URBAN DAN PENSYARIATANNYAOleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,.Hukum Kurban
Kurban merupakan salah satu sembelihan yang disyariatkan sebagai ibadah
dan amalan mendekatkan diri kepada Allah. Hal inilah yang dinyatakan
Ibnul Qayyim dalam pernyataannya : “Sembelihan-sembelihan yang menjadi
amalan mendekatkan diri kepada Allah dan ibadah adalah Al-Hadyu,
Al-Adhhiyah (Kurban) dan Al-Aqiqah” [1]. Disyariatkannya kurban sudah
merupakan ijma yang disepakati kaum muslimin [2]. Namun tentang hukumnya
masih diperselisihkan para ulama, yang terbagi dalam beberapa pendapat.
Pertama : Wajib Bagi Yang Mampu
Demikian ini pendapat Abu Hanifah dan Malik. Madzhab inipun dinukil dari
Rabi’ah Al-Ra’yi, Al-Auza’i, Al-Laits bin Sa’ad [3] dan salah satu
riwayat dari Ahmad bin Hanbal [4]. Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu
Taimiyah [5]. Dan Syaikh Ibnu Utsaimin berkata : “Pendapat yang
mewajibkan bagi orang yang mampu adalah kuat, karena banyaknya dalil
yang menujukkan perhatian dan kepedulian Allah padanya” [6]
Kedua : Sunnah Atau Sunnah Muakkad Bagi Yang Mampu
Inilah pendapat jumhur ulama [7]. Al-Hafizh Ibnu Hajar menukil
pernyataan Ibnu Hazm yang mengatakan : “Tidak shahih dari seorangpun
dari para sahabat yang menyatakan wajibnya. Yang benar, menurut jumhur,
kurban itu tidak wajib. Dan tidak ada peselisihan, jika ia merupakan
salah satu syi’ar agama” [8]
Ketiga : Fardhu Kifayah
Ini merupakan satu pendapat dalam madzhab Syafi’i
Dalil Pendapat Pertama
1. Hadits Al-Bara bin Azib, beiau berkata :
ذَبَحَ أَبُو بُرْدَةَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْدِلْهَا قَالَ لَيْسَ عِنْدِي إِلاَّ جَذَ
عَةٌ قَالَ اجْعَلْهَا مَكَانَهَا وَلَنْ تَجْزِيَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ
“Abu Burdah telah menyembelih kurban sebelum shalat (Ied), lalu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya : “Gantilah”, ia
menjawab, “Saya tidak punya kecuali Jaz’ah”. Maka beliau berkata :
“Jadikanlah ia sebagai penggantinya, dan hal itu tidak berlaku pada
seorangpun setelahmu” [Muttafaq Alaih]
Orang yang mewajibkan berhujjah dengan hadits ini. Mereka menyatakan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Burdah
untuk mengulangi penyembelihannya jika telah melakukannya sebelum
shalat. Tentunya, hal seperti ini tidak dikatakan, kecuali dalam perkara
yang wajib saja.
2. Hadits Jundab bin Abdillah bin Sufyan Al-Bajali beliau berkata :
قَالَ صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَوْمَ النَّحْرِ
ثُمَّ خَطَبَ ثُمَّ ذَبَحَ فَقَالَ مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ
فَلْيَذْبَحْ أُخْرَى مَكَانَهَا وَمَنْ لَمْ يَذْ بَحْ فَليَذْبَحْ
بِاسْمِ اللّهِ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat pada hari Nahar (‘Ied
Al-Adha), kemudian berkhutbah lalu menyembelih kurbannya dan bersabda :
“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka sembelihlah yang lain
sebagai penggantinya. Dan barangsiapa yang belum menyembelih maka
sembelihlah dengan nama Allah” {Muttafaq Alaih]
3. Hadits Anas bin Malik, beliau berkata :
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الًّصَلاَةِ فَلْيُعِدْ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Barangsiapa yang telah
menyembelih sebelum shalat, maka ulangi lagi” [Muttafaq Alaih]
4. Hadits Jabir bin Abdillah, beliau berkata :
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat di hari Nahar
(Iedul Adha) di Madinah. Lalu beberapa orang maju dan menyembelih
(sembelihannya) dalam keadaan menyangka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah menyembelih. Lalu Nabi memerintahkan orang yang menyembelih
sebelum Beliau untuk mengulangi sembelihan yang lainnya, dan jangan
menyembelih sampai Nabi menyembelih” [9]
Hadits-hadits ini jelas menunjukkan kewajiban kurban. Sebab pada
hadits-hadits tersebut terdapat dua hal yang menunjukkan wajib. Pertama :
kata perintah, dan Kedua : perintah mengulangi. Tentunya, sesuatu yang
bukan wajib, tidak diperintahkan untuk mengulanginya.
Ketiga hadits diatas dikomentari Ibnu Hajar dengan pernyataannya :
“Orang yang mewajibkan kurban berdalil dengan adanya perintah mengulangi
penyembelihan. Maka hal ini dibantah dengan menyatakan, bahwa yang
dimaksud adalah penjelasan syarat penyembelihan kurban yang
disyariatkan. Ini seperti pernyataan orang yang shalat sunnah Dhuha
sebelum matahari terbit. Jika matahri sudah terbit, maka ulangi shalat
kamu” [10]
5. Hadits Abu Hurairah, beliau berkata :
قَالَ رَسُولُ اللّه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang
memiliki kemampuan (keluasan rizki) dan tidak menyembelih maka jangan
dekati tampat shalat kami” [11]
Hadits ini jelas menunjukkan ancaman kepada orang yang memiliki
kemampuan dan enggan menyembelih kurban. Tentunya, Rasulullah tidak akan
berbuat demikian, kecuali menunjukkan bahwa itu hukumnya wajib.
Pendapat yang tidak mewajibkan menyatakan, bahwa hadits ini mauquf,
sehingga tidak dapat dijadikan hujjah dalam perkara ini. Hal ini dijawab
oleh Syaikh Al-Albani dalam pernyataan beliau : “Hadits ini
diriwayatkan secara mauquf oleh Ibnu Wahab. Namun ziyadah tsiqah ini
diterima. Abu Abdurahman Al- Muqri sebagai sangat tsiqah (kredibel)”
[12]
Kemudian, pendapat yang tidak mewajibkan menjawab, anggap saja haditsnya
hasan, namun juga tidak tegas dalam menunjukkan kewajibannya,
sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar : “Yang menjadi dasar yang kuat, yang
dipegangi oleh pendapat yang mewajibkan, ialah hadits Abu Hurairah ini.
Namun diperselisihkan apakah marfu atau mauquf? Mauquf lebih dekat
kepada kebenaran, sebagaimana pendapat Ath-Thahawi dan selainnya.
Walaupun marfu’, hadits ini juga tidak tegas dalam menunjukkan wajibnya”
[13]
6. Hadits Mikhnaf bin Sulaim, ia berkata :
نَحْنُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ وَاقِفٌ
بِعَرَفَاتٍ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّا سُ إِنَّ عَلَى كُلِّ أَهْلِ
بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أَضْحِيَةً وَعَتِيرَةً قَالَ تَدْرُونَ
مَاالْعَتِيرَةُ؟ هَذِهِ الَّتِي يَقُولُ النَّا سُ الرَّجَبِيَّةُ
“Kami bersama Rasulullah dan Beliau wukuf di arafah, lalu berkata,
“Wahai, manusia. Sesungguhnya wajib bagi setiap keluarga pada setiap
tahunnya kurban dan ‘atirah”. Beliau berkata, “Tahukah kalian, apakah
‘atirah itu? Yaitu yang dikatakan orang rajabiyah” [14]
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Demikian juga orang yang mewajibakan
berhujjah dengan hadits Mikhnaf bin Sulaim ini yang diriwayatkan Ahmad
dan imam yang empat dengan sanad yang kuat, namun tidak ada hujjah
disana, karena shighahnya (katanya) tidak tegas menunjukkan wajib secara
muthlak, dan juga disebutkan bersamanya ‘al-athirah’ yang tidak
dianggap wajib oleh orang yang berpendapat wajibnya kurban” [15]
Dalil Pendapat Kedua
1. Hadits Ummu Salamah, beliau berkata :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَخَلَتْ
الْعَثْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَخِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ
ثَعَرِهِ وَبَثَرِهِ ثَيْئًا
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika masuk sepuluh
hari pertama Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih
kurban, maka jangan memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya” [16]
Imam Syafi’i berkata : “Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa kurban
tidak wajib, dengan dasar sabda Nabi (وَأَرَادَ ). Beliau menyerahkan
kepada kehendak. Seandainya memang wajib, tentunya Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyatakan “maka janganlah memortong rambutnya sampai
menyembelih” [17]
Pendapat yang mewajibkan, membantah dalil ini dengan menyatakan : Hadits
ini bukan berarti menunjukkan tidak wajibnya kurban secara muthlak,
karena kami mewajibkan dengan syarat mampu. Demikian juga hadts ini
dapat dipahami dengan makna orang yang ingin menyembelih dengan sebab
memiliki kemampuan, maka jangan mengambil (memotong) rambut dan kukunya
sampai menyembelih, dengan dalil riwayat lain yang diriwayatkan Imam
Muslim yang tidak menyebutkan kata (وَأَرَادَ), yaitu sabda Rasulullah.
مَنْ كَانَ لَهُ ذَبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلَ ذِيْ
الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْ خُذَنَّ مِنْ ثَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَاره ثَيْئًا
حَتَّى يُضَحِّيَ
“Barangsiapa yang memiliki sembelihan yang akan disembelih dan tampak
hilal Dzulhijjah, maka jangan memotong sedikitpun rambut dan kukunya
sampai menyembelih” [18]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Orang yang tidak mewajibkan,
tidak memiliki nash dalam hal ini. Mereka menyatakan, kewajiban tidak
disandarkan kepada kehendak (iradah). Dmeikian ini adalah pernyataan
global, karena memang kewajiban tidak diserahkan kepada kehendak hamba,
sehingga dikatakan jika kamu mau, berbuatlah. Namun, terkadang kewajiban
disandarkan kepada syarat untuk menjelaskan hukumnya, seperti firman
Allah.
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَة فَاغْسلُوا
“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah” [Al-Maidah : 6]
Dan mereka mengartikannya. Jika kalian ingin melaksanakan dan
memaknakan. Jika ingin membaca Al-Qur’an, maka berta’awudz. Padahal
thaharah, merupakan wajib, dan membaca Al-Qur’an dalam shalat wajib
juga” [19]
2. Hadits Jabir, beliau berkata :
ثَهِدْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اْلأَضْحَى
بِالْمُصَلَّى فَلَمَا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ عَنْ مِنْبَرِهِ فَأُتِيَ
بِكَبْثرٍ فَذَبَحَهُ رَسُو لُ اللّه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللّهِ وَاللّه أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعمَّنْ
لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي
“Aku menyaksikan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Ied
Al-Adha di Mushalla (tanah lapang). Ketika selesai khutbahnya. Beliau
turun dari mimbarnya, lalu dibawakan seekor kambing dan Rasulullah
menyembelihnya dengan tangannya langsung, dan berkata : “Bismillah wa
Allahu Akbar hadza anni wa amman lam yudhahi min ummati (Bismillah
Allahu Akbar, ini dariku dan dari umatku yang belum menyembelih)” [20]
Mereka menyatakan : “Seandainya kurban diwajibkan, tentunya orang yang
meninggalkannya berhak dihukum dan tidak bisa dianggap cukup. Lalu
bagaimana dengan sembelihan Rasulullah tersebut ? Sehingga sabda beliau.
(هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي)
Yang disampaikan secara mutlak tanpa perincian ini merupakan dalil tidak wajibnya kurban.
Asy-Syaukani berkata : “Sisi pendalilan hadits ini dan yang semakna
dengannya atas tidak wajibnya kurban ialah, secara dhahir menunjukkan
bahwa kurban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi umatnya dan
keluarganya, mencukupkan orang yang tidak menyembelih kurban, baik mampu
atau tidak mampu. Hal ini mungkin dijawab, bahwa hadits :
إِنَّ عَلَ كُلِّ أَهْلِ بَيْتِ فِي كُلِّ عَامِ أضْحِيَةَ مَا
Yang menunjukkan kewajiban menyembelih kurban bagi ahli bait yang mampu,
menjadi indikator bahwa kurban Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam
tersebut untuk orang yang tidak mampu saja. Seandainya benar yang
disampaikan Al-Mudda’i (pendapat yang tidak mewajibkan,-pent), maka
tidak dapat menjadi dalil tidak wajibnya kurban. Karena, titik
perselisihannya adalah pada orang yang menyembelih untuk dirinya
sendiri, dan bukan orang yang disembelihkan orang lain. Sehingga tidak
wajibnya pada orang yang ada pada zaman Beliau dari umat ini,
mengharuskan tidak wajibnya pada orang yang berada di luar zaman Beliau”
[21]
3. Atsar Abu Bakr dan Umar, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sarihah Al-Ghifari, beliau berkata.
مَا أَدْرَكْتُ أَبَا بَكرِ أَوْ رَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ كَانَا
لاَ يُضَحِّيَانِ-فِي بَعْضِ حَديْثِهِمْ- كَرَاهِيَّةَ أَنْ يُقْتَدَى
بِهِمَا
“Aku mendapati Abu Bakar atau melihat Abu Bakr dan Umar tidak
menyembelih kurban –dalam sebagian hadits mereka- khawatir dijadikan
panutan” [22]
Seandainya kurban diwajibkan, tentu keduanya orang yang pantas
mengamalkannya. Akan tetapi, keduanya memahami hukum kurban tersebut
tidak wajib.
Pendapat Yang Rajih
Syaikh Muhammad Al-Amin Al-Syinqithi berkata : “Saya telah meneliti
dalil-dalil sunnah pendapat yang mewajibkan dan yang tidak mewajibkan,
dan keadaannya dalam pandangan kami. Bahwa tidak ada satupun dalil dari
kedua pendapat tersebut yang tegas, pasti dan selamat dari bantahan,
baik yang menunjukkan wajib maupun yang tidak wajib”. Kemudian Syaikh
berkata : “Yang rajih bagi saya dalam perkara seperti ini, yang tidak
jelas penunjukkan nash-nash kepada satu hal tertentu dengan tegas dan
jelas adalah berusaha sekuat mungkin keluar dari khilaf. Sehingga,
berkurban bila mampu, karena Nabi bersabda, “Tinggalkanlah yang ragu
kepada yang tidak ragu. “. Sepatutnya, seseorang tidak meninggalkanya
bila mampu, karena menunaikannya itu sudah pasti menghilangkan tanggung
jawabnya, Wallahu a’lam” [23]
Yang rajih –wallahu a’lam- dalam permasalahan ini, yaitu pendapat jumhur
ulama. Karena seandainya tidak ada satu pun dalil dari hadits Nabi
Shallallahu ‘alaiahi wa sallam yang secara pasti menunjukkan rajihnya
salah satu pendapat tersebut, namun amalan Abu Bakr dan Umar dapat
dijadikan faktor yang dapat merajihkan pendapat jumhur. Sebab hal ini
merupakan pengamalan perintah Rasulullah dalam hadits Irbadh bin Sariyah
yang berbunyi.
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسَنَّةِ ا لْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ
“Sungguh, barangsiapa diantara kalian yang hidup sesudahku, maka akan
mendapati perselisihan yang banyak. Maka wajib baginya untuk memegangi
sunnahku dan sunnah Khulafa Ar-Rasyidin".
Keduanya termasuk dari Khulafa Ar-Rasyidin menurut kesepakatan kaum
muslimin. Hal ini juga dikuatkan dengan hadits lainnya yang diriwayatkan
Imam Muslim dengan lafadz :
فَإِنْ يُطِيعُوا أَبَا بَكْرٍ وَ عُمَرَ يَرْشُدُوا
“Karena jika mereka mengikuti Abu Bakr dan Umar, niscaya mendapati petunjuk”.
Juga adanya riwayat atsar dari Ibnu Umar, Abu Mas’ud Al-Anshari dan Ibnu
Abbas yang menunjukkan tidak wajibnya kurban. Wallahu a’lam.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Lihat Abdul Aziz bin Muhammad Ali Salman, Ithaf Al-Muslimin Bima
Tayassara Min Ahkam Ad-Din, Ilmun wa Dalilun, Cet. II, Th 1403H, hal.
2/505
[2]. Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni (11/94) dan Ibnu Hajar, Fathul Bari
Bi Syarhi Shahih Al-Bukhari, tanpa cetakan dan tahun, Al-Maktabah
Al-Salafiyah 10/3
[3]. Lihar Dr Ahmad Muwafi, Taisir Al-Fiqhi Al-Jami Li Likhtiyarat
Al-Fiqhiyah Lisyaikh Al-Islam Ibnu Taimiyah, Cetakan Pertama, Tah 1416H,
Dar Ibnu Al-Jauzi, Dammam, KSA (3/1210)
[4]. Lihat makalah Abu Bakr Al-Baghdadi yang yang berjudul Juzun Fi
Udhhiyah wa hukmu Ikhrajiha An Balad Al-Mudhahi, Majalah Al-Hikmah, hal
22 tanpa edisi dan tahun
[5]. Lihat Taisir Al-Fqh, op.cit (3/1208) menukil dari Majmu Fatawa (23/162)
[6]. Lihat Ibnu Utsaimin, Syarhu Al-Mumti Ala Zaad Al-Mustaqni, Tahqiq
Khalid bin Ali Al-Musyaiqih dan Sulaiman Aba Khail, Cet 1, Th 1416H,
Muassasah Asaam, Riyadh KSA (7/519)
[7]. Lihat An-Nawawi, Majmu Syarhu Al-Muhadzdzab, Tahqiq Muhammad Najib
Al-Muthi’i, tanpa cetakan dan tahun, Daar Ihya Al-Turats Al-Arabi
(8/354).
[5]. Lihat Fathul Bari, op.cit (10/3)
[9]. Diriwayatkan Imam Muslim No. 1.964
[10]. Fathul Bari (10/4)
[11]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah No. 3.123 dan Al-Khathib (8/338) dari
Zaid bin Al-Hubab,Al-Hakim (2/389) dan Ahmad (2/321) dari Abdullah bin
Yazid Al-Muqri dan Abu Bakr Asy-Syairazi dalam Sab’at Majalis Min
Al-Amani dari Muhammad bin Sa’id. Mereka bertiga meriwayatkan dari
Abdullah bin Iyasy dari Abdurrahman Al-A’raj dari Abu Hurairah secara
marfu. Diambil dari Takhrij Ahadits Musykil Al-Faqr, karya Al-Albani,
Cetakan Pertama,Tahun 1405H, Al-Maktab Al-Islami Beirut, hal.67-68
[12]. Takhrij Ahadits Musykil Al-Fqr, op.cit,hal.68
[13]. Fathul Bari, op.cit 910/3)
[14]. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (4/215), Abu Dawud no.2.788,
At-Tirmidzi no.1.518, An-Nasa’i 7/167 dan Ibnu Majah no. 3125. Hadits
ini dishahihkan Al-Albani dalam Al-Misykah no.1478 dan Shahih Al-Jaami.
[15]. Fathul Bari op.cit 10/4
[16]. Diriwayatkan Muslim no. 5089
[17]. Lihat Majmu Syarhu Al-Muhadzdzab op.cit 8/356
[18]. Diriwayatkan Imam Muslim no. 5093
[19]. Majmu Fatawa 23/164
[20]. Syaikh Al-Albani berkata : Haditsn shahih diriwayatkan Abu Daud
2810 dan Tirmidzi 1/287, lihat Irwa Al-Gahlil 4/349 no. 1138
[21]. Muhammad bin Ali Al-Syaukani, Nailul Authar Min Ahadits Sayidil
Ahyaar Syarhu Muntaqa Al-Akhbaar, tahqiq Muhamamd Salim Hasyim, cetakan
pertama tahun 1415H. Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut hal. 5/117
[22]. Diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 9/295 dan dishahihkan
Al-Albani.Lihat Irwa Al-Ghalil Fi Takhrij Ahaadist Manaar Al-Sabil,
karya Syaikh Al-Albani cetakan ke 2 tahun 1405H, Al-Maktab Al-Islami no.
1139 hal 4/355
[23]. Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar Al-Jakni Al-Syinqithi,
Adhwaa Al-Bayaan Fi Idhah Al-Qur’an bin Qur’an, tanpa tahun dan cetakan,
Alam Al-Kutub Beiurt 5/618
Tidak ada komentar:
Posting Komentar