ZUHUD YANG BANYAK DISALAH FAHAMI.Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.Dalam pengertian banyak orang, zuhud adalah menghindari hal-hal yang
bersifat keduniaan. Mereka tidak mengerti, mana perkara-perkara duniawi
yang tercela, yang harus ditinggalkan, dan mana yang boleh didekati.
Sehingga iblis berkesempatan mempermainkan mereka. Lahirlah anggapan
bahwa seseorang tidak akan selamat akhiratnya, kecuali jika meninggalkan
dunia seisinya. Kalau perlu menyendiri di suatu tempat terpencil,
khusus untuk melakukan peribadatan kepada Allah. Meskipun dengan
meninggalkan keluarga, orang tua dan bahkan shalat berjama'ah serta
shalat Jum'at. Sebagian orang menganggap, inilah zuhud yang hakiki.
Persepsi semacam ini muncul lantaran kedangkalan terhadap ilmu agama.[1]
Orang awam yang jenuh dengan gemerlap dunia, atau muak melihat kepalsuan
serta tipu muslihat dunia dan ingin mendapatkan ketenteraman rohani,
mungkin akan mudah terperangkap dalam pengertian zuhud di atas. Ia akan
lahap untuk mendengarkan secara salah ayat-ayat, hadits-hadits serta
ceramah-cermah yang berisi celaan terhadap dunia. Asal berbau dunia,
semuanya buruk dan negatif. Akhirnya akan berasumsi bahwa keselamatan
akhirat hanya dapat diraih dengan meninggalkan dunia, meningalkan
pekerjaan dan bermalas-malasan dengan dalih ibadah.
MAKNA ZUHUD[2]
Sebenarnya Apa Dan Bagaimana Zuhud Itu?
Zuhud secara bahasa adalah lawan kata gemar. Gemar merupakan suatu
bentuk keinginan. Sedangkan zuhud adalah hilangnya keinginan terhadap
sesuatu, baik disertai kebencian ataupun hanya sekedar hilang keinginan.
[3]
Zuhud Menurut Pengertian Syari'at.
Dr. Yahya bin Muhammad bin Abdullah Al Hunaidi mengatakan, bahwa
pengertian zuhud yang paling sempurna dan paling tepat adalah pengertian
yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, zuhud yang disyari'atkan ialah
meninggalkan rasa gemar terhadap apa yang tidak bermanfaat bagi
kehidupan akhirat. Yaitu terhadap perkara mubah yang berlebih dan tidak
dapat digunakan untuk membantu berbuat ketaatan kepada Allah, disertai
sikap percaya sepenuhnya terhadap apa yang ada di sisi Allah.[4]
TINGKATAN ZUHUD
Zuhud itu sendiri, menurut Ibnu Al Qoyyim[5] serta ulama lain ada empat tingkatan.
Pertama : Zuhud wajib bagi setiap muslim. Yaitu zuhud terhadap perkara haram. Yakni dengan cara meninggalkannya.
Kedua : Zuhud yang bersifat sunnah (mustahabbah). Yaitu zuhud terhadap
perkara-perkara makruh dan perkara-perkara mubah yang berlebihan.
Maksudnya, perkara mubah yang melebihi kebutuhan, baik makan, minum,
pakaian dan semisalnya.
Ketiga : Zuhud orang-orang yang berpacu ketika berjalan menuju Allah. Zuhud ini ada dua macam.
1. Zuhud terhadap dunia secara umum. Maksudnya bukan mengosongkan tangan
menjadi hampa dari dunia, dan bukan pula membuang dunia. Tetapi
maksudnya, menjadikan hati kosong secara total dari hal-hal yang serba
bersifat duniawi. Sehingga hati tidak tergoda oleh dunia. Dunia tidak
dibiarkan menempati hatinya, meskipun kekayaan dunia berada di
tangannya. Hal ini, seperti keadaan para khulafa'ur rasyidun dan Umar
bin Abdul Aziz. Orang-orang yang zuhudnya menjadi panutan, meskipun
kekayaan harta benda ada di tangannya. Begitu pula keadaan manusia
terbaik, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika dunia
ditaklukkan oleh Allah untuk Beliau, malah menjadikan Beliau semakin
zuhud terhadap dunia.
2. Zuhud terhadap diri sendiri. Ini merupakan zuhud yang terberat.
Keempat : Zuhud terhadap perkara syubhat. Yaitu dengan cara meninggalkan
perkara yang belum jelas bagi seseorang, apakah halal atau haram.
Inilah zuhudnya orang-orang yang wara' (menjaga kehormatan).[6]
Berkaitan dengan zuhud terhadap persoalan duniawi, maka perlu
diterangkan secara lebih rinci. Sebab orang-orang sufi dapat memaksudkan
zuhud tersebut dengan melupakan makhluk, tidak mau memandang makhluk
atau mengingkari keberadaan makhluk. Semua ini adalah salah.
Jadi zuhud terhadap dunia, seperti dikatakan oleh Imam Ibnu Al Qoyim di
atas, tidak berarti mengosongkan tangan menjadi hampa dari harta. Tetapi
zuhud itu terletak di dalam hati. Yakni, agar hati tidak tergantung
pada cinta dunia. Namun ketergantungannya hanya kepada Allah saja dengan
cara taat kepadaNya, baik ia memiliki kesenangan duniawi ataupun tidak.
Kadang, zuhud itu bisa terjadi bersama dengan kekayaan atau bersama
dengan kemiskinan.
Para nabi terdahului juga zuhud meskipun kaya raya. Misalnya Nabi Dawud
dan Nabi Sulaiman Alaihissallam. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam juga terkenal sebagai orang yang jauh lebih baik dari lembutnya
angin sepoi yang berhembus. Sebagaimana tersebut dalam hadits shahih
Muslim, Kitab al Fadha'il, Bab Kaana an Nabiyyu Shallallahu 'alaihi wa
sallam ajwadan Naasi bil Khair min ar Riihi al Mursalati. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa salalm terkenal tidak pernah menolak orang yang
meminta-minta. Begitu pula Abu Bakar, Utsman dan Abdurrahman bin Auf
Radhiyallahu 'anhum. Mereka adalah orang-orang zuhud, padahal mereka
dikenal sebagai sahabat yang kaya raya.
HAL-HAL YANG DAPAT MELURUSKAN ZUHUD
Dalam masalah zuhud terhadap dunia, Imam Ibnu Al Qoyim rahimahullah menjelaskan, zuhud ini bisa diluruskan dengan tiga hal.
Pertama : Hendaknya seorang muslim memahami bahwa dunia hanyalah
bayang-bayang dan khayalan yang akan lenyap. Dunia hanyalah sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبُُ وَلَهْوُُ وَزِينَةٌ
وَتَفَاخُرُُ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرُُ فِي اْلأَمْوَالِ وَاْلأَوْلاَدِ
كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ
مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي اْلأَخِرَةِ عَذَابُُ شَدِيدُُ
وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانُُ وَمَاالْحَيَاةُ الدُّنْيَآ إِلاَّ
مَتَاعُ الْغُرُورِ
"Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan, sesuatu
yang melalaikan, perhiasan, ajang berbangga-banggaan di antara kamu dan
ajang berbanyak-banyakan dalam harta dan anak. Laksana hujan yang
tanam-tanamannya membuat kagum para petani, kemudian tanaman itu menjadi
kering, dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di
akhirat nanti ada azab yang keras dan ada ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu". [Al Hadid : 20].
Juga sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat. Allah menyebut kehidupan
dunia sebagai kesenangan yang menipu, dan Allah melarang, agar hambaNya
tidak tertipu dengan dunia serta menceritakan akibat buruk bagi
orang-orang yang tertipu dengan dunia.
Kedua : Hendaknya seorang muslim memahami bahwa di belakang dunia ada
negeri (kehidupan) yang lebih besar dan lebih agung kedudukannya. Itulah
negeri abadi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menggambarkan
perbandingan antara dunia dan akhirat dengan sabdanya:
وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ
أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ فِي
الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ
"Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan akhirat kecuali laksana
seseorang di antara kamu mencelupkan jarinya ini (Perawi yang bernama
Yahya bin Sa'id mengisyaratkan dengan jari telujuknya) ke dalam sungai.
Maka lihatlah apa yang bisa dibawa oleh jarinya itu".[8]
Ketiga : Hendaknya ia memahami bahwa zuhud terhadap dunia tidak akan
menghalangi seseorang untuk memperoleh dunia yang telah ditakdirkan
untuknya. Sebaliknya, semangatnya untuk memperoleh dunia tidak akan
menyebabkan ia dapat memperolehnya jika ia tidak ditakdirkan
memperolehnya. Hal ini akan memudahkan dirinya untuk zuhud terhadap
dunia.
PERKATAAN SEBAGIAN SAHABAT NABI TENTANG ZUHUD
Umar bin Khaththab pernah menulis kepada Abu Musa Al Asy'ari:
"Sesungguhnya engkau tidak akan memperoleh amal akhirat yang lebih baik
daripada zuhud terhadap dunia. Hati-hatilah engkau dari akhlak buruk dan
rendah".[9]
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu berkata: "Dunia pasti akan pergi
membelakangi, dan akhirat pasti akan datang menjelang. Masing-masing
dari dunia maupun akhirat memiliki anak-anak generasi. Maka jadilah
engkau anak generasi akhirat, dan jangan menjadi anak generasi dunia.
Hari ini adalah hari beramal, tidak ada hisab (penghitungan amal).
Sedangkan esok adalah hari hisab, tidak ada amal.[10]
ZUHUD YANG BENAR
Zuhud yang paling utama adalah zuhud yang sesuai dengan petunjuk
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan zuhud yang paling
buruk adalah zuhud yang tidak sesuai dengan petunjuk Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ
الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
"Amma ba'du: Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan
sebaik-baik bimbingan adalah bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, sedangkan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang
diada-adakan secara baru dalam agama, dan setiap bid'ah adalah
sesat.[11]
Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengingkari
keinginan zuhud para sahabat yang menyimpang. Yaitu ketika ada orang
yang tak hendak menikah, sementara yang lain tak hendak tidur dan yang
lain lagi tak hendak makan daging. Sebagaimana dalam hadits:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ عَمَلِهِ فِي السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَتَزَوَّجُ
النِّسَاءَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا آكُلُ اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ
لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ
مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ
وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ
سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
"Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya ada beberapa orang sahabat
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada isteri-isteri Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang amal perbuatan Beliau manakala
tidak terlihat orang lain.Akhirnya sebagian mereka berkata: "Saya tidak
akan menikahi perempuan". Sebagian lain berkata: "Saya tidak akan makan
daging". Sedangkan sebagian lain berkata: "Saya tidak akan tidur
membaringkan diri di tempat tidur".
Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca hamdalah dan memuji
Allah. Beliau bersabda: "Mengapa orang-orang itu berkata demikian dan
demikian? Padahal aku shalat dan aku tidur. Aku berpuasa dan aku makan.
Dan aku menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku,
berarti ia bukan termasuk golonganku".[12]
Begitu pula, tidak termasuk zuhud yang dibenarkan dalam syari'at,
apabila seseorang ingin hidup memutuskan diri sama sekali dari
kesenangan dunia dan memisahkan diri dari keramaian untuk beribadah
sepenuhnya kepada Allah (tabattul). Sebagaimana dalam shahih Muslim
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ قَالَ
رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عُثْمَانَ
بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لَاخْتَصَيْنَا
"Dari Sa'id bin Al Musayyib, sesungguhnya ia mendengar Sa'd bin Abi
Waqqash berkata: “Utsman bin Mazh'un ingin hidup bertabattul, namun
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarangnya. Kalaulah Beliau
membolehkannya, tentu kami sudah melakukan kebiri.[13]
Jadi zuhud yang dibenarkan dalam syari'at, ialah meninggalkan perkara
mubah yang berlebihan, yang tidak dapat membantu ketaatan kepada Allah,
baik berupa makan, minum, pakaian, harta dan lain sebagainya.
Sebagaimana perkataan Imam Ahmad “Zuhud ialah makan tetapi di bawah
ukuran makan seperti umumnya, berpakaian, tetapi lebih sederhana dari
umumnya, dan bahwa dunia hanyalah hari-hari yang hanya sebentar.[14]
KESIMPULAN
Sebagai kata penutup, sesungguhnya hakikat zuhud tidaklah sama dengan
tasawuf. Dan tasawuf bukan zuhud. Sebab tasawuf telah terasuki
keyakinan, pemikiran, filsafat dan perkara-perkara bid'ah.
Zuhud tidak dicela oleh siapapun, sedangkan tasawuf dicela oleh para ulama Sunnah.[15]
Karena itu, marilah belajar berzuhud secara benar dan sungguh-sungguh. Wallahu Waliyyu at Taufiq.
Maraji'
1. At Tuhfah al Iraqiyah fi al A'mal al Qalbiyah- Tahqiq wa Dirasah,
karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Tahqiq, Ta'liq dan Takhrij Dr. Yahya
bin Muhammad bin Abdullah al Hunaidi, Maktabah ar Rusyd, Riyadh, Cet.
I-1421H/2000 M.
2. Al Muntaqa an Nafis min Talbis Iblis (dari karya Imam Ibnu al Jauzi),
karya Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid, Daar Ibnu al Jauzi,
Cet. I – 1410H/ 1990M.
3. Thariq al Hijratain wa Bab as Sa'adatain, karya Imam Ibnu al Qoyyim, Dar al Kutub al Ilmiyah, Cet. I - 1402H/1982M.
4. Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, tarqim Muhammad Fuad Abdul Baqi, Jami'atul Imam Muhammad bin Su'ud al Islamiyah, Riyadh.
5. Shahih Muslim Syarah Nawawi, tahqiq dan takhrij Khalil Ma'mun Syiha, Daar al Ma'rifah, Beirut, Libanon .
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.
_______
Footnote
[1]. Lihat Al Muntaqa an Nafis min Talbis Iblis (dari karya Imam Ibnu Al
Jauzi), karya Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid. Bab kesembilan,
hlm. 191.
[2]. Pengertian ini disadur secara ringkas dari buku at Tuhfah al
Iraqiyah fi al A'mal al Qolbiyah, Tahqiq wa Dirasah, karya Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, yang ditahqiq serta dita'liq oleh Dr. Yahya bin
Muhammad bin Abdullah Al Hunaidi, bagian muqadimah, hlm. 174-184.
Ditambah beberapa referensi lain yang akan diterangkan dalam catatan
kaki.
[3]. Diringkas dari Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah fi al A'mal al
Qolbiyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, oleh Dr. Yahya Al Hunaidi,
hlm. 174.
[4]. Lihat Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah fi al A'mal al Qolbiyah,
karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang ditahqiq serta dita'liq oleh
Dr. Yahya bin Muhammad bin Abdullah Al Hunaidi. Hlm. 174-175.
[5]. Lihat Thariq al Hijratain wa Bab as Sa'adatain, karya Imam Ibnu Al
Qoyyim, Dar al Kutub al Ilmiyah, Cet. I, 1402 H/1982 M, hlm. 251 dst.
[6]. Lihat pula Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah fi al A'mal al Qolbiyah,
karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang ditahqiq serta dita'liq oleh
Dr. Yahya bin Muhammad bin Abdullah Al Hunaidi, hlm. 181.
[7]. Lihat Thariq al Hijratain, hlm. 252-253.
[8]. Lihat Shahih Muslim Syarah Nawawi, tahqiq dan takhrij Khalil Ma'mun Syiha (XVII/189), no. 7126.
[9]. Dinukil dari Kitab Az Zuhud, karya Imam Ahmad oleh Dr Yahya al
Hunaidi dalam Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah fi al A'mal al Qolbiyah,
karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hlm. 178.
[10]. Lihat Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah fi al A'mal al Qolbiyah,
karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hlm. 178, dan Shahih Bukhari-Fathul
Bari (XI/230) secara mu'allaq dengan shighat jazm.
[11]. Lihat Shahih Muslim Syarah Nawawi, tahqiq dan takhrij Khalil
Ma'mun Syiha (VI/392) Kitab al Jum'ah, Bab Raf'us Shaut fi al Khutbah wa
Maa Yaquulu fiha, no. 2002.
[12]. Lihat Shahih Muslim Syarah Nawawi, tahqiq dan takhrij Khalil Ma'mun Syiha (IX/178), no. 3389.
[13]. Shahih Muslim Syarah Nawawi, tahqiq dan takhrij Khalil Ma'mun Syiha (IX/180), no. 3392.
[14]. Dinukil dari Kitab al Wara' Imam Ahmad, oleh Dr. Yahya bin
Muhammad bin Abdullah al Hunaidi dalam Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah
fi al A'mal al Qolbiyah tahqiq wa dirasah, hlm. 184.
[15]. Lihat Al Muntaqa an Nafis min Talbis Iblis (dari karya Imam Ibnu
al Jauzi), karya Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid. Bab
kesepuluh, hal 214 dengan catatan kakinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar