MENDENGAR DAN TAAT MERUPAKAN KEKUATAN UMAT.Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.Pengantar
Berikut ini adalah kajian yang disampaikan oleh Syaikh Dr. Ibrahim bin
'Amir ar Ruhaili, seorang guru besar jurusan aqidah pada Universitas
Islam Madinah, KSA, pada Daurah ke VI di Lawang, Jatim, yang
diselenggarakan oleh Ma'had al Irsyad al 'Ali as Salafi, Surabaya,
tanggal 20-25 Jumada ats Tsaniyah 1427 H/16-21 Juli 2006 M.
Dalam kajian tersebut, beliau membahas kitab Ushulus Sunnah karya Imam
Ahmad bin Hanbal t , dari riwayat Abdus bin Malik al 'Ath-thar, yang
berisi prinsip-prinsip Ahlu Sunnah wal Jama'ah. Judul di atas hanya
mengambil satu bagian saja dari prinsip Ahlu Sunnah wal Jama'ah yang
dikemukakan oleh Imam Ahmad t dalam kitabnya tersebut dan dibahas oleh
Syaikh Dr. Ibrahim bin 'Amir ar Ruhaili –hafizhahullah-. Yaitu prinsip
ke-28 tentang as Sam'u wath Tha'ah kepada para pemimpin dan Amirul
Mukminin. Pembahasan ini merujuk kepada kitab yang diterbitkan Maktabah
Ibnu Taimiyah, Kairo, distribusi Maktabah al Ilmi, Jeddah, Cetakan I,
1416 H/1996 M. Selamat menyimak. Wallahu Waliyyut Taufiq.
Imam Ahmad bin Hanbal asy Syaibani rahimahullah, dalam kitab karyanya, Ushulus Sunnah, pada ashl (prinsip) yang ke-28 berkata :
"Mendengar dan taat kepada para imam (pemimpin pemerintahan, Pent) dan
Amirul Mukminin, yang baik maupun yang jahat. Begitu juga (mendengar dan
taat kepada) orang yang memegang tampuk kekhalifahan yang telah
disepakati dan diridhai oleh umat manusia. Demikian pula (mendengar dan
taat kepada) orang yang dapat mengalahkan manusia dengan pedang hingga
menjadi khalifah (pemimpin) dan disebut Amirul Mukminin".
Penjelasan Syaikh Ibrahim ar Ruhaili –hafizhahullah-:
Ya, mendengar dan taat kepada para imam (pemimpin negara) dan Amirul
Mukminin, yang baik maupun yang jahat. Ini adalah satu di antara
prinsip-prinsip Ahlu Sunnah. Prinsip ini telah dinyatakan secara
tertulis oleh para imam (baca: para ulama) dalam kitab-kitab aqidah.
Mereka memperingatkan (ummat) untuk tidak melakukan pembangkangan
terhadap para pemimpin negara; sebab para ulama tersebut telah memahami
dari Sunnah tentang celaan terhadap Khawarij dan tentang fitnah Khawarij
yang dialami oleh umat. Karena itulah mereka menyatakan keharusan untuk
mendengar dan taat kepada pemimpin dan imam negara, yang baik maupun
yang jahat.
Ini merupakan prinsip Ahlu Sunnah hingga hari ini. Dengan prinsip inilah
Ahlu Sunnah terbedakan dengan kelompok lain, yaitu golongan ahli
bid'ah; karena ahli-ahli bid'ah atau sebagian ahli bid'ah berpandangan
tidak bolehnya mendengar dan taat kepada para pemimpin negara (yang
menurut mereka jahat, Pent).
Bahkan sebagian ulama mengatakan, bahwa melakukan pembangkangan terhadap
para imam negara merupakan konsekuensi pasti dari bid'ah. Sebagaimana
yang dikatakan oleh sebagian ulama "tidaklah seseorang mengada-adakan
perbuatan bid'ah, kecuali ia akan menghalalkan peperangan melawan kaum
Muslimin".
Demikian ini dapat diperhatikan pada banyak kalangan ahli bid'ah
sekarang. Yaitu, mereka mengada-adakan bid'ah, kemudian melakukan
pembangkangan kepada para penguasa, kepada para pemimpin negara dan
kepada kaum Muslimin. Adapun Ahlu Sunnah berpandangan, keharusan
mendengar dan taat. Mendengar dan taat kepada para pimpinan dan kepada
Amirul Mukminin. Tetapi mendengar dan taat hanyalah dalam hal yang
ma'ruf. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوْفِ
"Sesungguhnya, ketaatan hanyalah dalam hal yang ma'ruf."[1]
Ahlu Sunnah mentaati para pemimpin dalam hal yang ma'ruf. Jika para
pemimpin memerintahkan perbuatan taat kepada Allah, maka Ahlu Sunnah
akan melaksanakannya dalam rangka mengamalkan apa yang ditunjukkan oleh
nash mengenai perbuatan taat ini, dan dalam rangka mengikuti apa yang
diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Apabila para pemimpin memerintahkan kemaksiatan, maka Ahlu Sunnah tidak
akan melakukan kemaksiatan, namun tidak berarti membolehkan untuk
melakukan pembangkangan kepada para penguasa tersebut.
Andaikata seorang kepala pemerintahan memerintahkan kemaksiatan,
memerintahkan supaya makan harta riba, supaya meminum minuman keras atau
supaya berzina, maka Ahlu Sunnah tidak akan melakukan itu semua. Akan
tetapi hal ini tidak menjadi sebab untuk melakukan pembangkangan
(pemberontakan, perlawanan) terhadap pemimpin pemerintahan. Bahkan umat
wajib memberikan nasihat dan bersabar. Ahlu Sunnah tidak berpandangan
bolehnya melakukan pembangkangan. Sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam telah bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُ فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ مَنْ
فَارَقَ الْجَمَاعَةَ قَيْدَ شِبْرٍ فَمَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً.
"Barangsiapa yang melihat sesuatu yang dia benci dari amir (kepala
pemerintahan)nya, maka hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya barangsiapa
yang memisahkan diri dari jama'ah kaum Muslimin meski hanya sejengkal,
maka ia akan mati bagaikan kematian orang jahiliyah."[2]
Ahlu Sunnah berpandangan harus mendengar dan taat kepada para pimpinan
dalam hal-hal yang ma'ruf. Begitu pula jika para pemimpin memerintahkan
suatu perkara yang mereka perhitungkan ada kemaslahatannya bagi kaum
Muslimin, meskipun tidak berkaitan dengan ketaatan kepada Allah,
misalnya sekarang tentang tata tertib lalu-lintas, tata tertib
perdagangan, dan tata tertib bepergian, wajib bagi umat untuk mentaati
para penguasa umat tersebut. Sebab hal ini bukan dalam urusan
kemaksiatan. Yang tidak boleh ditaati hanya dalam hal kemaksiatan saja.
Adapun bila perintahnya dalam perkara mubah (yaitu perkara yang tidak
ada perintah dan tidak ada larangan agama, Pent), sedangkan para
pemimpin melihat adanya kemaslahatan bagi umat, misalnya dengan melarang
mereka melakukan tindakan tertentu, meskipun pada asalnya merupakan
perkara mubah, maka wajib untuk ditaati.
Sebagai misal, jika mereka melarang masuknya sesuatu yang mubah ke dalam
negeri, atau melarang keluarnya suatu barang tertentu dari dalam
negeri, padahal itu perkara mubah (baca: bukan barang haram, Pent);
andaikata penguasa memperkirakan ada maslahat dengan mengatakan
(misalnya) "kita tidak boleh mengeluarkan barang ini", -karena mereka
melihat ada maslahat di dalamnya-, misalnya melarang untuk mengeluarkan
makanan tertentu ke luar negeri, atau untuk memasukkan barang tertentu
dari negeri tertentu, atau melarang seseorang untuk melakukan
perdagangan, atau membuat peraturan agar perdagangan dengan pembayaran
tertentu, maka semua ini termasuk perkara yang harus ditaati. Sebab, itu
merupakan pandangan dan ijtihad penguasa untuk kemaslahatan umat, tidak
boleh ditentang. Dan urusan selanjutnya diserahkan kepada Allah.
(Begitu pula) apabila penguasa korup, atau tidak jujur, atau tidak
benar-benar untuk kepentingan umat, maka urusannya dikembalikan kepada
Allah.
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"Setiap kamu adalah pemelihara tanggung-jawab dan setiap kamu akan
dimintai pertanggung jawaban tentang apa yang ditanggung jawabinya."[3]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوْا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
"Mereka akan menanggung apa yang dipikulkan kepada merka, dan kamu akan menanggung apa yang dipikulkan kepadamu." [4]
Jadi mendengar dan taat kepada pemimpin adalah dalam hal yang ma'ruf.
Adapun apabila pemimpin memerintahkan supaya berbuat maksiat yang terang
dan jelas, maka mereka tidak boleh ditaati dalam hal itu.
Demikian pula, jika masalahnya adalah masalah ijtihadiyah yang para
ulama berselisih pendapat mengenainya; sebagian melarang, sebagian lagi
berpandangan tidak melarang. Misalnya yang terjadi pada Perang Teluk
pada dekade ini, mengenai bantuan orang-orang kafir. Sesungguhnya para
ulama berselisih pendapat mengenai meminta bantuan kepada orang-orang
kafir untuk membantu kaum Muslimin dalam berperang. Sebagian ulama ada
yang memperbolehkan, sebagian lagi ada yang tidak memperbolehkan.
Kemudian kepala negara berijtihad dan berpandangan perlunya meminta
bantuan kepada orang-orang kafir. Maka kepala negara harus ditaati dalam
hal ini.
Oleh sebab itulah para ulama mengatakan "ijtihad seorang imam (pemimpin
atau kepala negara) menghilangkan perselisihan pendapat".
Ulama berselisih pendapat dalam suatu masalah. Maka ijtihad seorang imam
(pemimpin) akan menghilangkan perselisihan pendapat. Sebab taat kepada
imam (pemimpin) dalam ijtihadnya ini masih dalam perkara ma'ruf.
Sementara kita tidak memiliki kepastian bahwa pendapat orang lainlah
yang benar dan pendapat ini adalah salah. Tetapi ini merupakan masalah
khilafiyah. Sedangkan masalah khilafiyah tidak menjadi pemicu untuk
mencerca seorang alim atau seorang imam jika berpegang pada pendapatnya.
Jadi ijtihad seorang imam menghilangkan perselisihan. Dan ijtihad
semacam ini bisa terjadi meskipun dari seorang imam kecil, yaitu imam
shalat. Ijtihadnya dapat menghilangkan perselisihan.
Seandainya orang-orang berselisih pendapat mengenai qunut dalam shalat;
imamnya qunut atau tidak, karena memang ada perselisihan pendapat di
antara ulama tentang qunut dan tentang masalah-masalah lainnya, dan
ternyata (misalnya) imamnya melakukan qunut, maka tidak boleh ada
seorangpun (yang tidak qunut, Pent) keluar dari shalat dengan beralasan
ijtihad imam bertentangan dengan ijtihad saya. Jadi ijtihad imam
menghilangkan perselisihan.
Karena itulah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Sebagian ulama
melakukan shalat berjama'ah di belakang imam yang menurut keyakinan
mereka, wudhu`nya kurang". Yakni, sebagian imam yang berpandangan bahwa
mengusap kepala hanya pada sebagian kepalanya sebagaimana madzhab Imam
Syafi'i, dijadikan imam shalat, di belakangnya berma'mum orang-orang
yang berpandangan bahwa mengusap kepala harus semuanya.
Sedangkan orang yang berpandangan mengusap kepala hanya pada sebagian
kepala, jika melihat orang yang mengusap kepala secara keseluruhan akan
berkata "wudhu` orang ini tidak benar", namun apabila ia shalat dan
menjadi imam, maka ia harus diikuti, sebab ia adalah imam. Jadi ijtihad
imam menghilangkan perselisihan. Para fuqaha telah menyebutkan suatu
kaidah, "barangsiapa yang shalatnya sah bagi dirinya, maka ia sah untuk
dijadikan imam".
Ini sesungguhnya merupakan masalah agung yang membuktikan keutamaan
persatuan, membuktikan bahwa umat ini didorong (oleh syari'at, Pent.)
untuk bersatu. Dan sesungguhnya, apabila imam negara berijtihad untuk
mereka, maka mereka tidak boleh melakukan penentangan terhadap
ijtihadnya. Sebab ia adalah imam, dan itulah pekerjaannya, itulah
kewajibannya, sedangkan yang ini adalah rakyatnya, ijtihad imam tidak
boleh ditentang.
Demikian juga keadaan seorang laki-laki di rumahnya. Andaikata ia
berijtihad dalam suatu masalah, maka isteri dan anak-anaknya tidak boleh
menentang setiap masalah yang diijtihadkannya, (misalnya dengan
mengatakan;) kami berpandangan demikian, menurut kami harus demikian…
dst. Tetapi seorang laki-laki adalah pembuat keputusan, ia adalah
pemimpin rumah tangga.
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita".[5]
Inilah Islam, inilah Sunnah, urusannya agung! Andaikata manusia
mengikuti Sunnah, niscaya tidak akan ada perselisihan dan permusuhan
yang terjadi di antara manusia.
Jadi Ahlu Sunnah berpandangan harus mendengar dan taat kepada para
pemimpin negara dan Amirul Mukminin, yang baik maupun yang jahat.
Artinya, meskipun kepala negaranya jahat, Ahlu Sunnah tetap berpandangan
harus mendengar dan taat dalam perkara yang ma'ruf, berjihad di bawah
kepemimpinannya dan berma'mum dalam shalat di belakangnya, meskipun
jahat. Orang yang tidak boleh dimakmumi dalam shalat hanyalah orang
kafir. Adapun muslim, meskipun jahat, tetap boleh melaksanakan shalat di
belakangnya.
Berkaitan dengan hal ini, sekarang orang-orang Khawarij dan orang-orang
yang terpengaruh oleh pemikiran Khawarij mengatakan "mendengar dan taat
kepada imam hanyalah selama sang imam taat kepada Allah. Bila ia
bermaksiat kepada Allah, maka tidak boleh didengar ataupun ditaati".
Perkataan ini adalah batil. Ini merupakan agama Khawarij. Adapun Ahlu
Sunnah mengatakan, harus mendengar dan taat, meskipun sang imam adalah
orang jahat (banyak dosa, Pent), hanya saja mereka tidak mentaatinya
manakala imam memerintahkan yang maksiat.
Kecuali Khawarij. Ahlu Sunnah tidak menentang imam. Bahkan orang
Khawarij pun kini tidak menentang jika imam negaranya orang baik. Mereka
kini tidak lagi melakukan penentangan (jika pemimpin negara orang
baik).
Namun masalah yang membedakan antara Ahlu Sunnah dengan Khawarij adalah,
apabila imam negara berbuat jahat, berbuat maksiat, melakukan
penyimpangan. Apakah harus dilakukan pembangkangan terhadapnya, ataukah
harus diberi nasihat, dan tetap didengar serta ditaati?
Persoalannya tidak sesederhana itu, bukan tempatnya untuk
mempermasalahkan hal demikian berkaitan dengan mendengar dan taat kepada
pemimpin. Sebab, (adanya pemimpin) ini untuk kemaslahatan umat.
Sebagian orang menyangka bahwa kemenangan seseorang untuk menjadi
pemimpin umat ini, ia akan berbuat sekehendaknya, ia menang. Tidak! Itu
bukan untuk kepentingan pribadi imam, tetapi untuk kemaslahatan umat.
Sebab apabila umat berkumpul di bawah kepemimpinan seorang imam (baca :
pemimpin negara), kemudian mendengar dan taat kepadanya, maka
berkumpulnya mereka ini merupakan kekuatan. Imam ini akan berjihad
bersama mereka, sedangkan mereka kuat. Dia seorang pemimpin yang di
belakangnya terdiri dari jutaan manusia. Akan tetapi manakala terjadi
pertentangan; tiap orang bebas berkata, maka siapakah yang akan
menegakkan jihad?
Jadi sesungguhnya, tidaklah saat sekarang ini musuh dapat berkuasa atas
kaum Muslimin, kecuali setelah mereka mengetahui lemahnya prinsip
mendengar dan taat di kalangan kaum Muslimin kepada pimpinannya. Sayang
sekali, sekarang, para penguasa kaum Muslimin hanya dapat mewakili
dirinya, tidak dapat mewakili umat, kecuali yang mendapat rahmat Allah.
Kalaulah ada kaum Muslimin yang tetap berdiri bersama pemimpin, namun
prinsip mendengar dan taat ini sudah banyak ternoda. Akan tetapi jika
persoalan seperti pada zaman Salaf dahulu; Abu Bakar memerintahkan untuk
memberangkatkan pasukan di bawah komando Usamah bin Zaid, tidak ada
seorangpun pasukan yang membangkang. (Semua) mendengar dan taat. Ketika
Abu Bakar memerintahkan perang melawan orang-orang murtad, padahal
umumnya sahabat Nabi pada waktu itu tidak sependapat dengan Abu Bakar,
tetapi ketika Abu Bakar memerintahkan perang sedangkan beliau adalah
khalifah, maka semuanya mendengar dan taat.
Sekarang, setiap orang berpendapat; laki-laki, perempuan, besar, kecil.
Setiap ada fitnah (persoalan yang menimpa umat, Pent), masing-masing
orang angkat bicara, masing-masing orang berpendapat; kita harus jihad,
tidak harus jihad; kita lakukan ini, tidak lakukan ini… Padahal itu
bukan urusan orang umum, tetapi urusan penguasa. Penguasa dan para ulama
yang ada di sekitarnyalah yang memutuskan. Sementara kepala negara
meminta nasihat dan meminta pelurusan kepada ahlul halli wal aqdi. Imam
(kepala negara) itulah, yang apabila berijtihad menetapkan keputusan,
maka masyarakat wajib mentaatinya. Jadi mendengar dan taat merupakan
kekuatan bagi umat, merupakan kewibawaan bagi umat, dan musuh tidak akan
menguasainya.
Namun bila terjadi perpecahan… Sekarang orang-orang yang beranggapan
bahwa mereka menginginkan kekuatan umat, menginginkan jihad,
menginginkan dst; mereka justeru merupakan orang pertama yang menghadang
para penguasa. Orang-orang yang menginginkan jihad itu, ternyata
merupakan orang pertama yang menentang panji-panji jihad. Siapakah yang
berjihad, jika orang tidak mau mendengar dan taat kepada pemimpin. Tidak
ada orang berakal yang akan berjihad bersama orang-orang semacam itu.
Oleh sebab itu, bila kita mengandaikan ada seorang pemimpin (imam) di
antara pemimpin-pemimpin kaum Muslimin keluar untuk berperang, diikuti
oleh sebagian kaum Muslimin, ketika mereka sudah berhadapan dengan musuh
dan siap memuntahkan pelurunya dan siap menyerang musuh, tiba-tiba
pemimpin berkata kepada mereka "tahanlah dan jangan tembakkan peluru",
maka siapakah kira-kira yang akan mendengar dan mentaati perintahnya?
Tentu para ulama dan para fuqaha yang memahami makna mendengar dan taat
kepada pimpinan ini. Adapun orang banyak akan mengatakan "pemimpin ini
terlalu toleran, pengkhianat, paling pendusta".
Jadi, banyak orang yang tidak memahami prinsip ini. Dan tidak akan
ditemukan seorang penguasa yang berakal sehat akan berjihad dengan
orang-orang semacam itu. Maka mendengar dan taat kepada para penguasa
merupakan kekuatan terbesar bagi kaum Muslimin, dan musuh akan takut
kepada kaum Muslimin, manakala mereka mengetahui kekuatan dan persatuan
kaum Muslimin.
Karenanya ketika terjadi perselisihan pada zaman sahabat Radhiyallahu
'anhum dan ada persengketaan pada perang Jamal dan Shifin, diriwayatkan
bahwa sebagian tentara Romawi sangat menginginkan untuk menguasai Syam.
Maka Mu'awiyah mengirim utusan kepada mereka, kepada sebagian pemimpin
mereka, seakan-akan Mu'awiyah mengetahui bahwa pemimpin bangsa Romawi
telah mempersiapkan pasukan guna menyerang Syam. Mu'awiyah berkata
(kepada pemimpin bangsa Romawi): "Tidak, menyingkirlah engkau dari kami,
sebab aku dan anak pamanku sudah bersatu untuk memerangimu", maka
pulanglah mereka. Mereka faham, sekalipun umat Islam berselisih, tetapi
tidak mungkin bagi musuh untuk menguasainya (selama berpegang pada
prinsip mendengar dan taat pada pimpinan, Pent). Mereka mempunyai
kefahaman.
Adapun sekarang, kaum Muslimin berpecah-belah dan saling membunuh.
Bahkan ada sebagian putera kaum Muslimin, menjadi alat yang digerakkan
oleh musuh umat Islam. Musuh mencela hukum Islam, sedangkan
putera-putera kaum Muslimin membenarkan celaan mereka. Sekarang kita
mengambil informasi-informasi dan kita lebih percaya kepada media-media
Barat, radio-radio serta sumber-sumber orang kafir, (kepercayaan kita
kepada mereka) lebih banyak daripada kepercayaan kita kepada kaum
Muslimin. Ini tentu amat disayangkan.
Bahkan mungkin sekarang sebagian umat Islam menyangka, apa yang ditempuh
orang-orang kafir adalah kebenaran. Yaitu apa yang disebut demokrasi
atau istilah-istilah lainnya. Sebagian umat Islam itu tidak mengerti
agamanya, dan tidak mengerti bahwa Islam datang dengan membawa segala
kebaikan.
Selanjutnya Imam Ahmad berkata:
"Begitu juga (mendengar dan taat kepada) orang yang memegang tampuk
kekhalifahan yang telah disepakati dan diridhai oleh umat manusia.
Demikian pula (mendengar dan taat kepada) orang yang dapat mengalahkan
manusia dengan pedang hingga menjadi khalifah (pemimpin) dan disebut
Amirul Mukminin".
Mengalahkan dengan pedang, maksudnya dapat menguasai manusia melalui
kekuatan paksa, sehingga menjadi khalifah dan disebut Amirul Mukminin.
Kekuasaan bisa terjadi melalui tiga kemungkinan:
Pertama : Dengan ketetapan dan wasiat dari imam (penguasa) terdahulu.
Demikian ini sebagaimana terjadi pada Abu Bakar ketika mewasiatkan
supaya Umar menjadi khalifah.
Ketetapan tersebut bisa terjadi dengan menunjuk pribadi penguasa
pengganti itu sendiri, atau bisa pula dengan menunjuk beberapa orang
dalam jumlah kecil (untuk bermusyawarah), sebagaimana terjadi pada zaman
Umar ketika menunjuk enam orang. Kemudian enam orang inilah yang
memilih khalifah sesudah Umar.
Jadi cara pengangkatan penguasa, di antaranya dengan ketetapan dan
wasiat dari penguasa terdahulu, sebab ia wajib ditaati. Jika penguasa
terdahulu memerintahkan agar khalifah (penguasa) berikutnya adalah
Fulan, maka perintahnya wajib ditaati. Bahkan jika memerintahkan agar
penguasa sesudahnya adalah Fulan A, disusul sesudahnya dengan Fulan B,
sesudahnya lagi disusul dengan Fulan C, hingga mencapai sepuluh orang
penguasa, maka penunjukannya wajib ditaati. Inilah pula yang pernah
terjadi pada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Perang Mu'tah,
ketika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan supaya
panglima perangnya adalah Fulan, kemudian (jika mati) disusul Fulan,
kemudian (jika mati lagi) disusul Fulan.
Maka para ulama menyatakan, ini merupakan dalil bahwa seorang penguasa
dapat diangkat (sekaligus) sesudah penguasa, sesudah penguasa, sesudah
penguasa. Imam terdahulu harus didengar dan ditaati perintah dan
pengarahannya untuk menunjuk imam sesudahnya.
Kedua : Dengan pemilihan. Yaitu pemilihan yang dilakukan oleh ahlul
Halli wal aqdi. Mereka memilih khalifah dan imam, sebagaimana yang
terjadi pada pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Para
sahabat Nabi n bersepakat dan membai'at Ali sebagai khalifah. Begitu
juga bersepakatnya para sahabat sesudah Ali untuk membai'at Mu'awiyah
Radhiyallahu 'anhu.
Ketiga : Dengan kekuatan dan pemaksaan. Yaitu bila seseorang mengalahkan
orang banyak dengan senjata dan tentaranya, sehingga dengan kekerasan
dan kekuatannya, ia menjadi penguasa.
Inilah yang diisyaratkan oleh Imam Ahmad dengan perkataan beliau
rahimahullah "orang yang mengalahkan manusia dengan pedang", yakni
mengalahkan hingga menjadi khalifah. Yang ketiga ini terjadi dengan
kekerasan.
Perbedaan antara cara ketiga dengan dua macam cara pertama dan kedua
ialah, bahwa dua cara pertama dan kedua di atas terjadi dengan
pemilihan, dan pemilihan tidak bisa dilakukan kecuali pada orang yang
layak menjadi pemimpin. Sedangkan pada cara ketiga, apabila seseorang
menang dengan kekerasan, maka ia menjadi penguasa dengan kemenangannya,
meskipun ada beberapa syarat yang tidak terpenuhi. Namun di dalamnya
mengandung hikmah, yaitu apabila seseorang menang dengan kekerasannya,
menunjukkan bahwa ia mempunyai kekuatan. Jika ia diperangi lagi tentu
akan terjadi fitnah (kekacauan) yang besar. Bahkan bisa jadi kaum
Muslimin akan saling bunuh satu sama lain. Dalam kasus semacam itu, maka
yang maslahat adalah, agar pemimpin (yang memperoleh kekuasaan dengan
cara ketiga ini) tetap harus didengar dan ditaati. Ini dinyatakan oleh
para ulama. Sebagian ulama lain mengatakan, sebab ia lebih kuat untuk
berjihad, karena jika ia memiliki tentara yang dapat menguasai kaum
Muslimin di suatu negeri dan memiliki kekuatan, berarti membuktikan
bahwa ia merupakan orang terkuat untuk melakukan jihad dan perang.
Sehingga dengan kekuatannya ia menjadi pemimpin.
Berikutnya Imam Ahmad berkata: "Hingga ia menjadi khalifah".
Artinya, jika ia menjadi khalifah dengan cara inipun, maka wajib bagi manusia untuk mendengar dan taat kepadanya.
Sampai disini penjelasan Syaikh Ibrahim ar Ruhaili -hafizhahullah- tentang perkataan Imam Ahmad di atas.
Wanas 'alullaha at taufiq was Sadad. Washallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa 'ala alihi wa ash-habihi wa sallam. (AF).
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.
________
Footnote
[1]. HR Imam Bukhari, kitab Al-Ahkam, Bab. As-Sam'u wat Tha'atu lil Imam
Ma Lam Takun Ma'shiyatan, no. 7145 dan Imam Muslim, kitab Al-Imaratu,
Bab Wujubu Tha'atil Umara fi Ghairil Ma'shiyati, no. 4742
[2]. HR Imam Bukhari, kitab Al-Ahkam, Bab. As-Sam'u wat Tha'atu lil Imam
Ma Lam Takun Ma'shiyatan, no. 7143 dan Imam Muslim, kitab Al-Imaratu,
Bab Mulazamati Jama'atil Muslimina Inda Zhuhuril Fitani, no. 4767
[3]. HR Imam Bukhari, Kitab Al-Ahkam, Bab Qaulillah Ta'ala : Wa
Athi'ullaha wa Athi'ur Rasula wa Ulil Amri Minkum, no. 7138 dan Imam
Muslim, Kitbul Imarati, Bab Fadhilatil Imamil Adilli wa Uqubatil Ja'iri,
no. 4701
[4]. HR Muslim, kitab Al-Imarah, bab Fi Tha'atil Umara wa In Mana'ul Huquuqa, no. 4760
[5]. Qur'an surah An-Nisaa/4 : 34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar