Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.Syari’at Islam, diturunkan oleh Allah Azza wa Jalla untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi seluruh manusia, untuk menjaga agama, jiwa, harta,
kehormatan dan keturunan. Lima hal pokok ini kemudian disebut dengan
ad-dharûriyatul khams. Segala tindakan yang mengarahkan kepada
pengerusakan terhadap lima perkara pokok yang dilindungi syari’at ini,
dianggap sebagai tindakan kriminal dan dihukumi haram. Pelakunya diancam
dengan berbagai macam hukuman.
Salah satu tindakan kriminal itu adalah aborsi tanpa alasan yang
dibenarkan syari’at. Janin yang sudah diberikan ruh oleh Allah Azza wa
Jalla memiliki hak hidup yang diakui syari’at Islam. Oleh karena itu,
semua pelaku tindakan yang menyebabkan sang janin kehilangan hak hidup,
berhak mendapatkan hukuman.
Syaikh Shalih Fauzân hafidahullâh mengatakan : “Apabila ruh telah
ditiupkan ke dalam kandungan (janin); kemudian janin itu mati karena
aborsi, maka itu salah satu bentuk pembunuhan terhadap jiwa yang
diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla dengan tanpa alasan yang dibenarkan
syari’at. Allah Azza wa Jalla telah menetapkan hukum-hukum pidana,
seperti pelaku berkewajiban membayar diyat sesuai dengan rincian
ketentuan yang ada. Sebagian imam memandang, pelaku berkewajiban
membayar kafarat yaitu memerdekakan budak wanita yang Mukmin, jika tidak
mendapatkannya maka berkewajiban berpuasa selama dua bulan
berturut-turut. Sebagian Ulama menamakan perbuatan ini dengan
al-ma’udatush-shughra (bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup). [1]
Begitu juga yang disampaikan oleh Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah t ketika
ditanya tentang kewajiban seorang tuan yang dengan sengaja menggugurkan
janin hasil persetubuhannya dengan budak wanitanya. Si tuan
berkewajiban membayar ghurrah (denda). [2]
Jadi, hukum asal dari aborsi yaitu haram dilakukan pada berbagai usia
janin. Namun hukum asal ini bisa berubah, ketika ada kondisi darurat,
misalnya nyawa ibu terancam atau berbagai kondisi lainnya. Para Ulama
memberikan ketentuan yang sangat ketat terkait dengan kondisi-kondisi
yang bisa mengakibatkan perubahan hukum asal aborsi. Di antara
kondisi-kondisi yang menyebabkan aborsi menjadi boleh dilakukan yaitu :
A. Ketika Sang Janin Sudah Mati
Syaikh Muhammad bin Ibrâhîm rahimahullah mengatakan dalam Majmu` Fatâwa
beliau (11/151) : “Tentang usaha menggugurkan kandungan, maka itu tidak
boleh dilakukan selama sang janin belum terbukti sudah mati. Namun jika
sang janin sudah dipastikan mati, maka boleh digugurkan.” [3]
B. Ketika Keselamatan Sang Ibu Terancam.
Dalam fatwa Lajnah Da`imah disebutkan :
1. Menurut syari’at, hukum asal menggugurkan kandungan dalam berbagai usia itu tidak boleh.
2. Menggugurkan kandungan pada priode awal yaitu saat usia kandungan 40
hari, tidak boleh dilakukan kecuali untuk mencegah bahaya yang
dikhawatirkan akan terjadi atau untuk mewujudkan maslahah syar’iyyah
(kebaikan yang sesuai syari’at). Semuanya sesuai dengan ketentuan orang
yang ahli, baik secara medis ataupun secara syar’i. Sedangkan
pengguguran kandungan pada masa sekarang ini, yang dilakukan karena
alasan takut susah dalam mendidik anak, atau takut tidak mampu memenuhi
kebutuhan hidup dan memenuhi biaya pendidikan, atau dengan dalih demi
masa depan mereka, atau dengan dalih sudah cukup dengan jumlah tertentu
anak-anak yang sudah didapatkan oleh pasangan suami istri, maka itu
tidak boleh dilakukan.
3. Apabila kandungan itu sudah berbentuk ‘alaqah (segumpal darah) atau
mudhghah (segumpal daging), maka tidak boleh digugurkan, sampai ada tim
dokter yang bisa dipercaya menetapkan bahwa jika membiarkan kehamilan
berlanjut akan membahayakan keselamatan sang ibu. (Misalnya-pent)
dikhawatir akan menyebabkan kematian sang ibu. Jika ada tim ahli yang
menetapkan seperti itu, maka kandungan tersebut boleh digugurkan setelah
menempuh segala upaya untuk menghindari bahaya tersebut.
4. Setelah priode ketiga dan setelah usia kandungan genap empat bulan,
maka tidak diperbolehkan menggugurkan kandungan sampai diputuskan oleh
tim dokter spesialis yang bisa dipercaya, bahwa membiarkan janin tetap
berada dalam perut sang ibu bisa menyebabkan kematian ibunya. Itupun
setelah menempuh berbagai upaya untuk menyelamatkan hidup sang ibu.
Rukhshah (keringanan hukum) bolehnya menggugurkan kandungan dengan
syarat-syarat (yang telah disebutkan-pent) ini adalah demi mencegah
bahaya yang lebih besar dari dua bahaya dan untuk mengambil maslahat
yang lebih besar dari dua maslahat. [4]
FATAWA : ABORSI KARENA CACAT FISIK
Syaikh Abdul Azîz bin Abdullâh bin Bâz rahimahullah ditanya : "Jika
selama proses kehamilan, setelah dilakukan pemeriksaan, diketahui adanya
cacat fisik pada janin, bolehkah kita menggugurkannya? maksudnya
mengeluarkan janin sebelum masa kelahirannya ?
Beliau rahimahullah menjawab :
Tidak boleh, bahkan wajib dibiarkan, karena terkadang Allah Azza wa
Jalla merubahnya. Banyak para dokter telah menyampaikan dugaan-dugaan
mereka, namun Allah Azza wa Jalla membatalkan dugaan mereka, anak
terlahir dengan selamat. Dan (untuk diingat-pent), Allah Azza wa Jalla
menguji para hamba-Nya dengan kesenangan dan juga dengan kesusahan. Jadi
tidak boleh menggugurkan kandungan karena dugaan cacat dari seorang
dokter, bahkan janin itu tetap harus dibiarkan. Jika dia memang cacat,
maka alhamdulillâh si orang tua bisa mendidiknya dan tetap bersabar
mengurusinya. (jika demikian-pent) Kedua orang tuanya akan mendapatkan
pahala yang besar. Mereka juga bisa menyerahkannya ke panti-panti
rehabilitasi yang didirikan oleh pemerintah untuk tujuan ini. Kedua
orang tuanya tidak mendapatkan dosa.
Terkadang keadaan berubah, mereka sudah menduga akan cacat namun pada
bulan kelima atau keenam, kondisinya berubah normal, Allah Azza wa Jalla
memberikan kesembuhan serta faktor-faktor yang menyebabkan cacat
menjadi sirna. [5]
_______
Footnote
[1]. At-Tanbîhât ‘ala Ahkâmin Takhtasshu Bihan Nisâ’, hlm. 25
[2]. Jâmi’ Ahkâmin Nisâ’ 4/607
[3]. At-Tanbîhât ‘alâ Ahkâmin Takhtasshu Bihan Nisâ’, hlm. 26
[4]. Fatâwa Lajnatid Dâimah Lil Buhûts Wal Iftâ`, 21/435-436
[5]. al Fatâwa al Muta’alliqah Bit Thibbi Wa Ahkâmil Mardha, hlm. 275.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar