JANGAN BIARKAN HATI ANDA MENDERITA HASAD.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,BAHAYA HASAD
Hasad (dengki) merupakan penyakit hati yang berbahaya bagi manusia,
karena penyakit ini menyerang hati si penderita dan meracuninya; membuat
dia benci terhadap kenikmatan yang telah diperoleh oleh saudaranya, dan
merasa senang jika kenikmatan tersebut musnah dari tangan saudaranya.
Pada hakikatnya, penyakit ini mengakibatkan si penderita tidak ridha
dengan qadha’ dan qadar Allah Azza wa Jalla , sebagaimana perkataan
Ibnul Qayyim rahimahullah ,”Sesungguhnya hakikat hasad adalah bagian
dari sikap menentang Allah Azza wa Jalla , karena ia (membuat si
penderita) benci kepada nikmat Allah Azza wa Jalla atas hamba-Nya;
padahal Allah Azza wa Jalla menginginkan nikmat tersebut untuknya. Hasad
juga membuatnya senang dengan hilangnya nikmat tersebut dari
saudaranya, padahal Allah Azza wa Jalla benci jika nikmat itu hilang
dari saudaranya. Jadi, hasad itu hakikatnya menentang qadha’ dan qadar
Allah Azza wa Jalla ”[1] .
Penyakit ini sering dijumpai di antara sesama teman sejabatan,
seprofesi, seperjuangan, atau sederajat. Oleh sebab itu, tak jarang
dijumpai ada pegawai kantor yang hasad kepada teman sekantornya, tukang
bakso hasad kepada tukang bakso lainnya, guru hasad kepada guru, orang
ahli ibadah atau Ustadz atau kyai hasad kepada yang sederajat dengannya.
Jarang dijumpai hasad tersebut pada orang yang beda kedudukan dan
derajatnya, seperti tukang bakso hasad kepada kyai atau tukang becak
hasad kepada Ustadz, meskipun tidak menafikan kemungkinan terjadinya.
Penyakit hasad hendaknya dijauhi oleh setiap Muslim, karena madharatnya
sangat besar, terutama bagi si penderita baik madharat dari sisi diennya
maupun dunianya. Tidakkah kita ingat, kenapa Iblis dilaknat oleh Allah
Azza wa Jalla ?; tidak lain karena sikap hasad dan sombongnya kepada
Adam q yang sama-sama makhluk Allah Azza wa Jalla .
Dari sisi lain hasad juga merupakan sifat sebagian besar orang Yahudi dan Nasrani, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
Ataukah mereka (orang Yahudi) dengki kepada manusia (Muhammad dan
orang-orang Mukmin) lantaran karunia yang Allah telah diberikan kepada
mereka?..” [an-Nisa’/4:54]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang hasad mereka:
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ
إِيمَانِكُمْ كُفَّاراً حَسَداً مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ
Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan
kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang timbul
dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka
kebenaran.”[al-Baqarah 109]
Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang
Muslim dari sifat hasad tersebut, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
لاَ تَقَاطَعُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَكُونُوْا إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمُ اللَّهُ
Janganlah kalian memutuskan tali persaudaraan, saling berpaling ketika
bertemu dan saling membenci serta saling dengki. Jadilah kalian
bersaudara sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah.
[HR.Muslim][2]
SEBAB-SEBAB HASAD
Sumber dan penyebab hasad adalah cinta dunia, baik cinta harta benda, kedudukan, jabatan maupun pujian manusia.
Dunia memang sempit, sering menyempitkan mereka yang memburu dan
mencintainya, sehingga tak jarang mereka berjatuhan pada lembah hasad,
karena tabiat dunia adalah tidak akan bisa dimiliki kecuali ia berpindah
dari tangan satu ke tangan lainnya dan berkurang jika dibelanjakan.
Berbeda dengan akhirat yang sangat luas, seperti langit yang tak
berujung dan seperti lautan yang tak bertepi. Karena sangat luasnya,
sehingga tidak menyempitkan orang yang memburu dan mencintainya,
sebagaimana kita tidak menjumpai orang berjejal-jejal untuk melihat
keindahan langit di waktu malam, karena luasnya dan cakupannya terhadap
setiap mata yang memandang.
Ibnu Sirin rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah hasad kepada seorang
pun dalam masalah dunia, karena jika dia termasuk ahli surga, maka
bagaimana aku hasad kepadanya dalam masalah dunia, padahal dia akan
masuk surga? dan jika dia termasuk ahli neraka, maka bagaimana aku hasad
kepadanya dalam hal dunia, sedangkan dia akan masuk neraka?”[3]
Jika tujuan seseorang adalah akhirat, maka hatinya bersih dari hasad,
tenang, jernih seperti air yang memancar dari mata air pegunungan;
lembut bagaikan sutera, tidak ada tempat bagi hasad di dalamnya. Akan
tetapi jika tujuannya adalah dunia, maka hati sangat rawan terjangkit
hasad, mudah ternoda dan keruh. Oleh sebab itu, bagi mereka yang
mempunyai belas-kasihan terhadap hatinya, hendaknya dia meninggalkan
cinta dunia dan menggantikannya dengan cinta akhirat. Karena kenikmatan
akhirat tidaklah menyempitkan orang yang memburunya. Ia adalah
kenikmatan yang sesungguhnya, kenikmatan yang luar biasa, tidak
sebanding dengan kenikmatan-kenikmatan dunia. Kenikmatan tersebut bisa
dirasakan oleh orang yang sangat mencintainya, mencari dan memburunya di
dunia ini. Jika seseorang tidak ingin memburu kenikmatan hakiki
tersebut, atau lemah keinginannya, maka dia bukanlah kesatria, karena
yang memburu kenikmatan yang hakiki tersebut adalah para ksatria. [4]
OBAT HASAD
Setelah kita mengetahui bahwa hasad adalah penyakit hati yang berbahaya.
Maka, tentunya kita ingin mengetahui obat dan terapi hasad tersebut.
Sebenarnya, penyakit hati yang satu ini tidaklah dapat diobati dengan
pil atau kapsul dari apotik atau dengan suntik, herbal atau pijit urat,
akan tetapi penyakit hati ini hanya dapat diobati dengan ilmu dan amal.
Adapun obat yang pertama adalah ilmu. Ilmu yang bermanfaat untuk
mengobati hasad adalah pengetahuan tentang hakikat hasad itu sendiri. Di
antaranya, mengetahui bahwa hasad itu berbahaya bagi si penderita, baik
bagi diennya maupun dunianya. Di dunia, hatinya selalu menderita dan
tersayat-sayat, boleh jadi dia mati karenanya. Bagaimana tidak? Dia
membenci orang lain yang mendapat kenikmatan dan mengharap nikmat
tersebut musnah darinya. Padahal, hal itu telah ditakdirkan oleh Allah
Azza wa Jalla dan tidak akan musnah sampai saat yang telah ditentukan.
Orang yang hasad ibarat orang yang melempar bumerang kepada musuh.
Bumerangnya tidak mengenai sasaran, tetapi bumerang itu kembali
kepadanya, sehingga mengenai mata kanannya dan mengeluarkan bola
matanya. Lalu dia pun bertambah marah dan kembali melempar kedua kalinya
dengan lebih kuat. Akan tetapi, bumerang itu seperti semula, tidak
mengenai sasaran dan kembali mengenai mata sebelah kirinya sehingga dia
buta. Kemarahannya pun bertambah menyala-nyala, kemudian dia melempar
ketiga kalinya dengan sekuat tenaga, akan tetapi bumerang tersebut
kembali mengenai kepalanya sampai hancur, sedangkan musuhnya selamat dan
mentertawakan dia, karena dia mati atas perbuatannya sendiri. Sedangkan
di akhirat nanti, dia akan mendapat adzab dari Allah Azza wa Jalla ,
jika hasad tersebut melahirkan perkataan dan perbuatan, karena statusnya
adalah orang yang telah mendzalimi orang lain ketika di dunia.
Perlu diketahui pula bahwa hasad juga tidak berbahaya bagi orang yang
dihasad, baik bagi dien maupun dunianya. Dia tidak berdosa dengan hasad
orang lain kepadanya. Bahkan, dia mendapatkan pahala jika hasad tersebut
keluar berwujud perkataan dan perbuatan, sebab dia termasuk orang yang
didzalimi. Kenikmatan yang ada padanya juga tidak akan musnah karena
hasad orang lain kepadanya, sebab kenikmatan tersebut telah ditakdirkan
untuknya.
Adapun obat kedua adalah amal perbuatan. Amal perbuatan yang manjur
untuk mengobati hasad adalah melakukan perbuatan yang berlawanan dengan
perbuatan yang ditimbulkan oleh hasad. Misalnya; gara-gara hasad
seseorang ingin mencela dan meremehkan orang yang dihasad. Jika seperti
ini, hendaknya dia melakukan hal yang berbeda yaitu memuji orang yang
dihasad tersebut. Kemudian jika hasad itu membuatnya sombong kepada
orang yang dihasad, maka hendaknya dia tawaddu’ kepadanya dan jika hasad
membuatnya tidak berbuat baik atau tidak memberi hadiah kepada orang
yang dihasad. Maka, hendaknya dia melakukan sebaliknya, yaitu berbuat
baik dan memberikan kepadanya hadiah. Maka, dengan seperti ini insya
Allah hasad di hati akan segera lenyap dan hati kembali sehat dan
normal.[5]
HASAD YANG DIPERBOLEHKAN?
Mungkin di antara kita ada yang bertanya-tanya. Apakah benar hasad itu
ada yang diperbolehkan? Jawabannya, marilah kita simak sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً
فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ
حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
Tidak ada hasad kecuali kepada dua orang, yang pertama; kepada seseorang
yang telah diberi harta kekayaan oleh Allah dan ia habiskan dijalan
yang benar, yang kedua; kepada seseorang yang telah diberi hikmah (ilmu)
oleh Allah dan ia memutuskan perkara dengannya serta mengajarkannya.
[HR.Muttafaq alaih][6].
Akan tetapi, hasad dalam hadits ini berbeda pengertiannya dengan hasad
yang telah disebutkan di atas. Hasad yang ini disebut oleh para Ulama’
dengan sebutan Ghibtah, yaitu menginginkan kenikmatan seperti yang telah
diperoleh oleh orang lain dengan tanpa membenci orang tersebut, serta
tidak mengharapkan kenikmatan itu musnah darinya.
As-Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbâd hafidzahullâh dalam menjelaskan hadits
di atas berkata; “Yang dimaksud hasad di sini adalah ghibtah”.[7]
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ghibtah adalah ingin mendapat
kenikmatan sebagaimana yang diperoleh oleh orang lain dengan tanpa
mengharapkan nikmat tersebut musnah darinya. Jika perkara yang di
ghibtah tersebut adalah perkara dunia, maka hukumnya adalah mubâh
(boleh). Jika perkara tersebut termasuk perkara akhirat, maka hukumnya
adalah mustahab (sunnat), dan makna hadits di atas adalah tidak ada
ghibtah yang dicintai (oleh Allah Azza wa Jalla ) kecuali pada dua
perkara (yang tersebut di atas) dan yang semakna dengannya”.[8]
Dengan demikian, hendaknya seorang Muslim senantiasa meninggalkan hasad dan menggantinya dengan ghibtah.
Washallâhu alâ Nabiyyina Muhammad wa alâ alihi washahbihi wasallam.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Al-Fawâ’id (Hal 157 Cet. Dârul Fikr - Beirut).
[2]. Shahîh Muslim (Juz 8/ Hal 10).
[3]. Raudhatul Uqalâ’ Wanuzhatul Fudhalâ’ (Hal. 119 Cet. Maktabah Ashriyah – Beirut).
[4]. Mukhtashar Minhâjul Qâsidîn (Hal.188-189 Cet. Maktabah dârul Bayân - Damaskus) bittasharruf.
[5]. Mukhtashar Minhâjul Qâshidîn (Hal. 189-190 Cet. Maktabah dârul Bayân - Damaskus) bittasharruf.
[6]. Shahîh Bukhâri (No. 6886 Cet.3 Dâr Ibnu Katsîr – Beirut. Tahqîq
Dr..Mushtafa Dibul bugha) Shahîh Muslim (No. 1933 Cet. Dârul jiel dan
Dârul Auqâf al-Jadîdah – Beirut).
[7]. Syarah Sunan Abu Dâwud, hadits “Iyyâkum walhasada” (Maktabah Syamilah 3).
[8]. Al-Minhâj Syarhu Shahîh Muslim Ibnul Hajjâj (Juz. 6/ Hal. 97. Cet.2 - Dâr Ihyâ’ Turâts al-Arabi – Beirut).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar