MACAM-MACAM TAWAKKAL
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Dilihat dari orang yang bertawakkal, tawakkal terbagi menjadi dua macam,
yaitu: tawakkal kepada Allah Ta’ala dan tawakkal kepada selain Dia. Dan
pada masing-masing bagian ini terdapat beberapa macam tawakkal.
Pertama: Tawakkal Kepada Allah Ta’ala
Sesuai dengan obyeknya, tawakkal ini terbagi menjadi empat macam:
1. Tawakkal kepada Allah Ta’ala dalam meluruskan diri, mengarahkannya,
memurnikan tauhid, dan berpegang teguh pada ajaran agama-Nya secara
lahir maupun bathin, tanpa berusaha memberikan pengaruh pada orang lain.
Dengan pengertian tawakkal kepada Allah dalam memperbaiki diri sendiri
tanpa melihat orang lain.
2. Tawakkal kepada Allah dalam meluruskan diri, seperti poin pertama,
ditambah dengan tawakkal kepada-Nya dalam menegakkan agama Allah di muka
bumi dan mencegah kerusakan, memberantas bid’ah, dan memerangi
orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Juga memberikan perhatian
terhadap kemaslahatan kaum muslimin, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar,
memberikan pengaruh kepada orang lain sehingga dia benar-benar
menyembah Allah semata. Dan inilah tawakkal para Nabi dan para ulama
pewaris mereka. Ini pula merupakan macam tawakkal yang paling agung
sekaligus paling bermanfaat. [1]
Al-‘Allamah Ibnu as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Dan ketahuilah bahwa
tawakkal para Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan tuntutan
paling tinggi sekaligus tingkatan paling mulia. Dan itulah tawakkal
kepada Allah dalam menegakkan dan menolong agama-Nya, memberi petunjuk
kepada hamba-hamba-Nya, dan menyingkirkan kesesatan dari mereka. Yang
demikian itu merupakan tawakkal yang paling sempurna.”[2]
Dengan demikian, tawakkal yang paling afdhal adalah tawakkal dalam hal
yang wajib. Yang saya (penulis) maksudkan adalah kewajiban dalam
menegakkan kebenaran dan kewajiban sesama makhluk, kewajiban pada diri
sendiri. Dan yang paling luas serta paling bermanfaat, yaitu tawakkal
dalam memberikan pengaruh kepada orang lain demi kemaslahatan agama atau
mencegah kerusakan agama. Dan itulah tawakkal para Nabi dalam
menegakkan agama Allah dan mencegah kerusakan yang dilancarkan
orang-orang yang suka berbuat kerusakan. Dan ini pula tawakkal para
pewaris mereka (ulama).[3]
3. Tawakkal kepada Allah dalam memenuhi kebutuhan seorang hamba dan
bagiannya yang bersifat duniawi, atau mencegah hal-hal yang tidak
disukainya dan juga berbagai musibah duniawi, seperti orang yang
bertawakkal dalam meraih rizki atau kesehatan atau istri atau anak atau
pertolongan dalam melawan musuh dan lain sebagainya. Tawakkal ini akan
memberikan kecukupan kepadanya di dunia maupun di akhirat atas apa yang
dia bertawakkal kepada Allah, kecuali jika dia berniat meminta
pertolongan dengan hal itu untuk menaati Allah Azza wa Jalla.
Al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Antara kedua macam
tawakkal -yakni, macam yang kedua dan ketiga- terdapat keutamaan yang
tidak diketahui jumlahnya, kecuali oleh Allah saja. Oleh karena itu,
jika seorang hamba bertawakkal kepada-Nya dengan tawakkal kedua dengan
sebenar-benarnya, maka Allah akan memberikan kecukupan yang
secukup-cukupnya pada tawakkal macam ketiga. Dan jika seorang hamba
bertawakkal kepada Allah dengan tawakkal macam ketiga, maka dia juga
akan diberikan kecukupan pula, tetapi dia tidak akan mendapatkan akibat
dari obyek yang ditawakkalinya pada apa yang dicintai dan
diridhai-Nya.”[4]
4. Tawakkal kepada Allah dalam melakukan sesuatu yang haram atau menolak apa yang diperintahkan.
Ada orang yang bertawakkal kepada Allah dalam berbuat dosa dan melakukan
perbuatan keji. Pada umumnya, orang-orang yang memiliki tujuan seperti
ini tidak akan dapat melakukannya, kecuali dengan meminta pertolongan
kepada Allah dan bertawakkal kepada-Nya. Bahkan bisa jadi tawakkal
mereka lebih kuat daripada tawakkal kebanyakan orang-orang yang berbuat
ketaatan. Oleh karena itu, mereka telah mencampakkan diri mereka ke
dalam kehancuran dan kebinasaan sambil bersandar kepada Allah agar Dia
menyelamatkan mereka serta mewujudkan tuntutan mereka.[5]
Dengan demikian, seringkali keinginan mereka itu terkabulkan, tetapi
mereka berbuat dosa sehingga mereka akan mendapatkan balasan di akhirat
kelak. Tawakkal macam ini tampak jelas pada orang-orang yang kemaksiatan
mereka bersumber dari penafsiran yang salah atau syubhat yang
menyesatkan. Termasuk di dalamnya keadaan banyak orang dari orang-orang
yang berorientasi menyimpang, orang-orang yang melakukan tindakan yang
bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Mereka banyak
memberikan perhatian terhadap masalah ini, bahkan tidak sedikit dari
mereka yang meminta tolong kepada Allah dalam melakukannya. Tetapi,
karena hal itu tidak sejalan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya,
sehingga mereka mendapatkan balasan yang disegerakan dan mereka
mendapatkan akhir (akibat) yang buruk.[6] Kita berlindung kepada Allah
dari kehinaan.
Demikianlah pembagian tawakkal kepada Allah ditinjau dari obyeknya. Dan
tidak diragukan lagi bahwa tawakkal yang paling baik, paling sempurna,
dan paling penting adalah tawakkal macam kedua, yang tercakup di
dalamnya tawakkal macam pertama, kemudian yang ketiga. Dan yang paling
buruk adalah tawakkal macam terakhir. Kita berlindung kepada Allah
darinya.
Kemudian banyak dari orang-orang yang bertawakkal tertipu dalam
tawakkalnya, meskipun dia telah benar-benar bertawakkal kepada Allah
Ta’ala, seperti orang yang mengarahkan tawakkalnya itu kepada keadaan
parsial, yang padanya dia mengerahkan seluruh kekuatan tawakkalnya,
padahal ada kemungkinan baginya untuk melakukannya dengan mudah. Dan
mengkonsentrasikan hatinya hanya untuk tawakkal dalam menambah iman dan
ilmu serta menegakkan agama. Dan memberi pengaruh terhadap alam adalah
lebih baik. Dan ini merupakan tawakkal orang yang lemah yang memiliki
kemauan sangat rendah, sebagaimana sebagian mereka memalingkan kemauan,
tawakkal, dan do’anya pada sakit yang mungkin diobati dengan sesuatu
yang sangat ringan, atau rasa lapar yang mungkin dihilangkan dengan
setengah potong roti atau setengah dirham. Sementara dia tidak mau
berpaling kepada pembelaan terhadap agama dan pemberantasan terhadap
segala bentuk bid’ah, menambah keimanan, dan kepedulian terhadap
kepentingan kaum muslimin. Wallaahu a’lam.[7]
Dengan demikian, umat manusia ini terdiri dari berbagai macam orang yang
berbeda-beda. Mereka banyak yang tertipu, bahkan mereka ada yang
tertipu dalam bertawakkal, menyangkut berbagai kepentingan duniawi
sesuai dengan kemauan dan tujuan mereka. Oleh karena itu, ada orang yang
bertawakkal kepada Allah dalam mencapai kekuasaan dan ada juga orang
yang bertawakkal dalam rangka memperoleh sepotong roti.[8]
Jika demikian keadaannya, maka yang wajib dilakukan oleh seorang yang
berakal adalah tidak menyibukkan diri dan hatinya, kecuali dalam hal-hal
yang lebih sempurna dan lebih baik, yaitu tawakkal kepada Allah Ta’ala
dalam memperoleh apa yang dicintai dan diridhai-Nya, sebagaimana yang
diungkapkan oleh seorang penyair:
وَإِذَا عَلِـمْتَ بِـأَنَّهُ مُتَفَاضِلٌ فَاشْغَلْ فُؤَادَكَ بِالَّذِي هُوَ أَفْضَلُ
Dan jika engkau mengetahui bahwa ia [9] begitu berharga,
maka sibukkanlah hati nuranimu dengan hal yang lebih utama.
Kedua: Tawakkal Kepada Selain Allah Ta’ala
Tawakkal macam ini terbagi menjadi dua bagian:
1. Tawakkal Syirki (syirik), yang ia terbagi lagi menjadi dua macam:
a). Tawakkal kepada selain Allah Ta’ala dalam urusan yang tidak ada
seorang pun mampu mengerjakannya, kecuali Allah Azza wa Jalla, seperti
orang-orang yang bertawakkal kepada orang-orang yang sudah meninggal
dunia dan para thaghut dalam mengharapkan tuntutan mereka, berupa
pertolongan, penjagaan, rizki, dan syafa’at. Yang demikian itu merupakan
syirik terbesar. Sesungguhnya hal-hal seperti ini dan yang semisalnya
tidak ada yang dapat melakukannya, kecuali hanya Allah Tabaraka wa
Ta'ala.[10]
Tawakkal macam ini disebut sebagai tawakkal sirri, karena tawakkal ini
tidak dilakukan, kecuali oleh orang yang meyakini bahwa orang yang
meninggal ini memiliki kemampuan berbuat secara rahasia di alam ini.
Tidak ada perbedaan antara Nabi, wali maupun thaghut yang menjadi musuh
Allah Ta’ala. [11]
b). Tawakkal kepada selain Allah dalam hal-hal yang mampu untuk
dikerjakan -berdasarkan perkiraan- orang yang bertawakkal kepadanya. Dan
ini merupakan syirik kecil.[12]
Seperti, tawakkal dalam sebab yang tampak lagi biasa. Misalnya orang
yang bertawakkal pada penguasa atau pemerintah dalam hal-hal yang Allah
telah berikan kepadanya, baik itu berupa rizki, penolakan gangguan, dan
yang lain-lainnya. Yang demikian ini termasuk syirik khafi
(tersembunyi).[13]
Oleh karena itu, dikatakan, menolehnya hati kepada sebab-sebab merupakan
perbuatan syirik dalam tauhid, karena kuatnya ketergantungan dan
sandaran hati padanya.
Yang demikian itu, karena hati tidak akan bertawakkal, kecuali pada
pihak yang diharapkannya. Oleh karena itu, barangsiapa berharap kepada
kekuatan, perbuatan, ilmu, keadaan, teman, kerabat, syaikh, kekuasaan
atau hartanya, tanpa melihat kepada Allah Ta’ala, maka di dalamnya
terkandung semacam tawakkal karena ada sebab (sarana) tersebut. Tidaklah
seseorang berharap kepada makhluk atau bertawakkal kepadanya, melainkan
dia akan mendapatkan kegagalan, maka sesungguhnya ia termasuk
syirik.[14]
Allah Ta’ala telah berfirman:
وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ
فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ
“Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia
seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau
diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” [Al-Hajj: 31]
Syaqiq al-Balakhi mengatakan, “Setiap orang memiliki maqam (kedudukan),
di mana dia bisa bertawakkal pada hartanya, dirinya sendiri, lidahnya,
pada pedangnya, atau kekuasaannya, dan juga kepada Allah Azza wa Jalla.
Adapun orang yang bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, maka dia telah
mendapatkan ketenangan. Yang dengannya, Allah akan meninggikan
kedudukannya. Allah Ta’ala berfirman:
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوتُ
‘Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati...’ [Al-Furqaan: 58]
Sedangkan orang yang merasa tenang kepada selain Allah, maka
dikhawatirkan ia akan terputus dari-Nya sehingga dia akan hidup
sengsara.” [15]
Tetapi, jika dia mengambilnya dengan anggapan ia sebagai sarana,
sedangkan Allah Ta’ala yang menetapkan semuanya pada dirinya, maka yang
demikian itu tidak ada masalah, jika apa yang ditawakkali itu memiliki
pengaruh yang baik dalam pencapaiannya.
2. Wakalah (mewakilkan) yang dibolehkan.
Yang dimaksudkan di sini adalah seseorang yang mewakilkan kepada orang
lain untuk mengerjakan sesuatu yang mampu untuk dikerjakan, sehingga
dengan demikian itu akan dicapai apa yang diinginkan.
Wakalah di sini berarti penyerahan dan pemeliharaan. Misalnya, Anda
katakan, “وَكَّلْتُ فُلاَناً” (jika Anda memintanya untuk menjaganya).
Dan “وَوَكَّلْتُ اْلأَمْرَ إِلَيْهِ” (jika Anda menyerahkan urusan
kepadanya).
Dan menurut syari’at, wakalah berarti seseorang memberikan kekuasaan
kepada orang lain untuk menggantikan dirinya secara mutlak atau
terbatas. [16]
Wakalah dalam bentuk seperti ini, dibolehkan oleh al-Kitab, as-Sunnah
maupun ijma’. [17] Allah Ta’ala telah berfirman melalui lisan Ya’qub
Alaihissallam yang berbicara kepada anak-anaknya:
يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya...” [Yuusuf: 87]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mewakilkan kepada para pekerja dan penjaga.
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu telah berkata,
وَكَّلَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ...
“Rasulullah n pernah menjadikan diriku sebagai wakil untuk menjaga zakat di bulan Ramadhan…” [18]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mewakilkan dalam
menetapkan hukuman hadd dan pemberlakuannya, sebagaimana yang disebutkan
di dalam hadits Unais. ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu juga
pernah menjadi wakil Rasul di dalam penyembelihan hewan kurban beliau
pada waktu haji Wada’ untuk menyedekahkan kulit dan sebagian besarnya.
Dan memerintahkan untuk menyembelih seratus hewan kurban yang masih
tersisa setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih
enam puluh tiga ekor dengan tangan beliau sendiri.
Penjelasan rinci mengenai wakalah ini terdapat di dalam kitab-kitab fiqih.[19]
Tetapi, dia tidak boleh bertawakkal padanya, meskipun dia telah
mewakilkan kepadanya. Melainkan, dia harus bersandar kepada Allah Ta’ala
untuk mempermudah apa yang diwakilkan kepada orang lain itu. [20]
Sebab, seorang makhluk tidak akan dapat menanggung semua kebutuhan hamba
dan tidak pula mampu memenuhi semua kebutuhannya, juga tidak kuasa
untuk melakukan sesuatu untuk orang yang mewakilkan kepadanya, kecuali
atas kehendak dan kuasa Allah Azza wa Jalla. [21]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Lihat kitab Ma’aalim at-Tauhiid, hal. 80.
[2]. Kitab Taisiir al-Kariim ar-Rahmaan (III/11).
[3]. Kitab Madaarijus Saalikiin (II/114).
[4]. Kitab al-Fawaa-id, hal. 71.
[5]. Kitab Madaarijus Saalikiin (II/113-114).
[6]. Kitab Majmuu’ al-Fataawaa (X/276). Dan lihat penjelasan rinci mengenai hal itu di dalam juz XIII, hal. 324 dan setelahnya.
[7]. Kitab Madaarijus Saalikiin (II/125-126).
[8]. Kitab Madaarijus Saalikiin (II/113).
[9]. Yang dimaksudkan oleh penyair di sini adalah ilmu dan bukan tawakkal.
[10]. Kitab Taisiir al-‘Aziiz al-Hamiid, hal. 497-498.
[11]. Kitab Majmuu’ Fatawaa wa Rasaa-il asy-Syaikh Ibnu al-‘Utsaimin (VI/54).
[12]. Kitab Taisiir al-‘Aziiz al-Hamiid, hal. 40.
[13]. Kitab Taisiir al-‘Aziiz al-Hamiid, hal. 498.
[14]. Kitab Majmuu’ al-Fataawaa (X/257), karya Syaikhul Islam.
[15]. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam kitab asy-Syu’ab, hadits
nomor 1297 (II/105). Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah (VIII/61).
[16]. Kitab Fat-hul Baari (IV/559, V/201).
[17]. Lihat Kitab al-Mughni wa asy-Syarhul Kabiir (V/210).
[18]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Kitab al-Wakalah, bab Idzaa
Wakala Rajulan fataraka al-Wakiil Syai-an, Fa Ajaazahu al-Muwakkil
fahuwa Jaa-izun, hadits nomor 2311 (Fat-hul Baari (IV/568)).
[19]. Bab al-Wakalah.
[20]. Risalah Tahqiq at-Tawakkul, hal. 89, yang tercakup di dalam kitab Jaami’ ar-Rasaa-il, karya Syaikhul Islam.
[21]. Ibid, hal. 89.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar