan dengan orang lain.
3). Isteri diperbolehkan bersedekah untuk anak-anaknya dan kaum kerabatnya yang tidak menjadi tanggungannya.
4). Sedekah isteri tersebut termasuk bentuk sedekah yang paling utama.[14]
Dalam masalah sedekah kepada suami, terdapat sebuah teladan monumental telah dipahat oleh Ummul Mukminin Khadijah. Yaitu beliau membantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan jiwa, raga dan benda. Sungguh sebuah peranan yang besar seorang isteri bagi suaminya.
Oleh karena itu, layak untuk diperhatikan oleh seorang isteri. Bahwa isteri yang baik, mengelola uang dan harta milik pribadinya secara bijak, membelanjakan pada pos-pos yang bermanfaat bagi dirinya di dunia dan akhirat, tidak berbuat boros yang hanya akan mendatangkan kerugian baginya saja.
Wallahu a'lam. Washallallahu 'ala Muhammad wa 'ala Alihi wa Shahbihi ajma'in.
Referensi :
- Dhamanatu Huquqi al Mar`ah az Zaujiyyah, karya Dr. Muhammad bin Ya'qub ad Dahlawi, 'Imadah al Bahtsi al 'Ilmi Jami'ah Islamiyyah Madinah, Cet. I, Th. 1424 H.
- Fatawa al Mar`ah al Muslimah, susunan Abu Muhammad Asyraf bin 'Abdul Maqshud, Adhwau as Salaf, Riyadh, Cet. III, Th. 1417 H.
- Fiqhu al Islam Syarhu Bulugh al Maram, karya Abdl Qadir bin Syaibah al Hamd, tanpa tahun.
- Khuthabu wa Mawa'izhu min Hajjati al Wada`, Prof. Dr. 'Abdur Razaq bin 'Abdul Muhsin al Badr, Cet. I, Th. 1426 H.
- Taisiru al Karimi ar Rahman fi Tafsiri Kalami al Mannan, karya 'Abdur Rahman as Sa'id, Dar al Mughni, Riyadh, Cet. I, Th. 1419 H, dan lain-lain.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
________
Footnote
[1]. Khuthab wa Mawa'izh fi Hajjati al Wada`, hlm. 30-31.
[2]. Lebih lanjut tentang kewajiban nafkah atas suami beserta dalil-dalilnya, silahkan lihat di almanhaj http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0
[3]. Zaadul Ma'ad (5/448).
[4]. Al Jami'u li Ahkami al Qur`an, 5/17; al Mughni, 10/97. Dinukil dari Dhamanatu Huquqi al Mar`ah az Zaujiyyah, hlm. 101.
[5]. Bada'iu ash Shanai', 2/288-289; al Fatawa al Hindiyah, 1/317; al Qawaninu al Fiqhiyah, hlm. 43; Mughni al Muhtaj, 3/222; Kasysyafu al Qanna', 5/140, dan seterusnya. Dinukil dari Dhamanatu Huquqi al Mar`ah az Zaujiyyah, hlm. 102.
[6]. Syarhu Muntaha al Iradat, 3/68; Mughni al Muhtaj, 3/221; Hasyiatu ad Dasuqi 'ala asy Syarhi al Kabir, 2/2295. Dinukil dari Dhamanatu Huquqi al Mar`ah az Zaujiyyah, hlm. 105.
[7]. Bada'iu ash Shanai', 2/288-289; al Fatawa al Hindiyah, 1/317; al Qawaninu al Fiqhiyah, hlm. 43; Mughni al Muhtaj, 3/222; Kasysyafu al Qanna', 5/140, dan seterusnya. Dinukil dari Dhamanatu Huquqi al Mar`ah az Zaujiyyah, hlm. 102.
[8]. Pengertian uang disini bersifat umum, bisa berasal dari gaji, hasil pemberian, warisan atau lainnya, Pen.).
[9]. Fatawa al Mar'ah, hlm. 105. Kutipan dari Fatawa al Mar`ah al Muslimah, hlm. 674-675.
[10]. Lihat Jami'u al Bayani 'an Ta`wili ayi al Qur`an, 2/303; Ahkami al Qur`an, karya Ibnul 'Arabi, 1/369; al Jami'u li Ahkami al Qur`an, karya al Qurthubi, 5/26. [11]. Taisiru al Karimi ar Rahman fi Tafsiri Kalami al Mannan, hlm. 149.
[12]. Al Majmu' al Fatawa, 3/283. Dinukil dari Khuthab wa Mawa'izh fi Hajjati al Wada', hlm. 38.
[13]. Al Fatawa, Kitab ad Da'wah, 2/217. Dikutip dari Fatawa al Mar`ah al Muslimah, hlm. 672-673.
[14]. Penjelasan hadits dan faidah-faidahnya diambil dari Fiqhul Islam Syarhu Bulughi al Maram, karya Syaikh 'Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd, 3/154-156.
Kategori Risalah : Rizqi & Harta Nafkah Untuk Sang Isteri
NAFKAH UNTUK SANG ISTERI
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Hindun binti Utbah pernah datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengadukan kesulitannya karena suaminya tidak memberikan nafkah yang cukup untuknya dan anak-anaknya. Ia terpaksa mengambil harta suaminya tanpa sepengetahuannya untuk mencukupi kebutuhan. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya.
خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَ وَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
"Ambillah (dari harta suamimu) apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik" [1]
KEWAJIBAN SUAMI MEMBERI NAFKAH KELUARGA
Kisah di atas mengilustrasikan kepada kita, bahwa suami memiliki kewajiban yang telah Allah tetapkan dan begitu urgen, sekaligus sebagai hak isteri yang wajib untuk dipenuhi. Kemampuan memberi nafkah ini juga yang menjadi salah satu alasan mengapa kaum lelaki lebih utama dari kaum wanita. Namun mungkin banyak diantara kaum muslimin yang tidak memahami masalah penting ini. Terlebih pada masa dewasa ini, di tengah maraknya upaya pengaburan norma-norma agama, banyak faktor yang ikut mempengaruhi perubahan pola pikir kaum Muslimin; kebodohan terhadap ajaran agama adalah salah satu sebab utama, disamping sikap membeo kepada orang-orang di luar Islam.
DEFINISI NAFKAH MENURUT ULAMA
Para ulama memberikan satu batasan tentang makna nafkah. Diantaranya sebagaimana disebutkan dalam Mu’jamul Wasith, yaitu apa-apa yang dikeluarkan oleh seorang suami untuk keluarganya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan yang selainnya [2]. Nafkah ini juga mencakup keperluan isteri sewaktu melahirkan, seperti pembiayaan bidan atau dokter yang menolong persalinan, biaya obat serta rumah sakit. Termasuk juga didalamnya adalah pemenuhan kebutuhan biologis isteri.
Hukum memberi nafkah keluarga ini wajib atas suami, berdasarkan nash-nash Al Qur’an, Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam serta Ijma’ ulama.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang telah Allah karuniakan kepadanya. Allah tidaklah memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan" [Ath Thalaq : 7].
Juga firmanNya.
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik".[Al Baqarah : 233].
Jabir mengisahkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
اتَّقُوْا اللهَ فِيْ النِّسَاءِ، فَإِنَّهُنَّ عوان عِندَكُمْ، أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانَةِ اللهِ وَ اسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ ، وَ لَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ بِالمَعْرُوْفِ
"Bertaqwalah kalian dalam masalah wanita. Sesungguhnya mereka ibarat tawanan di sisi kalian. Kalian ambil mereka dengan amanah Allah dan kalian halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan rezki dan pakaian dari kalian".[3]
Mayoritas ulama, diantaranya Ibnu Qudamah, berpendapat bahwa kewajiban suami memberi nafkah juga berlaku bagi isterinya dari kalangan wanita Kitabiah (Ahlul Kitab) jika ia memiliki isteri dari golongan mereka, berdasarkan keumuman nash-nash yang mewajibkan suami memberi nafkah isteri.[4]
KEUTAMAAN MEMBERI NAFKAH KEPADA KELUARGA
Tidaklah Allah Azza wa Jalla memerintahkan satu perkara, melainkan perkara itu pasti dicintaiNya dan memiliki keutamaan di sisiNya serta membawa kebaikan bagi para hamba. Termasuk masalah memenuhi nafkah keluarga.
Melalui lisan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan tentang keutamaan memberi nafkah kepada keluarga. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
دِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في سَبِيْلِ اللهِ وَ دِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في رَقَبَةٍ وَ دِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في على أهْلِكَ أعْظَمُهَا أجْرًا الَّذِي أنْفَتَهُ على أهْلِكَ
"Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu" [5].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
مَا أطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ وَالِدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ زَوْجَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ
"Apa yang engkau berikan untuk memberi makan dirimu sendiri, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan anakmu, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan orang tuamu, maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan isterimu, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan pelayanmu, maka itu adalah sedekah bagimu".[6]
Al Hafizh Ibnul Hajar Al Asqalani berkata,”Memberi nafkah kepada keluarga merupakan perkara yang wajib atas suami. Syari’at menyebutnya sebagai sedekah, untuk menghindari anggapan bahwa para suami yang telah menunaikan kewajiban mereka (memberi nafkah) tidak akan mendapatkan balasan apa-apa. Mereka mengetahui balasan apa yang akan diberikan bagi orang yang bersedekah. Oleh karena itu, syari’at memperkenalkan kepada mereka, bahwa nafkah kepada keluarga juga termasuk sedekah (yang berhak mendapat pahala, Pen). Sehingga tidak boleh memberikan sedekah kepada selain keluarga mereka, sebelum mereka mencukupi nafkah (yang wajib) bagi keluarga mereka, sebagai pendorong untuk lebih mengutamakan sedekah yang wajib mereka keluarkan (yakni nafkah kepada keluarga, Pen) dari sedekah yang sunnat.”[7]
Adalah satu hal yang sangat tidak logis, apabila ada suami yang makan-makan bersama teman-temannya, mentraktir mereka karena ingin terlihat hebat di mata mereka, sementara anak dan isterinya di rumah mengencangkan perut menahan lapar. Dimanakah sikap perwira dan tanggung jawabnya sebagai suami?
Satu hal yang juga tidak kalah penting untuk diingat, bahwa suami wajib memberi nafkah dari rizki yang halal. Jangan sekali-kali memberi nafkah dari jalan yang haram, karena setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram berhak mendapat siksa api neraka. Sang suami akan dimintai pertanggungan jawaban tentang nafkah yang diberikan kepada keluarganya.
KAPAN KEWAJIBAN MEMBERI NAFKAH BERAWAL?
Para ulama kalangan Hanafiah berpendapat, kewajiban memberi nafkah ini mulai dibebankan ke pundak suami setelah berlangsungnya akad nikah yang sah; meskipun sang isteri belum berpindah ke rumah suaminya.
Dasar pendapat mereka, diantara konsekuensi dari akad yang sah, ialah sang isteri menjadi tawanan bagi suaminya. Dan apabila isteri menolak berpindah ke rumah suaminya tanpa ada udzur syar’i setelah suaminya memintanya, maka ia tidak berhak mendapat nafkah dikarenakan isteri telah berbuat durhaka (nusyuz) kepada suaminya dengan menolak permintaan suaminya tersebut.
Sedangkan ulama dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat, kewajiban nafkah belum jatuh kepada suami hanya dengan akad nikah semata-mata. Kewajiban itu mulai berawal ketika sang isteri telah menyerahkan dirinya kepada suaminya, atau ketika sang suami telah mencampurinya, atau ketika sang suami menolak memboyong isterinya ke rumahnya, padahal sang isteri telah meminta hal itu darinya.[8]
JENIS-JENIS NAFKAH
Jenis nafkah yang wajib, yaitu segala sesuatu yang dibutuhkan oleh sang isteri serta keluarganya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah. Termasuk kategori nafkah wajib ini -tanpa ada perselisihan ulama- meliputi kebutuhan primer, seperti makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal, perhiasan serta sarana-sarana dan peralatan yang dibutuhkan isteri untuk memenuhi kebutuhan primernya, juga pemenuhan kebutuhan biologisnya. Semua itu wajib dipenuhi oleh suami.
Adapun kebutuhan selain itu, seperti biaya pengobatan dan pengadaan pembantu rumah tangga, terdapat silang pendapat di kalangan ulama. Mayoritas ahli fiqh berpendapat, biaya pengobatan isteri tidak wajib bagi suami. Demikian juga dengan pengadaan pembantu rumah tangga, tidak wajib bagi suami, kecuali jika hal itu (memberikan pembantu rumah tangga) sudah menjadi satu hal yang lumrah dalam keluarga sang isteri, ataupun di kalangan keluarga-keluarga lain di kaumnya. Namun yang penting harus diperhatikan, pengadaan pembantu rumah tangga ini juga tidak terlepas dari kesanggupan suami untuk memenuhinya. Jika tidak mampu memberikan pembantu rumah tangga untuk isterinya, maka tidak wajib bagi suami untuk mengadakannya, karena Allah tidak membebani seseorang di luar kesanggupannya.
Ada satu kisah menarik yang bisa dijadikan pelajaran bagi para isteri. Fathimah binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengadu kepada ayahnya tentang luka-luka di tangannya yang dikarenakan pekerjaannya berkhidmah kepada suami. Wanita mulia ini mendengar, telah datang seorang budak kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun saat itu Fathimah tidak menjumpai Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akhirnya Fathimah menceritakan hal itu kepada ‘Aisyah. Ketika Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam datang, ‘Aisyah menceritakan pengaduan Fathimah kepada Beliau.
Ali berkata: Ketika Beliau datang mengunjungi kami, dan pada saat itu kami bersiap-siap hendak tidur. Kami pun bangun mendengar kedatangan Beliau, namun Beliau berkata,"Tetaplah kalian berdua di tempat kalian.” Beliau datang dan duduk diantara aku dan Fathimah, hingga aku bisa merasakan dinginnya kedua telapak tangan Beliau di perutku. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
ألاَ أدُلُّكُمَا عَلَى خَيْرٍ مِمَّ سَأَلْتُمَا ؟ إذَا أَخَذْتَمَا مَضَاجَعَكُمَا أوْ أَوَيْتَمَا إلى فِرَاشِكُمَا فَسَبِّحَا ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ وَاحْمِدَا ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ وَ كَبِّرَا أرْبَعًا وَ ثَلاَثِيْنَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ
"Maukah kutunjukkan kepada kalian berdua sesuatu yang lebih baik daripada yang kalian berdua minta? Jika kalian hendak tidur, maka ucapkanlah tasbih tiga puluh tiga kali, tahmid tiga puluh tiga dan takbir tiga puluh empat kali. Itu lebih baik bagi kalian daripada seorang pelayan.[9]
Ali berkata,”Sejak saat itu aku tidak pernah meninggalkannya.” Dia (Ali) ditanya,”Juga pada malam perang Shiffin?” Ali menjawab,”Juga pada malam perang Shiffin.”
TEKNIS PEMBERIAN NAKAH KELUARGA DAN KADARNYA
Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar membawakan penjelasan ulama ketika menjelaskan teknis pemenuhan nafkah keluarga.
Hal yang telah diketahui oleh kaum muslimin, baik dulu maupun sekarang, bahwa suami wajib memberi nafkah untuk dirinya dan keluarganya, menyediakan segala hal yang dibutuhkan oleh isteri serta anak-anaknya. Kebiasaan manusia pada umumnya tidak mengharuskan suami memberikan nafkah setiap hari, baik harta (uang) ataupun makanan, pakaian dan yang sejenisnya (artinya pemenuhan tersebut bersifat fleksibel, sesuai dengan tuntutan kebutuhan keluarga, Pen). Demikian juga teknis pemenuhan ini, tidak disandarkan kepada kadar nafkah serta (tidak pula) mewajibkan suami memberikan nafkah secara taradhin (saling ridha), ataupun berdasarkan keputusan hakim; kecuali jika terjadi perselisihan di antara suami-isteri yang disebabkan suami tidak memberikan nafkah kepada keluarga karena kekikirannya, atau karena kepergiannya atau pun karena ketidaksanggupannya memberi nafkah. Maka pada kondisi seperti ini, pemenuhan nafkah keluarga disandarkan kepada hukum secara suka sama suka (taradhin) atau berdasarkan keputusan hakim.”[10]
Dari penjelasan di atas, dapatlah diambil kesimpulan, pemenuhan nafkah isteri ini dilaksanakan secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan keluarganya. Artinya, sang suami boleh memberikan sejumlah harta serta hal-hal lain yang dibutuhkan keluarganya, secara per hari, per pekan ataupun per bulan dengan kadar yang disanggupinya, sebagai nafkah bagi keluarganya.
Tentang masalah kadar nafkah ini, sebenarnya terdapat silang pendapat diantara para ulama. Siapakah yang menjadi barometer untuk menentukan kadar nafkah tersebut? keadaan isteri atau keadaan suami, ataukah keadaan keduanya?
Ulama dari kalangan Hanabilah berpendapat, kadar nafkah diukur sesuai dengan kondisi suami-isteri. Jika keduanya termasuk golongan yang dimudahkan rizkinya oleh Allah (artinya sama-sama berasal dari keluarga berada), maka wajib bagi suami memberi nafkah dengan kadar yang sesuai dengan keadaan keluarga mereka berdua. Jika keduanya berasal dari keluarga miskin, maka kewajiban suami memberi nafkah sesuai dengan keadaan mereka. Namun, jika keduanya berasal dari keluarga yang berbeda tingkat ekonominya, maka kewajiban suami adalah memberikan nafkah sesuai dengan kadar keluarga kalangan menengah.[11]
Sedangkan para ulama kalangan Hanafiah, Malikiyah dan Syafi’iyyah berpendapat, barometer yang dijadikan acuan untuk menentukan kadar nafkah yang wajib diberikan suami adalah keadaan suami itu sendiri, berdasarkan firman Allah Ta’ala.
'Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang telah Allah karuniakan kepadanya. Allah tidaklah memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan". [Ath Thalaq : 7]
Pendapat ini diperkuat dengan penafsiran Imam Ibnu Katsir tentang makna lafazh (بِالْمَعْرُوفِ) pada ayat berikut.
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik". [Al Baqarah : 233]
Ibnu Katsir berkata,”Yakni sesuai dengan keadaan umum yang diterima kalangan para isteri di negeri mereka, tanpa berlebih-lebihan ataupun pelit, sesuai dengan kesanggupannya dalam keadaan mudah, susah ataupun pertengahan.”
Dalil lain yang memperkuat pendapat mereka ialah firmanNya Azza wa Jalla.
وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ
"Dan hendaklah kamu berikan suatu pemberian kepada mereka. Orang yang mampu sesuai dengan kemampuannya dan orang yang miskin sesuai dengan kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut". [Al Baqarah:236].
FirmanNya Azza wa Jalla.
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
"Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sesuai dengan kadar kesanggupannya". [Al Baqarah : 286]
Ayat-ayat di atas telah menjadikan beban taklif (kewajiban) memberi nafkah sesuai dengan kadar kesanggupan suami.
NAFKAH ISTERI DALAM KONDISI YANG BERBEDA
Secara umum, isteri memiliki hak nafkah dari suaminya. Namun terkadang, ada beberapa kondisi yang membuat sang isteri kehilangan haknya tersebut. Berikut ini adalah penjelasan sebagian kondisi tersebut.
1. Nafkah Bagi Isteri Yang Bekerja Di Luar Rumah.
Sebagian ulama fiqh kontemporer berpendapat, isteri yang bekerja (di luar rumah) tetap berhak mendapat nafkah dari suaminya, jika ia bekerja dengan izin dari suaminya. Namun apabila ia bekerja tanpa mendapat izin dari suaminya, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah.
Tentang hal ini, ketika menjelasan alasan, mengapa isteri yang bekerja di luar rumah tidak mendapat nafkah, Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar berkata,”Pendapat yang benar adalah, wanita yang bekerja tidak berhak mendapat nafkah. Karena suami mampu mencegahnya dari bekerja dan keluar dari rumah (dengan mencukupi nafkahnya), dan (menetapnya isteri di rumah suami) merupakan hak suaminya. Kewajiban suami memberi nafkah kepada isteri disebabkan karena status isteri yang menjadi tawanan suaminya dan ia wajib meluangkan waktunya untuk suaminya. Jika sang isteri bekerja (tanpa izin suaminya) dan mendapatkan uang, maka sebab yang menjadikan suami wajib memberikan nafkah kepadanya telah gugur.” [13]
2. Nafkah Isteri Yang Durhaka Kepada Suaminya (Nusyuz).
Jika sang isteri berbuat durhaka kepada suaminya, seperti menolak untuk tidur bersama, keluar dari rumah suami tanpa seizinnya, atau menolak bepergian bersama suaminya, maka sang isteri tidak berhak mendapat nafkah serta tempat tinggal. Demikian ini pendapat jumhur Ahli Ilmu, seperti: Asy Sya’bi, Hammad, Malik, Al Auza’i, Syafi’i, serta Abu Tsaur. Sedangkan Al Hakam berpendapat, isteri yang nusyuz tetap berhak mendapat nafkah.
Ibnu Al Mundzir berkata,”Aku tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi pendapat jumhur ini, kecuali Al Hakam. Sepertinya ia berhujjah bahwa kedurhakaan seorang isteri tidak menggugurkan haknya untuk mendapatkan mahar setelah adanya akad, maka demikian pula dalam hal nafkah.”
Ibnu Abdil Barr mensyaratkan nusyuz yang menggugurkan hak isteri untuk mendapat nafkah, yaitu bila tidak disertai kehamilan sang isteri. Ia berkata,”Istri yang durhaka kepada suaminya setelah ia dicampuri, gugurlah kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepadanya, kecuali jika ia hamil.”
Tentang pernyataan ini, Dr Umar Sulaiman Al Asyqar berkata,”Dan ini adalah pensyaratan yang shahih, karena nafkah yang diberikan kepada isteri yang hamil tersebut adalah untuk anaknya. Dan hal itu tidak mungkin tersampaikan kepada anak, kecuali dengan memberi nafkah kepada isterinya (ibu sang bayi)."[14]
3. Nafkah Bagi Isteri Yang Dicerai.
Berdasarkan kesepakatan para ulama, perlu diperhatikan beberapa catatan penting menyangkut nafkah isteri yang dicerai.[15]
Jika isteri dicerai sebelum terjadinya persetubuhan, maka sang isteri tidak berhak mendapat nafkah, karena tidak ada masa iddah baginya, bedasarkan firman Allah Azza wa Jalla.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
"Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi wanita-wanita beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta untuk menyempurnakannya". [Al Ahzab : 49].
Wajib atas suami memberikan nafkah kepada isteri yang dithalak raj’i [16].
Ibnu Abdil Barr berkata,”Tidak ada perselisihan diantara ulama, bahwa wanita yang dithalak raj’i berhak mendapat nafkah dari suaminya, baik mereka dalam keadaan hamil ataupun tidak; karena mereka masih berstatus sebagai isteri yang berhak mendapat nafkah, tempat tinggal serta harta warisan selama mereka dalam masa ‘iddah.”
Wanita hamil yang dithalak ba’in [17] ataupun yang suaminya meninggal, wajib diberikan nafkah sampai ia melahirkan anaknya, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla.
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
"Dan jika mereka (isteri-isteri yang dicerai itu) sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan". [Ath Thalaq : 6].[18]
Jadi wanita yang dithalak ba’in dalam keadaan hamil, ia berhak mendapatkan nafkah karena sebab kehamilannya tersebut, (bukan karena ‘iddahnya) sampai ia melahirkan.
Dan jika sang isteri menyusui anak suaminya tersebut setelah dicerai, maka ia berhak mendapat upah, berlandaskan firman Allah Azza wa Jalla.
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ
"Maka jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu, maka berikanlah mereka upahnya, dan musyawarahkanlah segala sesuatu dengan baik". [Ath Thalaq : 6]
Sebagaimana dikatakan oleh Imam Adh Dhahak,”Jika sang suami mencerai isterinya, dan ia memiliki anak dari isterinya itu, kemudian isterinya tersebut menyusui anaknya, maka sang isteri berhak mendapat nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.”[19]
Adapun jika sang isteri tidak sedang hamil (ketika dithalak ba’in), maka ia tidak berhak mendapat nafkah dari suaminya.
Berdasarkan hadits dari Fatimah binti Qais, ketika ia diceraikan suaminya. Kemudian ketika ia meminta nafkah, suaminya menolak memberinya. Akhirnya ia meminta fatwa kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal ini. Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ وَ لاَ سَكَنَى
"Tidak ada lagi kewajiban atas suamimu untuk memberimu nafkah dan tempat tinggal". [20]
JIKA SUAMI TIDAK MAMPU MEMBERI NAFKAH
Imam As Sarkhasi berkata,”Setiap wanita telah ditetapkan untuknya bagian dari nafkah atas suaminya. Baik suaminya masih muda, tua ataupun suaminya miskin dan tidak mampu untuk memberi nafkah, maka (ketika itu) ia (isteri) diperintahkan untuk menghutangi suaminya, (yakni nafkah yang belum ia terima menjadi hutang suaminya yang harus ia tunaikan kepada isterinya. Kemudian hendaklah ia kembali kepada suaminya, dan hakim tidak boleh menahannya, jika ia mengetahui ketidakmampuannya untuk memberi nafkah kepada isterinya.”
Sedangkan ulama kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, isteri diberi pilihan untuk tetap bersama suami dalam kemiskinannya itu atau bercerai dari suaminya, dan suami tidak dibebani kewajiban untuk memberi nafkah selama ia tidak mampu.
Mengenai nafkah yang terhutang, apakah tetap menjadi hutang tanggungan suaminya selama ia berada dalam masa sulitnya?
Dalam masalah ini terdapat perselisihan di kalangan ulama. Ulama kalangan madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, bahwa nafkah tersebut tetap menjadi hutang tanggungan suami. Sedangkan ulama madzhab Malikiyah berpendapat, gugurnya kewajiban memberi nafkah tersebut disebabkan ketidakmampuan suami.[21]
HUKUM SUAMI YANG MEMINTA KEMBALI NAFKAH YANG TELAH IA BERIKAN
Apabila seorang suami telah memberikan nafkah kepada isterinya, kemudian ia menceraikan isterinya tersebut atau ia meninggal, maka seorang suami tidak boleh meminta kembali nafkah yang telah diberikannya.
Imam An Nawawi menjelaskan,”Jika sang isteri telah mendapat nafkah, kemudian isteri tersebut meninggal pada pertengahan hari, maka tidak boleh (bagi suami) untuk meminta kembali nafkah yang telah diberikannya tersebut. Akan tetapi harta isterinya tersebut dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak menerima. Dan jika isteri meninggal, atau ia dithalaq ba’in oleh suaminya pada pertengahan hari, sedangkan dia pada awal hari tersebut (sebelum ia meninggal atau dithalaq) belum mendapatkan nafkah dari suaminya, maka nafkah tersebut menjadi hutang suami yang wajib ia tunaikan.”[22]
ANCAMAN BAGI SUAMI YANG BAKHIL
Tentang suami yang bakhil ini, telah datang banyak nash yang memuat ancaman baginya. Diantaranya ialah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut.
كَفَى بِالمَرْءِ إِثْماً أنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ
"Cukuplah sebagai dosa bagi suami yang menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya."[23]
Juga sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ العِبَادُ فِيْهِ إلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُوْلَ أحَدُهُمَا : اللهُمَّ أعْطِ مُنْفْقًا خَلَفًا، وَ يَقُوْلُ الآخَرُ: اللهُمَّ أعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
"Tidaklah para hamba berada dalam waktu pagi, melainkan ada dua malaikat yang turun. Salah satu dari mereka berdoa,”Ya, Allah. Berikanlah kepada orang yang menafkahkan hartanya balasan yang lebih baik,” sedangkan malaikat yang lain berdoa,”Ya, Allah. Berikanlah kebinasaan kepada orang yang menahan hartanya (tidak mau menafkahkannya).”[24]
Bakhil dan kikir adalah sifat tercela yang dilarang Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla telah memberikan ancaman berupa kebinasaan dan dosa bagi suami yang tidak mau memenuhi nafkah keluarganya, padahal ia mampu untuk memberinya. Hal ini bisa kita fahami, karena memberi nafkah keluarga adalah perintah syari’at yang wajib ditunaikan suami. Apabila seorang suami bakhil dan tidak mau memenuhi nafkah anak serta isterinya, berarti ia telah bermaksiat kepada Allah dengan meninggalkan kewajiban yang Allah bebankan kepadanya, sehingga ia berhak mendapat ancaman siksa dari Allah. Wal’iyadzu billah.
Demikianlah sebagian ulasan berkenaan kewajiban suami, yang menjadi pilar diantara pilar-pilar rumah tangga. Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa membimbing kaum muslimin seluruhnya, sehingga mampu menjalankan setiap kewajiban secara konsekwen sesuai tuntunan syari’at, untuk mewujudkan cita-cita rumah tangga sakinah, mawaddah wa rahmah. Amin, Allahumma, Amin. (Az Zarqa’).
Maraji:
1. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Dar Ath Thayyibah, Cetakan I.
2. Ahkamuz Zawaj, Dr. Umar Sulaiman Al Asyqari, Dar An Nufasa’, Cetakan II.
3. Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhush Shalihin, Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali, Dar Ibnul Jauzi, Cetakan I.
4. Isyratun Nisa’, Usamah bin Kamal bin Abdurrazaq, Dar Al Wathan Lin Nasyr, Cetakan II.
5. Adabuz Zifaf, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Maktab Al Islami.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. HR Bukhari dan Muslim dan selain keduanya.
[2]. Lihat juga Lisanul ‘Arab, 3/693.
[3]. HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi.
[4]. Ahkamuz Zawwaj, hlm. 280.
[5]. HR Muslim, Ahmad dan Baihaqi.
[6]. HR Ibnu Majah, 2138; Ahmad, 916727; dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, 1739.
[7]. Fathul Bari, 9/498.
[8]. Lihat Ahkamuz Zawwaj, hlm. 281-282 dengan bahasa dari penyusun
[9]. HR Bukhari.
[10]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 281.
[11]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 284.
[12]. Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, I/638.
[13]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 282.
[14]. Ahkamuz Zawaj, hlm 283.
[15]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 288-289.
[16]. Thalak raj’i adalah thalak yang masih mempunyai kesempatan untuk ruju' kembali selama belum usai masa ‘iddah. Jika telah melewati masa iddah, wajib membuat aqad baru, bila mereka ingin bersatu kembali.
[17]. Thalak ba’in adalah thalak yang tidak ada ruju' kembali, kecuali jika isterinya tersebut telah menikah dengan laki-laki lain, kemudian ia dicerai.
[18]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 288-289
[19]. Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, I/638
[20]. HR Bukhari dan Muslim, dan selain keduanya. Lihat Ahkamuz Zawaj hlm. 289
[21]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 287-288
[22]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 288.
[23]. HR Muslim.
[24]. Muttafaqun ‘alaihi.
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Hindun binti Utbah pernah datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengadukan kesulitannya karena suaminya tidak memberikan nafkah yang cukup untuknya dan anak-anaknya. Ia terpaksa mengambil harta suaminya tanpa sepengetahuannya untuk mencukupi kebutuhan. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya.
خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَ وَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
"Ambillah (dari harta suamimu) apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik" [1]
KEWAJIBAN SUAMI MEMBERI NAFKAH KELUARGA
Kisah di atas mengilustrasikan kepada kita, bahwa suami memiliki kewajiban yang telah Allah tetapkan dan begitu urgen, sekaligus sebagai hak isteri yang wajib untuk dipenuhi. Kemampuan memberi nafkah ini juga yang menjadi salah satu alasan mengapa kaum lelaki lebih utama dari kaum wanita. Namun mungkin banyak diantara kaum muslimin yang tidak memahami masalah penting ini. Terlebih pada masa dewasa ini, di tengah maraknya upaya pengaburan norma-norma agama, banyak faktor yang ikut mempengaruhi perubahan pola pikir kaum Muslimin; kebodohan terhadap ajaran agama adalah salah satu sebab utama, disamping sikap membeo kepada orang-orang di luar Islam.
DEFINISI NAFKAH MENURUT ULAMA
Para ulama memberikan satu batasan tentang makna nafkah. Diantaranya sebagaimana disebutkan dalam Mu’jamul Wasith, yaitu apa-apa yang dikeluarkan oleh seorang suami untuk keluarganya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan yang selainnya [2]. Nafkah ini juga mencakup keperluan isteri sewaktu melahirkan, seperti pembiayaan bidan atau dokter yang menolong persalinan, biaya obat serta rumah sakit. Termasuk juga didalamnya adalah pemenuhan kebutuhan biologis isteri.
Hukum memberi nafkah keluarga ini wajib atas suami, berdasarkan nash-nash Al Qur’an, Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam serta Ijma’ ulama.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang telah Allah karuniakan kepadanya. Allah tidaklah memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan" [Ath Thalaq : 7].
Juga firmanNya.
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik".[Al Baqarah : 233].
Jabir mengisahkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
اتَّقُوْا اللهَ فِيْ النِّسَاءِ، فَإِنَّهُنَّ عوان عِندَكُمْ، أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانَةِ اللهِ وَ اسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ ، وَ لَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ بِالمَعْرُوْفِ
"Bertaqwalah kalian dalam masalah wanita. Sesungguhnya mereka ibarat tawanan di sisi kalian. Kalian ambil mereka dengan amanah Allah dan kalian halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Mereka memiliki hak untuk mendapatkan rezki dan pakaian dari kalian".[3]
Mayoritas ulama, diantaranya Ibnu Qudamah, berpendapat bahwa kewajiban suami memberi nafkah juga berlaku bagi isterinya dari kalangan wanita Kitabiah (Ahlul Kitab) jika ia memiliki isteri dari golongan mereka, berdasarkan keumuman nash-nash yang mewajibkan suami memberi nafkah isteri.[4]
KEUTAMAAN MEMBERI NAFKAH KEPADA KELUARGA
Tidaklah Allah Azza wa Jalla memerintahkan satu perkara, melainkan perkara itu pasti dicintaiNya dan memiliki keutamaan di sisiNya serta membawa kebaikan bagi para hamba. Termasuk masalah memenuhi nafkah keluarga.
Melalui lisan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan tentang keutamaan memberi nafkah kepada keluarga. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
دِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في سَبِيْلِ اللهِ وَ دِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في رَقَبَةٍ وَ دِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في على أهْلِكَ أعْظَمُهَا أجْرًا الَّذِي أنْفَتَهُ على أهْلِكَ
"Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu" [5].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
مَا أطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ وَالِدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ زَوْجَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ
"Apa yang engkau berikan untuk memberi makan dirimu sendiri, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan anakmu, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan orang tuamu, maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan isterimu, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan pelayanmu, maka itu adalah sedekah bagimu".[6]
Al Hafizh Ibnul Hajar Al Asqalani berkata,”Memberi nafkah kepada keluarga merupakan perkara yang wajib atas suami. Syari’at menyebutnya sebagai sedekah, untuk menghindari anggapan bahwa para suami yang telah menunaikan kewajiban mereka (memberi nafkah) tidak akan mendapatkan balasan apa-apa. Mereka mengetahui balasan apa yang akan diberikan bagi orang yang bersedekah. Oleh karena itu, syari’at memperkenalkan kepada mereka, bahwa nafkah kepada keluarga juga termasuk sedekah (yang berhak mendapat pahala, Pen). Sehingga tidak boleh memberikan sedekah kepada selain keluarga mereka, sebelum mereka mencukupi nafkah (yang wajib) bagi keluarga mereka, sebagai pendorong untuk lebih mengutamakan sedekah yang wajib mereka keluarkan (yakni nafkah kepada keluarga, Pen) dari sedekah yang sunnat.”[7]
Adalah satu hal yang sangat tidak logis, apabila ada suami yang makan-makan bersama teman-temannya, mentraktir mereka karena ingin terlihat hebat di mata mereka, sementara anak dan isterinya di rumah mengencangkan perut menahan lapar. Dimanakah sikap perwira dan tanggung jawabnya sebagai suami?
Satu hal yang juga tidak kalah penting untuk diingat, bahwa suami wajib memberi nafkah dari rizki yang halal. Jangan sekali-kali memberi nafkah dari jalan yang haram, karena setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram berhak mendapat siksa api neraka. Sang suami akan dimintai pertanggungan jawaban tentang nafkah yang diberikan kepada keluarganya.
KAPAN KEWAJIBAN MEMBERI NAFKAH BERAWAL?
Para ulama kalangan Hanafiah berpendapat, kewajiban memberi nafkah ini mulai dibebankan ke pundak suami setelah berlangsungnya akad nikah yang sah; meskipun sang isteri belum berpindah ke rumah suaminya.
Dasar pendapat mereka, diantara konsekuensi dari akad yang sah, ialah sang isteri menjadi tawanan bagi suaminya. Dan apabila isteri menolak berpindah ke rumah suaminya tanpa ada udzur syar’i setelah suaminya memintanya, maka ia tidak berhak mendapat nafkah dikarenakan isteri telah berbuat durhaka (nusyuz) kepada suaminya dengan menolak permintaan suaminya tersebut.
Sedangkan ulama dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat, kewajiban nafkah belum jatuh kepada suami hanya dengan akad nikah semata-mata. Kewajiban itu mulai berawal ketika sang isteri telah menyerahkan dirinya kepada suaminya, atau ketika sang suami telah mencampurinya, atau ketika sang suami menolak memboyong isterinya ke rumahnya, padahal sang isteri telah meminta hal itu darinya.[8]
JENIS-JENIS NAFKAH
Jenis nafkah yang wajib, yaitu segala sesuatu yang dibutuhkan oleh sang isteri serta keluarganya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah. Termasuk kategori nafkah wajib ini -tanpa ada perselisihan ulama- meliputi kebutuhan primer, seperti makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal, perhiasan serta sarana-sarana dan peralatan yang dibutuhkan isteri untuk memenuhi kebutuhan primernya, juga pemenuhan kebutuhan biologisnya. Semua itu wajib dipenuhi oleh suami.
Adapun kebutuhan selain itu, seperti biaya pengobatan dan pengadaan pembantu rumah tangga, terdapat silang pendapat di kalangan ulama. Mayoritas ahli fiqh berpendapat, biaya pengobatan isteri tidak wajib bagi suami. Demikian juga dengan pengadaan pembantu rumah tangga, tidak wajib bagi suami, kecuali jika hal itu (memberikan pembantu rumah tangga) sudah menjadi satu hal yang lumrah dalam keluarga sang isteri, ataupun di kalangan keluarga-keluarga lain di kaumnya. Namun yang penting harus diperhatikan, pengadaan pembantu rumah tangga ini juga tidak terlepas dari kesanggupan suami untuk memenuhinya. Jika tidak mampu memberikan pembantu rumah tangga untuk isterinya, maka tidak wajib bagi suami untuk mengadakannya, karena Allah tidak membebani seseorang di luar kesanggupannya.
Ada satu kisah menarik yang bisa dijadikan pelajaran bagi para isteri. Fathimah binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengadu kepada ayahnya tentang luka-luka di tangannya yang dikarenakan pekerjaannya berkhidmah kepada suami. Wanita mulia ini mendengar, telah datang seorang budak kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun saat itu Fathimah tidak menjumpai Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akhirnya Fathimah menceritakan hal itu kepada ‘Aisyah. Ketika Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam datang, ‘Aisyah menceritakan pengaduan Fathimah kepada Beliau.
Ali berkata: Ketika Beliau datang mengunjungi kami, dan pada saat itu kami bersiap-siap hendak tidur. Kami pun bangun mendengar kedatangan Beliau, namun Beliau berkata,"Tetaplah kalian berdua di tempat kalian.” Beliau datang dan duduk diantara aku dan Fathimah, hingga aku bisa merasakan dinginnya kedua telapak tangan Beliau di perutku. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
ألاَ أدُلُّكُمَا عَلَى خَيْرٍ مِمَّ سَأَلْتُمَا ؟ إذَا أَخَذْتَمَا مَضَاجَعَكُمَا أوْ أَوَيْتَمَا إلى فِرَاشِكُمَا فَسَبِّحَا ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ وَاحْمِدَا ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ وَ كَبِّرَا أرْبَعًا وَ ثَلاَثِيْنَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ
"Maukah kutunjukkan kepada kalian berdua sesuatu yang lebih baik daripada yang kalian berdua minta? Jika kalian hendak tidur, maka ucapkanlah tasbih tiga puluh tiga kali, tahmid tiga puluh tiga dan takbir tiga puluh empat kali. Itu lebih baik bagi kalian daripada seorang pelayan.[9]
Ali berkata,”Sejak saat itu aku tidak pernah meninggalkannya.” Dia (Ali) ditanya,”Juga pada malam perang Shiffin?” Ali menjawab,”Juga pada malam perang Shiffin.”
TEKNIS PEMBERIAN NAKAH KELUARGA DAN KADARNYA
Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar membawakan penjelasan ulama ketika menjelaskan teknis pemenuhan nafkah keluarga.
Hal yang telah diketahui oleh kaum muslimin, baik dulu maupun sekarang, bahwa suami wajib memberi nafkah untuk dirinya dan keluarganya, menyediakan segala hal yang dibutuhkan oleh isteri serta anak-anaknya. Kebiasaan manusia pada umumnya tidak mengharuskan suami memberikan nafkah setiap hari, baik harta (uang) ataupun makanan, pakaian dan yang sejenisnya (artinya pemenuhan tersebut bersifat fleksibel, sesuai dengan tuntutan kebutuhan keluarga, Pen). Demikian juga teknis pemenuhan ini, tidak disandarkan kepada kadar nafkah serta (tidak pula) mewajibkan suami memberikan nafkah secara taradhin (saling ridha), ataupun berdasarkan keputusan hakim; kecuali jika terjadi perselisihan di antara suami-isteri yang disebabkan suami tidak memberikan nafkah kepada keluarga karena kekikirannya, atau karena kepergiannya atau pun karena ketidaksanggupannya memberi nafkah. Maka pada kondisi seperti ini, pemenuhan nafkah keluarga disandarkan kepada hukum secara suka sama suka (taradhin) atau berdasarkan keputusan hakim.”[10]
Dari penjelasan di atas, dapatlah diambil kesimpulan, pemenuhan nafkah isteri ini dilaksanakan secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan keluarganya. Artinya, sang suami boleh memberikan sejumlah harta serta hal-hal lain yang dibutuhkan keluarganya, secara per hari, per pekan ataupun per bulan dengan kadar yang disanggupinya, sebagai nafkah bagi keluarganya.
Tentang masalah kadar nafkah ini, sebenarnya terdapat silang pendapat diantara para ulama. Siapakah yang menjadi barometer untuk menentukan kadar nafkah tersebut? keadaan isteri atau keadaan suami, ataukah keadaan keduanya?
Ulama dari kalangan Hanabilah berpendapat, kadar nafkah diukur sesuai dengan kondisi suami-isteri. Jika keduanya termasuk golongan yang dimudahkan rizkinya oleh Allah (artinya sama-sama berasal dari keluarga berada), maka wajib bagi suami memberi nafkah dengan kadar yang sesuai dengan keadaan keluarga mereka berdua. Jika keduanya berasal dari keluarga miskin, maka kewajiban suami memberi nafkah sesuai dengan keadaan mereka. Namun, jika keduanya berasal dari keluarga yang berbeda tingkat ekonominya, maka kewajiban suami adalah memberikan nafkah sesuai dengan kadar keluarga kalangan menengah.[11]
Sedangkan para ulama kalangan Hanafiah, Malikiyah dan Syafi’iyyah berpendapat, barometer yang dijadikan acuan untuk menentukan kadar nafkah yang wajib diberikan suami adalah keadaan suami itu sendiri, berdasarkan firman Allah Ta’ala.
'Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang telah Allah karuniakan kepadanya. Allah tidaklah memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan". [Ath Thalaq : 7]
Pendapat ini diperkuat dengan penafsiran Imam Ibnu Katsir tentang makna lafazh (بِالْمَعْرُوفِ) pada ayat berikut.
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik". [Al Baqarah : 233]
Ibnu Katsir berkata,”Yakni sesuai dengan keadaan umum yang diterima kalangan para isteri di negeri mereka, tanpa berlebih-lebihan ataupun pelit, sesuai dengan kesanggupannya dalam keadaan mudah, susah ataupun pertengahan.”
Dalil lain yang memperkuat pendapat mereka ialah firmanNya Azza wa Jalla.
وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ
"Dan hendaklah kamu berikan suatu pemberian kepada mereka. Orang yang mampu sesuai dengan kemampuannya dan orang yang miskin sesuai dengan kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut". [Al Baqarah:236].
FirmanNya Azza wa Jalla.
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
"Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sesuai dengan kadar kesanggupannya". [Al Baqarah : 286]
Ayat-ayat di atas telah menjadikan beban taklif (kewajiban) memberi nafkah sesuai dengan kadar kesanggupan suami.
NAFKAH ISTERI DALAM KONDISI YANG BERBEDA
Secara umum, isteri memiliki hak nafkah dari suaminya. Namun terkadang, ada beberapa kondisi yang membuat sang isteri kehilangan haknya tersebut. Berikut ini adalah penjelasan sebagian kondisi tersebut.
1. Nafkah Bagi Isteri Yang Bekerja Di Luar Rumah.
Sebagian ulama fiqh kontemporer berpendapat, isteri yang bekerja (di luar rumah) tetap berhak mendapat nafkah dari suaminya, jika ia bekerja dengan izin dari suaminya. Namun apabila ia bekerja tanpa mendapat izin dari suaminya, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah.
Tentang hal ini, ketika menjelasan alasan, mengapa isteri yang bekerja di luar rumah tidak mendapat nafkah, Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar berkata,”Pendapat yang benar adalah, wanita yang bekerja tidak berhak mendapat nafkah. Karena suami mampu mencegahnya dari bekerja dan keluar dari rumah (dengan mencukupi nafkahnya), dan (menetapnya isteri di rumah suami) merupakan hak suaminya. Kewajiban suami memberi nafkah kepada isteri disebabkan karena status isteri yang menjadi tawanan suaminya dan ia wajib meluangkan waktunya untuk suaminya. Jika sang isteri bekerja (tanpa izin suaminya) dan mendapatkan uang, maka sebab yang menjadikan suami wajib memberikan nafkah kepadanya telah gugur.” [13]
2. Nafkah Isteri Yang Durhaka Kepada Suaminya (Nusyuz).
Jika sang isteri berbuat durhaka kepada suaminya, seperti menolak untuk tidur bersama, keluar dari rumah suami tanpa seizinnya, atau menolak bepergian bersama suaminya, maka sang isteri tidak berhak mendapat nafkah serta tempat tinggal. Demikian ini pendapat jumhur Ahli Ilmu, seperti: Asy Sya’bi, Hammad, Malik, Al Auza’i, Syafi’i, serta Abu Tsaur. Sedangkan Al Hakam berpendapat, isteri yang nusyuz tetap berhak mendapat nafkah.
Ibnu Al Mundzir berkata,”Aku tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi pendapat jumhur ini, kecuali Al Hakam. Sepertinya ia berhujjah bahwa kedurhakaan seorang isteri tidak menggugurkan haknya untuk mendapatkan mahar setelah adanya akad, maka demikian pula dalam hal nafkah.”
Ibnu Abdil Barr mensyaratkan nusyuz yang menggugurkan hak isteri untuk mendapat nafkah, yaitu bila tidak disertai kehamilan sang isteri. Ia berkata,”Istri yang durhaka kepada suaminya setelah ia dicampuri, gugurlah kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepadanya, kecuali jika ia hamil.”
Tentang pernyataan ini, Dr Umar Sulaiman Al Asyqar berkata,”Dan ini adalah pensyaratan yang shahih, karena nafkah yang diberikan kepada isteri yang hamil tersebut adalah untuk anaknya. Dan hal itu tidak mungkin tersampaikan kepada anak, kecuali dengan memberi nafkah kepada isterinya (ibu sang bayi)."[14]
3. Nafkah Bagi Isteri Yang Dicerai.
Berdasarkan kesepakatan para ulama, perlu diperhatikan beberapa catatan penting menyangkut nafkah isteri yang dicerai.[15]
Jika isteri dicerai sebelum terjadinya persetubuhan, maka sang isteri tidak berhak mendapat nafkah, karena tidak ada masa iddah baginya, bedasarkan firman Allah Azza wa Jalla.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
"Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi wanita-wanita beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta untuk menyempurnakannya". [Al Ahzab : 49].
Wajib atas suami memberikan nafkah kepada isteri yang dithalak raj’i [16].
Ibnu Abdil Barr berkata,”Tidak ada perselisihan diantara ulama, bahwa wanita yang dithalak raj’i berhak mendapat nafkah dari suaminya, baik mereka dalam keadaan hamil ataupun tidak; karena mereka masih berstatus sebagai isteri yang berhak mendapat nafkah, tempat tinggal serta harta warisan selama mereka dalam masa ‘iddah.”
Wanita hamil yang dithalak ba’in [17] ataupun yang suaminya meninggal, wajib diberikan nafkah sampai ia melahirkan anaknya, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla.
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
"Dan jika mereka (isteri-isteri yang dicerai itu) sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan". [Ath Thalaq : 6].[18]
Jadi wanita yang dithalak ba’in dalam keadaan hamil, ia berhak mendapatkan nafkah karena sebab kehamilannya tersebut, (bukan karena ‘iddahnya) sampai ia melahirkan.
Dan jika sang isteri menyusui anak suaminya tersebut setelah dicerai, maka ia berhak mendapat upah, berlandaskan firman Allah Azza wa Jalla.
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ
"Maka jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu, maka berikanlah mereka upahnya, dan musyawarahkanlah segala sesuatu dengan baik". [Ath Thalaq : 6]
Sebagaimana dikatakan oleh Imam Adh Dhahak,”Jika sang suami mencerai isterinya, dan ia memiliki anak dari isterinya itu, kemudian isterinya tersebut menyusui anaknya, maka sang isteri berhak mendapat nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf.”[19]
Adapun jika sang isteri tidak sedang hamil (ketika dithalak ba’in), maka ia tidak berhak mendapat nafkah dari suaminya.
Berdasarkan hadits dari Fatimah binti Qais, ketika ia diceraikan suaminya. Kemudian ketika ia meminta nafkah, suaminya menolak memberinya. Akhirnya ia meminta fatwa kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang hal ini. Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ وَ لاَ سَكَنَى
"Tidak ada lagi kewajiban atas suamimu untuk memberimu nafkah dan tempat tinggal". [20]
JIKA SUAMI TIDAK MAMPU MEMBERI NAFKAH
Imam As Sarkhasi berkata,”Setiap wanita telah ditetapkan untuknya bagian dari nafkah atas suaminya. Baik suaminya masih muda, tua ataupun suaminya miskin dan tidak mampu untuk memberi nafkah, maka (ketika itu) ia (isteri) diperintahkan untuk menghutangi suaminya, (yakni nafkah yang belum ia terima menjadi hutang suaminya yang harus ia tunaikan kepada isterinya. Kemudian hendaklah ia kembali kepada suaminya, dan hakim tidak boleh menahannya, jika ia mengetahui ketidakmampuannya untuk memberi nafkah kepada isterinya.”
Sedangkan ulama kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, isteri diberi pilihan untuk tetap bersama suami dalam kemiskinannya itu atau bercerai dari suaminya, dan suami tidak dibebani kewajiban untuk memberi nafkah selama ia tidak mampu.
Mengenai nafkah yang terhutang, apakah tetap menjadi hutang tanggungan suaminya selama ia berada dalam masa sulitnya?
Dalam masalah ini terdapat perselisihan di kalangan ulama. Ulama kalangan madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, bahwa nafkah tersebut tetap menjadi hutang tanggungan suami. Sedangkan ulama madzhab Malikiyah berpendapat, gugurnya kewajiban memberi nafkah tersebut disebabkan ketidakmampuan suami.[21]
HUKUM SUAMI YANG MEMINTA KEMBALI NAFKAH YANG TELAH IA BERIKAN
Apabila seorang suami telah memberikan nafkah kepada isterinya, kemudian ia menceraikan isterinya tersebut atau ia meninggal, maka seorang suami tidak boleh meminta kembali nafkah yang telah diberikannya.
Imam An Nawawi menjelaskan,”Jika sang isteri telah mendapat nafkah, kemudian isteri tersebut meninggal pada pertengahan hari, maka tidak boleh (bagi suami) untuk meminta kembali nafkah yang telah diberikannya tersebut. Akan tetapi harta isterinya tersebut dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak menerima. Dan jika isteri meninggal, atau ia dithalaq ba’in oleh suaminya pada pertengahan hari, sedangkan dia pada awal hari tersebut (sebelum ia meninggal atau dithalaq) belum mendapatkan nafkah dari suaminya, maka nafkah tersebut menjadi hutang suami yang wajib ia tunaikan.”[22]
ANCAMAN BAGI SUAMI YANG BAKHIL
Tentang suami yang bakhil ini, telah datang banyak nash yang memuat ancaman baginya. Diantaranya ialah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut.
كَفَى بِالمَرْءِ إِثْماً أنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ
"Cukuplah sebagai dosa bagi suami yang menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya."[23]
Juga sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ العِبَادُ فِيْهِ إلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُوْلَ أحَدُهُمَا : اللهُمَّ أعْطِ مُنْفْقًا خَلَفًا، وَ يَقُوْلُ الآخَرُ: اللهُمَّ أعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
"Tidaklah para hamba berada dalam waktu pagi, melainkan ada dua malaikat yang turun. Salah satu dari mereka berdoa,”Ya, Allah. Berikanlah kepada orang yang menafkahkan hartanya balasan yang lebih baik,” sedangkan malaikat yang lain berdoa,”Ya, Allah. Berikanlah kebinasaan kepada orang yang menahan hartanya (tidak mau menafkahkannya).”[24]
Bakhil dan kikir adalah sifat tercela yang dilarang Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla telah memberikan ancaman berupa kebinasaan dan dosa bagi suami yang tidak mau memenuhi nafkah keluarganya, padahal ia mampu untuk memberinya. Hal ini bisa kita fahami, karena memberi nafkah keluarga adalah perintah syari’at yang wajib ditunaikan suami. Apabila seorang suami bakhil dan tidak mau memenuhi nafkah anak serta isterinya, berarti ia telah bermaksiat kepada Allah dengan meninggalkan kewajiban yang Allah bebankan kepadanya, sehingga ia berhak mendapat ancaman siksa dari Allah. Wal’iyadzu billah.
Demikianlah sebagian ulasan berkenaan kewajiban suami, yang menjadi pilar diantara pilar-pilar rumah tangga. Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa membimbing kaum muslimin seluruhnya, sehingga mampu menjalankan setiap kewajiban secara konsekwen sesuai tuntunan syari’at, untuk mewujudkan cita-cita rumah tangga sakinah, mawaddah wa rahmah. Amin, Allahumma, Amin. (Az Zarqa’).
Maraji:
1. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Dar Ath Thayyibah, Cetakan I.
2. Ahkamuz Zawaj, Dr. Umar Sulaiman Al Asyqari, Dar An Nufasa’, Cetakan II.
3. Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhush Shalihin, Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali, Dar Ibnul Jauzi, Cetakan I.
4. Isyratun Nisa’, Usamah bin Kamal bin Abdurrazaq, Dar Al Wathan Lin Nasyr, Cetakan II.
5. Adabuz Zifaf, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Maktab Al Islami.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. HR Bukhari dan Muslim dan selain keduanya.
[2]. Lihat juga Lisanul ‘Arab, 3/693.
[3]. HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi.
[4]. Ahkamuz Zawwaj, hlm. 280.
[5]. HR Muslim, Ahmad dan Baihaqi.
[6]. HR Ibnu Majah, 2138; Ahmad, 916727; dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, 1739.
[7]. Fathul Bari, 9/498.
[8]. Lihat Ahkamuz Zawwaj, hlm. 281-282 dengan bahasa dari penyusun
[9]. HR Bukhari.
[10]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 281.
[11]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 284.
[12]. Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, I/638.
[13]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 282.
[14]. Ahkamuz Zawaj, hlm 283.
[15]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 288-289.
[16]. Thalak raj’i adalah thalak yang masih mempunyai kesempatan untuk ruju' kembali selama belum usai masa ‘iddah. Jika telah melewati masa iddah, wajib membuat aqad baru, bila mereka ingin bersatu kembali.
[17]. Thalak ba’in adalah thalak yang tidak ada ruju' kembali, kecuali jika isterinya tersebut telah menikah dengan laki-laki lain, kemudian ia dicerai.
[18]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 288-289
[19]. Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, I/638
[20]. HR Bukhari dan Muslim, dan selain keduanya. Lihat Ahkamuz Zawaj hlm. 289
[21]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 287-288
[22]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 288.
[23]. HR Muslim.
[24]. Muttafaqun ‘alaihi.
Langganan:
Postingan (Atom)