MENGENDALIKAN LIDAH
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
NIKMAT LIDAH
Sesungguhnya Allah Ta'ala telah menganugerahkan kepada manusia nikmat
yang sangat banyak dan besar. Di antara nikmat Allah yang terbesar,
setelah nikmat iman dan Islam, ialah nikmat berbicara dengan lidah,
nikmat kemampuan menjelaskan isi hati dan kehendak.
Allah Ta'ala berfirman:
"Allah yang Maha pemurah. Yang telah mengajarkan Al-Qur`an. Dia
menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara". [ar-Rahmân/55:1-4].
Penciptaan manusia dan pengajaran berbicara kepadanya benar-benar
merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah yang besar. Oleh karena
itulah, Allah juga menyebutkan nikmat-Nya tentang penciptaan alat-alat
berbicara bagi manusia.
Allah berfirman:
"Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir". [al-Balad/90:8-9].[1]
LIDAH, SENJATA BERMATA DUA
Meski lidah merupakan nikmat yang besar, namun kita perlu mengetahui,
bahwasanya lidah yang berfungsi untuk berbicara ini seperti senjata
bermata dua. Yaitu dapat digunakan untuk taat kepada Allah, dan juga
dapat digunakan untuk memperturutkan setan.
Jika seorang hamba mempergunakan lidahnya untuk membaca Al-Qur`ân,
berdzikir, berdoa kepada Allah, untuk amar ma'ruf, nahi munkar, atau
untuk lainnya yang berupa ketaatan kepada Allah, maka inilah yang
dituntut dari seorang mukmin, dan ini merupakan perwujudan syukur kepada
Allah terhadap nikmat lidah.
Sebaliknya, jika seseorang mempergunakan lidahnya untuk berdoa kepada
selain Allah, berdusta, bersaksi palsu, melakukan ghibah, namimah,
memecah belah umat Islam, merusak kehormatan seorang muslim, bernyanyi
dengan lagu-lagu maksiat, atau lainnya yang berupa ketaatan kepada
setan, maka ini diharamkan atas seorang mukmin, dan merupakan kekufuran
kepada Allah terhadap nikmat lidah.[2]
Dengan demikian, lidah manusia itu bisa menjadi faktor yang bisa
mengangkat derajat seorang hamba di sisi Allah, namun juga bisa
menyebabkan kecelakaan yang besar bagi pemiliknya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لَا
يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ وَإِنَّ
الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لَا يُلْقِي
لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ
"Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu
kalimat yang termasuk keridhaan Allah, dia tidak menganggapnya penting;
dengan sebab satu kalimat itu Allah menaikkannya beberapa derajat. Dan
sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat
yang termasuk kemurkaan Allah, dia tidak menganggapnya penting; dengan
sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka Jahannam". [HR
al-Bukhâri, no. 6478].
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqalani rahimahullah menjelaskan makna "dia
tidak menganggapnya penting", yaitu dia tidak memperhatikan dengan
fikirannya dan tidak memikirkan akibat perkataannya, serta tidak menduga
bahwa kalimat itu akan mempengaruhi sesuatu. [Lihat Fat-hul-Bâri,
penjelasan hadits no. 6478]
BENCANA LIDAH
Secara umum, bencana yang ditimbulkan oleh lidah ada dua. Yaitu
berbicara batil (kerusakan, sia-sia), dan diam dari al-haq yang wajib
diucapkan.
Abu 'Ali ad-Daqqâq rahimahullah (wafat 412 H) berkata:
الْمُتَكَلِّمُ بِالْبَاطِلِ شَيْطَانٌ نَاطِقٌ وَالسَّاكِتُ عَنِ الْحَقِّ شَيْطَانٌ أَخْرَسُ
"Orang yang berbicara dengan kebatilan adalah setan yang berbicara,
sedangkan orang yang diam dari kebenaran adalah setan yang bisu.[3]
Orang yang berbicara dengan kebatilan ialah setan yang berbicara, ia
bermaksiat kepada Allah Ta'ala. Sedangkan orang yang diam dari kebenaran
ialah setan yang bisu, ia juga bermaksiat kepada Allah Ta'ala. Seperti
seseorang yang bertemu dengan orang fasik, terang-terangan melakukan
kemaksiatan di hadapannya, dia berkata lembut, tanpa mengingkarinya,
walau di dalam hati. Atau melihat kemungkaran, dan dia mampu merubahnya,
namun dia membisu karena menjaga kehormatan pelakunya, atau orang lain,
atau karena tak peduli terhadap agama.
Kebanyakan manusia, ketika berbicara ataupun diam, ia menyimpang dengan
dua jenis bencana lidah sebagaimana di atas. Sedangkan orang yang
beruntung, yaitu orang yang menahan lidahnya dari kebatilan dan
menggunakannya untuk perkara bermanfaat.
Bencana lidah termasuk bagian dari bencana-bencana yang berbahaya bagi
manusia. Bencana lidah itu bisa mengenai pribadi, masyarakat, atau umat
Islam secara keseluruhan.
Termasuk perkara yang mengherankan, ada seseorang yang mudah menjaga
diri dari makanan haram, berbuat zhalim kepada orang lain, berzina,
mencuri, minum khamr, melihat wanita yang tidak halal dilihat, dan
lainnya, namun dia seakan sulit menjaga diri dari gerakan lidahnya.
Sehingga terkadang seseorang yang dikenal dengan agamanya, zuhudnya, dan
ibadahnya, namun ia mengucapkan kalimat-kalimat yang menimbulkan
kemurkaan Allah, dan ia tidak memperhatikannya. Padahal hanya dengan
satu kalimat itu saja, dapat menyebabkan dirinya bisa terjerumus ke
dalam neraka melebihi jarak timur dan barat. Atau ia tersungkur di dalam
neraka selama tujuh puluh tahun.[4]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لَا يَرَى بِهَا بَأْسًا يَهْوِي بِهَا سَبْعِينَ خَرِيفًا فِي النَّارِ
"Sesungguhnya ada seseorang yang berbicara dengan satu kalimat, ia tidak
menganggapnya berbahaya; dengan sebab satu kalimat itu ia terjungkal
selama 70 tahun di dalam neraka".[5]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwasanya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ
أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
"Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu
kalimat yang ia tidak mengetahui secara jelas maksud yang ada di dalam
kalimat itu, namun dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam
neraka lebih jauh dari antara timur dan barat". [HR Muslim, no. 2988].
Alangkah banyak manusia yang menjaga diri dari perbuatan keji dan
maksiat, namun lidahnya memotong dan menyembelih kehormatan orang-orang
yang masih hidup atau yang sudah meninggal. Dia tidak peduli dengan apa
yang sedang ia ucapkan. Lâ haula wa lâ quwwata illa
bilâhil-'aliyyil-'azhîm.
Sebagai contoh, ialah sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di bawah ini:
عَنْ جُنْدَبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ حَدَّثَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ
وَاللَّهِ لَا يَغْفِرُ اللَّهُ لِفُلَانٍ وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ
مَنْ ذَا الَّذِي يَتَأَلَّى عَلَيَّ أَنْ لَا أَغْفِرَ لِفُلَانٍ فَإِنِّي
قَدْ غَفَرْتُ لِفُلَانٍ وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ أَوْ كَمَا قَالَ
"Dari Jundab, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menceritakan ada seorang laki-laki berkata: "Demi Allah, Allah tidak
akan mengampuni Si Fulan!" Kemudian sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman:
"Siapakah yang bersumpah atas nama-Ku, bahwa Aku tidak akan mengampuni
Si Fulan, sesungguhnya Aku telah mengampuni Si Fulan, dan Aku
menggugurkan amalmu". Atau seperti yang disabdakan Nabi". [HR Muslim,
no. 2621].
Oleh karena bahaya lidah yang demikian itulah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhawatirkan umatnya.
عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِيِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ حَدِّثْنِي بِأَمْرٍ أَعْتَصِمُ بِهِ قَالَ قُلْ رَبِّيَ اللَّهُ
ثُمَّ اسْتَقِمْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَخْوَفُ مَا تَخَافُ
عَلَيَّ فَأَخَذَ بِلِسَانِ نَفْسِهِ ثُمَّ قَالَ هَذَا
"Dari Sufyan bin 'Abdullah ats-Tsaqafi, ia berkata: "Aku berkata, wahai
Rasulullah, katakan kepadaku dengan satu perkara yang aku akan berpegang
dengannya!" Beliau menjawab: "Katakanlah, 'Rabbku adalah Allah', lalu
istiqomahlah". Aku berkata: "Wahai Rasulullah, apakah yang paling anda
khawatirkan atasku?". Beliau memegang lidah beliau sendiri, lalu
bersabda: "Ini".[6]
Syaikh Husain al-'Awaisyah berkata: "Sesungguhnya sekarang ini, sesuatu
yang manusia merasa amat tenteram terhadapnya ialah lidah mereka,
padahal lidah yang paling dikhawatirkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam atas umatnya. Dan yang nampak, lidah itu seolah-olah pabrik
keburukan, tidak pernah lelah dan bosan".[7]
MENJAGA LIDAH
Menjaga lidah disebut juga hifzhul-lisân. Lidah itu sendiri merupakan
anggota badan yang benar-benar perlu dijaga dan dikendalikan. Lidah
memiliki fungsi sebagai penerjemah dan pengungkap isi hati. Oleh karena
itu, setelah Nabi n memerintahkan seseorang beristiqomah, kemudian
mewasiatkan pula untuk menjaga lisan. Keterjagaan dan lurusnya lidah
sangat berkaitan dengan kelurusan hati dan keimanan seseorang.
Di dalam Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Mâlik , dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda.
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا
يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ
الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
"Iman seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga hatinya istiqomah.
Dan hati seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga lisannya
istiqomah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari
kejahatan-kejahatannya, ia tidak akan masuk surga". [8]
Dalam hadits Tirmidzi (no. 2407) dari Abu Sa'id al-Khudri, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ
اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنْ
اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
"Jika anak Adam memasuki pagi hari, sesungguhnya semua anggota badannya
berkata merendah kepada lisan: "Takwalah kepada Allah dalam menjaga
hak-hak kami. Sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Jika engkau
istiqomah, maka kami juga istiqomah. Jika engkau menyimpang (dari jalan
petunjuk), kami juga menyimpang".[9]
Oleh karena itu, seorang mukmin hendaklah menjaga lidahnya. Apa jaminan
bagi seseorang yang menjaga lidahnya dengan baik? Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
"Barang siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya
dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga
baginya".[10]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga menjelaskan, menjaga lidah merupakan keselamatan.
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا
النَّجَاةُ قَالَ أَمْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ
وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ
"Dari 'Uqbah bin 'Aamir, ia berkata: "Aku bertanya, wahai Rasulallah,
apakah sebab keselamatan?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab: "Kuasailah lidahmu, rumah yang luas bagimu, dan tangisilah
kesalahanmu". [HR. Tirmidzi, no. 2406].
Maksudnya, janganlah berbicara kecuali dengan perkara yang membawa
kebaikan, betahlah tinggal di dalam rumah dengan melakukan
ketaatan-ketaatan, dan hendaklah menyesali kesalahan-kesalahan dengan
cara menangis.[11]
Imam an-Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) berkata: "Ketahuilah,
seharusnya setiap mukallaf (orang yang berakal dan baligh) menjaga
lidahnya dari seluruh perkataan, kecuali perkataan yang jelas maslahat
padanya. Ketika berbicara atau meninggalkannya itu sama maslahatnya,
maka menurut Sunnah adalah menahan diri darinya. Karena perkataan mubah
bisa menyeret kepada perkataan yang haram, atau makruh. Kebiasaan ini,
bahkan banyak dilakukan. Sedangkan keselamatan itu tidak ada
bandingannya.
Diriwayatkan dalam Shahîhain, al-Bukhaari (no. 6475) dan Muslim (no.
47), dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam, ia bersabda.
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
"Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam".
Hadits yang disepakati keshahîhannya ini merupakan nash yang jelas.
Hendaklah seseorang tidak berbicara kecuali jika perkataan itu merupakan
kebaikan, yaitu yang nampak maslahatnya. Jika ia ragu-ragu tentang
timbulnya maslahatnya, maka hendaklah ia tidak berbicara.
Imam asy-Syafi'i berkata: "Jika seseorang menghendaki berbicara, maka
sebelum berbicara hendaklah ia berfiikir; jika jelas nampak maslahatnya,
maka ia berbicara; dan jika ragu-ragu, maka tidak berbicara sampai
jelas maslahatnya".[12]
Selain itu, lidah merupakan alat yang berguna untuk mengungkapkan isi
hati. Jika ingin mengetahui isi hati seseorang, maka perhatikanlah
gerakan lidahnya, isi pembicaraannya, dan hal itu akan menunjukkan isi
hatinya, baik orang tersebut mau maupun enggan.
Diriwayatkan bahwasanya Yahya bin Mu'adz berkata: "Hati itu seperti
periuk dengan isinya yang mendidih. Sedangkan lidah itu adalah
gayungnya. Maka perhatikanlah ketika seseorang berbicara. Karena
sesungguhnya, lidahnya itu akan mengambilkan untukmu apa yang ada di
dalam hatinya, manis, pahit, tawar, asin, dan lainnya. Pengambilan
lidahnya akan menjelaskan kepadamu rasa hatinya".[13]
PERKATAAN PARA SALAF TENTANG MENJAGA LISAN
Sungguh, dahulu para salaf terbiasa menjaga dan menghisab lidahnya
dengan baik. Dari mereka telah diriwayatkan banyak perkataan bagus yang
berkaitan dengan lidah. Berikut ini ialah sebagian dari pembicaraan
mereka, sehingga kita dapat memetik manfaat darinya.
Diriwayatkan, bahwasanya 'Umar bin al-Khaththab berkata: "Barang siapa
banyak pembicaraannya, banyak pula tergelincirnya. Dan barang siapa
banyak tergelincirnya, banyak pula dosanya. Dan barang siapa banyak
dosa-dosanya, neraka lebih pantas baginya".[14]
Diriwayatkan, bahwasanya Ibnu Mas'ud pernah bersumpah dengan nama Allah,
lalu berkata: "Tidak ada di muka bumi ini sesuatu yang lebih pantas
terhadap lamanya penjara daripada lidah! Di muka bumi ini, tidak ada
sesuatu yang lebih pantas menerima lamanya penjara daripada lidah".[15]
Diriwayatkan bahwasanya Ibnu Mas'ud berkata: "Jauhilah fudhûlul-kalam
(pembicaraan yang melebihi keperluan). Cukup bagi seseorang berbicara,
menyampaikan sesuai kebutuhannya".[16]
Syaqiq berkata: 'Abdullah bin Mas'ud bertalbiyah di atas bukit Shafa,
kemudian berseru: "Wahai lidah, katakanlah kebaikan, niscaya engkau
mendapatkan keberuntungan. Diamlah, niscaya engkau selamat, sebelum
engkau menyesal".
Orang-orang bertanya: "Wahai Abu 'Abdurrahman, apakah ini suatu perkataan yang engkau ucapkan sendiri, atau engkau dengar?"
Dia menjawab, "Tidak, bahkan aku telah mendengar Rasulallah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
أَكْثَرُ خَطَايَا إِبْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ
"(kebanyakan kesalahan anak Adam ialah pada lidahnya)". [17]
Diriwayatkan, bahwasanya Ibnu Buraidah berkata: "Aku melihat Ibnu 'Abbas
memegangi lidahnya sambil berkata, 'Celaka engkau, katakanlah kebaikan,
engkau mendapatkan keberuntungan. Diamlah dari keburukan, niscaya
engkau selamat. Jika tidak, ketahuilah bahwa engkau akan menyesal'."[18]
Diriwayatkan, bahwasanya an-Nakha`i berkata: "Manusia binasa pada
fudhûlul-mâl (harta yang melebihi kebutuhan) dan fudhûlul-kalam
(pembicaraan yang melebihi keperluan)".[19]
Diriwayatkan, bahwasanya ada seseorang yang bermimpi bertemu dengan
seorang 'alim besar. Kemudian orang 'alim itu ditanya tentang
keadaannya, dia menjawab: "Aku diperiksa tentang satu kalimat yang
dahulu aku ucapkan. Yaitu, dahulu aku pernah mengatakan, 'manusia sangat
membutuhkan hujan'." Aku ditanya: "Tahukah engkau bahwa Aku (Allah)
lebih mengetahui terhadap maslahat hamba-hamba-Ku?"[20]
Diriwayatkan, bahwasanya seorang Salaf berkata: "Seorang mukmin itu
ialah menyedikitkan perkataan dan memperbanyak amal. Adapun orang
munafik, ia memperbanyak perkataan dan menyedikitkan amal".
Diriwayatkan, bahwasanya seorang Salaf berkata: "Selama aku belum
berbicara dengan satu kalimat, maka aku manguasainya. Namun jika aku
telah mengucapkannya, maka kalimat itu menguasaiku".
Diriwayatkan, bahwasanya seorang Salaf berkata: "Diam adalah ibadah
tanpa kelelahan, keindahan tanpa perhiasan, kewibawaan tanpa kekuasaan.
Anda tidak perlu beralasan karenanya, dan dengannya aibmu
tertutupi".[21]
Kesimpulannya, kita diperintah untuk berbicara yang baik dan diam dari
keburukan. Jika berbicara, hendaklah sesuai dengan keperluannya.
Wallahul-Musta'an.
Mashâdir:
1. Âfâtul-Lisân fî Dhau`il Kitab was-Sunnah, Dr. Sa'id bin 'Ali bin Wahf al-Qahthani.
2. Al-Adzkâr, Imam an-Nawawi, Tahqîq dan Takhrîj: Syaikh Salim
al-Hilâli, Penerbit Dar Ibni Hazm, Cetakan Kedua, Tahun 1425H/2004M.
3. Hashâ`idul-Alsun, Syaikh Husain al-'Awaisyah, Penerbit Darul-Hijrah.
4. Jami’ul ‘Ulum wal-Hikam, Imam Ibnu Rajab, dengan penelitian Syu’aib
al-Arnauth dan Ibrâhîm Bajis, Penerbit ar-Risalah, Cetakan kelima, Tahun
1414H/1994M.
5. Dan lain-lain.
[https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
________
Footnote
[1]. Tafsir Adh-wâ`ul Bayân, karya Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi. Lihat surat ar-Rahmân, 55/3-4.
[2]. Âfâtul-Lisân fî Dhau`il Kitab was-Sunnah, Dr. Sa'id bin 'Ali bin Wahf al-Qahthani, hlm. 4-5, 159-160.
[3]. Disebutkan oleh Ibnul-Qayyim dalam ad-Dâ` wad-Dawâ`, Tahqîq: Syaikh
'Ali bin Hasan al-Halabi, Penerbit Dar Ibnil-Jauzi, hlm. 155.
[4]. Âfâtul-Lisân fî Dhau`il Kitab was-Sunnah, hlm, 5-6, 163.
[5]. HR at-Tirmidzi, no. 2314. Ibnu Majah, no. 3970. Ahmad, 2/355, 533.
Ibnu Hibban, no. 5706. Syaikh al-Albâni menyatakan: "Hasan shahîh".
[6]. HR Tirmidzi, no. 2410. Ibnu Majah, no. 3972. Dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani.
[7]. Hashâ`idul-Alsun, Penerbit Darul-Hijrah, hlm. 15.
[8]. HR Ahmad, no. 12636, dihasankan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun-Nazhirin, 3/13.
[9]. HR Tirmidzi, no. 2407, dihasankan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam
Bahjatun-Nazhirin, 3/17, no. 1521. Lihat pula Jami'ul 'Ulûm wal-Hikam,
1/511-512.
[10]. HR Bukhâri, no. 6474. Tirmidzi, no. 2408. Dan lafazh ini milik al-Bukhâri.
[11]. Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi.
[12]. Al-Adzkâr, Imam an-Nawawi. Tahqîq dan Takhrîj: Syaikh Salim
al-Hilâli, Penerbit Dar Ibni Hazm, Cet. 2, Th. 1425H/2004M, 2/713-714.
[13]. Hilyatul-Au'iyâ`, 10/63. Dinukil dari Âfâtul-Lisân fî Dhau`il Kitab was-Sunnah, hlm, 159.
[14]. Riwayat al-Qudha`i dalam Musnad asy-Syihab, no. 374. Ibnu Hibban
dalam Raudhatul-'Uqala`, hlm. 44. Dinukil dari Jami’ul ‘Ulûm wal Hikam,
Juz 1, hlm. 339.
[15]. Riwayat Ibnu Hibban dalam Raudhatul-'Uqala`, hlm. 48. Dinukil dari Jami’ul ‘Ulûm wal Hikam, Juz 1, hlm. 340.
[16]. Jami’ul ‘Ulûm wal Hikam, Juz 1, hlm. 339.
[17]. HR Thabrani, Ibnu 'Asakir, dan lainnya. Lihat Silsilah ash-Shahîhah, no. 534.
[18]. Âfâtul-Lisân fî Dhau`il Kitab was-Sunnah, hlm. 161.
[19]. Jami’ul ‘Ulûm wal Hikam, Juz 1, hlm. 339.
[20]. Âfâtul-Lisân fî Dhau`il Kitab was-Sunnah, hlm. 160-161.
[21]. Hashâ`idul-Alsun, hlm. 175-176.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar