KEMBALINYA PEMBERI FATWA KEPADA YANG BENAR.
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika seseorang ditanya
tentang sesuatu, lalu ia memberi fatwa mengenai hal tersebut, lalu
setelah beberapa waktu tampak baginya bahwa yang telah difatwakannya itu
tidak benar, apa yang harus diperbuatnya?
Jawaban
Hendaknya ia kembali kepada yang benar dan memberi fatwa dengan
kebenaran serta mengatakan bahwa ia telah salah. Hal ini sebagaimana
yang dikatakan Umar, "Kebenaran itu telah pasti." Dari itu, hendaknya ia
kembali kepada yang benar dan memberi fatwa yang benar serta
mengatakan, "Saya telah salah dalam masalah terdahulu, saya menfatwakan
begini dan begini, lalu ternyata hal itu salah, adapun yang benar adalah
begini, begini." Tidak apa-apa begitu, bahkan seharusnya memang begitu.
Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pemimpin para pemberi fatwa,
ketika orang-orang bertanya kepada beliau tentang mengawinkan tanaman,
yaitu pada pohon korma, beliau mengatakan,
"Aku pikir itu tidak perlu."
Lalu orang-orang itu memberitahu beliau, bahwa jika tidak demikian maka akan gagal. Selanjutnya beliau mengatakan,
"Sesungguhnya aku hanya menduga. Jadi, jangan kalian salahkan aku karena
dugaan, tapi jika aku sampaikan sesuatu dari Allah, hendaklah kalian
menerimanya, karena sesungguhnya aku tidak akan berdusta atas nama Allah
Subhanahu wa Ta’ala."[HR. Muslim dalam Al-Fadha’il (2361} senada dengan
itu]
Kemudian beliau memerintahkan mereka untuk kembali mengawinkan tanaman tersebut.
Demikian juga Umar Radiyallahu ‘anhu, pernah menfatwakan bahwa saudara
tidak mendapatkan warisan dalam kondisi musyarakah (bila kakek orang
yang meninggal masih hidup). Kemudian menfatwakan kembali berdasarkan
dalil yang dianggap rajih dalam hal itu, bahwa saudara tetap mendapatkan
warisan.
Jadi, kembali kepada sesuatu yang diyakini oleh seorang ulama, bahwa hal
itu benar dan haq, adalah sesuatu yang tidak diketahui, karena itulah
jalannya para ahli ilmu dan iman. Tidak ada dosa dalam hal ini, tidak
pula ada kekurangan, bahkan menunjukkan keutamaan dan kekuatan imannya,
karena ia mau kembali kepada yang benar dan meninggalkan yang salah.
Jika ada seseorang, atau ada orang bodoh yang mengatakan, "Sungguh ini
suatu aib" itu bukan apa-apa, yang benar bahwa itu adalah keutamaan dan
itulah kelebihan, bukan kekurangan.
[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, edisi 47, hal. 172-173, Syaikh Ibnu Baz]
FATWA DI ZAMAN INI
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa pendapat Syaikh
tentang ungkapan yang menyebutkan, "Sesungguhnya perkara-perkara
kontemporer sangat kompleks ruwet, karena itu, fatwa-fatwa yang
dikeluarkan harus dari kelompok yang universal, yang terdiri dari
berbagai kalangan spesialis yang membidangi berbagai problema atau
kondisi, yang mana di antara mereka ada ahli fikihnya?"
Jawaban
Sesungguhnya fatwa itu harus berotasi pada dalil-dalil syari'at Jika
fatwa itu dikeluarkan dari kelompok yang lebih lengkap, tentu akan lebih
lengkap dan lebih utama untuk mencapai kebenaran, tapi hal ini tidak
menghalangi seorang alim untuk mengeluarkan fatwa berdasarkan syari'at
nan suci yang diketahuinya.
[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, edisi 32, hal. 117, Syaikh Ibnu Baz]
PEMINTA FATWA TIDAK DIPERSALAHKAN JIKA BERTINDAK SESUAI FATWA ORANG LAIN
Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Mengenai orang awam
yang bukan mujtahid, jika ia melakukan suatu perbuatan dengan berpedoman
pada fatwa salah seorang ulama yang mu'tabar di negerinya, apakah ia
turut bertanggung jawab atas akibat perbuatannya tersebut, atau apakah
ia tidak ikut bertanggung jawab karena mengikuti pemberi fatwanya?
Jawaban
Jika pemberi fatwa itu seorang yang diakui di kalangan para ahli ilmu,
yaitu dalam segi keilmuan, keimanan dan kewara'annya serta telah
mengemban tugas syar'i yang perannya memang demikian, seperti; qadhi
(hakim), guru, pengajar, khathib, pendidik, jika memberi fatwa, maka
fatwanya boleh dipegang bila memang tidak ada yang lebih alim darinya.
Juga bila tidak mengelishi nash-nash syari'at yang jelas dan tidak ada
perbedaan pendapat dengan para ahlul ilmi atau sebagian ahlul ilmi.
Orang yang melaksanakan fatwa itu tidak dipersalahkan karena perbuatan
tersebut, baik berupa akibat maupun tanggung jawab, karena dosanya
ditanggung oleh pemberi fatwa jika ia tergesa-gesa dan memberi fatwa
tanpa berdasarkan ilmu.
[Fatwa Syaikh Abdullah Al-Jibrin yang beliau tanda tangani]
PEMINTA FATWA TIDAK DIPERSALAHKAN SEHINGGA PERKARANYA JELAS
Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Jika seorang awam
mengikuti fatwa seorang ulama yang mu'tabar di negerinya dan
melaksanakan petunjuk yang terkandung di dalamnya, lalu tampak kesalahan
pada perbuatan tersebut, apakah hakim boleh menghukumnya akibat
perbuatan tersebut yang sebenarnya berpatokan pada fatwa seorang ulama?
Jawaban:
Perlu diperhatikan perkara yang menimbulkan kesalahan itu, jika hal itu
membahayakan atau merugikan orang lain, maka kesalahan dilimpahkan
kepada pemberi fatwa, karena ia telah memberi fatwa dengan tergesa-gesa
tanpa berdasarkan ilmu sehingga mengakibatkan lahirnya bahaya tersebut.
Sang hakim hendaknya menghukum pemberi fatwa, karena ia telah memberi
fatwa dengan cara yang tidak seksama, lalu hakim memperingatkan agar
tidak tergesa-gesa dalam memberi fatwa karena bisa menimbulkan bahaya,
walaupun pemberi fatwa itu tidak mengharuskan pelaksanaan fatwanya
tersebut. Jika penerima fatwa itu salah dalam bertindak dan bertentangan
dengan fatwa tersebut lalu menimbulkan bahaya terhadap orang lain, maka
kesalahan tersebut ditimpakan kepada penerima fatwa, karena ia telah
merubah fatwa dan menyelisihi apa yang diucapkan oleh pemberi fatwa.
Jika hal tersebut tidak menimbulkan bahaya terhadap orang lain, tapi
sekedar menggugurkan perbuatan tersebut, maka tidak ada yang
dipersalahkan, baik pemberi fatwa maupun penerima fatwa, hanya saja
perbuatan tersebut digugurkan dan diharuskan untuk diulang jika itu
suatu kewajiban.
[Fatwa Syaikh Abdullah Al-Jibrin yang beliau tanda tangani]Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar