USAHA HARAM DAN IMPLIKASI BURUKNYA
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Setiap orang harus berusaha memenuhi kebutuhannya dengan segala
kemampuan dan cara yang ada. Tidak seorang pun yang dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri tanpa berinteraksi dan berhubungan dengan yang
lain. Untuk itu, diperlukan satu cara yang mengatur pemenuhan kebutuhan
mereka tersebut, salah satunya adalah pengelolaan harta, baik dengan
jual beli atau yang lainnya. Karena itulah Allah Azza wa Jalla
karuniakan kemampuan dan naluri kepada para hamba-Nya untuk mendapatkan
apa yang ia butuhkan, dan menuntun hamba-Nya tersebut dengan aturan dan
bimbingan yang dapat menjauhkan mereka dari kemurkaan-Nya.
Sekarang ini masalah pemenuhan kebutuhan melalui usaha yang beragam
bentuknya berkembang pesat dan cukup pelik untuk dimengerti, dari yang
tradisional, konvensional sampai yang multi level. Hal ini menuntut
setiap Muslim untuk mengerti hukum syariat tentang hal-hal itu, terlebih
lagi ini kaum Muslimin saat ini banyak yang meremehkan dan tidak
memperhatikan lagi masalah halal dan haram dalam usaha mereka. Bahkan
sebagian mereka sudah tidak peduli lagi dengan masalah ini. Sungguh
benar berita yang disampaikan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
dalam sabda beliau:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ؛ أَمِنَ الْحَلاَلِ أَمْ مِنَ الْحَرَامِ؟!
Akan datang kepada manusia suatu zaman (ketika itu) seorang tidak lagi
perduli dengan apa yang dia dapatkan, apakah dari yang halal atau
haram?! [1]
Berapa banyak seseorang yang menzhalimi saudaranya hanya dengan dalih
harta, bahkan saling menumpahkan darah di antara mereka. Kemungkinan
fenomena ini muncul karena kaum Muslimin tidak sabar dan teguh
menghadapi fitnah harta yang pernah dijelaskan Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam dalam salah satu haditsnya,
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
Sesungguhnya setiap umat mendapatkan fitnah dan fitnah umat ini adalah harta. [2]
Tidak dipungkiri lagi bahwa ujian harta merupakan perkara yang sulit dan
menghanyutkan banyak kaum Muslimina, apalagi ketika mereka jauh dari
tuntunan syari’at. Padahal ketamakan terhadap harta merupakah salah satu
tabiat manusia, seperti dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam :
لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ ؛ لاَبْتَغَى ثَالِثاً ,
وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ , وَيَتُوْبُ الله
ُعَلَى مَنْ تَابَ
Seandainya anak Adam memiliki dua lembah harta; pasti ia menginginkan
yang ketiga, sedangkan perut anak Adam tidaklah dipenuhi kecuali dengan
tanah, dan Allah memberi taubat-Nya kepada yang bertaubat. [3]
Semua ini menghancurkan keimanan kaum Muslimin. Pergeseran cinta dunia
dan takut mati telah menguasai atau dominan di hati mereka. Akhirnya,
mereka menyatakan dengan tanpa ekspresi sebuah ungkapan: “Yang haram aja
susah apalagi yang halal”. Mereka pun terjerumus dalam praktek usaha
haram yang beraneka ragam.
Mengapa fenomena seperti ini banyak muncul di kalangan kaum Muslimin?
SEBAB TERJERUMUSNYA KAUM MUSLIMIN DALAM USAHA HARAM.
Bila melihat kejadian dan keadaan, nampaknya ada beberapa sebab penting
yang membuat seseorang terjerumus dalam usaha yang haram, di antaranya:
1. Rendahnya kadar rasa takut dan malu kepada Allah Azza wa Jalla
diakibatkan karena rendahnya kualitas iman. Iman yang rendah akan
menyurutkan rasa takut dan malu kepada Allah Azza wa Jalla yang
merupakan benteng utama seorang dari kemaksiatan. Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam pernah menggambarkan rasa takut dan malu kepada Allah
Azza wa Jalla yang benar dalam sabda beliau:
اسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ ، قُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ ،
إِنَّا نَسْتَحْيِيْ وَالْحَمْدُ ِللهِ ، قَالَ : لَيْسَ ذَاكَ ، وَلكِنَّ
الاِسْتِحْيَاءَ مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ : أَنْ تَحْفَظَ الرَّاْسَ
وَمَا وَعَى ، وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى ، وَلْتَذْكُرِ الْمَوْتَ
وَالْبِلَى ، وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا ، فَمَنْ
فَعَلَ ذلِكَ ، فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
Malulah kepada Allah Azza wa Jalla dengan benar. Kami pun menyahut:
“Wahai Rasulullah, alhamdulillâh kami memiliki rasa malu. Beliau
menjawab: “Bukan itu, tapi rasa malu kepada Allah Azza wa Jalla yang
benar adalah dengan menjaga kepala dan isinya (pikiran), perut dan
sekitarnya serta ingat kematian dan kehancuran. Siapa yang menginginkan
akhirat , niscaya meninggalkan perhiasan dunia. Siapa yang berbuat
demikian, maka telah malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan benar.[4]
2. Ambisi mendapatkan hasil yang cepat. Manusia memang memiliki sifat
tergesa-gesa dan memiliki ambisi yang dapat mengalahkan akal sehatnya.
Berapa banyak orang yang tidak sabar dalam mencari rezeki sehingga
menghalalkan segala cara agar mendapatkannya dengan mudah dan cepat
menurut pandangannya. Hasil dalam pandangan mereka adalah tujuan
segala-galanya. Padahal jelas, rezeki terkadang lambat diberikan dengan
hikmah yang hanya Allah Azza wa Jalla yang tahu. Hal ini mendorong
seseorang mencarinya dengan melakukan kemaksiatan kepada Allah Azza wa
Jalla . Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
memperingatkan hal ini dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ûd
Radhiyallahu anhu, beliau bersabda:
لَيْسَ مِنْ عَمَلٍ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ إِلاَّ قَدْ أَمَرْتُكُمْ
بِهِ وَلاَ عَمَلٍ يُقَرِّبُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ نَهَيْتُكُمْ
عَنْهُ فَلاَ يَسْتَبْطِئَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ رِزْقَهُ فَإِنَّ جِبْرِيْلَ
أَلْقَى فِيْ رَوْعِيْ أَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَنْ يَخْرُجَ مِنَ
الدُّنْيَا حَتَّى يَسْتَكْمِلَ رِزْقَهُ فَاتَّقُوْا اللهَ أَيُّهَا
النَّاسُ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ فَإِنِ اسْتَبْطَأَ أَحَدٌ مِنْكُمْ
رِزْقَهُ فَلاَ يَطْلُبْهُ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُنَالُ
فَضْلُهُ بِمَعْصِيَتِهِ
Tidak ada satu amalan pun yang mendekatkan kepada syurga kecuali telah
aku perintahkan kepada kalian, dan tidak pula satu amalan yang
mendekatkan kepada neraka kecuali aku peringatkan kalian darinya. Maka
janganlah salah seorang di antara kalian menganggap lambat rezekinya,
karena Jibrîl telah menyampaikan ke hatiku bahwa seorang dari kalian
tidak akan meninggalkan dunia ini hingga sempurna rezekinya. Hendaknya
kalian bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dan memperbagus dalam
mencarinya, karena siapa saja dari kalian yang mengganggap lambat
rezekinya maka jangan sampai mencarinya dengan berbuat maksiat kepada
Allah, karena keutamaan Allah tidak didapat dengan kemaksiatan. [5]
3. Sifat tamak dan rakus serta tidak menerima yang ada pada diri
manusia, bisa menjadi sebab mereka berusaha dengan usaha yang haram.
Perhatikanlah sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam :
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ ، أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ ، بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ ، وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
Tidaklah dua ekor srigala yang lapar dilepas pada seekor kambing lebih
merusak baginya dari ketamakan seorang terhadap harta dan kehormatan
terhadap agamanya. [6]
4.Tidak tahu bahaya usaha yang haram dan hukum usaha yang dilakukannya.
Banyak sekali orang yang terjerumus dalam usaha haram disebabkan
ketidaktahuannya terhadap hukum Islam, juga karena tidak mengetahui
bahaya dan implikasi buruk usaha tersebut. Hal ini karena mereka
meremehkan dan kurang memperhatikan tatanan dan tuntunan syari’at
terhadap usahanya. Mungkin karena tidak adanya nara sumber dan
pembimbing, dan mungkin juga karena keteledoran dan kelalaian mereka.
Padahal para salaf umat ini sangat berhati-hati dalam hal ini. Untuk
itu, perlu sekali dipaparkan bahaya dan implikasi buruk usaha yang haram
bagi pelakunya.
BAHAYA DAN IMPLIKASI BURUK USHAHA YANG HARAM.
Allah Azza wa Jalla mengharamkan sesuatu yang berbahaya bagi
makhluk-Nya. Usaha yang haram juga memiliki implikasi buruk dan bahaya
terhadap pelakunya. Di antaranya adalah:
1. Usaha yang haram mengotori hati dan membuat malas anggota tubuh dalam
berbuat ketaatan serta hilangnya barakah rezeki dan umur. Usaha yang
haram adalah kemaksiatan dan perbuatan dosa yang memiliki implikasi
buruk sangat banyak sekali, di antaranya membuat hati kotor dan gelap.
Ibnul-Qayyim rahimahullah menegaskan: “Di antara implikasi buruk
kemaksiatan adalah kegelapan yang didapatkan di hatinya, yang dapat ia
rasakan sebagaimana merasakan kegelapan malam yang gelap gulita,
sehingga gelapnya kemaksiatan di kalbu seperti kegelapan di matanya.
Sebab, ketaatan adalah cahaya dan kemaksiatan adalah kegelapan. Semakin
tebal kegelapan, maka keguncangannya pun akan semakin bertambah hingga
terjerumus dalam kebid`ahan dan kesesatan serta perkara yang
membinasakan tanpa ia sadari, seperti orang buta keluar di kegelapan
malam berjalan sendiri. Kegelapan ini semakin kuat hingga nampak di mata
kemudian menguat hingga nampak terlihat di wajah dan menjadikan warna
hitam di wajah hingga semua orang dapat melihatnya”. [7]
Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu menyatakan: “Sesungguhnya kebaikan
memberikan cahaya di kalbu dan sinar di wajah, kekuatan di badan,
tambahan dalam rezeki serta kecintaan di hati para makhluk. Kejelekan
(dosa) memberikan warna hitam di wajah, kegelapan di hati, kelemahan di
badan, kekurangan dalam rezeki dan kebencian di hati para makhluk”. [8]
Demikian juga usaha yang haram ini menghilangkan barakah rezeki dan umur pelakunya. [9]
2. Usaha yang haram tentunya akan menghasilkan harta dan makanan yang
haram juga, sehingga pelakunya akan tumbuh dari makanan yang haram. Bila
demikian, maka neraka lebih pantas baginya, sebagaimana dijelaskan
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
إِنَّهُ لاَ يَرْبُوْ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتْ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
Sesungguhnya tidak berkembang daging yang tumbuh dari makanan yang haram kecuali Neraka yang lebih pantas baginya.[10]
3. Usaha yang haram mengakibatkan kemurkaan Allah Azza wa Jalla serta
memasukkan pelakunya ke dalam neraka. Hal ini dijelaskan Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam dalan hadits Abu Umâmah al-Hâritsi bahwa
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ
اللَّهُ لَهُ النَّارَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ . فَقَالَ لَهُ
رَجُلٌ وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَإِنْ
قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ
Siapa yang mengambil hak seorang Muslim dengan sumpahnya, maka Allah
Azza wa Jalla masukkan ke dalam neraka dan mengharamkannya surga.
Seorang bertanya kepada beliau: “Walaupun hanya sesuatu yang remeh wahai
Rasulullah? Beliau menjawab: “Walaupun hanya sepotong kayu siwak”.[11]
Juga dalam sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam:
إِنَّ رِجَالاً يَتَخَوَّضُوْنَ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمْ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sesungguhnya banyak orang beraktifitas pada harta Allah dengan tidak
benar maka mereka berhak mendapatkan neraka di hari kiamat [12]
Inipun dipertegas dengan sabda beliau Shallallahu alaihi wa sallam:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ جَسَدٌ غُذِيَ بِالْحَرَامِ
Tidak akan masuk surga tubuh yang diberi makan dengan yang haram.[13]
4. Usaha yang haram dapat mengakibatkan tidak diterimanya doa dan amal
shalih pelakunya, karena makanan dan minuman yang didapatkan dari usaha
haram adalah haram dan makanan haram dapat mengakibatkan doa dan amal
shalihnya tidak diterima, sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam dalam sabdanya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ
إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ
الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنْ الطَّيِّبَاتِ
وَاعْمَلُوْا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيْمٌ وَقَالَ يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ
يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ
وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى
يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik, dan
Allah memerintahkan kepada orang-orang Mukmin dengan apa yang
diperintahkannya kepada para rasul dalam firman-Nya,”Hai rasul-rasul,
makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shaleh.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
(al-Mukminûn/23:51). Dan Ia berfirman, “Hai orang-orang yang beriman,
makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu”,
(al-Baqarah/2:172). Kemudian beliau menyebutkan seorang laki-laki yang
kusut lagi berdebu, ia mengulurkan kedua tangannya ke arah langit sambil
berdo’a: Ya Rabb, Ya Rabb, sedang makanannya haram, minumannya haram,
pakaiannya haram, ia kenyang dengan makanan yang haram. Maka bagaimana
mungkin orang tersebut dikabulkan permohonannya?!”[14] .
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa amalan
tidak diterima dan tidak suci kecuali dengan makan makanan yang halal.
Sedangkan makan makanan yang haram dapat merusak amal perbuatan dan
membuatnya tidak diterima”[15].
Demikian juga Prof. DR. `Abdurrazâq bin `Abdulmuhsin al ‘Abbâd
hafizhahullâh menjelaskan hadits ini dengan menyatakan:’Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam memulai hadits ini dengan isyarat akan
bahayanya makan barang haram dan hal itu termasuk pencegah dikabulkannya
do’a. Difahami darinya bahwa memperbagus makanan (memakan makanan
halal) menjadi salah satu sebab dikabulkannya do’a, sebagaimana
dikatakan Wahb bin Munabbih: ‘Siapa yang ingin dikabulkan do’anya oleh
Allah Azza wa Jalla , hendaklah memperbagus makanannya’. Ketika Sa’d bin
Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhu ditanya tentang sebab dikabulkan do’a
para sahabat Rasulullah; beliau berkata, “Aku tidak mengangkat sesuap
makanan pun ke mulutku kecuali aku mengetahui dari mana datangnya dan
dari mana ia keluar”.’[16] .
Jika kita heran dan bertanya-tanya, ”Mengapa bencana menimpa kita,
kemakmuran sulit dicapai, ketenangan hidup dan kemenangan tak juga
diraih? Mengapa do’a-do’a kita tidak terkabulkan? Kemungkinan jawabannya
adalah kelalaian kita dalam memenuhi kebutuhan primer dan sekunder yang
baik dan ketidak pedulian kita tentang masalah halal dan haramnya. Hal
ini telah disinyalir oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam
hadits di atas dan juga para Ulama, di antaranya:
Yusuf bin Asbâth rahimahullah yang berkata, ”Telah sampai kepada kami
bahwa do’a seorang hamba ditahan naik ke langit lantaran buruknya
makanan (makanannya tidak halal)” [17].
Wajar saja bila Khalifah ‘Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu anhu
(walaupun masih banyak sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam )
memukul orang dengan dirrah, lalu berkata, ”Janganlah berdagang di
pasar kami kecuali orang faqîh, (mengerti tentang jual beli), jika tidak
maka dia makan riba”. [18] Padahal saat itu banyak sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup.
Demikian juga Khalifah Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu pernah
berkata, ”Siapa yang berdagang sebelum mengerti fiqih, maka ia akan
tercebur ke dalam riba, kemudian tercebur lagi dan kemudian akan
tercebur lagi” artinya terjerumus ke dalamnya dan kebingungan.[19]
Ini di zaman Umar Radhiyallahu anhu dan Ali Radhiyallahu anhu yang masih
banyak para Ulama. Bagaimana di zaman kita sekarang yang sudah beraneka
ragam corak dan bentuk perdagangan dan sedikitnya para Ulama ?!!!
Tidak diragukan lagi bahwa makanan dan usaha yang halal menuntut setiap
manusia agar sadar dan mengetahui dengan baik setiap muamalah yang
dilakukannya, mana yang haram dan mana yang halal serta yang syubhat
(tidak jelas).
KIAT MENGHINDARI USAHA YANG HARAM.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang tidak mungkin
terhindar dari usaha haram kecuali kembali merujuk kepada agama Islam
dengan benar. Hal ini dapat kita rinci dalam kiat-kiat berikut ini:
1. Belajar tauhid dan mengenal Allah Azza wa Jalla sampai tertanam kokoh
di kalbu kita. Hal ini akan nampak dengan munculnya rasa takut dan malu
kepada Allah Azza wa Jalla serta keyakinan yang kuat hanya Allah Azza
wa Jalla sajalah yang memberikan rezeki kepada kita. Hal-hal ini
merupakan benteng yang kuat dalam menjaga kita dari usaha yang haram.
2. Belajar hukum-hukum Islam seputar usaha yang kita lakukan dengan cara
menelitinya dengan merujuk kepada al-Qur’ân dan Sunnah bila mampu, bila
tidak bisa dengan bertanya kepada para Ulama di bidang tersebut.
3. Melatih diri untuk memiliki sifat qanâ’ah (menerima) dan zuhud dengan
berlatih mengamalkan seluruh tuntunan syari’at yang telah dijelaskan
dan dicontohkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para
Sahabatnya.
4. Mengerti dan mengetahui kedudukan dunia yang fana dan meyakini serta
mengingat selalu negeri akhirat yang penuh nikmat yang harus kita raih
dalam perjuangan mengarungi dunia ini agar sampai ke negeri tersebut.
Dunia ini akan hancur dan meninggalkan kita atau kita yang meninggalkan
dunia ini untuk kemudian dihisab dihari kiamat nanti.
5. Selalu ingat akan bahaya dan implikasi buruk dari usaha yang haram tersebut di dunia dan di akherat.
6. Selalu berdoa kepada Allah Azza wa Jalla agar diberikan harta yang halal dan dimudahkan usaha yang halal.
Mudah-mudahan dengan bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla dan memohon
terus kepada-Nya, kita semua dikaruniai usaha yang halal dan dijauhi
dari usaha yang haram.
Semoga bermanfaat. Wabillâhit Taufîq.
Maraaji’
1. Fiqhul Ad’iyah Wa al-Adzkâr, (bagian kedua), Prof. DR. `Abdurrazâq
bin `Abdilmuhsin al ‘Abbâd, cetakan pertama tahun 1422H, Dâr Ibnu Affân
dan Dâr Ibnul Qayyim, KSA
2. Ba’i’ at-Taqsîth Ahkâmuhu wa Adâbuhu, Hisyam bin Muhammad bin Sa’id
Alu Barghasy, cetakan pertama tahun 1419H, Dâr al-Wathan, KSA
3. Al-Jawâb al-Kâfi Liman Sa’ala ‘an ad-Dawâ` asy-Syâfi, Ibnul-Qayyim ,
tahqîq Abu Hudzaifah `Abdullâh bin ‘Aliyah, cetakan pertama tahun 1413
H, dar al-Huda, KSA
4. Buku-buku Syaikh al-Albâni dalam hukum terhadap hadits
5. dll.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. HR. al-Bukhâri 2059
[2]. HR at-Timidzi dalam sunannya kitab Az-Zuhd
[3]. HR al-Bukhâri no.6436, Muslim no.1049
[4]. HR Ahmad 1/ 387 dan at-Tirmidzi 4/567 dan dishahîhkan al-Albâni dalam Al-Misykah no. 1608
[5]. HR al-Hâkim dan dishahîhkan al-Albâni dalam Silsilah Ahâdits ash-Shahîhah no. 2607
[6]. HR Ahmad 3/456 dan at-Tirmidi no. 2376
[7]. Al-Jawâbul-Kâfi, ibnu al-Qayyim, hlm 98-99
[8]. Ibid hlm 99
[9]. Lihat lebih lanjut pengaruh maksiat yang lainnya dalam Al-Jawâbul-Kâfi
[10]. Bagian dari hadits yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dalam
sunannya kitab Al Sholat bab Fadhlu Sholat no. 614 dari Ka’ab bin ‘Ujrah
pada sebahagian dari hadits panjang,. Abu ‘Isa at-Tirmidzi berkata,
”Hadits ini hasan Gharîb. Dan dishahîhkan oleh Ahmad Muhammad Syâkir
dalam komentar beliau terhadap sunan at- Tirmidzi 2/515 dan al-Albâni
dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi no. 501.
[11]. HR Muslim no 370
[12]. HR al-Bukhâri no 2886.
[13]. HR al-Baihaqi dalan Syu’abil Iman dan dishahîhkan al-Albâni dalam Silsilah Ahadits ash-Shahîhah no. 2609
[14]. HR Muslim dalam Az-Zakâh no.1015 dan at-Tirmidzi dalam Tafsîrul Qur`ân no.2989.
[15]. Jâmi’ul’Ulûm wal Hikam 1/260 dinukil dari Ba’i’at- Taqsîth
Ahkâmuhu wa Adâbuhu, Hisyam bin Muhammad bin Sa’îd Alu Barghasy, cetakan
pertama tahun 1419H, Dârul Wathan, KSA hal 10.
[16]. Fiqh al- Ad’iyah Wal Adzkâr, (bagian kedua), Prof.DR. `Abdurrazâq
bin `Abdilmuhsin al ‘Abbâd, cetakan pertama tahun 1422H, Dâr Ibnu Affân
dan Dâr Ibnul Qayyim, KSA, hal 34.
[17]. Jâmi’ul ‘Ulûm wa al-Hikam 1/275. dinukil dari Bai’ at-Taqsîth, hlm 11
[18]. Dinukil dari kitab Bai’ at-Taqsîth, hlm 11
[19]. Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar