KEUTAMAAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,Imam al-Bukhari dalam shahiihnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas
Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau
bersabda:
مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ أَفْضَلُ مِنَ الْعَمَلِ فِيْ
هَذِهِ، قَالُوا: وَلاَ الْجِهَادُ؟ فَقَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ إِلاَّ
رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ...
“Tidak ada amalan yang lebih utama dari amalan di sepuluh hari pertama
Dzulhijjah ini. Mereka bertanya, ‘Tidak juga jihad?’ Beliau menjawab,
‘Tidak juga jihad, kecuali seorang yang keluar menerjang bahaya dengan
dirinya dan hartanya sehingga tidak kembali membawa sesuatu pun.’” [1]
Dengan demikian, jelaslah bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah
adalah hari-hari dunia terbaik secara mutlak. Hal itu karena ibadah
induk berkumpul padanya dan tidak berkumpul pada selainnya. Padanya
terdapat seluruh ibadah yang ada di hari lain, seperti shalat, puasa,
shadaqah dan dzikir, namun hari-hari tersebut memiliki keistimewan yang
tidak dimiliki hari-hari lain yaitu manasik haji dan syari’at berkur-ban
pada hari ‘Id (hari raya) dan hari-hari Tasyriq.
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang rajih bahwa sebab keistimewaan
bulan Dzulhijjah karena ia menjadi tempat berkumpulnya ibadah-ibadah
induk, yaitu shalat, puasa, shadaqah dan haji. Hal ini tidak ada di
bulan lainnya. Berdasarkan hal ini apakah keutamaan tersebut khusus
kepada orang yang berhaji atau kepada orang umum? Ada kemungkinan di
dalamnya. [2]
Dalam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah terdapat amalan berikut ini:
1. Haji dan umrah. Keduanya termasuk amalan terbaik yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya.
2. Puasa sembilan hari pertama dan khususnya hari kesembilan yang
termasuk amalan-amalan terbaik. Cukuplah dalam hal ini sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ
“Puasa hari ‘Arafah yang mengharapkan pahala dari Allah dapat menghapus
dosa-dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” [3]
3. Takbir dan dzikir di hari-hari ini diijabahi (dikabulkan) berdasarkan firman Allah:
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
“Dan supaya mereka menyebut Nama Allah pada hari yang telah ditentukan” [Al Hajj/22: 28]
4. Disyari’atkan pada hari ini menyembelih kurban dari hari raya dan
hari Tasyriq. Ini adalah sunnah Bapak kita, Ibrahim ketika Allah
mengganti anaknya, Isma’il dengan hewan sembelihan yang besar dan juga
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyembelih dua kambing gemuk
lagi bertanduk untuk diri dan umatnya.
5. Sebagaimana juga disyari’atkan pada hari raya kepada seorang muslim
untuk bersemangat melaksanakan shalat, mendengarkan khutbah dan
memanfaatkannya untuk mengenal hukum-hukum kurban dan yang berhubungan
dengannya.
6. Disyari’atkan juga pada hari-hari ini dan hari-hari lainnya untuk
memperbanyak amalan sunnah, berupa shalat, membaca al-Qur-an, shadaqah,
memperbaharui taubat dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan, baik yang
kecil maupun yang besar.
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sepuluh hari pertama Dzulhijjah
seluruhnya adalah kemuliaan dan keutamaan, amalan di dalamnya
dilipatgandakan, dan disunnahkan agar bersungguh-sungguh dalam ibadah di
hari-hari tersebut.” [4]
MAKSUD DARI HARI-HARI YANG DITENTUKAN (AL-AYYAAM AL-MA'LUUMAAT) DAN HARI-HARI YANG BERBILANG (AL-AYAAM AL-MA'DUUDAAT)
Allah berfirman:
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي
يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ
لِمَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ
تُحْشَرُونَ
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Nama Allah dalam beberapa hari yang
berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah
dua hari, maka tidak ada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin
menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa
pula baginya bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan
ketahuilah bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” [al-Baqarah/2: 203]
Dan Allah Ta’ala berfirman:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ
مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya
mereka menyebut Nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki
yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka
makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk
dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” [al-Hajj/22: 28]
Para ulama berselisih pendapat dalam maksud dari firman Allah di atas
tentang hari-hari yang berbilang dan yang ditentukan. Di antara pendapat
mereka adalah:
1. Hari-hari yang ditentukan tersebut adalah hari kurban dengan
perbedaan di antara mereka apakah itu tiga hari ataukah empat hari.
2. Hari-hari yang ditentukan tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dari awal bulan sampai hari raya.
3. Hari-hari berbilang adalah hari-hari Tasyriq.
4. Hari-hari yang ditentukan adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan
hari-hari Tasyriq, berarti mulai awal bulan sampai akhir tanggal tiga
belas.
5. Hari-hari yang ditentukan adalah sembilan hari pertama bulan
Dzulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari Tasyriq bersama hari
‘Id.
Ada juga pendapat lemah yang mengatakan bahwa hari-hari yang ditentukan
adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang
adalah hari-hari penyembelihan. Ini menyelisihi ijma’.
Yang benar bahwa hari-hari yang ditentukan tersebut adalah sepuluh hari
pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari
Tasyriq.
Ibnul ‘Arabi rahimahullah mengatakan, “Ulama-ulama kami mengatakan bahwa
hari-hari melempar jumrah adalah hari-hari berbilang (ma’duudaat) dan
hari-hari penyembelihan adalah hari-hari yang telah ditentukan
(ma’luumaat).” [5]
Sedangkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Ada yang mengatakan,
hari-hari yang ditentukan adalah hari-hari penyembelihan dan ada yang
mengatakan ia adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” [6]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma
mengatakan bahwa hari-hari yang berbilang adalah hari-hari Tasyriq, dan
hari-hari yang ditentukan adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.”
[7]
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fat-hul Baari [8] dan asy-Syaukani dalam
Fat-hul Qadiir [9] telah memaparkan pernyataan para ulama dalam masalah
ini dan semuanya hampir tidak keluar dari apa yang telah kami sampaikan
di atas. Wallahu a’laam.
PERBANDINGAN ANTARA SEPULUH HARI TERAKHIR RAMADHAN DENGAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH
Hendaklah seorang muslim mengetahui bahwa membandingkan antara
perkara-perkara baik tidak bermaksud merendahkan dari yang lebih utama,
bahkan hal ini seharusnya menjadi pendorong untuk melipatgandakan amalan
pada hal yang diutamakan dan mengambil keutamaannya sekuat dan
semampunya.
Para ulama telah membahas masalah ini dan yang rajih menurut saya
-wallaahu a’lam- bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama
dari sepuluh hari terakhir Ramadhan, dan sepuluh malam terakhir
Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah, itu
karena keutamaan malam Ramadhan tersebut dilihat dari adanya malam Qadar
dan ini untuk malamnya. Sedangkan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah
diutamakan hari-harinya dilihat dari adanya hari ‘Arafah, hari
penyembelihan dan hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah).
Syaikhul Islam pernah ditanya tentang perbandingan antara dua waktu
tersebut, beliau menjawab, “Sepuluh hari pertama Dzulhijjah lebih utama
dari sepuluh hari terakhir Ramadhan, sedangkan malam sepuluh terakhir
Ramadhan lebih utama dari malam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.”
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Apabila orang yang mulia lagi
cendikia merenungkan jawaban ini, tentulah ia mendapatinya sebagai
jawaban yang cukup dan memuaskan.” [10]
PERBANDINGAN ANTARA DUA HARI RAYA
Para ulama telah membahas seputar permasalahan ini, ada yang
mengutamakan ‘Idul Adh-ha atas ‘Idul Fithri dan ada yang sebaliknya.
Setelah memaparkan keutamaan dua hari raya dan keduanya termasuk hari
paling utama dalam setahun, maka yang rajih adalah ‘Idul Adh-ha lebih
utama dari ‘Idul Fithri, karena ibadah dalam ‘Idul Adh-ha adalah
sembelihan kurban dengan shalat sedangkan dalam ‘Idul Fithri adalah
shadaqah dengan shalat. Padahal jelas sembelihan kurban lebih utama dari
shadaqah, karena padanya berkumpul dua ibadah yaitu ibadah badan
(fisik) dan harta. Kurban adalah ibadah fisik dan harta, sedangkan
shadaqah dan hadyah hanyalah ibadah harta saja.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa ‘Idul Adh-ha lebih utama dari ‘Idul Fithri, karena dua hal:
1. Ibadah di hari ‘Idul Adh-ha, yaitu kurban lebih utama dari ibadah di hari ‘Idul Fithri yaitu shadaqah.
2. Shadaqah di hari ‘Idul Fithri ikut kepada puasa, karena diwajibkan
untuk membersihkan orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan kejelekan
dan memberi makan orang miskin serta disunnahkan dikeluarkan sebelum
shalat. Sedangkan kurban disyari’atkan di hari-hari tersebut sebagai
ibadah tersendiri, oleh karena itu disyari’atkan setelah shalat.
Allah -Ta’ala- berfirman tentang yang pertama:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى ٰوَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan
beriman), dan dia ingat Nama Rabb-nya, lalu dia shalat.” [Al-A’laa:
14-15]
Dan tentang yang kedua:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah.” [Al-Kautsar: 2]
Kemudian Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan lagi, “Sehingga
shalatnya orang-orang di negeri-negerinya sama kedudukannya dengan
jama’ah haji yang melempar jumrah al-‘Aqabah dan sembelihan mereka di
negeri-negerinya sama kedudukannya dengan sembelihan hadyu jama’ah
haji.” [11]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari lihat Fat-hul Baari (II/457).
[2]. Fat-hul Baari (II/460).
[3]. HR. Muslim, lihat Shahiih Muslim (II/818-819).
[4]. Al-Mughni (IV/446).
[5]. Ahkaamul Qur-aan (I/140), karya Ibnul ‘Arabi.
[6]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXIII/225).
[7]. Tafsiir Ibnu Katsiir (I/244).
[8]. Fat-hul Baari (II/458).
[9]. Fat-hul Qadiir (I/205).
[10]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXV/287) dan Zaadul Ma’aad (I/57).
[11]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXIII/222).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar