ZUHUD SUNNI, ZUHUD SHUFI.Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.Pernahkah Anda merasakan kesedihan ditinggal mati oleh orang yang Anda
kasihi di dunia ini? Atau pernahkah Anda kehilangan harta melimpah yang
pernah Anda miliki? Itu semua menunjukkan bahwa kehidupan dunia hanyalah
sementara. Dunia ini bukanlah hunian abadi bagi manusia. Kehidupan
hakiki adalah kehidupan di akhirat. Oleh karena itu, selayaknya orang
yang berakal, lebih mengutamakan kenikmatan yang kekal daripada
kehidupan fana ini. Bagaimana caranya? Agama Islam mengajarkan dengan
zuhud di dunia. Sahl bin Sa’d As-Sa’idi Radhiyallahu 'anhuma berkata:
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي
اللَّهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ
فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ
"Seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
lalu berkata: “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan. Jika
aku mengamalkannya, niscaya Allah mencintaiku dan manusia juga
mencintaiku!” Rasulullah bersabda: “Zuhudlah di dunia, niscaya Allah
mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada tangan-tangan
manusia, niscaya mereka akan mencintaimu!'. [1]
MAKNA ZUHUD
Disebutkan di dalam kitab kamus Mu’jamul Wasith, bab Zahida:
زَهِدَ فِيْهِ وَ عَنْهُ – يَزْهَدُ – زُهْدًا, وَ زَهَادَةً
Yaitu, seseorang melakukan zuhud atau zahaadah. Artinya, dia berpaling
darinya dan meninggalkannya karena dia meremehkannya, atau menghindari
kesusahan darinya, atau karena sedikitnya.
Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata: “Zuhud adalah istilah
dari berpalingnya keinginan dari sesuatu menuju yang lain yang lebih
baik darinya. Dan syarat hal yang ditinggalkan keinginannya itu, juga
disukai pada sebagian sisinya. Maka barangsiapa meninggalkan sesuatu
yang dzatnya tidak disukai dan tidak dicari, dia tidak dinamakan zaahid
(orang yang zuhud)”.[2]
Tujuan meninggalkan dunia bagi orang yang zuhud adalah untuk meraih
kebaikan akhirat, bukan semata-mata untuk rileks dan menganggur.
Abu Sulaiman rahimahullah berkata,”Orang yang zuhud bukanlah orang yang
meninggalkan kelelahan-kelelahan dunia dan beristirahat darinya. Tetapi
orang yang zuhud adalah orang yang meninggalkan dunia, dan
berpayah-payah di dunia untuk akhirat.” [3]
Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata,”Maksud zuhud di dunia
adalah mengosongkan hati dari menyibukkan diri dengan dunia, sehingga
orang itu dapat berkonsentrasi untuk mencari (ridha) Allah, mengenalNya,
dekat kepadaNya, merasa tenang denganNya, dan rindu menghadapNya.”[4]
Menurut Imam Ahmad rahimahullah , zuhud itu ada tiga bentuk. Pertama,
meninggalkan yang haram. (Demikian) ini zuhudnya orang-orang awam.
Kedua, meninggalkan yang berlebih-lebihan dari yang halal. (Demikian)
ini zuhud orang-orang khusus. Ketiga, meninggalkan semua perkara yang
menyibukkan diri dari Allah. Ini zuhudnya orang-orang ‘arif (orang-orang
yang faham terhadap Allah).[5]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, ”Zuhud yang
bermanfaat, disyari’atkan, dan yang dicintai oleh Allah dan RasulNya,
adalah zuhud (meninggalkan dan mengecilkan arti) segala sesuatu yang
tidak bermanfaat di akhirat. Berkaitan dengan hal-hal yang berguna di
akhirat dan piranti yang dapat mendukungnya, maka zuhud (meninggalkan
dan meremehkan) terhadap hal-hal ini, berarti meremehkan satu jenis
ibadah kepada Allah dan ketaatan kepadaNya. Yang dimaksud zuhud hanyalah
dengan meninggalkan semua yang membahayakan atau segala sesuatu yang
tidak bermanfaat. Adapun zuhud terhadap hal-hal yang bermanfaat, ini
adalah sebuah bentuk ketidaktahuan dan kesesatan.” [6]
INI BUKAN ZUHUD!
Setelah kita mengetahui penjelasan di atas, ternyata ada sebagian orang
melakukan berbagai perbuatan dengan anggapan bahwa perbuatan tersebut
termasuk dalam kategori zuhud. Padahal hanya merupakan tipu daya Iblis.
Di antara perbuatan zuhud yang keliru:
1. Meninggalkan Dunia Sama Sekali.
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Orang awam terkadang mendengar
celaan terhadap dunia di dalam Al Qur’an yang mulia dan hadits-hadits,
lalu dia berpendapat bahwa (jalan) keselamatan adalah meninggalkan
dunia. Dia tidak memahami masalah duniawi yang tercela. Kemudian Iblis
mempermainkannya, (dengan menyimpulkan) bahwa “engkau tidak akan selamat
di akhirat kecuali dengan meninggalkan dunia”. Maka ia pun mengasingkan
diri ke gunung-gunung, menjauhi shalat Jumat, shalat jamaah, dan juga
(majlis) ilmu. Dia menjadi seperti binatang liar. Dan dikhayalkan
kepadanya bahwa inilah zuhud hakiki. Bagaimana tidak, sedangkan dia
telah mendengar tentang si A yang berkelana, dan tentang si B yang
beribadah di atas gunung.
Padahal, kemungkinan dia memiliki keluarga, sehingga tidak terurus. Atau
masih memiliki ibu yang menangis karena ditinggalkan. Ada kemungkinan
juga, ia tidak mengetahui rukun-rukun shalat sebagaimana mestinya. Atau
mungkin juga, dia masih menanggung beban kezhaliman-kezhalimannya yang
belum terselesaikan. Sesungguhnya iblis mampu mengelabuhi orang ini
karena kedangkalan ilmunya. Dan termasuk kebodohannya, dia telah puas
dengan apa yang dia ketahui.
Seandainya dia diberi bimbingan (oleh Allah) dengan berteman dengan
seorang faqiih (ahli agama) yang memahami hakikat-hakikat, niscaya orang
faqiih itu akan memberitahukan kepadanya, bahwa pada asalnya dunia
tidak tercela. Bagaimana mungkin dunia dicela, segala sesuatu yang
dianugerahkan Allah Ta’ala, merupakan kebutuhan pokok untuk kelangsungan
hidup manusia, dan merupakan sarana yang mendukung manusia dalam meraih
ilmu dan ibadah, yang berupa makanan, minuman, pakaian, dan masjid yang
digunakan untuk shalat?! Sesungguhnya yang tercela hanyalah mengais
bagian dari dunia yang tidak halal, atau mengambilnya dengan berlebihan,
tidak sesuai dengan kebutuhannya. Atau tindakan seseorang yang
mengikuti kedangkalan jiwanya, tanpa petunjuk syari’at.
Pergi mengasingkan ke gunung-gunung sendirian (hukumnya) terlarang,
karena Nabi n melarang seseorang bermalam sendirian [7]. Tindakannya
meninggalkan shalat jamaah dan shalat Jum’at merupakan kerugian, bukan
keuntungan. Jauh dari ilmu dan ulama akan mengakibatkan ia terkungkung
oleh belitan kebodohan. Meninggalkan ayah dan ibu seperti kasus di atas,
merupakan‘uquq (kedurhakaan terhadap orang tua), padahal termasuk dosa
besar”. [Al Muntaqa An Nafis min Talbis Iblis, hlm. 191-192, Syaikh Ali
bin Hasan Al Halabi].
2. Meninggalkan Hal-hal Mubah, Padahal Bermanfaat.
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Di antara tipu daya iblis
terhadap orang-orang zuhud, (adalah) iblis menjadikan mereka salah
sangka bahwa zuhud (berarti) meninggalkan hal-hal yang mubah (padahal
bermanfaat, Pen). Mereka, ada yang tidak menambahi (bahan lain) terhadap
roti gandum (yakni hanya makan roti gandum saja, Pen). Di antara
mereka, ada yang tidak pernah mencicipi buah-buahan. Ada juga dengan
cara mengecilkan porsi makanan, sehingga badannya menjadi kurus-kering.
Atau menyiksa diri dengan mengenakan baju dari bulu kambing dan
menghindarkan dirinya dari air dingin (segar). Ini bukanlah tuntunan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bukan pula tradisi para
sahabat dan para pengikut beliau. Mereka dahulu lapar, bila tidak
mendapatkan apapun. Namun jika mereka dapat meraihnya, mereka akan
memakannya”.[8]
3. Zuhud Lahiriyah Semata.
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Salah satu wujud penipuan iblis
terhadap orang-orang zuhud, adalah iblis menjadikan mereka keliru dengan
makna zuhud, yaitu (dengan cara merasa) puas dengan makanan dan pakaian
yang berkualitas rendah saja. Mereka menerima hal itu. Tetapi hati
mereka berhasrat terhadap kepemimpinan dan mencari kehormatan. Engkau
lihat mereka itu menanti-nanti kunjungan para umara` (penguasa,
pejabat). Mereka memuliakan orang-orang kaya, tidak memuliakan
orang-orang miskin. Mereka pura-pura khusyu’ tatkala berpapasan dengan
orang. Seolah-olah mereka telah keluar dari musyahadah (menyaksikan
keagungan Allah). Dan terkadang salah seorang dari mereka menolak harta
agar dikatakan “Sesungguhnya telah nampak zuhud baginya”. Padahal mereka
termasuk orang yang paling sering keluar-masuk menemui umara (pejabat),
dan mencium tangan mereka pada pintu yang paling luas dari
wilayah-wilayah dunia, karena sesungguhnya puncak dunia adalah
kepimimpinan”.[9]
4. Meninggalkan Harta-Benda Secara Total Dan Menjadikan Kefakiran (Kemiskinan) Sebagai Tujuan Hidup!
Seorang tokoh sufi mengatakan: “Zuhud adalah kosongnya tangan dari
segala barang kepemilikan” [10]. Selain itu, ada juga yang menggariskan:
“Kefakiran adalah fondasi dan tiang tasawuf”.[11]
Diriwayatkan dari Al Junaid, seorang tokoh sufi, dia berkata: “Aku lebih
menyukai agar pemula tidak menyibukkan diri dengan bekerja, jika tidak,
maka keadaannya akan berubah”.[12]
Akibat dari anggapan ini, sejarah mencatat kisah-kisah sebagian orang
sufi pada zaman tempo dulu yang meninggalkan harta-harta mereka dan
mulai berkelana, padahal sebelumnya mereka sabagai orang-orang yang
berada.[13]
Anggapan zuhud model orang-orang sufi seperti di atas, bukan bagian dari
ajaran Islam. Bahkan sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memohon perlindungan kepada
Allah Azza wa Jalla dari tujuan hidup mereka itu, yang berorientasi
pembinaan kemiskinan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْفَقْرِ وَالْقِلَّةِ وَالذِّلَّةِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ
"Wahai Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kefakiran,
kekurangan (dari perbuatan baik), dan kehinaan. Dan aku berlindung
kepadaMu dari berbuat zhalim, atau dizhalimi”.[14]
Demikian juga, sifat malas mereka untuk bekerja dengan dalih zuhud yang
palsu, menyelisihi anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
umatnya untuk mencari pekerjaan yang halal dan mencukup diri sendiri.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ
يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ
مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
"Tidaklah seorang pun memakan makanan yang lebih baik daripada dia
memakan dari (hasil) jerih payah tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi
Allah, Dawud Alaihissallam, biasa makan dari (hasil) kerja sendiri.".
[15]
Dalam hadits lain, Beliau bersabda:
لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ
"Salah seorang di antara kamu yang mengumpulkan kayu bakar di atas
punggungnya, lebih baik baginya daripada dia minta kepada seseorang,
lalu orang itu memberinya atau menolaknya". [16]
Hakikat zuhud bukanlah menampik harta duniawi. Banyak sahabat yang
kaya-raya, seperti Utsman bin ‘Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, dan lainnya.
Kendatipun demikian, mereka adalah tokoh-tokoh orang-orang zuhud.
5. Meninggalkan Pernikahan.
Sebagian orang sufi berkata: “Barangsiapa menikah, maka dia telah
memasukkan dunia ke dalam rumahnya … maka waspadalah dari pernikahan!”
Di antara mereka ada yang bertutur: “Seorang laki-laki tidak akan
mencapai derajat orang-orang shiddiiq sampai ia meninggalkan istrinya
seolah-olah seperti janda, dan (membiarkan) anak-anaknya, seolah-olah
mereka itu anak-anak yatim, dan dia menetap di kandang-kandang anjing!”
[17] Sudah pasti zuhud ala sufi ini, bukan zuhud yang digariskan Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mengatakan:
أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي
أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
"Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut
di antaramu kepada Allah, dan orang yang paling takwa di antaramu
kepadaNya. Tetapi aku berpuasa dan berbuka; aku shalat (malam) dan
tidur; dan aku menikahi wanita-wanita. Barangsiapa membenci sunnahku
(ajaranku), dia bukan dariku".[18]
Justru zuhud seperti itu berseberangan dengan perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya. Beliau bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
"Wahai, para pemuda. Barangsiapa di antara kamu mampu menikah, maka
hendaklah dia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu lebih
menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak
mampu, maka dia wajib berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu penjagaan
baginya (dari perzinaan, pen)".[19]
Setelah kita mengetahui berbagai keterangan di atas, maka jelaslah bagi
kita bahwa zuhud yang benar bukanlah dengan meninggalkan harta dan
keluarga, kemudian menyiksa diri dengan begadang dan kelaparan, menyepi
di kamar-kamar yang gelap dan membisu dengan tanpa sebab. Demikian juga
bukan dengan meninggalkan berbagai hal yang bermanfaat di dunia ini,
yang dapat membantu ibadah dan ketaatan kepada Allah, seperti berbagai
kemajuan tekhnologi yang tidak bertentangan dengan syari’at yang suci.
Dengan ini mudah-mudahan menjadi jelas bagi kita, perbedaan zuhud yang
diajarkan oleh agama Islam, dengan zuhud buatan orang-orang sufi yang
menyimpang.
Semoga Allah menampakkan al haq kepada kita sebagai al haq, dan menolong
kita untuk mengikutinya. Dan memperlihatkan kebatilan kepada kita
sebagai kebatilan, dan menolong kita untuk menjauhinya. Wal hamdulillahi
Rabbil ‘alamin.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.
_______
Footnote
[1]. HR Ibnu Majah, no. 4102, dan lainnya, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah, no. 944.
[2]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 410-411, tahqiq Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[3]. Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam (2/198), tahqiq Syakih Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh Ibrahim Bajis.
[4]. Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam (2/198).
[5]. Madarijus Salikin (2/9), dinukil dari Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhus Shalihin (1/523), karya Syaikh Salim Al Hilali.
[6]. Majmu’ Fatawa (10/511).
[7]. HR Ahmad, no.5650, dari Ibnu Umar dengan sanad yang shahih
[8]. Al Muntaqo An Nafis min Talbis Iblis, hlm. 193, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[9]. Al Muntaqo An Nafis min Talbis Iblis, hlm. 194-195, Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi.
[10]. Kitab Al Luma’, hlm. 72, karya Abu Nashr Sirooj Ath Thuusi,
Penerbit Darul Kutub Al Haditsah, Kairo, Th. 1960. Dinukil dari
Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31), karya Muhammad Ahmad Luh.
[11]. Kitab Iqodhul Himam, hlm. 213, karya Ibnu ‘Ajiibah. Dinukil dari
Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31), karya Muhammad Ahmad Luh.
[12]. Kitab Quutul Qulub (1/267), dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/30), karya Muhammad Ahmad Luh.
[13]. Lihat Siyar A’lamin Nubala (15/231), Tarikh Baghdad (7/221). Dinukil dari Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31).
[14]. HR Abu Dawud, no. 1544; An Nasaa-i (8/261); Al Hakim (1/541); dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani.
[15]. HR Bukhari, no. 2072.
[16]. HR Bukhari, no. 2074.
[17]. Lihat Taqdishul Ash Khoosh fii Fikrish Shufi (1/31-32), karya Muhammad Ahmad Luh.
[18]. HR Bukhari, no. 5063; Muslim, no. 1401; dan lainnya.
[19]. HR Bukhari, no. 5066; Muslim, no. 1400; dan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar