Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.ORANG AWAM : ANTARA TAKLID DAN IJTIHAD
Membicarakan orang awam, maka tidak terlepas dari salah satu persoalan
yang berhubungan dengan masalah taklid. Atau bagaimana cara melaksanakan
dan memandang perkara-perkara keagamaan yang belum dipahami, sehingga
memerlukan rujukan untuk mengetahui ilmunya.
Karena pada umumnya orang awam, memang kebanyakan tidak menguasai
permasalahan. Kadang ada yang terlampau eksplosif melakukan aksi dalam
bentuk perbincangan adu argumentasi, bahkan fisik ataupun aksi lainnya
yang mungkin justeru menjauhkannya dari kaidah syariat.
Barangkali ada yang berdalih, bukankah setiap muslim mempunyai kewajiban
yang sama untuk saling menyampaikan kebenaran? Pernyataan ini tidak
keliru. Akan tetapi, hendaklah setiap muslim juga harus memahami
terhadap kemampuan dan posisi dirinya. Apakah sebagai ulama, penguasa,
qadhi, penuntut ilmu atau sebagai orang awam (rakyat biasa)? Sebab,
masing-masing memiliki tugas, kewajiban dan kewenangan yang berbeda. Dan
setiap amal perbuatan itu harus dilandasi dengan hujjah. Lantas
bagaimana seseorang harus mengambil hujjah? Terlebih bagi seorang awam;
bertaklid ataukah mendasarkan kepada ilmu ‘sebatas’ yang diketahuinya?
Berikut kami nukilkan dari kitab Ad Durratul Bahiyah Fi Taqlid Wal
Madzhabiyah Min Kalamil Syeikhul Islam Ahmad Abdul Halim bin Taimiyah,
yang disusun oleh Muhammad Syakir Asy Syarif, sehingga kita -sebagai
orang awam- dapat memetik pelajaran, hubungannya dengan para ‘alim yang
menguasai ilmu. Semoga bermanfaat. (Redaksi)
SIAPAKAH YANG DILARANG DAN DIPERBOLEHKAN BERTAKLID?
• Adapun seperti Malik, Asy Syafi’i, Sufyan, Ishak bin Rahaweh dan Abu
‘Ubaid, maka Imam Ahmad telah mengatakan di berbagai tempat, bahwa tidak
dibolehkan bagi seorang yang ‘alim (yang mampu berdalil) bertaklid
kepada mereka….Dan dia melarang ulama dari murid-muridnya seperti Abu
Dawud, Utsman bin Sa’id, Ibrahim Al Harbi, Abu Bakar Al Atsram, Abu
Zur’ah, Abu Hatim As Sajastani, Muslim dan lain-lainnya,”(Melarang)
bertaklid kepada seseorang, pun di antara ulama.” Dan dia
mengatakan,“Berpeganglah kalian dengan sumber Al Quran dan As Sunnah.“
• Sedangkan bagi seseorang yang mampu berijtihad, apakah boleh
bertaklid? Tentang masalah ini terdapat khilaf. Pendapat yang benar
ialah boleh bertaklid bila tidak mampu berijtihad yang dikarenakan
takafu’ (adanya dalil yang memiliki derajat sama kuatnya), sempitnya
waktu untuk berijtihad, atau tidak jelas dalilnya. Maka, tatkala ia
tidak mampu; gugurlah yang menjadi kewajiban (berijtihad), sehingga
dibolehkan untuk bertaklid.
• Bagi orang yang tidak mampu untuk mengetahui hukum Allah dan RasulNya,
sehingga menyebabkannya mengikuti seseorang yang ahli ilmu agama, serta
tidak mendapatkan pendapat yang lebih rajih dari pendapat orang
tersebut, maka hal itu terpuji dan mendapatkan pahala. Tidak tercela dan
tidak disiksa.
• Sedangkan pendapat jumhur umat ini ada yang memperbolehkan ijtihad
ataupun taklid (secara umum). Mereka tidak mewajibkan ijtihad bagi
setiap orang dan mengharamkan taklid. Tidak mewajibkan taklid untuk
setiap orang dan mengharamkan ijtihad. Tetapi ijtihad diperbolehkan
untuk yang mampu berijtihad. Serta taklid diperbolehkan untuk yang tidak
mampu berijtihad.
• Menurut jumhur, bagi orang yang tidak mampu berijtihad diperbolehkan taklid kepada orang ‘alim.
SIAPAKAH YANG DIMINTAI FATWA OLEH ORANG AWAM?
• Apabila seorang muslim menghadapi suatu masalah (nazilah), maka dia
menanyakan fatwa kepada orang (‘alim ) yang diyakini akan berfatwa
sesuai dengan syari’at Allah dan RasulNya dari madzhab manapun.
• Bilamana dalam masalah-masalah yang sulit, memungkinkannya dapat
mengetahui petunjuk dari Al Quran dan As Sunnah, maka wajib
mengikutinya. Jika tidak memungkinkan, karena sempitnya waktu, tidak
mampu mencarinya, dalilnya takafu’ -menurut pendapatnya-, atau sebab
lainnya, maka ia boleh bertaklid kepada orang yang diridhai ilmu dan
agamanya.
YANG TIDAK BOLEH DILANGGAR OLEH ORANG YANG BERTAKLID
• Barangsiapa yang bertaklid, maka ia harus menetapi hukum taklid. Tidak
boleh merajihkan, meneliti, membenarkan, dan menyalahkan.
APABILA SESEORANG HARUS BERTAKLID, MAKA SIAPAKAH YANG HARUS DIIKUTI?
• Jika seseorang harus bertaklid, maka hendaknya bertaklid kepada orang yang dipandang lebih dekat dengan kebenaran.
DIPERBOLEHKAN MENGIKUTI MADZHAB TERTENTU APABILA TIDAK MAMPU MEMAHAMI SYARA’ (AGAMA), KECUALI DENGAN MENEMPUH CARA TERSEBUT
Diperbolehkan bagi seseorang mengikuti madzhab tertentu karena
ketidakmampuannya dalam memahami agama, kecuali melalui madzhab
tersebut. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi seseorang yang mampu
memahami agama tanpa melalui cara tersebut. Dan setiap orang wajib
bertakwa kepada Allah menurut kemampuannya. Berusaha mengetahui perintah
Allah dan RasulNya. Kemudian mengerjakan perintah dan meninggalkan
laranganNya. Wallhu ‘alam.
Dan barangsiapa mengetahui petunjuk tanpa dengan mengikuti syeikh
tertentu, maka tidak perlu mengikuti kepada satu syeikh (tertentu) dan
tidak disunatkan, bahkan dimakruhkan (dibenci).
Adapun jika tidak memungkinkan untuk beribadah kepada Allah yang
bersesuaian dengan perintahNya, kecuali dengan cara mengikuti madzhab
orang tertentu, seperti apabila bertempat-tinggal di lingkungan yang
lemah pengenalannya kepada petunjuk, ilmu, dan iman; serta orang–orang
yang mengajari dan mendidiknya tidak mau memberikan ilmu kecuali dengan
menisbatkan kepada syeikh mereka, atau penisbatan kepada syeikhnya itu
akan menambah agama dan ilmu, maka ia melakukan yang lebih maslahat
untuk agamanya. Tetapi pada umumnya hal itu tidak terjadi, kecuali
karena kelalaiannya (tidak mempelajari ilmu). Sebab kalau tidak
demikian, andaikata ia mau mencari petunjuk sesuai dengan apa yang
diperintahkan, pasti akan mendapatkannya. https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.
TETAPI TIDAK DIPERBOLEHKAN MEMBERIKAN PEMBELAAN DAN MEMUSUHI ATAS DASAR
PENISBATAN KEPADA MADZHAB. BARANGSIAPA MELAKUKAN HAL ITU, MAKA IA
TERMASUK AHLI BID’AH
• Di dalam Al Qur’an dan As Sunnah, tidak ada pembedakan diantara
imam-imam mujtahidin, antara yang satu dengan seorang lainnya. Malik, Al
Laits bin Sa’d, Al Auza’i, dan Ats Tsauri, adalah imam–imam pada
zamannya, bertaklid kepada sebagian mereka seperti bertaklid kepada
lainnya. Dan tidak ada seorang muslim yang mengatakan,“Sesungguhnya
boleh bertaklid kepada imam ini dan tidak boleh kepada imam itu.”
• Orang yang beranggapan lebih kuat (tepat) bertaklid kepada Asy
Syafi’i, tidak boleh mengingkari orang lain yang beranggapan lebih kuat
bertaklid kepada Malik Dan orang yang beranggapan lebih tepat bertaklid
kepada Ahmad, tidak boleh mengingkari orang yang beranggapan lebih tepat
bertaklid kepada Asy Syafi’i dan seterusnya.
• Barangsiapa menjadikan seseorang untuk diikuti, sehingga ia membela
dan memusuhi atas dasar kesesuaian dan tidaknya dengan orang tersebut,
maka ia termasuk (dalam ayat, peny.).
مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا . الآية
Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. [Ar Rum : 32].
Apabila seseorang itu belajar dan beradab sebagaimana cara orang-orang
yang beriman, seperti mengikuti imam–imam dan syeikh-syeikh, maka tidak
boleh menjadikan panutannya atau sahabat–sahabatnya menjadi ukuran.
Membela orang yang menyetujuinya dan membenci orang yang
menyelisihinya….(sesungguhnya) tidaklah boleh bagi siapapun untuk
menyeru kepada perkataan atau meyakininya, berdasarkan perkataan
sahabat–sahabatnya. Tidak boleh pula memerangi dengan dasar tersebut.
Tetapi harus didasarkan kepada perintah atau berita Allah dan RasulNya,
sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan RasulNya.
• Tidak boleh bagi siapapun menjadikan seseorang selain Nabi untuk
diikuti umat, dia menyeru kepada jalannya serta mencintai dan membenci
karenanya. Tidak boleh membuat perkataan selain perkataan Allah,
perkataan RasulNya, dan Ijma’ umat untuk menjadi pegangan ummat, membela
dan memusuhi karenanya. Termasuk perbuatan ahlu bid’ah, apabila
menjadikan seseorang atau perkataannya untuk memecah belah umat, membela
dan memusuhi atas dasar perkataan atau penisbatan kepada orang
tersebut.
• Barangsiapa fanatik kepada seorang tertentu diantara imam-imam, tanpa
fanatik kepada lainnya, maka ia seperti orang yang fanatik kepada salah
seorang sahabat, tanpa fanatik kepada sahabat-sahabat lainnya. Seperti,
seorang Rafidhi yang fanatik kepada Ali (tetapi) tidak kepada tiga
khalifah lainnya dan mayoritas Sahabat. Atau Khawarij yang mencela
Utsman dan Ali. Ini adalah cara–cara ahlu bid’ah dan pengikut hawa
nafsu, yang telah ditetapkan di dalam Al Kitab dan As Sunnah sebagai
orang-orang yang tercela. Mereka keluar dari syari'at dan jalan yang
diperintahkan oleh Allah untuk diikuti melalui Rasulullah. Barangsiapa
yang fanatik kepada salah seorang di antara imam-imam, maka ada kesamaan
dengan mereka. Baik fanatik kepada Malik, Syafi’i, Abu Hanifah, Ahmad ,
dan lain-lain. Batas akhir orang yang fanatik kepada salah seorang di
antara imam-imam adalah tidak mengetahui kemampuan imam yang diikutinya
dan kemampuan imam-imam lain di dalam ilmu dan agama. Maka dia menjadi
bodoh dan dzalim. Padahal Allah memerintah supaya berilmu dan berbuat
adil, melarang kebodohan dan kedzaliman.
• Adapun penisbatan yang memecah-belah antara kaum muslimin, berarti
keluar dari jamaah dan persatuan. Mereka menuju kepada perpecahan dan
mengikuti jalan kebid’ahan, serta menyelisihi sunnah dan ittiba’. Hal
ini merupakan perkara yang dilarang. Pelakunya berdosa dan keluar dari
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya .
DARURAT YANG MENYEBABKAN MENYELISIHI HUKUM ASHL (PRINSIP) TIDAK BOLEH
DILAKUKAN SECARA TERUS-MENERUS, TETAPI WAJIB BERUSAHA UNTUK
MENGHILANGKAN SEBAB-MUSABABNYA
Meskipun diperbolehkan mengangkat seseorang yang tidak memiliki keahlian
karena darurat; tatkala orang tersebut yang paling baik diantara
mereka, akan tetapi tetap wajib berusaha untuk memperbaiki keadaan
sehingga terwujud kemaslahatan yang sempurna bagi umat berupa
persoalan–persoalan kepemerintahan, pendelegasian dan lain–lain.
Sebagaimana wajib bagi orang miskin untuk berusaha melunasi hutangnya.
Meskipun saat itu tidak dituntut, kecuali sesuai dengan kemampuannya.
Sebagaimana wajib bersiaga berjihad dengan menyiapkan kekuatan dan
kendaran pada waktu kalah akibat kelemahannya. Karena sesuatu yang
melengkapi terlaksananya kewajiban, hukumnya wajib. Berbeda dengan
kemampuan dalam berhaji dan sejenisnya. Hal itu tidak wajib diusahakan
secara khusus karena kewajibannya tergantung kepada kemampuan itu
sendiri. (Ibnu Ramli)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar