Konsep Kebahagiaan Dalam Islam
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, Kondisi
senantiasa bahagia dalam situasi apa pun, inilah. yang senantiasa
dikejar oleh manusia. Manusia ingin hidup bahagia. Hidup tenang,
tenteram, damai, dan sejahtera. Sebagian orang mengejar kebahagiaan
dengan bekerja keras untuk menghimpun harta. Dia menyangka bahwa pada
harta yang berlimpah itu terdapat kebahagaiaan. Ada yang mengejar
kebahagiaan pada tahta, pada kekuasaan. Beragam cara dia lakukan untuk
merebut kekuasaan. Sehab menurtnya kekuasaan identik dengan kebahagiaan
dan kenikmatan dalam kehidupan. Dengan kekuasaan sesrorang dapat berbuat
banyak. Orang sakit menyangka, bahagia terletak pada kesehatan. Orang
miskin menyangka, bahagia terletak pada harta kekayaan. Rakyat jelata
menyangka kebahagiaan terletak pada kekuasaan. Dan sangkaan-sangkaan
lain.
Lantas apakah yang disebut"bahagia' (sa'adah/happiness)?
Selama ribuan tahun, para pemikir telah sibuk membincangkan tentang
kebahagiaan. Kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan
bersitat kondisional. Kebahagiaan bersifat sangat temporal. Jika dia
sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka
hilanglah kebahagiaan. Maka. menurut pandangan ini tidak ada kebahagiaan
yang abadi dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya sesaat,
tergantung kondisi eksternal manusia. Inilah gambaran kondisi kejiwaan
masyarakat Barat sebagai: "Mereka senantiasa dalam keadaan mencari dan
mengejar kebahagiaan, tanpa merasa puas dan menetap dalam suatu keadaan.
Islam menyatakan bahwa "Kesejahteraan' dan "kebahagiaan" itu bukan
merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri
hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan hayali insan
yang hanva dapat dinikmati dalam alam fikiran belaka.
Keselahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan
hakikat terakhir yang mutlak yang dicari-cari itu — yakni: keyakinan
akan Hak Ta'ala — dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri
berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.'
Jadi,
kebahagiaan adalah kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan (iman)
dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa
bahagia dapat mempertahankan keimanannya meskipun dalam kondisi disiksa.
Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara
dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara.
Para sahabat nabi, rela meninggalkan kampung halamannya demi
mempertahankan iman. Mereka bahagia. Hidup dengan keyakinan dan
menjalankan keyakinan.
Dan apa saja yang diberikan
kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannva.
Sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Apakah
kamu tidak memahaminya?
Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan
pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai ma'rifatullah", telah
mengenal Allah SWT. Selanjutnya, al-Ghazali menyatakan:
"Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu bila kita rasakan nikmat,
kesenangan dan kelezatannya mara rasa itu ialah menurut perasaan
masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah,
kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala
anggota yang lain dan tubuh manusia.
Ada pun kelezatan hati
ialah ma'rifat kepada Allah, karena hati dijadikan tidak lain untuk
mengingat Tuhan. Seorang rakyat jelata akan sangat gembira kalau dia
dapat herkenalan dengan seorang pajabat tinggi atau menteri; kegembiraan
itu naik berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan yang lebih tinggi
lagi misalnya raja atau presiden.
Maka tentu saja berkenalan
dengan Allah, adalah puncak dari segala macam kegembiraan. Lebih dari
apa yang dapat dibayangkan oleh manusia, sebab tidak ada yang lebih
tinggi dari kemuliaan Allah. Dan oleh sebab itu tidak ada ma'rifat yang
lebih lezat daripada ma'rifatullah.
Ma'rifalullah adalah buah
dari ilmu. Ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan. bahwa
tiada Tuhan selain Allah" (Laa ilaaha illallah). Untuk itulah, untuk
dapat meraih kebahagiaan yang abadi, manusia wajib mengenal Allah.
Caranya, dengan mengenal ayat-ayat-Nya, baik ayat kauniyah maupun ayat
qauliyah.
Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan
manusia memperhatikan dan memikirkan tentang fenomana alam semesta,
termasuk memikirkan dirinya sendiri.
Disamping ayat-ayat
kauniyah. Allah SWT juga menurunkan ayat-ayat qauliyah, berupa wahyu
verbal kepada utusan-Nya yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena
itu, dalam QS Ali Imran 18-19, disebutkan, bahwa orang-orang yang
berilmu adalah orang-orang yang bersaksi bahwa "Tiada tuhan selain
Allah", dan bersakssi bahwa "Sesungguhnya ad-Din dalam pandangan Allah
SWT adalah Islam."
Inilah yang disebut ilmu yang mengantarkan
kepada peradaban dan kebahagiaan. Setiap lembaga pendidikan. khususnya
lembaga pendidikan Islam. harus mampu mengantarkan sivitas akademika-nya
menuju kepada tangga kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Kebahagiaan
yang sejati adalah yang terkait antara dunia dan akhirat.
Kriteria inilah yang harusnya dijadikan indikator utama, apakah suatu
program pendidikan (ta'dib) berhasil atau tidak. Keberhasilan pendidikan
dalam Islam bukan diukur dari berapa mahalnya uang hayaran sekolah;
berapa banyak yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri dan sebagainya.
Tetapi apakah pendidikan itu mampu melahirkan manusia-manusia yang
beradab yang mengenal Tuhannya dan beribadah kepada Penciptanya.
Manusia-manusia yang berilmu seperti inilah yang hidupnya hahagia dalam
keimanan dan keyakinan: yang hidupnya tidak terombang-ambing oleh
keadaan. Dalam kondisi apa pun hidupnya bahagia, karena dia mengenal
Allah, ridha dengan keputusanNya dan berusaha menyelaraskan hidupnya
dengan segala macam peraturan Allah yang diturunkan melalui utusan-Nya.
Karena itu kita paham, betapa berbahayanya paham relativisme kebenaran
yang ditaburkan oleh kaum liberal. Sebab, paham ini menggerus keyakinan
seseorang akan kebenaran. Keyakinan dan iman adalah harta yang sangat
mahal dalam hidup. Dengan keyakinan itulah, kata Igbal, seorang Ibrahim
a.s. rela menceburkan dirinya ke dalam api. Penyair besar Pakistan ini
lalu bertutur hilangnya keyakinan dalam diri seseorang. lebih buruk dari
suatu perbudakan.
Sebagai orang Muslim, kita tentu mendambakan
hidup bahagia semacarn itu; hidup dalam keyakinan: mulai dengan
mengenal Allah dan ridha, menerima keputusan-keputusan-Nva, serta ikhlas
menjalankan aturan-aturan-Nya. Kita mendambakan diri kita merasa
bahagia dalam menjalankan shalat, kita bahagia menunaikan zakat, kita
bahagia bersedekah, kita bahagia menolong orang lain, dan kita pun
bahagia menjalankan tugas amar ma'ruf nahi munkar.
Dalam kondisi apa pun. maka "senangkanlah hatimu!" Jangan pernah bersedih.
"Kalau engkau kaya. senangkanlah hatimu! Karena di hadapanmu terbentang
kesempatan untuk mengerjakan yang sulit-sulit melalui hartamu.
"Dan jika engkau fakir miskin, senangkan pulalah hatimu! Karena engkau
telah terlepas dari suatu penyakit jiwa, penyakit kesombongan yang
sering menimpa orang-orang kaya. Senangkanlah hatimu karena tak ada
orang yang akan hasad dan dengki kepadamu lagi, lantaran
kemiskinanmu..."
"Kalau engkau dilupakan orang, kurang masyhur,
senangkan pulalah hatimu! Karena lidah tidak banyak yang mencelamu,
mulut tak banyak mencacimu..."https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Mudah-mudahan. Allah mengaruniai
kita ilmu yang mengantarkan kita pada sebuah keyakinan dan kebahagiaan
abadi, dunia dan akhirat. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar