YANG DITUNTUT DARI ORANG YANG BERKURBAN.Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, Jika seorang muslim ingin berkurban untuk diri dan keluarganya atau
menyumbang kurban untuk orang yang hidup atau yang telah wafat dan masuk
bulan Dzulhijjah, baik masuknya dengan melihat hilal atau
menyempurnakan bulan Dzulqa’dah tiga puluh hari, maka diharamkan baginya
mengambil sebagian dari rambut, kuku dan kulitnya sampai ia menyembelih
kurbannya.
Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu
anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ
يُضَحِّيَ فَلاَ يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى
يُضَحِّيَ
“Jika kalian melihat hilal Dzulhijjah dan salah seorang dari kalian
ingin berkurban, maka janganlah mengambil (memotong) rambut dan kukunya
sedikit pun sampai ia menyembelih kurbannya.” [1]
HIKMAH TIDAK MEMOTONG RAMBUT, KUKU DAN BULU KULIT
Para ulama menjelaskan sedikit hikmah larangan memotong rambut dan kuku serta bulu, Di antaranya:
1. Ada yang mengatakan bahwa ketika orang yang berkurban berserikat
dengan muhrim (orang yang berihram haji) dalam sebagian amalan hajinya,
yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih kurban, maka
sesuailah sebagian hukumnya dalam larangan memotong rambut dan kuku.
2. Ada yang mengatakan bahwa hikmahnya agar seluruh anggota tubuh orang
yang berkurban tetap lengkap untuk dibebaskan dari api Neraka.
3. Ada yang mengatakan bahwa hikmahnya membiarkan rambut dan kuku
sempurna agar diambilnya bersama sembelihan kurban, sehingga menjadi
bagian kurban disisi Allah dan kesempurnaan ibadah dengannya.
Tampaknya itu semua dan selainnya yang dimaksudkan sebagai hikmah. Wallaahu a’lam.
PERKARA YANG PERLU DIINGAT
1. Banyak terlontar pertanyaan dari orang-orang pada malam tanggal
tigapuluh Dzulqa’dah, apakah mereka boleh memotong rambut dan kuku
mereka? Kita katakan, “Jika belum pasti masuk bulan Dzulhijjah pada
malam tiga puluh tersebut, maka mereka diperbolehkan untuk itu dan tidak
mengapa, sebab permasalahan ini berhubungan dengan masuknya bulan
Dzulhijjah. Bulan Dzulhijjah itu dapat ditetapkan dengan melihat hilal
atau menyempurnakan Dzulqa’dah tigapuluh hari. Namun siapa yang ingin
berhati-hati pun dibolehkan.
2. Jika telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan seorang
muslim belum berniat menyembelih kurban lalu memotong rambut dan
kukunya, kemudian setelah lewat dua atau tiga hari atau lebih ia ingin
menyembelih kurban, maka wajib baginya untuk tidak memotong semenjak ia
berniat, dan tidak mengapa baginya perkara yang telah berlalu.
Walillaahil Hamd.
3. Para ulama berbeda pendapat, apakah memotong rambut dan kuku hukumnya
haram, adalah makruh atau mubah bagi orang yang ingin berkurban? Yang
rajih, hukumnya adalah haram, karena asal dari larangan adalah untuk
pengharaman dan tidak ada yang memalingkan hukum tersebut dari asalnya.
Namun bila seorang muslim telah memotong rambut dan kukunya, maka tidak
dikenakan fidyah, hanya saja wajib baginya bertaubat dan beristighfar
dari pelanggaran larangan tersebut.
4. Orang yang ingin menyembelih kurban kemudian telah memotong rambut
dan kukunya masih diperbolehkan menyembelih kurbannya, dan memotong
rambut dan kukunya tersebut tidak menghalanginya berkurban, sebab hal
itu adalah satu perkara dan hal lainnya adalah perkara berbeda. Namun,
orang tersebut berdosa dengan sebab melanggar larangan tersebut.
Sedangkan apa yang diduga oleh orang umum bahwa itu menyebabkan
kurbannya tidak diterima, maka tidak berdasar sama sekali secara
syari’at.
5. Orang yang memiliki hajat di bolehkan memotong rambut, kuku dan
sedikit bulunya, seperti jika kukunya sobek lalu butuh di potong atau
kulitnya terkelupas sehingga mengganggunya, maka ia dibolehkan untuk
menghilangkannya atau terkena luka sehingga butuh memotong bulu atau
rambutnya dibolehkan.
6. Larangan memotong rambut, kuku dan kulit ditujukan khusus bagi orang
yang ingin berkurban untuk dirinya dan keluarganya, atau menyumbang
kurban untuk orang hidup atau yang telah wafat. Sedangkan orang yang
dimasukkan dalam pahala kurban seperti isteri dan anak, maka tidak
terkena larangan ini, karena larangan ini khusus bagi yang ingin
berkurban saja. Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan tersebut juga
mengenai mereka, karena mereka berserikat dengan orang yang berkurban
dalam masalah pahala, sehingga berserikat juga dalam hukum. Namun yang
rajih adalah pendapat pertama. Wallaahu a’lam.
7. Perwakilan tidak ada pengarunya dalam larangan memotong rambut dan
kuku serta kulit ini, karena yang dilarang memotongnya hanyalah orang
yang ingin berkurban. Adapun wakil dan orang yang diwasiati maka tidak
dilarang. Sedangkan dugaan banyak orang bahwa jika ia (orang yang
berkurban) telah diwakilkan orang lain (penyembelihannya), maka, ia di
bolehkan memotong rambut, kuku dan kulitnya, maka ini tidaklah benar.
Hal ini harus diingat!
8. Orang yang ingin berkurban dan telah ber-tekad melaksanakan haji atau
umroh, janganlah memotong rambut dan kukunya ketika ihram, sedangkan
mencukur atau mengambil sebagian rambutnya karena haji dan umroh, maka
itu adalah wajib walaupun orang yang berhaji atau umroh tersebut akan
menyembelih kurban, ka-rena mengambil rambut atau mencukur ini adalah
nusuk (bagian dari haji atau umroh), sehingga tidak dikenai larangan
memotong rambut dan kuku ini.
9. Seorang wanita dibolehkan menyembelih kurbannya langsung. Adapun
dugaan orang umum (awam) tentang ketidakbolehan wanita menyembelih tidak
ada dasarnya dalam syari’at. Ibnu Qudamah berkata dalam kitab
al-Mughni, “Ibnul Mundzir berkata, ‘Semua ulama -yang telah aku hafal-
sepakat membolehkan sembelihan oleh wanita dan anak-anak.’” [2]
Imam al-Bukhari meriwayatkan satu hadits dengan sanadnya dari Ka’ab bin Malik, beliau berkata:
أَنَّ جَارِيَةً لَهُمْ كَانَتْ تَرْعَى غَنَمًا بِسَلْعٍ فَأَبْصَرَتْ
بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا مَوْتًا فَكَسَرَتْ حَجَرًا فَذَبَحَتْهَا فَـقَالَ
ِلأَهْلِهِ لاَ تَأْكُلـُوا حَتَّى آتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأَسْأَلَهُ أَوْ حَتَّى أُرْسِلَ إِلَيْهِ مَنْ
يَسْأَلُهُ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ
بَعَثَ إِلَيْهِ، فَأَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِأَكْلِهَا
“Seorang jariyah (budak perempuan) milik mereka menggembalakan kambing
di daerah Sil’a, lalu ia melihat seekor kambingnya akan mati. Kemudian
ia memecah batu dan menyembelih kambing tersebut. Maka Ka’ab berkata
kepada keluarganya: Jangan kalian makan dulu sampai aku mendatangi
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bertanya atau sampai
diutus orang yang menanyakannya. Lalu sampailah beliau ke Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam atau mengutus seseorang kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam memerintahkannya untuk memakannya.”
10. Ada juga orang yang tidak memperhatikan wasiat kedua orang tuanya
atau salah satu dari keduanya, lalu menyumbang kurban untuk kerabatnya
yang telah meninggal dan tidak menunaikan wasiat mereka. Ini adalah
tidak boleh, karena melaksanakan wasiat hukumnya wajib, apabila menambah
dan menyumbang dari dirinya, maka tidak mengapa. Kami telah melihat
orang yang memiliki tanggung jawab atas wasiat kedua orang tuanya atau
salah seorang darinya memenuhi wasiat mereka tersebut dengan berdalih
mereka menyumbangkan untuk orang tua-nya tersebut setiap tahun seekor
kurban atau lebih. Hukum ini juga mencakup wasiat kerabat atau yang
lainnya. Maka ingatlah hal tersebut.
11. Sebagian orang yang menyembelih kurban, mereka sengaja mengambil
sedikit darahnya dan melumurkannya ke tembok dengan anggapan bahwa
tembok ini akan menjadi saksi baginya di hari Kiamat dan membiarkan
darah tersebut sampai hilang dengan sendirinya. Perbuatan ini tidak ada
dalilnya dalam syari’at, bahkan pelakunya dikhawatirkan (menjadi sesat)
kalau saja tidak bodoh.
12. Dewasa ini muncul satu perkembangan baik yang timbul dari
solidaritas dan kerjasama kaum muslimin, yaitu pengiriman hewan kurban
kepada para pengungsi dan muhajirin kaum muslimin di beberapa
negara-negara Islam. Sebagian ulama melarangnya dan sebagian lain
membolehkannya dan yang rajih menurut saya, di sana ada perbedaaan
antara kurban seorang muslim untuk diri dan keluarganya serta yang telah
diwasiatkan kepadanya dengan kurban tabarru [3]. Adapun sembelihan
muslim untuk diri dan keluarganya, dan demikian juga yang diwasiatkan
dengan ketentuan tempat dan orang yang dibagi yang telah ditentukan,
maka menurut saya yang utama adalah tidak dikirimkan dan harus
disembelih ditempat orang yang berkurban tersebut. Sedangkan hewan
kurban tabarru’, maka perkaranya mudah saja -insya Allah-.
Seandainya perkara ini diserahkan kepada tinjauan mufti sesuai kebutuhan
manusia dan yang lebih kuat menurutnya dari prioritas yang ada, maka
tentunya hal itu benar.
13. Seandainya waktu penyembelihan kurban yang sah telah lewat, padahal
seorang muslim tersebut memiliki udzur atau udzurnya selalu ada sampai
lewat waktu penyembelihan kurban yang sah tersebut, contohnya hewan
kurbannya kabur dan tidak ditemukan kecuali setelah lewat waktu
penyembelihan atau ia mewakilkan kepada orang lain untuk menyembelihnya,
lalu sang wakil tersebut lupa, kemudian orang yang mewakilkan tersebut
mengetahui bahwa wakilnya tersebut belum menyembelihnya, maka apakah ia
boleh menyembelih (setelah waktu tersebut) dan menjadikan udzur tersebut
sebagai pembenar keabsahan kurbannya? Hal ini masih menjadi
perselisihan para ulama. Namun, Allah -Ta’ala- telah menghilangkan
kesulitan umat ini dan tidak membebankan mereka dengan sesuatu di luar
kemampuannya serta mensyari’atkan orang yang tertidur dari shalat atau
lupa darinya untuk melaksanakan shalat ketika ingat tanpa ada kaffarat
baginya.
14. Jika hewan kurbannya telah ditentukan, maka wajib menunaikannya dan
tidak boleh menggagalkannya, serta tidak boleh menggantinya kecuali
dengan yang lebih baik. Sedangkan apa yang dilakukan sebagian orang yang
membeli hewan kurbannya lalu menjualnya serta meremehkan hal tersebut,
maka ini adalah kesalahan yang perlu diperingatkan. Apabila hewan
tersebut melahirkan setelah penentuan tersebut, maka hukum anaknya sama
dengan hukum induknya. Apabila mati sebelum disembelih, jika disebabkan
kecerobohan dari orang yang berkurban, maka ia harus menggantinya, dan
jika disebabkan perlakuan orang lain, maka orang tersebut wajib
menggantinya. Namun apabila hilang setelah disembelih atau dicuri, jika
disebabkan karena kecerobohannya, maka hendaklah dia mengganti apa yang
dishadaqahkan dari hewan tersebut saja, dan bila tidak maka tidak ada
kewajiban menggantinya sama sekali.
15. Orang yang mendapatkan pemberian bagian dari hewan kurban atau
mendapat shadaqah darinya, maka diperbolehkan menggunakannya sesukanya,
baik dijual, dihadiahkan atau dishadaqahkan kembali. Tapi jangan
menjualnya kepada orang yang memberinya atau bershadaqah kepadanya.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim dan lainnya dengan lafazh yang berbeda. Lihat Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (XIII/139).
[2]. Al-Mughni (VIII/581).
[3]. Yaitu kurban seseorang yang lebih dari satu. Misalnya seorang
berkurban 5 ekor kambing, maka satu adalah kurban untuk dirinya
sedangkan yang lain ia niatkan untuk shadaqah. Keempat kambing tersebut
dinamakan hewan kurban tabarru’.-pen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar