KHALIFAH UMAR RADHIYALLAHU ANHU MENGHADAPI KESULITAN RAKYAT
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
Salah satu tujuan ditegakkannya wilâyah (pemerintahan) adalah
menyejahterakan rakyat. Seorang waliyul amri bertugas menciptakan
kesejahteraaan rakyat melalui kebijaksanaan yang diambilnya. Dalam
masalah ini peran waliyul amri sangat besar, tanggung jawab ini berada
di pundaknya. Kelak ia akan ditanya tentangnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
أَلاَ كُلُكُمْ رَاع، وَكُلُكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالإِمَامُ
الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya tentang apa
yang dipimpinnya. Imam (waliyul amri) yang memerintah manusia adalah
pemimpin dan ia akan ditanya tentang rakyatnya.” [1]
Jangan sampai ada seorang rakyatnya yang terlantar apalagi mati
kelaparan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafâur
Râsyidîn sebagai pemimpin telah memberikan teladan yang baik dalam
menyejahterakan rakyat.
Sebagai contoh, Amîrul Mukminîn Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu
‘anhu, pada masa paceklik dan kelaparan, ia Radhiyallahu ‘anhu hanya
makan roti dan minyak sehingga kulitnya berubah menjadi hitam. Umar
Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila
aku kenyang sementara rakyatku kelaparan.” [2]
BAGAIMANA KHALIFAH UMAR BIN AL-KHATHTHAB RADHIYALLAHU ‘ANHU MENGHADAPI TAHUN PACEKLIK DAN MASA SULIT?
Pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu terjadi
musibah paceklik pada akhir tahun ke 18 H, tepatnya pada bulan
Dzulhijjah, dan berlangsung selama 9 bulan. Masyarakat sudah mulai
kesulitan. Kekeringan melanda seluruh bumi Hijaz, dan orang-orang mulai
merasakan sangat kelaparan.
Tahun ini disebut juga tahun ramadah karena permukaan tanah menjadi
hitam mengering akibat sedikitnya turun hujan, hingga warnanya sama
dengan ramad (debu). Pada saat itu daerah Hijaz benar-benar kering
kerontang. Penduduk-penduduk pedesaan banyak yang mengungsi ke Madinah
dan mereka tidak lagi memiliki bahan makanan sedikitpun. Mereka segera
melaporkan nasib mereka kepada Amîrul Mukminîn Umar bin al-Khaththab
Radhiyallahu ‘anhu .
Umar Radhiyallahu ‘anhu cepat tanggap dan menindaklanjuti laporan ini.
Dia segera membagi-bagikan makanan dan uang dari baitul mâl hingga
gudang makanan dan baitul mâl kosong total. Dia juga memaksakan dirinya
untuk tidak makan lemak, susu maupun makanan yang dapat membuat gemuk
hingga musim paceklik ini berlalu. Jika sebelumnya selalu dihidangkan
roti dan lemak susu, maka pada masa ini ia hanya makan minyak dan cuka.
Dia hanya mengisap-isap minyak, dan tidak pernah kenyang dengan makanan
tersebut. Hingga warna kulit Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadi hitam dan
tubuhnya kurus; dan dikhawatirkan dia akan jatuh sakit dan lemah.
Kondisi ini berlangsung selama 9 bulan. Setelah itu keadaan berubah
kembali menjadi normal sebagaimana biasanya. Akhirnya para penduduk yang
mengungsi tadi, bisa pulang kembali ke rumah mereka.[3]
Umar Radhiyallahu ‘anhu selalu mengontrol rakyatnya di Madinah pada masa
peceklik ini. Umar Radhiyallahu ‘anhu tidak menemukan seorangpun yang
tertawa, ataupun berbincang-bincang di rumah sebagaimana biasanya. Umar
Radhiyallahu ‘anhu tidak pula menemukan orang yang meminta-minta. Dia
bertanya apa sebabnya, lalu ada seseorang yang berkata kepadanya:
“Mereka pernah meminta tetapi tidak ada yang dapat diberikan, akhirnya
mereka tidak lagi meminta. Sementara mereka benar-benar dalam keadaan
yang menyedihkan dan sangat memprihatinkan, sehingga mereka tidak lagi
bisa berbincang-bincang ataupun tertawa.”
Akhirnya Umar Radhiyallahu ‘anhu mengirim surat kepada Abu Musa
Radhiyallahu ‘anhu di Bashrah yang isinya: “Bantulah umat Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Mereka hampir binasa.” Setelah itu ia
juga mengirim surat yang sama kepada ‘Amru bin Al-‘Ash Radhiyallahu
‘anhu di Mesir. Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam
jumlah besar, terdiri dari makanan dan bahan pokok berupa gandum.
Bantuan ‘Amru Radhiyallahu ‘anhu dibawa melalui laut hingga sampai ke
Jedah, kemudian dari sana baru di bawa ke Mekah. [4]
Abu Ubaidah Radhiyallahu ‘anhu pernah datang ke Madinah membawa 4000
hewan tunggangan yang dipenuhi makanan. Umar Radhiyallahu ‘anhu
memerintahkannya untuk membagi-bagikannya di perkampungan sekitar
Madinah. Setelah selesai menjalankan tugasnya, Umar Radhiyallahu ‘anhu
memberikan uang sebanyak 4000 dirham kepadanya, namun Abu Ubaidah
Radhiyallahu ‘anhu menolaknya. Tetapi Umar Radhiyallahu ‘anhu
Radhiyallahu ‘anhuterus memaksanya hingga akhirnya ia mau
menerimanya.[5]
Sebagai bentuk kepedulian Umar Radhiyallahu ‘anhu terhadap nasib
rakyatnya pada masa paceklik ini, ia keluar melakukan shalat istisqâ’
(shalat minta hujan). At-Thabarani rahimahullah meriwayatkan dari
Tsumâmah bin Abdillâh bin Anas Radhiyallahu ‘anhu , dari Anas
Radhiyallahu ‘anhu bahwa Umar Radhiyallahu ‘anhu keluar untuk
melaksanakan doa minta hujan. Dia keluar bersama al-Abbâs Radhiyallahu
‘anhu, paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan memintanya
berdoa minta turun hujan. Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Ya Allah
Azza wa Jalla sesungguhnya apabila kami ditimpa kekeringan sewaktu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, maka kami meminta
kepada-Mu melalui Nabi kami; dan sekarang kami meminta kepada-Mu melalui
paman Nabi kami Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Al-Bukhâri juga meriwayatkan kisah ini dari Anas Radhiyallahu ‘anhu.[6]
Demikianlah hingga Umar Radhiyallahu ‘anhu berhasil melewati masa-masa
kritis itu dengan bijaksana. Dan dia menyelamatkan rakyatnya dari
musibah kekeringan dan kondisi sulit itu melalui kebijaksanaannya yang
tepat.
KHALIFAH UMAR BIN AL-KHATHTHAB RADHIYALLAHU ‘ANHU MENGALOKASIKAN DANA KHUSUS UNTUK KESEJAHTERAAN BAYI
Umar Radhiyallahu ‘anhu sangat memperhatikan nasib rakyatnya. Sebagai
buktinya, ia mengeluarkan dana khusus dari baitul mâl untuk
kesejahteraan bayi.
Aslam, maula (bekas budak) Umar Radhiyallahu ‘anhu bercerita: “Pernah
ada satu rombongan saudagar datang ke Madinah. Mereka singgah di
mushala. Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Abdurrahman bin Auf
Radhiyallahu ‘anhu : “Bagaimana jika malam ini kita menjaga mereka?”
“Abdurrahman Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Ya, aku setuju!” Maka keduanya
menjaga para saudagar tersebut sepanjang malam sambil shalat. Namun
tiba-tiba Umar Radhiyallahu ‘anhu mendengar suara anak kecil menangis.
Umar Radhiyallahu ‘anhu segera menuju suara tangisan itu dan bertanya
kepada ibunya: “Takutlah engkau kepada Allah Azza wa jalla dan berbuat
baiklah dalam merawat anakmu”. Kemudian Umar Radhiyallahu ‘anhu kembali
ke tempatnya. Kemudian ia mendengar lagi suara bayi itu dan ia
mendatanginya kembali dan berkata kepada ibunya seperti perkataan ia
tadi.
Setelah itu Umar Radhiyallahu ‘anhu kembali ke tempatnya semula. Di
akhir malam dia mendengar bayi tersebut menangis lagi. Umar Radhiyallahu
‘anhu segera mendatangi bayi itu dan berkata kepada ibunya: “Celakalah
engkau, sesungguhnya engkau adalah ibu yang buruk, kenapa aku masih
mendengar anakmu menangis sepanjang malam?” Wanita itu menjawab: “Hai
tuan, sesungguhnya aku berusaha menyapihnya dan memalingkan perhatiannya
untuk menyusu tetapi dia masih tetap ingin menyusu.” Umar Radhiyallahu
‘anhu bertanya: “Kenapa engkau akan menyapihnya?” Wanita itu menjawab:
“Karena Umar Radhiyallahu ‘anhu hanya memberikan jatah makan untuk
anak-anak yang telah disapih saja”. Umar Radhiyallahu ‘anhu bertanya
kepadanya: “Berapa usia anakmu?” Dia menjawab: “Baru beberapa bulan
saja.” Maka Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Celakalah engkau, kenapa
terlalu cepat engkau menyapihnya?” Maka ketika shalat subuh, bacaan Umar
Radhiyallahu ‘anhu nyaris tidak terdengar jelas oleh para makmum
disebabkan tangisnya.
Umar berkata: “Celakalah engkau hai Umar Radhiyallahu ‘anhu , berapa
banyak bayi-bayi kaum Muslimin yang telah engkau bunuh”. Setelah itu ia
menyuruh salah seorang pegawainya untuk mengumumkan: “Janganlah kalian
terlalu cepat menyapih anak-anak kalian, sebab kami akan memberikan
jatah bagi setiap bayi yang lahir dalam Islam”. Umar segera menyebarkan
berita ini ke seluruh daerah kekuasaannya”. [7]
Perhatian terhadap bayi ini sangat penting, karena usia balita merupakan
masa pertumbuhan. Apabila si bayi kurang gizi maka bisa membahayakan
pertumbuhannya setelah dewasa. Generasi-generasi mendatang ini harus
diperhatikan perkembangannya mulai dari bayi. Pemerintah harus serius
memperhatikan masalah ini. Jangan sampai terdengar lagi berita kasus
gizi buruk yang menyerang bayi. Kebijakan Umar Radhiyallahu ‘anhu ini
patut dijadikan sebagai teladan yang baik.
PERHATIAN UMAR RADHIYALLAHU ‘ANHU TERHADAP MASALAH PENGOBATAN DAN KESEHATAN RAKYATNYA.
Pendidikan dan kesehatan selayaknya diberikan secara gratis oleh
pemerintah bagi rakyatnya. Karena keduanya merupakan kebutuhan yang
sangat vital bagi manusia. Mereka harus mendapat akses pendidikan dan
pengobatan yang mudah, murah bahkan kalau bisa tanpa biaya. Dalam hal
ini pemerintah
harus turun tangan langsung ke lapangan.
Aslam Radhiyallahu ‘anhu bercerita: “Pernah suatu malam aku pergi
bersama Umar Radhiyallahu ‘anhu ke luar kota Madinah. Kami melihat ada
sebuah tenda dari kulit, dan segera kami datangi, ternyata di dalamnya
ada seorang wanita sedang menangis. Umar Radhiyallahu ‘anhu bertanya
tentang keadaannya, dan dia menjawab: “Aku adalah seorang wanita Arab
yang akan bersalin (melahirkan), tetapi sedang tidak memiliki
sesuatupun.” Umar Radhiyallahu ‘anhu menangis dan segera berlari menuju
rumah Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhuma
—istrinya—, dan berkata: “Apakah engkau mau mendapatkan pahala yang akan
Allah Azza wa Jalla karuniakan kepadamu?” Umar Radhiyallahu ‘anhu
segera memberitakan kepadanya mengenai wanita yang dilihatnya tadi, maka
istrinya berkata: “Ya, aku akan membantunya.” Umar Radhiyallahu ‘anhu
segera membawa satu karung gandum beserta daging di atas pundaknya,
sementara Ummu Kultsum Radhiyallahu anha membawa peralatan yang
dibutuhkan untuk bersalin. Keduanya berjalan mendatangi wanita tersebut.
Sesampainya di sana Ummu Kultsum Radhiyallahu ‘anha segera masuk ke
tempat wanita itu, sementara Umar Radhiyallahu ‘anhu duduk bersama
suaminya —yang tidak mengenal Umar Radhiyallahu ‘anhu — sambil
berbincang-bincang.
Akhirnya wanita itu berhasil melahirkan seorang bayi. Ummu Kultsum
Radhiyallahu ‘anha berkata kepada Umar Radhiyallahu ‘anhu : “Wahai
Amirul Mukminin sampaikan berita gembira kepada suaminya bahwa anaknya
yang baru lahir adalah lelaki.” Ketika lelaki itu mendengar perkataan
“Amirul Mukminin” ia merasa sangat kaget dan minta maaf kepada Umar
Radhiyallahu ‘anhu . Namun Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya:
“Tidak mengapa.” Setelah itu Umar Radhiyallahu ‘anhu memberikan kepada
mereka nafkah dan apa yang mereka butuhkan, lantas ia pun pulang.”
PERHATIAN UMAR RADHIYALLAHU ‘ANHU TERHADAP URUSAN SANDANG DAN PANGAN RAKYATNYA
Masalah perut adalah masalah yang sangat sensitif. Rasa lapar bisa
membuat manusia kehilangan pertimbangan dan akal sehat. Banyak kejahatan
terjadi berlatar belakang usaha untuk memenuhi masalah ini, yaitu
perut. Maka dalam hal ini pemerintah harus benar-benar memperhatikan
kecukupan pangan rakyatnya.
Aslam Radhiyallahu ‘anhu bercerita: “Suatu malam aku keluar bersama Umar
bin Al-Khattab Radhiyallahu ‘anhu ke dusun Waqim. Ketika kami sampai di
Shirar [8] kami melihat ada api yang dinyalakan. Umar Radhiyallahu
‘anhu berkata: “Wahai Aslam Radhiyallahu ‘anhu di sana ada musafir yang
kemalaman, mari kita ke sana menemui mereka.” Kami segera mendatangi
mereka dan ternyata di sana ada seorang wanita bersama anak-anaknya
sedang menunggui periuk yang diletakkan di atas api, sementara
anak-anaknya menangis. Umar Radhiyallahu ‘anhu bertanya: “Assalamu
‘alaiki wahai pemilik api.” Wanita itu menjawab: “Wa alaikas salam.”
Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kami boleh mendekat?” Dia menjawab:
“Terserah kalian!” Umar Radhiyallahu ‘anhu segera mendekat dan bertanya:
“Ada apa gerangan dengan kalian?” Wanita itu menjawab: “Kami kemalaman
dalam perjalanan serta
kedinginan.” Umar Radhiyallahu ‘anhu kembali bertanya: “Kenapa anak-anak
itu menangis?” Wanita itu menjawab: “Karena lapar.” Umar Radhiyallahu
‘anhu kembali bertanya: “Apa yang engkau masak di atas api itu?” Dia
menjawab: “Air agar aku dapat menenangkan mereka hingga tertidur. Dan
Allah Azza wa Jalla kelak yang akan jadi hakim antara kami dengan Umar
Radhiyallahu ‘anhu ”
Maka Umar Radhiyallahu ‘anhu menangis dan segera berlari pulang menuju
gudang tempat penyimpanan gandum. Ia segera mengeluarkan sekarung gandum
dan satu ember daging, sambil berkata: “Wahai Aslam Radhiyallahu ‘anhu
naikkan karung ini ke atas pundakku.” Aslam Radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Biar aku saja yang membawanya.” Umar Radhiyallahu ‘anhu menjawab:
“Apakah engkau mau memikul dosaku kelak di hari Kiamat?” Maka ia segera
memikul karung tersebut di atas pundaknya dan kembali mendatangi tempat
wanita itu. Setelah meletakkan karung tersebut ia segera mengeluarkan
gandum dan memasukkannya ke dalam periuk. Setelah itu ia memasukkan
daging ke dalamya. Umar Radhiyallahu ‘anhu berusaha meniup api di bawah
periuk hingga asap menyebar di antara jenggotnya untuk beberapa saat.
Setelah itu Umar Radhiyallahu ‘anhu menurunkan periuk dari atas api dan
berkata: “Berikan aku piring kalian!”. Setelah piring diletakkan Umar
Radhiyallahu ‘anhu segera menuangkan isi periuk ke dalam piring itu dan
menghidangkannya kepada anak-anak wanita itu dan berkata: “Makanlah.”
Maka anak-anak itupun makan hingga kenyang. Wanita itu berdoa untuk Umar
Radhiyallahu ‘anhu agar diberi ganjaran pahala sementara dia sendiri
tidak mengenal Umar Radhiyallahu ‘anhu.
Umar masih bersama mereka hingga anak-anak itu tertidur pulas. Setelah
itu Umar Radhiyallahu ‘anhu memberikan nafkah kepada mereka, lalu ia
pulang. Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku: “Wahai Aslam
Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya rasa laparlah yang membuat mereka tidak
dapat tidur.”[9]
Coba lihat, sungguh teladan yang sangat agung dan mulia. Umar
Radhiyallahu ‘anhu tidak hanya mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya,
bahkan ia tidak malu-malu dan segan-segan menjadi pelayan bagi
masyarakat dan rakyatnya. Ia terjun langsung melayani rakyat karena
menyadari bahwa itu merupakan tanggung jawab yang ia akan ditanyai nanti
di akhirat kelak.
DAFTAR REFERENSI:
1. Shahihul-Bukhâri bersama Fathul Bâri, cetakan Maktabah as-Salafiyyah Mesir.
2. Al-Bidayah wan Nihâyah tulisan Ibnu Katsîr.
3. Tahdzîbul-Bidayah wan Nihâyah, disusun oleh Dr.Muhammad bin Shamil as-Sulami.
4. Thabaqâtul-Kubra tulisan Ibnu Sa’ad.
5. Târîkhuth-Thabari, Ibnu Jarîr ath-Thabari.
6. Mu’jamul-Ma’âlimul-Jughrafiyyah tulisan ‘Atiq bin Ghaits al-Bilâdi.
7. Târîkh Islamy (Khulafâur-Râsyidîn) tulisan adz-Dzahabi.
8. Al-Wilâyah ‘alal Buldân tulisan Abdul Azîz bin Ibrahîm al-‘Umari.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
_______
Footnote
[1]. Hadits riwayat Al-Bukhâri dalam shahîhnya (893) dan Muslim (4828).
[2]. Tahdzîb Bidâyah wan Nihâyah (Khalîfah Umar bin al-Khaththab).
[3]. Lihat kisah tentang tahun paceklik ini di At-Thabaqâtul-Kubra karya Ibnu Sa’ad 3/ 310-317.
[4].Hal yang senada diriwayatkan oleh Ibn Syabbah dalam Akhbârul-Madînah
(2/743) dari jalan Al-Haitsam bin Adi , Dia juga meriwayatkan dari
jalan Al-Walîd bin Muslim Radhiyallahu 'anhu , dia berkata:” Aku telah
diberitahukan oleh Abdurahmân bin Zaid bin Aslam Radhiyallahu 'anhu dari
ayahnya dari kakeknya bahwa Umar Radhiyallahu 'anhu memerintahkan ‘Amr
bin ‘Ash Radhiyallahu 'anhu untuk mengirim makanan dari Mesir ke Madinah
melalui laut Ailah pada tahun paceklik (2/745).
[5].Lihat Târîkhut-Thabari 4/ 100.
[6]. Shahîhul-Bukhâri, kitab al-Istisqâ‘, bab Suâlun Nâsil-Imâm al-Istisqa Izâ Quhithu 2/ 494.
[7]. Dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dalam Thabaqât 3/302 dengan sanadnya dari jalan Abdullâh bin Umar.
[8]. Shirar adalah sebuah perkampungan yang berjarak sekitar 3 mil dari kota Madinah. (Mu’jamul-Ma’âlimul-Jughrâfiyah 175)
[9]. Dikeluarkan oleh Ahmad dalam kitab Fadhâilus-Sahâbah no. 382 dan Muhaqqiq kitab itu berkomentar: “sanadnya
Hasan”, lihat Târîkhut-Thabari 4/205-206
Tidak ada komentar:
Posting Komentar