ZUHUD SUNNI, ZUHUD SHUFI.Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.Pernahkah Anda merasakan kesedihan ditinggal mati oleh orang yang Anda
kasihi di dunia ini? Atau pernahkah Anda kehilangan harta melimpah yang
pernah Anda miliki? Itu semua menunjukkan bahwa kehidupan dunia hanyalah
sementara. Dunia ini bukanlah hunian abadi bagi manusia. Kehidupan
hakiki adalah kehidupan di akhirat. Oleh karena itu, selayaknya orang
yang berakal, lebih mengutamakan kenikmatan yang kekal daripada
kehidupan fana ini. Bagaimana caranya? Agama Islam mengajarkan dengan
zuhud di dunia. Sahl bin Sa’d As-Sa’idi Radhiyallahu 'anhuma berkata:
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي
اللَّهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ
فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ
"Seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
lalu berkata: “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan. Jika
aku mengamalkannya, niscaya Allah mencintaiku dan manusia juga
mencintaiku!” Rasulullah bersabda: “Zuhudlah di dunia, niscaya Allah
mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada tangan-tangan
manusia, niscaya mereka akan mencintaimu!'. [1]
MAKNA ZUHUD
Disebutkan di dalam kitab kamus Mu’jamul Wasith, bab Zahida:
زَهِدَ فِيْهِ وَ عَنْهُ – يَزْهَدُ – زُهْدًا, وَ زَهَادَةً
Yaitu, seseorang melakukan zuhud atau zahaadah. Artinya, dia berpaling
darinya dan meninggalkannya karena dia meremehkannya, atau menghindari
kesusahan darinya, atau karena sedikitnya.
Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata: “Zuhud adalah istilah
dari berpalingnya keinginan dari sesuatu menuju yang lain yang lebih
baik darinya. Dan syarat hal yang ditinggalkan keinginannya itu, juga
disukai pada sebagian sisinya. Maka barangsiapa meninggalkan sesuatu
yang dzatnya tidak disukai dan tidak dicari, dia tidak dinamakan zaahid
(orang yang zuhud)”.[2]
Tujuan meninggalkan dunia bagi orang yang zuhud adalah untuk meraih
kebaikan akhirat, bukan semata-mata untuk rileks dan menganggur.
Abu Sulaiman rahimahullah berkata,”Orang yang zuhud bukanlah orang yang
meninggalkan kelelahan-kelelahan dunia dan beristirahat darinya. Tetapi
orang yang zuhud adalah orang yang meninggalkan dunia, dan
berpayah-payah di dunia untuk akhirat.” [3]
Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata,”Maksud zuhud di dunia
adalah mengosongkan hati dari menyibukkan diri dengan dunia, sehingga
orang itu dapat berkonsentrasi untuk mencari (ridha) Allah, mengenalNya,
dekat kepadaNya, merasa tenang denganNya, dan rindu menghadapNya.”[4]
Menurut Imam Ahmad rahimahullah , zuhud itu ada tiga bentuk. Pertama,
meninggalkan yang haram. (Demikian) ini zuhudnya orang-orang awam.
Kedua, meninggalkan yang berlebih-lebihan dari yang halal. (Demikian)
ini zuhud orang-orang khusus. Ketiga, meninggalkan semua perkara yang
menyibukkan diri dari Allah. Ini zuhudnya orang-orang ‘arif (orang-orang
yang faham terhadap Allah).[5]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, ”Zuhud yang
bermanfaat, disyari’atkan, dan yang dicintai oleh Allah dan RasulNya,
adalah zuhud (meninggalkan dan mengecilkan arti) segala sesuatu yang
tidak bermanfaat di akhirat. Berkaitan dengan hal-hal yang berguna di
akhirat dan piranti yang dapat mendukungnya, maka zuhud (meninggalkan
dan meremehkan) terhadap hal-hal ini, berarti meremehkan satu jenis
ibadah kepada Allah dan ketaatan kepadaNya. Yang dimaksud zuhud hanyalah
dengan meninggalkan semua yang membahayakan atau segala sesuatu yang
tidak bermanfaat. Adapun zuhud terhadap hal-hal yang bermanfaat, ini
adalah sebuah bentuk ketidaktahuan dan kesesatan.” [6]
INI BUKAN ZUHUD!
Setelah kita mengetahui penjelasan di atas, ternyata ada sebagian orang
melakukan berbagai perbuatan dengan anggapan bahwa perbuatan tersebut
termasuk dalam kategori zuhud. Padahal hanya merupakan tipu daya Iblis.
Di antara perbuatan zuhud yang keliru:
1. Meninggalkan Dunia Sama Sekali.
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Orang awam terkadang mendengar
celaan terhadap dunia di dalam Al Qur’an yang mulia dan hadits-hadits,
lalu dia berpendapat bahwa (jalan) keselamatan adalah meninggalkan
dunia. Dia tidak memahami masalah duniawi yang tercela. Kemudian Iblis
mempermainkannya, (dengan menyimpulkan) bahwa “engkau tidak akan selamat
di akhirat kecuali dengan meninggalkan dunia”. Maka ia pun mengasingkan
diri ke gunung-gunung, menjauhi shalat Jumat, shalat jamaah, dan juga
(majlis) ilmu. Dia menjadi seperti binatang liar. Dan dikhayalkan
kepadanya bahwa inilah zuhud hakiki. Bagaimana tidak, sedangkan dia
telah mendengar tentang si A yang berkelana, dan tentang si B yang
beribadah di atas gunung.
Padahal, kemungkinan dia memiliki keluarga, sehingga tidak terurus. Atau
masih memiliki ibu yang menangis karena ditinggalkan. Ada kemungkinan
juga, ia tidak mengetahui rukun-rukun shalat sebagaimana mestinya. Atau
mungkin juga, dia masih menanggung beban kezhaliman-kezhalimannya yang
belum terselesaikan. Sesungguhnya iblis mampu mengelabuhi orang ini
karena kedangkalan ilmunya. Dan termasuk kebodohannya, dia telah puas
dengan apa yang dia ketahui.
Seandainya dia diberi bimbingan (oleh Allah) dengan berteman dengan
seorang faqiih (ahli agama) yang memahami hakikat-hakikat, niscaya orang
faqiih itu akan memberitahukan kepadanya, bahwa pada asalnya dunia
tidak tercela. Bagaimana mungkin dunia dicela, segala sesuatu yang
dianugerahkan Allah Ta’ala, merupakan kebutuhan pokok untuk kelangsungan
hidup manusia, dan merupakan sarana yang mendukung manusia dalam meraih
ilmu dan ibadah, yang berupa makanan, minuman, pakaian, dan masjid yang
digunakan untuk shalat?! Sesungguhnya yang tercela hanyalah mengais
bagian dari dunia yang tidak halal, atau mengambilnya dengan berlebihan,
tidak sesuai dengan kebutuhannya. Atau tindakan seseorang yang
mengikuti kedangkalan jiwanya, tanpa petunjuk syari’at.
Pergi mengasingkan ke gunung-gunung sendirian (hukumnya) terlarang,
karena Nabi n melarang seseorang bermalam sendirian [7]. Tindakannya
meninggalkan shalat jamaah dan shalat Jum’at merupakan kerugian, bukan
keuntungan. Jauh dari ilmu dan ulama akan mengakibatkan ia terkungkung
oleh belitan kebodohan. Meninggalkan ayah dan ibu seperti kasus di atas,
merupakan‘uquq (kedurhakaan terhadap orang tua), padahal termasuk dosa
besar”. [Al Muntaqa An Nafis min Talbis Iblis, hlm. 191-192, Syaikh Ali
bin Hasan Al Halabi].
2. Meninggalkan Hal-hal Mubah, Padahal Bermanfaat.
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Di antara tipu daya iblis
terhadap orang-orang zuhud, (adalah) iblis menjadikan mereka salah
sangka bahwa zuhud (berarti) meninggalkan hal-hal yang mubah (padahal
bermanfaat, Pen). Mereka, ada yang tidak menambahi (bahan lain) terhadap
roti gandum (yakni hanya makan roti gandum saja, Pen). Di antara
mereka, ada yang tidak pernah mencicipi buah-buahan. Ada juga dengan
cara mengecilkan porsi makanan, sehingga badannya menjadi kurus-kering.
Atau menyiksa diri dengan mengenakan baju dari bulu kambing dan
menghindarkan dirinya dari air dingin (segar). Ini bukanlah tuntunan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan pula tradisi para
sahabat dan para pengikut beliau. Mereka dahulu lapar, bila tidak
mendapatkan apapun. Namun jika mereka dapat meraihnya, mereka akan
memakannya”.[8]
3. Zuhud Lahiriyah Semata.
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Salah satu wujud penipuan iblis
terhadap orang-orang zuhud, adalah iblis menjadikan mereka keliru dengan
makna zuhud, yaitu (dengan cara merasa) puas dengan makanan dan pakaian
yang berkualitas rendah saja. Mereka menerima hal itu. Tetapi hati
mereka berhasrat terhadap kepemimpinan dan mencari kehormatan. Engkau
lihat mereka itu menanti-nanti kunjungan para umara` (penguasa,
pejabat). Mereka memuliakan orang-orang kaya, tidak memuliakan
orang-orang miskin. Mereka pura-pura khusyu’ tatkala berpapasan dengan
orang. Seolah-olah mereka telah keluar dari musyahadah (menyaksikan
keagungan Allah). Dan terkadang salah seorang dari mereka menolak harta
agar dikatakan “Sesungguhnya telah nampak zuhud baginya”. Padahal mereka
termasuk orang yang paling sering keluar-masuk menemui umara (pejabat),
dan mencium tangan mereka pada pintu yang paling luas dari
wilayah-wilayah dunia, karena sesungguhnya puncak dunia adalah
kepimimpinan”.[9]
4. Meninggalkan Harta-Benda Secara Total Dan Menjadikan Kefakiran (Kemiskinan) Sebagai Tujuan Hidup!
Seorang tokoh sufi mengatakan: “Zuhud adalah kosongnya tangan dari
segala barang kepemilikan” [10]. Selain itu, ada juga yang menggariskan:
“Kefakiran adalah fondasi dan tiang tasawuf”.[11]
Diriwayatkan dari Al Junaid, seorang tokoh sufi, dia berkata: “Aku lebih
menyukai agar pemula tidak menyibukkan diri dengan bekerja, jika tidak,
maka keadaannya akan berubah”.[12]
Akibat dari anggapan ini, sejarah mencatat kisah-kisah sebagian orang
sufi pada zaman tempo dulu yang meninggalkan harta-harta mereka dan
mulai berkelana, padahal sebelumnya mereka sabagai orang-orang yang
berada.[13]
Anggapan zuhud model orang-orang sufi seperti di atas, bukan bagian dari
ajaran Islam. Bahkan sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memohon perlindungan kepada
Allah Azza wa Jalla dari tujuan hidup mereka itu, yang berorientasi
pembinaan kemiskinan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْفَقْرِ وَالْقِلَّةِ وَالذِّلَّةِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ
"Wahai Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kefakiran,
kekurangan (dari perbuatan baik), dan kehinaan. Dan aku berlindung
kepadaMu dari berbuat zhalim, atau dizhalimi”.[14]
Demikian juga, sifat malas mereka untuk bekerja dengan dalih zuhud yang
palsu, menyelisihi anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
umatnya untuk mencari pekerjaan yang halal dan mencukup diri sendiri.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ
يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ
مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
"Tidaklah seorang pun memakan makanan yang lebih baik daripada dia
memakan dari (hasil) jerih payah tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi
Allah, Dawud Alaihissallam, biasa makan dari (hasil) kerja sendiri.".
[15]
Dalam hadits lain, Beliau bersabda:
لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ
"Salah seorang di antara kamu yang mengumpulkan kayu bakar di atas
punggungnya, lebih baik baginya daripada dia minta kepada seseorang,
lalu orang itu memberinya atau menolaknya". [16]
Hakikat zuhud bukanlah menampik harta duniawi. Banyak sahabat yang
kaya-raya, seperti Utsman bin ‘Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, dan lainnya.
Kendatipun demikian, mereka adalah tokoh-tokoh orang-orang zuhud.
5. Meninggalkan Pernikahan.
Sebagian orang sufi berkata: “Barangsiapa menikah, maka dia telah
memasukkan dunia ke dalam rumahnya … maka waspadalah dari pernikahan!”
Di antara mereka ada yang bertutur: “Seorang laki-laki tidak akan
mencapai derajat orang-orang shiddiiq sampai ia meninggalkan istrinya
seolah-olah seperti janda, dan (membiarkan) anak-anaknya, seolah-olah
mereka itu anak-anak yatim, dan dia menetap di kandang-kandang anjing!”
[17] Sudah pasti zuhud ala sufi ini, bukan zuhud yang digariskan Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mengatakan:
أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي
أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
"Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut
di antaramu kepada Allah, dan orang yang paling takwa di antaramu
kepadaNya. Tetapi aku berpuasa dan berbuka; aku shalat (malam) dan
tidur; dan aku menikahi wanita-wanita. Barangsiapa membenci sunnahku
(ajaranku), dia bukan dariku".[18]
Justru zuhud seperti itu berseberangan dengan perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya. Beliau bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
"Wahai, para pemuda. Barangsiapa di antara kamu mampu menikah, maka
hendaklah dia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu lebih
menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak
mampu, maka dia wajib berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu penjagaan
baginya (dari perzinaan, pen)".[19]
Setelah kita mengetahui berbagai keterangan di atas, maka jelaslah bagi
kita bahwa zuhud yang benar bukanlah dengan meninggalkan harta dan
keluarga, kemudian menyiksa diri dengan begadang dan kelaparan, menyepi
di kamar-kamar yang gelap dan membisu dengan tanpa sebab. Demikian juga
bukan dengan meninggalkan berbagai hal yang bermanfaat di dunia ini,
yang dapat membantu ibadah dan ketaatan kepada Allah, seperti berbagai
kemajuan tekhnologi yang tidak bertentangan dengan syari’at yang suci.
Dengan ini mudah-mudahan menjadi jelas bagi kita, perbedaan zuhud yang
diajarkan oleh agama Islam, dengan zuhud buatan orang-orang sufi yang
menyimpang.
Semoga Allah menampakkan al haq kepada kita sebagai al haq, dan menolong
kita untuk mengikutinya. Dan memperlihatkan kebatilan kepada kita
sebagai kebatilan, dan menolong kita untuk menjauhinya. Wal hamdulillahi
Rabbil ‘alamin.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.
_______
Footnote
[1]. HR Ibnu Majah, no. 4102, dan lainnya, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah, no. 944.
[2]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 410-411, tahqiq Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[3]. Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam (2/198), tahqiq Syakih Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Ibrahim Bajis.
[4]. Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam (2/198).
[5]. Madarijus Salikin (2/9), dinukil dari Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhus Shalihin (1/523), karya Syaikh Salim Al Hilali.
[6]. Majmu’ Fatawa (10/511).
[7]. HR Ahmad, no.5650, dari Ibnu Umar dengan sanad yang shahih
[8]. Al Muntaqo An Nafis min Talbis Iblis, hlm. 193, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[9]. Al Muntaqo An Nafis min Talbis Iblis, hlm. 194-195, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[10]. Kitab Al Luma’, hlm. 72, karya Abu Nashr Sirooj Ath Thuusi,
Penerbit Darul Kutub Al Haditsah, Kairo, Th. 1960. Dinukil dari
Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31), karya Muhammad Ahmad Luh.
[11]. Kitab Iqodhul Himam, hlm. 213, karya Ibnu ‘Ajiibah. Dinukil dari
Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31), karya Muhammad Ahmad Luh.
[12]. Kitab Quutul Qulub (1/267), dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/30), karya Muhammad Ahmad Luh.
[13]. Lihat Siyar A’lamin Nubala (15/231), Tarikh Baghdad (7/221). Dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31).
[14]. HR Abu Dawud, no. 1544; An Nasaa-i (8/261); Al Hakim (1/541); dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani.
[15]. HR Bukhari, no. 2072.
[16]. HR Bukhari, no. 2074.
[17]. Lihat Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31-32), karya Muhammad Ahmad Luh.
[18]. HR Bukhari, no. 5063; Muslim, no. 1401; dan lainnya.
[19]. HR Bukhari, no. 5066; Muslim, no. 1400; dan lainnya.
Sabtu, 13 Oktober 2012
Kategori Aktual Pandangan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Terhadap Sahabat Nabi Radhiyallahu Anhum
PANDANGAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH TERHADAP SAHABAT NABI RADHIYALLAHU 'ANHUM.Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.KEUTAMAAN SAHABAT NABI RADHIYALLAHU 'ANHUM
Keutamaan para sahabat Nabi, tingginya kedudukan dan derajat mereka, merupakan perkara yang telah diketahui baik oleh kalangan kaum Muslimin, dan merupakan sesuatu yang sangat penting di dalam din Islam. Banyak ayat-ayat Al Qur`an dan Hadits Nabi yang menerangkan hal tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, yang artinya : "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil; yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar". [Al Fath : 29].
Ayat ini mencakup seluruh sahabat Nabi Radhiyallahu 'anhum, kerena mereka seluruhnya hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dalam tafsirnya, Ibnu Jarir berkata: "Bisyr telah menyampaikan kepada kami dari Yazid, dari Sa'id, dari Qatadah tentang firman Allah "berkasih sayang sesama mereka", yakni Allah menanamkan ke dalam hati mereka rasa kasih sayang sesama mereka. Dan firman Allah "kamu lihat mereka ruku` dan sujud", yakni kamu lihat mereka ruku` dan sujud dalam shalat. Firman Allah "mencari karunia Allah", yakni mereka mencari keridhaan Allah dengan ruku` dan sujud tersebut, dengan sikap keras terhadap orang kafir dan saling kasih sayang sesama mereka. Hal itu merupakan rahmat Allah kepada mereka dengan memberi keutamaan atas mereka, dan memasukkan mereka ke dalam surgaNya. Firman Allah "dan keridhaanNya", yakni Allah meridhai mereka semua".
Allah berfirman, yang artinya : "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepadaNya. Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar". [At Taubah : 100].
Berkenaan dengan tafsir ayat di atas, Ibnu Katsir berkata: "Allah Yang Maha Agung mengabarkan bahwa Dia telah meridhai orang-orang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sungguh celaka orang yang membenci mereka, mencaci atau membenci dan mencaci sebagian dari mereka. Terutama penghulu para sahabat sepeninggal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang paling baik dan paling utama di antara mereka, yakni Ash Shiddiq Al Akbar, Khalifah A'zham Abu Bakar bin Abi Quhafah Radhiyallahu 'anhu. Kelompok celaka dari kalangan Rafidhah telah memusuhi sahabat paling utama, membenci serta mencaci para sahabat. Kita berlindung kepada Allah dari hal itu.
Itu menunjukkan bahwa akal dan hati kaum Rafidhah terbalik. Dimanakah kedudukan iman mereka kepada Al Quran, sementara mereka mencaci orang yang telah Allah ridhai?
Adapun Ahlus Sunnah, mereka senantiasa mendoakan kebaikan bagi orang yang telah diridhai oleh Allah (dengan mengucapkan radhiyallahu ánhum), mencela siapa saja yang telah dicela oleh Allah dan RasulNya, membela siapa saja yang telah dibela oleh Allah dan RasulNya, memusuhi siapa saja yang memusuhi Allah. Ahlus Sunnah adalah orang yang selalu mengikuti (kebenaran), bukan orang yang membuat-buat bid'ah. Mereka selalu meneladani (Rasul), bukan orang yang mengada-ada. Oleh sebab itu, mereka adalah hizbullah yang pasti menang dan hambaNya yang beriman.
Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyebutkan keutamaan dan kesenioran para sahabat, telah diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ
"Sebaik-baik manusia adalah pada zamanku, kemudian zaman berikutnya dan kemudian zaman berikutnya. Lalu akan datang satu kaum yang persaksiannya mendahului sumpah, dan sumpahnya mendahului persaksian (yakni bersumpah dan bersaksi sebelum diminta, Pent)" [1].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa zaman beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat hidup adalah sebaik-baik keadaan secara mutlak. Tidak ada zaman yang lebih baik daripada zama pada masa mereka. Barangsiapa mengatakan selain itu, maka ia termasuk zindiq.
Dalam hadits Imran bin Hushain Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
"Sebaik-baik umatku adalah pada kurunku, kemudian kurun berikutnya, kemudian kurun berikutnya" [2].
Dalam hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: "Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, siapakah sebaik-baik manusia?" Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Kurun yang aku hidup saat ini, kemudian kurun berikutnya, kemudian kurun berikutnya" [3].
SAHABAT SEBAGAI PENGAWAS DAN PENGAMAN UMAT INI
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ
"Sesungguhnya bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit. Jika bintang-bintang itu lenyap, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas langit. Aku adalah pengaman bagi sahabatku. Jika aku telah pergi, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas sahabatku. Dan sahabatku adalah pengaman bagi umatku. Jika sahabatku telah pergi, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas umatku". [Hadits riwayat Muslim, no 2531, dari jalur Sa’id bin Abi Burdah dari ayahnya, yakni Abu Musa Al Asy'ari zRadhiyallahu 'anhu].
Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini menjelaskan keagungan dan posisi strategis para sahabat di tengah umat. Mereka adalah pengaman sekaligus pengawas umat ini sepeninggal Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maksudnya, mereka selalu mengawasi, agar umat ini tidak tersesat dan tidak menyimpang dari jalan yang telah mereka tempuh bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
SAHABAT SEBAGAI SUMBER RUJUKAN SAAT PERSELISIHAN & SEBAGAI PEDOMAN PEMAHAMAN
Oleh karena itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan bila timbul perpecahan dan perselisihan di kalangan umat ini, agar kembali kepada Kitabullah, Sunnah RasulNya dan Sunnah Khulafaur Rasyidin, yakni para sahabat -radhiyallahu 'anhum jami'an.
Diriwayatkan dari Al Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan nasihat yang membuat air mata kami mengalir, dan membuat hati kami bergetar.” Kami berkata: "Wahai, Rasulullah! Sepertinya ini merupakan nasihat pungkasan. Apa yang Anda wasiatkan kepada kami?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا انْقِيدَ انْقَادَ
"Sungguh saya telah meninggalkan kalian (yakni para sahabat) di atas jalan yang putih bersih, siang dan malamnya sama terangnya. Siapa saja yang menyimpang darinya (dari jalan putih bersih yang para sahabat berada di atasnya), pasti (ia) binasa. Barangsiapa yang hidup sepeninggalku, ia pasti melihat perselisihan yang amat banyak. Hendaklah kalian tetap memegang teguh sunnahku yang kalian ketahui dan sunnah Khulafaur Rasyidin (yakni para sahabat) yang berada di atas petunjuk. Hendaklah kalian selalu patuh dan taat, meskipun diperintah oleh seorang budak Habasyi. Peganglah erat-erat. Sesungguhnya seorang mukmin itu laksana unta yang jinak. Apabila diarahkan (kepada kebaikan), ia pasti menurut" [4].
Juga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
"Ketahuilah, sesungguhnya Ahli Kitab sebelum kalian telah terpecah-belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan bahwa umat ini, juga akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua di antaranya masuk neraka, dan satu golongan di dalam surga, yakni Al Jama'ah". [HR Abu Dawud dan lainnya. Derajat hadits ini shahih]
Dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Al Hakim dan lainnya telah disebutkan tafsir Al Jama'ah:
مَا أَنَا عَلَيْهِ اليَوْمَ وَ أَصْحَابِي
"Pedoman yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.
Maksud Al Jama'ah ialah, siapa saja yang mengacu kepada pedoman yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni Al Qur`an dan As Sunnah, serta menurut pedoman pemahaman sahabat beliau Radhiyallahu 'anhum.
Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu telah menjelaskan kepada kita, tentang alasan dipilihnya pemahaman sahabat sebagai pedoman acaun. Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu berkata: "Sesungguhnya Allah melihat hati para hambaNya. Dia dapati yang paling baik adalah hati Muhammad, maka Allah memilihnya untuk diriNya, dan Dia utus untuk membawa risalahNya. Kemudian Allah kembali melihat hati para hambaNya setelah hati Muhammad. Dia dapati yang paling baik ialah hati para sahabatnya. Maka Allah menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu NabiNya dan berperang untuk agamaNya. Segala sesuatu yang dipandang baik oleh kaum Muslimin (sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam), maka pasti baik di sisi Allah. Dan apa yang dipandang buruk oleh kaum Muslimin, pasti buruk juga di sisi Allah”. [Atsar shahih, riwayat Ahmad, no 3600; Al Bazzar, no. 1816 dan Ath Thabrani, no. 8582].
BERPEDOMAN KEPADA SAHABAT, ADALAH JAMINAN KEMENANGAN
Dalam hadits riwayat Muslim, no 2523 dari jalur Abu Zubair, dari Jabir, dari Abu Sa'id Al Khudri Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُبْعَثُ مِنْهُمُ الْبَعْثُ فَيَقُولُونَ انْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ فِيكُمْ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّانِي فَيَقُولُونَ هَلْ فِيهِمْ مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّالِثُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَكُونُ الْبَعْثُ الرَّابِعُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ أَحَدًا رَأَى مَنْ رَأَى أَحَدًا رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ
"Akan datang suatu masa, yang saat itu ada satu pasukan dikirim (untuk berperang)”. Mereka mengatakan: "Coba lihat, adakah di antara kalian seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Ternyata ada satu orang sahabat Nabi. Maka karenanya, Allah memenangkan mereka. Kemudian dikirim pasukan kedua. Dikatakan kepada mereka: "Adakah di antara mereka yang pernah melihat sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam?" Maka karenanya, Allah memenangkan mereka. Lalu dikirim pasukan ketiga. Dikatakan: "Coba lihat, apakah ada di antara mereka yang pernah melihat seorang yang pernah melihat sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Maka didapatkan satu orang. Maka Allah memenangkan mereka. Kemudian dikirim pasukan keempat. Dikatakan: "Coba lihat, apakah ada di antara mereka yang pernah melihat seorang yang pernah seseorang yang melihat sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Maka didapatkan satu orang. Akhirnya Allah memenangkan mereka.
Hadits ini menjelaskan kepada kita, betapa mulia kedudukan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka. Allah memberi jaminan kemenangan bagi para sahabat dan orang-orang yang mengikuti sahabat. Tentu saja, yang dimaksud dalam hadits bukan hanya sekadar melihat dengan mata kepala saja, namun maksudnya ialah mengikuti pedoman mereka. Sebagaimana yang telah disebutkan tentang definisi sahabat Radhiyallahu 'anhum.
SIAPAKAH YANG DIMAKSUD SAHABAT NABI SHALLALLAHU ALAIAHI WA SALLAM ?
Sahabat adalah, siapa saja yang melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau bertemu dengan beliau walau hanya sesaat lalu beriman kepada beliau dan ia mati di atas keimanan.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (249) dari hadits Al 'Ala` bin Abdirrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati sebuah pekuburan. Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ وَدِدْتُ أَنَّا قَدْ رَأَيْنَا إِخْوَانَنَا قَالُوا أَوَلَسْنَا إِخْوَانَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَنْتُمْ أَصْحَابِي وَإِخْوَانُنَا الَّذِينَ لَمْ يَأْتُوا بَعْدُ
"Salam kesejahteraan atas kalian, wahai penghuni perkampungan kaum Mukminin. Dan aku Insya Allah akan menyusul kalian. Sungguh aku sangat merindukan untuk bertemu dengan saudara-saudara kita". Para sahabatpun bertanya,”Bukankah kami ini saudara-saudaramu?" Beliau n menjawab,”Kalian adalah para sahabatku, sedangkan saudara-saudara kita adalah mereka yang datang kemudian".
Hadits ini menunjukkan, bahwa yang dimaksud sahabat ialah, orang yang bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta beriman kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan yang datang sesudahnya ialah, saudara-saudara beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun orang yang bertemu dan beriman kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, (ia) dinamakan sahabat, baik pertemuan itu dalam waktu yang lama maupun sebentar.
Adapun dalil yang menunjukan bahwa orang yang bertemu dan beriman kepada Rasulullah serta mati di atas keimanan disebut sebagai sahabat ialah, sebuah hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah (12/178) dari Zaid Ibnu Hibban, dari Abdullah bin Al 'Ala' bin 'Amir, dari Watsilah bin Al Asqa', dia berkata, Rasulullah n bersabda: "Kalian akan tetap berada dalam kebaikan selama di tengah-tengah kalian terdapat orang yang melihat dan menyertaiku. Demi Allah, kalian akan tetap berada dalam kebaikan, selama di tengah-tengah kalian terdapat seorang yang melihat orang yang melihatku, dan menyertai orang yang menyertaiku".
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ya'qub bin Sufyan, di dalam At Tarikh (2/351), dari Adam, dari Baqiyah bin Al Walid, dari Muhammad bin Abdirrahman Al Yahshabi, bahwa ia mendengar Abdullah bin Basar berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
طُوْبَى لِمَنْ رَآنِي وَ طُوْبَى لِمَنْ آمَنَ بِي وَلمَ ْيَرَنِي وَ طُوْبَى لَهُ وَ حُسْنَ مَآبٍ
"Sungguh beruntung orang yang melihatku, dan sungguh beruntung orang yang beriman kepadaku, sedangkan ia belum pernah melihatku. Sungguh baginya keberuntungan dan balasan yang baik". [Hadits ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Abi 'Ashim di dalam As Sunnah, 1527, dari Ya'qub].
Ibnu Faris, seorang pakar bahasa, ia menjelaskan di dalam Mu'jamu Maqayisil Lughah (III/335) dalam pasal Sha-ha-ba: "Menunjukkan penyertaan sesuatu dan kedekatannya dengan sahabat yang disertainya itu. Bentuk jamaknya adalah shuhab, sebagaimana kata raakib bentuk jamaknya rukab. Sama seperti kalimat ‘ashhaba fulan’, artinya menjadi tunduk. Dan kalimat “ashahbar rajulu”, artinya, jika anaknya telah berusia baligh. Dan segala sesuatu yang menyertai sesuatu, maka boleh dikatakan telah menjadi sahabatnya”.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan di dalam Majmu' Fatawa (IV/464): "Shuhbah adalah istilah yang digunakan untuk orang-orang yang menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam jangka waktu yang lama maupun singkat. Akan tetapi, kedudukan setiap sahabat ditentukan oleh jangka waktu ia menyertai Rasulullah. Ada yang menyertai beliau setahun, sebulan, sehari, sesaat, atau melihat beliau sekilas lalu (ia) beriman kepada beliau. Derajat masing-masing ditentukan menurut jangka waktunya menyertai Rasulullah".
Abu Hamid Al Ghazali berkata di dalam kitabnya, Al Mustashfa (1/165): "Siapakah sahabat itu? Sahabat ialah, siapa saja yang hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau pernah berjumpa dengan beliau sekali, atau pernah menyertai beliau dalam waktu sebentar maupun lama. Lalu berapa batasan waktunya? Predikat sahabat dinisbatkan kepada siapa saja yang menyertai Rasulullah. Cukuplah disebut sahabat, meski ia hanya menyertai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam waktu sebentar saja. Namun secara urf (kesepakatan umum) (ialah), mengkhususkannya bagi orang yang menyertai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam waktu lama".
LARANGAN MENCELA SAHABAT NABI
Imam Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu , dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
"Janganlah mencela sahabatku! Janganlah mencela sahabatku! Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, meskipun kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan dapat menyamai satu mud sedekah mereka, tidak juga separuhnya"[5].
Hadits ini secara jelas melarang kita mencela sahabat Nabi. Larangan dalam hadits di atas hukumnya adalah haram. Yakni haram hukumnya mencela sahabat Nabi. Termasuk di dalamnya, yaitu semua bentuk celaan dan sindiran negatif yang ditujukan kepada mereka, atau salah seorang dari mereka. Sebab, mencela sahabat Nabi, berarti telah menyakiti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Al Fadha-il (19), dari jalur Waki`, dari Ja'far -yakni Ibnu Burqan- dari Maimun bin Mihran, ia berkata: "Ada tiga perkara yang harus dijauhi. (Yaitu): mencela sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, meramal lewat bintang-bintang, dan mempersoalkan takdir”.
Imam Ahmad juga menulis surat kepada Abdus bin Malik tentang Ushul Sunnah. Beliau berkata di dalam suratnya: "Termasuk Ushul, (yaitu) barangsiapa melecehkan salah seorang sahabat Nabi, atau membencinya karena kesalahan yang dibuat, atau menyebutkan kejelekannya, maka ia termasuk mubtadi`, hingga ia mendoakan kebaikan dan rahmat bagi seluruh sahabat, dan hatinya tulus mencintai mereka"[6].
Imam Ahmad meriwayatkan di dalam kitab Al Fadha-il, dari jalur Waki`, dari Sufyan, dari Nusair bin Za'luq, ia berkata, Saya mendengar Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma berkata: "Janganlah kalian mencela sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sungguh, kedudukan mereka sesaat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (itu) lebih baik daripada amal ibadah kalian sepanjang umurnya!"[7]
SIKAP AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH TERHADAP PERSELISIHAN YANG TERJADI
DI ANTARA SAHABAT
Banyak kita temui perkataan ahli ilmu yang berisi perintah untuk tidak mempersoalkan pertikaian yang terjadi di antara sahabat Nabi Radhiyallahu anhum. Bahkan telah disebutkan adanya ijma' dalam masalah ini.
Abdurrahman bin Abi Hatim berkata,"Aku pernah bertanya kepada ayahku dan Abu Zur'ah tentang madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dan para alim ulama yang pernah ditemui oleh keduanya di berbagai belahan dunia, seperti di Hijaz, Iraq, Mesir, Syam dan Yaman, dalam menyikapi para sahabat. Madzhab mereka ialah, mendoakan kebaikan dan rahmat atas segenap sahabat Muhammad, atas segenap keluarga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta menahan diri dari memperdebatkan pertikaian di antara mereka." Demikian pula dinyatakan oleh Imam Al Lalikai dalam Syarah Ushul I'tiqad (321) dan Abul 'Ala Al Hamdani dalam bukunya yang berisi penyebutan aqidah Ahlus Sunnah dan celaan terhadap perpecahan di halaman 90-91.
Dalilnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya : "Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya, Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". [Al Hasyr : 10].
Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Janganlah engkau mencela sahabatku ...... "
Abdurrazzaq meriwayatkan di dalam kitab Al Amali (51), dari jalur Ma'mar, dari Ibnu Thawus, dari Thawus, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا ذًُكِرَ أصحابي فَأَمْسِكُوْا و إِذَا ذًُكِرَ القَدَرُ فَأَمْسِكُوْا و إِذَا ذًُكِرَ النُّجُوْمُ فَأَمْسِكُوْا
"Jika sahabatku diperbincangkan, maka tahanlah diri. Jika masalah takdir dipersoalkan, maka tahanlah diri. Jika ramalan bintang-bintang dibicarakan, maka tahanlah diri".
Makna "jika sahabatku diperbincangkan, maka tahanlah diri ...", menurut para ulama ialah tidak mengomentari mereka dengan penilaian miring dan negatif. Maksudnya, bukan larangan menceritakan apa yang terjadi, misalnya peperangan Shiffin atau Jamal. Sebab, perkara tersebut memang telah diberitakan oleh Rasulullah n , kemudian perkara itu merupakan catatan sejarah. Oleh sebab itulah, para ulama menyebutkannya dan menulisnya di dalam kitab-kitab sejarah dan lainnya, bahkan telah dikarang buku khusus yang membicarakan permasalahan tersebut. Begitu pula Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar serta para alim ulama lainnya menceritakan panjang lebar kisah tersebut. Akan tetapi mereka tidak menghujat atau mencela para sahabat, wallahu ta'ala a'lam.
Ibnu Baththah rahimahullah berkata -berkaitan dengan larangan mencampuri pertikaian besar di antara sahabat-:
"Kemudian setelah itu kita harus menahan diri dari pertikaian yang terjadi di antara sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab, mereka telah melalui berbagai peristiwa bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan telah mendahului yang lainnya dalam hal keutamaan. Allah telah mengampuni mereka dan memerintahkan agar memintakan ampunan untuk mereka, dan mendekatkan diri kepadaNya dengan mencintai mereka. Semua itu Allah wajibkan melalui lisan RasulNya. Allah Maha Mengetahui apa yang bakal terjadi, bahwasanya mereka akan saling berperang. Mereka memperoleh keutamaan daripada yang lainnya, karena segala kesalahan dan kesengajaan mereka telah dimaafkan. Semua pertikaian yang terjadi di antara mereka telah diampuni. Janganlah melihat komentar-komentar tentang peperangan Shiffin, Jamal, peristiwa di kediaman Bani Sa'idah dan pertikaian-pertikaian lain yang terjadi di antara mereka. Janganlah engkau tulis untuk dirimu, atau untuk orang lain. Janganlah engkau riwayatkan dari seorangpun, dan jangan pula membacakannya kepada orang lain. Dan jangan pula mendengarkannya dari orang yang meriwayatkannya.
Itulah perkara yang disepakati para ulama umat ini. Mereka sepakat melarang perkara yang kami sebutkan tersebut. Di antara ulama tersebut ialah: Hammad bin Zaid, Yunus bin Ubaid, Sufyan Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Idris, Malik bin Anas, Ibnu Abi Dzi'b, Ibnul Munkadir, Ibnul Mubarak, Syu'aib bin Harb, Abu Ishaq Al Fazari, Yusuf bin Asbath, Ahmad bin Hambal, Bisyr bin Al Harits dan Abdul Wahhab Al Warraq; mereka semua sepakat melarang perkara tersebut, melarang melihat dan mendengar komentar tentang pertikaian tersebut. Bahkan mereka memperingatkan orang yang membahas dan berupaya mengumpulkannya. Banyak perkataan-perkataan yang diriwayatkan dari mereka, yang ditujukan kepada orang-orang yang melakukannya, dengan lafazh bermacam-macam, namun maknanya senada. Intinya, (mereka) membenci dan mengingkari orang yang meriwayatkan dan mendengarnya” [8].
Apabila Umar bin Abdul Aziz ditanya tentang peperangan Shiffin dan Jamal, beliau berkata: "Urusan yang Allah telah mengeluarkan tanganku darinya, maka aku tidak akan mencampurinya dengan lisanku!"[9].
Al Khallal meriwayatkan dari jalur Abu Bakar Al Marrudzi, ia berkata: "Ada yang berkata kepada Abu Abdillah. Ketika itu kami berada di tengah pasukan. Dan kala itu datang pula seorang utusan Khalifah, yakni Ya'qub, ia berkata,’Wahai Abu Abdillah. Apa pendapat Anda tentang pertikaian yang terjadi antara Ali dan Mu'awwiyah?’ Abu Abdillah menjawab,’Aku tidak mengatakan kecuali yang baik. Semoga Allah merahmati mereka semua’"[10].
Imam Ahmad menulis surat kepada Musaddad bin Musarhad. Isinya surat tersebut: "Menahan diri dari memperbincangkan kejelekan sahabat. Bicarakanlah keutamaan mereka, dan tahanlah diri dari membicarakan pertikaian di antara mereka. Janganlah berkonsultasi dengan seorangpun (dari) ahli bid'ah dalam masalah agama, dan janganlah menyertakannya dalam perjalananmu"[11].
Abu ‘Utsman Ismail bin Abdurrahman Ash Shabuni rahimahullah menyatakan di dalam Aqidah Salaf Ashhabul Hadits: "Ahlu Sunnah berpendapat, wajib menahan diri dari mencampuri pertikaian di antara sahabat Rasul. (Yakni) menahan lisan dari perkataan yang mengandung celaan dan pelecehan terhadap para sahabat".
PERKATAAN ULAMA BERKAITAN DENGAN ORANG YANG MENCELA SAHABAT
ATAU BERKOMENTAR MIRING TERHADAP SALAH SEORANG SAHABAT
Imam Al Bukhari t menulis sebuah bab dalam Shahih-nya berjudul "Bab : Larangan Mencela Orang Yang Sudah Mati", kemudian beliau meriwayatkan sebuah hadits dari jalur Adam, dari Syu'bah, dari Al A'masy, dari Mujahid, dari 'Aisyah Radhiyallahu anha , ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا
"Janganlah kalian mencela orang yang sudah mati. Karena mereka telah menyelesaikan amal perbuatan mereka"[12].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
"Janganlah kalian mencela sahabatku. Karena sesungguhnya, meskipun kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan dapat menyamai satu mud sedekah mereka, tidak juga separuhnya".
Di dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, diriwayatkan dari hadits Al Bara` bin 'Azib Radhiyallahu 'anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الْأَنْصَارُ لَا يُحِبُّهُمْ إِلَّا مُؤْمِنٌ وَلَا يُبْغِضُهُمْ إِلَّا مُنَافِقٌ فَمَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُ اللَّهُ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُ اللَّهُ
"Tidaklah mencintai kaum Anshar, kecuali seorang mukmin. Dan tidaklah membenci mereka, kecuali seorang munafik. Barangsiapa mencintai mereka, niscaya Allah mencintainya. Barangsiapa membenci mereka, niscaya Allah membencinya"[13].
Ibnu Asakir menyebutkan, ketika dihadapkan kepada Umar, seorang Arab Badui menyerang sahabat Anshar dengan kata-kata, beliau berkata: "Sekiranya dia bukan sahabat Nabi, niscaya cukuplah aku yang menyelesaikannya. Akan tetapi, ia masih termasuk sahabat Nabi" [14].
Imam Al Lalikai meriwayatkan dari jalur Hambal bin Ishaq, dari Muhammad bin Ash Shalt, dari Qeis bin Ar Rabi`, dari Wa’il dari Al Bahi, ia berkata: "Pernah terjadi pertengkaran antara Ubaidullah bin Umar dengan Al Miqdam, lalu Ubaidullah mencela Al Miqdam, maka Umar berkata: "Tolong, ambilkan besi tajam, agar kupotong lisannya, sehingga tidak seorangpun sesudahnya yang berani mencela salah seorang sahabat Nabi"[15].
Al Lalikai juga meriwayatkan dari jalur Sufyan bin Uyainah, dari Khalaf bin Hausyab, dari Sa'id bin Abdirrahman bin Abza, ia berkata: Aku bertanya kepada ayahku,”Seandainya aku membawa seseorang yang mencaci Abu Bakar, apa kira-kira yang engkau lakukan?" Beliau menjawab,"Akan kupenggal lehernya!" aku bertanya lagi: "Bagaimana jika mencaci Umar?" Jawab ayahku,"Juga akan kupenggal lehernya!"[16].
Ibnu Baththah menyebutkan, bahwa Sufyan Ats Tsauri berkata: "Janganlah engkau mencela Salafush Shalih, niscaya engkau akan masuk surga dengan selamat".
Imam Al Lalikai meriwayatkan dari jalur Ma'n bin Isa, ia berkata: Saya mendengar Malik bin Anas berkata,”Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka ia tidak berhak mendapat harta fa'i, sebab Allah berfirman: (Juga) bagi para fuqara Muhajirin yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) -QS Al Hasyr ayat 8-, mereka adalah sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berhijrah bersama Beliau. Kemudian Allah berfirman: Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin) –QS Al Hasyr : 9-, mereka adalah kaum Anshar. Kemudian Allah berfirman : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang. –QS Al Hasyr:10. Itulah ketiga golongan yang berhak menerima fa'i. Barangsiapa mencela sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia tidak termasuk salah satu dari tiga golongan tersebut, dan ia tidak berhak menerima fa'i" [17].
Al Khallal meriwayatkan dalam kitab As Sunnah, dari jalur Abu Bakar Al Marwadzi, ia berkata: "Saya bertanya kepada Abu Abdullah (yakni Imam Ahmad) tentang hukum orang yang mencela Abu Bakar, Umar dan 'Aisyah Radhiyallahu anhum. Beliau berkata,’Menurut saya, ia bukan orang Islam.’ Saya juga mendengar Abu Abdillah berkata,’Imam Malik mengatakan, siapa saja yang mencela sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia tidak mendapat bagian apapun dalam Islam’".
Al Khallal juga meriwayatkan dari jalur Abdul Malik bin Abdul Hamid, ia berkata: "Saya mendengar Abu Abdillah berkata,’Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka aku khawatir ia jatuh ke dalam kekufuran, seperti halnya kaum Rafidhah,’ kemudian beliau berkata,’Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka dikhawatirkan ia keluar dari agama’."
Al Khallal juga meriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal, ia berkata: "Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang orang yang mencela salah seorang sahabat Nabi, (dan) beliau menjawab,’Menurut saya, dia bukan orang Islam’."
Al Khallal juga meriwayatkan dari jalur Harb bin Ismail Al Kirmani, dari Musa bin Harun bin Ziyad, bahwa ia mendengar Al Faryabi ditanya oleh seorang lelaki tentang hukum orang yang mencaci Abu Bakar. Beliau (Al Faryabi, Red) menjawab: "Kafir!" Tanyanya lagi: "Bolehkah jenazahnya dishalatkan?" Jawab beliau,”Tidak!” Aku bertanya kepadanya: "Bukankah ia telah mengucapkan La Ilaha illallah?" Beliau menjawab,"Janganlah kalian sentuh jenazahnya dengan tangan kalian, angkatlah jenazahnya dengan kayu, lalu kuburkan dalam lubang kuburnya."
Imam Ahmad berkata dalam sebuah risalah yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Ja'far bin Ya'qub Al Ishthakhri: "Seorangpun tidak boleh menyebutkan keburukan para sahabat, dan janganlah mencela seorangpun dari sahabat karena aib atau kekurangannya. Barangsiapa melakukan hal itu, maka wajib bagi penguasa menjatuhkan hukuman dan sanksi atasnya. Kesalahannya itu tidak boleh dimaafkan. Pelakunya harus dihukum dan diminta bertaubat. Jika ia bertaubat, maka diterimalah taubatnya. Jika tetap bertahan, maka hukuman kembali dijatuhkan atasnya, dan dipenjara seumur hidup hingga mati atau bertaubat”.
Beliau (Imam Ahmad) berkata di awal risalahnya ini: "Itulah madzab ahli ilmu, ahli atsar dan ahlu sunnah yang teguh memegangnya, di kenal dengannya, yang masalah ini telah diikuti semenjak zaman sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai sekarang ini. Saya telah bertemu dengan para ulama dari Hijaz, Syam dan daerah lainnya berada di atas madzhab tersebut" [18].
Al Qadhi` Iyadh berkata dalam Syarah Shahih Muslim [19]: "Mencela sahabat Nabi dan merendahkan mereka, atau salah seorang dari mereka, (itu) termasuk perbuatan dosa besar yang diharamkan. Nabi telah melaknat orang yang melakukannya”.
Diriwayatkan dari Ibrahim An Nakha-i, ia berkata: "Mencaci Abu Bakar dan Umar termasuk dosa besar".
Demikian pula dinyatakan oleh Abu Ishaq As Sab'i. Dan disebutkan pula hal itu oleh Ibnu Hajar Al Haitsami dalam kitab Az Zawajir, ia berkata: "Dosa besar yang ke empat ratus enam puluh empat dan empat ratus enam puluh lima ialah membenci kaum Anshar, mencaci salah seorang sahabat Nabi –radhiyallahu` anhum ajma'in"[20].
Dari uraian di atas jelaslah, betapa besar dosa mencela sahabat Nabi atau salah seorang dari mereka. Karena Rasulullah Shallal telah melarang mencela orang yang sudah mati dan melarang mencela sahabat beliau. 'Aisyah Radhiyallahu anha juga mengabarkan, bahwa mereka telah diperintahkan untuk memohon ampunan bagi sahabat Nabi, akan tetapi, mereka justru malah mencela sahabat.[21]
Begitulah kenyataannya, mereka benar-benar mencela sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang-orang yang mencela sahabat Nabi itu sebenarnya meniru perbuatan seorang zindiq bernama Abdullah bin Saba'. Oleh sebab itu, mereka merupakan orang yang paling mirip dengan kaum Nasrani yang mencela kaum Hawariyun, pengikut setia Nabi Isa Alaihissallam.
Imam Al Ajurri meriwayatkan dari jalur Ahmad bin Abdullah bin Yunus, dari Ibnu Abi Dzi'b, dari Az Zuhri, ia berkata: "Belum pernah aku melihat orang yang paling mirip dengan kaum Nasrani selain pengikut Saba'iyah”. Ahmad bin Yunus berkata,”Mereka adalah kaum Syi'ah Rafidhah." [22]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di dalam kitab Ash Sharimul Maslul: "Sejumlah ulama dari kalangan sahabat-sahabat kami (yakni ulama madzhab Hambali) menegaskan kekafiran kaum Khawarij yang meyakini harus berlepas diri dari Ali dan Utsman, dan juga menegaskan kekafiran Rafidhah yang meyakini wajib mencaci seluruh sahabat, dan menegaskan kekafiran orang-orang yang mengkafirkan sahabat, mengatakan mereka fasik atau mencaci mereka”.
Abu Bakar Abdul Aziz berkata di dalam kitab Al Muqni': “Adapun jika ia termasuk penganut paham Rafidhah yang mencaci sahabat, maka hukumnya kafir dan tidak boleh dinikahkan (dengan wanita Ahlus Sunnah Wal Jama'ah). Sedangkan pendapat ulama lainnya, dan inilah pendapat yang didukung oleh Al Qadhi Abu Ya'la, bahwa jika ia benar-benar mencaci sahabat dan menjatuhkan martabat agama dan keshalihan mereka, maka ia kafir karena perbuatan tersebut. Namun jika ia mencacinya tanpa menjatuhkan martabat -misalnya mencaci ayah salah seorang dari mereka, atau mencacinya dengan maksud membuat marah, atau tujuan lainnya- maka ia tidaklah kafir karena hal itu".
Itulah sikap yang harus dimiliki setiap muslim terhadap para sahabat yang mulia. Sebagaimana dimaklumi, Ahlus Sunnah Wal Jama'ah tidak mengatakan jika sahabat itu ma'shum dari dosa besar ataupun dosa kecil. Boleh jadi mereka melakukan dosa tersebut, akan tetapi mereka tetap yang paling utama, paling baik dan mempunyai kelebihan sebagai sahabat Nabi. Itulah sebabnya mereka mendapat ampunan atas kesalahan yang mereka perbuat. Bahkan mereka mendapat ampunan atas dosa dan kesalahan, yang barangkali, bila dilakukan oleh selain mereka, belum tentu diampuni. Setiap muslim wajib meyakini hal ini dan mempertahankannya. Sebab ini merupakan bagian dari ajaran agama yang diturunkan Allah.
Sebagai penutup tulisan ini, berkut adalah pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab Ash Sharimul Maslul: "Dalam masalah ini, kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara para ahli fiqih dan ahli ilmu dari kalangan sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, serta (di kalangan) seluruh Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Mereka semua sepakat, bahwa kita wajib memuji para sahabat, memohon ampunan bagi mereka, memohon curahan rahmat bagi mereka, mendoakan mereka (dengan mengucapkan radhiyallahu`anhu), mencintai dan loyal kepada mereka, serta meyakini adanya sanksi yang berat atas orang yang berpandangan buruk tentang mereka". Wallahul musta’an.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.
________
Footnote
[1]. HR Al Bukhari, 3651 dan Muslim, 2533.
[2]. HR Al Bukhari, 3650 dan Muslim, 2535.
[3]. HR Muslim, 2536.
[4]. Musnad Imam Ahmad, IV/126-127; Abu Dawud, 4607; At Tirmidzi, 2676; Ibnu Majah, 42; Ad Darimi, 95. Hadits ini shahih. Dinyatakan shahih oleh At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Al Bazzar, Abu Nu'aim dan Ibnu Rajab ketika mensyarah hadits ini. Tambahan yang terdapat di akhir hadits "Sesungguhnya seorang mukmin ibarat unta yang jinak, apabila di arahkan kepada kebaikan ia pasti menurut" adalah tambahan yang mungkar.
[5]. HR Muslim, 2540.
[6]. Thabaqatul Hanabilah, I/345
[7]. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al Fadha-il, 15 dan Al Baihaqi dalam Al I'tiqad dengan sanad shahih. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, 162
[8]. Al Ibanah, karangan Ibnu Baththah, hlm. 268. Bagi yang ingin penjelasan lebih lengkap, silakan lihat kitab As Sunnah, karangan Al Khallal. Beliau telah menulis sebuah bab dalam kitabnya itu tentang teguran keras terhadap orang yang menulis riwayat-riwayat yang berisi hujatan terhadap sahabat Nabi.
[9]. As Sunnah, Al Khallal 717.
[10]. As Sunnah, Al Khallal, 713.
[11]. Thabaqatul Hanabilah, I/344.
[12]. HR Al Bukhari, 1393.
[13]. HR Al Bukhari, 3783 dan Muslim, 75.
[14]. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqi, 59/206 dan Al Ishabah I/11, lalu ia menyebutkan sanadnya sendiri, kemudian berkata: "Perawi hadits ini tsiqah".
[15]. Al Lalikai, 2376.
[16]. Al Lalikai, 2378.
[17]. Al Lalikai, 2400.
[18]. Thabaqatul Hanabilah, I/24.
[19]. Syarah Shahih Muslim, VII/580.
[20]. Beliau telah menulis sebuah kitab yang sarat faidah dalam masalah ini, berjudul Ash Shawaiqul Muhriqah 'Ala Ahli Rafdh Wad Dhalal Waz Zanadiqah.
[21]. Muslim, 3022.
[20]. Al Ajurri dalam kitab Asy Syari'at, 2028 dan 2030, sanadnya shahi2
Keutamaan para sahabat Nabi, tingginya kedudukan dan derajat mereka, merupakan perkara yang telah diketahui baik oleh kalangan kaum Muslimin, dan merupakan sesuatu yang sangat penting di dalam din Islam. Banyak ayat-ayat Al Qur`an dan Hadits Nabi yang menerangkan hal tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, yang artinya : "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil; yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar". [Al Fath : 29].
Ayat ini mencakup seluruh sahabat Nabi Radhiyallahu 'anhum, kerena mereka seluruhnya hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dalam tafsirnya, Ibnu Jarir berkata: "Bisyr telah menyampaikan kepada kami dari Yazid, dari Sa'id, dari Qatadah tentang firman Allah "berkasih sayang sesama mereka", yakni Allah menanamkan ke dalam hati mereka rasa kasih sayang sesama mereka. Dan firman Allah "kamu lihat mereka ruku` dan sujud", yakni kamu lihat mereka ruku` dan sujud dalam shalat. Firman Allah "mencari karunia Allah", yakni mereka mencari keridhaan Allah dengan ruku` dan sujud tersebut, dengan sikap keras terhadap orang kafir dan saling kasih sayang sesama mereka. Hal itu merupakan rahmat Allah kepada mereka dengan memberi keutamaan atas mereka, dan memasukkan mereka ke dalam surgaNya. Firman Allah "dan keridhaanNya", yakni Allah meridhai mereka semua".
Allah berfirman, yang artinya : "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepadaNya. Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar". [At Taubah : 100].
Berkenaan dengan tafsir ayat di atas, Ibnu Katsir berkata: "Allah Yang Maha Agung mengabarkan bahwa Dia telah meridhai orang-orang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sungguh celaka orang yang membenci mereka, mencaci atau membenci dan mencaci sebagian dari mereka. Terutama penghulu para sahabat sepeninggal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang paling baik dan paling utama di antara mereka, yakni Ash Shiddiq Al Akbar, Khalifah A'zham Abu Bakar bin Abi Quhafah Radhiyallahu 'anhu. Kelompok celaka dari kalangan Rafidhah telah memusuhi sahabat paling utama, membenci serta mencaci para sahabat. Kita berlindung kepada Allah dari hal itu.
Itu menunjukkan bahwa akal dan hati kaum Rafidhah terbalik. Dimanakah kedudukan iman mereka kepada Al Quran, sementara mereka mencaci orang yang telah Allah ridhai?
Adapun Ahlus Sunnah, mereka senantiasa mendoakan kebaikan bagi orang yang telah diridhai oleh Allah (dengan mengucapkan radhiyallahu ánhum), mencela siapa saja yang telah dicela oleh Allah dan RasulNya, membela siapa saja yang telah dibela oleh Allah dan RasulNya, memusuhi siapa saja yang memusuhi Allah. Ahlus Sunnah adalah orang yang selalu mengikuti (kebenaran), bukan orang yang membuat-buat bid'ah. Mereka selalu meneladani (Rasul), bukan orang yang mengada-ada. Oleh sebab itu, mereka adalah hizbullah yang pasti menang dan hambaNya yang beriman.
Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyebutkan keutamaan dan kesenioran para sahabat, telah diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ
"Sebaik-baik manusia adalah pada zamanku, kemudian zaman berikutnya dan kemudian zaman berikutnya. Lalu akan datang satu kaum yang persaksiannya mendahului sumpah, dan sumpahnya mendahului persaksian (yakni bersumpah dan bersaksi sebelum diminta, Pent)" [1].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa zaman beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat hidup adalah sebaik-baik keadaan secara mutlak. Tidak ada zaman yang lebih baik daripada zama pada masa mereka. Barangsiapa mengatakan selain itu, maka ia termasuk zindiq.
Dalam hadits Imran bin Hushain Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
"Sebaik-baik umatku adalah pada kurunku, kemudian kurun berikutnya, kemudian kurun berikutnya" [2].
Dalam hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: "Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, siapakah sebaik-baik manusia?" Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Kurun yang aku hidup saat ini, kemudian kurun berikutnya, kemudian kurun berikutnya" [3].
SAHABAT SEBAGAI PENGAWAS DAN PENGAMAN UMAT INI
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ
"Sesungguhnya bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit. Jika bintang-bintang itu lenyap, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas langit. Aku adalah pengaman bagi sahabatku. Jika aku telah pergi, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas sahabatku. Dan sahabatku adalah pengaman bagi umatku. Jika sahabatku telah pergi, maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas umatku". [Hadits riwayat Muslim, no 2531, dari jalur Sa’id bin Abi Burdah dari ayahnya, yakni Abu Musa Al Asy'ari zRadhiyallahu 'anhu].
Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini menjelaskan keagungan dan posisi strategis para sahabat di tengah umat. Mereka adalah pengaman sekaligus pengawas umat ini sepeninggal Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maksudnya, mereka selalu mengawasi, agar umat ini tidak tersesat dan tidak menyimpang dari jalan yang telah mereka tempuh bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
SAHABAT SEBAGAI SUMBER RUJUKAN SAAT PERSELISIHAN & SEBAGAI PEDOMAN PEMAHAMAN
Oleh karena itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan bila timbul perpecahan dan perselisihan di kalangan umat ini, agar kembali kepada Kitabullah, Sunnah RasulNya dan Sunnah Khulafaur Rasyidin, yakni para sahabat -radhiyallahu 'anhum jami'an.
Diriwayatkan dari Al Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata,”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan nasihat yang membuat air mata kami mengalir, dan membuat hati kami bergetar.” Kami berkata: "Wahai, Rasulullah! Sepertinya ini merupakan nasihat pungkasan. Apa yang Anda wasiatkan kepada kami?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا انْقِيدَ انْقَادَ
"Sungguh saya telah meninggalkan kalian (yakni para sahabat) di atas jalan yang putih bersih, siang dan malamnya sama terangnya. Siapa saja yang menyimpang darinya (dari jalan putih bersih yang para sahabat berada di atasnya), pasti (ia) binasa. Barangsiapa yang hidup sepeninggalku, ia pasti melihat perselisihan yang amat banyak. Hendaklah kalian tetap memegang teguh sunnahku yang kalian ketahui dan sunnah Khulafaur Rasyidin (yakni para sahabat) yang berada di atas petunjuk. Hendaklah kalian selalu patuh dan taat, meskipun diperintah oleh seorang budak Habasyi. Peganglah erat-erat. Sesungguhnya seorang mukmin itu laksana unta yang jinak. Apabila diarahkan (kepada kebaikan), ia pasti menurut" [4].
Juga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
"Ketahuilah, sesungguhnya Ahli Kitab sebelum kalian telah terpecah-belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan bahwa umat ini, juga akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua di antaranya masuk neraka, dan satu golongan di dalam surga, yakni Al Jama'ah". [HR Abu Dawud dan lainnya. Derajat hadits ini shahih]
Dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Al Hakim dan lainnya telah disebutkan tafsir Al Jama'ah:
مَا أَنَا عَلَيْهِ اليَوْمَ وَ أَصْحَابِي
"Pedoman yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.
Maksud Al Jama'ah ialah, siapa saja yang mengacu kepada pedoman yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni Al Qur`an dan As Sunnah, serta menurut pedoman pemahaman sahabat beliau Radhiyallahu 'anhum.
Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu telah menjelaskan kepada kita, tentang alasan dipilihnya pemahaman sahabat sebagai pedoman acaun. Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu berkata: "Sesungguhnya Allah melihat hati para hambaNya. Dia dapati yang paling baik adalah hati Muhammad, maka Allah memilihnya untuk diriNya, dan Dia utus untuk membawa risalahNya. Kemudian Allah kembali melihat hati para hambaNya setelah hati Muhammad. Dia dapati yang paling baik ialah hati para sahabatnya. Maka Allah menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu NabiNya dan berperang untuk agamaNya. Segala sesuatu yang dipandang baik oleh kaum Muslimin (sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam), maka pasti baik di sisi Allah. Dan apa yang dipandang buruk oleh kaum Muslimin, pasti buruk juga di sisi Allah”. [Atsar shahih, riwayat Ahmad, no 3600; Al Bazzar, no. 1816 dan Ath Thabrani, no. 8582].
BERPEDOMAN KEPADA SAHABAT, ADALAH JAMINAN KEMENANGAN
Dalam hadits riwayat Muslim, no 2523 dari jalur Abu Zubair, dari Jabir, dari Abu Sa'id Al Khudri Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُبْعَثُ مِنْهُمُ الْبَعْثُ فَيَقُولُونَ انْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ فِيكُمْ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّانِي فَيَقُولُونَ هَلْ فِيهِمْ مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّالِثُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَكُونُ الْبَعْثُ الرَّابِعُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ أَحَدًا رَأَى مَنْ رَأَى أَحَدًا رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ
"Akan datang suatu masa, yang saat itu ada satu pasukan dikirim (untuk berperang)”. Mereka mengatakan: "Coba lihat, adakah di antara kalian seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Ternyata ada satu orang sahabat Nabi. Maka karenanya, Allah memenangkan mereka. Kemudian dikirim pasukan kedua. Dikatakan kepada mereka: "Adakah di antara mereka yang pernah melihat sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam?" Maka karenanya, Allah memenangkan mereka. Lalu dikirim pasukan ketiga. Dikatakan: "Coba lihat, apakah ada di antara mereka yang pernah melihat seorang yang pernah melihat sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Maka didapatkan satu orang. Maka Allah memenangkan mereka. Kemudian dikirim pasukan keempat. Dikatakan: "Coba lihat, apakah ada di antara mereka yang pernah melihat seorang yang pernah seseorang yang melihat sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Maka didapatkan satu orang. Akhirnya Allah memenangkan mereka.
Hadits ini menjelaskan kepada kita, betapa mulia kedudukan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka. Allah memberi jaminan kemenangan bagi para sahabat dan orang-orang yang mengikuti sahabat. Tentu saja, yang dimaksud dalam hadits bukan hanya sekadar melihat dengan mata kepala saja, namun maksudnya ialah mengikuti pedoman mereka. Sebagaimana yang telah disebutkan tentang definisi sahabat Radhiyallahu 'anhum.
SIAPAKAH YANG DIMAKSUD SAHABAT NABI SHALLALLAHU ALAIAHI WA SALLAM ?
Sahabat adalah, siapa saja yang melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau bertemu dengan beliau walau hanya sesaat lalu beriman kepada beliau dan ia mati di atas keimanan.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (249) dari hadits Al 'Ala` bin Abdirrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati sebuah pekuburan. Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ وَدِدْتُ أَنَّا قَدْ رَأَيْنَا إِخْوَانَنَا قَالُوا أَوَلَسْنَا إِخْوَانَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَنْتُمْ أَصْحَابِي وَإِخْوَانُنَا الَّذِينَ لَمْ يَأْتُوا بَعْدُ
"Salam kesejahteraan atas kalian, wahai penghuni perkampungan kaum Mukminin. Dan aku Insya Allah akan menyusul kalian. Sungguh aku sangat merindukan untuk bertemu dengan saudara-saudara kita". Para sahabatpun bertanya,”Bukankah kami ini saudara-saudaramu?" Beliau n menjawab,”Kalian adalah para sahabatku, sedangkan saudara-saudara kita adalah mereka yang datang kemudian".
Hadits ini menunjukkan, bahwa yang dimaksud sahabat ialah, orang yang bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta beriman kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan yang datang sesudahnya ialah, saudara-saudara beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun orang yang bertemu dan beriman kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, (ia) dinamakan sahabat, baik pertemuan itu dalam waktu yang lama maupun sebentar.
Adapun dalil yang menunjukan bahwa orang yang bertemu dan beriman kepada Rasulullah serta mati di atas keimanan disebut sebagai sahabat ialah, sebuah hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah (12/178) dari Zaid Ibnu Hibban, dari Abdullah bin Al 'Ala' bin 'Amir, dari Watsilah bin Al Asqa', dia berkata, Rasulullah n bersabda: "Kalian akan tetap berada dalam kebaikan selama di tengah-tengah kalian terdapat orang yang melihat dan menyertaiku. Demi Allah, kalian akan tetap berada dalam kebaikan, selama di tengah-tengah kalian terdapat seorang yang melihat orang yang melihatku, dan menyertai orang yang menyertaiku".
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ya'qub bin Sufyan, di dalam At Tarikh (2/351), dari Adam, dari Baqiyah bin Al Walid, dari Muhammad bin Abdirrahman Al Yahshabi, bahwa ia mendengar Abdullah bin Basar berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
طُوْبَى لِمَنْ رَآنِي وَ طُوْبَى لِمَنْ آمَنَ بِي وَلمَ ْيَرَنِي وَ طُوْبَى لَهُ وَ حُسْنَ مَآبٍ
"Sungguh beruntung orang yang melihatku, dan sungguh beruntung orang yang beriman kepadaku, sedangkan ia belum pernah melihatku. Sungguh baginya keberuntungan dan balasan yang baik". [Hadits ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Abi 'Ashim di dalam As Sunnah, 1527, dari Ya'qub].
Ibnu Faris, seorang pakar bahasa, ia menjelaskan di dalam Mu'jamu Maqayisil Lughah (III/335) dalam pasal Sha-ha-ba: "Menunjukkan penyertaan sesuatu dan kedekatannya dengan sahabat yang disertainya itu. Bentuk jamaknya adalah shuhab, sebagaimana kata raakib bentuk jamaknya rukab. Sama seperti kalimat ‘ashhaba fulan’, artinya menjadi tunduk. Dan kalimat “ashahbar rajulu”, artinya, jika anaknya telah berusia baligh. Dan segala sesuatu yang menyertai sesuatu, maka boleh dikatakan telah menjadi sahabatnya”.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan di dalam Majmu' Fatawa (IV/464): "Shuhbah adalah istilah yang digunakan untuk orang-orang yang menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam jangka waktu yang lama maupun singkat. Akan tetapi, kedudukan setiap sahabat ditentukan oleh jangka waktu ia menyertai Rasulullah. Ada yang menyertai beliau setahun, sebulan, sehari, sesaat, atau melihat beliau sekilas lalu (ia) beriman kepada beliau. Derajat masing-masing ditentukan menurut jangka waktunya menyertai Rasulullah".
Abu Hamid Al Ghazali berkata di dalam kitabnya, Al Mustashfa (1/165): "Siapakah sahabat itu? Sahabat ialah, siapa saja yang hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau pernah berjumpa dengan beliau sekali, atau pernah menyertai beliau dalam waktu sebentar maupun lama. Lalu berapa batasan waktunya? Predikat sahabat dinisbatkan kepada siapa saja yang menyertai Rasulullah. Cukuplah disebut sahabat, meski ia hanya menyertai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam waktu sebentar saja. Namun secara urf (kesepakatan umum) (ialah), mengkhususkannya bagi orang yang menyertai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam waktu lama".
LARANGAN MENCELA SAHABAT NABI
Imam Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu , dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
"Janganlah mencela sahabatku! Janganlah mencela sahabatku! Demi Allah yang jiwaku berada di tanganNya, meskipun kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan dapat menyamai satu mud sedekah mereka, tidak juga separuhnya"[5].
Hadits ini secara jelas melarang kita mencela sahabat Nabi. Larangan dalam hadits di atas hukumnya adalah haram. Yakni haram hukumnya mencela sahabat Nabi. Termasuk di dalamnya, yaitu semua bentuk celaan dan sindiran negatif yang ditujukan kepada mereka, atau salah seorang dari mereka. Sebab, mencela sahabat Nabi, berarti telah menyakiti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Al Fadha-il (19), dari jalur Waki`, dari Ja'far -yakni Ibnu Burqan- dari Maimun bin Mihran, ia berkata: "Ada tiga perkara yang harus dijauhi. (Yaitu): mencela sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, meramal lewat bintang-bintang, dan mempersoalkan takdir”.
Imam Ahmad juga menulis surat kepada Abdus bin Malik tentang Ushul Sunnah. Beliau berkata di dalam suratnya: "Termasuk Ushul, (yaitu) barangsiapa melecehkan salah seorang sahabat Nabi, atau membencinya karena kesalahan yang dibuat, atau menyebutkan kejelekannya, maka ia termasuk mubtadi`, hingga ia mendoakan kebaikan dan rahmat bagi seluruh sahabat, dan hatinya tulus mencintai mereka"[6].
Imam Ahmad meriwayatkan di dalam kitab Al Fadha-il, dari jalur Waki`, dari Sufyan, dari Nusair bin Za'luq, ia berkata, Saya mendengar Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma berkata: "Janganlah kalian mencela sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sungguh, kedudukan mereka sesaat bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (itu) lebih baik daripada amal ibadah kalian sepanjang umurnya!"[7]
SIKAP AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH TERHADAP PERSELISIHAN YANG TERJADI
DI ANTARA SAHABAT
Banyak kita temui perkataan ahli ilmu yang berisi perintah untuk tidak mempersoalkan pertikaian yang terjadi di antara sahabat Nabi Radhiyallahu anhum. Bahkan telah disebutkan adanya ijma' dalam masalah ini.
Abdurrahman bin Abi Hatim berkata,"Aku pernah bertanya kepada ayahku dan Abu Zur'ah tentang madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dan para alim ulama yang pernah ditemui oleh keduanya di berbagai belahan dunia, seperti di Hijaz, Iraq, Mesir, Syam dan Yaman, dalam menyikapi para sahabat. Madzhab mereka ialah, mendoakan kebaikan dan rahmat atas segenap sahabat Muhammad, atas segenap keluarga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta menahan diri dari memperdebatkan pertikaian di antara mereka." Demikian pula dinyatakan oleh Imam Al Lalikai dalam Syarah Ushul I'tiqad (321) dan Abul 'Ala Al Hamdani dalam bukunya yang berisi penyebutan aqidah Ahlus Sunnah dan celaan terhadap perpecahan di halaman 90-91.
Dalilnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya : "Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya, Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". [Al Hasyr : 10].
Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Janganlah engkau mencela sahabatku ...... "
Abdurrazzaq meriwayatkan di dalam kitab Al Amali (51), dari jalur Ma'mar, dari Ibnu Thawus, dari Thawus, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا ذًُكِرَ أصحابي فَأَمْسِكُوْا و إِذَا ذًُكِرَ القَدَرُ فَأَمْسِكُوْا و إِذَا ذًُكِرَ النُّجُوْمُ فَأَمْسِكُوْا
"Jika sahabatku diperbincangkan, maka tahanlah diri. Jika masalah takdir dipersoalkan, maka tahanlah diri. Jika ramalan bintang-bintang dibicarakan, maka tahanlah diri".
Makna "jika sahabatku diperbincangkan, maka tahanlah diri ...", menurut para ulama ialah tidak mengomentari mereka dengan penilaian miring dan negatif. Maksudnya, bukan larangan menceritakan apa yang terjadi, misalnya peperangan Shiffin atau Jamal. Sebab, perkara tersebut memang telah diberitakan oleh Rasulullah n , kemudian perkara itu merupakan catatan sejarah. Oleh sebab itulah, para ulama menyebutkannya dan menulisnya di dalam kitab-kitab sejarah dan lainnya, bahkan telah dikarang buku khusus yang membicarakan permasalahan tersebut. Begitu pula Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar serta para alim ulama lainnya menceritakan panjang lebar kisah tersebut. Akan tetapi mereka tidak menghujat atau mencela para sahabat, wallahu ta'ala a'lam.
Ibnu Baththah rahimahullah berkata -berkaitan dengan larangan mencampuri pertikaian besar di antara sahabat-:
"Kemudian setelah itu kita harus menahan diri dari pertikaian yang terjadi di antara sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab, mereka telah melalui berbagai peristiwa bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan telah mendahului yang lainnya dalam hal keutamaan. Allah telah mengampuni mereka dan memerintahkan agar memintakan ampunan untuk mereka, dan mendekatkan diri kepadaNya dengan mencintai mereka. Semua itu Allah wajibkan melalui lisan RasulNya. Allah Maha Mengetahui apa yang bakal terjadi, bahwasanya mereka akan saling berperang. Mereka memperoleh keutamaan daripada yang lainnya, karena segala kesalahan dan kesengajaan mereka telah dimaafkan. Semua pertikaian yang terjadi di antara mereka telah diampuni. Janganlah melihat komentar-komentar tentang peperangan Shiffin, Jamal, peristiwa di kediaman Bani Sa'idah dan pertikaian-pertikaian lain yang terjadi di antara mereka. Janganlah engkau tulis untuk dirimu, atau untuk orang lain. Janganlah engkau riwayatkan dari seorangpun, dan jangan pula membacakannya kepada orang lain. Dan jangan pula mendengarkannya dari orang yang meriwayatkannya.
Itulah perkara yang disepakati para ulama umat ini. Mereka sepakat melarang perkara yang kami sebutkan tersebut. Di antara ulama tersebut ialah: Hammad bin Zaid, Yunus bin Ubaid, Sufyan Ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Idris, Malik bin Anas, Ibnu Abi Dzi'b, Ibnul Munkadir, Ibnul Mubarak, Syu'aib bin Harb, Abu Ishaq Al Fazari, Yusuf bin Asbath, Ahmad bin Hambal, Bisyr bin Al Harits dan Abdul Wahhab Al Warraq; mereka semua sepakat melarang perkara tersebut, melarang melihat dan mendengar komentar tentang pertikaian tersebut. Bahkan mereka memperingatkan orang yang membahas dan berupaya mengumpulkannya. Banyak perkataan-perkataan yang diriwayatkan dari mereka, yang ditujukan kepada orang-orang yang melakukannya, dengan lafazh bermacam-macam, namun maknanya senada. Intinya, (mereka) membenci dan mengingkari orang yang meriwayatkan dan mendengarnya” [8].
Apabila Umar bin Abdul Aziz ditanya tentang peperangan Shiffin dan Jamal, beliau berkata: "Urusan yang Allah telah mengeluarkan tanganku darinya, maka aku tidak akan mencampurinya dengan lisanku!"[9].
Al Khallal meriwayatkan dari jalur Abu Bakar Al Marrudzi, ia berkata: "Ada yang berkata kepada Abu Abdillah. Ketika itu kami berada di tengah pasukan. Dan kala itu datang pula seorang utusan Khalifah, yakni Ya'qub, ia berkata,’Wahai Abu Abdillah. Apa pendapat Anda tentang pertikaian yang terjadi antara Ali dan Mu'awwiyah?’ Abu Abdillah menjawab,’Aku tidak mengatakan kecuali yang baik. Semoga Allah merahmati mereka semua’"[10].
Imam Ahmad menulis surat kepada Musaddad bin Musarhad. Isinya surat tersebut: "Menahan diri dari memperbincangkan kejelekan sahabat. Bicarakanlah keutamaan mereka, dan tahanlah diri dari membicarakan pertikaian di antara mereka. Janganlah berkonsultasi dengan seorangpun (dari) ahli bid'ah dalam masalah agama, dan janganlah menyertakannya dalam perjalananmu"[11].
Abu ‘Utsman Ismail bin Abdurrahman Ash Shabuni rahimahullah menyatakan di dalam Aqidah Salaf Ashhabul Hadits: "Ahlu Sunnah berpendapat, wajib menahan diri dari mencampuri pertikaian di antara sahabat Rasul. (Yakni) menahan lisan dari perkataan yang mengandung celaan dan pelecehan terhadap para sahabat".
PERKATAAN ULAMA BERKAITAN DENGAN ORANG YANG MENCELA SAHABAT
ATAU BERKOMENTAR MIRING TERHADAP SALAH SEORANG SAHABAT
Imam Al Bukhari t menulis sebuah bab dalam Shahih-nya berjudul "Bab : Larangan Mencela Orang Yang Sudah Mati", kemudian beliau meriwayatkan sebuah hadits dari jalur Adam, dari Syu'bah, dari Al A'masy, dari Mujahid, dari 'Aisyah Radhiyallahu anha , ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا
"Janganlah kalian mencela orang yang sudah mati. Karena mereka telah menyelesaikan amal perbuatan mereka"[12].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
"Janganlah kalian mencela sahabatku. Karena sesungguhnya, meskipun kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan dapat menyamai satu mud sedekah mereka, tidak juga separuhnya".
Di dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, diriwayatkan dari hadits Al Bara` bin 'Azib Radhiyallahu 'anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الْأَنْصَارُ لَا يُحِبُّهُمْ إِلَّا مُؤْمِنٌ وَلَا يُبْغِضُهُمْ إِلَّا مُنَافِقٌ فَمَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُ اللَّهُ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُ اللَّهُ
"Tidaklah mencintai kaum Anshar, kecuali seorang mukmin. Dan tidaklah membenci mereka, kecuali seorang munafik. Barangsiapa mencintai mereka, niscaya Allah mencintainya. Barangsiapa membenci mereka, niscaya Allah membencinya"[13].
Ibnu Asakir menyebutkan, ketika dihadapkan kepada Umar, seorang Arab Badui menyerang sahabat Anshar dengan kata-kata, beliau berkata: "Sekiranya dia bukan sahabat Nabi, niscaya cukuplah aku yang menyelesaikannya. Akan tetapi, ia masih termasuk sahabat Nabi" [14].
Imam Al Lalikai meriwayatkan dari jalur Hambal bin Ishaq, dari Muhammad bin Ash Shalt, dari Qeis bin Ar Rabi`, dari Wa’il dari Al Bahi, ia berkata: "Pernah terjadi pertengkaran antara Ubaidullah bin Umar dengan Al Miqdam, lalu Ubaidullah mencela Al Miqdam, maka Umar berkata: "Tolong, ambilkan besi tajam, agar kupotong lisannya, sehingga tidak seorangpun sesudahnya yang berani mencela salah seorang sahabat Nabi"[15].
Al Lalikai juga meriwayatkan dari jalur Sufyan bin Uyainah, dari Khalaf bin Hausyab, dari Sa'id bin Abdirrahman bin Abza, ia berkata: Aku bertanya kepada ayahku,”Seandainya aku membawa seseorang yang mencaci Abu Bakar, apa kira-kira yang engkau lakukan?" Beliau menjawab,"Akan kupenggal lehernya!" aku bertanya lagi: "Bagaimana jika mencaci Umar?" Jawab ayahku,"Juga akan kupenggal lehernya!"[16].
Ibnu Baththah menyebutkan, bahwa Sufyan Ats Tsauri berkata: "Janganlah engkau mencela Salafush Shalih, niscaya engkau akan masuk surga dengan selamat".
Imam Al Lalikai meriwayatkan dari jalur Ma'n bin Isa, ia berkata: Saya mendengar Malik bin Anas berkata,”Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka ia tidak berhak mendapat harta fa'i, sebab Allah berfirman: (Juga) bagi para fuqara Muhajirin yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) -QS Al Hasyr ayat 8-, mereka adalah sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berhijrah bersama Beliau. Kemudian Allah berfirman: Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin) –QS Al Hasyr : 9-, mereka adalah kaum Anshar. Kemudian Allah berfirman : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang. –QS Al Hasyr:10. Itulah ketiga golongan yang berhak menerima fa'i. Barangsiapa mencela sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia tidak termasuk salah satu dari tiga golongan tersebut, dan ia tidak berhak menerima fa'i" [17].
Al Khallal meriwayatkan dalam kitab As Sunnah, dari jalur Abu Bakar Al Marwadzi, ia berkata: "Saya bertanya kepada Abu Abdullah (yakni Imam Ahmad) tentang hukum orang yang mencela Abu Bakar, Umar dan 'Aisyah Radhiyallahu anhum. Beliau berkata,’Menurut saya, ia bukan orang Islam.’ Saya juga mendengar Abu Abdillah berkata,’Imam Malik mengatakan, siapa saja yang mencela sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia tidak mendapat bagian apapun dalam Islam’".
Al Khallal juga meriwayatkan dari jalur Abdul Malik bin Abdul Hamid, ia berkata: "Saya mendengar Abu Abdillah berkata,’Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka aku khawatir ia jatuh ke dalam kekufuran, seperti halnya kaum Rafidhah,’ kemudian beliau berkata,’Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka dikhawatirkan ia keluar dari agama’."
Al Khallal juga meriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal, ia berkata: "Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang orang yang mencela salah seorang sahabat Nabi, (dan) beliau menjawab,’Menurut saya, dia bukan orang Islam’."
Al Khallal juga meriwayatkan dari jalur Harb bin Ismail Al Kirmani, dari Musa bin Harun bin Ziyad, bahwa ia mendengar Al Faryabi ditanya oleh seorang lelaki tentang hukum orang yang mencaci Abu Bakar. Beliau (Al Faryabi, Red) menjawab: "Kafir!" Tanyanya lagi: "Bolehkah jenazahnya dishalatkan?" Jawab beliau,”Tidak!” Aku bertanya kepadanya: "Bukankah ia telah mengucapkan La Ilaha illallah?" Beliau menjawab,"Janganlah kalian sentuh jenazahnya dengan tangan kalian, angkatlah jenazahnya dengan kayu, lalu kuburkan dalam lubang kuburnya."
Imam Ahmad berkata dalam sebuah risalah yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Ja'far bin Ya'qub Al Ishthakhri: "Seorangpun tidak boleh menyebutkan keburukan para sahabat, dan janganlah mencela seorangpun dari sahabat karena aib atau kekurangannya. Barangsiapa melakukan hal itu, maka wajib bagi penguasa menjatuhkan hukuman dan sanksi atasnya. Kesalahannya itu tidak boleh dimaafkan. Pelakunya harus dihukum dan diminta bertaubat. Jika ia bertaubat, maka diterimalah taubatnya. Jika tetap bertahan, maka hukuman kembali dijatuhkan atasnya, dan dipenjara seumur hidup hingga mati atau bertaubat”.
Beliau (Imam Ahmad) berkata di awal risalahnya ini: "Itulah madzab ahli ilmu, ahli atsar dan ahlu sunnah yang teguh memegangnya, di kenal dengannya, yang masalah ini telah diikuti semenjak zaman sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai sekarang ini. Saya telah bertemu dengan para ulama dari Hijaz, Syam dan daerah lainnya berada di atas madzhab tersebut" [18].
Al Qadhi` Iyadh berkata dalam Syarah Shahih Muslim [19]: "Mencela sahabat Nabi dan merendahkan mereka, atau salah seorang dari mereka, (itu) termasuk perbuatan dosa besar yang diharamkan. Nabi telah melaknat orang yang melakukannya”.
Diriwayatkan dari Ibrahim An Nakha-i, ia berkata: "Mencaci Abu Bakar dan Umar termasuk dosa besar".
Demikian pula dinyatakan oleh Abu Ishaq As Sab'i. Dan disebutkan pula hal itu oleh Ibnu Hajar Al Haitsami dalam kitab Az Zawajir, ia berkata: "Dosa besar yang ke empat ratus enam puluh empat dan empat ratus enam puluh lima ialah membenci kaum Anshar, mencaci salah seorang sahabat Nabi –radhiyallahu` anhum ajma'in"[20].
Dari uraian di atas jelaslah, betapa besar dosa mencela sahabat Nabi atau salah seorang dari mereka. Karena Rasulullah Shallal telah melarang mencela orang yang sudah mati dan melarang mencela sahabat beliau. 'Aisyah Radhiyallahu anha juga mengabarkan, bahwa mereka telah diperintahkan untuk memohon ampunan bagi sahabat Nabi, akan tetapi, mereka justru malah mencela sahabat.[21]
Begitulah kenyataannya, mereka benar-benar mencela sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang-orang yang mencela sahabat Nabi itu sebenarnya meniru perbuatan seorang zindiq bernama Abdullah bin Saba'. Oleh sebab itu, mereka merupakan orang yang paling mirip dengan kaum Nasrani yang mencela kaum Hawariyun, pengikut setia Nabi Isa Alaihissallam.
Imam Al Ajurri meriwayatkan dari jalur Ahmad bin Abdullah bin Yunus, dari Ibnu Abi Dzi'b, dari Az Zuhri, ia berkata: "Belum pernah aku melihat orang yang paling mirip dengan kaum Nasrani selain pengikut Saba'iyah”. Ahmad bin Yunus berkata,”Mereka adalah kaum Syi'ah Rafidhah." [22]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di dalam kitab Ash Sharimul Maslul: "Sejumlah ulama dari kalangan sahabat-sahabat kami (yakni ulama madzhab Hambali) menegaskan kekafiran kaum Khawarij yang meyakini harus berlepas diri dari Ali dan Utsman, dan juga menegaskan kekafiran Rafidhah yang meyakini wajib mencaci seluruh sahabat, dan menegaskan kekafiran orang-orang yang mengkafirkan sahabat, mengatakan mereka fasik atau mencaci mereka”.
Abu Bakar Abdul Aziz berkata di dalam kitab Al Muqni': “Adapun jika ia termasuk penganut paham Rafidhah yang mencaci sahabat, maka hukumnya kafir dan tidak boleh dinikahkan (dengan wanita Ahlus Sunnah Wal Jama'ah). Sedangkan pendapat ulama lainnya, dan inilah pendapat yang didukung oleh Al Qadhi Abu Ya'la, bahwa jika ia benar-benar mencaci sahabat dan menjatuhkan martabat agama dan keshalihan mereka, maka ia kafir karena perbuatan tersebut. Namun jika ia mencacinya tanpa menjatuhkan martabat -misalnya mencaci ayah salah seorang dari mereka, atau mencacinya dengan maksud membuat marah, atau tujuan lainnya- maka ia tidaklah kafir karena hal itu".
Itulah sikap yang harus dimiliki setiap muslim terhadap para sahabat yang mulia. Sebagaimana dimaklumi, Ahlus Sunnah Wal Jama'ah tidak mengatakan jika sahabat itu ma'shum dari dosa besar ataupun dosa kecil. Boleh jadi mereka melakukan dosa tersebut, akan tetapi mereka tetap yang paling utama, paling baik dan mempunyai kelebihan sebagai sahabat Nabi. Itulah sebabnya mereka mendapat ampunan atas kesalahan yang mereka perbuat. Bahkan mereka mendapat ampunan atas dosa dan kesalahan, yang barangkali, bila dilakukan oleh selain mereka, belum tentu diampuni. Setiap muslim wajib meyakini hal ini dan mempertahankannya. Sebab ini merupakan bagian dari ajaran agama yang diturunkan Allah.
Sebagai penutup tulisan ini, berkut adalah pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab Ash Sharimul Maslul: "Dalam masalah ini, kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara para ahli fiqih dan ahli ilmu dari kalangan sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, serta (di kalangan) seluruh Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Mereka semua sepakat, bahwa kita wajib memuji para sahabat, memohon ampunan bagi mereka, memohon curahan rahmat bagi mereka, mendoakan mereka (dengan mengucapkan radhiyallahu`anhu), mencintai dan loyal kepada mereka, serta meyakini adanya sanksi yang berat atas orang yang berpandangan buruk tentang mereka". Wallahul musta’an.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.
________
Footnote
[1]. HR Al Bukhari, 3651 dan Muslim, 2533.
[2]. HR Al Bukhari, 3650 dan Muslim, 2535.
[3]. HR Muslim, 2536.
[4]. Musnad Imam Ahmad, IV/126-127; Abu Dawud, 4607; At Tirmidzi, 2676; Ibnu Majah, 42; Ad Darimi, 95. Hadits ini shahih. Dinyatakan shahih oleh At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Al Bazzar, Abu Nu'aim dan Ibnu Rajab ketika mensyarah hadits ini. Tambahan yang terdapat di akhir hadits "Sesungguhnya seorang mukmin ibarat unta yang jinak, apabila di arahkan kepada kebaikan ia pasti menurut" adalah tambahan yang mungkar.
[5]. HR Muslim, 2540.
[6]. Thabaqatul Hanabilah, I/345
[7]. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al Fadha-il, 15 dan Al Baihaqi dalam Al I'tiqad dengan sanad shahih. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya, 162
[8]. Al Ibanah, karangan Ibnu Baththah, hlm. 268. Bagi yang ingin penjelasan lebih lengkap, silakan lihat kitab As Sunnah, karangan Al Khallal. Beliau telah menulis sebuah bab dalam kitabnya itu tentang teguran keras terhadap orang yang menulis riwayat-riwayat yang berisi hujatan terhadap sahabat Nabi.
[9]. As Sunnah, Al Khallal 717.
[10]. As Sunnah, Al Khallal, 713.
[11]. Thabaqatul Hanabilah, I/344.
[12]. HR Al Bukhari, 1393.
[13]. HR Al Bukhari, 3783 dan Muslim, 75.
[14]. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqi, 59/206 dan Al Ishabah I/11, lalu ia menyebutkan sanadnya sendiri, kemudian berkata: "Perawi hadits ini tsiqah".
[15]. Al Lalikai, 2376.
[16]. Al Lalikai, 2378.
[17]. Al Lalikai, 2400.
[18]. Thabaqatul Hanabilah, I/24.
[19]. Syarah Shahih Muslim, VII/580.
[20]. Beliau telah menulis sebuah kitab yang sarat faidah dalam masalah ini, berjudul Ash Shawaiqul Muhriqah 'Ala Ahli Rafdh Wad Dhalal Waz Zanadiqah.
[21]. Muslim, 3022.
[20]. Al Ajurri dalam kitab Asy Syari'at, 2028 dan 2030, sanadnya shahi2
Kategori Aktual Ulama-Ulama Pembela Da'wah Salafiyah Dahulu Hingga Sekarang
ULAMA–ULAMA PEMBELA DA’WAH SALAFIYAH DAHULU HINGGA SEKARANG. Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.Sesungguhnya segala puji milik Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kami memohon
pertolongan, ampunan, dan perlindungan kepada Allah Azza wa Jalla dari
keburukan–keburukan diri kami dan kejelekan – kejelekan amal perbuatan
kami. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka
tidak ada seorangpun yang bisa menyesatkannya dan barang siapa
disesatkan oleh Allah, maka tidak ada seorangpun yang bisa memberi
petunjuk kepadanya Subhanahu wa Ta'ala.
Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad hamba dan utusan-Nya.
Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah kalamullah; sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, seburuk–buruk perkara adalah perkara-perkara baru (tidak ada dasarnya di dalam agama). Setiap perkara baru adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.
Amma ba’du :
Sesungguhnya keistimewaan terbesar yang dimiliki da’wah salafiyah yang penuh berkah ini adalah tegaknya da’wah tersebut di atas sunnah yang shahih. Dakwah ini tidak bersandar kepada hadits–hadits lemah dan palsu. Pada keadaan seperti itu, para penutut ilmu syar’i juga telah mengetahui secara jelas tentang pengertian hadits shahih dan syaratnya. Termasuk syaratnya terbesar adalah bersambungnya sanad dengan para perawi yang terpercaya. Ada juga syarat–syarat lain, yang sekarang kami tidak membicarakannya dan menyebutkannya. Karena termasuk syarat hadits shahih adalah bersambungnya sanad dengan para perawi yang terpercaya, maka syarat orang yang menisbatkan dirinya ke dalam da’wah salafiyah, dakwah yang berdiri tegak di atas hadits yang shahih, harus memiliki silsilah da’wah itu sendiri. Artinya dia harus mengambil manhajnya dari para masyayikh dan ulamanya yang terpercaya. Para masyayikhnya juga, adalah para ulama yang mengambil manhajnya dari para masyayikhnya. Dan begitu seterusnya. Orang yang datang kemudian mengambil dari orang yang sebelumnya. Seorang murid mengambil dari syaikhnya, anak mengambil dari ayah, cucu mengambil dari kakek, dengan sanad yang bersambung dengan orang-orang yang terpercaya dari kalangan para ulama besar dan tinggi. Meskipun bukan termasuk syarat majlis kita ini, membahas secara panjang lebar masalah ini hingga keluar dari topik pembicaraan majlis.
Hanya saja, di sini saya akan menyebutkan suatu hal yang penting, berkaitan dengan sekelompok orang yang masuk dari sana–sini, mengaku–aku bermanhaj salaf dan mengaku–aku menjalankan sunnah. Tetapi bila kamu periksa, perhatikan, dan teliti, kamu tidak mendapatkan silsilah yang shahih dari ahlul ilmi, yang dari mereka diambil masalah–masalah manhaj dan perkara–perkara aqidahnya. Di samping sanad mereka munqathi’ (terputus), bahkan mu’dhal ( terputus dua orang atau lebih secara berturut-turut), bahkan kadang–kadang mu’allaq mukhalkhal (terputus dari awal sanad seorang atau lebih).
Mengetahui masalah ini saja, sudah cukup untuk merobohkan pengakuan–pengakuan mereka, sudah cukup untuk menolak perbuatan mereka, serta menghancurkan persangkaan–persangkaan dan pemikiran–pemikiran mereka. Kita tidak perlu lagi banyak berdebat dan bicara. Saya berharap kepada saudara–saudaraku supaya memperhatikan masalah ini, merenungkan dengan seksama, dan memahami dengan sebaik–baiknya.
Memang da’wah kita berdiri di atas silsilah (mata-rantai) para ulama yang terpercaya, ulama yang datang kemudian mengambil dari ulama yang sebelumnya, dan ulama muta’akhir (belakang) mengambil dari ulama mutaqaddim (dahulu). Ini adalah bukti kebenaran sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam hadits yang dishahihkan oleh Imam besar Ahmad bin Hambal dan lain-lainnya bahwa nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفَوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِّيْنَ وَ انْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَ تِأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ
"Ilmu ini akan dibawa oleh orang – orang yang adil dari setiap generasi, mereka itu meniadakan perobahan orang-orang yang melampui batas, kedustaan orang – orang yang berbuat kebatilan, dan penta’wilan orang – orang bodoh".
Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَِ ; يَحْمِلُ adalah fi’il mudhari’ (kata kerja yang menunjukkan waktu sedang dan akan), memberikan faidah terus–menerus dan berkesinambungan. Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : من كل خلف artinya من كل جيل ( dari setiap generasi ). Sifat keseluruhan ini sesuai dengan maknanya secara sempurna. Maka, baik di zaman ini atau sebelumnya, pada setiap generasi umat ini, sejak dahulu dan sesudahnya, tidak pernah kosong dari orang yang menegakkan hujjah untuk Allah, orang yang menolong Allah k dengan bayyinah (keterangan), meninggikan tauhid dengan burhan (bukti). Maka tegaklah prinsip ini di atas pondasinya, tegak di atas hujjahnya, dan dikuatkan oleh sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
لَا يَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ وَ لَا مَن خَذَلَهُمْ اِلَى أَنْ تَقُوْمُ السّاََعَةُ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ
"Senantiasa ada segolongan dari umatku yang menegakkan kebenaran tidak mebahayakan mereka orang – orang yang menyelisihinya dan tidak pula orang –orang yang menghinakannya sampai terjadi kiyamat dan mereka tetap dalam keadaan demikian".
Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : لَا يَزَالُ ( Senantiasa ) juga memberi faidah terus – menerus. Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
اِلَى أَنْ تَقُوْمُ السّاََعَةُ
(sampai terjadi kiyamat ) menguatkan kepada faidah tersebut.
Di sini ada catatan, bahwa kata tha’ifah kadang – kadang diucapkan dengan makna jama’ah (sekelompok orang) dan kadang – kadang diucapkan dengan makna satu orang. Maka jumlah paling sedikit untuk tegaknya kebenaran yang agung, yaitu kebenaran yang dida’wahkan oleh ulama – ulama kita dan ditegakkan oleh pembesar – pembesar kita di dalam da’wahnya, adalah tidak kosongnya zaman dari satu orang ulama yang meninggikan kalimah Allah dan menegakkan kebenaran.
Wahai saudara – saudaraku fillah....
Sebagaimana dikatakan, ini adalah mukadimah yang harus ada, agar persoalannya dapat tercakup. Yang demikian itu seperti jalan yang sudah diratakan untuk kita masuki dengan suatu hal sedikit demi sedikit, berupa sebutan baik dan agung untuk ulama –ulama besar kita pada zaman dahulu hingga sekarang.
Andaikata kita mau menyebutkan secara tuntas, kita pasti memerlukan majlis yang panjang, bahkan beberapa majlis, bahkan berhari – hari, berbulan – bulan, dan bertahun – tahun. Tetapi, mukaddimah di atas adalah petikan yang kami harapkan bisa memberikan penerangan. Walaupun saya tidak bisa mengatakan sudah cukup dan tidak pula mengatakan sudah terpenuhi. Hal itu agar dapat menerangi pikiran, sehingga kita terpacu membahas dan memperhatikan riwayat hidup para ulama yang akan kita pilih sebagiannya untuk dibicarakan. Sebab kalau tidak demikian, bila kita menghendaki untuk menyebutkan secara keseluruhan, pasti hal itu akan menjadi luas tidak terbatas dan menjadi banyak tidak terhitung. Tetapi kita akan membicarakankan dalam waktu yang pendek ini beberapa petikan singkat yang berkaitan dengan ulama – ulama da’wah salafiyah semenjak dahulu hingga sekarang atau beberapa ulamanya yang memiliki posisi dan pengaruh di dalam da’wah yang penuh berkah ini.
Kita tidak ingin memulai dari kalangan sahabat, karena mereka pondasi pertama dalam da’wah tersebut. Tetapi kami ingin memulai dengan ulama yang mengalami pertentangan pada masanya, dan kebenaran tidak diketahui kecuali dengan lawannya sebagaimana yang dikatakan oleh pensyair:
الضِّدُ يُظْهِرُ حُسْنَهُ ضِدُّهُ - وَبِضِدِّهَا تَتَمَيّزُ الْأَشْيَاءُ
Sesuatu itu dinampakkan kebaikannya oleh lawannya
Dengan lawan sesuatu akan menjadi jelas
IMAM BESAR AHMAD BIN HAMBAL
-Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatinya-.
Dia hidup pada masa bergelombangnya aqidah yang rusak dan bergeraknya pendapat yang tidak bermanfaat. Dia menghadapi keadaan tersebut dengan kokoh, kuat dan teguh, sehingga jatuh dalam kesusahan ujian dan fitnah. Tetapi tetap sabar dan teguh, walaupun disiksa dalam fitnah khalqil Qur’an (fitnah aqidah yang menyatakan Al-Qur’an adalah makhluk). Beliau dituntut agar diam dari lawannya, bukan meninggalkan kebenaran. Dia tidak peduli, maka disiksa, dipenjara, diikat, dan diusir. Dia hadapi semua itu dengan tabah, karena di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ringan karena di dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika datang sebagian sahabatnya berkata kepadanya : “Wahai Abu Abdillah, andaikata engkau diam saja (maka engkau tidak disiksa)!”. Dia berkata : “Apabila saya diam dan kamu diam, maka siapakah yang akan mengajari orang yang bodoh dan kapan akan mengajari orang yang bodoh ?”.
Ini adalah salah satu alamat dan pintu da'wah. Kesabaran dan keteguhan ini menjadi contoh dan teladan bagi kita dari imam kita. Mereka berhak mendapatkannya. Semoga Allah memberi rahmat kepada mereka setelah meninggal dunia. Menjaga mereka untuk kita, ketika mereka masih hidup. Allah meninggikan nama mereka, karena kesabaran, keimanan, dan amanahnya, serta mereka menegakkan kebenaran dengan laranganNya dan perintahNya.
Pribadi Imam Ahmad juga mempengaruhi Imam Abul Hasan Al-Asy’ari. Pada zaman ini banyak orang menisbatkan kepadanya, bahkan sejak dahulu. Dia mengatakan di dalam kitabnya, “Maqalat Islamiyyin wa Ikhtilaf Mushallin”, setelah menyebut aqidah Ahlus Sunnah Ashabul Hadits : “Ini semuanya adalah aqidah Imam Ahmad bin Hambal. Saya berjalan di atas jalannya, dan mengikuti serta menyeru aqidahnya”. Atau seperti apa yang dia katakan.
Disini kami menngingatkan suatu hal, yaitu banyak orang-orang khusus maupun orang-orang umum menisbatkan dirinya kepada Abu Hasan Al-Asy’ari, tetapi penisbatannya tidak benar. Meskipun mereka menisbatkan kepada namanya, tetapi kenyataannya tidak menisbatkan kepadanya, baik dalam aqidah maupun manhajnya.
Imam Abul Hasan, dahulu penganut paham Mu’tazilah. Kemudian sebagaimana dalam kisah yang masyhur, dia berdiri di atas mimbar di hadapan banyak manusia lalu melepas bajunya dan berkata : “Aku bersaksi kepada Allah, kemudian bersaksi kepada kalian bahwasanya saya melepas paham Mu’tazilah dari diriku, sebagaimana saya melepas bajuku ini”. Ini juga merupakan tanda kejujuran kepada Allah, kejujuran kepada manusia, dan kejujuran kepada diri sendiri dalam mentaati Allah.
Tetapi suatu hal yang sudah jelas wahai saudara-saudara fillah, kembali dari sesuatu tidak cukup dalam sehari semalam. Keberhasilan sesudah kotor, tidak seperti selembar kertas yang disobek dari buku atau perkataan yang ditinggalkan. Pasti masih terdapat pengaruh-pengaruh kotorannya. Dalam meninggalkan paham Mu’tazilah atau setelah meninggalkan paham Mu’tazilah, Imam Abul Hasan Al-Asy’ari belum terlepas dari sisa-sisa yang masih melekat pada dirinya.
Setelah itu, dalam kitabnya “Al-Ibanah fi Ushulid Diyanah”, dan dalam kitabnya “Maqalat” yang sudah saya isyaratkan tadi, juga dalam kitabnya “Risalah ila Ahli Tsaghar”, nampak keadaannya secara jelas dan terang. Bahkan dia menjelaskan secara terang, tanpa ada kesamaran, bahwa dia diatas aqidah Salafiyah.
Memang banyak orang dari kalangan Asy’ariyah yang menisbatkan kepada Abul Hasan. Mereka itu tidak berada pada jalan Mu’tazilahnya yang pertama, tetapi juga tidak pada jalan Salafiyahnya yang terakhir. Mereka berada pada tingkatan kedua, bukan dari Mu’tazilah dan bukan dari Sunnah. Tetapi jalan yang bercampur di dalamnya antara amal shalih dan amal buruk. Padahal tidak boleh menisbatkan kepada Abul hasan dalam hal yang sudah ditinggalkannya. Mereka itu menyelisihi Abu Hasan dan menyelisihi aqidah Salaf, yang dia telah menyatakan untuk mengikuti dan tetap di atas aqidah tersebut.
Inilah, wahai saudaraku, Imam Ahmad dalam petikan yang sangat sedikit tentang sikap dan keteguhannya. Dia adalah ulama besar sepanjang sejarah dakwah ini pada abad-abad pertama.
SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH RAHIMAHULLAH
-Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatinya-
Adapun pada abad-abad pertengahan, (sebagaimana yang sudah saya katakan), dalam waktu yang singkat ini saya tidak bisa menyebutkan setiap ulama untuk setiap abad. Saya hanya akan menyebutkan orang-orang yang memiliki tanda-tanda yang menonjol.
Kami menyebutkan pada abad-abad pertengahan, pada abad ke delapan, Syaikhul Islam, seorang ulama besar, seorang imam, Abul Abbas, Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam, Ibnu Taimiyah, An-Numairi, Ad-Dimasyki, Al-Harani –semoga Allah memberi rahmat kepadanya-. Beliau telah menulis kitab-kitab, menyusun tulisan-tulisan, menempatkan kaidah-kaidah, dan menjawab masalah-masalah.
Demi Allah, demi Allah dan demi Allah hampir saya bersumpah secara khusus, bahwasanya tidak ada syubhat yang kamu hadapi di masa-masa ini. Setelah delapan abad dari kematian Imam ini, wahai saudaraku yang mendapatkan taufik, di dalam masalah aqidah dan agama yang termasuk masalah-masalah ahli bid’ah lalu kamu mencarinya di dalam kitab-kitabnya, kamu teliti di dalam tulisan-tulisannya dan risalah-risalahnya, atau fatwa-fatwa dan jawaban-jawabannya, maka kamu akan mendapatkan jawabannya. Jika kamu tidak mendapatkannya, maka hal itu disebabkan ketidak mampuan dalam mencarinya, bukan karena Ibnu Taimiyah tidak menyebutkan jawaban. Masalah ini saya harapkan agar dipahami secara baik. Sehingga nampak kemampuan Imam ini, kekuatan ilmunya, keluasan akalnya, kegeniusan otaknya –semoga Allah memberi rahmat kepadanya-.
Apabila kamu ingin tahu kedudukan Ibnu Taimiyyah, maka ketahuilah bahwa Ibnul Qayyim adalah muridnya. Apabila kamu ingin tahu ukuran kegeniusan yang diberikan oleh Allah kepada Ibnu Taimiyah, maka ketahuilah bahwa Imam Ibnu Katsir termasuk muridnya. Daftar nama-nama muridnya akan menjadi panjang dengan menyebutkan : Al-Mizzi, Ibnu Rajab, Ibnu Abdul Hadi, yang termasuk murid-muridnya atau murid-murid sahabat-sahabatnya dari kalangan imam-imam besar yang memenuhi sejarah Islam. Saya tidak hanya mengatakan, mereka memenuhi perpustakaan Islam saja. Bahkan mereka memenuhi sejarah Islam dengan kesungguhan, perjuangan, ilmu, akhlaq, adab, tingkah laku mereka dan banyak lagi hal-hal lainnya.
Imam Ibnu Taimiyah juga pada masanya, dia hidup pada masa bergelombangnya fitnah-fitnah dan tersebarnya ujian-ujian. Mulai fitnah Tartar sampai fitnah Rawafidh, juga fitnah tersebarnya madzhab Asy’ariyah yang menyimpang dan lain-lainnya. Dia turun di setiap medan bagai tentara berkuda yang besar dengan membawa pedang, pena, dan mata lembing. Dia menulis, berjihad, dan membela. Dia diperdaya, dimusuhi, dan bersabar. Hingga pada suatu saat dia mendapat kehormatan dari sebagian sulthan (penguasa). Sulthan tersebut datang kepada Ibnu Taimiyah dengan membawa musuh-musuhnya yang memfitnah tentang dirinya, memenjara, menyakiti, mengusir dan mendzaliminya. Sulthan berkata kepadanya : “Apa yang akan kamu lakukan kepada mereka ?” Dia menjawab : “Saya memberi maaf kepada mereka”. Maka mereka kagum kepadanya. Mereka berkata : “Wahai Ibnu Taimiyah, kami mendzalimimu dan kamu mampu untuk membalasnya, tetapi kamu memberikan maaf?” Dia menjawab : “Ini adalah akhlak orang-orang beriman”. Memang, akhlak ini tidak dimilki kecuali oleh orang-orang istimewa saja. Yaitu, kamu memberi maaf, padahal kamu pada posisi yang tinggi, terlebih-lebih setelah banyak didzalimi oleh orang yang diberi maaf. Oleh karena itu, apabila kita membaca sejarah, kita tidak mendengar seorang yang namanya Bakri dan Akhna’i kecuali karena Ibnu Taimiyah telah membantah keduanya. Nama Ibnu Taimiyah selalu naik dan melambung sebagaimana firman Allah.
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
“Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?” [Alam Nashrah : 4]
Imam Ibnul Qayyim berkata tentang ayat ini : “Sesungguuhnya setiap orang yang menolong sunnah, meninggikan sunnah dan mendukung Ahlus Sunnah, dia mendapatkan bagian dari firman Allah “Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?” [Alam Nashrah : 4] Setiap orang yang merusak sunnah dan menentang Ahlus Sunnah, dia mendapatkan bagian dari firman Alllah.
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأَبْتَرُ
“Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus” [Al-Kautsar : 3]
Mereka (musuh-musuh sunnah) itu terputus. Sedangkan mereka (penolong-penolong sunnah) mendapatkan pertolongan dan derajat ketinggian.
Lihatlah anjuran dan jihad Ibnu Taimiyah terhadap bangsa Tartar dalam peperangan Syaqhab. Ada orang yang berkata : “Sesungguhnya kami pasti akan menang!”. Maka Ibnu Taimiyah berkata kepadanya : “Katakanlah insya Allah!”. Dia berkata : “Saya mengatakan insya Allah sebagai perwujudan bukan penundaan”. Karena dia percaya kepada pertolongan Allah. Merasa tenang dengan taufik dari Allah, dan bertawakal kepada Allah, maka Allah mencukupinya.
Inilah Ibnu Taimiyah. Dia telah menulis bantahan kepada Asy’ariyah dan Mutakallimin (ahli filsafat) dalam kitab-kitab yang besar. Diantaranya, kitab bantahan kepada Fakhruddin Ar-Razi yang telah membangun madzhabnya yang menyimpang dalam sebuah kitab, yang dinamakan dengan At-Ta’sis. Ibnu Taimiyah menulis bantahan kepadanya sebanyak 4 jilid. Kitab yang dibantah tersebut sekitar kurang lebih seratus halaman. Dibantah oleh Ibnu Taimiyah dengan kitab sebanyak 4 jilid. Berisi tentang penjelasan kesesatan Jahmiyah dan pembongkaran dasar-dasar bid’ah halamiyah (filsafat). Kitab tersebut, dua jilid besar telah dicetak dan selebihnya insya Allah akan dicetak dalam waktu dekat.
Dia juga menulis bantahan kepada Al-Amidi, Al-Ghazali, dan lain-lainnya dalam sebuah kitab yang besar sekali yang diberi nama “ Dar’u Ta’arudil Aql wan Naql”. Kitab tersebut punya nama lain. Kedua nama tersebut adalah nama satu kitab. Sebagian orang menyangka dua nama kitab itu untuk dua kitab. Yaitu kitab “Muwafaqatu Shahihil Manqul li Shahihi Ma’qul” yang di tulis untuk membantah kelompok di atas.
Dia juga menulis bantahan kepada kelompok Syi’ah yang buruk, dengan sebuah kitab yag diberi nama “Minhajus Sunnah Nabawiyah fi Naqdi Kalamisy Syi’atil Qadariyah” Dia menulis 10 jilid sebagai bantahan kepada salah satu pembesar mereka yang bernama Al-Muthahhar Al-Hilli atas kitabnya yang berjudul Minhajul Karomah. Dia membantahnya dalam 10 jilid.
Kelompok Syi’ah sudah dikenal sebagai musuh bebuyutan. Mereka selalu mencari kesalahan apa saja yang dilihatnya, kecuali Ibnu Taimiyah. Bahkan sampai sekarang mereka tidak bisa membantah dan menjawab hujjah-hujjah dan dalil-dalilnya. Oleh karena itu kamu melihat mereka diam, membisu, tidak mau berbicara. Kitab tersebut masih tetap dicetak, diterbitkan, bahkan diterjemahkan dan dipelajari. Di hadapan kitab tersebut tidak bisa bergerak. Inilah Ibnu Taimiyah, seorang imam yang merupakan ulama terbesar bagi da’wah yang agung dan penuh berkah ini.
Dengan melihat sejarah dan riwayat hidupnya, akan didapatkan banyak hal tentang Ibnu Taimiyah. Tetapi yang terlintas secara khusus dalam diri adalah suatu hal, yaitu bahwa Ibnu Taimiyah meninggal dunia di dalam penjara karena tipu daya dan di fitnah oleh musuh-musuhnya di hadapan Sulthan (penguasa). Meskipun demikian, ahli sejarah mengatakan tatkala Ibnu Taimiyah meninggal dunia di dalam penjara dan dikeluarkan jenazahnya, maka semua penduduk Damaskus keluar, kecuali empat orang karena takut. Bila mereka keluar akan dibunuh oleh orang-orang. Penduduk Damaskus semuanya keluar kepada jenazahnya. Oleh karena itu perkataan yang masyhur dari Imam Besar Ahmad bin Hambal adalah : “Katakanlah kepada ahlul bid’ah perjanjian antara kami dan kalian adalah hari jenazah”.
Kalau kita melihat muridnya, Imam Ibnul Qayyim (yang saya katakan) dan saya berharap tidak berlebih-lebihan : “Dia adalah murid terbaik dari ulama terbaik sepanjang abad”. Dia memahami prinsip-prinsip dakwah Ibnu Taimiyah. Mengolah kaidah-kaidahnya, kenyang dari semua sisi-sisinya, menimba dari semua sumber-sumbernya, dan melebihi syaikhnya dalam sesuatu yang tidak dicapai oleh syaikhnya, yaitu keindahan tutur katanya dalam menerangkan.
Tetapi saya ingin mengoreksi kepada diri saya dengan mengatakan, bahwa kita tidak mendapatkan perkataan Ibnu Taimiyah yang indah dalam karangannya, sebagaimana kita mendapatkan pada Ibnul Qayyim. Bukan berarti Ibnu Taimiyah tidak memiliki kemampuan yang sempurna dari sekedar membuat karangan dan melebihi Ibnul Qayyim. Tetapi karena kemampuannya atau kehidupannya penuh dengan cobaan. Beliau tidak memiliki waktu dan kesabaran yang cukup untuk menyusun makna-makna dan kata-kata sebagaimana yang dimiliki oleh muridnya Ibnul Qayyim. Ini adalah masalah yang sangat penting untuk dicermati.
Diantara hal-hal yang berkaitan dengan Ibnu Taimiyah, saya akan menyebutkan suatu yang penting. Bahwa Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah memiliki perkataan yang indah, yang dia terapkan sendiri pada dirinya, dan disebarkan oleh murid-murid beliau. Sampai sekarang kita mengulang-ulanginya, karena perkataan itu diambil dari firman Allah. Perkataan itu adalah.
بِالصَّبْرِ وَ الْيَقِيْنِ تُنَالُ اْلإِمَامَةُ فِي الدِّيْنِ
“Dengan kesabaran dan keyakinan, keimanan dalam agama dicapai”
Perkataan ini dibenarkan oleh firman Allah.
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِئَايَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami” [As-Sajdah : 24]
Inilah Ibnu Taimiyah, seorang ulama yang sangat masyhur dalam dakwah mentauhidkan Allah Azza wa Jalla.
MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB
-Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatinya-
Beliau hidup tiga abad yang lampau. Pada saat dunia dipenuhi syirik, bid’ah dan kesesatan. Orang-orang bertawajjuh (menghadapkan wajah mereka) kepada selain Allah, kepada wali-wali Allah, berdo’a dan beristighatsah kepada selain Allah, meminta pertolongan kepada selain Allah. Mereka menggantungkan hati kepada pohon, batu, kain-kain, pakaian-pakaian, dan peninggalan-peninggalan (yang dikeramatkan). Mereka mencari berkah dari semua hal di atas.
Maka imam ini melaksanakan apa yang Allah ilhamkan kepadanya, dan apa yang Allah telah ilhamkan kepada imam lainnya, Amir yang bersamanya. Sehingga bersatulah ilmu dan jihad, pena dan tombak. Keduanya saling menguatkan dan saling menolong untuk membela tauhid dan aqidah yang lurus. Beliau berdakwah menuju Allah Ta’ala dan menuju tauhid yang murni. Membuang bid’ah dan khurafat, membantah syirik dan muhdatsat (perkara baru dalam agama), dengan kekuatan yang Allah berikan kepada beliau. Terjadilah berbagai bantahan, perdebatan dan disukusi diantara beliau dengan musuh-musuh dakwah al-haq di zaman beliau. Beliau mendapatkan kemenangan yang nyata, dan kalimat beliau muncul. Allah meninggikan namanya, karena beliau telah meninggikan Sunnah dan Tauhid.
Beliau juga menyusun kitab-kitab yang mengagumkan, bagus, dan setiap rumah wajib memiliki kitab-kitab tersebut. Seorang tholabul ilmi –juga orang awam- jangan sampai tidak memilikinya, seperti kitab Tauhid Alladzi Haqqullahi Alal Abid (Tauhid Merupakan Haq Allah Atas Para HambaNya). Kitab ini, kitab yang diberkahi, mudah bahasanya, indah penjelasannya, kuat ungkapannya. Yang ada hanyalah firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau sebutkkan faidah-faidah yang dapat dipetik dari ayat-ayat atau dari hadits-hadits.
Sebagian ulama menyebutkan kisah yang mengandung pelajaran berkenan dengan kitab ini dan penulisnya. Ada seseorang diantara penduduk Afrika. Disana tersebar pemikiran Sufi yang menyelisihi kitab Allah dan sunnah Nabi. Dia (seorang Afrika) berkata : “Ada seorang syaikh, di antara syaikh Thariqah Sufi. Setiap selesai melakukan shalat, dia mengangkat tangannya dan mendo’akan kecelakaan untuk Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Dia memohon kepada Allah, agar Allah menimpakan kerburukan kepadanya …dan seterusnya”. Do’a yang menjadikan bergidik hati orang-orang yang bertauhid. Seorang Afrika tadi berkata : “Suatu kali aku mendatanginya, aku membawa kitab tauhid, tetapi aku melepaskan sampulnya dan aku buang judulnya. Aku menemuinya, duduk bersamanya, dan mulai mengobrol. Dia (syaikh Sufi) berkata kepadaku : ‘Kitab apa ini ?’. Aku jawab : ‘Kitab yang berisi ayat dan hadits, ditulis oleh seorang ulama’. Dia berkata : ‘Bolehkah aku membacanya?’. Maka seolah-olah aku berharap agar dia tambah meminta dan penasaran. Aku lalu memberikannya, dan berkata : “Tetapi aku ingin engkau meringkaskan kitab ini untukku, karena aku tidaklah seperti anda, seorang alim yang agung, sehingga aku mendapatkan manfaat”. Maka besoknya dia kembali, lalu syaikh itu mengatakan : “Kitab ini sangat bagus, kitab ini menjelaskan berdasarkan ayat dan hadits, bahwa kita berada di atas kesesatan, kebodohan, dan penyimpangan. Didalamnya hanya ada firman Allah dan sabda Rasul. Siapakah yang menyusunnya ?” Dia menjawab : “Inilah penyusunnya, orang yang selalu engkau do’akan kecelakaan pada waktu malam dan siang”. Maka syaikh itu bertaubat kepada Allah saat itu juga. Dahulu dia selalu mendo’akan kecelakaan untuknya, kemudian dia lalu mendo’akan kebaikan untuknya. Inilah Imam Muhammad bin Abdul Wahhab.
Dakwahnya yang diberkahi terus berlanjut, juga riwayat beliau yang semerbak wangi. Sampai sekarang, keturunan beliau masih meninggikan bendera Sunnah, membela manhaj yang haq, semampu mereka. Kita mohon kepada Allah Ta’ala agar merahmati di antara mereka yang sudah wafat, dan menjaga dengan kebenaran di antara mereka yang masih hidup.
Saudara-saudaraku, membahas secara sempurna tentang imam ini, karyanya, risalahnya, jawabannya, dan hidupnya, sangat luas. Akan tetapi -yang kami sampaikan ini– adalah inti yang menyinari untuk mendorong kita dengan cepat guna memahami riwayat imam-imam kita dan berita-berita pembesar kita.
Pada zaman ini banyak ulama dan pembela dakwah. Alhamdulillah, karena dakwah ini membawa banyak kebaikan, keutamaan yang berlimpah. Cahayanya menyebar ke seluruh dunia. Di Afrika, Asia, Amerika, Eropa dan disegala tempat kita lihat muwahhidin (orang-orang yang bertauhid). Kita lihat Ahlus Sunnah yang baik, para da’i Salafi. Mereka tidaklah disatukan oleh hizb (kelompok), diorganisasi oleh thariqah, atau harakah. Akan tetapi mereka disatukan oleh tauhidullah. Maka tauhidullah, dan kalimat tauhid merupakan asas tauhidul kalimat (persatuan). Setiap kita menjauhi kalimat tauhid, kita menjauhi tauhidul kalimat.
Pada zaman ini, mulai abad ini, terdapat ulama-ulama pembela dakwah yang diberkahi. Di antara mereka, yang pertama adalah Imam Allamah Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’alimi Al-Yamani, kemudian Allamah Mahmud Syakir Al-Mishri, juga para saudara dan kawan mereka, Abdurrahman Al-Wakil, Abdurrahman Hamzah, Muhammad Khalil Harras.
Sampai perkara ini pada Syaikh Muhammad bin Ibrahim, beliau adalah salah satu keturunan Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, sampai kemudian muridnya Imam Allamah Al-Bashir Abu Abdullah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
Bersamanya juga ada saudaranya, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, imam, alamah, ustadz kami yang mulia, muhadits umat yang agung. Juga kawannya, saudaranya, temannya yang serupa dengannnya, imam, allamah, Abu Abdullah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ahli fikih yang teliti, memiliki pandangan yang dalam, yang diiringi taufik dan tahqiq. Aku katakan, bahwa beliau memiliki keistimewaan daripada seluruh ulama pada zaman ini semuanya. Dengan sesuatu yang Allah anugrahkan kepadanya, yang tidak diberikan kepada orang lain. Bahwa ceramahnya merupakan karya. Hampir semua pembicaraannya, syarahnya, pelajarannya, seolah-olah beliau memegangi penanya, buku tulisnya, dan menulis dengan susunan yang bagus, penggabungan, pembagian, dengan gaya yang istimewa, luar biasa. Alhamdulillah, mereka semua diatas satu jalan, yang cemerlang dan bersih, dalam membela sunnah Nabi. Meninggikan bendera aqidah Salafiyyah. Mereka berjihad dalam hal itu dengan sebenar-benarnya, membelanya di kalangan hamba Allah dan di berbagai negeri. Kemudian mereka wafat pada satu rangkaian. Mereka telah menyelesaikan kewajiban. Kita bersikap kurang jika kita berhenti dibelakang mereka, tidak melanjutkan dakwah mereka, tidak mencari kemenengan dengan manhaj mereka, dan tidak mengangkat bendera mereka. Kalau demikian jadilah musibah yang besar. Kita mohon perlindungan kepada Allah.
Dengan semua ini kita mendengar orang bodoh dari sana-sini mencela ulama kita. Engkau dengar salah seorang dari mereka mengatakan : “Ibnu Baz termasuk ulama penguasa”. Wahai miskin, apa yang kau inginkan terhadap beliau, seorang laki-laki yang ‘alim, zuhud, banyak beribadah! Apa yang beliau kehendaki dari dunia ini, -sedangkan beliau menganggap remeh dunia ini, merasa cukup dengan sedikit dunia- sampai beliau menjilat penguasa, dan menjadi ulama penguasa yang mengikuti hawa nafsu.
Engkau lihat salah seorang dari mereka mengatakan “Ibnu Utsaimin tidak memahami waqi (kenyataan/situasi dan kondisi)”. Wahai miskin, Ibnu Utsaimin adalah seorang alim, tegar bagaikan gunung, beliau mengetahui kaidah-kaidah ilmu. Seperti perkataan ulama : “Hukum (keputusan) terhadap sesuatu merupakan cabang dari persepsi (ilmu) terhadap sesuatu itu”. Apakah mungkin, beliau akan atau telah memutuskan hukuman terhadap sesuatu masalah, tanpa memahami waqi, tanpa melihat sisi-sisinya, dan tanpa meliputi detail-detailnya. Memang istilah “memahami waqi” yang dikehendaki oleh orang-orang bodoh itu adalah kondisi politik zaman ini, yang sumbernya hanyalah dari orang-orang kafir dan musuh-musuh Islam. Apakah karena imam ini (Syaikh Ibnu Utsaimin) dan saudara-saudaranya (para ulama lainnya) berada di atas kebenaran, yang berupa pengambilan sumber yang baik, pemikiran yang baik, pengambilan pelajaran yang baik dari berita-berita yang ada, lalu hal-hal itu berbalik menjadi tuduhan terhadap mereka (sebagaimana di atas ?). Kita mohon perlindungan kepada Allah Ta’ala.
Kemudian, ada orang ketiga dari golongan yang mencela ulama kita itu. Mungkin dia seorang yang bodoh, tolol, berakhlak buruk. Dia menuduh Syaikh Al-Albani, bahwa beliau Murji’ah. Demi Allah, demi Allah, demi Allah. Seandainya si bodoh ini hidup sepanjang waktunya, niscaya dia tidak mengetahui makna irja’ secara benar, makna yang tertolak, ataupun yang tidak tetolak. Demi Allah sesungguhnya zaman ini, Syaikh Al-Albani termasuk ulama yang pertama-tama membantah pemikiran, pendapat, kesesatan, dan penyimpangan Murji’ah. Bahkan beliau menyelisihi sebagian ulama yang menganggap perselisihan antara Ahlus Sunnah dengan para ahli fiqih Murji’ah sebagai perselisihan semu, (tidak sebenarnya). Syaikh Al-Albani menyatakan, perselisihan itu benar-benar ada, bukan hanya semu.
Bantahan-bantahan Syaikh Al-Albani terhadap Murji’ah tersebut telah berlalu 30 tahun lalu, bahkan lebih. Sedangkan orang yang membantah beliau, jika engkau Tanya umurnya, aku hampir pasti bahwa umurnya tidak lebih 40 tahun. Maka ketika Syaikh Al-Albani membantah Murji’ah, engkau –wahai miskin- (yang membantah beliau) sedang bermain-main bersama anak-anak di jalan-jalan. Saat itu engkau sedang membaca alif, ba’, di Taman Kanak-kanak !. Kemudian ketika wajahmu tumbuh sebagian rambut, tiba-tiba engkau mencela dengan kebodohanmu, bersikap kurang dengan akalmu, engkau katakan bahwa Syaikh Al-Albani Murji’. Ini adalah musibah yang hebat, dan dosa besar yang gelap. Kita memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala.
Tetapi ahlul haq selalu ditolong (oleh Allah). Bendera mereka berkibar, kalimat mereka tinggi, baik kita suka atau tidak. Jika kita tidak membela mereka, niscaya Allah akan membela dengan saudara-saudara kita, murid-murid kita, anak-anak kita, atau cucu-cucu kita.
Kebaikan itu terus berlanjut. Walaupun ketiga ulama besar tersebut telah wafat, (Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Al-Albani dan Syaikh Utsaimin,-pent) bukan berarti dakwah mereka juga berhenti. Karena sanad masih terus shahih (benar), seolah-olah mata rantai emas, seolah-olah mutiara yang dirangkaikan dengan kebenaran dan cahaya. Hendaklah kita lihat pada ahli ilmu dan sunnah yang mengiringi mereka. Hendaklah kita lihat Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh Hushain bin Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh. Mereka semua berada di atas jalan dan kaidah yang sama. Kalimat mereka satu, manhaj mereka satu, dan aqidah mereka satu. Walaupun nampak perkara-perkara yang disangka oleh sebagain orang sebagai perselisihan di antara mereka. Padahal itu bukanlah perselisihan, dan kalimat mereka akan menjadi satu. Baik dalam hakekat dan kenyataan, di dalam pandangan dan bentuk. Aku melihat hal itu dengan penuh keyakinan dan tawakkal kepada Allah, wahai saudara-saudaraku, sebagaimana anda sekalian melihat.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.
Maka hinalah orang-orang Hizbiyyun, orang-orang zhalim, dan orang-orang bodoh. Teruslah dakwah ini dengan karunianya, kebersihannya, keindahannya, dan kesempurnaannya. Semoga kita pantas menjadi para pengikutnya, dan para pengembannya. Setelah itu kita berharap menjadi para pembelanya. Aku memohon taufik dan ketetapan, petunjuk dan ketetapan, kepada Allah untuk diriku dan anda semua. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas hal itu. Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, sahabatnya semua. Akhir ucapan kami Alhamdulillahi Rabbil Alamin
Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa Muhammad hamba dan utusan-Nya.
Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah kalamullah; sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, seburuk–buruk perkara adalah perkara-perkara baru (tidak ada dasarnya di dalam agama). Setiap perkara baru adalah bid’ah. Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.
Amma ba’du :
Sesungguhnya keistimewaan terbesar yang dimiliki da’wah salafiyah yang penuh berkah ini adalah tegaknya da’wah tersebut di atas sunnah yang shahih. Dakwah ini tidak bersandar kepada hadits–hadits lemah dan palsu. Pada keadaan seperti itu, para penutut ilmu syar’i juga telah mengetahui secara jelas tentang pengertian hadits shahih dan syaratnya. Termasuk syaratnya terbesar adalah bersambungnya sanad dengan para perawi yang terpercaya. Ada juga syarat–syarat lain, yang sekarang kami tidak membicarakannya dan menyebutkannya. Karena termasuk syarat hadits shahih adalah bersambungnya sanad dengan para perawi yang terpercaya, maka syarat orang yang menisbatkan dirinya ke dalam da’wah salafiyah, dakwah yang berdiri tegak di atas hadits yang shahih, harus memiliki silsilah da’wah itu sendiri. Artinya dia harus mengambil manhajnya dari para masyayikh dan ulamanya yang terpercaya. Para masyayikhnya juga, adalah para ulama yang mengambil manhajnya dari para masyayikhnya. Dan begitu seterusnya. Orang yang datang kemudian mengambil dari orang yang sebelumnya. Seorang murid mengambil dari syaikhnya, anak mengambil dari ayah, cucu mengambil dari kakek, dengan sanad yang bersambung dengan orang-orang yang terpercaya dari kalangan para ulama besar dan tinggi. Meskipun bukan termasuk syarat majlis kita ini, membahas secara panjang lebar masalah ini hingga keluar dari topik pembicaraan majlis.
Hanya saja, di sini saya akan menyebutkan suatu hal yang penting, berkaitan dengan sekelompok orang yang masuk dari sana–sini, mengaku–aku bermanhaj salaf dan mengaku–aku menjalankan sunnah. Tetapi bila kamu periksa, perhatikan, dan teliti, kamu tidak mendapatkan silsilah yang shahih dari ahlul ilmi, yang dari mereka diambil masalah–masalah manhaj dan perkara–perkara aqidahnya. Di samping sanad mereka munqathi’ (terputus), bahkan mu’dhal ( terputus dua orang atau lebih secara berturut-turut), bahkan kadang–kadang mu’allaq mukhalkhal (terputus dari awal sanad seorang atau lebih).
Mengetahui masalah ini saja, sudah cukup untuk merobohkan pengakuan–pengakuan mereka, sudah cukup untuk menolak perbuatan mereka, serta menghancurkan persangkaan–persangkaan dan pemikiran–pemikiran mereka. Kita tidak perlu lagi banyak berdebat dan bicara. Saya berharap kepada saudara–saudaraku supaya memperhatikan masalah ini, merenungkan dengan seksama, dan memahami dengan sebaik–baiknya.
Memang da’wah kita berdiri di atas silsilah (mata-rantai) para ulama yang terpercaya, ulama yang datang kemudian mengambil dari ulama yang sebelumnya, dan ulama muta’akhir (belakang) mengambil dari ulama mutaqaddim (dahulu). Ini adalah bukti kebenaran sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam hadits yang dishahihkan oleh Imam besar Ahmad bin Hambal dan lain-lainnya bahwa nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفَوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِّيْنَ وَ انْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَ تِأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ
"Ilmu ini akan dibawa oleh orang – orang yang adil dari setiap generasi, mereka itu meniadakan perobahan orang-orang yang melampui batas, kedustaan orang – orang yang berbuat kebatilan, dan penta’wilan orang – orang bodoh".
Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَِ ; يَحْمِلُ adalah fi’il mudhari’ (kata kerja yang menunjukkan waktu sedang dan akan), memberikan faidah terus–menerus dan berkesinambungan. Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : من كل خلف artinya من كل جيل ( dari setiap generasi ). Sifat keseluruhan ini sesuai dengan maknanya secara sempurna. Maka, baik di zaman ini atau sebelumnya, pada setiap generasi umat ini, sejak dahulu dan sesudahnya, tidak pernah kosong dari orang yang menegakkan hujjah untuk Allah, orang yang menolong Allah k dengan bayyinah (keterangan), meninggikan tauhid dengan burhan (bukti). Maka tegaklah prinsip ini di atas pondasinya, tegak di atas hujjahnya, dan dikuatkan oleh sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
لَا يَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ وَ لَا مَن خَذَلَهُمْ اِلَى أَنْ تَقُوْمُ السّاََعَةُ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ
"Senantiasa ada segolongan dari umatku yang menegakkan kebenaran tidak mebahayakan mereka orang – orang yang menyelisihinya dan tidak pula orang –orang yang menghinakannya sampai terjadi kiyamat dan mereka tetap dalam keadaan demikian".
Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : لَا يَزَالُ ( Senantiasa ) juga memberi faidah terus – menerus. Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
اِلَى أَنْ تَقُوْمُ السّاََعَةُ
(sampai terjadi kiyamat ) menguatkan kepada faidah tersebut.
Di sini ada catatan, bahwa kata tha’ifah kadang – kadang diucapkan dengan makna jama’ah (sekelompok orang) dan kadang – kadang diucapkan dengan makna satu orang. Maka jumlah paling sedikit untuk tegaknya kebenaran yang agung, yaitu kebenaran yang dida’wahkan oleh ulama – ulama kita dan ditegakkan oleh pembesar – pembesar kita di dalam da’wahnya, adalah tidak kosongnya zaman dari satu orang ulama yang meninggikan kalimah Allah dan menegakkan kebenaran.
Wahai saudara – saudaraku fillah....
Sebagaimana dikatakan, ini adalah mukadimah yang harus ada, agar persoalannya dapat tercakup. Yang demikian itu seperti jalan yang sudah diratakan untuk kita masuki dengan suatu hal sedikit demi sedikit, berupa sebutan baik dan agung untuk ulama –ulama besar kita pada zaman dahulu hingga sekarang.
Andaikata kita mau menyebutkan secara tuntas, kita pasti memerlukan majlis yang panjang, bahkan beberapa majlis, bahkan berhari – hari, berbulan – bulan, dan bertahun – tahun. Tetapi, mukaddimah di atas adalah petikan yang kami harapkan bisa memberikan penerangan. Walaupun saya tidak bisa mengatakan sudah cukup dan tidak pula mengatakan sudah terpenuhi. Hal itu agar dapat menerangi pikiran, sehingga kita terpacu membahas dan memperhatikan riwayat hidup para ulama yang akan kita pilih sebagiannya untuk dibicarakan. Sebab kalau tidak demikian, bila kita menghendaki untuk menyebutkan secara keseluruhan, pasti hal itu akan menjadi luas tidak terbatas dan menjadi banyak tidak terhitung. Tetapi kita akan membicarakankan dalam waktu yang pendek ini beberapa petikan singkat yang berkaitan dengan ulama – ulama da’wah salafiyah semenjak dahulu hingga sekarang atau beberapa ulamanya yang memiliki posisi dan pengaruh di dalam da’wah yang penuh berkah ini.
Kita tidak ingin memulai dari kalangan sahabat, karena mereka pondasi pertama dalam da’wah tersebut. Tetapi kami ingin memulai dengan ulama yang mengalami pertentangan pada masanya, dan kebenaran tidak diketahui kecuali dengan lawannya sebagaimana yang dikatakan oleh pensyair:
الضِّدُ يُظْهِرُ حُسْنَهُ ضِدُّهُ - وَبِضِدِّهَا تَتَمَيّزُ الْأَشْيَاءُ
Sesuatu itu dinampakkan kebaikannya oleh lawannya
Dengan lawan sesuatu akan menjadi jelas
IMAM BESAR AHMAD BIN HAMBAL
-Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatinya-.
Dia hidup pada masa bergelombangnya aqidah yang rusak dan bergeraknya pendapat yang tidak bermanfaat. Dia menghadapi keadaan tersebut dengan kokoh, kuat dan teguh, sehingga jatuh dalam kesusahan ujian dan fitnah. Tetapi tetap sabar dan teguh, walaupun disiksa dalam fitnah khalqil Qur’an (fitnah aqidah yang menyatakan Al-Qur’an adalah makhluk). Beliau dituntut agar diam dari lawannya, bukan meninggalkan kebenaran. Dia tidak peduli, maka disiksa, dipenjara, diikat, dan diusir. Dia hadapi semua itu dengan tabah, karena di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ringan karena di dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika datang sebagian sahabatnya berkata kepadanya : “Wahai Abu Abdillah, andaikata engkau diam saja (maka engkau tidak disiksa)!”. Dia berkata : “Apabila saya diam dan kamu diam, maka siapakah yang akan mengajari orang yang bodoh dan kapan akan mengajari orang yang bodoh ?”.
Ini adalah salah satu alamat dan pintu da'wah. Kesabaran dan keteguhan ini menjadi contoh dan teladan bagi kita dari imam kita. Mereka berhak mendapatkannya. Semoga Allah memberi rahmat kepada mereka setelah meninggal dunia. Menjaga mereka untuk kita, ketika mereka masih hidup. Allah meninggikan nama mereka, karena kesabaran, keimanan, dan amanahnya, serta mereka menegakkan kebenaran dengan laranganNya dan perintahNya.
Pribadi Imam Ahmad juga mempengaruhi Imam Abul Hasan Al-Asy’ari. Pada zaman ini banyak orang menisbatkan kepadanya, bahkan sejak dahulu. Dia mengatakan di dalam kitabnya, “Maqalat Islamiyyin wa Ikhtilaf Mushallin”, setelah menyebut aqidah Ahlus Sunnah Ashabul Hadits : “Ini semuanya adalah aqidah Imam Ahmad bin Hambal. Saya berjalan di atas jalannya, dan mengikuti serta menyeru aqidahnya”. Atau seperti apa yang dia katakan.
Disini kami menngingatkan suatu hal, yaitu banyak orang-orang khusus maupun orang-orang umum menisbatkan dirinya kepada Abu Hasan Al-Asy’ari, tetapi penisbatannya tidak benar. Meskipun mereka menisbatkan kepada namanya, tetapi kenyataannya tidak menisbatkan kepadanya, baik dalam aqidah maupun manhajnya.
Imam Abul Hasan, dahulu penganut paham Mu’tazilah. Kemudian sebagaimana dalam kisah yang masyhur, dia berdiri di atas mimbar di hadapan banyak manusia lalu melepas bajunya dan berkata : “Aku bersaksi kepada Allah, kemudian bersaksi kepada kalian bahwasanya saya melepas paham Mu’tazilah dari diriku, sebagaimana saya melepas bajuku ini”. Ini juga merupakan tanda kejujuran kepada Allah, kejujuran kepada manusia, dan kejujuran kepada diri sendiri dalam mentaati Allah.
Tetapi suatu hal yang sudah jelas wahai saudara-saudara fillah, kembali dari sesuatu tidak cukup dalam sehari semalam. Keberhasilan sesudah kotor, tidak seperti selembar kertas yang disobek dari buku atau perkataan yang ditinggalkan. Pasti masih terdapat pengaruh-pengaruh kotorannya. Dalam meninggalkan paham Mu’tazilah atau setelah meninggalkan paham Mu’tazilah, Imam Abul Hasan Al-Asy’ari belum terlepas dari sisa-sisa yang masih melekat pada dirinya.
Setelah itu, dalam kitabnya “Al-Ibanah fi Ushulid Diyanah”, dan dalam kitabnya “Maqalat” yang sudah saya isyaratkan tadi, juga dalam kitabnya “Risalah ila Ahli Tsaghar”, nampak keadaannya secara jelas dan terang. Bahkan dia menjelaskan secara terang, tanpa ada kesamaran, bahwa dia diatas aqidah Salafiyah.
Memang banyak orang dari kalangan Asy’ariyah yang menisbatkan kepada Abul Hasan. Mereka itu tidak berada pada jalan Mu’tazilahnya yang pertama, tetapi juga tidak pada jalan Salafiyahnya yang terakhir. Mereka berada pada tingkatan kedua, bukan dari Mu’tazilah dan bukan dari Sunnah. Tetapi jalan yang bercampur di dalamnya antara amal shalih dan amal buruk. Padahal tidak boleh menisbatkan kepada Abul hasan dalam hal yang sudah ditinggalkannya. Mereka itu menyelisihi Abu Hasan dan menyelisihi aqidah Salaf, yang dia telah menyatakan untuk mengikuti dan tetap di atas aqidah tersebut.
Inilah, wahai saudaraku, Imam Ahmad dalam petikan yang sangat sedikit tentang sikap dan keteguhannya. Dia adalah ulama besar sepanjang sejarah dakwah ini pada abad-abad pertama.
SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH RAHIMAHULLAH
-Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatinya-
Adapun pada abad-abad pertengahan, (sebagaimana yang sudah saya katakan), dalam waktu yang singkat ini saya tidak bisa menyebutkan setiap ulama untuk setiap abad. Saya hanya akan menyebutkan orang-orang yang memiliki tanda-tanda yang menonjol.
Kami menyebutkan pada abad-abad pertengahan, pada abad ke delapan, Syaikhul Islam, seorang ulama besar, seorang imam, Abul Abbas, Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam, Ibnu Taimiyah, An-Numairi, Ad-Dimasyki, Al-Harani –semoga Allah memberi rahmat kepadanya-. Beliau telah menulis kitab-kitab, menyusun tulisan-tulisan, menempatkan kaidah-kaidah, dan menjawab masalah-masalah.
Demi Allah, demi Allah dan demi Allah hampir saya bersumpah secara khusus, bahwasanya tidak ada syubhat yang kamu hadapi di masa-masa ini. Setelah delapan abad dari kematian Imam ini, wahai saudaraku yang mendapatkan taufik, di dalam masalah aqidah dan agama yang termasuk masalah-masalah ahli bid’ah lalu kamu mencarinya di dalam kitab-kitabnya, kamu teliti di dalam tulisan-tulisannya dan risalah-risalahnya, atau fatwa-fatwa dan jawaban-jawabannya, maka kamu akan mendapatkan jawabannya. Jika kamu tidak mendapatkannya, maka hal itu disebabkan ketidak mampuan dalam mencarinya, bukan karena Ibnu Taimiyah tidak menyebutkan jawaban. Masalah ini saya harapkan agar dipahami secara baik. Sehingga nampak kemampuan Imam ini, kekuatan ilmunya, keluasan akalnya, kegeniusan otaknya –semoga Allah memberi rahmat kepadanya-.
Apabila kamu ingin tahu kedudukan Ibnu Taimiyyah, maka ketahuilah bahwa Ibnul Qayyim adalah muridnya. Apabila kamu ingin tahu ukuran kegeniusan yang diberikan oleh Allah kepada Ibnu Taimiyah, maka ketahuilah bahwa Imam Ibnu Katsir termasuk muridnya. Daftar nama-nama muridnya akan menjadi panjang dengan menyebutkan : Al-Mizzi, Ibnu Rajab, Ibnu Abdul Hadi, yang termasuk murid-muridnya atau murid-murid sahabat-sahabatnya dari kalangan imam-imam besar yang memenuhi sejarah Islam. Saya tidak hanya mengatakan, mereka memenuhi perpustakaan Islam saja. Bahkan mereka memenuhi sejarah Islam dengan kesungguhan, perjuangan, ilmu, akhlaq, adab, tingkah laku mereka dan banyak lagi hal-hal lainnya.
Imam Ibnu Taimiyah juga pada masanya, dia hidup pada masa bergelombangnya fitnah-fitnah dan tersebarnya ujian-ujian. Mulai fitnah Tartar sampai fitnah Rawafidh, juga fitnah tersebarnya madzhab Asy’ariyah yang menyimpang dan lain-lainnya. Dia turun di setiap medan bagai tentara berkuda yang besar dengan membawa pedang, pena, dan mata lembing. Dia menulis, berjihad, dan membela. Dia diperdaya, dimusuhi, dan bersabar. Hingga pada suatu saat dia mendapat kehormatan dari sebagian sulthan (penguasa). Sulthan tersebut datang kepada Ibnu Taimiyah dengan membawa musuh-musuhnya yang memfitnah tentang dirinya, memenjara, menyakiti, mengusir dan mendzaliminya. Sulthan berkata kepadanya : “Apa yang akan kamu lakukan kepada mereka ?” Dia menjawab : “Saya memberi maaf kepada mereka”. Maka mereka kagum kepadanya. Mereka berkata : “Wahai Ibnu Taimiyah, kami mendzalimimu dan kamu mampu untuk membalasnya, tetapi kamu memberikan maaf?” Dia menjawab : “Ini adalah akhlak orang-orang beriman”. Memang, akhlak ini tidak dimilki kecuali oleh orang-orang istimewa saja. Yaitu, kamu memberi maaf, padahal kamu pada posisi yang tinggi, terlebih-lebih setelah banyak didzalimi oleh orang yang diberi maaf. Oleh karena itu, apabila kita membaca sejarah, kita tidak mendengar seorang yang namanya Bakri dan Akhna’i kecuali karena Ibnu Taimiyah telah membantah keduanya. Nama Ibnu Taimiyah selalu naik dan melambung sebagaimana firman Allah.
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
“Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?” [Alam Nashrah : 4]
Imam Ibnul Qayyim berkata tentang ayat ini : “Sesungguuhnya setiap orang yang menolong sunnah, meninggikan sunnah dan mendukung Ahlus Sunnah, dia mendapatkan bagian dari firman Allah “Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?” [Alam Nashrah : 4] Setiap orang yang merusak sunnah dan menentang Ahlus Sunnah, dia mendapatkan bagian dari firman Alllah.
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأَبْتَرُ
“Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu, dialah yang terputus” [Al-Kautsar : 3]
Mereka (musuh-musuh sunnah) itu terputus. Sedangkan mereka (penolong-penolong sunnah) mendapatkan pertolongan dan derajat ketinggian.
Lihatlah anjuran dan jihad Ibnu Taimiyah terhadap bangsa Tartar dalam peperangan Syaqhab. Ada orang yang berkata : “Sesungguhnya kami pasti akan menang!”. Maka Ibnu Taimiyah berkata kepadanya : “Katakanlah insya Allah!”. Dia berkata : “Saya mengatakan insya Allah sebagai perwujudan bukan penundaan”. Karena dia percaya kepada pertolongan Allah. Merasa tenang dengan taufik dari Allah, dan bertawakal kepada Allah, maka Allah mencukupinya.
Inilah Ibnu Taimiyah. Dia telah menulis bantahan kepada Asy’ariyah dan Mutakallimin (ahli filsafat) dalam kitab-kitab yang besar. Diantaranya, kitab bantahan kepada Fakhruddin Ar-Razi yang telah membangun madzhabnya yang menyimpang dalam sebuah kitab, yang dinamakan dengan At-Ta’sis. Ibnu Taimiyah menulis bantahan kepadanya sebanyak 4 jilid. Kitab yang dibantah tersebut sekitar kurang lebih seratus halaman. Dibantah oleh Ibnu Taimiyah dengan kitab sebanyak 4 jilid. Berisi tentang penjelasan kesesatan Jahmiyah dan pembongkaran dasar-dasar bid’ah halamiyah (filsafat). Kitab tersebut, dua jilid besar telah dicetak dan selebihnya insya Allah akan dicetak dalam waktu dekat.
Dia juga menulis bantahan kepada Al-Amidi, Al-Ghazali, dan lain-lainnya dalam sebuah kitab yang besar sekali yang diberi nama “ Dar’u Ta’arudil Aql wan Naql”. Kitab tersebut punya nama lain. Kedua nama tersebut adalah nama satu kitab. Sebagian orang menyangka dua nama kitab itu untuk dua kitab. Yaitu kitab “Muwafaqatu Shahihil Manqul li Shahihi Ma’qul” yang di tulis untuk membantah kelompok di atas.
Dia juga menulis bantahan kepada kelompok Syi’ah yang buruk, dengan sebuah kitab yag diberi nama “Minhajus Sunnah Nabawiyah fi Naqdi Kalamisy Syi’atil Qadariyah” Dia menulis 10 jilid sebagai bantahan kepada salah satu pembesar mereka yang bernama Al-Muthahhar Al-Hilli atas kitabnya yang berjudul Minhajul Karomah. Dia membantahnya dalam 10 jilid.
Kelompok Syi’ah sudah dikenal sebagai musuh bebuyutan. Mereka selalu mencari kesalahan apa saja yang dilihatnya, kecuali Ibnu Taimiyah. Bahkan sampai sekarang mereka tidak bisa membantah dan menjawab hujjah-hujjah dan dalil-dalilnya. Oleh karena itu kamu melihat mereka diam, membisu, tidak mau berbicara. Kitab tersebut masih tetap dicetak, diterbitkan, bahkan diterjemahkan dan dipelajari. Di hadapan kitab tersebut tidak bisa bergerak. Inilah Ibnu Taimiyah, seorang imam yang merupakan ulama terbesar bagi da’wah yang agung dan penuh berkah ini.
Dengan melihat sejarah dan riwayat hidupnya, akan didapatkan banyak hal tentang Ibnu Taimiyah. Tetapi yang terlintas secara khusus dalam diri adalah suatu hal, yaitu bahwa Ibnu Taimiyah meninggal dunia di dalam penjara karena tipu daya dan di fitnah oleh musuh-musuhnya di hadapan Sulthan (penguasa). Meskipun demikian, ahli sejarah mengatakan tatkala Ibnu Taimiyah meninggal dunia di dalam penjara dan dikeluarkan jenazahnya, maka semua penduduk Damaskus keluar, kecuali empat orang karena takut. Bila mereka keluar akan dibunuh oleh orang-orang. Penduduk Damaskus semuanya keluar kepada jenazahnya. Oleh karena itu perkataan yang masyhur dari Imam Besar Ahmad bin Hambal adalah : “Katakanlah kepada ahlul bid’ah perjanjian antara kami dan kalian adalah hari jenazah”.
Kalau kita melihat muridnya, Imam Ibnul Qayyim (yang saya katakan) dan saya berharap tidak berlebih-lebihan : “Dia adalah murid terbaik dari ulama terbaik sepanjang abad”. Dia memahami prinsip-prinsip dakwah Ibnu Taimiyah. Mengolah kaidah-kaidahnya, kenyang dari semua sisi-sisinya, menimba dari semua sumber-sumbernya, dan melebihi syaikhnya dalam sesuatu yang tidak dicapai oleh syaikhnya, yaitu keindahan tutur katanya dalam menerangkan.
Tetapi saya ingin mengoreksi kepada diri saya dengan mengatakan, bahwa kita tidak mendapatkan perkataan Ibnu Taimiyah yang indah dalam karangannya, sebagaimana kita mendapatkan pada Ibnul Qayyim. Bukan berarti Ibnu Taimiyah tidak memiliki kemampuan yang sempurna dari sekedar membuat karangan dan melebihi Ibnul Qayyim. Tetapi karena kemampuannya atau kehidupannya penuh dengan cobaan. Beliau tidak memiliki waktu dan kesabaran yang cukup untuk menyusun makna-makna dan kata-kata sebagaimana yang dimiliki oleh muridnya Ibnul Qayyim. Ini adalah masalah yang sangat penting untuk dicermati.
Diantara hal-hal yang berkaitan dengan Ibnu Taimiyah, saya akan menyebutkan suatu yang penting. Bahwa Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah memiliki perkataan yang indah, yang dia terapkan sendiri pada dirinya, dan disebarkan oleh murid-murid beliau. Sampai sekarang kita mengulang-ulanginya, karena perkataan itu diambil dari firman Allah. Perkataan itu adalah.
بِالصَّبْرِ وَ الْيَقِيْنِ تُنَالُ اْلإِمَامَةُ فِي الدِّيْنِ
“Dengan kesabaran dan keyakinan, keimanan dalam agama dicapai”
Perkataan ini dibenarkan oleh firman Allah.
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِئَايَاتِنَا يُوقِنُونَ
“Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami” [As-Sajdah : 24]
Inilah Ibnu Taimiyah, seorang ulama yang sangat masyhur dalam dakwah mentauhidkan Allah Azza wa Jalla.
MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB
-Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatinya-
Beliau hidup tiga abad yang lampau. Pada saat dunia dipenuhi syirik, bid’ah dan kesesatan. Orang-orang bertawajjuh (menghadapkan wajah mereka) kepada selain Allah, kepada wali-wali Allah, berdo’a dan beristighatsah kepada selain Allah, meminta pertolongan kepada selain Allah. Mereka menggantungkan hati kepada pohon, batu, kain-kain, pakaian-pakaian, dan peninggalan-peninggalan (yang dikeramatkan). Mereka mencari berkah dari semua hal di atas.
Maka imam ini melaksanakan apa yang Allah ilhamkan kepadanya, dan apa yang Allah telah ilhamkan kepada imam lainnya, Amir yang bersamanya. Sehingga bersatulah ilmu dan jihad, pena dan tombak. Keduanya saling menguatkan dan saling menolong untuk membela tauhid dan aqidah yang lurus. Beliau berdakwah menuju Allah Ta’ala dan menuju tauhid yang murni. Membuang bid’ah dan khurafat, membantah syirik dan muhdatsat (perkara baru dalam agama), dengan kekuatan yang Allah berikan kepada beliau. Terjadilah berbagai bantahan, perdebatan dan disukusi diantara beliau dengan musuh-musuh dakwah al-haq di zaman beliau. Beliau mendapatkan kemenangan yang nyata, dan kalimat beliau muncul. Allah meninggikan namanya, karena beliau telah meninggikan Sunnah dan Tauhid.
Beliau juga menyusun kitab-kitab yang mengagumkan, bagus, dan setiap rumah wajib memiliki kitab-kitab tersebut. Seorang tholabul ilmi –juga orang awam- jangan sampai tidak memilikinya, seperti kitab Tauhid Alladzi Haqqullahi Alal Abid (Tauhid Merupakan Haq Allah Atas Para HambaNya). Kitab ini, kitab yang diberkahi, mudah bahasanya, indah penjelasannya, kuat ungkapannya. Yang ada hanyalah firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau sebutkkan faidah-faidah yang dapat dipetik dari ayat-ayat atau dari hadits-hadits.
Sebagian ulama menyebutkan kisah yang mengandung pelajaran berkenan dengan kitab ini dan penulisnya. Ada seseorang diantara penduduk Afrika. Disana tersebar pemikiran Sufi yang menyelisihi kitab Allah dan sunnah Nabi. Dia (seorang Afrika) berkata : “Ada seorang syaikh, di antara syaikh Thariqah Sufi. Setiap selesai melakukan shalat, dia mengangkat tangannya dan mendo’akan kecelakaan untuk Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Dia memohon kepada Allah, agar Allah menimpakan kerburukan kepadanya …dan seterusnya”. Do’a yang menjadikan bergidik hati orang-orang yang bertauhid. Seorang Afrika tadi berkata : “Suatu kali aku mendatanginya, aku membawa kitab tauhid, tetapi aku melepaskan sampulnya dan aku buang judulnya. Aku menemuinya, duduk bersamanya, dan mulai mengobrol. Dia (syaikh Sufi) berkata kepadaku : ‘Kitab apa ini ?’. Aku jawab : ‘Kitab yang berisi ayat dan hadits, ditulis oleh seorang ulama’. Dia berkata : ‘Bolehkah aku membacanya?’. Maka seolah-olah aku berharap agar dia tambah meminta dan penasaran. Aku lalu memberikannya, dan berkata : “Tetapi aku ingin engkau meringkaskan kitab ini untukku, karena aku tidaklah seperti anda, seorang alim yang agung, sehingga aku mendapatkan manfaat”. Maka besoknya dia kembali, lalu syaikh itu mengatakan : “Kitab ini sangat bagus, kitab ini menjelaskan berdasarkan ayat dan hadits, bahwa kita berada di atas kesesatan, kebodohan, dan penyimpangan. Didalamnya hanya ada firman Allah dan sabda Rasul. Siapakah yang menyusunnya ?” Dia menjawab : “Inilah penyusunnya, orang yang selalu engkau do’akan kecelakaan pada waktu malam dan siang”. Maka syaikh itu bertaubat kepada Allah saat itu juga. Dahulu dia selalu mendo’akan kecelakaan untuknya, kemudian dia lalu mendo’akan kebaikan untuknya. Inilah Imam Muhammad bin Abdul Wahhab.
Dakwahnya yang diberkahi terus berlanjut, juga riwayat beliau yang semerbak wangi. Sampai sekarang, keturunan beliau masih meninggikan bendera Sunnah, membela manhaj yang haq, semampu mereka. Kita mohon kepada Allah Ta’ala agar merahmati di antara mereka yang sudah wafat, dan menjaga dengan kebenaran di antara mereka yang masih hidup.
Saudara-saudaraku, membahas secara sempurna tentang imam ini, karyanya, risalahnya, jawabannya, dan hidupnya, sangat luas. Akan tetapi -yang kami sampaikan ini– adalah inti yang menyinari untuk mendorong kita dengan cepat guna memahami riwayat imam-imam kita dan berita-berita pembesar kita.
Pada zaman ini banyak ulama dan pembela dakwah. Alhamdulillah, karena dakwah ini membawa banyak kebaikan, keutamaan yang berlimpah. Cahayanya menyebar ke seluruh dunia. Di Afrika, Asia, Amerika, Eropa dan disegala tempat kita lihat muwahhidin (orang-orang yang bertauhid). Kita lihat Ahlus Sunnah yang baik, para da’i Salafi. Mereka tidaklah disatukan oleh hizb (kelompok), diorganisasi oleh thariqah, atau harakah. Akan tetapi mereka disatukan oleh tauhidullah. Maka tauhidullah, dan kalimat tauhid merupakan asas tauhidul kalimat (persatuan). Setiap kita menjauhi kalimat tauhid, kita menjauhi tauhidul kalimat.
Pada zaman ini, mulai abad ini, terdapat ulama-ulama pembela dakwah yang diberkahi. Di antara mereka, yang pertama adalah Imam Allamah Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’alimi Al-Yamani, kemudian Allamah Mahmud Syakir Al-Mishri, juga para saudara dan kawan mereka, Abdurrahman Al-Wakil, Abdurrahman Hamzah, Muhammad Khalil Harras.
Sampai perkara ini pada Syaikh Muhammad bin Ibrahim, beliau adalah salah satu keturunan Imam Muhammad bin Abdul Wahhab, sampai kemudian muridnya Imam Allamah Al-Bashir Abu Abdullah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
Bersamanya juga ada saudaranya, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, imam, alamah, ustadz kami yang mulia, muhadits umat yang agung. Juga kawannya, saudaranya, temannya yang serupa dengannnya, imam, allamah, Abu Abdullah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ahli fikih yang teliti, memiliki pandangan yang dalam, yang diiringi taufik dan tahqiq. Aku katakan, bahwa beliau memiliki keistimewaan daripada seluruh ulama pada zaman ini semuanya. Dengan sesuatu yang Allah anugrahkan kepadanya, yang tidak diberikan kepada orang lain. Bahwa ceramahnya merupakan karya. Hampir semua pembicaraannya, syarahnya, pelajarannya, seolah-olah beliau memegangi penanya, buku tulisnya, dan menulis dengan susunan yang bagus, penggabungan, pembagian, dengan gaya yang istimewa, luar biasa. Alhamdulillah, mereka semua diatas satu jalan, yang cemerlang dan bersih, dalam membela sunnah Nabi. Meninggikan bendera aqidah Salafiyyah. Mereka berjihad dalam hal itu dengan sebenar-benarnya, membelanya di kalangan hamba Allah dan di berbagai negeri. Kemudian mereka wafat pada satu rangkaian. Mereka telah menyelesaikan kewajiban. Kita bersikap kurang jika kita berhenti dibelakang mereka, tidak melanjutkan dakwah mereka, tidak mencari kemenengan dengan manhaj mereka, dan tidak mengangkat bendera mereka. Kalau demikian jadilah musibah yang besar. Kita mohon perlindungan kepada Allah.
Dengan semua ini kita mendengar orang bodoh dari sana-sini mencela ulama kita. Engkau dengar salah seorang dari mereka mengatakan : “Ibnu Baz termasuk ulama penguasa”. Wahai miskin, apa yang kau inginkan terhadap beliau, seorang laki-laki yang ‘alim, zuhud, banyak beribadah! Apa yang beliau kehendaki dari dunia ini, -sedangkan beliau menganggap remeh dunia ini, merasa cukup dengan sedikit dunia- sampai beliau menjilat penguasa, dan menjadi ulama penguasa yang mengikuti hawa nafsu.
Engkau lihat salah seorang dari mereka mengatakan “Ibnu Utsaimin tidak memahami waqi (kenyataan/situasi dan kondisi)”. Wahai miskin, Ibnu Utsaimin adalah seorang alim, tegar bagaikan gunung, beliau mengetahui kaidah-kaidah ilmu. Seperti perkataan ulama : “Hukum (keputusan) terhadap sesuatu merupakan cabang dari persepsi (ilmu) terhadap sesuatu itu”. Apakah mungkin, beliau akan atau telah memutuskan hukuman terhadap sesuatu masalah, tanpa memahami waqi, tanpa melihat sisi-sisinya, dan tanpa meliputi detail-detailnya. Memang istilah “memahami waqi” yang dikehendaki oleh orang-orang bodoh itu adalah kondisi politik zaman ini, yang sumbernya hanyalah dari orang-orang kafir dan musuh-musuh Islam. Apakah karena imam ini (Syaikh Ibnu Utsaimin) dan saudara-saudaranya (para ulama lainnya) berada di atas kebenaran, yang berupa pengambilan sumber yang baik, pemikiran yang baik, pengambilan pelajaran yang baik dari berita-berita yang ada, lalu hal-hal itu berbalik menjadi tuduhan terhadap mereka (sebagaimana di atas ?). Kita mohon perlindungan kepada Allah Ta’ala.
Kemudian, ada orang ketiga dari golongan yang mencela ulama kita itu. Mungkin dia seorang yang bodoh, tolol, berakhlak buruk. Dia menuduh Syaikh Al-Albani, bahwa beliau Murji’ah. Demi Allah, demi Allah, demi Allah. Seandainya si bodoh ini hidup sepanjang waktunya, niscaya dia tidak mengetahui makna irja’ secara benar, makna yang tertolak, ataupun yang tidak tetolak. Demi Allah sesungguhnya zaman ini, Syaikh Al-Albani termasuk ulama yang pertama-tama membantah pemikiran, pendapat, kesesatan, dan penyimpangan Murji’ah. Bahkan beliau menyelisihi sebagian ulama yang menganggap perselisihan antara Ahlus Sunnah dengan para ahli fiqih Murji’ah sebagai perselisihan semu, (tidak sebenarnya). Syaikh Al-Albani menyatakan, perselisihan itu benar-benar ada, bukan hanya semu.
Bantahan-bantahan Syaikh Al-Albani terhadap Murji’ah tersebut telah berlalu 30 tahun lalu, bahkan lebih. Sedangkan orang yang membantah beliau, jika engkau Tanya umurnya, aku hampir pasti bahwa umurnya tidak lebih 40 tahun. Maka ketika Syaikh Al-Albani membantah Murji’ah, engkau –wahai miskin- (yang membantah beliau) sedang bermain-main bersama anak-anak di jalan-jalan. Saat itu engkau sedang membaca alif, ba’, di Taman Kanak-kanak !. Kemudian ketika wajahmu tumbuh sebagian rambut, tiba-tiba engkau mencela dengan kebodohanmu, bersikap kurang dengan akalmu, engkau katakan bahwa Syaikh Al-Albani Murji’. Ini adalah musibah yang hebat, dan dosa besar yang gelap. Kita memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala.
Tetapi ahlul haq selalu ditolong (oleh Allah). Bendera mereka berkibar, kalimat mereka tinggi, baik kita suka atau tidak. Jika kita tidak membela mereka, niscaya Allah akan membela dengan saudara-saudara kita, murid-murid kita, anak-anak kita, atau cucu-cucu kita.
Kebaikan itu terus berlanjut. Walaupun ketiga ulama besar tersebut telah wafat, (Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Al-Albani dan Syaikh Utsaimin,-pent) bukan berarti dakwah mereka juga berhenti. Karena sanad masih terus shahih (benar), seolah-olah mata rantai emas, seolah-olah mutiara yang dirangkaikan dengan kebenaran dan cahaya. Hendaklah kita lihat pada ahli ilmu dan sunnah yang mengiringi mereka. Hendaklah kita lihat Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh Hushain bin Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh. Mereka semua berada di atas jalan dan kaidah yang sama. Kalimat mereka satu, manhaj mereka satu, dan aqidah mereka satu. Walaupun nampak perkara-perkara yang disangka oleh sebagain orang sebagai perselisihan di antara mereka. Padahal itu bukanlah perselisihan, dan kalimat mereka akan menjadi satu. Baik dalam hakekat dan kenyataan, di dalam pandangan dan bentuk. Aku melihat hal itu dengan penuh keyakinan dan tawakkal kepada Allah, wahai saudara-saudaraku, sebagaimana anda sekalian melihat.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.
Maka hinalah orang-orang Hizbiyyun, orang-orang zhalim, dan orang-orang bodoh. Teruslah dakwah ini dengan karunianya, kebersihannya, keindahannya, dan kesempurnaannya. Semoga kita pantas menjadi para pengikutnya, dan para pengembannya. Setelah itu kita berharap menjadi para pembelanya. Aku memohon taufik dan ketetapan, petunjuk dan ketetapan, kepada Allah untuk diriku dan anda semua. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas hal itu. Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, sahabatnya semua. Akhir ucapan kami Alhamdulillahi Rabbil Alamin
Kategori Aktual Orang Awam : Antara Taklid Dan Ijtihad
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.ORANG AWAM : ANTARA TAKLID DAN IJTIHAD
Membicarakan orang awam, maka tidak terlepas dari salah satu persoalan yang berhubungan dengan masalah taklid. Atau bagaimana cara melaksanakan dan memandang perkara-perkara keagamaan yang belum dipahami, sehingga memerlukan rujukan untuk mengetahui ilmunya.
Karena pada umumnya orang awam, memang kebanyakan tidak menguasai permasalahan. Kadang ada yang terlampau eksplosif melakukan aksi dalam bentuk perbincangan adu argumentasi, bahkan fisik ataupun aksi lainnya yang mungkin justeru menjauhkannya dari kaidah syariat.
Barangkali ada yang berdalih, bukankah setiap muslim mempunyai kewajiban yang sama untuk saling menyampaikan kebenaran? Pernyataan ini tidak keliru. Akan tetapi, hendaklah setiap muslim juga harus memahami terhadap kemampuan dan posisi dirinya. Apakah sebagai ulama, penguasa, qadhi, penuntut ilmu atau sebagai orang awam (rakyat biasa)? Sebab, masing-masing memiliki tugas, kewajiban dan kewenangan yang berbeda. Dan setiap amal perbuatan itu harus dilandasi dengan hujjah. Lantas bagaimana seseorang harus mengambil hujjah? Terlebih bagi seorang awam; bertaklid ataukah mendasarkan kepada ilmu ‘sebatas’ yang diketahuinya?
Berikut kami nukilkan dari kitab Ad Durratul Bahiyah Fi Taqlid Wal Madzhabiyah Min Kalamil Syeikhul Islam Ahmad Abdul Halim bin Taimiyah, yang disusun oleh Muhammad Syakir Asy Syarif, sehingga kita -sebagai orang awam- dapat memetik pelajaran, hubungannya dengan para ‘alim yang menguasai ilmu. Semoga bermanfaat. (Redaksi)
SIAPAKAH YANG DILARANG DAN DIPERBOLEHKAN BERTAKLID?
• Adapun seperti Malik, Asy Syafi’i, Sufyan, Ishak bin Rahaweh dan Abu ‘Ubaid, maka Imam Ahmad telah mengatakan di berbagai tempat, bahwa tidak dibolehkan bagi seorang yang ‘alim (yang mampu berdalil) bertaklid kepada mereka….Dan dia melarang ulama dari murid-muridnya seperti Abu Dawud, Utsman bin Sa’id, Ibrahim Al Harbi, Abu Bakar Al Atsram, Abu Zur’ah, Abu Hatim As Sajastani, Muslim dan lain-lainnya,”(Melarang) bertaklid kepada seseorang, pun di antara ulama.” Dan dia mengatakan,“Berpeganglah kalian dengan sumber Al Quran dan As Sunnah.“
• Sedangkan bagi seseorang yang mampu berijtihad, apakah boleh bertaklid? Tentang masalah ini terdapat khilaf. Pendapat yang benar ialah boleh bertaklid bila tidak mampu berijtihad yang dikarenakan takafu’ (adanya dalil yang memiliki derajat sama kuatnya), sempitnya waktu untuk berijtihad, atau tidak jelas dalilnya. Maka, tatkala ia tidak mampu; gugurlah yang menjadi kewajiban (berijtihad), sehingga dibolehkan untuk bertaklid.
• Bagi orang yang tidak mampu untuk mengetahui hukum Allah dan RasulNya, sehingga menyebabkannya mengikuti seseorang yang ahli ilmu agama, serta tidak mendapatkan pendapat yang lebih rajih dari pendapat orang tersebut, maka hal itu terpuji dan mendapatkan pahala. Tidak tercela dan tidak disiksa.
• Sedangkan pendapat jumhur umat ini ada yang memperbolehkan ijtihad ataupun taklid (secara umum). Mereka tidak mewajibkan ijtihad bagi setiap orang dan mengharamkan taklid. Tidak mewajibkan taklid untuk setiap orang dan mengharamkan ijtihad. Tetapi ijtihad diperbolehkan untuk yang mampu berijtihad. Serta taklid diperbolehkan untuk yang tidak mampu berijtihad.
• Menurut jumhur, bagi orang yang tidak mampu berijtihad diperbolehkan taklid kepada orang ‘alim.
SIAPAKAH YANG DIMINTAI FATWA OLEH ORANG AWAM?
• Apabila seorang muslim menghadapi suatu masalah (nazilah), maka dia menanyakan fatwa kepada orang (‘alim ) yang diyakini akan berfatwa sesuai dengan syari’at Allah dan RasulNya dari madzhab manapun.
• Bilamana dalam masalah-masalah yang sulit, memungkinkannya dapat mengetahui petunjuk dari Al Quran dan As Sunnah, maka wajib mengikutinya. Jika tidak memungkinkan, karena sempitnya waktu, tidak mampu mencarinya, dalilnya takafu’ -menurut pendapatnya-, atau sebab lainnya, maka ia boleh bertaklid kepada orang yang diridhai ilmu dan agamanya.
YANG TIDAK BOLEH DILANGGAR OLEH ORANG YANG BERTAKLID
• Barangsiapa yang bertaklid, maka ia harus menetapi hukum taklid. Tidak boleh merajihkan, meneliti, membenarkan, dan menyalahkan.
APABILA SESEORANG HARUS BERTAKLID, MAKA SIAPAKAH YANG HARUS DIIKUTI?
• Jika seseorang harus bertaklid, maka hendaknya bertaklid kepada orang yang dipandang lebih dekat dengan kebenaran.
DIPERBOLEHKAN MENGIKUTI MADZHAB TERTENTU APABILA TIDAK MAMPU MEMAHAMI SYARA’ (AGAMA), KECUALI DENGAN MENEMPUH CARA TERSEBUT
Diperbolehkan bagi seseorang mengikuti madzhab tertentu karena ketidakmampuannya dalam memahami agama, kecuali melalui madzhab tersebut. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi seseorang yang mampu memahami agama tanpa melalui cara tersebut. Dan setiap orang wajib bertakwa kepada Allah menurut kemampuannya. Berusaha mengetahui perintah Allah dan RasulNya. Kemudian mengerjakan perintah dan meninggalkan laranganNya. Wallhu ‘alam.
Dan barangsiapa mengetahui petunjuk tanpa dengan mengikuti syeikh tertentu, maka tidak perlu mengikuti kepada satu syeikh (tertentu) dan tidak disunatkan, bahkan dimakruhkan (dibenci).
Adapun jika tidak memungkinkan untuk beribadah kepada Allah yang bersesuaian dengan perintahNya, kecuali dengan cara mengikuti madzhab orang tertentu, seperti apabila bertempat-tinggal di lingkungan yang lemah pengenalannya kepada petunjuk, ilmu, dan iman; serta orang–orang yang mengajari dan mendidiknya tidak mau memberikan ilmu kecuali dengan menisbatkan kepada syeikh mereka, atau penisbatan kepada syeikhnya itu akan menambah agama dan ilmu, maka ia melakukan yang lebih maslahat untuk agamanya. Tetapi pada umumnya hal itu tidak terjadi, kecuali karena kelalaiannya (tidak mempelajari ilmu). Sebab kalau tidak demikian, andaikata ia mau mencari petunjuk sesuai dengan apa yang diperintahkan, pasti akan mendapatkannya. https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.
TETAPI TIDAK DIPERBOLEHKAN MEMBERIKAN PEMBELAAN DAN MEMUSUHI ATAS DASAR PENISBATAN KEPADA MADZHAB. BARANGSIAPA MELAKUKAN HAL ITU, MAKA IA TERMASUK AHLI BID’AH
• Di dalam Al Qur’an dan As Sunnah, tidak ada pembedakan diantara imam-imam mujtahidin, antara yang satu dengan seorang lainnya. Malik, Al Laits bin Sa’d, Al Auza’i, dan Ats Tsauri, adalah imam–imam pada zamannya, bertaklid kepada sebagian mereka seperti bertaklid kepada lainnya. Dan tidak ada seorang muslim yang mengatakan,“Sesungguhnya boleh bertaklid kepada imam ini dan tidak boleh kepada imam itu.”
• Orang yang beranggapan lebih kuat (tepat) bertaklid kepada Asy Syafi’i, tidak boleh mengingkari orang lain yang beranggapan lebih kuat bertaklid kepada Malik Dan orang yang beranggapan lebih tepat bertaklid kepada Ahmad, tidak boleh mengingkari orang yang beranggapan lebih tepat bertaklid kepada Asy Syafi’i dan seterusnya.
• Barangsiapa menjadikan seseorang untuk diikuti, sehingga ia membela dan memusuhi atas dasar kesesuaian dan tidaknya dengan orang tersebut, maka ia termasuk (dalam ayat, peny.).
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا . الآية
Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. [Ar Rum : 32].
Apabila seseorang itu belajar dan beradab sebagaimana cara orang-orang yang beriman, seperti mengikuti imam–imam dan syeikh-syeikh, maka tidak boleh menjadikan panutannya atau sahabat–sahabatnya menjadi ukuran. Membela orang yang menyetujuinya dan membenci orang yang menyelisihinya….(sesungguhnya) tidaklah boleh bagi siapapun untuk menyeru kepada perkataan atau meyakininya, berdasarkan perkataan sahabat–sahabatnya. Tidak boleh pula memerangi dengan dasar tersebut. Tetapi harus didasarkan kepada perintah atau berita Allah dan RasulNya, sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan RasulNya.
• Tidak boleh bagi siapapun menjadikan seseorang selain Nabi untuk diikuti umat, dia menyeru kepada jalannya serta mencintai dan membenci karenanya. Tidak boleh membuat perkataan selain perkataan Allah, perkataan RasulNya, dan Ijma’ umat untuk menjadi pegangan ummat, membela dan memusuhi karenanya. Termasuk perbuatan ahlu bid’ah, apabila menjadikan seseorang atau perkataannya untuk memecah belah umat, membela dan memusuhi atas dasar perkataan atau penisbatan kepada orang tersebut.
• Barangsiapa fanatik kepada seorang tertentu diantara imam-imam, tanpa fanatik kepada lainnya, maka ia seperti orang yang fanatik kepada salah seorang sahabat, tanpa fanatik kepada sahabat-sahabat lainnya. Seperti, seorang Rafidhi yang fanatik kepada Ali (tetapi) tidak kepada tiga khalifah lainnya dan mayoritas Sahabat. Atau Khawarij yang mencela Utsman dan Ali. Ini adalah cara–cara ahlu bid’ah dan pengikut hawa nafsu, yang telah ditetapkan di dalam Al Kitab dan As Sunnah sebagai orang-orang yang tercela. Mereka keluar dari syari'at dan jalan yang diperintahkan oleh Allah untuk diikuti melalui Rasulullah. Barangsiapa yang fanatik kepada salah seorang di antara imam-imam, maka ada kesamaan dengan mereka. Baik fanatik kepada Malik, Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad , dan lain-lain. Batas akhir orang yang fanatik kepada salah seorang di antara imam-imam adalah tidak mengetahui kemampuan imam yang diikutinya dan kemampuan imam-imam lain di dalam ilmu dan agama. Maka dia menjadi bodoh dan dzalim. Padahal Allah memerintah supaya berilmu dan berbuat adil, melarang kebodohan dan kedzaliman.
• Adapun penisbatan yang memecah-belah antara kaum muslimin, berarti keluar dari jamaah dan persatuan. Mereka menuju kepada perpecahan dan mengikuti jalan kebid’ahan, serta menyelisihi sunnah dan ittiba’. Hal ini merupakan perkara yang dilarang. Pelakunya berdosa dan keluar dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya .
DARURAT YANG MENYEBABKAN MENYELISIHI HUKUM ASHL (PRINSIP) TIDAK BOLEH DILAKUKAN SECARA TERUS-MENERUS, TETAPI WAJIB BERUSAHA UNTUK MENGHILANGKAN SEBAB-MUSABABNYA
Meskipun diperbolehkan mengangkat seseorang yang tidak memiliki keahlian karena darurat; tatkala orang tersebut yang paling baik diantara mereka, akan tetapi tetap wajib berusaha untuk memperbaiki keadaan sehingga terwujud kemaslahatan yang sempurna bagi umat berupa persoalan–persoalan kepemerintahan, pendelegasian dan lain–lain. Sebagaimana wajib bagi orang miskin untuk berusaha melunasi hutangnya. Meskipun saat itu tidak dituntut, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Sebagaimana wajib bersiaga berjihad dengan menyiapkan kekuatan dan kendaran pada waktu kalah akibat kelemahannya. Karena sesuatu yang melengkapi terlaksananya kewajiban, hukumnya wajib. Berbeda dengan kemampuan dalam berhaji dan sejenisnya. Hal itu tidak wajib diusahakan secara khusus karena kewajibannya tergantung kepada kemampuan itu sendiri. (Ibnu Ramli)
Membicarakan orang awam, maka tidak terlepas dari salah satu persoalan yang berhubungan dengan masalah taklid. Atau bagaimana cara melaksanakan dan memandang perkara-perkara keagamaan yang belum dipahami, sehingga memerlukan rujukan untuk mengetahui ilmunya.
Karena pada umumnya orang awam, memang kebanyakan tidak menguasai permasalahan. Kadang ada yang terlampau eksplosif melakukan aksi dalam bentuk perbincangan adu argumentasi, bahkan fisik ataupun aksi lainnya yang mungkin justeru menjauhkannya dari kaidah syariat.
Barangkali ada yang berdalih, bukankah setiap muslim mempunyai kewajiban yang sama untuk saling menyampaikan kebenaran? Pernyataan ini tidak keliru. Akan tetapi, hendaklah setiap muslim juga harus memahami terhadap kemampuan dan posisi dirinya. Apakah sebagai ulama, penguasa, qadhi, penuntut ilmu atau sebagai orang awam (rakyat biasa)? Sebab, masing-masing memiliki tugas, kewajiban dan kewenangan yang berbeda. Dan setiap amal perbuatan itu harus dilandasi dengan hujjah. Lantas bagaimana seseorang harus mengambil hujjah? Terlebih bagi seorang awam; bertaklid ataukah mendasarkan kepada ilmu ‘sebatas’ yang diketahuinya?
Berikut kami nukilkan dari kitab Ad Durratul Bahiyah Fi Taqlid Wal Madzhabiyah Min Kalamil Syeikhul Islam Ahmad Abdul Halim bin Taimiyah, yang disusun oleh Muhammad Syakir Asy Syarif, sehingga kita -sebagai orang awam- dapat memetik pelajaran, hubungannya dengan para ‘alim yang menguasai ilmu. Semoga bermanfaat. (Redaksi)
SIAPAKAH YANG DILARANG DAN DIPERBOLEHKAN BERTAKLID?
• Adapun seperti Malik, Asy Syafi’i, Sufyan, Ishak bin Rahaweh dan Abu ‘Ubaid, maka Imam Ahmad telah mengatakan di berbagai tempat, bahwa tidak dibolehkan bagi seorang yang ‘alim (yang mampu berdalil) bertaklid kepada mereka….Dan dia melarang ulama dari murid-muridnya seperti Abu Dawud, Utsman bin Sa’id, Ibrahim Al Harbi, Abu Bakar Al Atsram, Abu Zur’ah, Abu Hatim As Sajastani, Muslim dan lain-lainnya,”(Melarang) bertaklid kepada seseorang, pun di antara ulama.” Dan dia mengatakan,“Berpeganglah kalian dengan sumber Al Quran dan As Sunnah.“
• Sedangkan bagi seseorang yang mampu berijtihad, apakah boleh bertaklid? Tentang masalah ini terdapat khilaf. Pendapat yang benar ialah boleh bertaklid bila tidak mampu berijtihad yang dikarenakan takafu’ (adanya dalil yang memiliki derajat sama kuatnya), sempitnya waktu untuk berijtihad, atau tidak jelas dalilnya. Maka, tatkala ia tidak mampu; gugurlah yang menjadi kewajiban (berijtihad), sehingga dibolehkan untuk bertaklid.
• Bagi orang yang tidak mampu untuk mengetahui hukum Allah dan RasulNya, sehingga menyebabkannya mengikuti seseorang yang ahli ilmu agama, serta tidak mendapatkan pendapat yang lebih rajih dari pendapat orang tersebut, maka hal itu terpuji dan mendapatkan pahala. Tidak tercela dan tidak disiksa.
• Sedangkan pendapat jumhur umat ini ada yang memperbolehkan ijtihad ataupun taklid (secara umum). Mereka tidak mewajibkan ijtihad bagi setiap orang dan mengharamkan taklid. Tidak mewajibkan taklid untuk setiap orang dan mengharamkan ijtihad. Tetapi ijtihad diperbolehkan untuk yang mampu berijtihad. Serta taklid diperbolehkan untuk yang tidak mampu berijtihad.
• Menurut jumhur, bagi orang yang tidak mampu berijtihad diperbolehkan taklid kepada orang ‘alim.
SIAPAKAH YANG DIMINTAI FATWA OLEH ORANG AWAM?
• Apabila seorang muslim menghadapi suatu masalah (nazilah), maka dia menanyakan fatwa kepada orang (‘alim ) yang diyakini akan berfatwa sesuai dengan syari’at Allah dan RasulNya dari madzhab manapun.
• Bilamana dalam masalah-masalah yang sulit, memungkinkannya dapat mengetahui petunjuk dari Al Quran dan As Sunnah, maka wajib mengikutinya. Jika tidak memungkinkan, karena sempitnya waktu, tidak mampu mencarinya, dalilnya takafu’ -menurut pendapatnya-, atau sebab lainnya, maka ia boleh bertaklid kepada orang yang diridhai ilmu dan agamanya.
YANG TIDAK BOLEH DILANGGAR OLEH ORANG YANG BERTAKLID
• Barangsiapa yang bertaklid, maka ia harus menetapi hukum taklid. Tidak boleh merajihkan, meneliti, membenarkan, dan menyalahkan.
APABILA SESEORANG HARUS BERTAKLID, MAKA SIAPAKAH YANG HARUS DIIKUTI?
• Jika seseorang harus bertaklid, maka hendaknya bertaklid kepada orang yang dipandang lebih dekat dengan kebenaran.
DIPERBOLEHKAN MENGIKUTI MADZHAB TERTENTU APABILA TIDAK MAMPU MEMAHAMI SYARA’ (AGAMA), KECUALI DENGAN MENEMPUH CARA TERSEBUT
Diperbolehkan bagi seseorang mengikuti madzhab tertentu karena ketidakmampuannya dalam memahami agama, kecuali melalui madzhab tersebut. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi seseorang yang mampu memahami agama tanpa melalui cara tersebut. Dan setiap orang wajib bertakwa kepada Allah menurut kemampuannya. Berusaha mengetahui perintah Allah dan RasulNya. Kemudian mengerjakan perintah dan meninggalkan laranganNya. Wallhu ‘alam.
Dan barangsiapa mengetahui petunjuk tanpa dengan mengikuti syeikh tertentu, maka tidak perlu mengikuti kepada satu syeikh (tertentu) dan tidak disunatkan, bahkan dimakruhkan (dibenci).
Adapun jika tidak memungkinkan untuk beribadah kepada Allah yang bersesuaian dengan perintahNya, kecuali dengan cara mengikuti madzhab orang tertentu, seperti apabila bertempat-tinggal di lingkungan yang lemah pengenalannya kepada petunjuk, ilmu, dan iman; serta orang–orang yang mengajari dan mendidiknya tidak mau memberikan ilmu kecuali dengan menisbatkan kepada syeikh mereka, atau penisbatan kepada syeikhnya itu akan menambah agama dan ilmu, maka ia melakukan yang lebih maslahat untuk agamanya. Tetapi pada umumnya hal itu tidak terjadi, kecuali karena kelalaiannya (tidak mempelajari ilmu). Sebab kalau tidak demikian, andaikata ia mau mencari petunjuk sesuai dengan apa yang diperintahkan, pasti akan mendapatkannya. https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.
TETAPI TIDAK DIPERBOLEHKAN MEMBERIKAN PEMBELAAN DAN MEMUSUHI ATAS DASAR PENISBATAN KEPADA MADZHAB. BARANGSIAPA MELAKUKAN HAL ITU, MAKA IA TERMASUK AHLI BID’AH
• Di dalam Al Qur’an dan As Sunnah, tidak ada pembedakan diantara imam-imam mujtahidin, antara yang satu dengan seorang lainnya. Malik, Al Laits bin Sa’d, Al Auza’i, dan Ats Tsauri, adalah imam–imam pada zamannya, bertaklid kepada sebagian mereka seperti bertaklid kepada lainnya. Dan tidak ada seorang muslim yang mengatakan,“Sesungguhnya boleh bertaklid kepada imam ini dan tidak boleh kepada imam itu.”
• Orang yang beranggapan lebih kuat (tepat) bertaklid kepada Asy Syafi’i, tidak boleh mengingkari orang lain yang beranggapan lebih kuat bertaklid kepada Malik Dan orang yang beranggapan lebih tepat bertaklid kepada Ahmad, tidak boleh mengingkari orang yang beranggapan lebih tepat bertaklid kepada Asy Syafi’i dan seterusnya.
• Barangsiapa menjadikan seseorang untuk diikuti, sehingga ia membela dan memusuhi atas dasar kesesuaian dan tidaknya dengan orang tersebut, maka ia termasuk (dalam ayat, peny.).
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا . الآية
Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. [Ar Rum : 32].
Apabila seseorang itu belajar dan beradab sebagaimana cara orang-orang yang beriman, seperti mengikuti imam–imam dan syeikh-syeikh, maka tidak boleh menjadikan panutannya atau sahabat–sahabatnya menjadi ukuran. Membela orang yang menyetujuinya dan membenci orang yang menyelisihinya….(sesungguhnya) tidaklah boleh bagi siapapun untuk menyeru kepada perkataan atau meyakininya, berdasarkan perkataan sahabat–sahabatnya. Tidak boleh pula memerangi dengan dasar tersebut. Tetapi harus didasarkan kepada perintah atau berita Allah dan RasulNya, sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan RasulNya.
• Tidak boleh bagi siapapun menjadikan seseorang selain Nabi untuk diikuti umat, dia menyeru kepada jalannya serta mencintai dan membenci karenanya. Tidak boleh membuat perkataan selain perkataan Allah, perkataan RasulNya, dan Ijma’ umat untuk menjadi pegangan ummat, membela dan memusuhi karenanya. Termasuk perbuatan ahlu bid’ah, apabila menjadikan seseorang atau perkataannya untuk memecah belah umat, membela dan memusuhi atas dasar perkataan atau penisbatan kepada orang tersebut.
• Barangsiapa fanatik kepada seorang tertentu diantara imam-imam, tanpa fanatik kepada lainnya, maka ia seperti orang yang fanatik kepada salah seorang sahabat, tanpa fanatik kepada sahabat-sahabat lainnya. Seperti, seorang Rafidhi yang fanatik kepada Ali (tetapi) tidak kepada tiga khalifah lainnya dan mayoritas Sahabat. Atau Khawarij yang mencela Utsman dan Ali. Ini adalah cara–cara ahlu bid’ah dan pengikut hawa nafsu, yang telah ditetapkan di dalam Al Kitab dan As Sunnah sebagai orang-orang yang tercela. Mereka keluar dari syari'at dan jalan yang diperintahkan oleh Allah untuk diikuti melalui Rasulullah. Barangsiapa yang fanatik kepada salah seorang di antara imam-imam, maka ada kesamaan dengan mereka. Baik fanatik kepada Malik, Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad , dan lain-lain. Batas akhir orang yang fanatik kepada salah seorang di antara imam-imam adalah tidak mengetahui kemampuan imam yang diikutinya dan kemampuan imam-imam lain di dalam ilmu dan agama. Maka dia menjadi bodoh dan dzalim. Padahal Allah memerintah supaya berilmu dan berbuat adil, melarang kebodohan dan kedzaliman.
• Adapun penisbatan yang memecah-belah antara kaum muslimin, berarti keluar dari jamaah dan persatuan. Mereka menuju kepada perpecahan dan mengikuti jalan kebid’ahan, serta menyelisihi sunnah dan ittiba’. Hal ini merupakan perkara yang dilarang. Pelakunya berdosa dan keluar dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya .
DARURAT YANG MENYEBABKAN MENYELISIHI HUKUM ASHL (PRINSIP) TIDAK BOLEH DILAKUKAN SECARA TERUS-MENERUS, TETAPI WAJIB BERUSAHA UNTUK MENGHILANGKAN SEBAB-MUSABABNYA
Meskipun diperbolehkan mengangkat seseorang yang tidak memiliki keahlian karena darurat; tatkala orang tersebut yang paling baik diantara mereka, akan tetapi tetap wajib berusaha untuk memperbaiki keadaan sehingga terwujud kemaslahatan yang sempurna bagi umat berupa persoalan–persoalan kepemerintahan, pendelegasian dan lain–lain. Sebagaimana wajib bagi orang miskin untuk berusaha melunasi hutangnya. Meskipun saat itu tidak dituntut, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Sebagaimana wajib bersiaga berjihad dengan menyiapkan kekuatan dan kendaran pada waktu kalah akibat kelemahannya. Karena sesuatu yang melengkapi terlaksananya kewajiban, hukumnya wajib. Berbeda dengan kemampuan dalam berhaji dan sejenisnya. Hal itu tidak wajib diusahakan secara khusus karena kewajibannya tergantung kepada kemampuan itu sendiri. (Ibnu Ramli)
Langganan:
Postingan (Atom)