Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.Bulan suci Ramadhan telah berlalu. Pelipatgandaan pahala, kemudahan dari
Allah di bulan Ramadhan pergi seiring dengan kepergian tamu kita, bulan
Ramadhan. Nuansa Ramadhan yang istimewa pun lewat. Tapi kaum muslimin
mesti TETAP berlomba untuk menggapai rahmat dan hidayah Allah melalui
peningkatan ibadah dan doa kepada-Nya, di bulan-bulan lainnya. Hanya
saja, terkadang seorang muslim dihadapkan pada sekian banyak amalan yang
ingin ia kerjakan semuanya. Namun kadang-kadang kesempatan, waktu dan
fisik tidak memungkinkannya untuk menuntaskan segala amalan sholeh yang
ia inginkan. Apalagi bagi mereka yang sudah berkeluarga, mempunyai istri
(atau suami) dan anak-anak.
Dalam kondisi demikian, dipandang perlu agar seorang muslim mengetahui
beberapa kaedah dalam beramal sholeh untuk memudahkan bagi dirinya dalam
memilih amalan yang lebih baik dan berkualitas, lebih dicintai oleh
Allah l dan mengundang pahala yang lebih besar dibandingkan amalan
lainnya.
Urgensi aspek ini:
1.Perhatian Generasi Salaf Terhadap Masalah Ini.
Topik ini menjadi fokus perhatian ekstra dari generasi Salaf. Hasrat
mereka untuk mendalami permasalahan ini sangat besar. Para sahabat
menjadi teladan dengan melontarkan banyak pertanyaan kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam. Generasi tabi'in dan para tokoh ulama
Islam pun memberi porsi perhatian yang besar. Kongkretnya, tercermin
dalam penulisan buku dan pembakuan kaedah dalam materi ini.
2. Ekonomis Dalam Beramal
Seorang muslim yang memahami bab ini, akan meraih kebaikan besar dalam
masa yang singkat dan modal yang minim, yang dikerjakan oleh orang lain
dengan waktu panjang dan tenaga besar. Hal ini penting sekali diketahui,
terutama pada akhir-akhir ini yang begitu banyak kesibukan dan halangan
untuk bisa beribadah dengan frekuensi yang banyak.
3. Penyimpangan Yang Dilakukan Sebagian Firqah Dalam Aspek Ini.
Sebagian firqah menyimpang dari garis sunnah lantaran kegandrungan
mereka kepada bid'ah daripada sunnah Nabi. Amalan sunnah lebih
diutamakan daripada kewajiban. Lebih berbahaya lagi ketika amalan bid'ah
lebih disukai daripada ajaran Islam.
4. Bahaya Jerat Syaithan Terhadap Sebagian Ahli Ibadah.
Sebagian ahli ibadah tertipu oleh bisikan syaithan dengan mengamalkan amalan yang kualitasnya di bawah.
Berikut ini beberapa faktor yang bisa mempengaruhi peningkatan kualitas amalan ibadah:
TINGKATKAN KEIKHLASAN DAN PERBAIKI NIAT
Ikhlas dalam amalan merupakan tonggak asasi dalam setiap amalan sholeh.
Disamping itu, juga tingkatkan unsur mutaba'ah (mengikuti) Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beribadah. Dua hal ini merupakan
syarat diterimanya amalan seseorang. Dalilnya, Allah berfirman:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
"Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, hendaknya ia
mengerjakan amalan yang sholeh dan janganlah ia mempersekutukan
seseorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya". [1]
Ibnu Katsir berkata: ‘(Yaitu orang yang ) mengharapkan pahala, dan
ganjaran dariNya, [فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا / hendaknya ia
mengerjakan amalan yang sholeh ] yaitu amalan yang bertepatan dengan
petunjuk syariat, [ وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا / dan
janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada
Rabbnya ] yaitu amalan yang ditujukan untuk mendapatkan wajah Allah
semata, tidak ada sekutu bagiNya. Dua hal ini adalah dua syarat
diterimanya amalan. Mesti murni karena Allah, lagi cocok dengan aturan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam". [2]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَآءُ
"Dan Allah melipatgandakan (pahala) bagi yang Dia kehendaki" [3].
Ibnu Katsir menjelaskan : "Berdasarkan keikhlasannya dalam beramal". [4]
Syaikh As Sa'di berkata: "Itu bergantung pada kekuatan iman dan kesempurnaan ikhlas yang terdapat pada orang yang berinfak"[5]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلَامَهُ فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا
تُكْتَبُ لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ وَكُلُّ
سَيِّئَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِمِثْلِهَا
"Jika salah seorang dari kalian telah memperindah Islamnya, maka setiap
kebaikan yang diamalkannya akan dicatat baginya dengan sepuluh kali
lipat sampai tujuh ratus lipat. Dan setiap kejelekan yang ia kerjakan
akan dicatat baginya satu kejelekan semisalnya". [6]
Ibnu Rajab berkata tentang hadits di atas : "Pelipatgandaan kebaikan
dengan sepuluh kali lipat pasti terjadi. Sedangkan tambahan yang lebih
dari itu tergantung pada kebaikan nilai Islam seseorang, dan keikhlasan
niatnya, serta urgensi dan keutamaan amalan tersebut"[7].
Sebagai pelengkap dalam menetapkan naiknya tingkatan amalan yang
dibarengi kekuatan ikhlas, adanya beberapa nash yang menyatakan
keutamaan amalan yang dilakukan secara tersembunyi dibandingkan amalan
yang dilakukan di hadapan khalayak. Allah Subhanhu wa Ta'ala berfirman:
إِن تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرُُ لَّكُمْ
"Jika kalian memperlihatkan sedekah maka itu baik. Dan jika kalian
menyembunyikan sedekah dan memberikannya kepada orang-orang fakir,
niscaya lebih baik …" [8].
Ibnu Katsir berkata: "Dalam ayat ini terkandung petunjuk bahwa
menyembunyikan sedekah lebih baik daripada memperlihatkannya. Sebab
lebih jauh dari noda riya`. Kecuali bila dengan memperlihatkan saat
mengeluarkan sedekah ada unsur maslahat yang pasti"[9].
Ibnul Qayyim menjelaskan rahasia mengapa sedekah yang dilakukan dengan
sembunyi lebih baik dengan berkata: "Adapun memberikannya kepada
orang-orang fakir, jika dilakukan dengan cara tersembunyi mengandung
beberapa manfaat, menutupi jati dirinya (pemberi sedekah) , dan tidak
membuat malu si penerima di hadapan orang banyak, tidak menempatkan
dirinya sebagai orang yang sedang direndahkan kehormatannya, dan supaya
orang tidak melihat bahwa tangannya sufla, juga agar orang tidak
berkomentar dirinya (sang penerima) tidak ada harganya sama sekali
sehingga mereka enggan untuk berinteraksi dan melakukan tukar-menukar
dengannya. Ini adalah manfaat tambahan selain berbuat baik kepadanya
dengan memberi sedekah, di samping penjagaan aspek ikhlas.
Hal ini berlaku pada ibadah yang sifatnya tathawu' (sunnah).
Dari Bustham bin Huraits, ia berkata: ‘Adalah Ayyub pernah terharu
(karena takut kepada Allah), sehingga air matanya keluar. Namun ia ingin
menyembunyikannya. Maka ia memegangi hidungnya, bersikap seolah-oleh
orang yang sedang mengalami influenza. Jika ia khawatir , air matanya
semakin deras, maka ia beranjak pergi"[10]
TINGKATKAN PERHATIAN PADA ASPEK MUTABA'AH KEPADA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM DALAM BERIBADAH.
Maksud dari mutaba'ah dalam beramal adalah "menjalankan perintah Nabi
dalam suatu amalan dan melaksanakannya sesuai dengan aturan syariat yang
dahulu dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ".
Sementara Syaikhul Islam menjelaskannya dengan :
أنْ يُفْعَلَ مِثْلَ مَا فَعَلَ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِيْ فَعَلَ
"Hendaknya dikerjakan persis dengan yang dilakukan Nabi sesuai dengan aturan pelaksanaannya"[11].
Jadi mutaba'ah kepada Nabi harus memenuhi dua unsur:
a. Kesesuaian dengan Nabi dalam pelaksanaan, persis dengan tata cata beliau
b. Kesesuaian dalam niat, ditujukan untuk beribadah
Dalam point ini, maksudnya adalah penjelasan peningkatan nilai amalan yang lahir sebagai dampak dari mutaba'ah.
Topik mutaba’ah adalah pembahasan yang sangat luas. Hakikatnya, berusaha
mengerjakan seluruh aturan syariat atau mengikuti petunjuk Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang umum. Jalan perealisasiannya, melalui
kesempurnaan memahami agama, kekuatan tekad yang penuh dalam beramal
-dengan bantuan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala - ada beberapa prinsip
dalam mutaba’ah yang terangkum dalam beberapa point berikut ini:
Mutaba’ah kepada Nabi dalam keseluruhan ibadah, tidak hanya menyibukkan
dengan salah satu jenis ibadah saja dengan menelantarkan ibadah lainnya.
Tapi ‘namanya selalu tercantum’ dalam setiap ibadah. Dengan kata lain,
berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan seluruh cabang iman
qalbiyyah, amaliyyah maupun qauliyyah
Disebutkan dalam hadits keutamaan orang-orang yang mendekatkan diri
kepada Allah dengan berbagai amaliah, mereka akan dipanggil dari
berbagai pintu syurga. Setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menceritakan orang-orang yang dipanggil dari pintu yang sesuai dengan
ibadah yang ia tekuni, Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu bertanya:
فَهَلْ يُدْعَى أَحَدٌ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ كُلِّهَا
"Apakah ada seseorang yang dipanggil dari seluruh pintu?"
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
نَعَمْ وَأَرْجُو أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ
"Ya, dan aku berharap engkau termasuk mereka, wahai Abu Bakar" [12].
Mutaba’ah kepada Nabi dalam aspek kontinyuitas amalan.
Mutaba’ah kepada Nabi dengan mengerjakan amalan tanpa unsur memberatkan diri (takalluf).
Oleh karena itu, beliau melarang shaumud dahri (puasa setahun penuh)
atau meninggalkan perkawinan, makanan, tidur dengan dalih memfokuskan
diri untuk beribadah kepada Allah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ
"Sesungguhnya agama ini mudah. Tidak ada orang yang bersikap keras dengannya, kecuali akan terkalahkan.." [13]
Mutaba’ah kepada Nabi dengan melakukan keseimbangan (balancing) terhadap
hak-hak yang ada, tidak menyisihkan salah satu hak demi pemenuhan hak
lainnya. Tapi memberikan hak kepada para pemiliknya. Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
"Maka, sesungguhnya bagi jasadnya ada hak atasmu, bagi matamu ada hak
atasmu dan bagi istrimu ada hak atasmu dan bagi tamumu ada hak atasmu"
[14]
UTAMAKAN & BERIKAN PERHATIAN EKSTRA TERHADAP AMALAN YANG WAJIB
Amalan yang wajib lebih utama daripada amalan yang sunnah. Demikian
juga, memperhatikan ibadah yang wajib lebih dicintai oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala daripada ibadah yang sunnah.
Abu Hurairah meriwayatkan, ia berkata: Rasulullah Sh bersabda:
إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ
بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ
مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ُ
"Sesungguhnya Allah berfirman: ‘Barangsiapa yang memusuhi waliKu, maka
Aku telah mengobarkan peperangan dengannya. Dan tidaklah ada seorang
hambaKu yang mendekatkan dirinya kepada-Ku, dengan sesuatu yang lebih
Aku cintai daripada amalan yang Aku wajibkan kepadanya…' [15]
Ibnu Hajar berkata: "Dapat disimpulkan dari hadits tersebut, bahwa
melaksanakan amalan yang wajib merupakan tindakan yang paling dicintai
oleh Allah" [16].
Abu Bakar pernah berwasiat kepada Umar dengan mengatakan:
وَأنَّهُ لاَ يَـقـْـبَلُ نَافِلَةً حَتَّى تُؤَدَّى الْفَريِْضَة
"Sesungguhnya Allah tidak akan menerima ibadah sunnah kecuali apabila amalan ibadah yang wajib telah ditunaikan"[17].
Ibnu Taimiyah menegaskan pula: "Oleh karena itu, wajib bertaqarrub
kepada Allah dengan amalan-amalan yang wajib sebelum menjalankan amalan
yang sunnah. Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan yang sunnah
terhitung sebagai ibadah jika amalan yang wajib sudah dikerjakan"[18].
Al Hafizh Ibnu Hajar menukil dari sebagian ulama besar zaman dahulu, mereka menetapkan :
مَنْ شَغَلَهُ الْفَرْضُ عَنِ النَّفْلِ فَهُوَ مَعْذُورٌ وَ مَنْ شَغَلَهُ النَّفْلُ عَنِ الْفَرْضِِ فَهُوَ مَغْرُورٌ
"Barangsiapa disibukkan dengan perkara wajib sehingga melupakan perkara
sunnah, maka ia termaafkan. Barangsiapa disibukkan dengan perkara sunnah
sehingga perkara wajib terbengkalai, maka ia adalah orang yang tertipu"
[19]
KERJAKAN SATU AMALAN SHOLEH DENGAN KONTINYU
Faktor lain yang bisa meningkatkan nilai amaliah seseorang adalah al
mudawamah (kontinyuitas dalam beramal). Amalan yang sedikit, tapi
kontinyu lebih utama dari amalan yang putus-putus, tidak dikerjakan
secara terus-menerus, kendati banyak.
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu
'anha, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
"Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling kontinyu dikerjakan, meskipun sedikit" [20].
Demikian pula, ini merupakan kebiasaan Rasulullah. Amaliah beliau
sehari-hari diimah (kontinyu), yaitu dikerjakan secara terus menerus,
tidak putus darinya. Dan beliau menganjurkan umatnya untuk itu,
memperingatkan dari amalan-amalan yang memberatkan yang tidak kuat
dipikul oleh seseorang. Sebab hal itu rawan sekali untuk ditinggalkan
sehingga tidak berlangsung lama.
Dalam hadits lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنْ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ
"Wahai manusia, kerjakanlah amalan yang kalian sanggupi" [21]
Al Qadhi ‘Iyadh menerangkan sabda beliau dengan: Kerjakanlah amalan yang
kalian sanggup untuk mengerjakannya dengan kontinyu [22]. Sementara
Imam An Nawawi rahimahullah menyimpulkan dari hadits di atas: Di
dalamnya terkandung anjuran untuk kontinyu dalam beribadah, dan amalan
yang sedikit (tapi) kontinyu lebih baik daripada amalan banyak tapi
ditinggalkan [23].
Para ulama telah memaksimalkan daya pikir untuk menyibak rahasia mengapa
amalan sedikit tapi kontinyu dapat lebih utama dan mulia dibandingkan
amalam lain. Di antara keterangan mereka:
Al Qurthubi berkata: "Sebabnya, amalan yang ringan, bisa dikerjakan
dengan berkesinambungan dan hati yang giat, sehingga pahala semakin
banyak lantaran terjadinya pengulangan amalan tersebut yang disertai
oleh konsentrasi pikirannya. Berbeda dengan amalan yang berat, biasanya
disertai dengan terganggunya konsentrasi dan menyebabkan seseorang
meninggalkannya" [24].
Sementara itu, Imam An Nawawi memberikan alasan: "Amalan sedikit yang
langgeng itu lebih baik dari amalan banyak tapi putus di jalan, karena
dengan kontinyu dalam satu amalan yang sedikit, bararti ketaatannya
kepada Allah juga berlangsung terus-menerus, demikian juga dzikir,
muraqabah, niat, keikhjlasan serta sikapnya menghadapkan dirinya kepada
Allah berjalan terus. Sehingga yang sedikit tapi kontinyu akan
membuahkan hasil yang berlipat-lipat daripada amalan banyak tapi
ditinggalkan".
Adapun Ibnul Jauzi mengajukan keterangan, bahwa orang yang meninggalkan
amalan setelah pernah ia lakukan bagaikan orang yang berpaling darinya
sehingga pantas untuk dicela. Dan alasan kedua, orang yang senantiasa
beramal, berarti ia senantiasa melakukan penghambaan diri kepada Allah.
Dan orang yang sering mengetuk di satu waktu setiap harinya tidak sama
dengan orang yang menunggu pintu seharian kemudian ia tinggalkan’
TINGKATKAN KAPASITAS ILMIAH ANDA
Di antara aspek yang bisa meningkatkan kualitas amaliah seseorang adalah, kemuliaan dan kedudukannya di sisi Allah.
Rasulullah bersabda:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
"Janganlah kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang dari
kalian berinfak emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai
pahala infak mereka sebesar satu mud ataupun setengahnya".
Al Baidhawi menerangkan hadits ini dengan berkata: Makna hadits ini,
salah seorang dari kalian tidak akan mampu menggapai dengan infak
sebesar gunung Uhud yang berupa emas, keutamaan dan pahala yang diraih
oleh salah seorang mereka (sahabat) dengan infak satu mud atau
setengahnya. Sebab perbedaan ini, kondisi yang menyertai orang yang
lebih mulia yang berupa kekuatan ikhlas yang lebih tinggi dan kejujuran
niat mereka.
Dengan ini, menjadi jelas keutamaan para sahabat dan amalan yang mereka lakukan dibandingkan amalan selain mereka.
Sebagian ulama telah menyinggung beberapa sebab pengutamaan dalam kaedah
ini. meskipun melalui nash-nash yang ada, peningkatan nilai amaliah
tergantung dari kedudukan orang yang beramal, tapi ada beberara rahasia
di belakang itu, yang telah disinggung oleh sebagian ulama.
Di antaranya: Keutamaan yang mereka raih itu berangkat dari kondisi
batiniah mereka yang mengalahkan orang lain. Seperti yang dikatakan Ibnu
Mas’ud: Kalian itu lebih banyak puasanya dibandingkan para sahabat
Muhammad, tapi mereka tetap lebih baik dari kalian. Mereka bertanya: Apa
sebabnya?’. Ibnu Mas’ud menjawab:
كَانُوا أَزْهَدَ مِنْـكـُمْ فِي الدُّنـيَا وَأرْغَبَ فِي الأخِرَة
"Mereka (para sahabat) lebih zuhud kepada dunia dan lebih berharap kepada akhirat daripada kalian".
Kedua, lantaran mereka lebih paham terhadap agama, dan itu otomatis
berpengaruh pada kualitas ibadah mereka sehingga dilaksanakan dengan
cara yang lebih baik.
Ini makna yang terkandung pada pernyataan Abu Darda`: Dan satu biji sawi
kebaikan orang yang bertakwa dan yakin, lebih besar, lebih utama dan
lebih berat timbangannya seperti beratnya gunung-gunung dibandingkan
ibadah orang-orang yang tertipu’.
UTAMAKAN AMALAN SOSIAL DARIPADA AMALAN YANG MANFAATNYA TERBATAS PADA PRIBADI SEMATA
Ditinjau dari sudut kemanfaatannya bagi orang lain, amalan sholeh terkualifikasikan menjadi dua:
A. Amalan yang hanya terbatas kemanfaatannya bagi pelakunya saja, tidak
bisa dinikmati oleh orang lain. Misalnya seluruh ibadah yang menjadi
kendaraan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa ada
kaitan dengan makhluk.
B. Amalan yang manfaatnya bisa dinikmati oleh orang lain, sehingga maslahat keagamaan dan duniawi mereka terpenuhi.
Dalam masalah pemilahan amalan sholeh, para ulama telah menetapkan bahwa
amalan sholeh yang bersifat sosial lebih utama dibandingkan amalan yang
manfaatnya terbatas pada pelakunya sendiri. Sebabnya, terwujudnya
maslahat serta dampak positif yang dapat dirasakan oleh orang lain.
Dasar penetapan mereka adalah semua dalil yang menunjukkan ketinggian
nilai amal sholeh yang bersifat sosial, anjuran untuk melakukannya serta
sanjungan bagi para pelakunya.
Di antaranya :
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ
لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
"Barangsiapa menyeru kepada hidayah, niscaya ia mendapatkan pahala
sebesar pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala
mereka sedikit pun.." [al hadits] [25]
Hadits di atas, dengan jelas menggambarkan besarnya keutamaan
menyalurkan dan mengajarkan ilmu kepada orang lain. Dan nash-nash yang
senada dengan makna hadits di atas sangat banyak.
Demikian juga, terdapat dalil yang berisi sanjungan bagi orang-orang
yang sering berbuat baik untuk orang lain, mereka adalah makhluk pilihan
di sisi Allah. Nabi bersabda:
خَيْرُ الْأَصْحَابِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيرَانِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ
"Sebaik-baik kawan di sisi Allah, ialah yang paling bermanfaat bagi
kawannya. Dan sebaik-baik tetangga adalah tetangga yang paling baik bagi
tetangganya" [26].
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang terbaik bagi keluarganya. Dan aku adalah orang yang terbaik bagi keluargaku"[27].
Nabi pernah bertanya kepada para sahabat tentang orang-orang yang baik
dan orang-orang yang buruk sampai tiga kali. Namun mereka diam. Maka
beliau menerangkan:
خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ وَشَرُّكُمْ مَنْ لَا يُرْجَى خَيْرُهُ وَلَا يُؤْمَنُ شَرُّهُ
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang diharapkan kebaikannya dan dirasa
aman keburukannya. Dan sejelek-jelek kalian adalah orang yang tidak
pernah diharapkan kebaikannya dan tidak dirasa aman keburukannya".
Hadits-hadits di atas mengindikasikan bahwa manusia pilihan di sisi
Allah adalah mereka yang terbaik di mata manusia. Dan yang paling utama
dari kalangan mereka di sisi Allah, adalah insan yang paling bermanfaat
bagi orang lain.
Kaidah ini sudah diaplikasikan oleh generasi Salaf. Mereka mengutamakan
amalan yang bermanfaat bagi orang lain daripada amalan sholeh yang
bersifat pribadi.
Majjaad berkata: ‘Aku pernah menemani perjalanan Ibnu Umar untuk
membantunya tapi justru dialah yang melayaniku”. Sebagian dari mereka,
kalangan Salaf, bahkan mengajukan syarat saat akan melakukan perjalanan
bersama dengan kawan-kawan lain agar dia saja yang melayani mereka di
tengah perjalanan. Di antara mereka, ‘Amir bin Abdi Qais, ‘Amr bin Utbah
bin Farqad, orang-orang yang dikenal dengan ketekunan mereka dalam
beribadah.
Meskipun melayani orang lain itu makan tenaga dan waktu, tapi ternyata
mereka lebih mengutamakannya. Seandainya menurut mereka ibadah qashirah
itu lebih afdhal sudah mesti mereka tidak akan menyibukkan diri dengan
amalan sosial tersebut. Padahal mereka adalah orang-orang yang faqih dan
sangat antusias melakukan kebaikan. Artinya, amalan sosial itu lebih
berharga dan bernilai menurut mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ibnu Rajab menetapkan: "Berbuat baik kepada teman perjalanan lebih baik
daripada ibadah qashirah (yang manfaatnya hanya direguk secara pribadi),
apalagi jika seseorang punya keinginan sendiri untuk menservis
kawan-kawannya" [28]. (Red).
Petikan dari Kitab Tajridu Al Ittiba’I Fi Bayani Asbabi Tafadhuli Al
A’mali karya Syaikh DR. Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhaili, Maktabah Ulum Wal
Hikam Madinah Munawwarah, Cet. I TH. 1424 H.
________
Footnote
[1]. Al Kahfi : 110.
[2]. Tafsir Ibnu Katsir : 5/205.
[3]. Al Baqarah : 261
[4]. Tafsir Ibnu Katsir: 1/693
[5]. Tafsir As Sa’di : 1/157.
[6]. Shahih Al Bukhari (Fathul Bari: 1/100 hadits no: 42), Shahih Muslim : 1/118 no: 129.
[7]. Jami’ul Ulumi Wal Hikam : 1/213.
[8]. Al Baqarah: 271
[9]. Tafsir Ibnu Katsir : 1/701.
[10]. Dzammu Ar Riya` hlm. 180.
[11]. Majmu’ Al Fatawa: 1/280
[12]. HR. Bukhari (Fathul Bari : 7/19 no: 3666), Muslim (2/711 no: 1027).
[13]. HR. Bukhari (Fathul Bari : 1/93 no: 39).
[14]. Diriwayatkan Bukhari (Fathul Bari: 10/531 no: 6134), Muslim : 2/813
[15] HR. Bukhari no: 6502.
[16]. Fathul Bari : 11/343
[17]. Diriwayatkan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah : 1/36
[18]. Majmu’ Al Fatawa : 17/133
[19]. Fathul Bari : 11/442
[20]. HR. Muslim : 1/541
[21]. HR. Bukhari (Fathul Bari : 1/101 no: 43), Muslim : 1/542 no: 758
[22]. Ikmal Al Mu’lim : 3/147
[23]. Syarah Shahih Muslim : 6/71
[24]. Al Mufhim : 2/413
[25]. HR. Muslim no: 2674.
[26] HR. At Tirmidzi no: 1944, Al Hakim dan berkata: ‘Shahih berdasarkan syarat Syaikhan’ dan disepakati oleh Adz Dzahabi
[28]. HR. Ibnu Majah no: 1977 (Ash Shahihah: 285).
Lathaiful Ma’arfi hlm. 411.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar