FENOMENA FITNAH HARTA
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Harta merupakan salah satu fitnah dunia yang paling menonjol. Demi
harta, seseorang rela berbuat apa saja asal bisa meraihnya. Tujuan
hidupnya, seolah hanya untuk mencapai kesenangan duniawi belaka. Allah
telah mensinyalir orang-orang yang seperti ini dalam surat Hud ayat
15-16 :
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ
أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَيُبْخَسُونَ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ
لَيْسَ لَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ النَّارَ وَحَبِطَ مَاصَنَعُوا
فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ
"Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami
berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna
dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang
tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu
apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah
mereka kerjakan".[Hud : 15, 16].
Dalam masalah ini, Syaikh Al Utsaimin telah membedakan antara riya’
dengan keinginan mendapat dunia. Riya’, ialah seseorang yang beribadah
karena ingin dipuji agar dikatakan sebagai ‘abid (ahli ibadah), dan ia
tidak menginginkan harta. Adapun keinginan terhadap dunia yang
dimaksudkan dalam ayat ini, seseorang beribadah bukan karena ingin
dipuji atau dilihat, bahkan sebenarnya ia ikhlas dalam beribadah kepada
Allah. Akan tetapi ia ingin mendapatkan sesuatu dari dunia, seperti
harta, pangkat, kesehatan; baik pribadi, keluarga maupun anak, dan
lain-lain. Jadi dengan amal ibadahnya ia inginkan manfaat dunia dan
tidak menginginkan pahala akhirat.
Beliau memberikan contoh-contoh bagaimana seseorang menginginkan dunia
dengan amal ibadahnya. Misalnya: menjadi muadzin dengan niat mencari
uang. Berangkat haji dengan tujuan mencari harta. Belajar agama di
perguruan tinggi dengan niat mencari ijasah agar martabatnya naik.
Melakukan beberapa jenis peribadatan dengan maksud menyembuhkan
penyakit, atau supaya disenangi orang lain atau supaya tidakmendapat
gangguan, atau maksud-maksud lain.[1]
Karena itu, kita harus berhati-hati, jangan sampai terjatuh ke dalam
syirik niat sebagaimana yang disebutkan dalam surat Hud ayat 15-16 di
atas.
Sebuah ironi, bila seorang da’i, ketika berbicara tentang hikmah dan
faidah ibadah, justeru menitikberatkan pada faidah-faidah duniawi.
Misalnya, shalat adalah olah raga yang berfaidah menguatkan otot-otot,
puasa berfaidah menghilangkan (mengurangi) lemak dan mengatur makan.
Seharusnya kita tidak menjadikan faidah-faidah duniawi sebagai masalah
pokok dalam beribadah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak pernah
menyebutkan yang demikian itu di dalam Al Qur’an. Akan tetapi Allah
menyebutkan bahwa shalat akan mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Begitu pula menyebutkan puasa sebagai penyebab orang bertaqwa. Faidah
diniyah dalam ibadah inilah yang menjadi masalah pokok, adapun faidah
duniawi merupakan masalah kedua. Sehingga apabila seorang da’i berbicara
di depan khalayak umum, maka yang lebih penting ialah menyampaikan atau
menyebutkan faidah-faidah diniyahnya saja. Apabila memang diperlukan,
barulah disampaikan faidah diniyah dan duniawi. Setiap pembicaraan ada
tempatnya. [Al Qaulul Mufid, II/245].
Dalam Fathul Majid, disebutkan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
telah ditanya tentang ayat 15 dan 16 surat Hud di atas, lalu beliau
menjawab, yang intinya, telah disebutkan oleh para ulama salaf, bahwa di
dalam ayat tersebut mengandung penjelesan beragamnya perilaku amal
manusia pada zaman ini dan mereka tidak mengerti maksudnya.
Pertama : Amal shalih yang dilakukan oleh banyak orang untuk mencari
ridha Allah, seperti shadaqah, shalat, menyambung tali persaudaraan,
berbuat baik kepada manusia, meninggalkan kezhaliman, dan amal-amal lain
yang dilakukan atau ditinggalkan manusia karena ikhlas kepada Allah.
Akan tetapi, orang yang melakukannya tersebut tidak menginginkan
pahalanya di akhirat. Dia hanya ingin agar Allah menjaga hartanya dan
mengembangkannya, menjaga istri dan anak-anaknya, atau supaya Allah
melanggengkan nikmat yang diberikan kepadanya. Tidak terpikir olehnya
untuk mencari surga dan lari dari neraka. Orang semacam ini diberi
ganjaran amalnya di dunia, sedangkan di akhirat tidak ada bagian
untuknya. Jenis perbuatan yang pertama ini disebutkan oleh Ibnu Abbas.
Kedua : Ini lebih besar dan lebih dikhawatirkan dari yang pertama.
Inilah ayat yang disebutkan Mujahid bahwasanya turun berkaitan dengan
permasalahan kedua ini. Yaitu seseorang beramal shalih namun niatnya
untuk riya’ kepada manusia, tidak untuk mencari pahala akhirat.
Ketiga : Seseorang beramal shalih dengan tujuan harta, seperti berhaji
karena ada harta yang akan diambilnya bukan karena Allah, berhijrah
karena dunia yang akan diperolehnya, atau perempuan yang akan
dinikahinya, atau berjihad untuk mendapatkan ghanimah. Begitu juga,
seseorang yang belajar karena untuk kepentingan sekolah keluarganya,
untuk pekerjaan mereka atau kepemimpinan mereka, atau belajar Al Qur’an
dan rajin melakukan shalat karena untuk mencari pekerjaan di masjid
seperti yang banyak terjadi sekarang.
Keempat : Seseorang mengerjakan ketaatan kepada Allah murni hanya untuk
Allah saja, akan tetapi dia melakukan perbuatan kufur yang membuatnya
keluar dari agama Islam. Misalnya, orang Yahudi dan Nasrani yang
menyembah Allah, bersedekah dan berpuasa untuk mencari ridha Allah dan
akhirat. Dan seperti banyak orang dari umat ini, yang di antara mereka
ada yang berbuat kufur dan syirik besar, sehingga mengeluarkan mereka
dari agama Islam secara keseluruhan. Bila mereka taat kepada Allah
dengan murni untuk mengharapkan pahala Allah di akhirat, akan tetapi
mereka melakukan perbuatan yang mengeluarkan mereka dari Islam dan
menyebabkan tidak diterimanya amal. Macam ini juga telah disebutkan
dalam penafsiran ayat ini, dari Anas bin Malik dan lainnya.
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
Dia menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba
khamisah, dan celakalah hamba khamilah. Jika diberi, dia senang, tetapi
jika tidak diberi, dia marah. Celakalah dia dan tersungkurlah. Apabila
terkena duri, semoga tidak dapat mencabutnya. Berbahagialah seorang
hamba yang memacu kudanya (berjihad di jalan Allah) dengan kusut
rambutnya dan berlumur debu kedua kakinya. Bila dia berada di pos
penjagaan, dia akan tetap setia berada di pos penjagaan itu. Bila
ditugaskan di garis belakang, dia akan tetap setia berada di garis
belakang itu. Jika dia meminta ijin (untuk menemui raja atau penguasa),
tidak diperkenankan. Jika bertindak sebagai perantara, tidak diterima
perantaraannya" [2].
Syaikhul Islam rahimahullah berkata,"Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menyebutnya hamba dinar, hamba dirham, hamba qathifah dan hamba
khamishah.” Dia menyebutkan kalimat yang ada di dalam hadits (do’a
dengan lafazh khabar), yaitu sabdanya “Celakalah dia dan tersungkurlah.
Apabila terkena duri, semoga tidak dapat mencabutnya" [3].
Demikian keadaan seseorang yang bila tertimpa keburukan, ia tidak dapat
lolos darinya dan tidak beruntung. Dia telah celaka dan tersungkur,
tidak dapat meraih yang diharapkannya dan tidak dapat meloloskan diri
dari sesuatu yang dibenci. Begitulah keadaan seseorang yang menjadi
hamba harta.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberinya sifat "Jika diberi,
dia senang, jika tidak diberi, dia marah". Sebagaimana firman Allah
Ta'ala "Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang
(pembagian) zakat, jika mereka diberi sebagian darinya, mereka bersenang
hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian darinya, dengan serta merta
mereka menjadi marah". [At-Taubah:58].
Ridha mereka ditujukan untuk selain Allah, dan kemarahan mereka untuk
selain Allah pula. Beginilah keadaan orang yang menggantungkan dirinya
kepada hawa nafsunya. Jika memperolehnya, dia senang. Dan jika tidak
memperolehnya, dia marah. Dia memperturutkan hawa nafsu dan menjadi
budaknya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
"Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanya sebagai fitnah
(cobaan) dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar".
[Al-Anfal : 28].
Fitnah harta, telah menjerumuskan manusia pada perilaku menyimpang, bahkan sampai pada bentuk syirik. Di antaranya :
- Demi harta, ada di antara manusia yang berpuasa siang malam, bahkan puasa pati geni, melakukan ritual dikubur hidup-hidup.
- Seseorang yang ingin kaya, ada yang dengan cara mendatangi suatu
tertentu untuk melakukan ritual sesat, misalnya tukar pasangan suami
atau istri.
- Bila ingin dagangannya laris, ada yang mempercayainya dengan cara
mengambil kotoran binatang tertentu yang konon mendatangkan berkah.
- Acara-acara yang dikemas dengan jargon pelestarian budaya, dengan
menampilkan berbagai jenis makanan. Kemudian makanan-makanan ini
diperebutkan masyarakat yang hadir. Konon, makanan tersebut bisa
mendatangkan berkah.
- Atau kalau ingin kaya, ada yang mendatangi suatu tempat tertentu agar
mendapatkan sesuatu yang menjadi sarana menjadi kaya, misalnya mencari
tuyul, yang diyakini bisa mendatangkan rezeki.
- Di antara pedagang kadang saling bersaing. Agar bisa bersaing dan
dagangannya laris, kemudian mencari penglarisan melalui dukun-dukun,
orang-orang “pintar”, ataupun paranormal. Dalam menjatuhkan saingannya,
terkadang dengan mengirim gangguan berupa sihir, santet, dan sebagainya.
- Ingin mendapatkan harta dengan menggunakan ilmu gendam untuk
menghipnotis seseorang. Dengan ditepuk punggungnya, seseorang yang
menjadi korbannya tersebut akan menyerahkan hartanya tanpa sadar.
Demikian ini adalah sihir.
- Atau di tengah masyarakat, muncul adanya berita dengan istilah
“jadi-jadian”. Ada kijang jadi-jadian, babi jadi-jadian, dan lain-lain.
Binatang “jadi-jadian” tersebut berkeliling desa, dan rumah yang
dilewati menjadi sial, harta atau uangnya ada yang tercuri.
Fenomena-fenomena tersebut merupakan perbuatan syirik, karena mereka
bersandar kepada selain Allah dalam mencari rezeki. Seperti, kepada
dukun, benda-benda yang dianggap keramat, atau meminta bantuan jin,
setan; padahal jin atau setan itu mau membantu dengan imbalan yang lebih
banyak, yaitu supaya seseorang menyembah kepadanya. Menyembah yang juga
berarti tunduk dan sujud kepada jin. Misalnya, mengikuti perintahnya
ataupun menyiapkan sesajen, dan lain-lain. Semakin seseorang itu
memiliki loyalitas yang kian bertambah kesyirikannya, maka akan semakin
mujarab pertolongan yang diberikan jin kepada orang tesebut. Wa na‘udzu
billahi min dzalik.
Allah telah memperingatkan di dalam Al Qur’an perihal perbuatan syirik yang berbahaya ini:
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia
telah berbuat dosa yang besar". [An-Nisa':48].
مَنْ عَقَدَ عُقْدَةً ثُمَّ نَفَثَ فِيهَا فَقَدْ سَحَرَ وَمَنْ سَحَرَ فَقَدْ أَشْرَكَ وَمَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ.
"Barangsiapa mengikat suatu ikatan lalu mengniupnya, maka dia telah
melakukan sihir, dan barangsiapa melakukan sihir, maka dia telah berbuat
syirik. Barangsiapa menggantung sesuatu (jimat), maka dia akan
diserahkan kepada sesuatu itu".
مَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَّا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ.
"Barangsiapa mendatangi dukun lalu membenarkan ucapannya, maka dia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad".
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْأِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقاً
"Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu
menambah bagi mereka dosa dan kesalahan". [Al-Jin : 6].
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi)
sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu
dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi". [Az-Zumar : 65].
Inilah di antara fitnah harta, yang bisa menjerumuskan manusia kepada
kesesatan. Maka sudah seharusnya kita selalu mewaspadai dan menyampaikan
amar ma’ruf nahi munkar. Semoga kita diselamatkan dari fitnah ini.
Wallahu a’lam.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Al-Qaul al-Mufid ‘Ala Kitab at-Tauhid; Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin. Bab Min asy-Syirki IradatulInsan bi’amalihi ad-Dunya II/243
Daar Al-‘Ashimah cet. I – 1415 H. Dengan terjemah bebas dan agak
diringkas
[2]. Lihat Fathul Majid Syarh Kitab At Tauhid, Bab Min Asy Syirki
Iradatul Insan Bi ‘Amalihi Ad Dunya. Terjemah bebas dan ringkas.
[3]. Lihat Fathul Majid Syarh Kitab At Tauhid, Bab Min Asy Syirki
Iradatul Insan Bi ‘Amalihi Ad Dunya, hlm. 442. Cet. X – 1424 H. Terbitan
khusus untuk wakaf].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar