KEBIJAKAN RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DALAM MENUNTASKAN KEMISKINAN KAUM MUHAJIRIN
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pada masa Jahiliyah, bangsa Arab sangat dipengaruhi oleh cara berpikir
dan system perekonomian Yahudi. Dalam bidang ekonomi, bangsa Yahudi
menjalankan sistem riba. Mereka sangat mahir dalam hal ini dan selalu
melakukannya di setiap tempat, termasuk di Mekah dan Madinah.
Setelah Islam datang, ikatan akidah merubah sistem ini menjadi sistem
persaudaraan, gotong royong dan saling membantu. Islam sangat menekankan
sisi persaudaraan sesama Muslim dalam memperkuat keutuhan
masyarakatnya, terutama dalam bidang ekonomi. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam selalu menekankan pentingnya arti persaudaraan dalam
Islam dan semangat untuk ta’âwun (tolong menolong). Sebagai contoh,
persaudaraan yang diikat antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Ketika
kaum Muhajirin berhijrah dari Mekah ke Madinah, mereka menghadapi
problematika sosial dan ekonomi, berkaitan dengan kelangsungan hidup,
mata pencaharian dan tempat tinggal.
Kaum Muhajirin tidak memiliki modal, sebab seluruh harta mereka sudah
ditinggalkan. Mereka juga tidak memiliki lahan pertanian di Madinah.
Bahkan mereka juga tidak berpengalaman di bidang pertanian Maka, ketika
kaum Anshar menawarkan agar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membagi kebun kurma mereka untuk kaum Muhajirin, beliau menolaknya.
Karena beliau takut hasil pertanian Madinah menurun karenanya. Akhirnya
kaum Anshar tetap memiliki kebun mereka, namun hasilnya dinikmati
bersama.
Kaum Anshar pun rela menghibahkan rumah-rumah mereka kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau menolaknya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membangun rumah-rumah untuk kaum Muhajirin
di areal tanah yang dihibahkan oleh kaum Anshar dan di areal tanah yang
tak bertuan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembangkan dua sektor yang
sangat penting untuk mendongkrak perekonomian Madinah, yaitu sektor
perdagangan dan sektor agrarian (pertanian dan perkebunan). Seperti yang
digambarkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu :
إِنَّ إخْوَانَنَا مِنَ الْمُهَا جِرِيْنَ كَانَ يَشْغَلُهُمُ الصَّفْقُ
بِالأَسْوَاقِ، وِإِنَّ إِخْوَانَنَا مِنَ الأَنْصَارِ كَانَ يَشْغَلُهُمُ
الْعَمَلُ فِى أَمْوَالِهِمْ
Sesungguhnya rekan-rekan kita dari kalangan Muhajirin sibuk mengurusi
perdagangan mereka di pasar dan rekan-rekan kita dari kalangan Anshar
sibuk mengelola harta mereka. Yakni sibuk bercocok tanam.
Dalam riwayat Muslim tercantum: كَانَ يَشْغَلُهُمُ عَمَلُ أَرَضِيْهِم
(mereka sibuk mengolah tanah mereka). Dalam riwayat Ibnu Sa’d tertera:
(َ كَانَ يَشْغَلُهُمُ الْقِيَامُ عَلَى أَرَضِيْهمْ) mereka sibuk
mengelola tanah mereka.
Sekalipun kaum Anshar telah menyerahkan semua yang mereka miliki dan
menunjukkan kedermawanan, namun tetap saja dibutuhkan suatu peraturan
dan undang-undang yang menjamin kesejahteraan kaum Muhajirin dan
menjauhkan mereka dari perasaan bahwa mereka menjadi beban bagi kaum
Anshar. Olehkarena itu, disyariatkan undang-undang persaudaraan pada
tahun pertama hijriyah.
Ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan 45
orang kaum Muhajirin dengan 45 orang kaum Anshar. Undang-undang ini
menyebabkan adanya hak-hak khusus antara dua orang yang dipersaudarakan,
seperti saling membantu secara mutlak dalam menghadapi segala macam
problema kehidupan baik moril maupun materiil.
Kaum Anshar sangat komitmen menjalankan undang-undang persaudaraan ini
sampai-sampai mereka rela memberikan setengah hartanya dan salah seorang
dari istrinya kepada saudaranya dari kaum Muhajirin, sebagaimana yang
dialami ‘Abdurrahmân bin Auf Radhiyallahu ‘anhu. Namun, ‘Abdurrahmân
Radhiyallahu ‘anhu menolaknya. Ia hanya meminta ditunjukkan di mana
pasar berada.
Setelah kaum Muhajirin mampu menyesuaikan diri dengan iklim Madinah dan
mengetahui sumber-sumber mata pencaharian serta mendapatkan harta
rampasan pada perang Badar yang mencukupi kebutuhan mereka, maka
kembalilah hukum waris kepada kondisi semula, yaitu sesuai dengan
hubungan kekerabatan. Dengan begitu dihapuslah hukum saling mewarisi
antara dua orang yang dipersaudarakan sesuai dengan nash al-Qur’ân.
Akan tetapi tidak cukup sampai di situ. Gelombang hijrah ke Madinah
terus berlangsung, khususnya sebelum terjadinya perang Khandaq. Tamu,
utusan dan delegasi tiada henti datang ke Madinah. Sebagian besar dari
mereka menetap di Madinah; namun sebagian mereka tidak mengenal siapa
pun di Madinah, sehingga mereka seperti orang asing yang membutuhkan
nafkah dan tempat tinggal yang layak
Untuk itu, Rasulullah n memerintahkan agar dinding luar masjid sebelah
belakang diberi atap. Atap itu kemudian dikenal dengan sebutan
ash-Shuffah atau tempat berteduh. Namun, tidak ada dinding yang menutup
bagian samping bangunan tersebut. Orang-orang yang menjadikan tempat itu
sebagai tempat tinggal disebut ahli Shuffah. Shuffah itu cukup untuk
menampung banyak orang. Diberitakan bahwa jumlah mereka sekitar tujuh
puluh orang, lalu berkurang atau bertambah sejalan dengan arus hijrah ke
Madinah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memperhatikan perihal
kehidupan ahli Shuffah. Beliau mendahulukan mereka dalam pemberian infak
dan makanan jika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki
kelebihan harta.
Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusulkan
pembuatan tali di antara dua ruangan bagian atas masjid, dan
memerintahkan agar setiap orang dari kaum Anshar mengeluarkan setandan
kurma dari kebun masing-masing untuk Ahli Shuffah dan fakir miskin. Lalu
para Sahabat mengikat tandan tandan kurma tersebut di tali itu dan yang
terkumpul kurang lebih dua puluh tandan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada para Sahabat
untuk menginfakkan hartanya kepada ahli Shuffah. Maka, para Sahabat pun
berlomba berbuat kebaikan kepada Ahli Shuffah. Para hartawan dari
kalangan Sahabat mengirimkan makanan kepada mereka. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi Ahli Shuffah kepada para Sahabat
selepas shalat Isyâ’, agar mereka dijamu di rumah para Sahabat tersebut.
Kejadian ini terjadi di awal awal hijrah. Ketika Allah Azza wa Jalla
telah mencukupi kebutuhan mereka, maka tidak perlu lagi mengajak mereka
makan di rumah para Sahabat.
Tidak diragukan lagi, siapa saja pasti takjub melihat bentuk-bentuk
persaudaraan yang kokoh serta sikap mendahulukan kepentingan orang lain
ini. Hal seperti ini tidak akan didapati dalam sejarah manusia manapun
kecuali dalam sejarah Islam.
Dengan begitu, tercipta jaringan sosial yang sangat kuat antara si
miskin dengan si kaya. Si kaya mengeluarkan hartanya untuk membantu
masyarakat dan menutup celah-celah yang nampak dalam pembangunan sektor
ekonomi yang disebabkan perbedaan pendapatan. Mereka mengeluarkan zakat
sebagai penunaian kewajiban dari Allah Azza wa Jalla dalam rangka
memenuhi kebutuhan kaum fakir miskin. Kaum fakir miskin itu akan merasa
gembira jika harta si kaya semakin banyak karena mereka akan mendapatkan
kebaikan juga darinya.
Kaum hartawan dan kaum dhu’afâ‘ sama-sama berjuang dalam satu barisan.
Sebab akidah Islam menentang keras adanya pertikaian antar golongan
sosial dalam masyarakat. Islam mempersaudarakan antara kaum hartawan dan
fakir miskin, merapatkan barisan untuk menyambut panggilan jihad.
Inilah bentuk masyarakat Muslim di Madinah yang dibina langsung oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tercatat dalam sejarah bahwa Utsmân bin Affan Radhiyallahu ‘anhu pernah
menginfakkan hartanya sebesar seribu ekor unta lengkap dengan gandum,
minyak dan kismis untuk orang miskin di kalangan kaum Muslimin, ketika
krisis ekonomi melanda Madinah semasa pemerintahan khalîfah Abu Bakar
Ash-Shiddîq. Padahal, para pedagang telah menawarkan keuntungan untuknya
sampai lima kali lipat dari modal yang ia keluarkan, ia hanya
menimpali: “Aku mendapat keuntungan yang lebih besar dari itu.” Mereka
berkata: “Siapa yang sanggup memberikan engkau keuntungan yang lebih
besar dari kami karena hanya kamilah para pedagang di Madinah?” Utsmân
Radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Allah Azza wa Jalla telah memberikan
keuntungan untukku sebanyak sepuluh kali lipat.” Lalu ia bagikan
hartanya kepada fakir miskin.
Contoh seperti ini banyak terjadi dalam kehidupan Salafus Shalih. Oleh
karena itu tidak pernah terjadi perbedaan atau pertikaian antar
tingkatan social dalam masyarakat. Juga tidak terjadi pengelompokan
masyarakat guna mendapatkan keuntungan ekonomi yang mengakibatkan
terjadinya perseteruan antara kelompok atas dan kelompok bawah.
Masyarakat Muslim tidak pernah mengenal adanya penindasan si kaya
terhadap si miskin atau penguasa terhadap rakyatnya; juga tidak mengenal
adanya pengelompokan manusia berdasarkan ras dan warna kulit. Kaum
Muslimin seluruhnya sama seperti jari-jari sisir, tidak ada yang lebih
utama antara satu dengan yang lainnya, kecuali dalam hal takwa.
Masyarakat Muslim terbuka bagi siapa saja, karena itu Islam menganjurkan
untuk bersama-sama berjuang dan berkarya dan bersama-sama menjalin
hubungan sosial dalam masyarakat. Tidak pernah ada larangan bagi orang
miskin untuk menikahi gadis kaya, atau tidak ada halangan bagi kaum
lemah untuk mendapatkan jabatan penting dalam pemerintahan atau
kedudukan tertinggi dalam militer. Dengan demikian keistimewaan Islam
akan tetap tampak dalam pembangunan masyarakat yang kuat dan kokoh di
atas pondasi cinta kasih dan solidaritas sosial; bukan dengan dasar
kebencian, iri dan dengki yang akan selalu berakhir dengan kehancuran.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
REFERENSI:
1. Sîrah Shahîhah tulisan Dr. Akram Dhiyâ’ al-‘Umari.
2. Shahîh al-Bukhâri.
3. Fathul Bâri karya Ibnu Hajar al-Asqalâni.
4. Tahdzib Sîrah Ibnu Hisyâm karya Abdus Salâm Hârun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar