NAFKAH UNTUK SANG ISTERI
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Hindun binti Utbah pernah datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam mengadukan kesulitannya karena suaminya tidak memberikan
nafkah yang cukup untuknya dan anak-anaknya. Ia terpaksa mengambil harta
suaminya tanpa sepengetahuannya untuk mencukupi kebutuhan. Maka
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya.
خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَ وَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
"Ambillah (dari harta suamimu) apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik" [1]
KEWAJIBAN SUAMI MEMBERI NAFKAH KELUARGA
Kisah di atas mengilustrasikan kepada kita, bahwa suami memiliki
kewajiban yang telah Allah tetapkan dan begitu urgen, sekaligus sebagai
hak isteri yang wajib untuk dipenuhi. Kemampuan memberi nafkah ini juga
yang menjadi salah satu alasan mengapa kaum lelaki lebih utama dari kaum
wanita. Namun mungkin banyak diantara kaum muslimin yang tidak memahami
masalah penting ini. Terlebih pada masa dewasa ini, di tengah maraknya
upaya pengaburan norma-norma agama, banyak faktor yang ikut mempengaruhi
perubahan pola pikir kaum Muslimin; kebodohan terhadap ajaran agama
adalah salah satu sebab utama, disamping sikap membeo kepada orang-orang
di luar Islam.
DEFINISI NAFKAH MENURUT ULAMA
Para ulama memberikan satu batasan tentang makna nafkah. Diantaranya
sebagaimana disebutkan dalam Mu’jamul Wasith, yaitu apa-apa yang
dikeluarkan oleh seorang suami untuk keluarganya berupa makanan,
pakaian, tempat tinggal, dan yang selainnya [2]. Nafkah ini juga
mencakup keperluan isteri sewaktu melahirkan, seperti pembiayaan bidan
atau dokter yang menolong persalinan, biaya obat serta rumah sakit.
Termasuk juga didalamnya adalah pemenuhan kebutuhan biologis isteri.
Hukum memberi nafkah keluarga ini wajib atas suami, berdasarkan
nash-nash Al Qur’an, Hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam serta
Ijma’ ulama.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ
فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا
إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan
orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang
telah Allah karuniakan kepadanya. Allah tidaklah memikulkan beban kepada
seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah Allah berikan kepadanya.
Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan" [Ath Thalaq :
7].
Juga firmanNya.
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik".[Al Baqarah : 233].
Jabir mengisahkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
اتَّقُوْا اللهَ فِيْ النِّسَاءِ، فَإِنَّهُنَّ عوان عِندَكُمْ،
أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانَةِ اللهِ وَ اسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ
بِكَلِمَةِ اللهِ ، وَ لَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَ كِسْوَتُهُنَّ
بِالمَعْرُوْفِ
"Bertaqwalah kalian dalam masalah wanita. Sesungguhnya mereka ibarat
tawanan di sisi kalian. Kalian ambil mereka dengan amanah Allah dan
kalian halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Mereka memiliki
hak untuk mendapatkan rezki dan pakaian dari kalian".[3]
Mayoritas ulama, diantaranya Ibnu Qudamah, berpendapat bahwa kewajiban
suami memberi nafkah juga berlaku bagi isterinya dari kalangan wanita
Kitabiah (Ahlul Kitab) jika ia memiliki isteri dari golongan mereka,
berdasarkan keumuman nash-nash yang mewajibkan suami memberi nafkah
isteri.[4]
KEUTAMAAN MEMBERI NAFKAH KEPADA KELUARGA
Tidaklah Allah Azza wa Jalla memerintahkan satu perkara, melainkan
perkara itu pasti dicintaiNya dan memiliki keutamaan di sisiNya serta
membawa kebaikan bagi para hamba. Termasuk masalah memenuhi nafkah
keluarga.
Melalui lisan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah Azza wa
Jalla telah menjelaskan tentang keutamaan memberi nafkah kepada
keluarga. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
دِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في سَبِيْلِ اللهِ وَ دِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في رَقَبَةٍ
وَ دِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلىَ مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أنْفَتَهُ في
على أهْلِكَ أعْظَمُهَا أجْرًا الَّذِي أنْفَتَهُ على أهْلِكَ
"Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan
untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang
miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang
paling besar adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu" [5].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
مَا أطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أطْعَمْتَ وَلَدَكَ
فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ وَالِدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ،
وَ مَا أطْعَمْتَ زَوْجَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ
خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ
"Apa yang engkau berikan untuk memberi makan dirimu sendiri, maka itu
adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan
anakmu, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan
untuk memberi makan orang tuamu, maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa
yang engkau berikan untuk memberi makan isterimu, maka itu adalah
sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan
pelayanmu, maka itu adalah sedekah bagimu".[6]
Al Hafizh Ibnul Hajar Al Asqalani berkata,”Memberi nafkah kepada
keluarga merupakan perkara yang wajib atas suami. Syari’at menyebutnya
sebagai sedekah, untuk menghindari anggapan bahwa para suami yang telah
menunaikan kewajiban mereka (memberi nafkah) tidak akan mendapatkan
balasan apa-apa. Mereka mengetahui balasan apa yang akan diberikan bagi
orang yang bersedekah. Oleh karena itu, syari’at memperkenalkan kepada
mereka, bahwa nafkah kepada keluarga juga termasuk sedekah (yang berhak
mendapat pahala, Pen). Sehingga tidak boleh memberikan sedekah kepada
selain keluarga mereka, sebelum mereka mencukupi nafkah (yang wajib)
bagi keluarga mereka, sebagai pendorong untuk lebih mengutamakan sedekah
yang wajib mereka keluarkan (yakni nafkah kepada keluarga, Pen) dari
sedekah yang sunnat.”[7]
Adalah satu hal yang sangat tidak logis, apabila ada suami yang
makan-makan bersama teman-temannya, mentraktir mereka karena ingin
terlihat hebat di mata mereka, sementara anak dan isterinya di rumah
mengencangkan perut menahan lapar. Dimanakah sikap perwira dan tanggung
jawabnya sebagai suami?
Satu hal yang juga tidak kalah penting untuk diingat, bahwa suami wajib
memberi nafkah dari rizki yang halal. Jangan sekali-kali memberi nafkah
dari jalan yang haram, karena setiap daging yang tumbuh dari barang yang
haram berhak mendapat siksa api neraka. Sang suami akan dimintai
pertanggungan jawaban tentang nafkah yang diberikan kepada keluarganya.
KAPAN KEWAJIBAN MEMBERI NAFKAH BERAWAL?
Para ulama kalangan Hanafiah berpendapat, kewajiban memberi nafkah ini
mulai dibebankan ke pundak suami setelah berlangsungnya akad nikah yang
sah; meskipun sang isteri belum berpindah ke rumah suaminya.
Dasar pendapat mereka, diantara konsekuensi dari akad yang sah, ialah
sang isteri menjadi tawanan bagi suaminya. Dan apabila isteri menolak
berpindah ke rumah suaminya tanpa ada udzur syar’i setelah suaminya
memintanya, maka ia tidak berhak mendapat nafkah dikarenakan isteri
telah berbuat durhaka (nusyuz) kepada suaminya dengan menolak permintaan
suaminya tersebut.
Sedangkan ulama dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah
berpendapat, kewajiban nafkah belum jatuh kepada suami hanya dengan akad
nikah semata-mata. Kewajiban itu mulai berawal ketika sang isteri telah
menyerahkan dirinya kepada suaminya, atau ketika sang suami telah
mencampurinya, atau ketika sang suami menolak memboyong isterinya ke
rumahnya, padahal sang isteri telah meminta hal itu darinya.[8]
JENIS-JENIS NAFKAH
Jenis nafkah yang wajib, yaitu segala sesuatu yang dibutuhkan oleh sang
isteri serta keluarganya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudamah.
Termasuk kategori nafkah wajib ini -tanpa ada perselisihan ulama-
meliputi kebutuhan primer, seperti makanan, minuman, pakaian dan tempat
tinggal, perhiasan serta sarana-sarana dan peralatan yang dibutuhkan
isteri untuk memenuhi kebutuhan primernya, juga pemenuhan kebutuhan
biologisnya. Semua itu wajib dipenuhi oleh suami.
Adapun kebutuhan selain itu, seperti biaya pengobatan dan pengadaan
pembantu rumah tangga, terdapat silang pendapat di kalangan ulama.
Mayoritas ahli fiqh berpendapat, biaya pengobatan isteri tidak wajib
bagi suami. Demikian juga dengan pengadaan pembantu rumah tangga, tidak
wajib bagi suami, kecuali jika hal itu (memberikan pembantu rumah
tangga) sudah menjadi satu hal yang lumrah dalam keluarga sang isteri,
ataupun di kalangan keluarga-keluarga lain di kaumnya. Namun yang
penting harus diperhatikan, pengadaan pembantu rumah tangga ini juga
tidak terlepas dari kesanggupan suami untuk memenuhinya. Jika tidak
mampu memberikan pembantu rumah tangga untuk isterinya, maka tidak wajib
bagi suami untuk mengadakannya, karena Allah tidak membebani seseorang
di luar kesanggupannya.
Ada satu kisah menarik yang bisa dijadikan pelajaran bagi para isteri.
Fathimah binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengadu
kepada ayahnya tentang luka-luka di tangannya yang dikarenakan
pekerjaannya berkhidmah kepada suami. Wanita mulia ini mendengar, telah
datang seorang budak kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun
saat itu Fathimah tidak menjumpai Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Akhirnya Fathimah menceritakan hal itu kepada ‘Aisyah. Ketika Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam datang, ‘Aisyah menceritakan pengaduan
Fathimah kepada Beliau.
Ali berkata: Ketika Beliau datang mengunjungi kami, dan pada saat itu
kami bersiap-siap hendak tidur. Kami pun bangun mendengar kedatangan
Beliau, namun Beliau berkata,"Tetaplah kalian berdua di tempat kalian.”
Beliau datang dan duduk diantara aku dan Fathimah, hingga aku bisa
merasakan dinginnya kedua telapak tangan Beliau di perutku. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
ألاَ أدُلُّكُمَا عَلَى خَيْرٍ مِمَّ سَأَلْتُمَا ؟ إذَا أَخَذْتَمَا
مَضَاجَعَكُمَا أوْ أَوَيْتَمَا إلى فِرَاشِكُمَا فَسَبِّحَا ثَلاَثًا وَ
ثَلاَثِيْنَ وَاحْمِدَا ثَلاَثًا وَ ثَلاَثِيْنَ وَ كَبِّرَا أرْبَعًا وَ
ثَلاَثِيْنَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ
"Maukah kutunjukkan kepada kalian berdua sesuatu yang lebih baik
daripada yang kalian berdua minta? Jika kalian hendak tidur, maka
ucapkanlah tasbih tiga puluh tiga kali, tahmid tiga puluh tiga dan
takbir tiga puluh empat kali. Itu lebih baik bagi kalian daripada
seorang pelayan.[9]
Ali berkata,”Sejak saat itu aku tidak pernah meninggalkannya.” Dia (Ali)
ditanya,”Juga pada malam perang Shiffin?” Ali menjawab,”Juga pada malam
perang Shiffin.”
TEKNIS PEMBERIAN NAKAH KELUARGA DAN KADARNYA
Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar membawakan penjelasan ulama ketika menjelaskan teknis pemenuhan nafkah keluarga.
Hal yang telah diketahui oleh kaum muslimin, baik dulu maupun sekarang,
bahwa suami wajib memberi nafkah untuk dirinya dan keluarganya,
menyediakan segala hal yang dibutuhkan oleh isteri serta anak-anaknya.
Kebiasaan manusia pada umumnya tidak mengharuskan suami memberikan
nafkah setiap hari, baik harta (uang) ataupun makanan, pakaian dan yang
sejenisnya (artinya pemenuhan tersebut bersifat fleksibel, sesuai dengan
tuntutan kebutuhan keluarga, Pen). Demikian juga teknis pemenuhan ini,
tidak disandarkan kepada kadar nafkah serta (tidak pula) mewajibkan
suami memberikan nafkah secara taradhin (saling ridha), ataupun
berdasarkan keputusan hakim; kecuali jika terjadi perselisihan di antara
suami-isteri yang disebabkan suami tidak memberikan nafkah kepada
keluarga karena kekikirannya, atau karena kepergiannya atau pun karena
ketidaksanggupannya memberi nafkah. Maka pada kondisi seperti ini,
pemenuhan nafkah keluarga disandarkan kepada hukum secara suka sama suka
(taradhin) atau berdasarkan keputusan hakim.”[10]
Dari penjelasan di atas, dapatlah diambil kesimpulan, pemenuhan nafkah
isteri ini dilaksanakan secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan
keluarganya. Artinya, sang suami boleh memberikan sejumlah harta serta
hal-hal lain yang dibutuhkan keluarganya, secara per hari, per pekan
ataupun per bulan dengan kadar yang disanggupinya, sebagai nafkah bagi
keluarganya.
Tentang masalah kadar nafkah ini, sebenarnya terdapat silang pendapat
diantara para ulama. Siapakah yang menjadi barometer untuk menentukan
kadar nafkah tersebut? keadaan isteri atau keadaan suami, ataukah
keadaan keduanya?
Ulama dari kalangan Hanabilah berpendapat, kadar nafkah diukur sesuai
dengan kondisi suami-isteri. Jika keduanya termasuk golongan yang
dimudahkan rizkinya oleh Allah (artinya sama-sama berasal dari keluarga
berada), maka wajib bagi suami memberi nafkah dengan kadar yang sesuai
dengan keadaan keluarga mereka berdua. Jika keduanya berasal dari
keluarga miskin, maka kewajiban suami memberi nafkah sesuai dengan
keadaan mereka. Namun, jika keduanya berasal dari keluarga yang berbeda
tingkat ekonominya, maka kewajiban suami adalah memberikan nafkah sesuai
dengan kadar keluarga kalangan menengah.[11]
Sedangkan para ulama kalangan Hanafiah, Malikiyah dan Syafi’iyyah
berpendapat, barometer yang dijadikan acuan untuk menentukan kadar
nafkah yang wajib diberikan suami adalah keadaan suami itu sendiri,
berdasarkan firman Allah Ta’ala.
'Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan
orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang
telah Allah karuniakan kepadanya. Allah tidaklah memikulkan beban kepada
seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah Allah berikan kepadanya.
Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan". [Ath Thalaq :
7]
Pendapat ini diperkuat dengan penafsiran Imam Ibnu Katsir tentang makna lafazh (بِالْمَعْرُوفِ) pada ayat berikut.
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik". [Al Baqarah : 233]
Ibnu Katsir berkata,”Yakni sesuai dengan keadaan umum yang diterima
kalangan para isteri di negeri mereka, tanpa berlebih-lebihan ataupun
pelit, sesuai dengan kesanggupannya dalam keadaan mudah, susah ataupun
pertengahan.”
Dalil lain yang memperkuat pendapat mereka ialah firmanNya Azza wa Jalla.
وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ
"Dan hendaklah kamu berikan suatu pemberian kepada mereka. Orang yang
mampu sesuai dengan kemampuannya dan orang yang miskin sesuai dengan
kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut". [Al
Baqarah:236].
FirmanNya Azza wa Jalla.
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
"Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sesuai dengan kadar kesanggupannya". [Al Baqarah : 286]
Ayat-ayat di atas telah menjadikan beban taklif (kewajiban) memberi nafkah sesuai dengan kadar kesanggupan suami.
NAFKAH ISTERI DALAM KONDISI YANG BERBEDA
Secara umum, isteri memiliki hak nafkah dari suaminya. Namun terkadang,
ada beberapa kondisi yang membuat sang isteri kehilangan haknya
tersebut. Berikut ini adalah penjelasan sebagian kondisi tersebut.
1. Nafkah Bagi Isteri Yang Bekerja Di Luar Rumah.
Sebagian ulama fiqh kontemporer berpendapat, isteri yang bekerja (di
luar rumah) tetap berhak mendapat nafkah dari suaminya, jika ia bekerja
dengan izin dari suaminya. Namun apabila ia bekerja tanpa mendapat izin
dari suaminya, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah.
Tentang hal ini, ketika menjelasan alasan, mengapa isteri yang bekerja
di luar rumah tidak mendapat nafkah, Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar
berkata,”Pendapat yang benar adalah, wanita yang bekerja tidak berhak
mendapat nafkah. Karena suami mampu mencegahnya dari bekerja dan keluar
dari rumah (dengan mencukupi nafkahnya), dan (menetapnya isteri di rumah
suami) merupakan hak suaminya. Kewajiban suami memberi nafkah kepada
isteri disebabkan karena status isteri yang menjadi tawanan suaminya dan
ia wajib meluangkan waktunya untuk suaminya. Jika sang isteri bekerja
(tanpa izin suaminya) dan mendapatkan uang, maka sebab yang menjadikan
suami wajib memberikan nafkah kepadanya telah gugur.” [13]
2. Nafkah Isteri Yang Durhaka Kepada Suaminya (Nusyuz).
Jika sang isteri berbuat durhaka kepada suaminya, seperti menolak untuk
tidur bersama, keluar dari rumah suami tanpa seizinnya, atau menolak
bepergian bersama suaminya, maka sang isteri tidak berhak mendapat
nafkah serta tempat tinggal. Demikian ini pendapat jumhur Ahli Ilmu,
seperti: Asy Sya’bi, Hammad, Malik, Al Auza’i, Syafi’i, serta Abu Tsaur.
Sedangkan Al Hakam berpendapat, isteri yang nusyuz tetap berhak
mendapat nafkah.
Ibnu Al Mundzir berkata,”Aku tidak mengetahui seorang pun yang
menyelisihi pendapat jumhur ini, kecuali Al Hakam. Sepertinya ia
berhujjah bahwa kedurhakaan seorang isteri tidak menggugurkan haknya
untuk mendapatkan mahar setelah adanya akad, maka demikian pula dalam
hal nafkah.”
Ibnu Abdil Barr mensyaratkan nusyuz yang menggugurkan hak isteri untuk
mendapat nafkah, yaitu bila tidak disertai kehamilan sang isteri. Ia
berkata,”Istri yang durhaka kepada suaminya setelah ia dicampuri,
gugurlah kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepadanya, kecuali jika
ia hamil.”
Tentang pernyataan ini, Dr Umar Sulaiman Al Asyqar berkata,”Dan ini
adalah pensyaratan yang shahih, karena nafkah yang diberikan kepada
isteri yang hamil tersebut adalah untuk anaknya. Dan hal itu tidak
mungkin tersampaikan kepada anak, kecuali dengan memberi nafkah kepada
isterinya (ibu sang bayi)."[14]
3. Nafkah Bagi Isteri Yang Dicerai.
Berdasarkan kesepakatan para ulama, perlu diperhatikan beberapa catatan penting menyangkut nafkah isteri yang dicerai.[15]
Jika isteri dicerai sebelum terjadinya persetubuhan, maka sang isteri
tidak berhak mendapat nafkah, karena tidak ada masa iddah baginya,
bedasarkan firman Allah Azza wa Jalla.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ
طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ
عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
"Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi wanita-wanita
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka
sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta untuk
menyempurnakannya". [Al Ahzab : 49].
Wajib atas suami memberikan nafkah kepada isteri yang dithalak raj’i [16].
Ibnu Abdil Barr berkata,”Tidak ada perselisihan diantara ulama, bahwa
wanita yang dithalak raj’i berhak mendapat nafkah dari suaminya, baik
mereka dalam keadaan hamil ataupun tidak; karena mereka masih berstatus
sebagai isteri yang berhak mendapat nafkah, tempat tinggal serta harta
warisan selama mereka dalam masa ‘iddah.”
Wanita hamil yang dithalak ba’in [17] ataupun yang suaminya meninggal,
wajib diberikan nafkah sampai ia melahirkan anaknya, berdasarkan firman
Allah Azza wa Jalla.
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
"Dan jika mereka (isteri-isteri yang dicerai itu) sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan". [Ath
Thalaq : 6].[18]
Jadi wanita yang dithalak ba’in dalam keadaan hamil, ia berhak
mendapatkan nafkah karena sebab kehamilannya tersebut, (bukan karena
‘iddahnya) sampai ia melahirkan.
Dan jika sang isteri menyusui anak suaminya tersebut setelah dicerai,
maka ia berhak mendapat upah, berlandaskan firman Allah Azza wa Jalla.
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ
"Maka jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu, maka berikanlah mereka
upahnya, dan musyawarahkanlah segala sesuatu dengan baik". [Ath Thalaq :
6]
Sebagaimana dikatakan oleh Imam Adh Dhahak,”Jika sang suami mencerai
isterinya, dan ia memiliki anak dari isterinya itu, kemudian isterinya
tersebut menyusui anaknya, maka sang isteri berhak mendapat nafkah dan
pakaian dengan cara yang ma’ruf.”[19]
Adapun jika sang isteri tidak sedang hamil (ketika dithalak ba’in), maka ia tidak berhak mendapat nafkah dari suaminya.
Berdasarkan hadits dari Fatimah binti Qais, ketika ia diceraikan
suaminya. Kemudian ketika ia meminta nafkah, suaminya menolak
memberinya. Akhirnya ia meminta fatwa kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam tentang hal ini. Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda.
لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ وَ لاَ سَكَنَى
"Tidak ada lagi kewajiban atas suamimu untuk memberimu nafkah dan tempat tinggal". [20]
JIKA SUAMI TIDAK MAMPU MEMBERI NAFKAH
Imam As Sarkhasi berkata,”Setiap wanita telah ditetapkan untuknya bagian
dari nafkah atas suaminya. Baik suaminya masih muda, tua ataupun
suaminya miskin dan tidak mampu untuk memberi nafkah, maka (ketika itu)
ia (isteri) diperintahkan untuk menghutangi suaminya, (yakni nafkah yang
belum ia terima menjadi hutang suaminya yang harus ia tunaikan kepada
isterinya. Kemudian hendaklah ia kembali kepada suaminya, dan hakim
tidak boleh menahannya, jika ia mengetahui ketidakmampuannya untuk
memberi nafkah kepada isterinya.”
Sedangkan ulama kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah
berpendapat, isteri diberi pilihan untuk tetap bersama suami dalam
kemiskinannya itu atau bercerai dari suaminya, dan suami tidak dibebani
kewajiban untuk memberi nafkah selama ia tidak mampu.
Mengenai nafkah yang terhutang, apakah tetap menjadi hutang tanggungan suaminya selama ia berada dalam masa sulitnya?
Dalam masalah ini terdapat perselisihan di kalangan ulama. Ulama
kalangan madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, bahwa nafkah
tersebut tetap menjadi hutang tanggungan suami. Sedangkan ulama madzhab
Malikiyah berpendapat, gugurnya kewajiban memberi nafkah tersebut
disebabkan ketidakmampuan suami.[21]
HUKUM SUAMI YANG MEMINTA KEMBALI NAFKAH YANG TELAH IA BERIKAN
Apabila seorang suami telah memberikan nafkah kepada isterinya, kemudian
ia menceraikan isterinya tersebut atau ia meninggal, maka seorang suami
tidak boleh meminta kembali nafkah yang telah diberikannya.
Imam An Nawawi menjelaskan,”Jika sang isteri telah mendapat nafkah,
kemudian isteri tersebut meninggal pada pertengahan hari, maka tidak
boleh (bagi suami) untuk meminta kembali nafkah yang telah diberikannya
tersebut. Akan tetapi harta isterinya tersebut dibagi-bagikan kepada
ahli waris yang berhak menerima. Dan jika isteri meninggal, atau ia
dithalaq ba’in oleh suaminya pada pertengahan hari, sedangkan dia pada
awal hari tersebut (sebelum ia meninggal atau dithalaq) belum
mendapatkan nafkah dari suaminya, maka nafkah tersebut menjadi hutang
suami yang wajib ia tunaikan.”[22]
ANCAMAN BAGI SUAMI YANG BAKHIL
Tentang suami yang bakhil ini, telah datang banyak nash yang memuat
ancaman baginya. Diantaranya ialah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam berikut.
كَفَى بِالمَرْءِ إِثْماً أنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ
"Cukuplah sebagai dosa bagi suami yang menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya."[23]
Juga sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ العِبَادُ فِيْهِ إلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ
فَيَقُوْلَ أحَدُهُمَا : اللهُمَّ أعْطِ مُنْفْقًا خَلَفًا، وَ يَقُوْلُ
الآخَرُ: اللهُمَّ أعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
"Tidaklah para hamba berada dalam waktu pagi, melainkan ada dua malaikat
yang turun. Salah satu dari mereka berdoa,”Ya, Allah. Berikanlah kepada
orang yang menafkahkan hartanya balasan yang lebih baik,” sedangkan
malaikat yang lain berdoa,”Ya, Allah. Berikanlah kebinasaan kepada orang
yang menahan hartanya (tidak mau menafkahkannya).”[24]
Bakhil dan kikir adalah sifat tercela yang dilarang Allah Azza wa Jalla.
Allah Azza wa Jalla telah memberikan ancaman berupa kebinasaan dan dosa
bagi suami yang tidak mau memenuhi nafkah keluarganya, padahal ia mampu
untuk memberinya. Hal ini bisa kita fahami, karena memberi nafkah
keluarga adalah perintah syari’at yang wajib ditunaikan suami. Apabila
seorang suami bakhil dan tidak mau memenuhi nafkah anak serta isterinya,
berarti ia telah bermaksiat kepada Allah dengan meninggalkan kewajiban
yang Allah bebankan kepadanya, sehingga ia berhak mendapat ancaman siksa
dari Allah. Wal’iyadzu billah.
Demikianlah sebagian ulasan berkenaan kewajiban suami, yang menjadi
pilar diantara pilar-pilar rumah tangga. Semoga Allah Azza wa Jalla
senantiasa membimbing kaum muslimin seluruhnya, sehingga mampu
menjalankan setiap kewajiban secara konsekwen sesuai tuntunan syari’at,
untuk mewujudkan cita-cita rumah tangga sakinah, mawaddah wa rahmah.
Amin, Allahumma, Amin. (Az Zarqa’).
Maraji:
1. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Dar Ath Thayyibah, Cetakan I.
2. Ahkamuz Zawaj, Dr. Umar Sulaiman Al Asyqari, Dar An Nufasa’, Cetakan II.
3. Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhush Shalihin, Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali, Dar Ibnul Jauzi, Cetakan I.
4. Isyratun Nisa’, Usamah bin Kamal bin Abdurrazaq, Dar Al Wathan Lin Nasyr, Cetakan II.
5. Adabuz Zifaf, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Maktab Al Islami.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. HR Bukhari dan Muslim dan selain keduanya.
[2]. Lihat juga Lisanul ‘Arab, 3/693.
[3]. HR Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi.
[4]. Ahkamuz Zawwaj, hlm. 280.
[5]. HR Muslim, Ahmad dan Baihaqi.
[6]. HR Ibnu Majah, 2138; Ahmad, 916727; dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, 1739.
[7]. Fathul Bari, 9/498.
[8]. Lihat Ahkamuz Zawwaj, hlm. 281-282 dengan bahasa dari penyusun
[9]. HR Bukhari.
[10]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 281.
[11]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 284.
[12]. Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, I/638.
[13]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 282.
[14]. Ahkamuz Zawaj, hlm 283.
[15]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 288-289.
[16]. Thalak raj’i adalah thalak yang masih mempunyai kesempatan untuk
ruju' kembali selama belum usai masa ‘iddah. Jika telah melewati masa
iddah, wajib membuat aqad baru, bila mereka ingin bersatu kembali.
[17]. Thalak ba’in adalah thalak yang tidak ada ruju' kembali, kecuali
jika isterinya tersebut telah menikah dengan laki-laki lain, kemudian ia
dicerai.
[18]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 288-289
[19]. Tafsir Al Qur’anul ‘Azhim, I/638
[20]. HR Bukhari dan Muslim, dan selain keduanya. Lihat Ahkamuz Zawaj hlm. 289
[21]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 287-288
[22]. Ahkamuz Zawaj, hlm. 288.
[23]. HR Muslim.
[24]. Muttafaqun ‘alaihi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar