PANDANGAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH TERHADAP SAHABAT NABI RADHIYALLAHU 'ANHUM.Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.KEUTAMAAN SAHABAT NABI RADHIYALLAHU 'ANHUM
Keutamaan para sahabat Nabi, tingginya kedudukan dan derajat mereka,
merupakan perkara yang telah diketahui baik oleh kalangan kaum Muslimin,
dan merupakan sesuatu yang sangat penting di dalam din Islam. Banyak
ayat-ayat Al Qur`an dan Hadits Nabi yang menerangkan hal tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, yang artinya : "Muhammad itu
adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu
lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya,
tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah
sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil;
yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan
tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas
pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah
hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan
orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala
yang besar". [Al Fath : 29].
Ayat ini mencakup seluruh sahabat Nabi Radhiyallahu 'anhum, kerena
mereka seluruhnya hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Dalam tafsirnya, Ibnu Jarir berkata: "Bisyr telah menyampaikan kepada
kami dari Yazid, dari Sa'id, dari Qatadah tentang firman Allah "berkasih
sayang sesama mereka", yakni Allah menanamkan ke dalam hati mereka rasa
kasih sayang sesama mereka. Dan firman Allah "kamu lihat mereka ruku`
dan sujud", yakni kamu lihat mereka ruku` dan sujud dalam shalat. Firman
Allah "mencari karunia Allah", yakni mereka mencari keridhaan Allah
dengan ruku` dan sujud tersebut, dengan sikap keras terhadap orang kafir
dan saling kasih sayang sesama mereka. Hal itu merupakan rahmat Allah
kepada mereka dengan memberi keutamaan atas mereka, dan memasukkan
mereka ke dalam surgaNya. Firman Allah "dan keridhaanNya", yakni Allah
meridhai mereka semua".
Allah berfirman, yang artinya : "Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan mereka ridha kepadaNya. Allah menyediakan bagi mereka
jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar". [At Taubah :
100].
Berkenaan dengan tafsir ayat di atas, Ibnu Katsir berkata: "Allah Yang
Maha Agung mengabarkan bahwa Dia telah meridhai orang-orang terdahulu
lagi pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sungguh celaka orang yang
membenci mereka, mencaci atau membenci dan mencaci sebagian dari
mereka. Terutama penghulu para sahabat sepeninggal Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang paling baik dan paling utama di
antara mereka, yakni Ash Shiddiq Al Akbar, Khalifah A'zham Abu Bakar bin
Abi Quhafah Radhiyallahu 'anhu. Kelompok celaka dari kalangan Rafidhah
telah memusuhi sahabat paling utama, membenci serta mencaci para
sahabat. Kita berlindung kepada Allah dari hal itu.
Itu menunjukkan bahwa akal dan hati kaum Rafidhah terbalik. Dimanakah
kedudukan iman mereka kepada Al Quran, sementara mereka mencaci orang
yang telah Allah ridhai?
Adapun Ahlus Sunnah, mereka senantiasa mendoakan kebaikan bagi orang
yang telah diridhai oleh Allah (dengan mengucapkan radhiyallahu ánhum),
mencela siapa saja yang telah dicela oleh Allah dan RasulNya, membela
siapa saja yang telah dibela oleh Allah dan RasulNya, memusuhi siapa
saja yang memusuhi Allah. Ahlus Sunnah adalah orang yang selalu
mengikuti (kebenaran), bukan orang yang membuat-buat bid'ah. Mereka
selalu meneladani (Rasul), bukan orang yang mengada-ada. Oleh sebab itu,
mereka adalah hizbullah yang pasti menang dan hambaNya yang beriman.
Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyebutkan keutamaan dan
kesenioran para sahabat, telah diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud
Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ
وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ
"Sebaik-baik manusia adalah pada zamanku, kemudian zaman berikutnya dan
kemudian zaman berikutnya. Lalu akan datang satu kaum yang persaksiannya
mendahului sumpah, dan sumpahnya mendahului persaksian (yakni bersumpah
dan bersaksi sebelum diminta, Pent)" [1].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa zaman beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat hidup adalah sebaik-baik
keadaan secara mutlak. Tidak ada zaman yang lebih baik daripada zama
pada masa mereka. Barangsiapa mengatakan selain itu, maka ia termasuk
zindiq.
Dalam hadits Imran bin Hushain Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ أُمَّتِي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
"Sebaik-baik umatku adalah pada kurunku, kemudian kurun berikutnya, kemudian kurun berikutnya" [2].
Dalam hadits 'Aisyah Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: "Seorang lelaki
bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, siapakah
sebaik-baik manusia?" Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab,”Kurun yang aku hidup saat ini, kemudian kurun berikutnya,
kemudian kurun berikutnya" [3].
SAHABAT SEBAGAI PENGAWAS DAN PENGAMAN UMAT INI
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتَى
السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ
أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا
ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ
"Sesungguhnya bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit. Jika
bintang-bintang itu lenyap, maka akan datang apa yang telah dijanjikan
atas langit. Aku adalah pengaman bagi sahabatku. Jika aku telah pergi,
maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas sahabatku. Dan sahabatku
adalah pengaman bagi umatku. Jika sahabatku telah pergi, maka akan
datang apa yang telah dijanjikan atas umatku". [Hadits riwayat Muslim,
no 2531, dari jalur Sa’id bin Abi Burdah dari ayahnya, yakni Abu Musa Al
Asy'ari zRadhiyallahu 'anhu].
Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini menjelaskan keagungan dan
posisi strategis para sahabat di tengah umat. Mereka adalah pengaman
sekaligus pengawas umat ini sepeninggal Rasul Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Maksudnya, mereka selalu mengawasi, agar umat ini tidak tersesat
dan tidak menyimpang dari jalan yang telah mereka tempuh bersama
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
SAHABAT SEBAGAI SUMBER RUJUKAN SAAT PERSELISIHAN & SEBAGAI PEDOMAN PEMAHAMAN
Oleh karena itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan
bila timbul perpecahan dan perselisihan di kalangan umat ini, agar
kembali kepada Kitabullah, Sunnah RasulNya dan Sunnah Khulafaur
Rasyidin, yakni para sahabat -radhiyallahu 'anhum jami'an.
Diriwayatkan dari Al Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu 'anhu, ia
berkata,”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan nasihat
yang membuat air mata kami mengalir, dan membuat hati kami bergetar.”
Kami berkata: "Wahai, Rasulullah! Sepertinya ini merupakan nasihat
pungkasan. Apa yang Anda wasiatkan kepada kami?" Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam berkata:
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ
عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى
اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي
وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَلَيْكُمْ
بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا انْقِيدَ انْقَادَ
"Sungguh saya telah meninggalkan kalian (yakni para sahabat) di atas
jalan yang putih bersih, siang dan malamnya sama terangnya. Siapa saja
yang menyimpang darinya (dari jalan putih bersih yang para sahabat
berada di atasnya), pasti (ia) binasa. Barangsiapa yang hidup
sepeninggalku, ia pasti melihat perselisihan yang amat banyak. Hendaklah
kalian tetap memegang teguh sunnahku yang kalian ketahui dan sunnah
Khulafaur Rasyidin (yakni para sahabat) yang berada di atas petunjuk.
Hendaklah kalian selalu patuh dan taat, meskipun diperintah oleh seorang
budak Habasyi. Peganglah erat-erat. Sesungguhnya seorang mukmin itu
laksana unta yang jinak. Apabila diarahkan (kepada kebaikan), ia pasti
menurut" [4].
Juga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى
ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ
عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ
فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
"Ketahuilah, sesungguhnya Ahli Kitab sebelum kalian telah terpecah-belah
menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan bahwa umat ini, juga akan
terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua di antaranya
masuk neraka, dan satu golongan di dalam surga, yakni Al Jama'ah". [HR
Abu Dawud dan lainnya. Derajat hadits ini shahih]
Dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Al Hakim dan lainnya telah disebutkan tafsir Al Jama'ah:
مَا أَنَا عَلَيْهِ اليَوْمَ وَ أَصْحَابِي
"Pedoman yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.
Maksud Al Jama'ah ialah, siapa saja yang mengacu kepada pedoman yang
dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yakni Al Qur`an
dan As Sunnah, serta menurut pedoman pemahaman sahabat beliau
Radhiyallahu 'anhum.
Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu telah menjelaskan kepada kita,
tentang alasan dipilihnya pemahaman sahabat sebagai pedoman acaun.
Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu berkata: "Sesungguhnya Allah
melihat hati para hambaNya. Dia dapati yang paling baik adalah hati
Muhammad, maka Allah memilihnya untuk diriNya, dan Dia utus untuk
membawa risalahNya. Kemudian Allah kembali melihat hati para hambaNya
setelah hati Muhammad. Dia dapati yang paling baik ialah hati para
sahabatnya. Maka Allah menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu
NabiNya dan berperang untuk agamaNya. Segala sesuatu yang dipandang baik
oleh kaum Muslimin (sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam), maka
pasti baik di sisi Allah. Dan apa yang dipandang buruk oleh kaum
Muslimin, pasti buruk juga di sisi Allah”. [Atsar shahih, riwayat Ahmad,
no 3600; Al Bazzar, no. 1816 dan Ath Thabrani, no. 8582].
BERPEDOMAN KEPADA SAHABAT, ADALAH JAMINAN KEMENANGAN
Dalam hadits riwayat Muslim, no 2523 dari jalur Abu Zubair, dari Jabir,
dari Abu Sa'id Al Khudri Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُبْعَثُ مِنْهُمُ الْبَعْثُ فَيَقُولُونَ
انْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ فِيكُمْ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ
بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّانِي فَيَقُولُونَ هَلْ فِيهِمْ مَنْ
رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُفْتَحُ
لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّالِثُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ
تَرَوْنَ فِيهِمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَكُونُ الْبَعْثُ الرَّابِعُ فَيُقَالُ
انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ أَحَدًا رَأَى مَنْ رَأَى أَحَدًا رَأَى
أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ
الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ
"Akan datang suatu masa, yang saat itu ada satu pasukan dikirim (untuk
berperang)”. Mereka mengatakan: "Coba lihat, adakah di antara kalian
seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Ternyata ada satu
orang sahabat Nabi. Maka karenanya, Allah memenangkan mereka. Kemudian
dikirim pasukan kedua. Dikatakan kepada mereka: "Adakah di antara mereka
yang pernah melihat sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam?" Maka
karenanya, Allah memenangkan mereka. Lalu dikirim pasukan ketiga.
Dikatakan: "Coba lihat, apakah ada di antara mereka yang pernah melihat
seorang yang pernah melihat sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
?" Maka didapatkan satu orang. Maka Allah memenangkan mereka. Kemudian
dikirim pasukan keempat. Dikatakan: "Coba lihat, apakah ada di antara
mereka yang pernah melihat seorang yang pernah seseorang yang melihat
sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ?" Maka didapatkan satu
orang. Akhirnya Allah memenangkan mereka.
Hadits ini menjelaskan kepada kita, betapa mulia kedudukan sahabat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka.
Allah memberi jaminan kemenangan bagi para sahabat dan orang-orang yang
mengikuti sahabat. Tentu saja, yang dimaksud dalam hadits bukan hanya
sekadar melihat dengan mata kepala saja, namun maksudnya ialah mengikuti
pedoman mereka. Sebagaimana yang telah disebutkan tentang definisi
sahabat Radhiyallahu 'anhum.
SIAPAKAH YANG DIMAKSUD SAHABAT NABI SHALLALLAHU ALAIAHI WA SALLAM ?
Sahabat adalah, siapa saja yang melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam, atau bertemu dengan beliau walau hanya sesaat lalu beriman
kepada beliau dan ia mati di atas keimanan.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (249) dari hadits Al
'Ala` bin Abdirrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah Radhiyallahu
'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati sebuah
pekuburan. Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إِنْ
شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ وَدِدْتُ أَنَّا قَدْ رَأَيْنَا
إِخْوَانَنَا قَالُوا أَوَلَسْنَا إِخْوَانَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ
أَنْتُمْ أَصْحَابِي وَإِخْوَانُنَا الَّذِينَ لَمْ يَأْتُوا بَعْدُ
"Salam kesejahteraan atas kalian, wahai penghuni perkampungan kaum
Mukminin. Dan aku Insya Allah akan menyusul kalian. Sungguh aku sangat
merindukan untuk bertemu dengan saudara-saudara kita". Para sahabatpun
bertanya,”Bukankah kami ini saudara-saudaramu?" Beliau n
menjawab,”Kalian adalah para sahabatku, sedangkan saudara-saudara kita
adalah mereka yang datang kemudian".
Hadits ini menunjukkan, bahwa yang dimaksud sahabat ialah, orang yang
bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta beriman
kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan yang datang
sesudahnya ialah, saudara-saudara beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Adapun orang yang bertemu dan beriman kepada beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam, (ia) dinamakan sahabat, baik pertemuan itu dalam waktu yang
lama maupun sebentar.
Adapun dalil yang menunjukan bahwa orang yang bertemu dan beriman kepada
Rasulullah serta mati di atas keimanan disebut sebagai sahabat ialah,
sebuah hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah (12/178) dari Zaid Ibnu Hibban,
dari Abdullah bin Al 'Ala' bin 'Amir, dari Watsilah bin Al Asqa', dia
berkata, Rasulullah n bersabda: "Kalian akan tetap berada dalam kebaikan
selama di tengah-tengah kalian terdapat orang yang melihat dan
menyertaiku. Demi Allah, kalian akan tetap berada dalam kebaikan, selama
di tengah-tengah kalian terdapat seorang yang melihat orang yang
melihatku, dan menyertai orang yang menyertaiku".
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ya'qub bin Sufyan, di dalam
At Tarikh (2/351), dari Adam, dari Baqiyah bin Al Walid, dari Muhammad
bin Abdirrahman Al Yahshabi, bahwa ia mendengar Abdullah bin Basar
berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
طُوْبَى لِمَنْ رَآنِي وَ طُوْبَى لِمَنْ آمَنَ بِي وَلمَ ْيَرَنِي وَ طُوْبَى لَهُ وَ حُسْنَ مَآبٍ
"Sungguh beruntung orang yang melihatku, dan sungguh beruntung orang
yang beriman kepadaku, sedangkan ia belum pernah melihatku. Sungguh
baginya keberuntungan dan balasan yang baik". [Hadits ini juga
dikeluarkan oleh Ibnu Abi 'Ashim di dalam As Sunnah, 1527, dari Ya'qub].
Ibnu Faris, seorang pakar bahasa, ia menjelaskan di dalam Mu'jamu
Maqayisil Lughah (III/335) dalam pasal Sha-ha-ba: "Menunjukkan
penyertaan sesuatu dan kedekatannya dengan sahabat yang disertainya itu.
Bentuk jamaknya adalah shuhab, sebagaimana kata raakib bentuk jamaknya
rukab. Sama seperti kalimat ‘ashhaba fulan’, artinya menjadi tunduk. Dan
kalimat “ashahbar rajulu”, artinya, jika anaknya telah berusia baligh.
Dan segala sesuatu yang menyertai sesuatu, maka boleh dikatakan telah
menjadi sahabatnya”.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan di dalam Majmu' Fatawa (IV/464):
"Shuhbah adalah istilah yang digunakan untuk orang-orang yang menyertai
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam jangka waktu yang lama
maupun singkat. Akan tetapi, kedudukan setiap sahabat ditentukan oleh
jangka waktu ia menyertai Rasulullah. Ada yang menyertai beliau setahun,
sebulan, sehari, sesaat, atau melihat beliau sekilas lalu (ia) beriman
kepada beliau. Derajat masing-masing ditentukan menurut jangka waktunya
menyertai Rasulullah".
Abu Hamid Al Ghazali berkata di dalam kitabnya, Al Mustashfa (1/165):
"Siapakah sahabat itu? Sahabat ialah, siapa saja yang hidup bersama
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau pernah berjumpa dengan
beliau sekali, atau pernah menyertai beliau dalam waktu sebentar maupun
lama. Lalu berapa batasan waktunya? Predikat sahabat dinisbatkan kepada
siapa saja yang menyertai Rasulullah. Cukuplah disebut sahabat, meski ia
hanya menyertai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam waktu
sebentar saja. Namun secara urf (kesepakatan umum) (ialah),
mengkhususkannya bagi orang yang menyertai beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam waktu lama".
LARANGAN MENCELA SAHABAT NABI
Imam Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu ,
dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , bahwa beliau Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا
أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
"Janganlah mencela sahabatku! Janganlah mencela sahabatku! Demi Allah
yang jiwaku berada di tanganNya, meskipun kalian menginfaqkan emas
sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan dapat menyamai satu mud sedekah
mereka, tidak juga separuhnya"[5].
Hadits ini secara jelas melarang kita mencela sahabat Nabi. Larangan
dalam hadits di atas hukumnya adalah haram. Yakni haram hukumnya mencela
sahabat Nabi. Termasuk di dalamnya, yaitu semua bentuk celaan dan
sindiran negatif yang ditujukan kepada mereka, atau salah seorang dari
mereka. Sebab, mencela sahabat Nabi, berarti telah menyakiti Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Al Fadha-il (19), dari jalur Waki`, dari
Ja'far -yakni Ibnu Burqan- dari Maimun bin Mihran, ia berkata: "Ada tiga
perkara yang harus dijauhi. (Yaitu): mencela sahabat Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam, meramal lewat bintang-bintang, dan
mempersoalkan takdir”.
Imam Ahmad juga menulis surat kepada Abdus bin Malik tentang Ushul
Sunnah. Beliau berkata di dalam suratnya: "Termasuk Ushul, (yaitu)
barangsiapa melecehkan salah seorang sahabat Nabi, atau membencinya
karena kesalahan yang dibuat, atau menyebutkan kejelekannya, maka ia
termasuk mubtadi`, hingga ia mendoakan kebaikan dan rahmat bagi seluruh
sahabat, dan hatinya tulus mencintai mereka"[6].
Imam Ahmad meriwayatkan di dalam kitab Al Fadha-il, dari jalur Waki`,
dari Sufyan, dari Nusair bin Za'luq, ia berkata, Saya mendengar Ibnu
Umar Radhiyallahu anhuma berkata: "Janganlah kalian mencela sahabat
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sungguh, kedudukan mereka sesaat
bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (itu) lebih baik
daripada amal ibadah kalian sepanjang umurnya!"[7]
SIKAP AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH TERHADAP PERSELISIHAN YANG TERJADI
DI ANTARA SAHABAT
Banyak kita temui perkataan ahli ilmu yang berisi perintah untuk tidak
mempersoalkan pertikaian yang terjadi di antara sahabat Nabi
Radhiyallahu anhum. Bahkan telah disebutkan adanya ijma' dalam masalah
ini.
Abdurrahman bin Abi Hatim berkata,"Aku pernah bertanya kepada ayahku dan
Abu Zur'ah tentang madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah dan para alim ulama
yang pernah ditemui oleh keduanya di berbagai belahan dunia, seperti di
Hijaz, Iraq, Mesir, Syam dan Yaman, dalam menyikapi para sahabat.
Madzhab mereka ialah, mendoakan kebaikan dan rahmat atas segenap sahabat
Muhammad, atas segenap keluarga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam,
serta menahan diri dari memperdebatkan pertikaian di antara mereka."
Demikian pula dinyatakan oleh Imam Al Lalikai dalam Syarah Ushul I'tiqad
(321) dan Abul 'Ala Al Hamdani dalam bukunya yang berisi penyebutan
aqidah Ahlus Sunnah dan celaan terhadap perpecahan di halaman 90-91.
Dalilnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya : "Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka
berdoa: "Ya, Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang
telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb
kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". [Al Hasyr
: 10].
Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Janganlah engkau mencela sahabatku ...... "
Abdurrazzaq meriwayatkan di dalam kitab Al Amali (51), dari jalur
Ma'mar, dari Ibnu Thawus, dari Thawus, ia berkata, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا ذًُكِرَ أصحابي فَأَمْسِكُوْا و إِذَا ذًُكِرَ القَدَرُ فَأَمْسِكُوْا و إِذَا ذًُكِرَ النُّجُوْمُ فَأَمْسِكُوْا
"Jika sahabatku diperbincangkan, maka tahanlah diri. Jika masalah takdir
dipersoalkan, maka tahanlah diri. Jika ramalan bintang-bintang
dibicarakan, maka tahanlah diri".
Makna "jika sahabatku diperbincangkan, maka tahanlah diri ...", menurut
para ulama ialah tidak mengomentari mereka dengan penilaian miring dan
negatif. Maksudnya, bukan larangan menceritakan apa yang terjadi,
misalnya peperangan Shiffin atau Jamal. Sebab, perkara tersebut memang
telah diberitakan oleh Rasulullah n , kemudian perkara itu merupakan
catatan sejarah. Oleh sebab itulah, para ulama menyebutkannya dan
menulisnya di dalam kitab-kitab sejarah dan lainnya, bahkan telah
dikarang buku khusus yang membicarakan permasalahan tersebut. Begitu
pula Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar serta para alim ulama
lainnya menceritakan panjang lebar kisah tersebut. Akan tetapi mereka
tidak menghujat atau mencela para sahabat, wallahu ta'ala a'lam.
Ibnu Baththah rahimahullah berkata -berkaitan dengan larangan mencampuri pertikaian besar di antara sahabat-:
"Kemudian setelah itu kita harus menahan diri dari pertikaian yang
terjadi di antara sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebab, mereka telah melalui berbagai peristiwa bersama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan telah mendahului yang lainnya dalam
hal keutamaan. Allah telah mengampuni mereka dan memerintahkan agar
memintakan ampunan untuk mereka, dan mendekatkan diri kepadaNya dengan
mencintai mereka. Semua itu Allah wajibkan melalui lisan RasulNya. Allah
Maha Mengetahui apa yang bakal terjadi, bahwasanya mereka akan saling
berperang. Mereka memperoleh keutamaan daripada yang lainnya, karena
segala kesalahan dan kesengajaan mereka telah dimaafkan. Semua
pertikaian yang terjadi di antara mereka telah diampuni. Janganlah
melihat komentar-komentar tentang peperangan Shiffin, Jamal, peristiwa
di kediaman Bani Sa'idah dan pertikaian-pertikaian lain yang terjadi di
antara mereka. Janganlah engkau tulis untuk dirimu, atau untuk orang
lain. Janganlah engkau riwayatkan dari seorangpun, dan jangan pula
membacakannya kepada orang lain. Dan jangan pula mendengarkannya dari
orang yang meriwayatkannya.
Itulah perkara yang disepakati para ulama umat ini. Mereka sepakat
melarang perkara yang kami sebutkan tersebut. Di antara ulama tersebut
ialah: Hammad bin Zaid, Yunus bin Ubaid, Sufyan Ats Tsauri, Sufyan bin
Uyainah, Abdullah bin Idris, Malik bin Anas, Ibnu Abi Dzi'b, Ibnul
Munkadir, Ibnul Mubarak, Syu'aib bin Harb, Abu Ishaq Al Fazari, Yusuf
bin Asbath, Ahmad bin Hambal, Bisyr bin Al Harits dan Abdul Wahhab Al
Warraq; mereka semua sepakat melarang perkara tersebut, melarang melihat
dan mendengar komentar tentang pertikaian tersebut. Bahkan mereka
memperingatkan orang yang membahas dan berupaya mengumpulkannya. Banyak
perkataan-perkataan yang diriwayatkan dari mereka, yang ditujukan kepada
orang-orang yang melakukannya, dengan lafazh bermacam-macam, namun
maknanya senada. Intinya, (mereka) membenci dan mengingkari orang yang
meriwayatkan dan mendengarnya” [8].
Apabila Umar bin Abdul Aziz ditanya tentang peperangan Shiffin dan
Jamal, beliau berkata: "Urusan yang Allah telah mengeluarkan tanganku
darinya, maka aku tidak akan mencampurinya dengan lisanku!"[9].
Al Khallal meriwayatkan dari jalur Abu Bakar Al Marrudzi, ia berkata:
"Ada yang berkata kepada Abu Abdillah. Ketika itu kami berada di tengah
pasukan. Dan kala itu datang pula seorang utusan Khalifah, yakni Ya'qub,
ia berkata,’Wahai Abu Abdillah. Apa pendapat Anda tentang pertikaian
yang terjadi antara Ali dan Mu'awwiyah?’ Abu Abdillah menjawab,’Aku
tidak mengatakan kecuali yang baik. Semoga Allah merahmati mereka
semua’"[10].
Imam Ahmad menulis surat kepada Musaddad bin Musarhad. Isinya surat
tersebut: "Menahan diri dari memperbincangkan kejelekan sahabat.
Bicarakanlah keutamaan mereka, dan tahanlah diri dari membicarakan
pertikaian di antara mereka. Janganlah berkonsultasi dengan seorangpun
(dari) ahli bid'ah dalam masalah agama, dan janganlah menyertakannya
dalam perjalananmu"[11].
Abu ‘Utsman Ismail bin Abdurrahman Ash Shabuni rahimahullah menyatakan
di dalam Aqidah Salaf Ashhabul Hadits: "Ahlu Sunnah berpendapat, wajib
menahan diri dari mencampuri pertikaian di antara sahabat Rasul. (Yakni)
menahan lisan dari perkataan yang mengandung celaan dan pelecehan
terhadap para sahabat".
PERKATAAN ULAMA BERKAITAN DENGAN ORANG YANG MENCELA SAHABAT
ATAU BERKOMENTAR MIRING TERHADAP SALAH SEORANG SAHABAT
Imam Al Bukhari t menulis sebuah bab dalam Shahih-nya berjudul "Bab :
Larangan Mencela Orang Yang Sudah Mati", kemudian beliau meriwayatkan
sebuah hadits dari jalur Adam, dari Syu'bah, dari Al A'masy, dari
Mujahid, dari 'Aisyah Radhiyallahu anha , ia berkata, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا
"Janganlah kalian mencela orang yang sudah mati. Karena mereka telah menyelesaikan amal perbuatan mereka"[12].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
"Janganlah kalian mencela sahabatku. Karena sesungguhnya, meskipun
kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan dapat
menyamai satu mud sedekah mereka, tidak juga separuhnya".
Di dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, diriwayatkan dari hadits
Al Bara` bin 'Azib Radhiyallahu 'anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
الْأَنْصَارُ لَا يُحِبُّهُمْ إِلَّا مُؤْمِنٌ وَلَا يُبْغِضُهُمْ إِلَّا
مُنَافِقٌ فَمَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُ اللَّهُ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ
أَبْغَضَهُ اللَّهُ
"Tidaklah mencintai kaum Anshar, kecuali seorang mukmin. Dan tidaklah
membenci mereka, kecuali seorang munafik. Barangsiapa mencintai mereka,
niscaya Allah mencintainya. Barangsiapa membenci mereka, niscaya Allah
membencinya"[13].
Ibnu Asakir menyebutkan, ketika dihadapkan kepada Umar, seorang Arab
Badui menyerang sahabat Anshar dengan kata-kata, beliau berkata:
"Sekiranya dia bukan sahabat Nabi, niscaya cukuplah aku yang
menyelesaikannya. Akan tetapi, ia masih termasuk sahabat Nabi" [14].
Imam Al Lalikai meriwayatkan dari jalur Hambal bin Ishaq, dari Muhammad
bin Ash Shalt, dari Qeis bin Ar Rabi`, dari Wa’il dari Al Bahi, ia
berkata: "Pernah terjadi pertengkaran antara Ubaidullah bin Umar dengan
Al Miqdam, lalu Ubaidullah mencela Al Miqdam, maka Umar berkata:
"Tolong, ambilkan besi tajam, agar kupotong lisannya, sehingga tidak
seorangpun sesudahnya yang berani mencela salah seorang sahabat
Nabi"[15].
Al Lalikai juga meriwayatkan dari jalur Sufyan bin Uyainah, dari Khalaf
bin Hausyab, dari Sa'id bin Abdirrahman bin Abza, ia berkata: Aku
bertanya kepada ayahku,”Seandainya aku membawa seseorang yang mencaci
Abu Bakar, apa kira-kira yang engkau lakukan?" Beliau menjawab,"Akan
kupenggal lehernya!" aku bertanya lagi: "Bagaimana jika mencaci Umar?"
Jawab ayahku,"Juga akan kupenggal lehernya!"[16].
Ibnu Baththah menyebutkan, bahwa Sufyan Ats Tsauri berkata: "Janganlah
engkau mencela Salafush Shalih, niscaya engkau akan masuk surga dengan
selamat".
Imam Al Lalikai meriwayatkan dari jalur Ma'n bin Isa, ia berkata: Saya
mendengar Malik bin Anas berkata,”Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka
ia tidak berhak mendapat harta fa'i, sebab Allah berfirman: (Juga) bagi
para fuqara Muhajirin yang diusir dari kampung halaman dan dari harta
benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) -QS
Al Hasyr ayat 8-, mereka adalah sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang berhijrah bersama Beliau. Kemudian Allah berfirman: Dan
orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin) –QS Al Hasyr : 9-, mereka
adalah kaum Anshar. Kemudian Allah berfirman : Dan orang-orang yang
datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb
kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam
hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya
Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang. –QS Al Hasyr:10. Itulah
ketiga golongan yang berhak menerima fa'i. Barangsiapa mencela sahabat
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia tidak termasuk salah satu
dari tiga golongan tersebut, dan ia tidak berhak menerima fa'i" [17].
Al Khallal meriwayatkan dalam kitab As Sunnah, dari jalur Abu Bakar Al
Marwadzi, ia berkata: "Saya bertanya kepada Abu Abdullah (yakni Imam
Ahmad) tentang hukum orang yang mencela Abu Bakar, Umar dan 'Aisyah
Radhiyallahu anhum. Beliau berkata,’Menurut saya, ia bukan orang Islam.’
Saya juga mendengar Abu Abdillah berkata,’Imam Malik mengatakan, siapa
saja yang mencela sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia
tidak mendapat bagian apapun dalam Islam’".
Al Khallal juga meriwayatkan dari jalur Abdul Malik bin Abdul Hamid, ia
berkata: "Saya mendengar Abu Abdillah berkata,’Barangsiapa mencela
sahabat Nabi, maka aku khawatir ia jatuh ke dalam kekufuran, seperti
halnya kaum Rafidhah,’ kemudian beliau berkata,’Barangsiapa mencela
sahabat Nabi, maka dikhawatirkan ia keluar dari agama’."
Al Khallal juga meriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal, ia
berkata: "Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang orang yang mencela
salah seorang sahabat Nabi, (dan) beliau menjawab,’Menurut saya, dia
bukan orang Islam’."
Al Khallal juga meriwayatkan dari jalur Harb bin Ismail Al Kirmani, dari
Musa bin Harun bin Ziyad, bahwa ia mendengar Al Faryabi ditanya oleh
seorang lelaki tentang hukum orang yang mencaci Abu Bakar. Beliau (Al
Faryabi, Red) menjawab: "Kafir!" Tanyanya lagi: "Bolehkah jenazahnya
dishalatkan?" Jawab beliau,”Tidak!” Aku bertanya kepadanya: "Bukankah ia
telah mengucapkan La Ilaha illallah?" Beliau menjawab,"Janganlah kalian
sentuh jenazahnya dengan tangan kalian, angkatlah jenazahnya dengan
kayu, lalu kuburkan dalam lubang kuburnya."
Imam Ahmad berkata dalam sebuah risalah yang diriwayatkan oleh Ahmad bin
Ja'far bin Ya'qub Al Ishthakhri: "Seorangpun tidak boleh menyebutkan
keburukan para sahabat, dan janganlah mencela seorangpun dari sahabat
karena aib atau kekurangannya. Barangsiapa melakukan hal itu, maka wajib
bagi penguasa menjatuhkan hukuman dan sanksi atasnya. Kesalahannya itu
tidak boleh dimaafkan. Pelakunya harus dihukum dan diminta bertaubat.
Jika ia bertaubat, maka diterimalah taubatnya. Jika tetap bertahan, maka
hukuman kembali dijatuhkan atasnya, dan dipenjara seumur hidup hingga
mati atau bertaubat”.
Beliau (Imam Ahmad) berkata di awal risalahnya ini: "Itulah madzab ahli
ilmu, ahli atsar dan ahlu sunnah yang teguh memegangnya, di kenal
dengannya, yang masalah ini telah diikuti semenjak zaman sahabat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai sekarang ini. Saya telah bertemu
dengan para ulama dari Hijaz, Syam dan daerah lainnya berada di atas
madzhab tersebut" [18].
Al Qadhi` Iyadh berkata dalam Syarah Shahih Muslim [19]: "Mencela
sahabat Nabi dan merendahkan mereka, atau salah seorang dari mereka,
(itu) termasuk perbuatan dosa besar yang diharamkan. Nabi telah melaknat
orang yang melakukannya”.
Diriwayatkan dari Ibrahim An Nakha-i, ia berkata: "Mencaci Abu Bakar dan Umar termasuk dosa besar".
Demikian pula dinyatakan oleh Abu Ishaq As Sab'i. Dan disebutkan pula
hal itu oleh Ibnu Hajar Al Haitsami dalam kitab Az Zawajir, ia berkata:
"Dosa besar yang ke empat ratus enam puluh empat dan empat ratus enam
puluh lima ialah membenci kaum Anshar, mencaci salah seorang sahabat
Nabi –radhiyallahu` anhum ajma'in"[20].
Dari uraian di atas jelaslah, betapa besar dosa mencela sahabat Nabi
atau salah seorang dari mereka. Karena Rasulullah Shallal telah melarang
mencela orang yang sudah mati dan melarang mencela sahabat beliau.
'Aisyah Radhiyallahu anha juga mengabarkan, bahwa mereka telah
diperintahkan untuk memohon ampunan bagi sahabat Nabi, akan tetapi,
mereka justru malah mencela sahabat.[21]
Begitulah kenyataannya, mereka benar-benar mencela sahabat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang-orang yang mencela sahabat Nabi itu
sebenarnya meniru perbuatan seorang zindiq bernama Abdullah bin Saba'.
Oleh sebab itu, mereka merupakan orang yang paling mirip dengan kaum
Nasrani yang mencela kaum Hawariyun, pengikut setia Nabi Isa
Alaihissallam.
Imam Al Ajurri meriwayatkan dari jalur Ahmad bin Abdullah bin Yunus,
dari Ibnu Abi Dzi'b, dari Az Zuhri, ia berkata: "Belum pernah aku
melihat orang yang paling mirip dengan kaum Nasrani selain pengikut
Saba'iyah”. Ahmad bin Yunus berkata,”Mereka adalah kaum Syi'ah
Rafidhah." [22]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di dalam kitab Ash
Sharimul Maslul: "Sejumlah ulama dari kalangan sahabat-sahabat kami
(yakni ulama madzhab Hambali) menegaskan kekafiran kaum Khawarij yang
meyakini harus berlepas diri dari Ali dan Utsman, dan juga menegaskan
kekafiran Rafidhah yang meyakini wajib mencaci seluruh sahabat, dan
menegaskan kekafiran orang-orang yang mengkafirkan sahabat, mengatakan
mereka fasik atau mencaci mereka”.
Abu Bakar Abdul Aziz berkata di dalam kitab Al Muqni': “Adapun jika ia
termasuk penganut paham Rafidhah yang mencaci sahabat, maka hukumnya
kafir dan tidak boleh dinikahkan (dengan wanita Ahlus Sunnah Wal
Jama'ah). Sedangkan pendapat ulama lainnya, dan inilah pendapat yang
didukung oleh Al Qadhi Abu Ya'la, bahwa jika ia benar-benar mencaci
sahabat dan menjatuhkan martabat agama dan keshalihan mereka, maka ia
kafir karena perbuatan tersebut. Namun jika ia mencacinya tanpa
menjatuhkan martabat -misalnya mencaci ayah salah seorang dari mereka,
atau mencacinya dengan maksud membuat marah, atau tujuan lainnya- maka
ia tidaklah kafir karena hal itu".
Itulah sikap yang harus dimiliki setiap muslim terhadap para sahabat
yang mulia. Sebagaimana dimaklumi, Ahlus Sunnah Wal Jama'ah tidak
mengatakan jika sahabat itu ma'shum dari dosa besar ataupun dosa kecil.
Boleh jadi mereka melakukan dosa tersebut, akan tetapi mereka tetap yang
paling utama, paling baik dan mempunyai kelebihan sebagai sahabat Nabi.
Itulah sebabnya mereka mendapat ampunan atas kesalahan yang mereka
perbuat. Bahkan mereka mendapat ampunan atas dosa dan kesalahan, yang
barangkali, bila dilakukan oleh selain mereka, belum tentu diampuni.
Setiap muslim wajib meyakini hal ini dan mempertahankannya. Sebab ini
merupakan bagian dari ajaran agama yang diturunkan Allah.
Sebagai penutup tulisan ini, berkut adalah pernyataan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah di dalam kitab Ash Sharimul Maslul: "Dalam masalah ini,
kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara para ahli
fiqih dan ahli ilmu dari kalangan sahabat dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, serta (di kalangan) seluruh Ahlus Sunnah Wal
Jama'ah. Mereka semua sepakat, bahwa kita wajib memuji para sahabat,
memohon ampunan bagi mereka, memohon curahan rahmat bagi mereka,
mendoakan mereka (dengan mengucapkan radhiyallahu`anhu), mencintai dan
loyal kepada mereka, serta meyakini adanya sanksi yang berat atas orang
yang berpandangan buruk tentang mereka". Wallahul musta’an.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.
________
Footnote
[1]. HR Al Bukhari, 3651 dan Muslim, 2533.
[2]. HR Al Bukhari, 3650 dan Muslim, 2535.
[3]. HR Muslim, 2536.
[4]. Musnad Imam Ahmad, IV/126-127; Abu Dawud, 4607; At Tirmidzi, 2676;
Ibnu Majah, 42; Ad Darimi, 95. Hadits ini shahih. Dinyatakan shahih oleh
At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Al Bazzar, Abu Nu'aim dan Ibnu
Rajab ketika mensyarah hadits ini. Tambahan yang terdapat di akhir
hadits "Sesungguhnya seorang mukmin ibarat unta yang jinak, apabila di
arahkan kepada kebaikan ia pasti menurut" adalah tambahan yang mungkar.
[5]. HR Muslim, 2540.
[6]. Thabaqatul Hanabilah, I/345
[7]. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al Fadha-il, 15 dan Al Baihaqi dalam
Al I'tiqad dengan sanad shahih. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dalam
Sunan-nya, 162
[8]. Al Ibanah, karangan Ibnu Baththah, hlm. 268. Bagi yang ingin
penjelasan lebih lengkap, silakan lihat kitab As Sunnah, karangan Al
Khallal. Beliau telah menulis sebuah bab dalam kitabnya itu tentang
teguran keras terhadap orang yang menulis riwayat-riwayat yang berisi
hujatan terhadap sahabat Nabi.
[9]. As Sunnah, Al Khallal 717.
[10]. As Sunnah, Al Khallal, 713.
[11]. Thabaqatul Hanabilah, I/344.
[12]. HR Al Bukhari, 1393.
[13]. HR Al Bukhari, 3783 dan Muslim, 75.
[14]. Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqi, 59/206 dan Al Ishabah I/11,
lalu ia menyebutkan sanadnya sendiri, kemudian berkata: "Perawi hadits
ini tsiqah".
[15]. Al Lalikai, 2376.
[16]. Al Lalikai, 2378.
[17]. Al Lalikai, 2400.
[18]. Thabaqatul Hanabilah, I/24.
[19]. Syarah Shahih Muslim, VII/580.
[20]. Beliau telah menulis sebuah kitab yang sarat faidah dalam masalah
ini, berjudul Ash Shawaiqul Muhriqah 'Ala Ahli Rafdh Wad Dhalal Waz
Zanadiqah.
[21]. Muslim, 3022.
[20]. Al Ajurri dalam kitab Asy Syari'at, 2028 dan 2030, sanadnya shahi2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar