MEREALISASIKAN MAKNA IBADAH
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
Pengantar
Seseorang akan hidup penuh makna apabila jiwanya bersih. Maka
beruntunglah orang yang senantiasa membersihkan jiwanya. Tidak hanya di
dunia, bahkan di akhirat. Allah Subhanhu wa Ta'ala berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا، وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
"Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotori jiwanya". [asy Syams/91 : 9,10]
Dalam rangka mensucikan jiwa tersebut, satu-satunya jalan yang harus
ditempuh, yaitu beribadah kepada Allah dengan ikhlas tanpa syirik, dan
dengan mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa
melakukan bid'ah. Bagaimanakah sebenarnya hakikat ibadah yang
diharapkan dengan memahaminya –bi idznillah- akan dapat membantu
terwujudnya kesucian jiwa?
Syaikh Salim bin Id al Hilali dalam kitabnya, Madarij al Ubudiyah min
Hadyi Khairil Bariyyah memaparkan jawabannya pada salah satu sub,
berjudul Haqiqat al Ubudiyyah, pada halaman 13 - 20. Kitab yang
diterbitkan oleh Daar ash Shumai'iy, Riyadh, KSA, Cet. II, 1424 H/2003
M. Diterjemahkan oleh Ahmas Faiz Asifuddin dengan bahasa bebas.
Berikut ini adalah pemaparan beliau yang menukil dari perkataan Syaikhul
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya, al Ubudiyyah. Semoga bermanfaat.
(Redaksi).
___________________________________________________
Ibadah ialah ungkapan yang mencakup segala apa yang dicintai Allah dan
diridhaiNya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, batin maupun lahir.
Shalat, zakat, shiyam (puasa), haji, benar dalam berkata, menunaikan
amanat, berbuat baik kepada dua orang tua, memenuhi janji, amar
ma'ruf-nahi mungkar, jihad melawan orang-orang kafir serta orang-orang
munafik, berbuat kebajikan kepada tetangga, anak yatim, orang miskin,
ibnu sabil (orang yang tengah dalam perjalanan), dan kepada harta milik;
baik berbentuk manusia maupun hewan ternak, juga berdoa, berdzikir,
membaca al Qur`an dan kegiatan-kegiatan lain yang semisal, adalah
termasuk ibadah.
Begitu juga mencintai Allah dan RasulNya, takut kepada Allah, kembali
kepadaNya, mengikhlaskan agama hanya kepadaNya, sabar menerima hukumNya,
bersyukur terhadap nikmat-nikmatNya, ridha terhadap ketetapan
taqdirNya, tawakal, mengharap-harap rahmatNya, takut terhadap adzabNya,
dan hal-hal lain yang sejenis, adalah termasuk ibadah.
Yang demikian itu karena ibadah kepada Allah merupakan tujuan yang
dicintai dan diridhai olehNya. Untuk maksud itulah Allah menciptakan
makhluk. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya beribadah kepadaKu". [adz Dzariyat/51:56].
Untuk membawa misi ibadah itu pulalah Allah mengutus para rasulNya
–Shalawatullahi 'alaihim sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ
وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللهُ وَمِنْهُم مَّنْ
حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلاَلَةُ
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu," maka di
antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada
pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya…". [an
Nahl/16 : 36].
Kemudian Allah menjadikan peribadatan itu sebagai ketetapan baku bagi
Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai wafatnya.
Sebagaimana firmanNya:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
"Sembahlah (ibadahilah) Rabb-mu hingga datang kematian kepadamu". [al Hijr/15 : 99]
Dengan sifat beribadah itu pula, Allah memberikan sifat kepada para
malaikat serta para nabiNya –Shalawatullah wa Salamuhu 'Alaihim-
sebagaimana firmanNya:
وَلَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ عِندَهُ
لاَيَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلاَيَسْتَحْسِرُونَ. يُسَبِّحُونَ
الَّيْلَ وَالنَّهَارَ لاَيَفْتُرُونَ
"Kepunyaan Allah-lah penghuni yang ada di langit-langit dan di bumi,
sedangkan makhluk yang ada di sisi-Nya (para malaikat dan para nabi)
tidak pernah sombong untuk beribadah kepadaNya dan tidak pernah lelah.
Mereka senantiasa bertasbih malam dan siang tanpa ada putus-putusnya"
([al Anbiya'/21 : 19-20].
Allah mencela oang-orang yang sombong -tidak mau beribadah kepadaNya- dengan firmanNya:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
"Rabb-mu telah berkata : "Berdoalah kepadaKu, niscaya Aku mengabulkan
doamu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong –tidak mau- beribadah
kepadaKu, akan masuk ke dalam Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina".
[Ghafir/40 : 60].
Ada sebuah hadits yang telah jelas keshahihannya dalam kitab Shahih,
bahwa ketika Malaikat Jibril datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam bentuk seorang badui, Jibril bertanya kepada beliau tentang
Islam. Beliau Shallallahu 'aliahi wa sallam menjawab:
الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُقِيمَ
الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ
إِنْ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
"Islam ialah bila engkau bersaksi bahwa, tiada sesembahan yang berhak
disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, bila engkau
mendirikan shalat, membayarkan zakat, bershiyam Ramadhan serta berhaji
di Baitullah bila engkau mampu melakukan perjalanan kepadanya
Jibril bertanya lagi: "Kemudian apakah iman?" Beliau menjawab:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
"Yaitu apabila engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya,
kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, kebangkitan kembali sesudah mati, dan
apabila engkau beriman kepada taqdir; baiknya dan buruknya".
Jibril bertanya lagi: "Kemudian apakah ihsan?" Beliau menjawab:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
"Yaitu apabila engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau
melihatNya. Maka apabila engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Ia
melihatmu".
Selanjutnya, di akhir hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ
"Ini adalah Jiril, ia datang kepada kalian untuk mengajarkan kepada kalian tentang agama kalian".
Artinya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan semua
perkara dalam hadits di atas masuk dalam (pengertian) agama (din). Bahwa
agama (din) mencakup makna tunduk dan merendahkan diri. Dengan
demikian, agama Allah adalah, beribadah, taat dan tunduk-patuh kepada
Allah.
Sementara itu, ibadah yang diperintahkan meliputi makna cinta dan makna
merendahkan diri. Jadi, ibadah yang diperintahkan itu mencakup rasa
cinta sebesar-besarnya kepada Allah Ta'ala, sekaligus dibarengi sikap
merendahkan diri serendah-rendahnya.
Seandainya ada orang bertanya: Apabila semua yang dicintai Allah masuk
dalam sebutan ibadah? Mengapa ada perkara lain yang disebutkan secara
terpisah dan berurutan dengan ibadah? Misalnya firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala dalam surah al Fatihah:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
'Hanya kepadaMu kami beribadah dan hanya kepadaMu kami meminta pertolongan".
(Maksudnya, meminta pertolongan termasuk ibadah, tetapi mengapa disebutkan secara terpisah dan berurutan dengan ibadah?, Pent.).
Contoh yang lain, misalnya adalah firman Allah kepada NabiNya Shallallahu 'alaihi wa sallam :
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
"Beribadahlah kepada Allah dan bertawakkallah kepadaNya". [Hud/11 : 123].
Contah lainnya, perkataan Nuh:
أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاتَّقُوهُ وَأَطِيعُونِ
"Beribadahlah kepada Allah dan bertakwalah serta taatlah kepadaNya". [Nuh/71 : 3].
Demikian pula perkataan para rasul lain.
Maka pertanyaan seperti ini dijawab: Persoalan semacam itu sudah biasa pada contoh-contoh lain. Misalnya dalam firman Allah :
إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ
"Sesungguhnya shalat akan mencegah perbuatan fahsya' (keji) dan mungkar". [al Ankabut/29 : 45].
Padahal al fahsya' (perbuatan keji) termasuk perbuatan mungkar.
Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ
"Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) berbuat adil, berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan mencegah dari perbuatan
fahsya' (keji), mungkar dan melampaui batas". [an Nahl/16:90].
Memberi kepada kaum kerabat adalah bagian dari berbuat adil. Begitu juga
berbuat fahsya' (keji), dan melampaui batas adalah termasuk
kemungkaran.
Misal yang lain, firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَالَّذِينَ يُمَسِّكُونَ بِالْكِتَابِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ
"Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan al Kitab (Taurat) serta
mendirikan shalat (akan di beri pahala)". [al A'raf/7 : 170].
Mendirikan shalat adalah termasuk seagung-agungnya berpegang teguh pada al Kitab.
Misal lainnya lagi, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang para nabiNya:
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا
"Sesungguhnya mereka orang-orang yang bersegera mengerjakan
kebaikan-kebaikan, dan mereka senantiasa berdoa kepada Kami dalam
keadaan harap-harap cemas". [al Anbiya'/21 : 90].
Doa mereka dengan harap-harap cemas termasuk kebaikan. Dan contoh-contoh lain yang semacam itu banyak di dalam al Qur`an.
Dalam bab ini, adakalanya salah satu dari kedua hal tersebut merupakan
bagian dari yang lain, kemudian yang satu disebut secara berurutan
sesudah yang lain, dalam rangka pengkhususan penyebutannya. Sebab, ada
tuntutan makna secara umum dan secara khusus. Namun kadang-kadang
(mempunyai tujuan agar) penunjukan penyebutannya menjadi bermacam-macam
ketika disebut sendiri-sendiri, maupun ketika disebut bersama-sama.
Artinya, jika disebut secara sendirian, maka maknanya menjadi umum. Akan
tetapi, ketika disebut secara bersamaan dengan yang lain, maka maknanya
menjadi khusus.
Misalnya sebutan "fakir" dan "miskin". Ketika masing-masing disebutkan
secara sendiri-sendiri, seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
لِلْفُقَرَآءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ
"(Berikanlah) kepada orang-orang fakir yang terikat oleh jihad di jalan Allah". [al Baqarah/2 : 273]
Dan Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Atau memberi makan sepuluh orang miskin". [al Ma'idah/5 : 89]
(Pada dua ayat di atas, masing-masing kata "fakir" dan "miskin"
disebutkan sendiri-sendiri, Pent.). Maka pengertian kata "fakir" masuk
dalam pengertian kata "miskin" (dan sebaliknya, Pent.).
Namun ketika disebut secara bersama-sama, seperti dalam firmanNya:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ
"Sesungguhnya harta-harta zakat hanyalah dibagikan kepada orang-orang fakir dan orang-orang miskin". [at Taubah/9 : 60].
Maka pengertiannya menjadi dua macam (masing-masing kata "fakir" dan "miskin" memiliki makna yang berbeda, Pent.).
Sesungguhnya, memang ada yang mengatakan: Bahwa ketika yang khusus
disebutkan secara berurutan dengan yang umum, maka pada saat keduanya
disebut secara bersama-sama, yang khusus tidak otomatis masuk dalam
pengertian yang umum. Bahkan itu termasuk bab di atas (masing-masing
memiliki makna berbeda, Pent.).
Tetapi setelah diteliti, hal itu tidaklah tentu demikian. (Buktinya) Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِّلَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ
"Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikatNya,
rasul-rasulNya, Jibril dan Mika'il, maka sesungguhnya Allah adalah musuh
orang-orang kafir". [al Baqarah/2 : 98]
(Jibril dan Mikail termasuk Malaikat, Pent.).
Juga, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ
"Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari
kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa bin Maryam". [al
Ahzab/33:7]
Disebutnya sesuatu yang khusus bersama-sama dengan sesuatu yang umum bisa disebabkan oleh sebab yang bermacam-macam:
- Terkadang karena yang khusus itu memiliki kekhususan yang tidak
terdapat pada semua individu yang umum. Seperti kekhususan pada diri
Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa (masing-masing berbeda dengan semua nabi
lainnya, Pent.).
- Terkadang pula karena yang umum memiliki bahasa mutlak yang
kemungkinan tidak bisa dipahami, disebabkan keumumannya. Misalnya dalam
firman Allah:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُونَ. وَالَّذِينِ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا
أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ
"(Al Qur`an itu) merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.
Yaitu orang-orang yang beriman kepada perkara ghaib, mendirikan shalat
dan membayar infak dari rizki yang telah Kami berikan. Dan orang-orang
yang beriman kepada wahyu yang telah diturunkan kepadamu dan kepada
wahyu yang telah diturunkan sebelummu". [al Baqarah/2 : 2-4].
Firman Allah (artinya): (Beriman kepada perkara ghaib), meliputi seluruh
perkara ghaib yang wajib diimani. Tetapi bahasa itu masih garis besar.
Di dalamnya tidak ada petunjuk yang jelas, bahwa termasuk perkara ghaib
adalah, beriman kepada wahyu yang diturunkan kepadamu dan wahyu yang
diturunkan sebelummu. (Untuk maksud itulah, maka disebutkan perkara yang
khusus sesudah yang umum, untuk menerangkan sebagian dari rincian
perkara umum tersebut, Pent.). Termasuk dalam persoalan ini adalah
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
اتْلُ مَآأُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاَةَ
"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al Kitab (al Qur`an), dan dirikanlah shalat". [al Ankabut/29 : 45].
وَالَّذِينَ يُمَسِّكُونَ بِالْكِتَابِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ
"Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan al Kitab dan mendirikan shalat". [al A'raf/7:170].
Maksud membaca al Kitab pada ayat di atas ialah, mengikuti dan
mengamalkannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas'ud berkaitan
dengan firman Allah:
الَّذِينَ ءَاتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاَوَتِهِ
"Orang-orang yang telah kami berikan al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan sebenar-benarnya". [al Baqarah/2 : 121].
Ibnu Mas'ud mengatakan : "(Artinya), mereka menghalalkan apa yang
dihalalkan oleh al Kitab, mengharamkan apa yang diharamkannya, mengimani
ayat-ayat mutasyabihnya dan mengamalkan ayat-ayat muhkamnya".
Dengan demikian, mengikuti isi al Kitab meliputi shalat dan
lain-lainnya. Tetapi shalat disebutkan secara khusus karena
keistimewaannya.
Begitu pula firman Allah kepada Musa:
إِنَّنِى أَنَا اللهُ لآإِلَهَ إِلآأَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي
"Sesungguhnya Aku adalah Allah. Tiada sesembahan yang berhak disembah
kecuali Aku. Maka ibadahilah Aku dan dirikanlah shalat untuk
mengingatKu". [Thaha/40 : 14].
Mendirikan shalat untuk mengingat Allah adalah termasuk sebesar-besar ibadah kepada Allah.
Demikian juga firman-firman Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut:
اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا
"Bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar". [al Ahzab/33 : 70]
اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
"Bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan untuk mendekatkan diri kepadaNya". [al Ma'idah/5 : 35].
اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
"Bertakwalah kepada Allah dan jadilah bersama orang-orang yang benar". [at Taubah/9:119].
Perkara-perkara itu semua juga termasuk kesempurnaan takwa kepada Allah. Begitu pula firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
"Maka beribadahlah kepada Allah dab bertawakkallah kepadanya". [Hud/11 : 123].
Sesungguhnya, bertawakal adalah sikap istiqamah. Dan itu termasuk ibadah
kepada Allah. Tetapi tawakal disebutkan secara khusus di sini, supaya
orang yang melakukan peribadatan betul-betul bertujuan untuk bertawakal
secara khusus, karena ia bisa menolong bagi terlaksananya semua
macam-macam ibadah. Sebab Allah tidak dapat diibadahi tanpa ada
pertolongan dariNya.
Apabila hal ini sudah jelas, maka sempurnanya makhluk terletak pada
realisasi ibadahnya kepada Allah. Semakin bertambah seseorang dalam
realisasi ibadahnya, maka akan bertambah kesempurnaan dirinya dan
semakin tinggi pula derajatnya [2].
Demikianlah, dengan memahami hakikat ibadah, diharapkan akan membantu
proses pensucian jiwa dengan benar. Wallahu Waliyyu at Taufiq.
[https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
________
Footnote
[1]. Shahih Muslim, 8
[2]. Al-Ubudiyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hlm. 17-26, 70-75, dinukil secara ringkas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar