Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.Seseorang tidaklah menjadi orang yang beriman sempurna, sampai dia
mencintai Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih daripada
seluruh manusia. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
"Tidaklah beriman –dengan keimanan yang sempurna- salah seorang dari
kamu, sampai aku menjadi yang paling dia cintai daripada bapaknya,
anaknya, dan seluruh manusia" [HR Bukhari, no. 15; Muslim, no. 44; dari
Anas bin Malik].
Jika seseorang mencintai Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
lebih daripada seluruh manusia, maka dia akan mengikuti petunjuk beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia akan lebih mengutamakan beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam daripada petunjuk siapa saja dari kalangan
manusia.
Al Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Ketahuilah, orang yang mencintai
sesuatu, ia akan mengutamakannya dan mengutamakan kecocokan dengannya.
Jika tidak, maka ia tidak benar di dalam kecintaannya, dan dia (hanya)
sebagai orang yang mengaku-ngaku saja. Maka orang yang benar di dalam
kecintaannya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah, orang
yang nampak darinya tanda-tanda tersebut. Yang pertama dari tanda-tanda
itu adalah, meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mengamalkan
sunnahnya (ajarannya), mengikuti perkataan dan perbuatannya, dan beradab
dengan adab-adabnya, pada waktu kesusahan dan kemudahan, pada waktu
senang dan benci”.[1]
Imam Ibnu Rajab al Hambali rahimahullah berkata: “Kecintaan yang benar
mengharuskannya mengikuti dan mencocoki di dalam kecintaan apa-apa yang
dicintai dan kebencian di dalam apa-apa yang dibenci... Maka barangsiapa
mencintai Allah dan RasulNya dengan kecintaan yang benar dari hatinya,
hal itu menyebabkan dia mencintai -dengan hatinya- apa yang dicintai
oleh Allah dan RasulNya, dan dia membenci apa yang dibenci oleh Allah
dan RasulNya, ridha dengan apa yang diridhai oleh Allah dan RasulNya,
murka terhadap yang dimurkai oleh Allah dan RasulNya, dan dia
menunjukkan kecintaan dan kebenciannya ini dengan anggota badannya”.[2]
Begitulah seharusnya kecintaan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Akan tetapi, pada zaman ini dan sebelumnya, banyak pengakuan
cinta sebagian orang kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang
dalam mewujudkannya dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak
diridhai oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Di antara perbuatan-perbuatan tersebut ialah sebagaimana berikut ini.
1. Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.
Syaikh Shalih al Fauzan –hafizhahullah- menyatakan, di antara bid’ah
yang mungkar yang diada-adakan oleh sebagian orang adalah perayaan
maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan Rabi’ul Awal. Di
antara mereka ada yang sekedar berkumpul, mendengarkan bacaan kisah
maulid, atau ceramah, atau qasidah. Di antara mereka ada yang membuat
makanan tertentu dan manisan, lalu membagikannya kepada orang-orang yang
hadir. Di antara mereka ada yang mengadakan di masjid-masjid. Di antara
mereka ada yang mengadakan di rumah-rumah.
Di antara mereka ada yang tidak mencukupkan dengan apa yang telah
disebutkan, lalu pertemuan itu dibuat mencakup hal-hal yang diharamkan
dan kemungkaran-kemungkaran, berupa campur-aduk antara laki-laki dengan
perempaun, tarian, nyanyian, atau perbuatan-perbuatan syirik, seperti
minta dihilangkan kesusahan kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam,
memanggil beliau, meminta pertolongan kepada beliau terhadap musuh, dan
lainnya.
Dan (peringatan maulid) itu, dengan berbagai ragamnya dan perbedaan
bentuk-bentuknya, serta perbedaan niat orang-orang yang mengadakannya,
tidak ada keraguan dan kebimbangan, bahwa itu merupakan perbuatan bid’ah
yang diharamkan, perkara baru yang diada-adakan oleh (kelompok) Syi’ah
(yang mengaku keturunan Fatimah Radhiyallahu 'anhuma, (diada-adakan)
setelah tiga generasi yang utama untuk merusak agama umat Islam.[3]
Kemudian Syaikh Shalih al Fauzan menyebutkan berbagai syubhat
orang-orang yang mengadakan perayaan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Di antara syubhat-syubhat itu adalah, bahwa perayaan maulid Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan kecintaan terhadap Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan menampakkan kecintaan kepada
beliau Shallallahu 'alaihi was allam disyari’atkan.
Maka Syaikh Shalih al Fauzan membantah syubhat itu dengan mengatakan:
“Tidak ada keraguan bahwa mencintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
merupakan kewajiban atas setiap muslim, lebih besar daripada mencintai
dirinya sendiri, anak, bapak, dan manusia seluruhnya. Semoga
shalawat-shalawat dan salam diberikan kepada beliau.
Tetapi bukan berarti kita (kemudian) mengadakan sesuatu perkara baru
(bid’ah) yang tidak disyari’atkan untuk kita. Bahkan mencintai beliau
mengharuskan mentaati dan mengikuti beliau. Karena hal itu merupakan
perwujudan kecintaan yang paling besar. Sebagaimana dikatakan di dalam
sya’ir:
لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقًا لَأَطَعْتَهُ إِنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعٌ
Seandainya kecintaanmu itu benar, pastilah engkau akan mentaatinya,
Sesungguhnya orang yang mencintai itu mentaati orang yang dia cintai.
Mencintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengharuskan menghidupkan
sunnah (jalan, ajaran) beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, memegangnya
kuat-kuat, dan menjauhi apa-apa yang menyelisihinya yang berupa
perkataan dan perbuatan. Dan tidak ada keraguan, apa yang menyelisihi
sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan bid’ah yang
tercela dan kemaksiatan yang nyata, di antaranya adalah perayaan
peringatan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bid’ah-bid’ah
lainnya. Kebaikan niat tidak menjadikan bolehnya berbuat bid’ah di dalam
agama. Karena sesungguhnya, agama itu dibangun di atas dua landasan,
yaitu ikhlas (murni mencari ridha Allah) dan mutaba’ah (mengikuti sunnah
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ). Allah Ta’ala berfirman:
"(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan wajahnya kepada
Allah (yaitu ikhlas, Pen), sedang ia berbuat kebajikan (yakni mutaba’ah.
Pen), maka baginya pahala pada sisi Rabb-nya dan tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati". [al Baqarah :
112].
Menyerahkan wajah kepada Allah adalah ikhlas kepada Allah, sedangkan
ihsan (berbuat kebajikan) yakni mengikuti Rasul dan mencocoki sunnah.[4]
2. Memuji Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Secara Berlebihan.
Salah satu bentuk kecintaan adalah memuji kepada orang yang dicintai.
Oleh karena itulah banyak sya’ir-sya’ir yang memuji Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dan memuji sifat-sifat beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Apabila pujian itu sesuai dengan hakikatnya, tidak berlebihan,
maka tidak mengapa. Sebagaimana sebagian para penyair di kalangan
sahabat memuji Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti Hassaan bin
Tsabit, Abdullah bin Rawahah, Ka’b bin Malik, dan lainnya Radhiyallahu
'anhum.
Namun sebagian orang memuji Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara
berlebihan, bahkan ada yang sampai derajat kemusyrikan. Maka, hal ini
termasuk sikap ghuluw (melewati batas) yang dilarang keras oleh agama,
walaupun dengan alasan cinta Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan umatnya tentang hal ini
dengan sabdanya:
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
"Janganlah engkau memujiku secara berlebihan sebagaimana Nashara telah
memujiku secara berlebihan terhadap (Isa) Ibnu Maryam. Sesungguhnya aku
hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah “hamba Allah dan
RasulNya”. [HR Bukhari, no. 3445, dari sahabat Umar bin al Khaththab].
Di antara contoh pujian yang berlebihan kepada Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam adalah, qasidah (kumpulan sya’ir) mimiyah (yang
diakhiri dengan huruf mim) karya Ibnu Sa’id al Bushiri (meninggal tahun
695H) di kota Iskandariyah, Mesir. Qasidah ini sangat terkenal pada
sebagian umat Islam. Qasidah ini berisi kisah maulid Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, sehingga banyak dibaca sebagian umat Islam saat
merayakan peringatan maulid Nabi. Qasidah ini dikenal dengan nama burdah
(selimut), karena konon, pembuat qasidah ini meminta kesembuhan dari
penyakit lumpuh separo yang dia derita, dengan perantaraan pembacaan
qasidahnya, lalu dia bermimpi didatangi oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengusapnya sehingga
penyakitnya sembuh. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
memberikan burdah kepadanya.
Perlu kita ketahui, bahwa mimpi tidak dapat dijadikan pedoman keyakinan
dan hukum-hukum dalam masalah agama. Karena agama Islam telah sempurna,
sehingga tidak membutuhkan tambahan dari mimpi-mimpi.
Penyimpangan nyata dari Qasidah Burdah Bushiri tersebut, antara lain adalah ucapannya pada bagian ke tiga dari qasidahnya:
يَا أَكْرَمَ الرُّسُلِ مَالِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ الْعَمِمِ
Wahai Rasul yang paling mulia, tidak ada bagiku orang yang aku
berlindung kepadanya kecuali engkau, di saat terjadinya musibah yang
merata
Perkataan ini merupakan doa di saat kesusahan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan doa kepada selain Allah adalah
syirik akbar yang mengeluarkan dari agama Islam!
3. Menciptakan Shalawat-Shalawat Bid’ah Dan Mengamalkannya.
Sesungguhnya shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
merupakan salah satu bentuk ibadah yang agung. Kita dianjurkan
memperbanyak bacaan shalawat, sehingga mengamalkannya merupakan sarana
meraih kebaikan dan sekaligus menunjukkan kecintaan kita kepada Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا
"Barangsiapa memohonkan shalawat atasku sekali, Allah bershalawat
atasnya sepuluh kali". [HR Muslim, no. 408, dari Abu Hurairah].
Tetapi sayang, betapa banyak penyimpangan dan bid’ah yang dilakukan oleh
banyak orang seputar shalawat Nabi. Antara lain tersebarnya
shalawat-shalawat yang tidak disyari’atkan. Yaitu shalawat yang datang
dari hadits-hadits dha’if (lemah), sangat dha’if, maudhu’ (palsu), atau
tidak ada asalnya. Demikian juga shalawat yang dibuat-buat (umumnya oleh
ahli bid’ah), kemudian mereka tetapkan dengan nama shalawat ini atau
itu.
Shalawat seperti ini sangat banyak jumlahnya, bahkan sampai ratusan.
Sebagai contoh, berbagai shalawat yang ada di dalam kitab Dalailul
Khairat wa Syawariqul Anwar fii Dzikrish Shalah ‘ala Nabiyil Mukhtar,
karya al Jazuli (meninggal th. 854H). Di antara shalawat bid’ah ini
adalah shalawat Basyisyiyah, shalawat Nariyah, shalawat Fatih, dan
lain-lain. Termasuk musibah, karena sebagian shalawat bid’ah itu
mengandung kesyirikan.[5]
Jika demikian, maka mengamalkan shalawat-shalawat bid’ah itu merupakan
kesesatan, bukan wujud kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam.
4. Merayakan Atau Mengagungkan Bekas-Bekas Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Yang Tidak Disyari’atkan Untuk Diagungkan.
Sebagian orang beranggapan bahwa salah satu bentuk mencintai Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah dengan melestarikan, mengunjungi dan
mengagungkan bekas-bekas atau jejak-jejak dari tempat-tempat yang
dikaitkan dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seperti tempat
kelahiran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, tempat tahannuts
(ibadah) beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di goa Hira’, tempat
bersembunyi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di goa Tsaur, tempat
mendekamnya onta beliau di Quba, Madinah, sumur jatuhnya cincin beliau,
dan semacamnya. Anggapan seperti ini merupakan anggapan yang salah,
anggapan jahiliyah dahulu maupun sekarang.
Umar bin al Khaththab Radhiyallahu 'anhu telah memerintahkan menebang pohon yang di bawahnya telah terjadi Bai’atur Ridhwan.
Demikian juga beliau Radhiyallahu 'anhu telah melarang orang-orang
mengagungkan tempat-tempat yang dianggap mulia karena Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam pernah shalat di sana. Inilah riwayat yang menjelaskan
hal tersebut :
Dari Ma’rur bin Suwaid, dia berkata: Aku bersama Umar di antara Makkah
dan Madinah, kemudian beliau Radhiyallahu 'anhu shalat fajar (Shubuh)
dengan kami. Beliau Radhiyallahu 'anhu membaca
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ (surat al Fiil) dan bersama لإِيلاَفِ
قُرَيْشٍ (surat al Quraisy). Kemudian beliau melihat serombongan orang
yang singgah dan shalat di dalam sebuah masjid. Maka beliau bertanya
tentang mereka, maka orang-orang mengatakan: “(Itu adalah) sebuah masjid
yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat di dalamnya,”
kemudian Umar mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu binasa
karena menjadikan jejak-jejak Nabi mereka sebagai tempat-tempat ibadah.
Barangsiapa melewati suatu masjid, kemudian (waktu) shalat hadir,
hendaklah dia shalat. Jika tidak, maka hendaklah dia terus".[6]
Sikap Umar bin al Khaththab Radhiyallahu 'anhu di atas sebagai wujud
untuk menjaga aqidah umat. Jangan sampai umat terjerumus ke dalam
kemusyrikan disebabkan ghuluw (melewati batas) terhadap jejak-jejak
(bekas-bekas) orang-orang shalih.
Dari sini kita mengetahui, bahwa menunjukkan kecintaan kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan cara melestarikan peninggalannya
dan mengagungkannya, adalah merupakan sarana menuju kebinasaan. Maka
tidak sepantasnya dilakukan oleh orang yang benar-benar mencintai Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan cara mencintai beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam ialah dengan mewujudkan ittiba’ (mengikuti) terhadap
sunnah beliau secara lahir batin, sebagaimana telah kami sampaikan.
Semoga kita memahami dan mengenal cara mewujudkan cinta kepada Rasullullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sebaik-baiknya.
_______
Footnote
[1]. Asy Syifa’, hlm. 571, dinukil dari Abhaats fil I’tiqad, hlm. 37, karya Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu Abdul Lathif.
[2]. Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hlm. 2/397.
[3]. Hukmul Ih-tifal bi Dzikril Maulid Nabawi, karya Syaikh Shalih al
Fauzan, termuat di dalam kumpulan risalah Huququn Nabi Bainal Ijlal wal
Ikh-lal, hlm. 151-152.
[4]. Ibid, hlm. 159-160.
[5]. Lihat Mu’jamul Bida’, hlm. 345-346, karya Syaikh Raid bin Shabri
bin Abi 'Ulfah; Fadh-lush Shalah ‘alan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, hlm. 20-24, karya Syaikh Abdul Muhshin bin Hamd al ‘Abbad;
Minhaj al Firqah an Najiyah, hlm. 116-122, karya Syaikh Muhammad Jamil
Zainu; dan Sifat Shalawat & Salam Kepada Nabi n , hlm. 72-73, karya
Ustadz Abdul Hakim bin Amir bin Abdat.
[6]. Riwayat Abdurrazaq (2/118-119), Abu Bakar bin Abi Syaibah
(2/376-377), dengan sanad yang shahih. Dinukil dari ar Raddu ‘ala ar
Rifa’i wal Buuthi, hlm. 52-53, karya Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al
‘Abbad, Penerbit Dar Ibnil Atsir; Cet. I, Th. 1421H/2000M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar