HUKUM MENGIRIM KURBAN KE LUAR NEGERI.Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag. Pengertian Mengirim Kurban Ke Luar Negeri
Maksudnya adalah seorang mengirimkan sejumlah uang ke suatu negeri
langsung atau melalui yayasan sosial atau organisasi atau yang
sejenisnya, lalu yayasan itu bekerja sama dengan yayasan atau perorangan
di negeri yang dituju untuk membelikan hewan kurban sekaligus
menyembelihnya dan membagi-bagikannya kepada kaum muslimin di negeri
yang dituju.
Hukumnya [1]
Para ulama berselisih tentang hukum mengirim kurban ini ; sebagian
mereka membolehkan sebagiannya tidak membolehkan [2]. Pendapat yang
rajih, ialah pendapat yang membolehkan berdalil dengan keabsahan wakalah
(perwakilan) dalam kurban sebagaimana dalam hadits-hadits berikut.
1. Hadits Ali bin Abi Thalib, beliau berkata.
أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِجِلَالِ الْبُدْنِ الَّتِي نَحَرْتُ وَبِجُلُودِهَا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk
menyedekahi jilal dan kulit unta yang telah aku sembelih” [Diriwayatkan
Al-Bukhari No. 1.592]
2. Hadits Jabir bin Abdillah, belaiu berkata :
شَهِدْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى
بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ عَنْ مِنْبَرِهِ فَأُتِيَ
بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي
وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي
“Aku menyaksikan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Idul
Adha di mushalla (tanah lapang). Ketika selesai khutbahnya, Beliau turun
dari mimbarnya, lalu dibawakan seekor kambing dan Rasulullah
menyembelihnya dengan tanganntya langsung dan berkata : “Bismillah wa
Allahu Akbar, hadza ‘anni wa amman lam yudhahi min ummati” (Bismillah
Allahu Akbar, ini dariku dan dari umatku yang belum menyembelih)”, [3]
3. Hadits Urwah bin Abi Al-Ja’d Al-Bariqi, beliau berkata.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهُ دِينَارًا
يَشْتَرِي لَهُ بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ فَبَاعَ
إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ وَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ فَدَعَا لَهُ
بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ وَكَانَ لَوْ اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ
فِيهِ قَالَ سُفْيَانُ يَشْتَرِي لَهُ شَاةً كَأَنَّهَا أُضْحِيَّةٌ
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya satu dinar
untuk membeli seekor kambing, lalu ia membeli untuk Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dua kambing dengan uang tersebut. Maka ia jual seekor
dengan harga satu dinar dan membawa satu ekor kambing dan satu dinar
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam mendo’akannya dengan barokah : “Dia (Urwah ini), seandainya
membeli debu tentu akan untung juga” Sufyan berkata : “Membeli seekor
kambing untuk Nabi, nampaknya untuk kurban” [4]
4. Hadits Ali bin Abi Thalib, beliau berkata.
أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ
عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا
وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ نَحْنُ
نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk
mengurus hewan kurbannya dan untuk menyedekahkan daging, kulit dan
jilalnya dan sedikitpun tidak mengambil darinya untuk diberikan (sebagai
upah) jagalnya (orang yang memotongnya) untuk tidak memberi orang-orang
memotongnya (jagalnya) sedikitpun darinya. Rasulullah berkata : “Kami
yang memberinya dari harta kami” [Muttafaq ‘Alaih]
Hadits-hadits yang tersebut di atas, semua menunjukkan sahnya wakalah
dalam kurban. Dan wakalah diperbolehkan, sekaipun kepada orang yang
jauh. Wallahu a’lam.
5. Hadits ‘Amrah, beliau berkata :
أَنَّ ابْنَ زِيَادٍ كَتَبَ إِلَى عَائِشَةَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
عَبَّاسٍ قَالَ مَنْ أَهْدَى هَدْيًا حَرُمَ عَلَيْهِ مَا يَحْرُمُ عَلَى
الْحَاجِّ حَتَّى يُنْحَرَ الْهَدْيُ وَقَدْ بَعَثْتُ بِهَدْيِي فَاكْتُبِي
إِلَيَّ بِأَمْرِكِ قَالَتْ عَمْرَةُ قَالَتْ عَائِشَةُ لَيْسَ كَمَا
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَا فَتَلْتُ قَلَائِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيَّ ثُمَّ قَلَّدَهَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ ثُمَّ بَعَثَ بِهَا
مَعَ أَبِي فَلَمْ يَحْرُمْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ شَيْءٌ أَحَلَّهُ اللَّهُ لَهُ حَتَّى نُحِرَ الْهَدْيُ
“Sesungguhnya Ibnu Ziyad menulis surat kepada ‘Aisyah, bahwa Abdullah
bin Abbas berpendapat, orang yang memberikan hadyu diharamkan padanya
apa yang diharamkan bagi orang yang haji sampai menyembelih hadyunya,
dan saya telah mengirim hadyu saya. Maka saya mohon kepada Anda (Aisyah)
untuk menulis untuk saya pendapat Anda tentang hal ini”. Amrah berkata :
“Aisyah telah berkata, “Tidak seperti yang disampaikan Ibnu Abbas. Saya
telah melepas qalaid hadyu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan tangan saya, kemudian Rasulullah menandainya dengan tangannya,
kemudian mengirimnya bersama bapakku (Abu Bakr), lalu tidak diharamkan
kepada Rasulullah sesuatu yang Allah halalkan baginya sampai disembelih
hadyunya” [Hadits Riwayat Muslim]
Sudah dimaklumi, ketika mengirim hadyu tersebut bersama Abu Bakr, saat
itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di Madinah
sebagaimana disebutkan dalam sebagian lafazh hadits. Wallahu a’lam.
Pendapat inilah yang dirajihkan Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali [5] dan
Prof Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar [6]. Namun, pada asalnya kurban
itu disembelih oleh orang yang berkurban di daerahnya. Akan tetapi,
apabila ada hajat dan manfaat yang lebih besar untuk dikirim –misalnya
ke negeri yang sedang mengalami kelaparan atau tertimpa bencana- maka
diperbolehkan. Sedangkan amalan sebagian kaum muslimin yang mewajibkan
pengumpulan kurban mereka dari jauh ke satu tempat tertentu atau lembaga
tertentu dengan meninggalkan daerahnya yang membutuhkan kurban
tersebut, maka yang seperti ini tidak ada dasarnya dalam syariat.
Demikian pembahasan ini, mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu a’lam
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.
_______
Footnote
[1]. Permasalahan ini diangkat dari makalah Abu Bakar Al-Baghdadi,
Juz’un Fil Adh-hiyah Wa Hukmi Ikhrajiha ‘An Baladi Al-Mudhahi, Majalah
Al-Himah, tanpa edisi, halaman 50-55 dan risalah Prof Dr Abdullah bin
Muhammad Ath-Thayar, Ahkam Al-Idain Wa Asyara Dzil Hijjah, Cetakan
Pertama, Tahun 1413H, Dar Al-Ashimah, Riyadh, halaman 88 dengan sedikit
perubahan dan tambahan dari penulis.
[2]. Lihat Ahkam Al-Idain Wa Asyara Dzil Hijjah, halaman. 88
[3] Syaikh Al-Albani berkata : “Hadits shahih diriwayatkan Abu Dawud
(2810) dan At-Tirmidzi (1/287). “Lihat Irwa Al-Ghalil (4/349), No. 1.138
[4]. Diriwayatkan Al-Buakhri No 3.320
[5]. Wawancara Penulis dengan beliau pada hari selasa 7 Desember 2004M di Institut Teknologi Surabaya (ITS)
[6]. Ahkam Al-Idain Wa Asyara Dzil Hijjah, op.cit. halaman. 88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar