Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.HAKIKAT ISLAM
Pagi itu pukul 10.00 WIB, hari Kamis tanggal 9 Desember 2004, saya
bersama dua ikhwan turut menemani Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi yang
akan memberikah ceramah di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dalam perjalanan,
disela-sela kesibukan Syaikh membolak-balik lembaran koran berbahasa
Arab terbitan Yordania itu, kami mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan
memberikan informasi-informasi penting seputar IAIN dan pergolakan
pemikiran yang terjadi di dalamnya. Sebuah dialog yang membuat Syaikh
terperanjat dan terperangah, sehingga Syaikh menyuruh saya untuk
menuliskan poin-poin yang dianggap urgen untuk ditanggapi. Sayapun
menulis 10 poin dan menyodorkan kepada beliau.
Tidak terasa waktupun menunjukkan pukul 11.40 WIB dan kamipun sampai di
halaman Masjid Kampus IAIN Surabaya. Ternyata shalat jama’ah telah
selesai. Acara langsung dimulai. Salah seorang dosen IAIN memberikan
sambutan singkat dalam Bahasa Indonesia yang isinya menyambut kedatangan
Syaikh, berterima kasih kepada Allah atas kedatangan seorang ulama ahli
hadits dari Yordania, dan mengharapkan kepada hadirin untuk menyimak
ceramah ilmiah yang akan disampaikan Fadhilah Asy Syaikh.
Saya yang bertindak selaku penerjemah mengawali tabligh itu
memperkenalkan Syaikh kepada hadirin yang berjumlah sekitar seratusan
orang. Saya katakana, bahwa tamu kita ini adalah Syaikh Ali bin Hasan Al
Halabi, merupakan salah satu murid senior Syaikh Nashiruddin Al Albani,
seorang ahli hadits terkemuka di dunia Islam yang meninggal 3 tahun
yang lalu. Beliau menyertai Syaikh Al Albani selama 25 tahun, dan kini
telah menulis lebih dari 150 kitab; baik ta’lif, ta’liq, tahqiq maupun
Syarah.
Berikut ini ceramah Syaikh Ali Ibnu Al Hasan Al Halabi yang disampaikan
di Masjid Kampus IAIN Surabaya, yang telah kami transkrip dengan
memberikan sub-sub judul. Semoga bermanfaat. (Redaksi).
_______________________________________________________________________
Setelah khutbah hajah, Syaikh mengatakan:
Amma ba’du,
Sungguh saya bersyukur kepada Allah atas kesempatan yang luar biasa ini;
kesempatan bertemu dan bertatap muka dengan saudara-saudaraku seagama
di Perguruan Tinggi yang baik ini, Insya Allah. Kesempatan untuk
berdialog, saling berwasiat dan saling memberi nasihat. Ini semua
manakala kita mengetahui bahwa yang hadir di sini adalah para penuntut
ilmu dan para mahasiswa yang mana kondisinya mengatakan “Ya, Allah.
Tambahkanlah ilmu kepadaku”. Saya mohon kepada Allah tambahan ilmu untuk
mereka.
Saya tidak ingin pertemuan ini hanya basa-basi, akan tetapi sebuah
pertemuan serius yang jelas-jelas memfokuskan pada beberapa poin ilmiah
yang dapat mencerahkan akal dan mengokohkan naql (wahyu) dengan
pemahaman yang benar. Dengan harapan agar syubhat-syubhat (kerancuan
pikiran) yang mengacaukan cara mencari ilmu di Perguruan Tinggi maupun
di lembaga pendidikan lainnya dapat dilenyapkan.
Imam Adz Dzahabi (w. 748 H) mengatakan: “Hati ini lemah, sedang
syubhat-syubhat ganas merajalela”. Apabila imam ini mengatakan demikian
pada ratusan tahun yang lalu sementara para ulama masih banyak dan
lingkungan global masih religius Islami, maka bagaimana lagi dengan kita
pada hari ini, dengan kondisi kebodohan merajalela, ulama telah langka
dan metodologi keilmuan menjadi tidak karuan, maka tentunya hati kita
lebih lemah dan syubhat sangat kuat dan berkuasa.
Oleh karena itu, pembahasan ini akan kita tekankan pada masalah-masalah ilmiah yang amat mendasar.
HAKIKAT ISLAM
Tentang hakikat agama Islam, agama yang dengan bangga kita menisbatkan
diri kepadanya, berdakwah kepadanya dan berkumpul karenanya. Dialah
agama Islam yang difirmankan oleh Allah:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. [Ali Imran : 19].
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi. [Ali Imran : 85].
Ayat ini merupakan dustur (undang-undang dasar) bagi setiap muslim dan
merupakan syari’at yang paling agung. Islam adalah agama Allah, agama
yang haq, agama yang diterima dan agama penutup. Karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada Nabi lagi sesudahku”.
Islam memiliki dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Pengertian khusus
adalah apabila Islam digunakan secara mutlak atau lepas maka maksudnya
adalah agama Nabi Muhammad n . Sedangkan makna umumnya, yaitu agama
semua nabi yang mengajarkan tauhid, tunduk patuh hanya kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana firman Allah.
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ
الْمُسْلِمِينَ
Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagiNya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” [Al An’am : 162-163].
Pasrah, menyerahkan diri kepada Allah melalui ajaran masing-masing nabi
adalah makna Islam secara umum. Sedangkan makna Islam secara khusus,
yang karenanya Al Qur'an diturunkan, yaitu tunduk patuh kepada Allah dan
taat kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diutus untuk
seluruh umat manusia hingga hari kiamat.
Di dalam Al Qur'an, Al Fatihah, surat terbesar dalam Al Qur'an, yang
menjadi rukun shalat, dan tidak sah shalat tanpanya, sebagaimana hadits:
“Tidak ada shalat tanpa Fatihah”; surat yang dihapal oleh anak-anak
kecil apalagi oleh orang dewasa, di dalamnya Allah berfirman:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah
Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka”. Jalan yang lurus di sini,
ialah agama yang dianut oleh para nabi, para shiddiq, syuhada dan kaum
shalih, seperti firman Allah.
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ
اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan RasulNya, mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan
orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. [An
Nisa’: 69].
Telah shahih di dalam As Sunnah, bahwa ketika Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam menyebut ayat ini “bukan jalan mereka yang dimurkai
dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”, Beliau mengatakan, yang
dimurkai adalah Yahudi dan yang sesat adalah Nasrani.
Seandainya ada orang yang merubah-rubah makna Islam dengan mengatakan
bahwa Islam bukanlah nama agama yang diterima, tetapi sifat agama, maka
ini tertolak dan batil. Yang Pertama, ia tertolak oleh Al Qur’an surat
Ali Imran ayat 85:
« وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ »
Dalam ayat ini, kata Islam terkait dengan nama dan sebutan, bukan dengan
sifat dan sikap. Yang Kedua, hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
yang menafsiri surat Al Fatihah tadi.
Seandainya kita katakan bahwa setiap agama yang mengajarkan kepasrahan
kepada Tuhan adalah diterima, tentu tidak ada bedanya antara agama
Islam, Yahudi, Nasraniyah dan agama keberhalaan, sebab para penyembah
berhala itupun berniat menyembah Allah. Bukankah mereka mengatakan.
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
Kami tidak menyembah mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. [Az Zumar : 3].
Jadi, mereka mengaku bertaqarrub (mendekatkan) kepada Allah. Tetapi
ucapan mereka ini batil dan rusak, kesesatan yang nyata yang sangat
jelas di depan mata, dan tidak memerlukan bantahan. Namun demikian kami
telah membantahnya.
Guna menguatkan yang haq dan menumbangkan yang batil, Allah telah berfirman.
بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ وَلَكُمُ الْوَيْلُ مِمَّا تَصِفُونَ
Sebenarnya Kami melontarkan yang haq kepada yang batil, lalu yang haq
itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan
kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan
sifat-sifat yang tidak layak bagiNya).[Al Anbiya’ : 18].
Maka berikut ini kami sebutkan satu ayat dan dua hadits.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ
مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ
أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ
اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu
mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah
petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan
mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi
menjadi pelindung dan penolong bagimu. [Al Baqarah:120].
Jika Islam hanya diartikan pasrah kepada Tuhan melalui agama apapun,
maka apa artinya ayat yang telah membedakan satu agama dari yang lain
ini?!
Adapun haditsnya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: “Tidak ada bayi yang lahir, melainkan dia dilahirkan di atas
fitrah (tauhid, Islam). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi,
atau Nasrani atau Majusi”. [HR Bukhari Muslim].
Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Demi
Allah, yang jiwa Muhammad ada di tanganNya. Tidak ada seorangpun dari
umat ini, baik Yahudi atau Nasrani yang mendengar tentang aku kemudian
ia mati dan tidak beriman kepada agama yang aku bawa, melainkan ia
menjadi penghuni neraka”. [HR Muslim].
Lalu bagaimana ucapan mereka yang mengatakan bahwa semua agama sama
saja? Bagaimana mereka menyamakan antara yang haq dengan yang batil?
SUMBER ISLAM BUKAN PRODUK BUDAYA
Apabila kita telah mengenal Islam, makna, sifat dan hakikatnya, bahwa ia
merupakan agama yang diterima oleh Allah dan tidak ada lagi sesudahnya
atau bersamanya agama lain yang diterima, maka kita harus mengetahui
sumber-sumber agama Islam ini berikut penjelasannya. Sumber agama ini
ialah Al Qur'an dan Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah
berfirman.
إِنَّ هَذَا الْقُرْءَانَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus. [Al Isra’: 9].
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci? [Muhammad : 24].
Inilah Al Qur'an yang telah dinyatakan oleh Allah.
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Yang tidak datang kepadanya (Al Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun
dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi
Maha Terpuji. [Fushshilat : 42].
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى
يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ
Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar
firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya.
Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. [At Taubah :
6].
Sungguh kalam (firman Allah) seluruhnya sempurna, tidak ada cela, cacat
atau kurang. Kalam Allah adalah sifat Allah. Bila Allah Yang Pemilik
sifat adalah Maha sempurna, maka sifatnya adalah sempurna, tidak ada
kekurangan sedikitpun di dalamnya.
Orang-orang yang tidak memahami hakikat Al Qur'an itu, entah karena
bodohnya atau sikap sok pintarnya mengatakan bahwa Al Qur'an adalah
muntaj tsaqafi (produk budaya). Sungguh, yang muncul dari mulut mereka
adalah kebohongan besar. Bagaimana mungkin Al Qur'an disamakan dengan
buku-buku lain yang dikarang oleh manusia, sedangkan Allah berfirman.
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan
dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui? [Al Mulk :
14].
Al Qur'an diturunkan Allah melalui Jibril Alaihissallam kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
وَبِالْحَقِّ أَنْزَلْنَاهُ وَبِالْحَقِّ نَزَلَ وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا مُبَشِّرًا وَنَذِيرًا
Dan Kami turunkan Al Qur'an itu dengan sebenar-benarnya dan Al Qur'an
itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. [Al Isra’ : 105].
Bagaimana mungkin Al Qur'an yang sempurna keseluruhannya sejajar dengan
produk manusia yang penuh dengan kekurangan? Seandainya ucapan ini
keluar dari orang yang telah ditegakkan hujjah atasnya, tentu ia menjadi
kafir; akan tetapi kita memakluminya, yang dikarenakan kebodohannya.
Kami nasihatkan kepada orang-orang seperti ini agar bertaqwa kepada
Allah, ingat kematian, kebangkitan, pertemuannya dengan Allah Penguasa
alam semesta, hisab, pahala dan siksa.
Maka wajib mengimani bahwa Al Qur'an adalah Kalam Allah (bukan makhluk
dan bukan produk budaya), tidak mengandung kebatilan dan kekurangan,
semuanya merupakan kebaikan, agama dan kebenaran, dan selainnya adalah
batil dan rusak. Sehingga, selama-lamanya tidak boleh mengatakan bila Al
Qur'an sebagai produk budaya. Ucapan seperti ini sesat menyesatkan.
Al Qur'an, sebagaimana saya katakan tadi, adalah sempurna
keseluruhannya, sebagaimana firman Allah tentang ucapan jin yang
mendengarkan Al Qur'an.
فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْءَانًا عَجَبًا(1)يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا
Lalu mereka berkata: "Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Qur'an
yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu
kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan
seorangpun dengan Tuhan kami. [Al Jin : 1-2].
Al Qur'an adalah kitab hidayah, petunjuk kepada jalan yang benar. Semua
bagian Al Qur'an menunjukkan kepada jalan yang benar. Anggapan ayat-ayat
Makkiyyah bersifat universal, sedangkan ayat-ayat Madaniyyah adalah
tipikal dan lokal adalah batil dan rusak. (Mengapa?) Pertama : Karena
nash Al Qur'an dalam ayat tadi –misalnya- bersifat umum menyeluruh:
“Sesungguhnya Al Qur'an ini menunjukkan kepada jalan yang lurus”
mencakup ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah. Kedua : Ucapan ini
merupakan tafsir yang semena-mena, pendapat belaka, dugaan dan nafsu,
tidak ada dasar rasional dan tidak pula dasar syar’i: “Datangkanlah
bukti-buktimu jika kamu benar”. Ketiga : seluruh ulama telah bersepakat
bahwa pelajaran itu didasarkan pada keumuman lafazh, bukan pada
kekhususan sebab.
Bila ayat itu jelas makna dan petunjuknya, maka ia mencakup semuanya.
Sebab nuzulnya ayat tidak membatasi berlakunya ayat, (tetapi memperjelas
dan mempertegas makna yang dimaksud oleh ayat). Jadi ucapan mereka ini
batil dan rusak, dan dimaksudkan untuk meragukan Al Qur'an dan
mengingkarinya.
AS SUNNAH SEBAGAI SUMBER KEDUA
Al Qur'an ini adalah firman Allah yang telah menunjukkan agar kita
berhujjah dengan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah
berfirman:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNya. [Al Hasyr : 7].
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا
فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ
تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ
الْمُبِينُ
Katakanlah: "Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; dan jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang
dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa
yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu
mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan
menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. [An Nur : 54].
Seandainya yang diterima di sini hanya Al Qur'an, tentu ayat-ayat Al Qur'an ini tidak ada maknanya.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang dikatakan oleh Allah sebagai orang yang tidak berbicara kecuali dengan wahyu
“ وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَ “
dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya [An Najm : 3]
(Beliau) bersabda : Ingatlah, sesungguhnya aku diberi Al Qur’an dan yang
semisalnya bersamanya. Yang semisal dengan Al Qur'an adalah As Sunnah.
Permisalan di sini bukanlah dalam kedudukan dan kesucian. Kalam Allah
sesuai dengan kesucian Dzat Allah Subhanahu wa Ta'ala, sedangkan kalam
RasulNya sesuai dengan diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, kesamaannya di sini adalah dalam bidang hukum;
hukum-hukum As Sunnah sama dengan hukum-hukum Al Qur'an, karena ia
adalah wahyu seperti Al Qur'an.
Abdullah Ibn Umar Ibn Al Ash Radhiyallahu 'anhu mengatakan: “Ya,
Rasulullah! Engkau berbicara pada waktu ridha dan pada waktu marah. Maka
apakah aku menulisnya?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: “Demi Allah, yang jiwaku ada di tanganNya. Tidak ada yang
keluar dari lisanku, melainkan kebenaran, maka tulislah!”
Barangsiapa mencela Sunnah, sebenarnya pukulan itu mengenai Al Qur'an
sebelum As Sunnah itu sendiri. Maka hendaklah ia bertaubat, kembali
kepada akal sehatnya dan kembali kepada kebenaran. Sebelum datang waktu
penyesalan; penyesalan yang tidak lagi berguna dan tidak pula didengar.
Kondisi mereka benar-benar mengingatkan pada sebuah hadits:
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari dada para ulama, akan
tetapi Allah mencabutnya dengan mencabut nyawa para ulama hingga tidak
tersisa satu orang alimpun. Maka manusia mengangkat orang-orang bodoh
sebagai pemimpin, lalu mereka berfatwa tanpa ilmu (satu riwayat: dengan
ra’yu mereka), maka mereka sesat dan menyesatkan”. Ini adalah berkata
dusta atas Allah. Satu dosa besar yang terbesar, karena Allah berfirman
tentang beberapa dosa besar, dan yang terakhir adalah berkata tentang
Allah tanpa ilmu.
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا
بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا
بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى
اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak
manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui. [Al A’raf : 33].
SYUBHAT PENOLAK HADITS
Orang-orang yang mencela hadits, logika mereka sangat rendah dan rapuh.
Syubhat-syubhat mereka yang paling penting ada dua macam.
Syubhat Pertama. Mengandalkan akal untuk membatalkan naql (wahyu Al
Qur'an dan Sunnah). Mereka menjadikan akal sebagai asas (pondasi). Hal
ini lemah, karena akal itu berbeda-beda; ada akal orang awam, ada akal
orang terpelajar, ada akal sarjana, ada akal bukan sarjana, ada akal
orang kota, ada akal orang desa, dan seterusnya. Lalu akal siapakah yang
harus kita ikuti? Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. [An Nisa’ : 59].
Allah mengajarkan, jika akal kalian berselisih dan pemahaman
berbeda-beda dan jika terdapat sengketa, maka kembalikanlah kepada Al
Qur'an dan As Sunnah. Inilah solusi bagi perselisihan. Bagaimana mungkin
mengembalikan perselisihan kepada akal, yang ia menjadi penyebabnya,
lalu kita jadikan sebagai hukum atas Al Qur'an dan As Sunnah?!
Kemudian, akal itu sendiri berkembang, sedangkan agama Islam ini tetap.
Karena ia (Islam) menjadi timbangan yang berfungsi untuk memperbaiki
keadaan. Dinamika kehidupan dan kemajuan dapat bertemu dengan agama,
bukan agama yang harus berjalan di belakang perkembangan jaman. Agama
adalah guru dan pengawal bagi kebudayaan. Kebudayaan itu ada yang baik
dan ada yang buruk, ada yang bermanfaat dan ada pula yang membayakan,
ada yang lurus dan ada pula yang sesat. Untuk memilah-milah ini semua,
(maka) harus kembali kepada agama.
Sebagai ilustrasi bahwa akal itu berkembang, saya sebutkan satu contoh
sederhana. Lima tahun yang lalu, tidak lebih dari itu, kalau ada orang
yang mengatakan di sakuku ada kitab Shahih Bukhari, ada Tafsir Ibn
Katsir dan ada Majmu’ Nawawi. Tentu seorang akan mengatakan: “Kamu sudah
gila. Mana mungkin Shahih Bukhari yang 4 jilid, Tafsir Ibn Katsir yang 4
jilid dan Majmu’ Nawawi yang 20 jilid itu masuk dalam saku yang kecil?
Sekarang, akal yang sama akan mempercayainya, sebab CD yang beratnya
sekitar 5 gram itu dapat memuat kitab-kitab tadi, bahkan lebih. Oleh
karena itu, jangkauan akal amat terbatas. Dia tidak akan memahami apa
yang belum dijangkaunya.
Sementara syara’ (Al Qur'an dan Sunnah) adalah sempurna dan terjaga dari
kesalahan, berada di atas akal. Dan akal, tidak disebut mukmin sebelum
(ia) tunduk patuh kepada ketentuan syara’. Allah berfirman.
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [An Nisa’: 65].
Dengan demikian jika akal berseberangan dengan syara’, maka tuduhlah
akal, karena akallah yang belum dapat memahami kebenaran wahyu. Kitab
Allah adalah wahyu yang sempurna, sementara akal selalu memerlukan
bimbingan wahyu untuk menyempurnakan dan menutupi kekurangannya.
Menjadikan akal sejajar dengan wahyu atau setingkat di atas wahyu,
demikian ini merupakan pemahaman yang batil. Mereka adalah orang-orang
yang lancang, angkuh dan sombong. Lalu dengan akal siapakah dan yang
manakah kita harus menghukumi dan berhukum?!
Allah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah
dia telah sesat, sesat yang nyata. [Al Ahzab : 36].
Anda tidak memiliki pilihan lain di hadapan Kalam Allah Subhanahu wa
Ta'ala, kecuali menerima, mengimani, mengikuti, ridha dan istiqamah di
atasnya. Inilah sifat orang yang cerdas, bijak, mendapat petunjuk di
dunia dan bahagia di akhirat.
Syubhat logika yang rusak tadi, akal sendiripun memvonisnya sebagai cara berpikir yang tidak logis.
Syubhat Kedua : Kemudian syubhat kedua sama dengan yang pertama, jauh
dari nilai ilmiah, yaitu mencela para rawi hadits. Di antaranya dengan
membuat keragu-raguan seputar sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu,
sahabat yang terbanyak dalam meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam. Orang yang melakukan ini, sepertinya tidak mengetahui
semua hadits atau sebagian besar hadits. Sebab, sebagian besar hadits
itu diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Cukuplah
keutamaan Abu Hurairah dalam dua riwayat berikut ini; yang pertama dari
Abu Hurairah dan yang kedua tentang Abu Hurairah.
Riwayat dari Abu Hurairah, dia berkata: “Saya menemani Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan mengisi perut seadanya. Aku tidak
menginginkan harta dan dunia. Aku hanya ingin menemani Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam"
Jadi Abu Hurairah meninggalkan dunia seisinya dan mencurahkan seluruh
perhatiannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di sinilah
letak kekayaan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
Riwayat yang kedua, Abu Hurairah datang kepada Rasul Shallallahu 'alaihi
wa sallam melaporkan perihal hafalannya. Maka Rasul Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda: “Angkat pakaianmu”. Abu Hurairah lalu
mengangkatnya. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meniup
pada pakaiannya. Abu Hurairah lalu berkata: “Semenjak itu, aku tidak
pernah lupa satu haditspun yang telah aku hafal dari Rasul Shallallahu
'alaihi wa sallam"
Begitulah kecintaan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu kepada Rasul dan
kecintaan Rasul kepada Abu Hurairah. Kemudian tiba-tiba mereka datang
lalu mencela dan mencaci maki Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Sungguh
mereka adalah orang-orang yang jauh dari kitab Allah dan Sunnah RasulNya
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
HARAPAN SYAIKH
Akhirnya, saya akan menutup (muhadharah ini) dengan dua perkara. Yang
satu bersifat umum, (yaitu) berkaitan dengan ceramah kita. Dan yang
kedua bersifat khusus, berkaitan dengan Perguruan Tinggi Sunan Ampel.
Setelah kami menjelaskan hakikat Islam –tidak ada satu agama yang
diterima setelahnya dan bersamaan dengannya- setelah kami jelaskan
sumber-sumber agama Islam, yaitu kitab Allah yang berisi hukum, hidayah
dan syari'at. Kemudian kami jelaskan Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang merupakan wahyu yang sama dengan Al Qur'an, lalu kami
jelaskan tentang akal dan kedudukannya yang amat tinggi dalam Islam
untuk memahami Al Qur'an dan Sunnah, bukan untuk menghakimi dan menolak
Al Qur'an dan Sunnah. Berikutnya menjelaskan tentang Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu, kedudukan dan keutamaannya. Dia adalah sahabat yang
paling banyak meriwayatkan hadits. (maka setelah saya jelasakan hal-hal
di atas), saya katakan: “Di antara manhaj ilmi yang benar yang wajib
diketahui, bahwa Al Qur'an dan Sunnah harus kita pahami sesuai dengan
pemahaman para Salafush Shalih. Secara ringkas saya sebutkan dua dalil
berikut ini.
Allah berfirman.
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan
ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. [An
Nisa’: 115].
Ini sebagai isyarat kepada pemahaman lurus yang terdapat pada diri para
sahabat Radhiyallahu 'anhum. Karena itu, wajib memahami Al Qur'an dan
Sunnah berdasarkan pemahaman para salafush shalih, dan tidak boleh
memahaminya dengan pemahaman yang menyimpang dari pemahaman mereka.
(Yang) kedua, hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Sebaik-baik
generasi manusia adalah generasiku kemudian generasi berikutnya kemudian
berikutnya.”
Tidak mungkin khairiyyah (nilai kebaikan) di sini dikaitkan dengan
jaman, tempat, orang atau fisik. Akan tetapi, kebaikan yang dimaksud
ialah kebaikan iman, kepatuhan, pemahaman, ilmu dan amal. Dan kebaikan
ini terdapat pada tiga kurun yang utama tersebut agar menjadi pelita
bagi generasi sesudahnya.
Terakhir, perkara yang khusus, bahwa saya memuji Allah Subhanahu wa
Ta'ala yang telah memudahkan adanya muhadharah ini. Namun saya sangat
terheran-heran dan tidak habis pikir, Perguruan Tinggi yang dengan
bangga menyematkan label Islam di belakangnya ini, yaitu Al Jami’ah Al
Islamiyyah (Universitas Islam) bukan Al Jami’ah Al Mukhalifah Lil Islam
(Universitas Penolak Islam), tetapi saya menemukan di dalamnya tiga
fenomena yang memprihatinkan:
Pertama. Banyak akhwat, Mahasiswi yang tidak mengenakan pakaian syar’i
atau hijab Islami. Hijab yang dimaksud bukan hanya menutup kepala,
tetapi menutup seluruh tubuh dan seluruh badan, tidak menampakkan bentuk
tubuh dan perhiasan.
Kedua. Banyak pemuda, Mahasiswa yang duduk-duduk dengan fatayat
(mahasiswi). Tidak mungkin pemuda itu ayahnya, saudaranya, atau
suaminya. Kalaupun ada, paling satu di antara seratus, sedangkan sisanya
apa yang mereka lakukan di Perguruan Tinggi Islam ini?!https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.
Ketiga. Kita sekarang berada di rumah Allah, berdzikir kepada Allah
menuntut ilmu Allah. Saya sendiri datang dari jauh, dari balik Samudra
Hindia, sementara saudara-saudara kita dengan santai ada yang
duduk-duduk di pinggir jalan, ada yang di atas tangga, ada yang di
halaman, ada yang di pojok sana dan pojok sini; mengapa tidak berkumpul
di sini, di rumah Allah ini, mendengarkan dan mengikuti majelis ilmu,
sesuai dengan do’a: “Ya Rabb, tambahkan ilmu kepadaku”?
Harapan saya pada Perguruan Tinggi Sunan Ampel ini, semoga pada
kunjungan saya yang akan datang, fenomena yang “menakjubkan” ini dapat
dihilangkan atau dapat diminimalisir semaksimal mungkin.
وَالْعَصْرِ(1)إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran. [Al Ashr : 1-3].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar