PENTINGNYA KEJUJURAN DEMI TEGAKNYA DUNIA DAN AGAMA.Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.Sifat jujur merupakan faktor terbesar tegaknya agama dan dunia.
Kehidupan dunia tidak akan baik, dan agama juga tidak bisa tegak di atas
kebohongan, khianat serta perbuatan curang.
Jujur dan mempercayai kejujuran, merupakan ikatan yang kuat antara para
rasul dan orang-orang yang beriman dengan mereka. Allah berfirman.
وَالَّذِي جَآءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
لَهُم مَّايَشَآءُونَ عِندَ رَبِّهِمْ ذَلِكَ جَزَآءُ الْمُحْسِنِينَ
"Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan orang yang
membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertaqwa. Mereka
memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Rabb mereka. Demikianlah
balasan orang-orang yang berbuat baik". [Az zumar:33-34].
Karena (tingginya) kedudukan perbuatan jujur di sisi Allah, juga dalam
pandangan Islam serta dalam pandangan orang-orang beradab dan juga
karena akibat-akibatnya yang baik, serta bahaya perbuatan bohong dan
mendustakan kebenaran; saya ingin membawakan naskah ini. Saya ambil dari
Al Qur’an, Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sejarah
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, sejarah dan kenyataan hidup
orang-orang jujur dari kalangan shahabat Rasulullah. Dan hanya kepada
Allah, saya memohon agar menolong dan memberikan taufiq kepada saya
dalam menyampaikan nasihat dan penjelasan kepada kaum muslimin semampu
saya. Dan saya memohon kepada Allah, agar Ia menjadikan kita orang-orang
jujur yang bertekad memegang teguh kejujuran, serta menjadikan kita
termasuk orang orang yang cinta kebenaran, mengikutinya serta
mengimaninya. Karena keagungan nilai dan kedudukan perbuatan jujur di
sisi Allah dan di sisi kaum muslimin, Allah menyifatkan diriNya dengan
kejujuran (benar-pent). Allah berfirman.
قُلْ صَدَقَ اللهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَاكَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
"Katakanlah:"Benarlah (apa yang difirmankan) Allah." Maka ikutilah agama
Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang
musyrik". [Ali Imran :95]
Ini adalah pujian dari Allah untuk diriNya dengan sifat agung ini. Allah
jujur (benar-pent) dalam semua beritaNya, syari’ahNya, dalam
kisah-kisahNya tentang para nabi dan umat-umat mereka. Allah berfirman.
وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللهِ حَدِيثًا
"Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah". [An Nisa:89].
وَعْدَ اللهِ حَقًّا وَمَنْ أَصْدَقُ مِّنَ اللهِ قِيلاً
"Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah". [An Nisa :122].
ذَلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ
"Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar". [Al An’am:146].
Demikianlah Allah menyifatkan diriNya dengan sifat agung ini. Dia jujur
dalam ucapan, perbuatan, janji, ancaman dan jujur dalam pemberitaan
tentang kehidupan para nabi dan para wali-waliNya serta Allah jujur
dalam pemberitaan tentang musuh-musuhNya yang kafir.
Allah juga menyifatkan para nabiNya dengan sifat jujur. Lalu Dia
mendukung para nabi itu dengan mukjizat dan tanda-tanda agung sebagai
bukti kejujuran (kebenaran) mereka, dan untuk menghancurkan kebohongan
para musuh Allah.
Diantara bentuk dukungan terbesar Allah kepada para nabi, ialah
pemusnahan musuh-musuh Allah dengan topan, angin ribut, petir, gempa
bumi, ada yang di tenggelamkan ke tanah dan air. Sementara para nabi dan
pengikut mereka diselamatkan. Semua ini merupakan bukti dari Allah atas
kejujuran para nabiNya, bahwa mereka benar utusanNya dan (sebagai)
penghinaan kepada musuh Allah dan musuh para rasul.
Diantara para nabi yang disifati dengan sifat jujur dalam Al Qur’an,
yaitu: Ibrahim, Ismail dan Idris. [1] Allah menyifatkan mereka dengan
sifat jujur. Ini menunjukkan kokohnya sifat itu pada diri mereka. Dan
bahwasanya perkataan, perbuatan, janji serta perjanjian-perjanjian
mereka, semuanya tegak di atas kejujuran.
Semua ayat dalam Al Qur’an, yang dengannya Allah menantang manusia dan
jin untuk membuat yang serupa dengannya -namun mereka tidak bisa-
merupakan bukti terbesar atas kejujuran Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam, bahwa dia benar-benar Rasulullah dan penutup para nabi. Dan
persaksian Allah bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam penutup
para nabi, juga merupakan bukti besar atas kejujurannya Shallallahu
'alaihi wa sallam, karena tidak ada seorangpun yang mengaku menjadi nabi
setelah beliau, kecuali pasti Allah Azza wa Jalla membuka kedoknya dan
menyingkapkan aib serta kebohongannya. Bahkan tidak ada seorangpun yang
berdusta atas nama beliau dengan membawakan sebuah perkataan yang
disandarkan kepada nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, melainkan pasti
Allah membuka kedoknya dengan penjelasan para pengikut risalahnya yang
jujur, yaitu para ahli hadits dan yang lainnya.
Allah berfirman, dalam memujinya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kebenaran serta kejujuran yang beliau bawa.
بَلْ جَآءَ بِالْحَقِّ وَصَدَّقَ الْمُرْسَلِينَ
"Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan raul-rasul (sebelumnya)". [As Shaffat:37].
Kedudukan yang tinggi ini, Allah Azza wa Jalla berikan kepada hamba sekaligus rasulNya ; Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Allah Azza wa Jalla juga menerangkan sifat hamba-hambaNya yang beriman,
yang jujur dalam keimanan, perbuatan, perjuangan dan
perjanjian-perjanjian mereka.
أُوْلَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
"Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa". [Al Baqarah:177].
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ
لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ
اللهِ أُوْلاَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka
berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah
orang-orang yang benar". [Al Hujurat:15].
Allah juga berfirman memuji Muhajirin yang faqir dan semua sahabat
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. (Mereka) merupakan orang-orang
jujur ; Anshar ataupun Muhajirin.
لِلْفُقَرَآءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ
وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا
وَيَنصُرُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
"Bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan
dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan
keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya.Mereka itulah
orang-orang yang benar". [Al Hasr : 8].
Dan sungguh semua sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
mendapat pengakuan dan pujian dari Allah dalam Al Qur’an. Mereka juga
dipuji oleh Rasulullah n dalam banyak hadits.
Diantara sifat mereka yang paling nampak dan jelas ialah kejujuran.
Agama tidak akan bisa tegak, begitu juga dunia tidak akan baik, kecuali
dengan sifat ini. Para shahabat yang jujur ini serta para pewaris mereka
telah menyampaikan Kitab Allah dan Sunnah RasulNya kepada kita dengan
penuh kejujuran serta amanah.
Para ulama juga menukilkan buat kita sejarah kehidupan para sahabat
Radhiyallahu anhum, perlombaan mereka dalam kebaikan dan kebaikan mereka
(lainnya) yang mengungguli semua umat. Jadilah mereka umat terbaik yang
dikeluarkan untuk manusia.
Kita sudah faham pujian Allah kepada mereka secara umum dengan
sifat-sifat terpuji. Diantaranya adalah kejujuran. Dan makalah saya ini,
tidak akan cukup untuk menyebutkan semua hadits shahih tentang
fakta-fakta kejujuran mereka. Namun saya akan menyebutkan kisah tiga
orang shahabat sebagai contoh. Kisah mereka terkumpul dalam satu
kejadian. Dan sahabat yang paling menonjol diantara tiga orang tersebut
adalah Ka’ab Bin Malik Radhiyallahu 'anhu ; seorang sahabat yang
diselamatkan dari neraka, kemunafikan, murka Allah dan murka RasulNya
berkat kejujurannya. Kisah sahabat ini sudah sangat terkenal. Haditsnya
juga masyhur dan panjang. Karena keterbatasan tempat, saya akan memilih
dan menyampaikan potongan-potongan hadits ini, yang menunjukkan
kedudukan sahabat ini beserta temannya dalam peristiwa ini, supaya kaum
muslimin bisa mengambil pelajaran dan contoh dari para sahabat yang
jujur ini. Kisahnya sebagai berikut.
Pertama. Dari Abdullah bin Ka’ab, beliau berkata: Saya mendengar Ka’ab
Bin Malik menceritakan kisahnya ketika tidak ikut serta dalam perang
Tabuk. Ka’ab berkata,”Sebenarnya saya tidak pernah tertinggal dari
Rasulullah dalam satu peperanganpun, kecuali perang Tabuk. Hanya saja,
saya pernah tidak ikut perang Badr, namun pada saat itu Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mencela siapapun yang tidak ikut.
Karena Rasulullah keluar hanya untuk meghadang kafilah (kelompok dagang)
Quraisy, lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala mempertemukan mereka dengan
musuhnya tanpa terduga. Dan sungguh saya telah ikut menyaksikan Bai’atul
‘Aqabah bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika kami
berbai’at untuk Islam, dan saya tidak suka malam ’Aqabah itu disamakan
dengan perang Badr, walaupun perang ini lebih sering diingat oleh
manusia. Dan pengalamanku ketika tidak ikut Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam perang Tabuk, bahwasanya saya belum pernah
merasa lebih kuat dan lebih mampu dibandingkan keadaan saya sewaktu
tidak ikut perang ini. Demi Allah, saya tidak pernah menyediakan dua
kendaraan untuk berperang, kecuali menjelang perang Tabuk ini.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan berperang dalam musim yang
sangat panas dan akan menempuh perjalanan yang sangat jauh, serta akan
menghadapi musuh yang sangat besar. Oleh karena itu, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan perintahnya kepada kaum
muslimin agar mengadakan persiapan perang. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam menjelaskan kepada pengikutnya jalur perjalanan
mereka. Dan kaum muslimin yang ikut Rasulullah dalam perang ini banyak
sekali, sehingga tidak mungkin diingat oleh seorang penghafalpun,” Ka’ab
mengatakan,”Sebagian orang yang ingin tidak ikut dalam perang ini
menyangka tidak akan ketahuan, kecuali ada wahyu.”
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan perang ini pada
musim buah, sementara saya lebih cenderung kepada buah-buahan itu.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama kaum muslimin telah
mengadakan persiapan dan saya ingin pulang untuk persiapan. Kemudian
saya pulang, tetapi saya tidak melakukan apa-apa. Saya berkata dalam
hati, “Saya mampu untuk melakukan itu, jika saya mau.” Keadaan seperti
itu terus berlarut sampai Rasulullah dan kaum muslimin sudah siap untuk
berangkat. Keesokan harinya, Rasulullah dan kaum muslimin berangkat.
Sementara saya belum siap sama sekali. Kemudian saya pulang, tetapi saya
tidak juga mempersiapkan diri. Keadaan itu berlarut terus sehingga
berangkatlah semua pasukan. Saya ingin berangkat menyusul mereka,
seandainya saya mau berbuat, namun akhirnya saya tidak mampu berbuat
apa-apa. Setelah Rasulullah berangkat perang, saya sangat sedih dan
kalau keluar rumah, saya tidak mendapatkan seorang yang bisa saya
jadikan panutan, kecuali orang-orang munafik atau orang-orang lemah yang
mendapatkan keringanan dari Allah’.
Dalam potongan kisah ini, terdapat isyarat kedudukan Baia’tul ‘Aqabah
dalam diri Ka’ab Bin Malik Radhiyallahu 'anhu. Karena bai’ah ini
(artinya) banyak berfungsi sebagai pondasi yang sangat kokoh, yang
mendasari hijrahnya para sahabat ke Madinah. Mendasari pertolongan dari
kaum Anshar. Yang mendasari tegaknya Daulah Islamiyah. Juga mendasari
jihad dan kekuatan Islam dan muslimin.
Bertolak dari bai’ah ini, peperangan terus meletus, penghancuran orang
yang murtad serta pengiriman bala tentara ke beberapa penjujur alam
untuk membuka mata hati dengan cahaya Islam dan mengeluarkan mereka dari
kegelapan menuju cahaya Islam. Berdasarkan hal-hal ini, Ka’ab bin Malik
menyadari, betapa besar makna Bai’atul Aqabah ini, yang tidak bisa
digantikan.
Ka’ab bin Malik menceritakan sebab absennya pada perang Tabuk dengan
benar, dengan bahasa gamblang penuh kejujuran, keluar dari hati penuh
iman. Berbeda dengan para munafiq pengecut; mereka mencari-cari alasan
dusta yang kemudian disingkap Allah dalam waktu singkat. Allah menyiksa
dan menempatkan mereka di neraka. (Perhatikan beberapa point berikut
ini, pent.).
1. Dia (Ka’ab bin Malik) menjelaskan dengan gamblang, ketidak ikutannya
bukan karena kemiskinan atau karena fisik. Sebelum perang Tabuk, ia
pernah ikut beberapa peperangan, padahal kondisinya tidak sebaik ketika
perang Tabuk. Dia katakan,“Bahwasanya saya belum pernah merasa lebih
kuat dan lebih mampu dibandingkan keadaan saya sewaktu tidak ikut perang
ini. Demi Allah, saya tidak pernah menyediakan dua kendaraan untuk
berperang, kecuali menjelang perang Tabuk ini.”
2. Dia juga menyebutkan beberapa sebab yang mempengaruhi tekadnya untuk
jihad, yaitu kondisi yang sangat panas, jarak perjalanan yang jauh
terbentang antara Madinah dan Tabuk, serta jumlah pasukan Romawi dan
orang Arab yang bersekutu dengan Romawi.
3. Ka’ab juga menjelaskan faktor yang mungkin paling penting dari faktor
absennya, yaitu baiknya musim buah. Kemudian beliau menjelaskan sesuatu
yang sangat mungkin disembunyikan, namun jiwanya yang jujur menolak
kebohongan itu dan menjelaskan,‘saya cenderung kepada buah-buahan itu’,
maksudnya hawa nafsunya lebih cenderung kepada buah-buahan. Ini
merupakan tingkat kejujuran yang sangat jarang dicapai orang.
4. Dia menyebutkan pertarungan jiwanya, antara keinginan menyusul
Rasulullah dan para mujahidin dengan keinginan untuk duduk-duduk di
bawah naungan rerimbunan dan buah yang baik.
5. Akhirnya, ia menceritakan penyesalannya dan perasaan tersiksa yang
menimpanya akibat tidak ikut perang. Karena ia tidak menemukan satu
panutan pun dalam hal ini, kecuali orang-orang munafiq dan beberapa
orang yang mendapatkan keringanan dari Allah. Ini merupakan bukti
hatinya yang tanggap dan imannya yang jujur.
Kedua : Kemudian Ka’ab bin Malik bercerita: Setelah ada berita, bahwa
Rasulullah akan datang dari Tabuk, maka datanglah kesedihan saya dan
hampir saja aku berdusta. Lalu saya berkata dalam hati,”Apa yang bisa
menghindarkan saya dari murkanya Shallallahu 'alaihi wa sallam besok?”
Saya sudah minta tolong kepada keluargaku yang cerdas untuk mencarikan
alasan. Setelah ada yang mengatakan, Rasulullah hampir sampai, hilanglah
niatku untuk berbohong dan saya yakin, bahwa saya tidak akan bisa
selamat dari murka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam selama-lamanya.
Maka saya bertekad untuk berkata sejujurnya.
Pagi harinya Rasulullah datang. Seperti biasanya, jika baru pulang dari
safar, beliau datang ke masjid dan shalat dua raka’at, kemudian duduk
untuk (keperluan) umatnya. Pada saat itu, orang-orang yang tidak ikut
perang datang menyampaikan alasan dan mereka bersumpah. Jumlahnya
sekitar 80. Rasulullah n menerima alasan mereka, membai’at mereka dan
memohonkan ampun buat mereka, serta menyerahkan urusan batin mereka
kepada Allah k .
Sewaktu saya menghadap beliau dan mengucap salam, beliau tersenyum sinis
seraya berkata,”Kemarilah!” Saya mendekat dan duduk di hadapannya.
Beliau bersabda kepada saya,”Apa yang menyebabkanmu tidak ikut? Bukankah
engkau telah berbai’at?” Saya menjawab,”Wahai Rasulullah, demi Allah,
seandainya saya duduk di hadapan penduduk dunia selain engkau, niscaya
saya akan mengemukakan alasan untuk menghindarkan diri dari
kemurkaannya, karena saya bisa berdebat. Tetapi demi Allah, saya tahu,
seandainya saya berdusta yang membuat tuan ridha dan menerima alasan
saya, namun nanti Allah akan memurkai saya lewat tuan. Dan jika saya
bercerita sejujurnya, niscaya tuan akan merasa iba pada diri saya.
Sungguh saya hanya mengharapkan ampunan dari Allah. Demi Allah,
sesungguhnya saya tidak mempunyai alasan. Demi Allah, saya tidak pernah
merasa lebih kuat dan mudah (sebelumnya) dibandingkan ketika saya tidak
ikut perang bersama Rasulullah.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda,”Orang ini sudah berkata jujur. Pergilah (menunggu)
sampai Allah memberikan keputusan tentangmu.” Sayapun berdiri dan pergi.
Dalam potongan hadits di atas, Ka’ab menyebutkan posisinya yang baru,
ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para mujahidin
pulang membawa kemuliaan, kemenangan dan pahala. Manfaat apakah yang
diperoleh Ka’ab dari ketertinggalannya itu, meskipun penyebab tidak
ikutnya adalah (karena) musim buah-buahan? Dan siapakah figur selain
orang-orang munafiq dan kaum muslimin yang lemah? Hati Ka’ab Bin Malik
meradang karena rasa menyesal.
Pada saat yang sama, syetan berbicara dan membisikkan kata-kata bohong.
Akan tetapi, berkat karunia Allah dan pemeliharaanNya, (maka) niat
bohong dan kebathilan telah lenyap dari hatinya, karena kelurusan iman
dan keikhlasannya. Lalu Allah membimbingnya ke arah faktor keselamatan
terbesar setelah iman, yaitu kejujuran -terutama ketika (menghadapi)
bahaya dan kejadian-kejadian yang menakutkan.
Dan perkataan Ka’ab Bin Malik Radhiyallahu 'anhu : Setelah ada yang
mengatakan, Rasulullah hampir sampai, hilanglah niatku untuk berbohong
dan saya yakin, bahwa saya tidak akan bisa selamat dari murka beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam selama-lamanya. Maka saya bertekad untuk
berkata sejujurnya. Pagi harinya Rasulullah datang. Seperti biasanya,
jika baru pulang dari safar, beliau datang ke masjid dan shalat dua
raka’at.
Ka’ab menyebutkan satu perubatan sunnah yang hampir terlupakan, atau
sudah terlupakan oleh banyak kaum muslimin, yaitu shalat dua raka’at di
masjid, ketika baru datang dari perjalanan jauh.
Ka’ab juga menceritakan sikap orang-orang munafiq, mereka berdusta dan
berpura-pura, lalu menguatkan dusta mereka itu dengan sumpah, sehingga
tidak ada alasan bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kecuali
menerima alasan dan menyerahkan urusan hati mereka kepada Allah Azza wa
Jalla Yang Mengetahui perkara ghaib, Dia Maha Tahu pengkhianatan mata
dan juga Tahu yang terbetik dalam hati. Sedangkan Ka’ab, dengan ilmunya,
dia mengetahui bahwa dusta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam tidak akan bisa menyelamatkannya dari murka Allah dan RasulNya,
walaupun didukung dengan sumpah. Dia mengetahui itu semua berkat taufiq
dari Allah. Lalu dia menjelaskan penyebab ketidak ikutannya dengan
benar.
Ketiga : Ka’ab berkata: Genap sudah limapuluh malam masa pengucilan
saya. Pagi harinya saya melakukan shalat shubuh di tingkat atas rumahku.
Ketika saya duduk dalam keadaan yang telah diceritakan Allah, dada saya
terasa sempit, dunia terasa sempit padahal luas, tiba-tiba saya
mendengar orang berteriak di atas ketinggian,”Wahai Ka’ab Bin Malik,
bergembiralah!” Saya segera bersujud (bersyukur). Saya tahu, pasti telah
datang masa bahagia.
Ka’ab berkata,“Setelah shalat subuh, Rasulullah memberitahukan kepada
jama’ah, bahwa Allah telah menerima taubat kami. Lalu para sahabat
menyampaikan berita gembira itu kepada kami. Ada yang pergi kepada kedua
temanku, ada yang bergegas ke saya dengan mengendarai kuda. Ada juga
yang dari Aslam datang kepadaku, dia menaiki gunung (lalu berteriak),
suaranya jauh lebih cepat dibandingkan kuda.
Ketika orang yang saya dengar suaranya itu sampai kepadaku, baju yang
saya kenakan saya lepas dan saya pakaikan padanya, sebagai balasan kabar
gembira ini. Demi Allah, saya tidak punya pakaian yang lain saat itu.
Saya meminjam dua potong pakaian, lalu berangkat menemui Rasulullah.
Para sahabat berkelompok-kelompok menemuiku, seraya berucap,”Selamat
atas diterimanya taubatmu oleh Allah,” sampai saya masuk masjid. Disana
Rasulullah sedang duduk bersama para sahabat. Thalhah Bin Ubaidillah
bangkit, menyalamiku dan mengucapkan selamat. Demi Allah, tidak ada
seorang Muhajirin pun yang berdiri selain Thalhah.
Abdullah bin Ka’ab berkata,”Ka’ab Bin Malik tidak pernah melupakan sambutan Thalhah.”
Ka’ab Bin Malik berkata: Ketika saya mengucapkan salam kepada Rasulullah, dengan wajah ceria tanda bahagia, Rasul bersabda.
أَبْشِرْ بِخَيْرِ يَوْمٍ مَرَّ عَلَيْكَ مُنْذُ وَلَدَتْكَ أُمُّكَ
“Aku sampaikan kabar gembira kepadamu dengan hari yang paling baik sejak kamu dilahirkan ibumu.”
Akupun bertanya,”Apakah ini dari engkau, ataukah dari Allah?” Beliau
menjawab,”Bukan dariku, tetapi dari Allah.” Dan Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam jika bahagia, wajahnya Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersinar bagaikan belahan bulan.
Ka’ab bin Malik bercerita: Kami tahu tanda kebahagian beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam itu. Setelah duduk di hadapan beliau, saya
mengatakan,”Wahai Rasulullah, diantara bentuk taubatku adalah melepaskan
kekayaanku sebagai shadaqah kepada Allah dan RasulNya!” Beliau
menjawab,”(Jangan), tahanlah sebagian hartamu! Itu lebih baik buatmu.”
Ka’ab bekata,”Saya katakan,’Saya menahan hartaku yang di Khaibar.’
Ka’ab mengakui secara jujur penyebab ketidak ikutannya dalam perang
Tabuk. Begitu juga yang dilakukan dua sahabatnya: Murarah Bin Rabi’ dan
Hilal Bin Umayyah. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada kaum muslimin
untuk memutuskan komunikasi dengan mereka dan mengisolir mereka. Para
sahabat melaksanakan perintah itu, meskipun diantara mereka termasuk
keluarga dekat. Ini semua mereka lakukan dalam rangka mentaati Allah dan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Pemutusan komunikasi terus
berlanjut, sementara wahyu dari Allah belum juga turun. Ujian dan
masa-masa sulit itu berlangsung selama limapuluh hari.
Berita pemboikotan ini tersebar sampai ke telinga penguasa Nasrani
Ghasan. Dia menyangka, ini merupakan kesempatan untuk memalingkan Ka’ab
dan mengajaknya bergabung bersama mereka, untuk memuliakan Ka’ab
–menurut mereka. Namun keimanannya kepada Allah serta RasulNya, (dia)
menolak tawaran syaitani ini. Dan Ka’ab juga menyadari, bahwa ini juga
sebentuk ujian.
Sebagaimana diceritakan Ka’ab, bahwa masa sulit ini berakhir pada hari
ke limapuluh dengan diterimanya taubat mereka oleh Allah. Sementara
kondisi mereka –sebagaimana cerita Ka’ab- sebagaimana Allah sebutkan
dalam Al Qur’an, jiwa terasa sesak dan bumi terasa sempit padahal luas.
Para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat bahagia
dengan karunia yang Allah berikan kepada kawan-kawan mereka, yaitu
berupa penerimaan taubat, diridhai Allah dan RasulNya. (Mendengar ini),
para sahabat berlomba-lomba memberikan ucapan selamat. Ada diantara
mereka yang pergi dengan jalan kaki, sehingga ia terlambat, lalu naik ke
gundukan barang dan berteriak sehingga suaranya mendahului sahabat yang
pergi ke Ka’ab dengan menunggang kuda. (Ketika) Ka’ab pergi menghadap
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di tengah perjalanan para
sahabat memberikan ucapan selamat kepadanya. Kemudian dia menjumpai
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Wajah beliau bersinar penuh
bahagia. Beliau bersabda,”Aku menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan
hari yang paling baik sejak kamu dilahirkan ibumu.” Bagaimana tidak?!
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyelamatkannya dari kebinasaan, berkat
kejujurannya. Sungguh, ini merupakan hari yang lebih baik dari hari
bai’atnya ketika masuk Islam, yang merupakan peristiwa yang lebih
dicintainya daripada ikut perang Badr. Karena sangat bahagia dengan
taubat dan nikmat dari Allah ini kepadanya, ia mengatakan, “Wahai
Rasulullah, diantara bentuk taubatku adalah kulepaskan kekayaanku
sebagai shadaqah kepada Allah dan RasulNya.” Harta ini yang
menyebabkannya tidak ikut dalam jihad. (Demikian) ini merupakan bukti
lain dari kejujuran taubat dan kesungguh-sungguhannya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Tahanlah sebagian
hartamu” Lalu, apa yang diperbuat Ka’ab? Dia melepaskan semua hartanya
yang di Madinah dan menyisakan yang di Khaibar, yang mungkin tidak
menjadi penyebab absennya dalam jihad.
Keempat : Kemudian Ka’ab memberitahukan faktor utama keselamatannya
yaitu,”Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya diselamatkan Allah berkat
kejujuran, dan sungguh diantara bentuk taubatku adalah tidak akan
berbicara pada sisa umurku, kecuali berbicara dengan jujur.”
Lalu ia melanjutkan ceritanya: Demi Allah, sejak saya bercerita jujur
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai sekarang ini,
saya tidak pernah mengetahui seorang muslimin pun yang diuji Allah
dengan ujian yang lebih baik daripada ujian Allah kepadaku. Demi Allah,
sejak saat itu, saya tidak pernah sengaja berbuat dusta sampai sekarang
ini. Dan sungguh saya berharap, agar Allah menjaga saya pada usia yang
masih tersisa. Kemudian Allah berfirman (yang artinya): Dan terhadap
tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) kepada mereka, hingga
apabila bumi telah menjadi sempit bagi meraka, padahal bumi itu luas dan
jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka
telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah,
melainkan kepadaNya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar
mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. [At
Taubah:118-119].
Ka’ab berkata: Demi Allah, Allah tidak memberikan nikmat yang lebih
agung kepada saya setelah Islam, selain nikmat kejujuran saya kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga saya tidak berbuat
dusta yang menyebabkan saya celaka sebagai para pendusta itu.
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman kepada para pendusta dengan
firman yang sangat jelek. Allah berfirman (artinya): Kelak mereka
bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada
meraka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah kepada
mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka
Jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka
akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. Tetapi jika
sekiranya kamu ridha terhadap mereka, maka sesungguhnya Allah tidak
ridha kepada orang-orang yang fasik itu. [At Taubah:95-96]
Demikian ini balasan bagi para pendusta, meskipun dusta mereka itu hanya
sekedar mencari muka dan alasan. Akan tetapi istighfar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam sama sekali tidak berguna untuk mereka,
baik ketika mereka masih hidup ataupun ketika mereka sudah meninggal.
Allah berfirman.
اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْلاَتَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِن تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ
سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَن يَغْفِرَ اللهُ لَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
كَفَرُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَاللهُ لاَيَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
"Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun kepada
mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka
tujuhpuluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun
kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah
dan RasulNya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik".
[At Taubah:80].
Dalam kisah ini terdapat pelajaran bagi orang-orang yang tidak
membersihkan jiwa mereka dengan tauhid, iman, berlaku jujur dan amal
shalih. Dan terkadang ada diantara para pendusta ini berkeyakinan, bahwa
perbuatan bohong dan perbuatan menipu yang mengakibatkan Rasul
Shallallahu 'alaihi wa sallam memaafkan mereka dan memohonkan ampun buat
mereka, ini semua akan menyelamatkan mereka dari adzab Allah dan
penghinaan Allah di dunia dan akhirat. (Bahkan sebaliknya, pent.) Allah
hancurkan angan-angan mereka itu dan Allah menyiksa mereka di dunia dan
akhirat. Dan istighfar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk
mereka, sama sekali tidak bermanfaat.
Kenyataan ini dijelaskan Allah dalam surat At Taubah dan lain-lainya.
Kemudian dipertegas dengan sabda Rasulullah kepada kaum Quraisy dan
anggota keluarga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, ”Belilah
(bebaskanlah) diri kalian dari (adzab) Allah, saya tidak akan bisa
memberikan manfaat sedikitpun buat kalian dari sisi Allah.”
Maka waspadalah orang-orang yang dusta –kapanpun dan di manapun- dalam
iman, keyakinan, perkataan dan persaksian-persaksian mereka! Kedustaan
ini telah menyeret kepada kebinasaan, (sebagaimana) yang menimpa para
pendusta terdahulu.
Disini juga terdapat kabar gembira bagi orang-orang yang jujur dalam
iman, Islam, perbuatan, ucapan dan persaksian mereka, dengan terhindar
dari kebinasaan; sebagaimana Ka’ab dan kedua sahabatnya Radhiyallahu
'anhum. Mereka selamat berkat kejujuran, pada saat kondisi menuntut
orang yang lemah iman dan berjiwa lemah untuk berbuat dusta. Allah
berfirman.
قَالَ اللهُ هَذَا يَوْمُ يَنفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ لَهُمْ
جَنَّاتُُ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا
رَّضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
"Allah berfirman:"Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang
yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah
ridha terhadap mereka, dan merekapun ridha terhadapnya. Itulah
keberuntungan yang paling besar". [Al Maidah:119].
BUAH KEJUJURAN : KEBERUNTUNGAN
Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari-Muslim, dari Thalhah bin Ubaidillah,
ia mengatakan: Ada seorang lelaki dari Najd datang kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan rambut acak-acakan. Kami
mendengar gema suaranya, tetapi kami tidak faham, sampai ia mendekat
kepada Rasulullah. Ternyata ia bertanya tentang Islam, maka Rasulullah
bersabda,”(Islam itu) shalat lima kali sehari-semalam.” Orang itu
bertanya,”Apakah ada kewajiban (shalat) lainnya atas saya?” Rasulullah
menjawab,”Tidak ada, kecuali engkau mau melaksanakan yang sunnah.”
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Dan puasa Ramadhan.”
Dia bertanya,”Apakah ada kewajiban (puasa) lainnya atas saya?”
Rasulullah menjawab,”Tidak ada, kecuali engkau mau melaksanakan yang
sunnah.”
Thalhah mengatakan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan
zakat, orang itu bertanya,”Apakah ada kewajiban (zakat) lainnya atas
saya?” Rasulullah menjawab,”Tidak ada, kecuali engkau mau melaksanakan
yang sunnah.”
Thalhah mengatakan: Kemudian orang itu pulang sambil berkata,”Demi
Allah, saya tidak akan menambah dan juga tidak akan menguranginya.”
Rasulullah bersabda.
أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ
"Dia beruntung, jika ia jujur"
Dalam kitab Shahih Muslim terdapat hadits dari Anas bin Malik
Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Sesungguhnya kami dilarang bertanya
kepada Rasulullah tentang sesuatu. Dan kami sangat heran pada kedatangan
seorang laki-laki badui menghadap Rasulullah, seraya bertanya,”Wahai
Rasulullah, seorang utusanmu telah mendatangi kami dan mengatakan, bahwa
engkau mengaku diutus Allah.” Rasulullah bersabda,”Dia benar.” Orang
itu bertanya,”Siapakah yang menciptakan langit?” Rasulullah n
menjawab,”Allah.” Orang itu bertanya (lagi),”Siapakah yang menciptakan
bumi?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Allah.” Orang
itu bertanya (lagi),“Siapakah yang menancap gunung dan menciptakan semua
yang ada di sana?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab,”Allah.” Lelaki tadi mengatakan,”Demi Dzat yang menciptakan
langit, bumi dan yang menancapkan gunung, apakah Allah (yang
benar-benar) mengutusmu?” Rasul menjawab,”Ya.” Lelaki itu
berkata,”Utusanmu juga mengaku, bahwa wajib atas kami untuk shalat lima
kali sehari-semalam.” Rasulullah menjawab,”Dia benar.” Orang itu
bertanya lagi,”Demi Dzat Yang mengutusmu, apakah Allah yang
memerintahkanmu melakukan ini?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab,”Ya.” Lelaki itu berkata,”Utusanmu juga mengaku, bahwa wajib
atas kami zakat dari harta kami.” Rasulullah menjawab,”Dia benar.” Orang
itu bertanya lagi,”Demi Dzat Yang mengutusmu, apakah Allah yang
memerintahkanmu melakukan ini?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab,”Ya.” Lelaki itu berkata,”Utusanmu juga mengaku, bahwa wajib
atas kami untuk puasa bulan Ramadhan dalam setahun.” Rasulullah
menjawab,”Dia benar.” Orang itu bertanya lagi,”Demi Dzat Yang
mengutusmu, apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan ini?” Beliau n
menjawab,”Ya.” Lelaki itu berkata,”Utusanmu juga mengaku, bahwa wajib
atas kami untuk haji bagi siapa saja yang mampu.” Rasulullah
menjawab,”Dia benar.” Orang itu bertanya lagi,”Demi Dzat Yang
mengutusmu, apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan ini?” Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Ya.”
Anas Radhiyallahu 'anhu berkata: Kemudian orang itu pergi dan
berkata,”Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak
akan menambah dan tidak menguranginya.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda.
لَئِنْ صَدَقَ لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ
Jika ia jujur, pasti dia akan masuk syurga.
Kedua penanya dalam hadits di atas adalah orang cerdas. Keduanya telah
diberi Allah kecerdasan, kecerdikan dan pertanyaan yang baik, terutama
penanya yang kedua. Ada yang mengatakan, ia adalah Dhamam Bin Tsa’labah
Al Hudzali. Orang pertama bertanya tentang syariat Islam. Maka
Rasulullah menjawab dengan hal-hal yang diwajibkan atas seorang hamba,
berupa rukun agama ini setelah syahadatain. Karena sang penanya
zhahirnya seorang muslim, maka Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjelaskan, bahwa Islam itu adalah kewajiban-kewajiban (yang telah
disebutkan) ini.
Sang penanya pertama ini, juga mengakui hal serta konsisten
melaksanakannya. Karenanya, ia ingin tahu, adakah kewajiban lain
disamping rukun-rukun yang telah disebutkan ini? Dan Rasul menjawab,
tidak ada, kecuali perbuatan sunnah.
Ketika Rasulullah telah membedakan antara yang wajib dengan yang sunnah,
sang penanya tadi bersumpah, bahwa ia tidak akan menambah dan juga
tidak akan mengurangi. (Mendengar sumpah ini), Rasulullah menjawab untuk
memberikan kabar gembira berupa pahala yangbesar bagi si penanya dan
umat Islam yang melaksanakan kewajiban-kewajiban ini dengan benar, dia
beruntung, jika ia jujur. Maksudnya, perbuatannya sejalan dengan
perkataannya. Inilah sebuah kejujuran. Jadi keberuntungan terwujud dari
kejujurannya dalam berbuat dan berkata. Dan penanya pertama ini sudah
diberi kejujuran oleh Allah.
Sedangkan penanya kedua, pertanyaannya lebih dalam dan luas dibandingkan
dengan pertanyaan orang pertama. Penyusun kitab At Tahrir, yaitu
Muhammad Bin Ismail Al Asfahani mengatakan,“Ini menunjukkan baiknya
pertanyaan orang ini, keindahan kalimat dan urutannya. Dia pertama kali
menanyakan tentang kejujuran utusan yang ditugaskan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengajak mereka masuk Islam; “Apakah
ia jujur, bahwa engkau utusan Allah?” Rasul Shallallahu 'alaihi wa
sallam menjawab,”Dia benar.” Kemudian orang itu bertanya tentang
pencipta langit dan bumi dan siapakah yang menancapkan gunung-gunung,
karena orang ini seperti halnya orang Arab lainnya yang beriman kepada
tauhid rububiyah.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab setiap pertanyaan dengan kalimat Allah.
Kemudian, orang itu memastikan kebenaran syari’at-syari’at Islam yang
disampaikan oleh utusan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
seperti: shalat, zakat dan puasa. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam menjawab, dia benar.
Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sudah selesai menjawab
pertanyaan-pertanyaannya, orang itu berkata,”Demi Dzat yang telah
mengutusmu dengan kebenaran, saya tidak akan menambah dan tidak
menguranginya.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika
ia jujur, pasti dia akan masuk syurga.”
Alangkah besarnya buah kejujuran ini ; jujur dalam i’tiqad, jujur dalam berbicara dan dalam beramal.
Ini adalah sebagian manfaat kejujuran. Kejujuran akan membimbing si
pelaku kepada bir (perbuatan taat) di dunia yang merupakan induk
perbuatan baik, dan juga akan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi
Allah Azza wa Jalla. Jadi orang-orang yang jujur akan kekal di surga.
Mereka mendapatkan kesenangan yang sangat diidamkan, yang melebihi
kedudukan ini, yaitu keridhaan Allah.
Perbuatan jujur membimbing si pelaku kepada perbuatan bir, kemudian ke
syurga. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ
"Sesungguhnya kejujuran itu akan membimbing ke perbuatan bir, dan perbuatan bir akan membimbing masuk surga".
Di antara manfaat kejujuran, ialah mendapatkan ridha Allah, kemudian
akan dimasukkan ke dalam surga. Allah berfirman, yang artinya: " Ini
adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran
mereka. Bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai;
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka,
dan merekapun ridha terhadapnya. Itulah keberuntungan yang paling
besar". [Al Maidah:119].
Berbahagialah orang-orang yang jujur. Semoga Allah dengan karunia dan
rahmatNya, menjadikan kita termasuk orang-orang yang jujur. Sesungguhnya
Allah Maha Pengasih, Maha Dermawan dan Maha Pemurah.
وصلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه و سلم
(Diterjemahkan dari Majalah Al Ashalah dengan sedikit perubahan, Edisi 28/Tahun ke 5, 15 Jumadil Akhirah 1420 H, Halaman 51-62)
aangmuttaqin@ymail.com .az.zainalmuttaqin@gmail.com
________
Footnote
[1]. Lihat firman Allah dalam QS Maryam ayat 41, 54 dan 57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar