KEBERKAHAN HARTA DITANGAN ORANG SHALIH
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Manfaat harta yang bersih dan halal di tangan orang shalih sangat
banyak. Ibarat pohon kurma yang tidak menyisakan bagian sedikit pun,
melainkan seluruhnya bermanfaat untuk manusia, sehingga tidak ada alasan
bagi seorang muslim yang ingin meraih hidup bahagia di dunia dan
akhirat untuk bermalas-malasan dan berpangku tangan.
Dengan hidup berkecukupan, menuntut ilmu menjadi mudah, beribadah
menjadi lancar, bersosialisasi menjadi gampang, bergaul semakin indah,
berdakwah semakin sukses, berumah tangga semakin stabil dan beramal
shalih semakin tangguh. Oleh karena itu, harta di tangan seorang mukmin
tidak akan berubah menjadi sarana perusak kehidupan dan tatanan sosial
serta penghancur kebahagian keluarga. Harta di tangan seorang muslim
bisa berfungsi sebagai sarana penyeimbang dalam beribadah,dan perekat
hubungan dengan makhluk. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda :
نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلرَّجُلِ الصَّالِحِ.
Nikmat harta yang baik adalah yang dimiliki laki-laki yang shalih.[1]
Harta tersebut akan menjadi energi yang memancarkan masa depan cerah,
menjadi kekuatan yang mengandung berbagai macam keutamaan dan kemuliaan
dunia akhirat, serta penggerak roda dakwah dan jihad di jalan Allah.
Allah berfirman
الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُم بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا
وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara
tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi
Rabb-nya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. [Al Baqarah : 274].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga memberi pujian kepada seorang
muslim yang dermawan dan membelanjakan hartanya di jalan kebaikan. Dari
Abdullah bin Umar, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى فَالْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ
Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, dan tangan
yang di atas suka memberi dan tangan yang di bawah suka meminta.[2]
Dengan harta yang halal dan bersih, para generasi salaf berlomba dan
berpacu mengejar pahala dan meraih surga. Sebagai contoh, seperti yang
terjadi pada kehidupan Umar yang bersaing secara sehat dalam berinfak di
jalan Allah dengan Abu Bakar.
Dari Umar bin Al Khaththab, ia berkata: Pernah suatu hari Rasulullah
memerintahkan kepada kami agar bersedekah. Dan ketika itu saya sedang
memiliki harta yang sangat banyak. Maka saya berkata,”Hari ini aku akan
mampu mengungguli Abu Bakar,” lalu aku membawa separoh hartaku untuk
disedekahkan. Maka Rasulullah bersabda,”Apa yang kamu tinggalkan untuk
keluargamu? Saya berkata,”Aku tinggalkan untuk keluargaku semisalnya,”
lalu Abu Bakar datang membawa semua kekayaannya, maka Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda: “Wahai, Abu Bakar! Apa yang kamu tinggalkan
untuk keluargamu?” Ia menjawab,”Saya tinggalkan untuk mereka, Allah dan
RasulNya.” Maka aku berkata: “Saya tidak akan bisa mengunggulimu
selamanya”.[3]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Footnote
[1]. HR Ahmad dalam Musnad-nya dengan sanad yang hasan, juz 4, hadits no. 197 dan 202
[2]. HR Bukhari (1429), Muslim, (1033), Abu Dawud (4947), Ahmad dalam Musnad-nya, Nasaa-i dan Ibnu Hibban.
[3]. Riwayat Tirmidzi (3675), Hakim di dalam Mustadrak (1/414). Dia berkata, ”Shahih"
ETOS SEORANG MUSLIM (ANTARA KERJA DAN MENCARI ILMU)
Oleh
Ustadz Abu Ahmad Zaenal Abidin
Apabila kita mencermati kehidupan para ulama dan imam sunnah, mereka
telah memberikan contoh dan teladan sangat mulia dalam menyeimbangkan
antara kepentingan mencari ilmu dan kerja mencari nafkah. Bahkan para
nabi dan rasul berusaha dan berkarya untuk menopang kelangsungan dalam
penyebaran risalah dan dakwah. Nabi Zakaria menjadi tukang kayu, Nabi
Idris menjahit pakaian dan Nabi Daud membuat baju perang, sehingga
bekerja untuk bisa hidup mandiri merupakan sunnah para utusan Allah.
Maka, berusaha untuk mencari nafkah, baik dengan berniaga, bertani dan
berternak tidak berarti menjatuhkan martabat dan tidak bertentangan
dengan sikap tawakkal. [1]
Inilah yang difahami para utusan Allah dan para ulama salaf, sehingga
mereka tergolong orang-orang yang rajin bekerja dan ulet dalam berusaha.
Meski begitu, mereka juga gigih dan tangguh dalam menuntut ilmu dan
menyebarkan agama. Tidak mengapa seseorang yang bekerja di bidang dakwah
dan urusan kaum muslimlin lalu mendapat imbalan dari pekerjaan
tersebut, karena Umar bin Khaththab ketika menjadi Khalifah mencukupi
kebutuhan hidup keluarganya dari baitul mal.
Ibnu Sa’ad meriwayatkan, ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, setiap pagi
pergi ke pasar memanggul beberapa helai pakaian untuk dijual. Beliau
bertemu dengan Umar dan Ubaidah bin Jarrah. Maka mereka berkata:
“Bagaimana engkau berdagang, sementara engkau menjadi pemimpin kaum
muslimin?!” Maka beliau menjawab: “Dari mana aku menghidupi keluargaku?”
Mereka menjawab: “Kalau begitu, kami akan memberikan jatah untukmu
setiap hari separuh kambing dari harta baitul mal”. [2]
Cobalah renungkan kehidupan para utusan Allah dan para ulama salaf;
kegiatan mereka dalam mencari ilmu dan berdakwah tidak melalaikan mereka
mengais rezeki yang halal untuk menafkahi keluarganya. Oleh karena itu,
kita harus bisa meneladani mereka, baik dalam menuntut ilmu maupun
dalam mencari nafkah. Tidak malas bekerja, dengan alasan tidak bisa
menuntut ilmu. Apapun bentuk usaha seorang muslim, yang penting halal
dan diperoleh dengan cara yang benar; maka harus ditekuni dan dijalani
dengan penuh suka cita, tidak perlu gengsi dan rendah diri. Tidak perlu
malu terhadap profesinya yang dianggap oleh kebanyakan orang sebagai
profesi yang hina dan tidak bermartabat. Karena mulia dan tidaknya
sebuah usaha atau profesi, tidak bergantung pada bergengsi atau tidaknya
menurut pandangan manusia; misalnya, seperti bekerja di perusahan asing
yang ternama, atau posisi jabatan kelas tinggi, atau menduduki tempat
yang banyak sabetannya. Namun, kemuliaan sebuah usaha sangat ditentukan
oleh kehalalan dan benarnya jenis usaha di hadapan Allah serta terpuji
menurut syari’at.
Adanya paradigma yang salah dalam memandang sebuah usaha dan profesi,
menyebabkan banyak manusia mengambil jalan pintas dalam memilih jenis
pekerjaan, tidak lagi memperhitungkan halal haram, yang penting bisa
bekerja mendapatkan duit berlimpah. Banyak di antara mereka yang
kemudian terjerumus ke dalam usaha kotor yang sangat dimurkai Allah.
Tidak jarang pula, di antara mereka saling bersitegang dalam kompetisi
bisnis yang tidak sehat, saling menjatuhkan satu sama lain. Sehingga
tujuan pokok dalam berusaha tidak terwujudkan, yaitu usaha untuk
menopang hidup agar bisa tenang. Di sisi lain, terdapat sejumlah orang
yang hidup bermalas-malasan dan enggan berusaha. Alasan yang dikemukakan
karena sibuk mencari ilmu. Atau karena beranggapan bahwa semua bentuk
usaha tidak terlepas dari syubhat yang bisa merusak sikap zuhud dan
tawakkal. Padahal siapapun yang menyangka bekerja untuk mencari nafkah
bisa merusak tawakkal, pasti kebutuhan sehari-hari akan dipasok melalui
infaq, sedekah, hadiah, berbagai bentuk patungan dan pemberian dari
orang lain; bahkan terkadang mereka juga tidak segan-segan mencela orang
mampu yang tidak mau membantunya. [3]
Sungguh sangat naïf bila kita melihat orang yang faham agama dan
berakhlak mulia, namun mempunyai kebiasaan meminta-minta, suka mengeluh,
menjadi beban orang lain, bermalas-malasan serta menghadapi kenyataan
hidup dengan berpangku tangan. Benarlah yang dikatakan Umar bin Al
Khaththab: “Sungguh terkadang aku kagum terhadap seseorang. Namun,
setelah aku tanyakan apakah dia memiliki pekerjaan? Kalau mereka
menjawab “Tidak” maka orang tersebut jatuh harga dirinya di hadapanku”.
[4]
Sungguh tidak masuk akal, seseorang yang tidak pernah beranjak dari
masjid untuk berdzikir dan i’tikaf, sementara keluarganya terlantar dan
kebutuhan hidup dipasok orang lain. Manakah tanggung jawabnya sebagai
orang yang faham agama, kalau ternyata kebutuhan hidup terkumpul dari
patungan teman dekat dan para tetangga? Jawaban apa yang kita berikan di
akhirat kelak, bila ternyata kewajiban rumah tangga kita yang
menunaikan orang lain, baik orang tua, mertua, teman dekat atau sanak
kerabat, padahal kita masih mempunyai kekuatan untuk bekerja? Maka Imam
Syafi’i berkata: “Tidak halal harta sedekah bagi orang yang masih
mempunyai kekuatan untuk bekerja”. [5]
Sudahkah kita berkaca dengan pandangan skeptis di atas, sehingga sampai
pada suatu kesimpulan bahwa sikap dan tindakan seperti itu sebagai
kesalahan dan pengingkaran terhadap tanggung jawab? Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِي اللَّهُ عَبْدًا رَعِيَّةً يَمُوتُ حِينَ
يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهَا إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidaklah seorang hamba diberi tanggung jawab kepemimpinan Allah,
kemudian pada saat ia meninggal, ia curang terhadap yang dipimpinnya,
melainkan Allah mengharamkan baginya Surga. [HR Bukhari dan Muslim]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Lihat Fathul Bari (4/l358) dan Al Minhaj Syarah Sahih Muslim (15/133).
[2]. Lihat Fathul Bari (4/357).
[3]. Tahdzib Syarah Thahawiyah, hlm. 301.
[4]. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 301 dan Faraidul Kalam Min Khulafail Kiram, Asyur Al Hamudah, hlm. 111.
[5]. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 380.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar