GERBANG HIDAYAH
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Ihdinash-shirathal mustaqim, shirathalladzina-an`amta `alaihim…
Begitulah seorang muslim melafazhkan kalimat per kalimat dua ayat saat
membaca surat al Fatihah. Artinya, tunjukilah kami kepada jalan yang
lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat….
Seorang muslim senantiasa membacanya pada setiap raka'at shalat, saat
beribadah kepada Allah. Satu isyarat yang menunjukkan, betapa pentingnya
hidayah, sehingga seorang muslim harus memohonnya, minimal tujuh belas
kali dalam satu hari satu malam. Hidayah itu sangat dibutuhkan,
sebagaimana tubuh membutuhkan makanan dan minuman. Begitulah, hatinya
juga memerlukan hidayah sebagai sarana memenuhi kebutuhannya.
Hidayah, merupakan nikmat yang dianugerahkan Allah Azza wa Jalla kepada
seorang hamba. Ia merupakan salah satu nikmat yang agung dari sekian
banyak nikmat. Dan nikmat hidayah, adalah nikmat yang bernilai istimewa.
Hidayah merupakan sentuhan lembut Ilahi, yang akan mengantarkan seorang
hamba kepada pantai kebahagiaan. Ia merupakan wujud kasih-sayang Ilahi,
sehingga seorang hamba tidak terjatuh ke dalam jurang kesalahan dan
kesengsaraan. Ia menuntun seorang hamba yang dikuasai hawa nafsu,
sehingga menjadi terbimbing kepada kehendak Dzat Yang Maha Kuasa.
Maknanya, Allah tidak membiarkan seorang hamba berada dalam kesendirian
ketika mencari kebenaran. Akan tetapi, tanganNya menuntunnya ke arah
yang Dia ridhai.
Jika demikian yang terjadi pada seorang hamba, maka hal itu merupakan
pertanda baik. Berarti, jejak-jejak kasih-sayang Allah sudah tampak di
kalbunya. Mahabbah Allah kepadanya sedang datang menuju hatinya. Maka
seorang hamba hendaklah segera menampungnya dalam kalbunya. Jangan
biarkan hidayah Allah berlalu. Jangan biarkan hidayahn itu
meninggalkannya, sehingga menyebabkan seorang hamba harus menunggu dan
menunggu, tanpa mengetahui kapan akan datang kembali. Bisa jadi,
penantian itu tidak berkesudahan.
CARA ALLAH AZZA WA JALLA MEMBERIKAN HIDAYAH
Allah memiliki banyak cara untuk membuat seorang hamba kembali kepada
kebenaran, setelah lama ia bergumul dengan kemaksiatan. Ternyata,
fitrahnya tak bisa mengingkari, bahwa tidak ada kebahagiaan, kecuali
kembali kepada Allah.
Ada seorang parewa [1] yang telah banyak melakukan dosa. Salah satunya,
dia telah membunuh banyak orang, hingga 99 orang. Tiba-tiba rasa
kerinduan kepada kebenaran menghentaknya. Lalu pergilah ia bertanya
kepada orang-orang, apakah ada yang bisa mencarikan jalan keluar
terhadap permasalahan yang ia punyai. Orang-orang menunjukkannya kepada
seorang ahli ibadah. Setelah bertemu dengan orang yang yang
ditunjukkannya tersebut, ia pun menanyakan tentang dosa yang telah ia
lakukan, yaitu membunuh 99 orang. Apakah bagi dirinya masih terbuka
pintu taubat dan hidayah? Ternyata, orang yang ditanya menjawab :
"Tidak," mendengar jawaban tersebut, parewa ini serasa marah, hingga
dibunuhlah seorang ahli ibadah yang ditanya ini. Menjadi lengkaplah ia
membunuh 100 orang.
Sekalipun ia mengulangi dosa yang telah lalu, tetapi ternyata tidak
membuatnya putus asa. Kemudian, parewa ini pun kembali mencari seseorang
yang bisa memberikan jawaban terhadap masalah yang menghantui
pikirannya. Dia pun bertemu dengan seorang ahli ilmu.
Bertanyalah ia : "Saya telah membunuh 100 orang. Yang terakhir saya
bunuh bukanlah orang sembarangan. Dia ahli ibadah, yang mungkin di mata
Allah jauh lebih mulia dari 99 orang yang telah saya bunuh sebelumnya.
Apakah pintu taubat masih terbuka bagi saya?”.
Mendengar pengaduan sang pemuda ini, seorang ahli ilmu ini menjawab :
"Siapakah yang dapat menghalangi antara dirimu dengan taubat?”
Mendengar penjelasan ini, Sang Pemuda mengangkat kepalanya, seakan tidak
percaya mendengar dari jawaban tersebut. Wajahnya berbinar, air matanya
menetes karena bahagia. Selesailah sudah pengembaraannya. Saatnya ia
menghirup hari-hari bahagia. Perilaku dan perbuatan yang telah
meletihkan dan menyengsarakannya, tidak akan ia ulangi lagi. Dan ia pun
menuruti nasihat seorang 'alim ini yang mengatakan : "Akan tetapi,
berangkatlah engkau ke negeri yang jauh. Yaitu ke tempat orang-orang
yang shalih. Jangan kembali lagi ke negerimu, karena negerimu tidak
baik".
Berangkatlah ia melangkahkan kaki meninggalkan kampung halaman. Di dalam
lubuk hatinya, ia berazam untuk hijrah dari semua amal buruk menuju
kebaikan.[2]
Kebanyakan orang menemukan hidayah, tatkala jiwanya sedang remuk redam
disebabkan karena musibah yang sedang menimpanya. Musibah ini
menumbangkan semua kesombongannya, meluluh-lantakkan ketidakpeduliannya
terhadap Allah dan syari'atNya. Ketika seorang hamba sudah berada di
atas jurang kehancuran, Allah menahannya, lalu menuntunnya dengan
kelembutan dan kasih-sayangNya. Akhirnya, hamba yang sombong ini
terselamatkan, kembali kepada jalan Allah. Ini semua dikarenakan hidayah
Allah.
Dia, seperti seorang prajurit yang membelot dan berkhianat, tetapi telah
kalah berperang melawan atasannya. Kemudian, dengan pakaian lusuh,
wajah kotor dan berdebu, luka-luka memenuhi sekujur tubuhnya, ia
kembali. Dia menyerah. Dengan menyerahkan diri secara sukarelala, ia
memiliki harapan, mudah-mudahan sang atasan akan memaafkan kesalahannya.
Terkadang Allah menundukkan kesombongan seorang hamba dengan
membinasakan kekayaan, yang seorang hamba ini merasa memilikinya selama
ini. Kesadaran muncul setelah api besar membakar rumahnya atau
istananya, dan segala kekayaan yang ia peroleh dengan menghabiskan semua
waktu dan masa mudanya yang hanya untuk mengumpulkan harta.
Terkadang Allah memaksanya untuk bersujud dan membaluri keningnya dengan
tanah, setelah ia kehilangan orang-orang yang dicintainya. Kadangkala
Allah memberi hidayah kepada seseorang, setelah orang itu terjerat dalam
kasus korupsi; setelah ia merasakan sempitnya penjara, dan pedihnya
kehilangan jabatan. Maka ia tinggalkan dunia, dan ia kembali kepada
Allah.
Atau terkadang Allah menimpakan penyakit kepadanya, sehingga menyebabkan
dirinya terbaring lemas. Berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, ia tetap
tergolek di atas kasur, setelah puluhan tahun dengan kesehatan yang
dimilikinya ia melawan Allah, dengan selalu berbuat maksiat. Dia
menyangka, seakan ia memiliki kekuatan.
Mereka itu adalah orang-orang beruntung. Mereka menemukan jalan kembali, setelah diberi teguran oleh Dzat Maha Pencipta.
Ada lagi manusia, yang juga menjadi mulia karena memperoleh hidayah.
Yaitu orang-orang yang dihentikan pengembaraannya, disebabkan
kerinduannya kepada kebenaran. Seperti perjalanan ikan solmon, ia
melintasi sungai, menyeberangi lautan, mengarungi samudera, melintasi
benua. Bermil-mil perjalanan telah ia tempuh. Ketika sudah tiba masanya,
ada kerinduan memanggilnya untuk kembali ke fithrahnya sebagai seorang
hamba, sekalipun banyak aral menghalanginya. Orang-orang itu, termasuk
diantaranya adalah para sahabat yang mulia, Khalid bin Walid dan Ikrimah
bin Abu Jahal.
Khalid, seorang ksatria, panglima yang tidak pernah terkalahkan, hamba
Allah Azza wa Jalla yang tawadhu, pemilik jiwa besar, karena dia memang
orang besar. Semuanya tentu mengetahui, apa yang telah ia perbuat
terhadap kaum Muslimin di perang Uhud. Dengan ketajaman pandangannya, ia
dapat merubah kekalahan menjadi kemenangan untuk Quraisy. Yang ini
sebagai kemenangan pertama dan terakhir bagi mereka. Sang ksatria ini,
hampir pada semua tempat dan dimanapun berada, dia selalu menunjukkan
permusuhan terhadap Islam dan kaum Muslimin. Akan tetapi, cahaya hidayah
telah mengubahnya. Sebelum penaklukan Mekkah, ia mengajak kawan
karibnya, yaitu 'Amr bin Ash untuk berangkat menuju Madinah, dengan
tujuan meyatakan keislaman.
Berangkatlah mereka dengan 'azam (tekad) yang telah kuat. Dan tetaplah
ia berlaku sebagai ksatria dari Quraisy. Setibanya di Madinah, ia pun
mengutarakan keinginannya. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam mengulurkan tangan kepadanya, maka Khalid bin Walid menarik
kembali tangannya, seraya berucap : "Dengan syarat, wahai Nabi Allah
Azza wa Jalla, agar Allah Azza wa Jalla menghapuskan segala perbuatanku
semasa jahiliyah". Bagaimanakah Rasulullah menanggapi permintaannya?
Beliau n tersenyum dan berkata,"Apakah engkau belum mengeri, wahai
Khalid? Sesungguhnya Islam menghapuskan semua perbuatan engkau sebelum
ini!"
Alangkah indah pembicaraan tersebut, penuh dengan pemahaman, kebeningan,
keteduhan, ketulusan dan kejujuran. Menggetarkan setiap muslim yang
mendengarnya, apalagi yang menghadirinya. Bagaimanakah peristiwa ini
bisa terulang kembali oleh pendengaran kita pada zaman kita sekarang
ini?
Adapun Ikrimah, dia adalah orang yang ikut serta mengusir Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Mekkah beberapa tahun yang lalu.
Setelah Mekkah dikuasai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
Ikrimah mencoba lari dari kenyataan. Dia seberangi lautan. Dia lintasi
lautan padang pasir. Dalam kesendiriannya, ia coba tinggal di negeri
orang. Dia mencoba menahan diri dari dorongan kembali kepada kebenaran.
Telah ia coba. Akan tetapi, ternyata panggilan itu begitu kuat.
Keinsafan menghinggapi hari-harinya. Maka, ia mencoba untuk melangkahkan
kaki pulang, menyatakan kelemahan diri dan mengantarkan kepasrahan
jiwa.
Disebutkan oleh Ibnu Hajar, ketika Ikrimah dalam pelarian, di sebuah
bahtera, datanglah badai, lalu orang-orang yang berada dalam bahtera itu
berteriak : "Ikhlaskan niat kalian kepada Allah. Sesungguhnya Tuhan
(berhala) kalian tidak mendatangkan manfaat sedikitpun," sehingga
tenanglah badai itu, lalu ia berkata,"Ya Allah, jika keikhlasan yang
menyelamatkanku di lautan, tentu ia juga yang akan menyelamatkanku di
daratan. Demi Allah, aku berjanji, jika aku selamat dari kejadian ini,
aku akan mendatangi Muhammad, dan aku letakkan tanganku di atas
tangannya.[3]
Itulah satu contoh datangnya hidayah, yang kemudian diraihnya.
Ada lagi, yang dalam mendapatkan hidayah, mereka memperolehnya melalui
pencarian yang cukup melelahkan. Berpindah dari satu ajaran kepada
ajaran lain. Dari agama satu kepada agama lain. Hingga akhirnya, diapun
memperoleh apa yang diinginkan. Contoh yang tepat untuk golongan ini
adalah Salman al Farisi.
Yang juga sangat luar biasa, sebagai bukti kasih-sayang Allah terhadap
hambaNya, yakni golongan yang seolah sudah masuk dalam katagori yang
tidak mungkin ada harapan untuknya. Seakan tidak ada denyut kebenaran
dalam hatinya. Seolah hatinya benar-benar telah mati, lalu rahmat Allah
mendahuluinya, dan iapun memperoleh hidayah. Contoh dari golongan ini
adalah Umar bin Khaththab.
Tentang dirinya diturunkan ayat dalam surat al An`am ayat 122, Allah berfirman.
"Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami
berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat
berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang
keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar
dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang
baik apa yang telah mereka kerjakan" [al-An'am : 122].
Inilah permisalan dari Allah untuk seorang hamba, yang pada mulanya
hatinya terpuruk dalam kesesatan, lalu Allah menghidupkan kembali
hatinya. Yang tadinya gersang, Dia segarkan dengan iman. Allah
memberinya petunjuk untuk mengikuti RasulNya. Dia memasukkannya kepada
Islam, agama penyerahan diri. Saat itu, ia telah mulai mengerti hal-hal
yang bermanfaat dan membahayakan dirinya. Ia pun berusaha untuk
melepaskan diri dari kemurkaan dan hukuman Allah Azza wa Jalla.
Pandangannya mulai mengenal kebenaran, yang sebelumnya ia tidak bisa
melihatnya. Ia sudah mulai belajar, yang sebelumnya ia buta. Dan ia
sudah mulai belajar pula untuk mengikuti syari'at Allah, yang sebelumnya
ia berpaling darinya. Sampailah ia memperoleh cahaya hidayah. Dengan
cahaya itu, ia dapat menggunakannya untuk menerangi perjalanannya kepada
Allah Azza wa Jalla, di tengah kegelapan manusia.[4]
MUARA KEBENARAN
Para ulama mengatakan, semua perbuatan badan, yang lahir darinya
perbuatan baik maupun perbuatan buruk, amal shalih maupun amal thalih,
hakikatnya dikuasai oleh satu komando, yaitu hati atau qalbu. Ibarat
raja, qalbu memiliki kekuasaan terhadap bala tentaranya. Semua tindakan
berada di bawah perintah dan larangannya. Ia dapat menggunakan
sekehendaknya. Semua di bawah kuasa dan penuh pengabdian kepadanya.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ
كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
"Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia
baik, maka baik pula seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusak pula
seluruh tubuh. Ingatlah, itulah hati" [5]
Hidup dan bercahayanya hati, berarti merupakan pertanda jika dirinya
telah memiliki modal untuk meraih segala kebaikan. Begitu pula
sebagaimana mati dan gelapnya hati, itu merupakan pertanda jika ia
memiliki dasar keburukan.
Oleh karenanya, hati yang bisa merengkuh hidayah Allah Azza wa Jalla,
baik ia sendiri yang melangkah, atau hidayah yang mendekatinya, atau
sebab tertentu kemudian Allah k berbuat atas diri hambaNya sesuai dengan
keinginan dan kehendakNya, maka hati yang seperti ini, berarti hati
tersebut masih dalam kategori hidup, dan hati tersebut masih mempunyai
cahaya, meskipun redup.
Dengan hidupnya hati, berarti menunjukkan semua perangkat tubuhnya masih
aktif, baik pendengaran maupun penglihatannya, malu dan jati dirinya.
Begitu pula ia masih memiliki semua akhlak yang mulia, cinta kepada
kebaikan dan rasa benci kepada keburukan.
Hati yang baik, juga ibarat magnit. Semakin kuat kadar magnitnya, maka
akan semakin kuat pula hidayah melekat kepadanya, atau ia sendiri yang
melekat kepada hidayah.
Berbeda dengan hati yang mati. Sedikit demi sedikit telah meninggalkan
unsur magnit, sebab maksiat yang sedang berproses pada hatinya telah
merubahnya menjadi unsur lain, yang tidak lagi dapat menarik hidayah.
Bahkan ia tidak dapat mendeteksi dan mengenalinya sama sekali.
Hati inilah yang menjadi kebahagiaan atau kesengsaraannya di dunia. Hati
jugalah yang membuat akhir kehidupan hamba di dunia ditutup dengan
husnul khatimah atau su-ul khatimah.
Dari 'Abdullah bin Mas`ud, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
فَوَالَّذِي لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ
أَهْلِ الْجَنَّةِ [في رواية - فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ] حَتَّى مَا
يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ
الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ
أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ [في رواية - فِيمَا
يَبْدُو لِلنَّاسِ] حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا
ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
"Dan demi Dzat yang tidak ada yang berhak diibadahi selainNya,
sesungguhnya seseorang beramal dengan amalan penduduk surga [dalam
riwayat lain : yang nampak oleh manusia], sampai tidak ada jarak antara
dia dengan surga, kecuali tinggal satu hasta. Kiranya kitab (taqdir)
telah mendahuluinya. Lalu ia beramal dengan amalan penduduk neraka,
sehingga ia masuk ke dalamnya. Dan seseorang beramal dengan amalan
penduduk neraka [dalam riwayat lain : yang nampak oleh manusia], sampai
tidak ada jarak antara dia dengan neraka, kecuali tinggal satu hasta.
Kiranya kitab (taqdir) telah mendahuluinya. Lalu ia beramal dengan
amalan penduduk surga, sehingga ia masuk ke dalamnya”.[6]
Ibnu Rajab berkata,"(SAbda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam "yang
nampak oleh manusia) ini memberikan adanya petunjuk, bahwa (perkara)
batin tidak sesuai dengan lahirnya. Bahwa su`ul khatimah terjadi karena
tersembunyinya dosa yang tidak terlihat oleh manusia, baik dari sisi
amalan buruk maupun yang lainnya. Sifat yang tersembunyi tersebut
mengantarakannya kepada su`ul khatimah ketika dekat kematian. Begitu
juga seseorang beramal dengan amal penduduk neraka, lalu pada akhir
hidupnya sifat yang tersembunyi itu mengalahkan amalan buruknya, yang
menyebabkannya mendapat husnul khatimah.” [7]
Ibnu Daqiqil 'Id rahimahullah mengatakan, akan tetapi hal seperti ini
jarang terjadi, disebabkan kasih-sayang Allah dan keluasan rahmatNya;
perubahan manusia dari yang buruk kepada yang baik banyak terjadi.
Sedangkan perubahan seseorang dari yang baik kepada yang buruk, sangat
langka ditemukan. Segala puji untukNya atas itu semua. [8]
Ya Allah Azza wa Jalla ! Hiasilah kami dengan hiasan iman. Jadikanlah
kami pemberi petunjuk untuk manusia yang telah Engkau beri hidayah,
tidak sesat dan menyesatkan. Jadikanlah kami untuk tetap mencintai orang
yang mencintai karenaMu.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Parewa adalah bahasa Minang. Yaitu pemuda yang hidupnya bergelimang
dosa dan maksiat, akan tetapi masih memiliki iman dan merasa segan
terhadap orang yang taat beragama.
[2]. HR Bukhari, 6/512; Muslim, no. 2766, dari Sa`ad bin Malik bin Sinan.
[3]. Ash-Shabah, 4/538.
[4]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 2/231 dan Ighatsul Lahfan, Ibnul Qayyim, halaman 26.
[5]. HR Bukhari, 1/126, no. 52; Muslim, 11/57, no. 1599, dari hadits Nu'man bin Basyir.
[6]. HR Bukhari, 6/303, no. 3208, 3332, 6594; Muslim no. 2643.
[7]. Jami` Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab, 1/57.
[8]. Syarh Arba'in an Nawawiyah, Ibnu Daqiqil-'Id, 1/31.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar