RENUNGAN DI BULAN RAMADHAN
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Merupakan nikmat yang besar kepada para hambaNya, yaitu Allah menjadikan
waktu-waktu spesial yang penuh dengan berkah, agar para hambaNya
memanfaatkan kesempatan emas tersebut dan berlomba-lomba meraih berkah
sebanyak-banyaknya.
Berjumpa dengan bulan Ramadhan merupakan kenikmatan yang sangat besar.
Maka selayaknya seorang muslim benar-benar merasakan dan menjiwai nikmat
tersebut. Betapa banyak orang yang terhalang dari nikmat ini, baik
karena ajal telah menjemput, atau karena ketidakmampuan beribadah
sebagaimana mestinya, karena sakit atau yang lainnya, ataupun karena
mereka sesat dan masa bodoh terhadap bulan yang mulia ini. Oleh karena
itu, hendaknya seorang muslim bersyukur kepada Allah atas karuniaNya
ini. Berdoa kepadaNya agar dianugerahi kesungguhan serta semangat dalam
mengisi bulan mulia ini, yaitu dengan ibadah dan dzikir kepadaNya.
Yang menyedihkan, banyak orang tidak mengerti kemuliaan bulan suci ini.
Tidak menjadikan bulan suci ini sebagai lahan untuk memanen pahala dari
Allah dengan memperbanyak beribadah, bersedekah dan membaca Al Qur`an.
Namun bulan yang agung ini, mereka jadikan musim menyediakan dan
menyantap aneka ragam makanan dan minuman, menyibukkan kaum ibu terus
berkutat dengan dapur. Sebagian yang lain ada yang memanfaatkan bulan
mulia ini hanya dengan bergadang dan ngobrol hingga pagi, kemudian pada
siang harinya dipenuhi dengan mimpi-mimpi. Bahkan ada yang terlambat
untuk shalat berjamaah di masjid. Ataupun tatkala shalat di masjid, ia
berangan-angan agar sang imam segera salam. Sebagian yang lain ada yang
mengenal bulan suci ini sebagai musim untuk mengeruk duit
sebanyak-banyaknya. Lowongan-lowongan pekerjaan ditelusurinya sebagai
upaya memperoleh kesempatan mengeruk dunia [1]. Sebagian yang lain
sangat giat berjual beli, stand bye di pasar dan meninggalkan masjid.
Kalaupun shalat di masjid, mereka shalat dalam keadaan terburu-buru.
Wallahul musta’an…[2]
.
Barangsiapa yang mengetahui keagungan bulan suci ini, maka dia akan
benar-benar rindu untuk bertemu dengannya. Para salaf sangat merasakan
keagungan bulan suci ini, sehingga kehadirannya selalu dinanti-nanti
oleh mereka. Bahkan jauh sebelumnya, mereka telah mempersiapkan
perjumpaan itu.
Mu’alla bin Al Fadhl berkata,”Mereka (para salaf) berdoa kepada Allah
selama enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan …
.”[3]
Pujilah Allah dan bersyukurlah kepadaNya karena telah mempertemukan kita
dengan bulan Ramadhan dalam keadaan tentram dan damai. Renungkanlah,
bagaimanakah keadaan saudara-saudara kita di Palestina, Checnya,
Afghanistan, Iraq dan negeri-negeri yang lainnya? Bagaimanakah keadaan
mereka dalam menyambut bulan suci ini? Musibah demi musibah, derita demi
derita menimpa mereka. Dengan derita dan tangisanlah mereka menyambut
bulan suci ini.
Dengan beraneka ragam makanan kita berbuka puasa. Lantas, dengan apakah
saudara-saudara kita di Somalia berbuka puasa? Mereka terus menghadapi
bencana busung lapar.[4]
RAMADHAN ADALAH KESEMPATAN EMAS UNTUK MENJADI ORANG YANG BERTAKWA
Allah berfirman :
يَأيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian untuk berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian
bertakwa. [Al Baqarah : 183]
.
Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata,”لَعَلَّ adalah untuk ta`lil
(menjelaskan sebab). Hal ini menjelaskan hikmah (tujuan) diwajibkannya
puasa. Yaitu, agar kalian (menjadi orang-orang yang) bertakwa kepada
Allah. Inilah hikmah (yang utama) dari ibadah puasa. Adapun
hikmah-hikmah puasa yang lainnya, seperti kemaslahatan jasmani atau
kemaslahatan sosial, maka hanyalah mengikutinya (bukan hikmah yang
utama, Pen).” [5]
Betapa banyak manusia pada zaman ini, jika dikatakan kepada mereka
“bertakwalah engkau kepada Allah”, maka merah padamlah wajahnya karena
marah dan tertipu dengan dirinya sendiri. Dia menganggap dirinya telah
bertakwa kepada Allah, sehingga merasa tersinggung jika dikatakan
padanya untuk bertakwa kepada Allah.
Ibnu Mas’ud berkata, ”Cukuplah sesorang itu berdosa jika dikatakan
kepadanya “bertakwalah kepada Allah”, lantas ia berkata ‘Urus dirimu
sendiri, orang seperti kamu mau menasihatiku?’ .”
Pada suatu hari Khalifah Harun Ar Rasyid keluar naik kendaraan untanya
yang mewah dan penuh hiasan, lalu seorang Yahudi berkata kepadanya:
“Wahai, Amirul Mukminin. Bertakwalah engkau kepada Allah,” maka
beliaupun turun dari kendaraannya dan sujud kepada Allah di atas tanah
dengan penuh tawadhu` dan khusyu. Khalifah kemudian memerintahkan agar
kebutuhan orang Yahudi tersebut dipenuhi.
Tatkala ditanyakan mengapa Khalifah memerintahkan demikian, beliau
menjawab: “Tatkala saya mendengar perkataan orang Yahudi tersebut, saya
teringat firman Allah
وَإِذَا قِيْلَ لَهُ اتَّقِ اللهَ أَخَذَتْهٌ الْعِزَّةُ بِالإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ
(Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah
kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah
(balasannya) neraka Jahannam. Dan sesungguhnya Jahannam itu tempat
tinggal yang seburuk-buruknya”. -Al Baqarah ayat 206-), maka saya
khawatir, saya adalah orang yang disebut Allah tersebut”.[6]
Oleh karena itu, puasa merupakan kesempatan emas untuk melatih diri kita untuk bertakwa kepada Allah.
Sebagian Salaf menyatakan, puasa yang paling ringan adalah meninggalkan
makan dan minum. Jabir berkata,”Jika engkau berpuasa, maka hendaknya
pendengaranmu, penglihatanmu, lisanmu juga ikut berpuasa… Dan tatkala
berpuasa, janganlah engkau menjadikan keadaanmu seperti keadaanmu
tatkala tidak berpuasa.” [7] Abul ‘Aliah mengatakan, orang yang berpuasa
senantiasa berada dalam ibadah, walaupun dia dalam keadaan tidur di
atas tempat tidurnya, (yakni) selama tidak ghibah (menggunjing) orang
lain.[8]
Syaikh As Sudais berkata,”Dan apakah mereka telah merealisasikan dan
menerapkan apa yang menjadi tujuan disyariatkannya puasa (yaitu untuk
bertakwa kepada Allah)? Ataukah masih banyak di antara mereka yang tidak
mengetahui hikmah disyari’atkannya puasa dan melupakan buah manis dari
ketakwaan serta jalan-jalan ketakwaan yang bercahaya, sehingga
mencukupkan puasa hanya dengan menahan diri dari makanan dan minuman
serta pembatal-pembatal puasa yang zhahir?” [9]
Beliau juga berkata,”Sebagian orang tidak mengetahui hakikat puasa.
Mereka membatasi makna puasa, yaitu hanya menahan diri dari makan dan
minum. Maka engkau lihat sebagian mereka, puasanya tidak bisa mencegah
(kejahatan) lisannya, sehingga terjerumus dalam ghibah, namimah dan
dusta. Demikian juga, mereka membiarkan telinga dan mata mereka
berkeliaran, sehingga terjatuh dalam dosa dan kemaksiatan. Imam Bukhari
telah meriwayatkan sebuah hadits dalam Shahih-nya, bahwasanya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَيْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya
[10] serta berbuat kebodohan [11], maka Allah tidak butuh kepada
puasanya dari meninggalkan makan dan minumnya.[12]
Ibnu Rajab berkata,”Barangsiapa yang pada bulan Ramadhan ini tidak
beruntung, maka kapan lagi dia bisa beruntung? Barangsiapa yang pada
bulan suci ini tidak bisa mendekatkan dirinya kepada Allah, maka sungguh
dia sangat merugi.” [13]
Jadilah kita seperti kupu-kupu yang menyenangkan dan indah jika
dipandang, serta bermanfaat bagi perkawinan di antara tanaman, padahal
sebelumnya adalah seekor ulat yang merusak dedaunan dan merupakan hama
tanaman. Namun setelah berpuasa beberapa saat dalam kepompongnya,
berubahlah ulat tersebut menjadi kupu-kupu yang indah.
PUASA MERUPAKAN KESEMPATAN UNTUK MEMBIASAKAN DIRI MENTADABBUR AL QUR`AN
Betapa banyak orang yang telah berpaling dari Al Qur`an dan meninggalkan
membaca Al Qur`an. Atau tatkala membacanya, tanpa disertai dengan
mentadabburi (perenungan) kandungan maknanya. Sehingga pada sebagian
orang, Al Qur`an menjadi sesuatu yang terlupakan [14].
Ibnu Rajab berkata,”Allah mencela orang-orang yang membaca Al Qur`an
tanpa memahami (mentadaburi) maknanya. Allah berfirman وَمِنْهُمْ
أُمِّيُّوْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ الْكِتَابَ إِلاَّ أَمَانِيَّ (Dan di antara
mereka ada yang buta huruf tidak mengetahui Al Kitab (At Taurat),
kecuali hanya dongengan belaka.” –Al Baqarah ayat 78-). Yaitu dalam
membacanya tanpa memahami maknanya. Tujuan diturunkannya Al Qur`an
adalah untuk difahami maknanya dan untuk diamalkan, bukan hanya sekedar
untuk dibaca.” [15]
Tatkala tiba bulan Ramadhan Az Zuhri berkata: “Ramadhan itu adalah membaca Al Qur`an dan memberi makan (fakir miskin)”.
Ibnu Abdilhakim berkata,”Jika tiba bulan Ramadhan, Imam Malik menghindar
dari membacakan hadits dan bertukar pikiran dengan ahli ilmu. Beliau
berkonsentrasi membaca Al Qur`an dari mushaf”.
Abdurrazak berkata,”Jika masuk bulan Ramadhan, Ats Tsauri meninggalkan seluruh ibadah dan memfokuskan pada membaca Al Qur`an.”
Ibnu Rajab berkata,”Pada bulan Ramadhan, para salaf berkonsentrasi
membaca Al Qur`an. Di antara mereka ada yang mengkhatamkan Al Qur`an
setiap minggu, ada yang setiap tiga hari, ada juga yang menamatkan dalam
waktu dua malam. Bahkan ada di antara mereka pada saat sepuluh malam
yang terakhir, menamatkan Al Qur`an setiap malam.
Adapun hadits yang menjelaskan larangan mengkhatamkan Al Qur`an kurang
dari tiga hari, maka maksudnya, jika dilaksanakan terus-menerus. Adapun
menamatkan Al Qur`an pada waktu-waktu (tertentu) yang mulia, seperti
pada bulan Ramadhan, khususnya pada malam-malam yang diharapkan, yaitu
Lailatul Qadar, juga di tempat-tempat yang mulia; maka yang demikian itu
disunnahkan agar memperbanyak membaca Al Qur`an untuk memanfaatkan
kesempatan berada di tempat dan waktu yang mulia. Ini adalah pendapat
Imam Ahmad dan yang lainnya, dan merupakan hal yang diamalkan oleh
selain mereka.” [16]
Di antara adab-adab tatkala membaca Al Qur`an.[17]
1. Hendaknya membaca dengan tartil, memperhatikan hukum-hukum tajwid
disertai dengan mentadabburi ayat-ayat yang dibacanya. Jika ayat yang
dibaca berkaitan dengan kekurangan atau kesalahannya, maka hendaknya dia
beristighfar. Jika melewati ayat-ayat yang berkaitan dengan rahmat
Allah, maka hendaknya dia meminta kepada Allah rahmat Allah tersebut.
Jika melewati ayat-ayat tentang adzab, maka hendaknya dia takut dan
berlindung kepada Allah dari adzab tersebut. Oleh karena itu, jika
membaca Al Qur`an dengan cepat dan kurang memperhatikan hukum-hukum
tajwid, maka sulit untuk mempraktekan tadabbur Al Qur`an. Bahkan membaca
Al Qur`an dengan cepat tanpa aturan, terkadang hukumnya bisa menjadi
haram, jika sampai menimbulkan perubahan huruf-huruf (tidak keluar
sesuai dengan makhrajnya), karena menyebabkan terjadinya perubahan atas
Al Qur`an. Adapun jika membaca dengan cepat, namun tetap memperhatikan
hukum-hukum tajwid, maka tidak mengapa, karena sebagian orang mudah bagi
lisannya membaca Al Qur`an (dan sebagian orang bisa mentadabburi Al
Qur`an walaupun dibaca dengan cepat).
2. Hendaknya tidak memotong pembacaan Al Qur`an hanya karena ingin
ngobrol dengan teman duduk di sampingnya. Sebagian orang, jika sedang
membaca Al Qur`an kemudian di sampingnya ada seorang sahabatnya, maka
diapun sering memotong bacaannya untuk ngobrol dengan temannya tersebut.
Perbuatan seperti ini semestinya tidak dilakukan, karena termasuk dalam
kategori berpaling dari Al Qur`an tanpa adanya kebutuhan.
3. Tidak membaca Al Qur`an dengan suara keras sehingga mengganggu orang
yang berada di sekitarnya yang sedang membaca Al Qur`an juga, atau
sedang shalat, atau sedang tidur. Nabi telah melarang perihal ini.
Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata: “Nabi i’tikaf di masjid, lalu
beliau mendengar orang-orang membaca Al Qur`an dengan suara yang keras,
dan Nabi sedang berada di dalam tenda i’tikafnya. Beliaupun membuka
sitar (kain penutup) tendanya, kemudian berkata: “Kalian semuanya sedang
bermunajat dengan Rabb-nya, maka janganlah sebagian kalian mengganggu
sebagian yang lain. Janganlah sebagian kalian mengangkat suaranya
tatkala membaca Al Qur`an” atau Beliau berkata: “Tatkala (membaca Al
Qur`an) dalam shalat”. [18]
RAMADHAN ADALAH KESEMPATAN UNTUK INSTROPEKSI DIRI
Umar Al Faruq berkata :
حَاسِبُوا أنْفُسَكُم قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُا وَزِنُوْهَا قَبْلَ أَنْ تُوْزَنُوْا وَ تَزَيَّنُوا لِلعَرْضِ الأَكْبَر
Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian
sebelum kalian ditimbang. Dan berhiaslah (beramal shalihlah) untuk
persiapan hari ditampakkannya amalan hamba.[19]
Allah berfirman يَوْمَئِذٍ لاَ تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ (Pada hari itu
kalian dihadapkan (kepada Rabb kalian), tiada sesuatupun dari keadaan
kalian yang tersembunyi (bagi Allah) -Al Haqqah : 18-).
Benarlah yang diucapkan oleh Al Faruq, sesungguhnya muhasabah diri di
dunia ini, jauh lebih ringan daripada hisab Allah pada hari akhir nanti,
(yaitu) tatkala rambut anak-anak menjadi putih. Yang menghisab adalah
Allah.
Dan yang menjadi bukti otentik adalah kitab yang sifatnya : ... tidak
meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia
mencatat semuanya?; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada
(tertulis). Dan Rabb-mu tidak menganiaya seorang juapun. (Al Kahfi :
49).
Al Hasan berkata,”Seorang mukmin adalah pengendali dirinya. (Hendaknya)
dia menghisab dirinya karena Allah. Yang menyebabkan suatu kaum hisabnya
ringan di akhirat kelak ialah, karena mereka telah menghisab jiwa
mereka di dunia. Dan yang menyebabkan beratnya hisab pada suatu kaum
pada hari kiamat kelak ialah, karena mereka mengambil perkara ini tanpa
bermuhasabah (di dunia).”[20]
Hakikat muhasabah ialah, menghitung dan membandingkan antara kebaikan
dan keburukan. Sehingga, dengan perbandingan ini diketahui mana dari
keduanya yang terbanyak.[21]
Ibnul Qayyim menjelaskan,”Namun, muhasabah ini akan terasa sulit bagi
orang yang tidak memiliki tiga perkara, yaitu cahaya hikmah,
berprasangka buruk kepada diri sendiri dan (kemampuan) membedakan antara
nikmat dan fitnah (istidraj).”
Pertama : Cahaya hikmah, yaitu ilmu; yang dengannya seorang hamba bisa
membedakan antara kebenaran dan kebatilan, petunjuk dan kesesatan,
manfaat dan mudharat, yang sempurna dan yang kurang, kebaikan dan
keburukan. Dengan demikian, ia bisa mengetahui tingkatan amalan yang
ringan dan yang berat, yang diterima dan yang ditolak. Semakin terang
cahaya hikmah ini pada seseorang, maka ia akan semakin tepat dalam
perhitungannya (muhasabah).
Kedua : Adapun berprasangka buruk kepada diri sendiri sangat dibutuhkan
(dalam muhasabah). Karena berbaik sangka kepada jiwa, dapat menghambat
kepada sempurnanya pemeriksaan jiwa; sehingga bisa jadi, ia akan
memandang kejelekan-kejelekannya menjadi kebaikan, dan (sebaliknya)
memandang aibnya sebagai suatu kesempurnaan. Dan tidaklah berprasangka
buruk kepada dirinya, kecuali orang yang mengenal dirinya. Barangsiapa
yang berbaik sangka kepada jiwanya, maka ia adalah orang yang paling
bodoh tentang dirinya sendiri.
Ketiga : Adapun (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah, yaitu
untuk membedakan antara kenikmatan yang Allah anugerahkan kepadanya
-berupa kebaikanNya dan kasih-sayangNya, yang dengannya ia bisa meraih
kebahagiaan abadi- dengan kenikmatan yang merupakan istidraj dari Allah.
Betapa banyak orang yang terfitnah dengan diberi kenikmatan (dibiarkan
tenggelam dalam kenikmatan, sehingga semakin jauh tersesat dari jalan
Allah, Pen), sedangkan ia tidak menyadari hal itu.
Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan
kebutuhannya yang selalu terpenuhi dan aibnya yang selalu ditutup oleh
Allah. Kebanyakan manusia menjadikan tiga perkara (pujian manusia,
terpenuhinya kebutuhan, dan aib yang selalu tertutup) ini sebagai tanda
kebahagiaan dan keberhasilan. Sampai disitulah rupanya ilmu mereka
......
Ibnul Qayyim melanjutkan : .... semua kekuatan, baik yang nampak maupun
yang batin, jika diiringi dengan pelaksanaan perintah Allah dan apa yang
diridhai Allah, maka hal itu sebagai karunia Allah. Jika tidak
demikian, maka kekuatan tersebut merupakan bencana.
Setiap keadaan yang dimanfaatkan untuk menolong agama Allah dan
berdakwah di jalanNya, maka hal itu merupakan karunia Allah. Jika tidak,
maka hanyalah merupakan bencana.
Setiap harta yang disertai dengan berinfaq di jalan Allah, bukan untuk
mengharapkan ganjaran dan terima kasih dari manusia, maka ia merupakan
karunia Allah. Jika tidak demikian, maka harta itu hanyalah bumerang
baginya ....
Dan setiap sikap manusia yang menerima dirinya dan pengagunggan serta
kecintaan mereka padanya, jika disertai dengan rasa tunduk, rendah dan
hina di hadapan Allah, demikian juga disertai pengenalannya terhadap aib
dirinya dan kekurangan amalannya, dan usahanya menasihati manusia, maka
hal ini adalah karunia Allah. Jika tidak demikian, maka hanyalah
bencana.
Oleh karena itu, hendaknya seorang hamba mengamati point yang sangat
penting dan berbahaya ini, agar bisa membedakan antara karunia dan
bencana, anugerah dan bumerang baginya, karena betapa banyak ahli ibadah
dan berakhlak mulia yang salah paham dan rancu dalam memahami
pembahasan ini.[22]
Ketahuilah, termasuk kesempurnaan muhasabah, yaitu engkau mengetahui,
bahwa setiap celaanmu kepada saudaramu yang berbuat maksiat atau aib,
maka akan kembali kepadamu.
Diriwayatkan dari Rasulullah bahwa beliau bersabda :
مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ
Barangsiapa yang mencela saudaranya karena dosanya (kemaksiatannya),
maka dia tidak akan mati hingga dia melakukan kemaksiatan tersebut. [23]
Dalam menafsirkan hadits ini, Imam Ahmad berkata : “Yaitu (mencelanya
karena) dosa (maksiat), yang ia telah bertaubat darinya”. [24]
Ibnul Qayyim berkata: Dan juga pada celaan yang dibarengi rasa gembira
si pencela dengan jatuhnya orang yang dicela dalam kesalahan. Imam At
Tirmidzi meriwayatkan juga -secara marfu’- bahwasanya Rasulullah
bersabda,’Janganlah engkau menampakkan kegembiraan atas bencana yang
menimpa saudaramu, sehingga Allah merahmati saudaramu dan mendatangkan
bencana bagimu’.”[25]
Dan mungkin juga, maksud Nabi bahwa dosa celaanmu terhadap saudaramu
lebih besar dari dosa saudaramu itu dan lebih parah dari maksiat yang
dilakukannya itu. Karena celaanmu itu menunjukan tazkyiatun nafs (memuji
diri sendiri) dan mengklaim, bahwa engkau selalu di atas ketaatan dan
telah berlepas diri dari dosa, dan saudaramulah yang membawa dosa
tersebut.
Maka bisa jadi, penyesalan saudaramu karena dosanya tersebut dan akibat
yang timbul setelah itu, berupa rasa tunduk dan rendah serta penghinaan
terhadap jiwanya, dan terlepasnya dia dari penyakit pengakuan sucinya
diri, rasa sombong dan ujub, serta berdirinya dia di hadapan Allah dalam
keadaan menunduk dengan hati yang pasrah, lebih bermanfaat baginya dan
lebih baik dibandingkan dengan pengakuanmu bahwa engkau selalu berada di
atas ketaatan kepada Allah dan engkau menganggap diri banyak melakukan
ketaatan kepada Allah. Bahkan engkau merasa telah memberi sumbangsih
kepada Allah dan kepada makhluk-makhlukNya dengan ketaatanmu tersebut.
Sungguh saudaramu -yang telah melakukan kemaksiatan- (lebih) dekat
kepada rahmat Allah. Dan betapa jauh orang yang ‘ujub dan merasa memberi
sumbangsih dengan amal ketaatannya karena kemurkaan Allah.
Dosa yang mengantarkan pelakunya merasa hina di hadapan Allah lebih
disukai Allah, daripada amal ketaatan yang mengantarkan pelakunya merasa
‘ujub. Sesungguhnya jika engkau tertidur pada malam hari (tidak
melaksanakan shalat malam), kemudian pada pagi hari engkau menyesal,
lebih baik dari pada jika engkau shalat malam kemudian pada pagi hari
engkau merasa ‘ujub kepada diri sendiri, karena sesungguhnya orang yang
‘ujub, amalnya tidak naik kepada Allah. Engkau tertawa, sembari mengakui
(kesalahan dan kekuranganmu itu) lebih baik dari pada engkau menangis,
namun engkau merasa ‘ujub.
Rintihan orang yang berdosa lebih disukai di sisi Allah dibanding suara
dzikir orang yang bertasbih namun ‘ujub. Bisa jadi, dengan sebab dosa
yang dilakukan oleh saudaramu, Allah memberikan obat kepadanya dan
mencabut penyakit yang membunuh dirinya, padahal penyakit itu ada pada
dirimu dan engkau tidak merasakannya.
Allah memiliki rahasia dan hikmah atas hamba-hambanya yang taat dan yang
bermaksiat, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. Para ulama dan
orang-orang bijak tidak mengerti rahasia itu, kecuali hanya sekedar yang
bisa diperkirakan dan ditangkap oleh panca indra manusia. Namun di
balik itu, ada rahasia Allah yang tidak diketahui, bahkan oleh para
malaikat pencatat amal.
Rasulullah telah bersabda :
إِذَا زَنَتْ أَمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيُقِمْ عَلَيْهَا الْحَدُّ وَلاَ يُثَرِّبْ
(Jika budak wanita milik salah seorang dari kalian berzina, maka
tegakkanlah hukuman had baginya dan janganlah mencelanya)[26] karena
sesungguhnya, penilaian adalah di sisi Allah dan hukum adalah milikNya.
Dan tujuannya ialah menegakkan hukuman had pada budak wanita tersebut,
bukan mencelanya.
Allah telah berkata tentang makhluk yang paling mengetahuiNya dan yang
paling dekat denganNya (yaitu Rasulullah): “Dan kalau Kami tidak
memperkuat (hati)mu, niscaya engkau hampir-hampir condong sedikit kepada
mereka (orang-orang kafir)”. (Al Isra` : 74). Nabi Yusuf telah
berkata,”... Dan jika tidak Engkau hindarkan tipu daya mereka dariku,
tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah
aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Yusuf : 33).
Nabi paling sering bersumpah dengan berkata لاَ وَمُقَلِّبِ الْقُلُوْبِ
(demi Dzat yang membolak-balikan hati manusia) [27]. Beliau
bersabda,”Tidak satu hati manusia pun, melainkan ia berada di antara dua
jari dari jari-jemari Allah. Jika Allah kehendaki, (maka) Allah akan
memberi petunjuk kepadanya. Dan jika Allah kehendaki, maka Allah akan
menyesatkannya,” [28] kemudian Beliau berdoa :
اللَّهُمَّ مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى دِيْنِكَ
Wahai Dzat yang membolak-balikan hati manusia, tetapkanlah hati kami di atas jalanMu. [29]
اللَّهُمَّ مُصَّرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
Wahai Dzat yang memaling-malingkan hati manusia, palingkanlah hati kami untuk taat kepadaMu.[30]
BERDOA KEPADA ALLAH AGAR IBADAH PUASA KITA DITERIMA
Ibnu Rajab berkata,”Para salaf, mereka berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk menyempurnakan dan memperbaiki amalan mereka. Kemudian, setelah
itu mereka sangat memperhatikan agar amalan mereka diterima; mereka
takut jika amalannya tidak diterima. Mereka itulah orang-orang yang
memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut. (Al
Mukminun : 60).
Diriwayatkan dari Ali, ia berkata: “Hendaklah kalian lebih memperhatikan
agar amal kalian diterima (setelah beramal), dari pada perhatian kalian
terhadap amalan kalian (tatkala sedang beramal). Apakah kalian tidak
mendengar firman Allah إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ
(Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa -Al
Maidah : 27).
Dari Fadhalah dia berkata: “Saya mengetahui, bahwa Allah menerima amalan
saya walaupun sekecil biji sawi lebih saya sukai, daripada dunia dan
seisinya, karena Allah berfirman : Sesungguhnya Allah hanya menerima
dari orang-orang yang bertakwa. (Al Maidah : 27)”.
Abu Darda berkata,”Saya mengetahui, bahwa Allah telah menerima dariku
satu shalat saja lebih aku sukai dari pada bumi dan seluruh isinya,
karena Allah berfirman : Sesungguhnya Allah hanya menerima dari
orang-orang yang bertakwa. (Al Maidah : 27)”.[31]
Malik bin Dinar berkata,”Perasaan takut jikalau amalan tidak diterima, lebih berat daripada beramal.”
‘Atha` As Sulami berkata,”Waspadalah, jangan sampai amalanmu bukan karena Allah.”
Abdulaziz bin Abi Ruwwad berkata,”Aku mendapati mereka (para salaf)
sangat bersungguh-sungguh tatkala beramal shalih. Namun jika mereka
telah selesai beramal, mereka ditimpa kesedihan dan kekhawatiran apakah
amalan mereka diterima atau tidak?”
Oleh karena itu, para salaf setelah enam bulan berdoa agar dipertemukan
oleh Allah dengan Ramadhan. Mereka juga berdoa setelah Ramadhan selama
enam bulan agar amalan mereka diterima.
Wuhaib bin Al Ward tatkala membaca firman Allah
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيْمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَ
إِسْمَاعِيْلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ
الْعَلِيْمُ
(Dan tatkala Ibrahim meninggikan (membina) pondasi Baitullah bersama
Isma’il (seraya berdoa): ”Wahai Rabb kami, terimalah dari kami (amalan
kami). Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahu
-Al Baqarah ayat 127-, maka beliau (Wuhaib bin Al Ward)pun menangis,
seraya berkata: “Wahai kekasih Ar Rahman. Engkau meninggikan rumah Ar
Rahman, lalu engkau takut amalanmu itu tidak diterima oleh Ar Rahman”.
[33]
Ibnul Qayyim menyatakan, perasaan puas (ridha)nya seseorang terhadap
amal ketaatan yang telah ia kerjakan, merupakan indikasi bahwasanya ia
tidak mengetahui terhadap keadaan dirinya. Dia tidak mengetahui hak-hak
Alllah dan bagaimana semestinya beribadah kepada Allah. Ketidaktahuan
terhadap kekurangan dirinya serta aib-aib yang terdapat dalam amal
ketaatannya, dan ketidaktahuannya terhadap kebesaran Allah dan
hak-hakNya, menjadikan dia berprasangka baik terhadap jiwanya yang penuh
dengan kekurangan, sehingga akhirnya ia puas dengan amal ketaatannya.
Hal ini juga menimbulkan rasa ‘ujub (takjub) dengan dirinya sendiri yang
telah melaksanakan amal ketaatan, serta menimbulkan perasaan sombong
dan penyakit-penyakit hati lainnya, yang (tentunya) lebih berbahaya dari
pada dosa-dosa besar yang nampak, seperti zina, meminum minuman keras,
dan lari dari medan pertempuran. Jika demikian, merasa puas terhadap
amal ketaatan, merupakan kepandiran dan ketololan jiwa.
Jika kita perhatikan, ternyata orang-orang yang bertakwa dan ahli
ibadah, mereka sangat memohon ampunan Allah, justru tatkala mereka telah
selesai dari berbuat amal ketaatan. Hal ini, karena mereka mengakui
kekurangan, tatkala mereka beramal. Dan mereka mengakui, bahwa amal
ketaatan mereka tidak sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah.
Seandainya bukan karena perintah Allah untuk beramal, maka mereka akan
malu menghadap Allah dengan ibadah mereka yang penuh kekurangan; dan
mereka tidak ridha menyerahkan ibadah yang penuh kekurangan tersebut
kepada Allah. Namun mereka tetap beribadah menjalankan perintah Allah,
walaupun penuh kekurangan.
Allah telah memerintahkan para jama’ah haji (pengunjung rumah Allah)
untuk beristigfar setelah selesai dari manasik haji yang paling agung
dan mulia, yaitu wukuf di Arafah. Allah berfirman, yang artinya : Maka
apabila kalian telah beranjak dari Arafah berdzikirlah kepada Allah di
Masy’aril Haram. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana
yang ditunjukanNya kepada kalian, dan sesungguhnya kalian sebelum itu
benar-benar termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian beranjaklah kalian
dari tempat bertolak orang-orang banyak (yaitu Arafah), dan mohon
ampunlah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Al Baqarah : 198-199).
Allah juga berfirman وَالْمُسْتَغْفِرِيْنََ بِالأَسْحَارِ (Dan yang
memohon ampun pada waktu sahur. -Ali Imran ayat 17-). Berkata Hasan Al
Bashri: “Mereka memanjangkan shalat malam hingga tiba waktu sahur
(menjelang terbit fajar), lalu mereka duduk dan beristighfar kepada
Allah”. Dan dalam hadits yang shahih disebutkan, jika Nabi telah salam
dari shalat, Beliau n beristighfar tiga kali.[34]
Allah memerintah Nabi untuk beristighfar setelah selesai menyampaikan
risalah kenabiannya -dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
menunaikannya dengan baik-, demikian juga setelah menyelesaikan ibadah
haji serta menjelang wafat Beliau. Maka Allah berfirman di dalam surat
yang turun terakhir kepada Rasulullah n : “Apabila telah datang
pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu melihat manusia masuk agama
Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu
dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia adalah Maha menerima
taubat”. (An Nashr ayat 1-3).
Dengan turunnya surat ini, maka Umar dan Ibnu Abbas mengetahui, bahwa
ini merupakan pemberitahuan Allah kepada Rasulullah n , sebagai tanda
telah dekatnya ajal Rasulullah. Maka Allah memerintahkan Beliau untuk
beristighfar setelah menunaikan tugas mengemban risalah Allah. Hal ini
seakan-akan sebagai pemberitahuan, bahwa engkau (wahai Rasulullah) telah
menunaikan kewajibanmu dan tidak ada lagi tugas yang lain, maka
jadikanlah penutupnya adalah istighfar. Sebagaimana juga penutup shalat,
haji, shalat malam. Juga setelah wudhu, Beliau berkata :
سُبْحَانَكَ اللهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ.
أَللهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ و اجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ .
Demikianlah keadaan orang-orang yang mengetahui apa yang semestinya bagi
Allah dan sesuai dengan keagunganNya, dan mengerti tentang hak-hak
ibadah dan persyaratannya.
Berkata sebagian orang bijak: “Kapan saja engkau ridha (merasa puas)
dengan dirimu dan amalanmu bagi Allah, (maka) ketahuilah, sesungguhnya
Allah tidak ridha dengan amalmu tersebut. Dan barangsiapa yang
mengetahui bahwa pada dirinya merupakan tempat kesalahan, aib dan
kejelekan, serta mengetahui bahwa amalannya penuh dengan penyakit dan
kekurangan, maka bagaimana ia bisa merasa puas dengan amalannya?
Bagaimana ia bisa ridha amalan tersebut bagi Allah?”
Sungguh indah perkataan Syaikh Abu Madin: “Barangsiapa yang
merealisasikan ibadahnya, maka dia akan memandang amal perbuatannya
dengan kacamata riya’. Dia memandang keadaannya dengan pengakuan belaka,
dan memandang perkataannya dengan kedustaan belaka. Semakin besar apa
yang engkau harapkan di hatimu, maka akan semakin kecil jiwamu di
hadapanmu, dan semakin sedikit pula nilai pengorbanan yang telah engkau
keluarkan demi meraih harapanmu yang besar. Semakin engkau mengakui
hakikat rububiyah Allah dan hakikat ‘ubudiyah, serta semakin engkau
mengenal Allah dan mengenal dirimu sendiri, maka akan semakin jelas
bagimu, bahwa apa yang ada pada dirimu berupa amal ketaatan, tidaklah
pantas untuk diberikan kepada Allah. Walaupun engkau datang dengan
membawa amalanmu (yang beratnya seperti amalan seluruh) jin dan manusia,
maka engkau akan tetap takut dihukum Allah (karena engkau takut tidak
diterima, Pen). Sesungguhnya Allah menerima amalanmu karena kemurahan
dan kemuliaan serta karuniaNya kepadamu. Dia memberi pahala dan ganjaran
kepadamu, juga karena kemuliaan, kemurahan dan karuniaNya”. [36]
Syaikh Abdurrahman As Sudais berkata,”Ketahuilah saudara-saudaraku,
sebagaimana kalian menyambut kedatangan bulan suci ini, kalian juga
tidak lama kemudian akan berpisah dengannya. Apakah engkau tahu, wahai
hamba Allah, apakah engkau akan bisa bertemu dengan akhir bulan ini?
Ataukah engkau tidak akan menemuinya? Demi Allah, kita tidak tahu,
sedangkan kita setiap hari menyalatkan puluhan jenazah. Dimanakah mereka
yang dulu berpuasa bersama kita? Seorang yang bijak akan menjadikan ini
semua untuk bermuhasabah dan meluruskan kepincangan, membuangnya dari
jalan ketaatan sebelum ajal menjemputnya dengan tiba-tiba; sehingga saat
itu tidak ada bermanfaat, kecuali amal shalih. Ikrarkanlah janji kepada
Rabb kalian di tempat yang suci ini; dan pada bulan suci yang penuh
barakah ini untuk bertaubat dan penyesalan, serta melepaskan diri dari
kekangan kemaksiatan dan dosa. Bersungguh-sungguhlah untuk mendoakan
kebaikan bagi diri kalian dan saudara-saudara kalian, kaum muslimin.”
[37]
Washallahu ‘ala Nabiyina Muhammadin Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Maraji`:
1. Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, tahqiq Abdulaziz bin Nasir Al Julaiyil, Dar Ath Thaibah.
2. Wazhaif Ramadhan, Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim.
3. Ahaditsu As Siyam, Ahkamuhu Wa Adabuhu, Syaikh Abdullah Al Fauzan.
4. Tafsir Al Qur`an Al Karim, Syaikh ‘Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
5. Ramadhan Fursah Lit Taghyir, Muhammad bin Abdillah Al Habda.
6. Kaukabah Al Khutab Al Munifah Min Mimbar Al Ka’bah Asy Syarifah, Syaikh Abdurrahman bin Abdulaziz As Sudais.
7. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Darus Salam, Riyadh.
8. Tuhfatul Ahwadzi, Al Mubarakfuri, Dar Ihya At Turots Al ‘Arabi.
9. Tafsir Ibnu Katsir.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Yang menyedihkan, ada di antara mereka yang mengatas namakan dunia
yang mereka kejar tersebut dengan nama agama. Ada juga yang berdalih,
bahwa apa yang mereka lakukan tersebut hukumnya boleh dan demi membantu
orang lain. Ketahuilah saudaraku, carilah amalan yang terbaik dan bisa
mendatangkan pahala sebanyak mungkin pada bulan suci ini. Umur kita
terbatas. Renungkanlah!
[2]. Disadur dari perkataan Syaikh Abdullah Al Fauzan di dalam kitabnya, Ahaditsus Siyam, hlm. 14-15.
[3]. Wadzaif Ramadhan, hlm. 11. Adakah di antara kita yang senantiasa
berdoa untuk berjumpa dengan bulan Ramadhan? Jangankan untuk berdoa
selama enam bulan agar berjumpa dengan Ramadhan, bahkan mungkin masih
banyak di antara kita yang tidak berdoa selama seminggu agar bersua
dengan Ramadhan. Hal ini tidak lain, karena kita kurang mengagungkan
nilai Ramadhan sebagaimana para salaf. Atau bahkan mungkin di antara
kita ada yang tidak pernah berdoa sama sekali untuk berjumpa dengan
Ramadhan?
[4]. Lihat khutbah Syaikh As Sudais dalam Kaukabah Al Khutab Al Munifah, hlm. 230-231.
[5]. Tafsir Al Qur`an Al Karim, tafsir surat Al Baqarah (2/317).
[6]. Lihat risalah Ramadhan Fursah Lit Taghyir, hlm. 13-14.
[7]. Wadzaif Ramadhan, hlm. 21.
[8]. Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Mushannaf-nya. Ibnu Rajab
berkata,”Jika dia meniatkan makan dan minumnya untuk menguatkan tubuh
guna melaksanakan shalat malam dan puasa, maka dia akan diberi pahala
(oleh Allah) karena niatnya tersebut (makan dan minumnya dinilai ibadah
oleh Allah, Pen). Demikian juga, jika dia meniatkan dengan tidurnya pada
malam hari ataupun siang hari agar kuat untuk beramal (shalih), maka
tidurnya itu termasuk ibadah.” (Wadzaif Ramadhan, hlm. 24).
[9]. Kaukabah Al Khutab Al Munifah, 1/ 237.
[10]. Yaitu mengamalkan konsekwensi dari kedustaan tersebut (Al Fath, 4/151).
[11]. Syaikh Abdullah Al Fauzan menjelaskan, yaitu melakukan sesuatu
yang merupakan tindakan orang-orang bodoh, seperti berteriak-teriak dan
hal-hal yang bodoh lainnya. (Ahaditsu Siyam, hlm. 74).
[12]. HR Al Bukhari, no. 1903, 6057. Ibnu At Thin berkata,”Zhahir hadits
menunjukkan, barangsiapa berbuat ghibah tatkala sedang puasa, maka
puasanya batal. Demikianlah pendapat sebagian Salaf. Adapun jumhur ulama
berpendapat sebaliknya (yaitu puasanya tidak batal). Namun menurut
mereka, makna dari hadits ini, bahwasanya ghibah termasuk dosa besar,
dan dosanya tidak bisa sebanding dengan pahala puasanya. Maka
seakan-akan dia seperti orang yang batal puasanya.” (Al Fath, 10/582).
Lihat Kaukabah Al Khutab Al Munifah, 1/ 229.
[13]. Wadzaif Ramadhan, hlm. 12.
[14]. Ibnu Katsir menjelaskan, di antara bentuk-bentuk meninggalkan
(tidak mengacuhkan) Al Qur`an ialah tidak mengamalkan perintah-perintah
yang terdapat di dalam Al Qur`an, tidak menjauhi larangan-larangan yang
terdapat di dalam Al Qur`an, berpaling dari (kebiasaan membaca) Al
Qur`an dan menggantikannya dengan membaca syair-syair atau
perkataan-perkataan atau lagu atau perkara sia-sia, yang tidak
berlandaskan Al Qur`an. (Tafsir Ibnu Katsir pada surat Al Furqan ayat
30).
[15]. Wadzaif Ramadhan, hlm 42. Sebagian Salaf berkata,”Al Qur`an
diturunkan untuk dipraktekan (dalam kehidupan). Namun manusia menjadikan
membaca Al Qur`an itulah bentuk mengamalkannya.”
[16]. Wadzaif Ramadhan, hlm. 43.
[17]. Berdasarkan perkataan Syaikh Abdullah Al Fauzan dalam kitabnya, Ahaditsus Siyam, hlm. 46-48.
[18]. HR Ahmad (3/93) dan Abu Dawud. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
dalam Ash Shahihah (4/134) dan beliau berkata: “Isnadnya shahih sesuai
dengan persyaratan (kriteria) Bukhari dan Muslim”.
[19]. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah, bab Al Kaisu
Lak Dana Nafsahau.... Setelah menyebutkan hadits “Al kaisu….dst”,
beliau berkata: “Dan diriwayatkan oleh Umar bin Al Khaththab, ia
berkata,’Hisablah….’.” Atsar ini juga disebutkan oleh Imam Ahmad dalam
kitab Zuhud-nya. Demikian juga Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin
(1/319).
[20]. Hilyatul Auliya` (2/157).
[21]. Madarijus Salikin (1/321).
[22]. Madarijus Salikin (1/ 321-324).
[23]. HR At Tirmidzi, no 2505, dan beliau berkata: “Ini adalah hadits
hasan gharib”. Al Mubarakfuri berkata,”Hadits ini munqati’. Meski
demikian, At Tirmidzi menghasankannya. Kemungkinan karena ada jalan yang
lain atau ada syahid bagi hadits ini, maka inqita’ (sanadnya yang
terputus) tidak mempengaruhinya.”(Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7/251). Namun
Syaikh Al Albani menghukumi, hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu)
dalam Dha’if Sunan At Tirmidzi, no. 449 dan dalam Dha’iful Jami’, no.
5710.
[24]. Sebagaimana penafsiran ini dibawakan juga oleh At Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini.
[25]. HR At Tirmidzi, no 2506, dan ia berkata: “Ini adalah hadits hasan
gharib”, dan didhaifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Dha’if Sunan At
Tirmidzi, no 450.
[26]. HR Al Bukhari, 2152.
[27]. HR Al Bukhari, 6617, 6628.
[28]. HR Ibnu Majah, no 99; Ahmad 4/182; dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah.
[29]. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi, 1739.
[30]. HR Muslim, no. 2654.
[31]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Maidah ayat 27.
[32]. Atsar-atsar tersebut disampaikan oleh Ibnu Rajab dalam Wazdaif Ramadhan, hlm. 73, kecuali atsar Abu Darda’.
[33]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Baqarah ayat 127.
[34]. HR Muslim 591 dan Abu Dawud, 1512.
[35]. Hadits ini tersusun dari dua hadits. Yang pertama diriwayatkan
oleh An Nasa-i di dalam ‘Amalul Yaum Wallailah, hlm. 173 dan dishahihkan
oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’, no 2059. Adapun hadits yang
kedua diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no 55 dan dishahihkan oleh Syaikh
Al Albani.
[36]. Madarijus Salikin, 1/327-330.
[37]. Dari kumpulan khutbah Jum’at beliau, Kaukabah Al Khutab Al Munifah (1/ 235).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar