HAKIKAT CINTA NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM.Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengutus Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam untuk menjelaskan kandungan makna syahadatain dan
memerintahkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk memerangi
manusia hingga bersaksi dengannya, sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ
وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي
دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ
عَلَى اللَّهِ
"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai bersaksi, sesungguhnya
tiada sesembahan yang benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah (syahadatain), menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Apabila
mereka melakukan hal tersebut, maka terjaga dariku darah dan harta
mereka, kecuali dengan hak Islam, dan hisab mereka pada Allah".[1]
Demikian juga Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan ketaatan kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai konsekwensi dari syahadatain dan
jalan menuju kebahagian dan keselamatan di dunia dan akhirat. Allah akan
memberikan balasan Surga bagi orang-orang yang taat kepada beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dijelaskan di dalam al Qur`an surat an Nisaa` ayat 13 : "Barangsiapa
yang mentaati Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam
Jannah yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar".
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, ketaatan kepada Allah dan
RasulNya merupakan pokok kebahagian dan keselamatan [2]. Karena, dengan
diutusnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai Rasul Allah, maka
manusia dapat membedakan kebenaran dan kebatilan dalam seluruh
perkaranya.
Demikian tinggi dan agungnya kedudukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam di sisi Allah, sehingga Allah mewajibkan kepada hamba-hambaNya
beberapa hak dan kewajiban seputar beliau. Di antaranya, mencintai dan
mengagungkannya melebihi diri hamba itu sendiri, bahkan melebihi
kecintaan kita kepada orang lain selain beliau. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah menyatakan, cinta kepada Raulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam termasuk kewajiban terbesar dalam agama.[3]
Disebutkan di dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ رواه البخاري
"Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga menjadikan aku
lebih ia cintai dari orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia".[4]
KEWAJIBAN MENCINTAI RASULULLAH[5]
Mencintai Rasulullah hukumnya wajib, bahkan termasuk kewajiban terbesar
dalam agama. Tidak sempurna iman seorang hamba, kecuali dengannya. Oleh
karena itu, Allah memerintahkan umat ini untuk mencintai Rasulullah
melebihi dirinya, keluarga, harta dan seluruh manusia. Allah berfirman :
"Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara,
isteri-isteri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan,
perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat
tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai lebih daripada Allah
dan RasulNya dan (dari) berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai
Allah mendatangkan keputusanNya". Dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang fasik" [at Taubat : 24].
Al Qadhi Iyadh menyatakan, ayat ini cukup menjadi anjuran dan bimbingan
serta hujjah untuk mewajibkan mencintai beliau n dan kelayakan beliau
mendapatkan kecintaan tersebut, karena Allah menegur orang yang
menjadikan harta, keluarga dan anaknya lebih dicintai dari Allah dan
RasulNya dan mengancam mereka dengan firmanNya:
فتربصوأ حتى يأتى الله بأمره
(maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya), kemudian di
akhir ayat menamakan mereka sebagai orang fasiq dan memberitahukan,
bahwa orang tersebut termasuk sesat dan tidak mendapatkan petunjuk
Allah.[6]
النبى أولى بالمنين من أنفسهم
"Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri". [al Ahzab:6].
Ayat ini menunjukkan, orang yang tidak menjadikan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam lebih utama dari dirinya sendiri, maka dia termasuk
bukan mukmin. Hal ini menunjukkan, bahwa kewajiban mencintai Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam melebihi dirinya sendiri.
والذتن ءامنوا أشد حبا لله
"Adapan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah". [al Baqarah : 165].
"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang". [Ali Imran : 31].
Allah telah menjadikan ittiba’ (mengikuti RasulNya) sebagai bukti dan
dalil kebenaran cinta Allah. Hal ini dapat diwujudkan, hanya setelah
iman kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan iman kepada beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam harus terwujudkan syarat-syaratnya, di
antaranya mencintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana
diberitakan Abu Hurairah :
فَوَ الَذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِن وَلَدِهِ وَ وَالِدِهِ رواه البخاري
"Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya. Tidak sempurna iman salah seorang
dari kalian, hingga menjadikan aku lebih ia cintai dari anaknya dan
orang tuanya".[7]
Selain hadits Abu Hurairah ini, hadits-hadits yang memerintahkan
demikian cukup banyak. Di antaranya seperti dalam hadits Umar bin Al
Khaththab :
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ آخِذٌ
بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا مِنْ نَفْسِي فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ فَقَالَ لَهُ
عُمَرُ فَإِنَّهُ الْآنَ وَاللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْآنَ يَا عُمَر ُ
رواه البخاري
"Kami bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau dalam
keadaan memegang tangan Umar bin Al Khaththab, lalu Umar berkata kepada
beliau: "Wahai, Rasululah! Sungguh engkau lebih aku cintai dari segala
sesuatu kecuali diriku," lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: "Tidak, demi Dzat yang jiwaku di tanganNya, sampai aku lebih
kamu cintai dari dirimu sendiri". Lalu Umarpun berkata: "Sekarang, demi
Allah, sungguh engkau lebih aku cintai dari diriku sendiri," lalu Nabi n
bersabda: "Sekarang, wahai Umar!" [8]
Juga hadits Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ مَنْ كَانَ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَمَنْ أَحَبَّ عَبْدًا
لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ يَكْرَهُ أَنْ يَعُودَ
فِي الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ
يُلْقَى فِي النَّارِ
"Tiga hal, yang apabila seorang memilikinya, maka akan mendapatkan
manisnya; orang yang menjadikan Allah dan RasulNya lebih ia cintai dari
selainnya, orang yang mencintai seorang hamba hanya karena Allah, dan
orang yang benci pada kekafiran setelah Allah selamatkan darinya
sebagaimana benci dilemparkan ke Neraka".[9]
Juga hadits yang diriwayatkan sahabat Anas bin Malik lainnya yang berbunyi:
أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَتَى السَّاعَةُ
قَائِمَةٌ قَالَ وَيْلَكَ وَمَا أَعْدَدْتَ لَهَا قَالَ مَا أَعْدَدْتُ
لَهَا إِلَّا أَنِّي أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ قَالَ إِنَّكَ مَعَ مَنْ
أَحْبَبْتَ فَقُلْنَا وَنَحْنُ كَذَلِكَ قَالَ نَعَمْ فَفَرِحْنَا
يَوْمَئِذٍ فَرَحًا شَدِيدًا متفق عليه
"Seorang penduduk badui menjumpai Rasulullah n dan bertanya: "Wahai,
Rasulullah! Kapan hari Kiamat terjadi?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam menjawab,"Apa yang telah engkau persiapkan untuknya?" Ia
menjawab,"Aku tidak memiliki persiapan, kecuali aku mencintai Allah dan
RasulNya," maka Rasulullah bersabda,"Sungguh, engkau bersama orang yang
engkau cintai." Lalu kami berkata: "Demikian juga kami?" Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,"Ya." Maka kamipun pada hari itu
sangat berbahagia".
Dalam riwayat Imam Muslim terdapat tambahan lafadz:
قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ
فَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِأَعْمَالِهِمْ
"Anas berkata: "Sungguh aku mencintai Allah, RasulNya, Abu Bakar dan
Umar, lalu aku berharap bisa bersama mereka, walaupun aku belum beramal
dengan amalan mereka". [10]
Masih banyak hadits-hadits yang menjelaskan wajibnya mencintai
Rasulullah. Sehingga pantaslah bila Syaikhul Islam rahimahullah
menyatakan, cinta Allah dan RasulNya termasuk kewajiban iman terbesar
dan pokok, dan kaidah iman yang teragung. Bahkan ia merupakan landasan
semua amalan iman dan agama.[11]
HAKIKAT CINTA RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Cinta Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan bagian dari
cinta kepada Allah. Cinta kepada Allah menuntut konsekwensi mencintai
semua yang Allah cintai. Dan Allah mencintai nabi dan kekasihNya,
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga, cinta kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan cabang dan termasuk
kecintaan kepada Allah.
Ibnul Qayyim menyatakan: "Semua kecintaan dan pengagungan kepada manusia
diperbolehkan hanya karena ikut kepada kecintaan Allah dan
pengagunganNya, seperti cinta dan pengagungan kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kecintaan tersebut merupakan kesempurnaan
mencintai dan mengagungkan Dzat yang mengutusnya, karena umatnya
mencintai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam karena Allah
mencintainya. Merekapun mengagungkan dan memuliakan beliau, karena Allah
memuliakannya".[12]
Dengan demikian, cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengharuskan kita mencontoh dan bersikap sama dengan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam segala hal yang dicintai dan
dibencinya. Dan diwujudkan dalam ittiba’ (meniru) beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam. Kita mencintai semua yang Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam cintai, dan membenci semua yang beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam benci, ridha dengan semua yang beliau ridhai dan marah
terhadap semua yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi was allam marah
padanya, serta mengamalkan semua tuntutan cinta dan benci tersebut
dengan amal perbuatan.[13]
Kecintaan dan pengagungan kepada Rasulullah, dapat diwujudkan dengan hal-hal berikut.
1. Mencintai beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas kecintaan
kepada diri sendiri, keluarga dan seluruh manusia. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
"Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri". [al Ahzab : 6].
Juga sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ رواه البخاري
"Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian, hingga menjadikan aku
lebih ia cintai dari orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia [14].
Sehingga demi yang dicintainya, seseorang dituntut siap mengorbankan jiwa dan harta. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Badui yang
berdiam di sekitar mereka tidak turut menyertai Rasulullah (pergi
berperang), dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri
mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah, karena
mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah.
Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah
orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh,
melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal
shalih. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
berbuat baik". [at Taubat :120].
2. Membenarkan semua yang diberitakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
dari Allah, mentaati beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua
perintahnya dan menjauhi segala larangannya, serta beribadah hanya
dengan syari’atnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Yang wajib bagi
orang semisal mereka adalah, mengetahui bahwa kecintaan dan pengagungan
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya bisa terwujud
dengan membenarkan seluruh berita beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
dari Allah, mentaati perintah dan mencontoh beliau, serta mencintai dan
loyal kepadanya, tidak mendustakan ajaran beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam dan (tidak) berbuat syirik serta bersikap berlebihan terhadap
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.[15]
Ini juga merupakan konsekwensi dari persaksian syahadat "asyhadu anna
Muhammadan 'abduhu wa Rasuluhu. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab di dalam
kitab al Ushuluts Tsalatsah menjelaskan, makna Syahadat ana Muhammadan
Rasulullah adalah, mentaati beliau dalam semua perintahnya, membenarkan
semua beritanya dan menjauhi semua larangannya, serta tidak beribadah
kecuali dengan syari’atnya.[16]
3. Melaksanakan semua konsekwensi dari cinta kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik berupa i’tikad, pernyataan ataupun
amalan, sesuai dengan hak-hak Rasulullah yang Allah wajibkan kepada
hati, lisan dan anggota tubuh, sehingga beriman dan membenarkan
kenabian, kerasulan dan seluruh ajaran beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Lalu melaksanakan kewajiban dengan segenap kemampuannya, berupa
ketaatan, ketundukan kepada perintahnya dan meneladani sunnahnya . Allah
berfirman:
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah". [al Hasyr : 7].
Termasuk dalam hal ini, yaitu mengucapkan shalawat dan salam kepada
beliau, menolong dan membela beliau dari semua orang yang mengusik dan
mengganggunya, baik ketika beliau masih hidup atau setelah wafat, dan
berbicara kepada beliau dengan perkataan yang pantas, mengutamakan
pendapat dan pernyataan beliau dari selainnya.[17]
SAHABAT & KECINTAAN KEPADA RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Para sahabat telah memperoleh kemulian berjumpa dengan NabiShallallahu
'alaihi wa sallam . Mereka melihat langsung keluhuran dan kemulian
akhlak beliau. Mereka juga langsung menyaksikan turunnya wahyu kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Oleh karena itu, perlu kita
lihat betapa besar kecintaan para sahabat kepada Rasululah Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Banyak kisah tentang perwujudan cinta mereka kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antaranya kisah perjalanan beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Hudaibiyah dan perjanjian Hudaibiyah
yang disampaikan Imam al Bukhari dengan sangat panjang. Di antara isinya
adalah :
فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ إِذْ جَاءَ بُدَيْلُ بْنُ وَرْقَاءَ
الْخُزَاعِيُّ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِهِ مِنْ خُزَاعَةَ وَكَانُوا عَيْبَةَ
نُصْحِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَهْلِ
تِهَامَةَ فَقَالَ إِنِّي تَرَكْتُ كَعْبَ بْنَ لُؤَيٍّ وَعَامِرَ بْنَ
لُؤَيٍّ نَزَلُوا أَعْدَادَ مِيَاهِ الْحُدَيْبِيَةِ وَمَعَهُمْ الْعُوذُ
الْمَطَافِيلُ وَهُمْ مُقَاتِلُوكَ وَصَادُّوكَ عَنْ الْبَيْتِ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّا لَمْ نَجِئْ
لِقِتَالِ أَحَدٍ وَلَكِنَّا جِئْنَا مُعْتَمِرِينَ وَإِنَّ قُرَيْشًا قَدْ
نَهِكَتْهُمْ الْحَرْبُ وَأَضَرَّتْ بِهِمْ فَإِنْ شَاءُوا مَادَدْتُهُمْ
مُدَّةً وَيُخَلُّوا بَيْنِي وَبَيْنَ النَّاسِ فَإِنْ أَظْهَرْ فَإِنْ
شَاءُوا أَنْ يَدْخُلُوا فِيمَا دَخَلَ فِيهِ النَّاسُ فَعَلُوا وَإِلَّا
فَقَدْ جَمُّوا وَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ
لَأُقَاتِلَنَّهُمْ عَلَى أَمْرِي هَذَا حَتَّى تَنْفَرِدَ سَالِفَتِي
وَلَيُنْفِذَنَّ اللَّهُ أَمْرَهُ فَقَالَ بُدَيْلٌ سَأُبَلِّغُهُمْ مَا
تَقُولُ قَالَ فَانْطَلَقَ حَتَّى أَتَى قُرَيْشًا قَالَ إِنَّا قَدْ
جِئْنَاكُمْ مِنْ هَذَا الرَّجُلِ وَسَمِعْنَاهُ يَقُولُ قَوْلًا فَإِنْ
شِئْتُمْ أَنْ نَعْرِضَهُ عَلَيْكُمْ فَعَلْنَا فَقَالَ سُفَهَاؤُهُمْ لَا
حَاجَةَ لَنَا أَنْ تُخْبِرَنَا عَنْهُ بِشَيْءٍ وَقَالَ ذَوُو الرَّأْيِ
مِنْهُمْ هَاتِ مَا سَمِعْتَهُ يَقُولُ قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ كَذَا
وَكَذَا فَحَدَّثَهُمْ بِمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَامَ عُرْوَةُ بْنُ مَسْعُودٍ فَقَالَ أَيْ قَوْمِ أَلَسْتُمْ
بِالْوَالِدِ قَالُوا بَلَى قَالَ أَوَلَسْتُ بِالْوَلَدِ قَالُوا بَلَى
قَالَ فَهَلْ تَتَّهِمُونِي قَالُوا لَا قَالَ أَلَسْتُمْ تَعْلَمُونَ
أَنِّي اسْتَنْفَرْتُ أَهْلَ عُكَاظَ فَلَمَّا بَلَّحُوا عَلَيَّ
جِئْتُكُمْ بِأَهْلِي وَوَلَدِي وَمَنْ أَطَاعَنِي قَالُوا بَلَى قَالَ
فَإِنَّ هَذَا قَدْ عَرَضَ لَكُمْ خُطَّةَ رُشْدٍ اقْبَلُوهَا وَدَعُونِي
آتِيهِ قَالُوا ائْتِهِ فَأَتَاهُ فَجَعَلَ يُكَلِّمُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَحْوًا مِنْ قَوْلِهِ لِبُدَيْلٍ فَقَالَ عُرْوَةُ عِنْدَ
ذَلِكَ أَيْ مُحَمَّدُ أَرَأَيْتَ إِنْ اسْتَأْصَلْتَ أَمْرَ قَوْمِكَ هَلْ
سَمِعْتَ بِأَحَدٍ مِنْ الْعَرَبِ اجْتَاحَ أَهْلَهُ قَبْلَكَ وَإِنْ
تَكُنِ الْأُخْرَى فَإِنِّي وَاللَّهِ لَأَرَى وُجُوهًا وَإِنِّي لَأَرَى
أَوْشَابًا مِنْ النَّاسِ خَلِيقًا أَنْ يَفِرُّوا وَيَدَعُوكَ فَقَالَ
لَهُ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ امْصُصْ بِبَظْرِ اللَّاتِ أَنَحْنُ نَفِرُّ
عَنْهُ وَنَدَعُهُ فَقَالَ مَنْ ذَا قَالُوا أَبُو بَكْرٍ قَالَ أَمَا
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْلَا يَدٌ كَانَتْ لَكَ عِنْدِي لَمْ
أَجْزِكَ بِهَا لَأَجَبْتُكَ قَالَ وَجَعَلَ يُكَلِّمُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُلَّمَا تَكَلَّمَ أَخَذَ بِلِحْيَتِهِ
وَالْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ قَائِمٌ عَلَى رَأْسِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُ السَّيْفُ وَعَلَيْهِ الْمِغْفَرُ
فَكُلَّمَا أَهْوَى عُرْوَةُ بِيَدِهِ إِلَى لِحْيَةِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَرَبَ يَدَهُ بِنَعْلِ السَّيْفِ وَقَالَ لَهُ
أَخِّرْ يَدَكَ عَنْ لِحْيَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَرَفَعَ عُرْوَةُ رَأْسَهُ فَقَالَ مَنْ هَذَا قَالُوا
الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ فَقَالَ أَيْ غُدَرُ أَلَسْتُ أَسْعَى فِي
غَدْرَتِكَ وَكَانَ الْمُغِيرَةُ صَحِبَ قَوْمًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ
فَقَتَلَهُمْ وَأَخَذَ أَمْوَالَهُمْ ثُمَّ جَاءَ فَأَسْلَمَ فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا الْإِسْلَامَ
فَأَقْبَلُ وَأَمَّا الْمَالَ فَلَسْتُ مِنْهُ فِي شَيْءٍ ثُمَّ إِنَّ
عُرْوَةَ جَعَلَ يَرْمُقُ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِعَيْنَيْهِ قَالَ فَوَاللَّهِ مَا تَنَخَّمَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُخَامَةً إِلَّا وَقَعَتْ فِي كَفِّ
رَجُلٍ مِنْهُمْ فَدَلَكَ بِهَا وَجْهَهُ وَجِلْدَهُ وَإِذَا أَمَرَهُمْ
ابْتَدَرُوا أَمْرَهُ وَإِذَا تَوَضَّأَ كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى
وَضُوئِهِ وَإِذَا تَكَلَّمَ خَفَضُوا أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَهُ وَمَا
يُحِدُّونَ إِلَيْهِ النَّظَرَ تَعْظِيمًا لَهُ فَرَجَعَ عُرْوَةُ إِلَى
أَصْحَابِهِ فَقَالَ أَيْ قَوْمِ وَاللَّهِ لَقَدْ وَفَدْتُ عَلَى
الْمُلُوكِ وَوَفَدْتُ عَلَى قَيْصَرَ وَكِسْرَى وَالنَّجَاشِيِّ وَاللَّهِ
إِنْ رَأَيْتُ مَلِكًا قَطُّ يُعَظِّمُهُ أَصْحَابُهُ مَا يُعَظِّمُ
أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحَمَّدًا
وَاللَّهِ إِنْ تَنَخَّمَ نُخَامَةً إِلَّا وَقَعَتْ فِي كَفِّ رَجُلٍ
مِنْهُمْ فَدَلَكَ بِهَا وَجْهَهُ وَجِلْدَهُ وَإِذَا أَمَرَهُمْ
ابْتَدَرُوا أَمْرَهُ وَإِذَا تَوَضَّأَ كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى
وَضُوئِهِ وَإِذَا تَكَلَّمَ خَفَضُوا أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَهُ وَمَا
يُحِدُّونَ إِلَيْهِ النَّظَرَ تَعْظِيمًا لَهُ وَإِنَّهُ قَدْ عَرَضَ
عَلَيْكُمْ خُطَّةَ رُشْدٍ فَاقْبَلُوهَا.
Ketika mereka dalam keadaan demikian, tiba-tiba datangnya Budail bin
Warqaa’ al Khuzaa’i bersama beberapa orang dari kaumnya Khuza’ah, dan
mereka ini adalah orang-orang yang dipercaya Rasulullah (dapat menyimpan
rahasia dan amanah) dari penduduk tihaamah.
Lalu Budail berkata: "Sungguh aku tinggalkan Ka’ab bin Lu’ai dan ‘Amir
bin Lu’ai tinggal di sekitar sumber air Hudaibiyah dan bersama mereka
harta. Wanita dan anak-anak mereka dalam keadaan siap memerangimu dan
mencegahmu dari Ka’bah".
Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,"Kami datang bukan
untuk berperang, namun kami datang untuk berumrah. Sungguh Quraisy
telah menjadi lemah dan rugi karena perang. Maka jika mereka ingin, aku
akan menawarkan gencatan senjata beberapa waktu dan membiarkan urusanku
dengan orang-orang. Maka jika aku menang, bila mereka ingin memeluk apa
yang orang lain memeluknya (beragama), mereka bisa kerjakan. Dan kalau
tidak menang, maka mereka telah beristirahat dari peperangan. Apabila
mereka menolak (tawaran ini), maka demi Dzat yang jiwaku ada di
tanganNya, tentu akan aku perangi di atas agama ini sampai bahuku
terpisah (aku terbunuh), dan Allah pasti akan mewujudkan perintahnya."
Lalu Budail berkata: "Saya akan sampaikan kepada mereka apa yang engkau sampaikan".
Perawi berkata: Lalu Budail berangkat sampai mendatangi Quraisy, ia
berkata: "Aku telah mendatangi kalian dari lelaki tersebut, dan kami
telah mendengar pernyataannya. Jika kalian ingin, kami sampaikan kepada
kalian, kami akan lakukan".
Maka orang bodoh mereka berkata: "Kami tidak butuh engkau memberitahukan hal itu".
Sedangkan tokoh mereka berkata: "Silahkan beritahu apa yang telah engkau dengar dari pernyataannya".
Budail berkata,"Aku mendengar ia berkata demikian dan demikian," lalu
Budail menyampaikan kepada mereka pernyataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Lalu Urwah bin Mas’ud bangkit dan berkata: "Wahai, kaum!
Bukankah kalian orang tua?"
Mereka menjawab,"Ya."
Ia berkata lagi,"Bukankah aku ini anak kalian?"
Mereka menjawab,"Ya."
Ia berkata lagi: "Apakah kalian meragukanku?"
Mereka menjawab,"Tidak!"
Ia berkata lagi: "Bukanlah kalian mengetahui, bahwa aku telah
memerintahkan penduduk ‘Ukaadz untuk berperang. Ketika mereka
menolaknya, maka aku mendatangkan keluarga dan anakku, serta orang yang
mentaatiku?"
Mereka menjawab,"Ya."
Ia berkata lagi: "Sungguh, orang itu telah menawarkan kepada kalian
perkara yang baik, maka terimalah dan biarkanlah aku menemuinya".
Mereka menjawab,"Datangilah!" Lalu Urwah mendatangi Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam , dan mulailah ia berbicara kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab seperti yang beliau sampaikan kepada Budail.
Maka Urwahpun, ketika itu berkata : "Wahai, Muhammad. Bagaimana
pendapatmu, bila engkau habiskan perkara kaummu, apakah engkau pernah
mendengar seorang dari bangsa Arab menghancurkan seluruh keluarganya
sebelummu? Namun bila sebaliknya, sungguh aku tidak melihat orang-orang
dan aku yakin orang-orang campuran tersebut, pasti akan lari dan
meninggalkanmu".
Maka Abu Bakar berkata kepadanya: Sedot kemaluannya Latta! Apakah mungkin kami akan lari dan meninggalkannya?
Maka Urwahpun menyahut: "Siapa itu?"
Mereka menjawab: "Abu Bakar," lalu Urwah berkata,"Seandainya bukan
karena jasa baikmu kepadaku dahulu (yang) menghalangiku, tentu aku akan
menjawab (pernyataan)mu ini."
Urwah kembali berbicara kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Setiap kali berbicara, maka ia memegangi jenggot Rasulullah. Dan al
Mughirah bin Syu’bah berdiri di belakang kepala Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam membawa pedang dan mengenakan tutup kepala besi, sehingga
setiap kali Urwah menggerakkan tangannya ke arah jenggot Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka al Mughirah memukulnya dengan gagang
pedang, dan berkata: "Tahan tanganmu dari jenggot Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam," lalu Urwah pun mengangkat kepalanya dan
berkata: "Siapa ini?"
Mereka menjawab,"Al Mughirah bin Syu’bah,"maka Urwah pun berkata:
"Wahai, penghianat! Bukankan aku telah berusaha menghilangkan
(kejelekan) pengkhianatanmu?"
Memang, dahulu pada zaman Jahiliyah, al Mughirah pernah menemani satu
kaum, lalu membunuh dan merampok harta mereka, kemudian datang masuk
Islam, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Adapun Islammu
aku terima, sedangkan harta itu bukan urusanku".
Kemudian Urwah mulai memperhatikan para sahabat Nabi dengan kedua
matanya. Ia berkata,"Demi Allah! Tidaklah Rasulullah mengeluarkan dahak,
kecuali mengenai satu telapak seorang dari mereka, lalu menggosokkannya
ke wajah dan kulitnya. Dan jika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
memerintahkan mereka, maka mereka segera melaksanakannya. Juga jila
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu, maka mereka seakan-akan
berperang memperebutkan sisa air wudhunya. Dan jika berbicara, mereka
merendahkan suara-suara mereka. Mereka tidak memandang langsung
Rasulullah karena mengagungkannya," lalu Urwahpun pulang menemui
teman-temannya dan berkata: "Wahai, kaum! Demi Allah! Sungguh aku pernah
menemui para raja, menemui kaisar, kisra dan Najasyi. Demi Allah! Tidak
pernah aku melihat seorang pun raja yang diagungkan para sahabatnya
seperti para sahabat Muhammad kepada Muhamad. Demi Allah! Tidaklah
keluar dahak darinya, kecuali mengenai telapak seorang dari mereka, lalu
menggosokkannya di wajah dan kulitnya. Jika ia memerintahkan mereka,
maka mereka segera melaksanakannya. Jika ia berwudhu, mereka seakan-akan
berperang memperebutkan air sisa wudhunya. Dan jika berbicara, mereka
merendahkan suara-suara mereka serta tidak memandang langsung kepadanya
karena mengagungkannya. Sungguh ia telah menawarkan kepada kalian
kebaikan, maka terimalah!" [18]
Kita lihat, betapa besar kecintaan para sahabat kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka wujudkan kecintaan tersebut dalam
amalan nyata. Di antaranya dengan melaksanakan seluruh perintah beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam, merendahkan suara di hadapannya dan
bersikap takdim di depan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kisah ini
dilihat dan dipersaksikan langsung oleh musuh beliau waktu itu.
Bagaimana dengan kita kaum Muslimin sebagai pengikut beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam ? Tentu menjadi sebuah keharusan untuk mewujudkan
cinta kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam realitas kehidupan
sehari-hari. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memudahkan kita mengikuti
tauladan tercinta, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Wabillahit taufiq.
Maraji` :
- Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah.
- Huquq an Nabi ‘ala Umatihi fi Dhu’il Kitab wa as Sunnah, Dr. Muhammad
Khalifah at Tamimi, Cet. Pertama, Th. 1418 H, Penerbit Adwaa’ as Salaf.
- At Tuhfah al 'Iraqiyah fil A’mal al Qalbiyah, Ibnu Taimiyah, tahqiq
Dr. Yahya Muhammad al Hunaidi, Cet. Pertama, Th. 1421H, Maktabat ar
Rusyd.
- Thariq al Wushul ila Idhah ats Tsalatsah al Ushul, Syaikh Zaid bin
Muhammad bin Hadi al Madkhali, Cet. Tahun 1422H, Maktabah al Furqaan,
UEA.
- Jala’ al Afhaam fi Fadhli ash Shalat wa as Salam ‘ala Khairil Anam,
Ibnul Qayyim, tahqiq Zaid bin Ahmad an Nasyiri, Cet. Pertama, Th. 1425H,
Dar ‘Alam al Fawaaid.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.
_______
Footnote
[1]. HR al Bukhari dalam kitab al Iman, Bab فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ , hadits no. 25.
[2]. Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah (1/4).
[3]. Ar Radd a’lal Akhnaa’i, hlm. 231. Dinukil dari kitab Huquq an Nabi
‘ala Umatihi fi Dhu’il Kitab wa as Sunnah, Dr. Muhammad Khalifah at
Tamimi, Cet. Pertama, Th. 1418 H, Penerbit Adwaa’ as Salaf (1/289).
[4]. HR al Bukhari dalam kitab al Iman, Bab Hubbur Rasul minal Imaan, no. 14.
[5]. Diringkas dari Huquq an Nabi (1/301-318).
[6]. Dinukil dari Huquq an Nabi (1/301-302).
[7]. HR al Bukhari, kitab al Iman, Bab Hubbur Rasul minal Imaan, no. 13.
[8]. HR al Bukhari, kitab al Aimaan an an Nudzur, Bab Kaifa Kaanat Yamiin an Nabi, no. 6632.
[9]. HR al Bukhari, kitab al Iman, Bab Halaawat Iman, no. 16.
[10]. HR al Bukhari, kitab al Adab, Bab al Mar’u Ma’a Man Ahab, no. 6171
dan Muslim, kitab al Bir wa as Silah, Bab al Mar’u Ma’a Man Ahab, no.
4775.
[11]. At Tuhfah al 'Iraqiyah fil A’mal al Qalbiyah, Ibnu Taimiyah,
tahqiq Dr. Yahya Muhammad al Hunaidi, Cet. Pertama, Th. 1421H, Maktabat
ar Rusyd, hlm. 373.
[12]. Jala’ al Afhaam fi Fadhli ash Shalat wa as Salam ‘ala Khairil
Anam, Ibnul Qayyim, tahqiq Zaid bin Ahmad an Nasyiri, Cet. Pertama, Th.
1425H, Dar ‘Alam al Fawaaid, hlm. 205.
[13]. Huquq an Nabi (1/289) dengan sedikit perubahan.
[14]. HR al Bukhari, kitab al Iman, Bab Hubbur Rasul minal Imaan, no. 14.
[15]. Huquq al Nabi (1/291).
[16]. Lihat Thariq al Wushul ila Idhah ats Tsalatsah al Ushul, Syaikh
Zaid bin Muhammad bin Hadi al Madkhali, Cet. Tahun 1422H, Maktabah al
Furqaan, UEA, hlm. 163.
[17]. Huquq an Nabi (1/294).
[18]. HR al Bukhari, kitab asy Syuruth, Bab Syurut fil Jihad, no. 2529.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar