JANGAN BIARKAN HATI ANDA MENDERITA HASAD.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,BAHAYA HASAD
Hasad (dengki) merupakan penyakit hati yang berbahaya bagi manusia,
karena penyakit ini menyerang hati si penderita dan meracuninya; membuat
dia benci terhadap kenikmatan yang telah diperoleh oleh saudaranya, dan
merasa senang jika kenikmatan tersebut musnah dari tangan saudaranya.
Pada hakikatnya, penyakit ini mengakibatkan si penderita tidak ridha
dengan qadha’ dan qadar Allah Azza wa Jalla , sebagaimana perkataan
Ibnul Qayyim rahimahullah ,”Sesungguhnya hakikat hasad adalah bagian
dari sikap menentang Allah Azza wa Jalla , karena ia (membuat si
penderita) benci kepada nikmat Allah Azza wa Jalla atas hamba-Nya;
padahal Allah Azza wa Jalla menginginkan nikmat tersebut untuknya. Hasad
juga membuatnya senang dengan hilangnya nikmat tersebut dari
saudaranya, padahal Allah Azza wa Jalla benci jika nikmat itu hilang
dari saudaranya. Jadi, hasad itu hakikatnya menentang qadha’ dan qadar
Allah Azza wa Jalla ”[1] .
Penyakit ini sering dijumpai di antara sesama teman sejabatan,
seprofesi, seperjuangan, atau sederajat. Oleh sebab itu, tak jarang
dijumpai ada pegawai kantor yang hasad kepada teman sekantornya, tukang
bakso hasad kepada tukang bakso lainnya, guru hasad kepada guru, orang
ahli ibadah atau Ustadz atau kyai hasad kepada yang sederajat dengannya.
Jarang dijumpai hasad tersebut pada orang yang beda kedudukan dan
derajatnya, seperti tukang bakso hasad kepada kyai atau tukang becak
hasad kepada Ustadz, meskipun tidak menafikan kemungkinan terjadinya.
Penyakit hasad hendaknya dijauhi oleh setiap Muslim, karena madharatnya
sangat besar, terutama bagi si penderita baik madharat dari sisi diennya
maupun dunianya. Tidakkah kita ingat, kenapa Iblis dilaknat oleh Allah
Azza wa Jalla ?; tidak lain karena sikap hasad dan sombongnya kepada
Adam q yang sama-sama makhluk Allah Azza wa Jalla .
Dari sisi lain hasad juga merupakan sifat sebagian besar orang Yahudi dan Nasrani, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
Ataukah mereka (orang Yahudi) dengki kepada manusia (Muhammad dan
orang-orang Mukmin) lantaran karunia yang Allah telah diberikan kepada
mereka?..” [an-Nisa’/4:54]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang hasad mereka:
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ
إِيمَانِكُمْ كُفَّاراً حَسَداً مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ
Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan
kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang timbul
dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka
kebenaran.”[al-Baqarah 109]
Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang
Muslim dari sifat hasad tersebut, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
لاَ تَقَاطَعُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَكُونُوْا إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمُ اللَّهُ
Janganlah kalian memutuskan tali persaudaraan, saling berpaling ketika
bertemu dan saling membenci serta saling dengki. Jadilah kalian
bersaudara sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah.
[HR.Muslim][2]
SEBAB-SEBAB HASAD
Sumber dan penyebab hasad adalah cinta dunia, baik cinta harta benda, kedudukan, jabatan maupun pujian manusia.
Dunia memang sempit, sering menyempitkan mereka yang memburu dan
mencintainya, sehingga tak jarang mereka berjatuhan pada lembah hasad,
karena tabiat dunia adalah tidak akan bisa dimiliki kecuali ia berpindah
dari tangan satu ke tangan lainnya dan berkurang jika dibelanjakan.
Berbeda dengan akhirat yang sangat luas, seperti langit yang tak
berujung dan seperti lautan yang tak bertepi. Karena sangat luasnya,
sehingga tidak menyempitkan orang yang memburu dan mencintainya,
sebagaimana kita tidak menjumpai orang berjejal-jejal untuk melihat
keindahan langit di waktu malam, karena luasnya dan cakupannya terhadap
setiap mata yang memandang.
Ibnu Sirin rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah hasad kepada seorang
pun dalam masalah dunia, karena jika dia termasuk ahli surga, maka
bagaimana aku hasad kepadanya dalam masalah dunia, padahal dia akan
masuk surga? dan jika dia termasuk ahli neraka, maka bagaimana aku hasad
kepadanya dalam hal dunia, sedangkan dia akan masuk neraka?”[3]
Jika tujuan seseorang adalah akhirat, maka hatinya bersih dari hasad,
tenang, jernih seperti air yang memancar dari mata air pegunungan;
lembut bagaikan sutera, tidak ada tempat bagi hasad di dalamnya. Akan
tetapi jika tujuannya adalah dunia, maka hati sangat rawan terjangkit
hasad, mudah ternoda dan keruh. Oleh sebab itu, bagi mereka yang
mempunyai belas-kasihan terhadap hatinya, hendaknya dia meninggalkan
cinta dunia dan menggantikannya dengan cinta akhirat. Karena kenikmatan
akhirat tidaklah menyempitkan orang yang memburunya. Ia adalah
kenikmatan yang sesungguhnya, kenikmatan yang luar biasa, tidak
sebanding dengan kenikmatan-kenikmatan dunia. Kenikmatan tersebut bisa
dirasakan oleh orang yang sangat mencintainya, mencari dan memburunya di
dunia ini. Jika seseorang tidak ingin memburu kenikmatan hakiki
tersebut, atau lemah keinginannya, maka dia bukanlah kesatria, karena
yang memburu kenikmatan yang hakiki tersebut adalah para ksatria. [4]
OBAT HASAD
Setelah kita mengetahui bahwa hasad adalah penyakit hati yang berbahaya.
Maka, tentunya kita ingin mengetahui obat dan terapi hasad tersebut.
Sebenarnya, penyakit hati yang satu ini tidaklah dapat diobati dengan
pil atau kapsul dari apotik atau dengan suntik, herbal atau pijit urat,
akan tetapi penyakit hati ini hanya dapat diobati dengan ilmu dan amal.
Adapun obat yang pertama adalah ilmu. Ilmu yang bermanfaat untuk
mengobati hasad adalah pengetahuan tentang hakikat hasad itu sendiri. Di
antaranya, mengetahui bahwa hasad itu berbahaya bagi si penderita, baik
bagi diennya maupun dunianya. Di dunia, hatinya selalu menderita dan
tersayat-sayat, boleh jadi dia mati karenanya. Bagaimana tidak? Dia
membenci orang lain yang mendapat kenikmatan dan mengharap nikmat
tersebut musnah darinya. Padahal, hal itu telah ditakdirkan oleh Allah
Azza wa Jalla dan tidak akan musnah sampai saat yang telah ditentukan.
Orang yang hasad ibarat orang yang melempar bumerang kepada musuh.
Bumerangnya tidak mengenai sasaran, tetapi bumerang itu kembali
kepadanya, sehingga mengenai mata kanannya dan mengeluarkan bola
matanya. Lalu dia pun bertambah marah dan kembali melempar kedua kalinya
dengan lebih kuat. Akan tetapi, bumerang itu seperti semula, tidak
mengenai sasaran dan kembali mengenai mata sebelah kirinya sehingga dia
buta. Kemarahannya pun bertambah menyala-nyala, kemudian dia melempar
ketiga kalinya dengan sekuat tenaga, akan tetapi bumerang tersebut
kembali mengenai kepalanya sampai hancur, sedangkan musuhnya selamat dan
mentertawakan dia, karena dia mati atas perbuatannya sendiri. Sedangkan
di akhirat nanti, dia akan mendapat adzab dari Allah Azza wa Jalla ,
jika hasad tersebut melahirkan perkataan dan perbuatan, karena statusnya
adalah orang yang telah mendzalimi orang lain ketika di dunia.
Perlu diketahui pula bahwa hasad juga tidak berbahaya bagi orang yang
dihasad, baik bagi dien maupun dunianya. Dia tidak berdosa dengan hasad
orang lain kepadanya. Bahkan, dia mendapatkan pahala jika hasad tersebut
keluar berwujud perkataan dan perbuatan, sebab dia termasuk orang yang
didzalimi. Kenikmatan yang ada padanya juga tidak akan musnah karena
hasad orang lain kepadanya, sebab kenikmatan tersebut telah ditakdirkan
untuknya.
Adapun obat kedua adalah amal perbuatan. Amal perbuatan yang manjur
untuk mengobati hasad adalah melakukan perbuatan yang berlawanan dengan
perbuatan yang ditimbulkan oleh hasad. Misalnya; gara-gara hasad
seseorang ingin mencela dan meremehkan orang yang dihasad. Jika seperti
ini, hendaknya dia melakukan hal yang berbeda yaitu memuji orang yang
dihasad tersebut. Kemudian jika hasad itu membuatnya sombong kepada
orang yang dihasad, maka hendaknya dia tawaddu’ kepadanya dan jika hasad
membuatnya tidak berbuat baik atau tidak memberi hadiah kepada orang
yang dihasad. Maka, hendaknya dia melakukan sebaliknya, yaitu berbuat
baik dan memberikan kepadanya hadiah. Maka, dengan seperti ini insya
Allah hasad di hati akan segera lenyap dan hati kembali sehat dan
normal.[5]
HASAD YANG DIPERBOLEHKAN?
Mungkin di antara kita ada yang bertanya-tanya. Apakah benar hasad itu
ada yang diperbolehkan? Jawabannya, marilah kita simak sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً
فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ
حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
Tidak ada hasad kecuali kepada dua orang, yang pertama; kepada seseorang
yang telah diberi harta kekayaan oleh Allah dan ia habiskan dijalan
yang benar, yang kedua; kepada seseorang yang telah diberi hikmah (ilmu)
oleh Allah dan ia memutuskan perkara dengannya serta mengajarkannya.
[HR.Muttafaq alaih][6].
Akan tetapi, hasad dalam hadits ini berbeda pengertiannya dengan hasad
yang telah disebutkan di atas. Hasad yang ini disebut oleh para Ulama’
dengan sebutan Ghibtah, yaitu menginginkan kenikmatan seperti yang telah
diperoleh oleh orang lain dengan tanpa membenci orang tersebut, serta
tidak mengharapkan kenikmatan itu musnah darinya.
As-Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbâd hafidzahullâh dalam menjelaskan hadits
di atas berkata; “Yang dimaksud hasad di sini adalah ghibtah”.[7]
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ghibtah adalah ingin mendapat
kenikmatan sebagaimana yang diperoleh oleh orang lain dengan tanpa
mengharapkan nikmat tersebut musnah darinya. Jika perkara yang di
ghibtah tersebut adalah perkara dunia, maka hukumnya adalah mubâh
(boleh). Jika perkara tersebut termasuk perkara akhirat, maka hukumnya
adalah mustahab (sunnat), dan makna hadits di atas adalah tidak ada
ghibtah yang dicintai (oleh Allah Azza wa Jalla ) kecuali pada dua
perkara (yang tersebut di atas) dan yang semakna dengannya”.[8]
Dengan demikian, hendaknya seorang Muslim senantiasa meninggalkan hasad dan menggantinya dengan ghibtah.
Washallâhu alâ Nabiyyina Muhammad wa alâ alihi washahbihi wasallam.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Al-Fawâ’id (Hal 157 Cet. Dârul Fikr - Beirut).
[2]. Shahîh Muslim (Juz 8/ Hal 10).
[3]. Raudhatul Uqalâ’ Wanuzhatul Fudhalâ’ (Hal. 119 Cet. Maktabah Ashriyah – Beirut).
[4]. Mukhtashar Minhâjul Qâsidîn (Hal.188-189 Cet. Maktabah dârul Bayân - Damaskus) bittasharruf.
[5]. Mukhtashar Minhâjul Qâshidîn (Hal. 189-190 Cet. Maktabah dârul Bayân - Damaskus) bittasharruf.
[6]. Shahîh Bukhâri (No. 6886 Cet.3 Dâr Ibnu Katsîr – Beirut. Tahqîq
Dr..Mushtafa Dibul bugha) Shahîh Muslim (No. 1933 Cet. Dârul jiel dan
Dârul Auqâf al-Jadîdah – Beirut).
[7]. Syarah Sunan Abu Dâwud, hadits “Iyyâkum walhasada” (Maktabah Syamilah 3).
[8]. Al-Minhâj Syarhu Shahîh Muslim Ibnul Hajjâj (Juz. 6/ Hal. 97. Cet.2 - Dâr Ihyâ’ Turâts al-Arabi – Beirut).
Selasa, 16 Oktober 2012
Kategori Fiqih : Kurban & Aqiqah Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah
KEUTAMAAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,Imam al-Bukhari dalam shahiihnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas
Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau
bersabda:
مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ أَفْضَلُ مِنَ الْعَمَلِ فِيْ هَذِهِ، قَالُوا: وَلاَ الْجِهَادُ؟ فَقَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ...
“Tidak ada amalan yang lebih utama dari amalan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah ini. Mereka bertanya, ‘Tidak juga jihad?’ Beliau menjawab, ‘Tidak juga jihad, kecuali seorang yang keluar menerjang bahaya dengan dirinya dan hartanya sehingga tidak kembali membawa sesuatu pun.’” [1]
Dengan demikian, jelaslah bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari dunia terbaik secara mutlak. Hal itu karena ibadah induk berkumpul padanya dan tidak berkumpul pada selainnya. Padanya terdapat seluruh ibadah yang ada di hari lain, seperti shalat, puasa, shadaqah dan dzikir, namun hari-hari tersebut memiliki keistimewan yang tidak dimiliki hari-hari lain yaitu manasik haji dan syari’at berkur-ban pada hari ‘Id (hari raya) dan hari-hari Tasyriq.
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang rajih bahwa sebab keistimewaan bulan Dzulhijjah karena ia menjadi tempat berkumpulnya ibadah-ibadah induk, yaitu shalat, puasa, shadaqah dan haji. Hal ini tidak ada di bulan lainnya. Berdasarkan hal ini apakah keutamaan tersebut khusus kepada orang yang berhaji atau kepada orang umum? Ada kemungkinan di dalamnya. [2]
Dalam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah terdapat amalan berikut ini:
1. Haji dan umrah. Keduanya termasuk amalan terbaik yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya.
2. Puasa sembilan hari pertama dan khususnya hari kesembilan yang termasuk amalan-amalan terbaik. Cukuplah dalam hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ
“Puasa hari ‘Arafah yang mengharapkan pahala dari Allah dapat menghapus dosa-dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” [3]
3. Takbir dan dzikir di hari-hari ini diijabahi (dikabulkan) berdasarkan firman Allah:
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
“Dan supaya mereka menyebut Nama Allah pada hari yang telah ditentukan” [Al Hajj/22: 28]
4. Disyari’atkan pada hari ini menyembelih kurban dari hari raya dan hari Tasyriq. Ini adalah sunnah Bapak kita, Ibrahim ketika Allah mengganti anaknya, Isma’il dengan hewan sembelihan yang besar dan juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyembelih dua kambing gemuk lagi bertanduk untuk diri dan umatnya.
5. Sebagaimana juga disyari’atkan pada hari raya kepada seorang muslim untuk bersemangat melaksanakan shalat, mendengarkan khutbah dan memanfaatkannya untuk mengenal hukum-hukum kurban dan yang berhubungan dengannya.
6. Disyari’atkan juga pada hari-hari ini dan hari-hari lainnya untuk memperbanyak amalan sunnah, berupa shalat, membaca al-Qur-an, shadaqah, memperbaharui taubat dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan, baik yang kecil maupun yang besar.
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sepuluh hari pertama Dzulhijjah seluruhnya adalah kemuliaan dan keutamaan, amalan di dalamnya dilipatgandakan, dan disunnahkan agar bersungguh-sungguh dalam ibadah di hari-hari tersebut.” [4]
MAKSUD DARI HARI-HARI YANG DITENTUKAN (AL-AYYAAM AL-MA'LUUMAAT) DAN HARI-HARI YANG BERBILANG (AL-AYAAM AL-MA'DUUDAAT)
Allah berfirman:
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ لِمَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Nama Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tidak ada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” [al-Baqarah/2: 203]
Dan Allah Ta’ala berfirman:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut Nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” [al-Hajj/22: 28]
Para ulama berselisih pendapat dalam maksud dari firman Allah di atas tentang hari-hari yang berbilang dan yang ditentukan. Di antara pendapat mereka adalah:
1. Hari-hari yang ditentukan tersebut adalah hari kurban dengan perbedaan di antara mereka apakah itu tiga hari ataukah empat hari.
2. Hari-hari yang ditentukan tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dari awal bulan sampai hari raya.
3. Hari-hari berbilang adalah hari-hari Tasyriq.
4. Hari-hari yang ditentukan adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan hari-hari Tasyriq, berarti mulai awal bulan sampai akhir tanggal tiga belas.
5. Hari-hari yang ditentukan adalah sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari Tasyriq bersama hari ‘Id.
Ada juga pendapat lemah yang mengatakan bahwa hari-hari yang ditentukan adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari penyembelihan. Ini menyelisihi ijma’.
Yang benar bahwa hari-hari yang ditentukan tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari Tasyriq.
Ibnul ‘Arabi rahimahullah mengatakan, “Ulama-ulama kami mengatakan bahwa hari-hari melempar jumrah adalah hari-hari berbilang (ma’duudaat) dan hari-hari penyembelihan adalah hari-hari yang telah ditentukan (ma’luumaat).” [5]
Sedangkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Ada yang mengatakan, hari-hari yang ditentukan adalah hari-hari penyembelihan dan ada yang mengatakan ia adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” [6]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan bahwa hari-hari yang berbilang adalah hari-hari Tasyriq, dan hari-hari yang ditentukan adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” [7]
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fat-hul Baari [8] dan asy-Syaukani dalam Fat-hul Qadiir [9] telah memaparkan pernyataan para ulama dalam masalah ini dan semuanya hampir tidak keluar dari apa yang telah kami sampaikan di atas. Wallahu a’laam.
PERBANDINGAN ANTARA SEPULUH HARI TERAKHIR RAMADHAN DENGAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH
Hendaklah seorang muslim mengetahui bahwa membandingkan antara perkara-perkara baik tidak bermaksud merendahkan dari yang lebih utama, bahkan hal ini seharusnya menjadi pendorong untuk melipatgandakan amalan pada hal yang diutamakan dan mengambil keutamaannya sekuat dan semampunya.
Para ulama telah membahas masalah ini dan yang rajih menurut saya -wallaahu a’lam- bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama dari sepuluh hari terakhir Ramadhan, dan sepuluh malam terakhir Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah, itu karena keutamaan malam Ramadhan tersebut dilihat dari adanya malam Qadar dan ini untuk malamnya. Sedangkan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah diutamakan hari-harinya dilihat dari adanya hari ‘Arafah, hari penyembelihan dan hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah).
Syaikhul Islam pernah ditanya tentang perbandingan antara dua waktu tersebut, beliau menjawab, “Sepuluh hari pertama Dzulhijjah lebih utama dari sepuluh hari terakhir Ramadhan, sedangkan malam sepuluh terakhir Ramadhan lebih utama dari malam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.”
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Apabila orang yang mulia lagi cendikia merenungkan jawaban ini, tentulah ia mendapatinya sebagai jawaban yang cukup dan memuaskan.” [10]
PERBANDINGAN ANTARA DUA HARI RAYA
Para ulama telah membahas seputar permasalahan ini, ada yang mengutamakan ‘Idul Adh-ha atas ‘Idul Fithri dan ada yang sebaliknya. Setelah memaparkan keutamaan dua hari raya dan keduanya termasuk hari paling utama dalam setahun, maka yang rajih adalah ‘Idul Adh-ha lebih utama dari ‘Idul Fithri, karena ibadah dalam ‘Idul Adh-ha adalah sembelihan kurban dengan shalat sedangkan dalam ‘Idul Fithri adalah shadaqah dengan shalat. Padahal jelas sembelihan kurban lebih utama dari shadaqah, karena padanya berkumpul dua ibadah yaitu ibadah badan (fisik) dan harta. Kurban adalah ibadah fisik dan harta, sedangkan shadaqah dan hadyah hanyalah ibadah harta saja.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa ‘Idul Adh-ha lebih utama dari ‘Idul Fithri, karena dua hal:
1. Ibadah di hari ‘Idul Adh-ha, yaitu kurban lebih utama dari ibadah di hari ‘Idul Fithri yaitu shadaqah.
2. Shadaqah di hari ‘Idul Fithri ikut kepada puasa, karena diwajibkan untuk membersihkan orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan kejelekan dan memberi makan orang miskin serta disunnahkan dikeluarkan sebelum shalat. Sedangkan kurban disyari’atkan di hari-hari tersebut sebagai ibadah tersendiri, oleh karena itu disyari’atkan setelah shalat.
Allah -Ta’ala- berfirman tentang yang pertama:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى ٰوَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat Nama Rabb-nya, lalu dia shalat.” [Al-A’laa: 14-15]
Dan tentang yang kedua:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah.” [Al-Kautsar: 2]
Kemudian Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan lagi, “Sehingga shalatnya orang-orang di negeri-negerinya sama kedudukannya dengan jama’ah haji yang melempar jumrah al-‘Aqabah dan sembelihan mereka di negeri-negerinya sama kedudukannya dengan sembelihan hadyu jama’ah haji.” [11]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari lihat Fat-hul Baari (II/457).
[2]. Fat-hul Baari (II/460).
[3]. HR. Muslim, lihat Shahiih Muslim (II/818-819).
[4]. Al-Mughni (IV/446).
[5]. Ahkaamul Qur-aan (I/140), karya Ibnul ‘Arabi.
[6]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXIII/225).
[7]. Tafsiir Ibnu Katsiir (I/244).
[8]. Fat-hul Baari (II/458).
[9]. Fat-hul Qadiir (I/205).
[10]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXV/287) dan Zaadul Ma’aad (I/57).
[11]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXIII/222).
مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ أَفْضَلُ مِنَ الْعَمَلِ فِيْ هَذِهِ، قَالُوا: وَلاَ الْجِهَادُ؟ فَقَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ...
“Tidak ada amalan yang lebih utama dari amalan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah ini. Mereka bertanya, ‘Tidak juga jihad?’ Beliau menjawab, ‘Tidak juga jihad, kecuali seorang yang keluar menerjang bahaya dengan dirinya dan hartanya sehingga tidak kembali membawa sesuatu pun.’” [1]
Dengan demikian, jelaslah bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari dunia terbaik secara mutlak. Hal itu karena ibadah induk berkumpul padanya dan tidak berkumpul pada selainnya. Padanya terdapat seluruh ibadah yang ada di hari lain, seperti shalat, puasa, shadaqah dan dzikir, namun hari-hari tersebut memiliki keistimewan yang tidak dimiliki hari-hari lain yaitu manasik haji dan syari’at berkur-ban pada hari ‘Id (hari raya) dan hari-hari Tasyriq.
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang rajih bahwa sebab keistimewaan bulan Dzulhijjah karena ia menjadi tempat berkumpulnya ibadah-ibadah induk, yaitu shalat, puasa, shadaqah dan haji. Hal ini tidak ada di bulan lainnya. Berdasarkan hal ini apakah keutamaan tersebut khusus kepada orang yang berhaji atau kepada orang umum? Ada kemungkinan di dalamnya. [2]
Dalam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah terdapat amalan berikut ini:
1. Haji dan umrah. Keduanya termasuk amalan terbaik yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya.
2. Puasa sembilan hari pertama dan khususnya hari kesembilan yang termasuk amalan-amalan terbaik. Cukuplah dalam hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ
“Puasa hari ‘Arafah yang mengharapkan pahala dari Allah dapat menghapus dosa-dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” [3]
3. Takbir dan dzikir di hari-hari ini diijabahi (dikabulkan) berdasarkan firman Allah:
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
“Dan supaya mereka menyebut Nama Allah pada hari yang telah ditentukan” [Al Hajj/22: 28]
4. Disyari’atkan pada hari ini menyembelih kurban dari hari raya dan hari Tasyriq. Ini adalah sunnah Bapak kita, Ibrahim ketika Allah mengganti anaknya, Isma’il dengan hewan sembelihan yang besar dan juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyembelih dua kambing gemuk lagi bertanduk untuk diri dan umatnya.
5. Sebagaimana juga disyari’atkan pada hari raya kepada seorang muslim untuk bersemangat melaksanakan shalat, mendengarkan khutbah dan memanfaatkannya untuk mengenal hukum-hukum kurban dan yang berhubungan dengannya.
6. Disyari’atkan juga pada hari-hari ini dan hari-hari lainnya untuk memperbanyak amalan sunnah, berupa shalat, membaca al-Qur-an, shadaqah, memperbaharui taubat dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan, baik yang kecil maupun yang besar.
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sepuluh hari pertama Dzulhijjah seluruhnya adalah kemuliaan dan keutamaan, amalan di dalamnya dilipatgandakan, dan disunnahkan agar bersungguh-sungguh dalam ibadah di hari-hari tersebut.” [4]
MAKSUD DARI HARI-HARI YANG DITENTUKAN (AL-AYYAAM AL-MA'LUUMAAT) DAN HARI-HARI YANG BERBILANG (AL-AYAAM AL-MA'DUUDAAT)
Allah berfirman:
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ لِمَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Nama Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tidak ada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” [al-Baqarah/2: 203]
Dan Allah Ta’ala berfirman:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut Nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” [al-Hajj/22: 28]
Para ulama berselisih pendapat dalam maksud dari firman Allah di atas tentang hari-hari yang berbilang dan yang ditentukan. Di antara pendapat mereka adalah:
1. Hari-hari yang ditentukan tersebut adalah hari kurban dengan perbedaan di antara mereka apakah itu tiga hari ataukah empat hari.
2. Hari-hari yang ditentukan tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dari awal bulan sampai hari raya.
3. Hari-hari berbilang adalah hari-hari Tasyriq.
4. Hari-hari yang ditentukan adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan hari-hari Tasyriq, berarti mulai awal bulan sampai akhir tanggal tiga belas.
5. Hari-hari yang ditentukan adalah sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari Tasyriq bersama hari ‘Id.
Ada juga pendapat lemah yang mengatakan bahwa hari-hari yang ditentukan adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari penyembelihan. Ini menyelisihi ijma’.
Yang benar bahwa hari-hari yang ditentukan tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari Tasyriq.
Ibnul ‘Arabi rahimahullah mengatakan, “Ulama-ulama kami mengatakan bahwa hari-hari melempar jumrah adalah hari-hari berbilang (ma’duudaat) dan hari-hari penyembelihan adalah hari-hari yang telah ditentukan (ma’luumaat).” [5]
Sedangkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Ada yang mengatakan, hari-hari yang ditentukan adalah hari-hari penyembelihan dan ada yang mengatakan ia adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” [6]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan bahwa hari-hari yang berbilang adalah hari-hari Tasyriq, dan hari-hari yang ditentukan adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” [7]
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fat-hul Baari [8] dan asy-Syaukani dalam Fat-hul Qadiir [9] telah memaparkan pernyataan para ulama dalam masalah ini dan semuanya hampir tidak keluar dari apa yang telah kami sampaikan di atas. Wallahu a’laam.
PERBANDINGAN ANTARA SEPULUH HARI TERAKHIR RAMADHAN DENGAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH
Hendaklah seorang muslim mengetahui bahwa membandingkan antara perkara-perkara baik tidak bermaksud merendahkan dari yang lebih utama, bahkan hal ini seharusnya menjadi pendorong untuk melipatgandakan amalan pada hal yang diutamakan dan mengambil keutamaannya sekuat dan semampunya.
Para ulama telah membahas masalah ini dan yang rajih menurut saya -wallaahu a’lam- bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama dari sepuluh hari terakhir Ramadhan, dan sepuluh malam terakhir Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah, itu karena keutamaan malam Ramadhan tersebut dilihat dari adanya malam Qadar dan ini untuk malamnya. Sedangkan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah diutamakan hari-harinya dilihat dari adanya hari ‘Arafah, hari penyembelihan dan hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah).
Syaikhul Islam pernah ditanya tentang perbandingan antara dua waktu tersebut, beliau menjawab, “Sepuluh hari pertama Dzulhijjah lebih utama dari sepuluh hari terakhir Ramadhan, sedangkan malam sepuluh terakhir Ramadhan lebih utama dari malam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.”
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Apabila orang yang mulia lagi cendikia merenungkan jawaban ini, tentulah ia mendapatinya sebagai jawaban yang cukup dan memuaskan.” [10]
PERBANDINGAN ANTARA DUA HARI RAYA
Para ulama telah membahas seputar permasalahan ini, ada yang mengutamakan ‘Idul Adh-ha atas ‘Idul Fithri dan ada yang sebaliknya. Setelah memaparkan keutamaan dua hari raya dan keduanya termasuk hari paling utama dalam setahun, maka yang rajih adalah ‘Idul Adh-ha lebih utama dari ‘Idul Fithri, karena ibadah dalam ‘Idul Adh-ha adalah sembelihan kurban dengan shalat sedangkan dalam ‘Idul Fithri adalah shadaqah dengan shalat. Padahal jelas sembelihan kurban lebih utama dari shadaqah, karena padanya berkumpul dua ibadah yaitu ibadah badan (fisik) dan harta. Kurban adalah ibadah fisik dan harta, sedangkan shadaqah dan hadyah hanyalah ibadah harta saja.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa ‘Idul Adh-ha lebih utama dari ‘Idul Fithri, karena dua hal:
1. Ibadah di hari ‘Idul Adh-ha, yaitu kurban lebih utama dari ibadah di hari ‘Idul Fithri yaitu shadaqah.
2. Shadaqah di hari ‘Idul Fithri ikut kepada puasa, karena diwajibkan untuk membersihkan orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan kejelekan dan memberi makan orang miskin serta disunnahkan dikeluarkan sebelum shalat. Sedangkan kurban disyari’atkan di hari-hari tersebut sebagai ibadah tersendiri, oleh karena itu disyari’atkan setelah shalat.
Allah -Ta’ala- berfirman tentang yang pertama:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى ٰوَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat Nama Rabb-nya, lalu dia shalat.” [Al-A’laa: 14-15]
Dan tentang yang kedua:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah.” [Al-Kautsar: 2]
Kemudian Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan lagi, “Sehingga shalatnya orang-orang di negeri-negerinya sama kedudukannya dengan jama’ah haji yang melempar jumrah al-‘Aqabah dan sembelihan mereka di negeri-negerinya sama kedudukannya dengan sembelihan hadyu jama’ah haji.” [11]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari lihat Fat-hul Baari (II/457).
[2]. Fat-hul Baari (II/460).
[3]. HR. Muslim, lihat Shahiih Muslim (II/818-819).
[4]. Al-Mughni (IV/446).
[5]. Ahkaamul Qur-aan (I/140), karya Ibnul ‘Arabi.
[6]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXIII/225).
[7]. Tafsiir Ibnu Katsiir (I/244).
[8]. Fat-hul Baari (II/458).
[9]. Fat-hul Qadiir (I/205).
[10]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXV/287) dan Zaadul Ma’aad (I/57).
[11]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXIII/222).
Langganan:
Postingan (Atom)