BEBERAPA KESALAHAN SAAT MELAKSANAKAN IBADAH HAJI.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, Haji merupakan ibadah yang sangat mulia, yang akan mendekatkan diri kita
kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Oleh karena itu, dalam melakukan
haji, harus dikerjakan dengan mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Allah berfirman:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ
يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
"Sungguh telah ada pada Rasulullah suri tauladan yang terbaik bagi orang
yang mengharapkan Allah dan hari akhir dan bagi orang yang banyak
berdzikir kepada Allah". [Al Ahzab : 21].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda pada waktu haji wada':
خُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي أَنْ لَا أَحُجَّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ
"Ambillah manasik haji kalian, sesunguhnya aku tidak mengetahui
barangkali aku tidak akan mengerjakan haji lagi setelah ini". [HR
Ahmad].
Betapa banyak kaum Muslimin yang pergi menunaikan ibadah haji, namun
mereka tidak memahami hukum-hukumnya, dan tidak mengetahui hal-hal yang
bisa membatalkan ibadahnya, atau yang bisa mengurangi kesempurnaan
hajinya. Hal ini terjadi, bisa jadi karena haji merupakan ibadah yang
pelaksanaannya membutuhkan waktu yang lama, serta hukum-hukumnya lebih
banyak jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya. Sehingga bisa
menyebabkan seseorang yang melaksanakan haji melakukan penyimpangan dan
kesalahan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Ilmu
manasik haji adalah yang paling rumit di dalam ibadah".
Sebagian jama'ah haji, mereka mengerjakan hal-hal yang tidak ada asalnya
dari Al Kitab dan As Sunnah. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama,
adanya orang-orang yang berfatwa tanpa ilmu. Kedua, mereka taklid buta
kepada pendapat seseorang tanpa adanya alasan yang dibenarkan.
Dalam tulisan ini kami akan menjelaskan beberapa kesalahan yang sering
terjadi di kalangan jama'ah haji pada umumnya, supaya kita mampu
menghindarinya dan bisa memperingatkan saudara-saudara kita agar tidak
terjatuh dalam kesalahan ini.
1. KESALAHAN KETIKA IHRAM.
a. Sebagian jama'ah haji, ketika melewati miqat atau sejajar dengannya
di atas pesawat, mereka menunda ihram sehingga turun di bandara Jeddah.
Dalam Al Bukhari dan Muslim, dan selainnya dari Ibnu Abbas, dia berkata:
وَقَّتَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ
الْمَنَازِلِ وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ هُنَّ لَهُنَّ وَلِكُلِّ
آتٍ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِمْ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ
وَالْعُمْرَةَ
"Nabi telah menentukan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah,
dan untuk penduduk Syam di Al Juhfah, dan untuk penduduk Najd di Qarnul
Manazil, dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam. Beliau Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda: "Tempat-tempat itu untuk mereka dan untuk orang
yang melewatinya, meskipun bukan dari mereka (penduduk-penduduk kota
yang telah disebutkan), bagi orang yang ingin menunaikan haji dan
umrah".
Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ عِرْقٍ
"Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menentukan miqat untuk
penduduk Irak di Dzatu 'Irq". [HR Abu Dawud dan An Nasa-i].
Tempat-tempat tersebut adalah miqat-miqat yang telah ditetapkan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai batasan syar'i. Maka
tidaklah halal bagi seseorang yang ingin menunaikan ibadah haji dan
umrah untuk merubahnya atau untuk melewatinya tanpa ihram.
Dalam Shahih Al Bukhari, dari Abdullah bin Umar, dia berkata: Ketika
dibuka dua kota ini, yakni Bashrah dan Kufah, mereka datang kepada Umar,
lalu berkata: “Wahai, Amirul Mukminin. Sesungguhnya Nabi telah
menetapkan miqat untuk penduduk Najd di Qarnul Manazil, dan tempat itu
menyimpang dari kita. Apabila kita hendak pergi ke Qarnul Manazil, maka
akan memberatkan kita”. Umar berkata,”Lihatlah kepada tempat yang
sejajar dengannya (Qarnul Manazil, Pen) dari jalan kalian.”
Dalam atsar ini Umar bin Khaththab telah menentukan miqat bagi orang
yang tidak lewat di tempat tersebut, namun mereka sejajar dengannya.
Tidak ada bedanya orang yang melewati miqat lewat udara ataupun lewat
darat.
b. Keyakinan sebagian jama'ah haji atau umrah, bahwa yang dimaksud ihram
adalah sekedar mengenakan pakaian ihramnya setelah mengganti dari
pakaian biasa; padahal, ihram adalah niat untuk masuk ke dalam ibadah
umrah atau haji.
Yang benar, bahwa seseorang ketika mengenakan pakaian ihram, hal ini
adalah persiapan untuk ihram. Karena ihram yang sebenarnya adalah niat
untuk masuk ke dalam manasik. Hal inilah yang belum diketahui oleh
kebanyakan orang, mereka mengira, hanya dengan mengenakan pakaian ihram,
telah mulai menjauhi larangan ihram, padahal larangan-larangan ihram
dijauhi ketika seseorang mulai niat masuk ke dalam manasik.
c. Ketika seorang wanita dalam keadaan haidh, dia tidak melakukan ihram
karena adanya keyakinan bahwa ihram harus dalam keadaan suci, kemudian
dia melewati miqat tersebut tanpa ihram.
Hal ini merupakan kesalahan yang nyata, karena haidh tidak
menghalanginya untuk ihram. Seorang wanita yang haidh, ia tetap
melakukan ihram dan mengerjakan semua yang harus dikerjakan oleh jama'ah
haji, kecuali thawaf. Dia menunda thawaf sehingga suci dari haidhnya.
Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata: “Nabi telah masuk ke
tempatku, (dan) aku sedang menangis”. Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Aku menjawab: “Demi
Allah, aku berkeinginan seandainya aku tidak haji pada tahun ini”.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: “Barangkali engkau sedang
haidh?” Aku menjawab: “Benar”. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
فَإِنَّ ذَلِكِ شَيْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَافْعَلِي
مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى
تَطْهُرِي
"Itu adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan untuk wanita keturunan
Adam. Kerjakanlah semua yang dikerjakan oleh orang yang haji, kecuali
engkau jangan thawaf di Ka'bah, sehingga engkau suci". [HR Al Bukhari].
d. Keyakinan sebagian jama'ah haji bahwa pakaian ihram bagi kaum wanita
harus memiliki warna tertentu, seperti warna hijau atau warna lainnya.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: "Adapun sebagian orang awam yang
mengkhususkan pakaian ihram bagi wanita dengan warna hijau atau hitam,
dan tidak boleh dengan warna yang lain, maka hal ini tidak ada
asalnya”.[1]
e. Keyakinan bahwa pakaian ihram yang dipakai oleh jama'ah haji tidak boleh diganti meskipun kotor.
Hal ini merupakan suatu kesalahan dari jama'ah haji. Sebenarnya boleh
untuk mengganti pakaian ihram mereka dengan yang semisalnya, dan boleh
juga untuk mengganti sandal. Tidak menjauhi kecuali larangan-larangan
ketika ihram, sedangkan hal ini bukanlah termasuk larangan.
Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Baz: "Tidak mengapa untuk mencuci pakaian
ihram dan tidak mengapa untuk menggantinya, atau menggunakan pakaian
yang baru, atau yang sudah dicuci”.[2]
f. Talbiyah secara berjama'ah dengan satu suara.
Ibnu Al Haaj berkata : "Yakni, hendaknya mereka tidak mengerjakannya
dengan satu suara, karena hal ini termasuk bid'ah, bahkan setiap orang
bertalbiyah sendiri-sendiri tanpa bertalbiyah dengan suara orang lain,
dan hendaknya terdapat ketenangan dan keheningan yang mengiringi
talbiyah ini…".[3]
g. Ketika ihram, sebagian jama'ah membuka pundak-pundak mereka seperti
dalam keadaan idh-thiba' (Membuka pundak sebelah kanan dan menutup
sebelah kiri dengan kain ihram).
Idh-thiba' tidak disyari'atkan kecuali ketika thawaf qudum atau thawaf
umrah. Selain itu, tidak disyari'atkan dan pundak tetap dalam keadaan
tertutup dengan pakaian ihramnya.
Berkata Ibnu Abidin dalam Hasyiyah-nya: "Yang sunnah adalah melakukan
idh-thiba' sebelum thawaf hingga selesai, tidak ada yang lain daripada
itu".[4]
Berkata Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah : "Apabila telah selesai dari
thawaf, maka dia mengembalikan rida'nya (pakaian atas dari ihramnya)
seperti keadaan semula, karena idh-thiba' dikerjakan ketika thawaf
saja".[5]
h. Keyakinan bahwa shalat dua raka'at setelah ihram hukumnya wajib.
Tidak ada dalil yang menunjukkan wajibnya shalat dua raka’at setelah
ihram. Bahwasanya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ihram setelah
melakukan shalat fardhu, maka dianjurkan ihram setelah shalat fardhu.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : "Disunnahkan untuk
ihram setelah selesai shalat, baik fardhu atau sunnah, jika dikerjakan
pada waktu sunnah. (Demikian) menurut satu di antara dua pendapat. Dan
menurut pendapat yang lain, jika dia shalat fardhu, maka dia ihram
sesudahnya, dan jika bukan waktu shalat fardhu, maka bagi ihram tidak
ada shalat yang mengkhususkannya. Dan ini adalah pendapat yang paling
kuat".[6]
2. KESALAHAN KETIKA THAWAF.
a. Memulai thawaf sebelum Hajar Aswad.
Hal ini termasuk perbuatan ghuluw dalam agama. Sebagian orang mempunyai
keyakinan agar lebih berhati-hati. Akan tetapi, hal ini tidak bisa
diterima, karena sikap hati-hati yang benar adalah apabila kita
mengikuti syari'at dan tidak mendahului Allah dan RasulNya.
b. Sebagian jama'ah haji berpedoman dengan do'a-do'a khusus, terkadang
mereka dipimpin oleh seseorang untuk mentalkin, kemudian mereka
mengulang-ulanginya secara bersama-sama.
Hal ini tidak dibenarkan, karena dua hal. Pertama. Karena di dalam
thawaf tidak ada do'a khusus. Tidak pernah diriwayatkan dari Nabi n
bahwa di dalam thawaf terdapat do'a khusus. Kedua. Bahwa do'a secara
berjama'ah adalah perbuatan bid'ah. Perbuatan ini mengganggu bagi orang
lain yang juga sedang thawaf. Yang disyari'atkan ialah, setiap orang
berdo'a sendiri-sendiri tanpa mengeraskan suaranya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : "Didalam hal ini
–yakni thawaf- tidak ada dzikir yang khusus dari Nabi, baik perintah
atau ucapan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengajarkan hal
itu. Bahkan setiap orang berdo'a dengan do'a-do'a yang masyru'
(disyariatkan). Adapun yang disebut oleh kebanyakan orang bahwa terdapat
do'a tertentu di bawah Mizab dan tempat lainnya, maka hal itu sama
sekali tidak ada asalnya”.[7]
c. Sebagian jama'ah haji mencium Rukun Yamani.
Hal ini merupakan kesalahan, karena Rukun Yamani hanya disentuh dengan
tangan saja, tidak dicium. Yang dicium hanyalah Hajar Aswad, apabila
kita mampu untuk menciumnya. Jika tidak mampu, maka diusap. Jika tidak
bisa (diusap) juga, maka kita cukup dengan memberi isyarat dari jarak
jauh.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : "Adapun Rukun
Yamani, menurut pendapat yang shahih, dia tidak boleh dicium". [8]
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : "Telah shahih dari beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam menyentuh Rukun Yamani. Dan tidak ada yang sah dari beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
menciumnya, atau mencium tangan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
setelah menyantuhnya".[9]
d. Sebagian jama'ah haji mengerjakan thawaf dari dalam Hijir Isma'il.
Dalam masalah ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
"Tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam Hijir Ismail ketika thawaf,
karena sebagian besar hijir termasuk dalam area Ka'bah, padahal Allah
memerintahkan untuk thawaf mengelilingi Ka'bah, bukan thawaf di dalam
Ka'bah".[10]
e. Keyakinan sebagian orang yang thawaf, bahwa shalat dua raka'at setelah thawaf harus dikerjakan di dekat Maqam Ibrahim.
Yang benar, shalat dua raka'at setelah thawaf boleh dikerjakan dimana
saja dari Masjidil Haram, dan tidak wajib untuk dikerjakan di dekat
Maqam Ibrahim, sehingga tidak berdesak-desakan dan mengganggu jama'ah
lainnya.[11]
f. Ketika thawaf, sebagian jama'ah haji mengusap-usap setiap yang mereka
jumpai di dekat Ka'bah, seperti Maqam Ibrahim, dinding Hijir Isma'il
dan kain Ka'bah, dan yang lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Adapun seluruh
sudut Ka'bah dan Maqam Ibrahim, dan seluruh masjid dan dindingnya, dan
kuburnya para nabi dan orang-orang yang shalih, seperti kamar Nabi kita,
dan tempatnya Nabi Ibrahim dan tempat Nabi kita yang dahulu mereka
gunakan untuk shalat, dan selainnya dari kuburnya para nabi serta orang
yang shalih, atau batu yang di Baitul Maqdis, maka menurut kesepakatan
ulama, semuanya itu tidak boleh untuk diusap dan tidak boleh juga untuk
dicium".[12]
g. Sebagian jama'ah wanita berdesak-desakan ketika hendak mencium Hajar Aswad.
Padahal Allah telah berfirman:
الْحَجُّ أَشْهُرُُ مَّعْلُومَاتُُ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
"Haji adalah pada bulan-bulan yang telah ditetapkan, barangsiapa yang
mengerjakan haji, maka janganlah berbuat rafats dan berbuat fasik dan
berbantah-bantahan dalam mengerjakan haji". [Al Baqarah : 197].
Berdesak-desakan ketika haji akan menghilangkan rasa khusyu' dan akan
melupakan dalam mengingat Allah. Padahal, dua hal ini termasuk maksud
yang utama ketika kita thawaf.[13]
h. Sebagian jama’ah haji tetap idh-thiba' setelah selesai thawaf dan shalat dua raka'at dalam keadaan idh-thiba'.
Dalam hal ini terdapat dua kesalahan. Pertama. Yang sunnah dalam
idh-thiba', yaitu ketika thawaf qudum. Kedua. Mereka terjatuh ke dalam
larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang shalat sedangkan
pundak mereka terbuka. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia
berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
لَا يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقَيْهِ شَيْءٌ
"Janganlah salah seorang di antara kalian shalat dengan satu baju yang
tidak ada di atas kedua pundaknya sesuatu dari kain". [HR Al Bukhari].
i. Mengeraskan niat ketika memulai thawaf.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Nabi tidak mengatakan ‘aku niatkan
thawafku tujuh putaran di Ka'bah begini dan begini’ -hingga beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata- bahkan hal ini termasuk bid'ah
yang munkar".[14]
j. Raml (lari kecil) pada tujuh putaran seluruhnya.
Yang sunnah ialah, melakukan raml pada tiga putaran yang pertama. Adapun
pada empat putaran yang terakhir berjalan seperti biasanya.
k. Keyakinan mereka bahwa Hajar Aswad bisa memberi manfaat.
Sebagian di antara jamaah haji, setelah menyentuh Hajar Aswad, mereka
mengusapkan tangannya ke seluruh tubuhnya atau mengusapkan kepada
anak-anak kecil yang bersama mereka. Hal ini merupakan kejahilan dan
kesesatan, karena manfaat dan madharat datangnya dari Allah. Dahulu Umar
bin Al Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata:
وَإِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا
أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
"Dan sesungguhnya aku mengetahui bahwa engkau adalah batu, tidak memberi
madharat dan tidak bermanfaat. Jika seandainya aku tidak melihat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menciummu, maka aku tidak akan
menciummu".
l. Setelah selesai dari shalat dua raka'at, mereka berdiri dan berdo'a secara berjama'ah dan dikomando oleh seseorang.
Hal ini bisa mengganggu orang lain yang sedang shalat di dekat maqam.
Mereka melampaui batas ketika berdo'a. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah berfirman:
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
"Berdo'alah kepada Rabb kalian dengan khusyu' dan perlahan, sesungguhnya
Dia tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas". [Al A'raf : 55].
3. KESALAHAN DALAM SA'I.
a. Melakukan sa'i antara Shafa dan Marwa sebanyak empatbelas kali, dimulai dari Shafa dan berhenti di Shafa kembali.
Padahal yang sunnah ialah tujuh kali, bermula dari Shafa dan berakhir di Marwa.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Hal ini adalah salah terhadap sunnah
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak pernah dinukil oleh
seorangpun dari beliau, dan tidak pernah dikatakan oleh seorangpun dari
para imam yang telah dikenal pendapat mereka, meskipun hal ini dikatakan
oleh sebagian orang belakangan yang menyandarkan kepada imam. Di antara
hal yang menjelaskan kesalahan pendapat ini (sa'i empatbelas kali),
bahwasanya beliau berbeda dalam hal ini. Beliau mengakhiri sa'i di
Marwa. Jika seandainya berangkat dan kembali dihitung sekali, pasti
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan mengakhiri sa'i di Marwa".[15]
b. Shalat dua raka'at setelah selesai dari sa'i, seperti ketika selesai dari thawaf.
Shalat dua raka'at setelah selesai thawaf telah ditetapkan oleh sunnah.
Adapun shalat dua raka'at setelah selesai dari sa'i adalah bid'ah yang
munkar dan menyelisihi petunjuk Nabi. Dalam masalah ini tidak bisa
diqiyaskan, karena bertentangan dengan nash yang shahih dalam sa'i.
c. Terus melakukan thawaf dan sa'i meskipun shalat di Masjidil Haram telah dikumandangkan iqamat.
Dalam masalah ini, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:
"Hendaknya (orang yang sedang sa'i atau thawaf) shalat bersama orang
lain, kemudian baru menyempurnakan thawaf dan sa'inya yang telah dia
kerjakan sebelum shalat".[16]
d. Sebagian jama'ah haji, mereka sa'i dalam keadaan idh-thiba'.
Seharusnya dia tidak idh-thiba', karena tidak ada dalilnya dalam hal
ini. Imam Ahmad mengatakan: "Kami tidak mendengar sesuatu (tentang
sunnahnya ketika sa'i) sedikitpun juga". [17]
e. Sebagian jamaah haji berlari-lari di seluruh putaran antara Shafa dan Marwa.
Hal ini menyelisihi sunnah, karena berlari hanya di antara dua tanda hijau saja. Yang lainnya adalah jalan seperti biasa.
f. Sebagian wanita berlari di antara dua tanda hijau seperti yang dilakukan oleh kaum lelaki.
Padahal wanita tidak dianjurkan untuk lari, namun berjalan biasa di
antara dua tanda hijau. Ibnu Umar berkata: "Bagi kaum wanita tidak
disunnahkan raml (berlari kecil) di sekitar Ka'bah, dan (tidak) juga
antara Shafa dan Marwa".
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: "Adapun kaum wanita,
(ia) tidak disyari'atkan untuk berjalan cepat di antara dua tanda hijau,
karena wanita adalah aurat. Akan tetapi, disyari'atkan bagi mereka
untuk berjalan di seluruh putaran".[18]
g. Sebagian orang yang sa'i, setiap kali menghadap Shafa dan Marwa selalu membaca:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللهِ .
Padahal yang sunnah ialah membaca ayat ini ketika pertama kali menghadap kepada Shafa saja.
4. KESALAHAN KETIKA WUKUF DI ARAFAH.
a. Sebagian jama'ah haji berdiam di luar batasan Arafah dan tinggal di
tempat itu hingga terbenam matahari, kemudian mereka langsung menuju
Muzdalifah.
Hal ini merupakan kesalahan besar. Karena wukuf di Arafah hukumnya
rukun, dan tidak akan sah hajinya tanpa rukun ini, berdasarkan sabda
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
الْحَجُّ عَرَفَةُ مَنْ جَاءَ لَيْلَةَ جَمْعٍ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ
"Haji adalah Arafah, barangsiapa yang datang pada malam harinya sebelum
terbit fajar (hari kesepuluh), maka dia telah mendapatkan wukuf". [HR At
Tirmidzi]
b. Meninggalkan Arafah sebelum terbenamnya matahari.
Dalam masalah ini Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah mengatakan, hal ini
adalah haram, menyelisihi sunnah Nabi. Karena beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam wukuf hingga matahari terbenam dan hilang cahayanya.
Meninggalkan Arafah sebelum terbenamnya matahari merupakan hajinya orang
jahiliyah.
c. Mereka menghadap ke arah bukit Arafah, sedangkan kiblat berada di
belakang atau di arah kanan dan kirinya. Sebagian mereka mempunyai
keyakinan, bahwa ketika wukuf harus memandang bukit Arafah atau pergi
dan naik kesana.
Anggapan seperti ini menyelisihi sunnah, karena sunnah dalam hal ini
ialah menghadap ke arah kiblat sebagaimana dikerjakan oleh Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syaikh Shalih Alu Syaikh berkata: "Menghadap ke arah bukit Arafah atau
tempat lain tidaklah terdapat keutamaan atau anjuran. Bahkan, jika dia
mengharuskan hal ini dan meyakini bahwa perbuatan ini afdhal, maka
mengerjakannya merupakan bid'ah. Dan naik ke atas bukit dengan maksud
beribadah disana merupakan bid'ah yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam".[20]
d. Bercepat-cepat dan bersegera ketika meninggalkan Arafah menuju Muzdalifah.
Sebagian orang sangat tergesa-gesa dengan kendaraan mereka dan dengan
suara klakson yang mengganggu orang lain, sehingga terjadi hal-hal yang
tidak terpuji, seperti saling mencela dan saling mendo'akan kejelekan di
antara mereka.
Berkata Ibnu Al Haaj: "Apabila seseorang meninggalkan Arafah setelah
matahari terbenam, maka hendaknya dia berjalan pelan-pelan, dan wajib
baginya untuk tenang, perlahan dan khusyu". [21]
5. KESALAHAN KETIKA MELEMPAR JUMRAH
a. Keyakinan, bahwa mereka harus mengambil kerikil dari Muzdalifah.
Anggapan seperti ini tidak ada asalnya sama sekali. Dahulu, Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam ialah memerintahkan Ibnu Abbas untuk
mengambil kerikil, sedangkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam naik
di atas kendaraan. Yang nampak dari kisah ini, beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam berada di dekat jumrah.
Berkata Syaikh Ibnu Baz: "Apa yang dikerjakan oleh sebagian orang untuk
mengambil kerikil ketika sampai di Muzdalifah sebelum mengerjakan
shalat, kebanyakan mereka berkeyakinan bahwa hal itu masyru', maka hal
ini merupakan kesalahan yang tidak ada asalnya. Nabi n tidak
memerintahkan untuk diambilkan kerikil, kecuali ketika beliau n
meninggalkan Masy'aril Haram menuju Mina. Kerikil yang diambil dari mana
saja sah baginya, tidak harus dari Muzdalifah, akan tetapi boleh
diambil di Mina". [22].
b. Keyakinan mereka bahwa ketika melempar jumrah, seakan-akan sedang melempar setan.
Maka dari itu, ketika melempar jumrah mereka berteriak dan memaki, yang
mereka yakini sebagai setan. Semua hal ini tidak ada asalnya di dalam
syari'at kita yang mulia.
c. Melempar dengan sandal atau sepatu dan batu yang besar.
Hal ini bertentangan dengan Sunnah Nabi, karena beliau n melempar dengan
batu kerikil, dan beliau memerintahkan umatnya untuk melempar dengan
semisalnya. Dalam hal ini, beliau memperingatkan dari ghuluw.
d. Mereka tidak berhenti untuk berdo'a setelah melempar jumrah yang pertama dan kedua pada hari tasyrik.
Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu berdiri setelah
melempar jumrah ula dan wustha, dengan menghadap ke arah kiblat
mengangkat kedua tangannya dan berdo'a dengan do'a yang panjang.
6. KESALAHAN KETIKA MENCUKUR RAMBUT.
Sebagian jama'ah haji mencukur sebagian dari rambutnya dan menyisakan sebagian lainnya.
Mengomentari hal ini Syaikh Ibnu Baz berkata: "Menurut pendapat yang
terkuat di antara dua pendapat ulama, tidak sah jika memendekkan
sebagian rambut atau hanya mencukur sebagian rambutnya. Bahkan yang
wajib adalah mencukur seluruh rambutnya atau memendekkan seluruhnya. Dan
yang afdhal ialah memulai dengan bagian kanan terlebih dahulu sebelum
yang kiri".[23]
7. KESALAHAN KETIKA ZAIARAH KE MASJID NABAWI.
a. Keyakinan bahwa ziarah ke Masjid Nabawi ada hubungannya dengan haji dan termasuk penyempurna bagi hajinya.
Anggapan seperti ini merupakan kesalahan yang nyata, karena ziarah ke
Masjid Nabawi tidak ditetapkan dengan waktu tertentu, dan tidak ada
hubungannya dengan haji. Barangsiapa yang pergi haji dan tidak ziarah ke
Masjid Nabawi, hajinya sah dan sempurna.
b. Sebagian orang yang ziarah ke kubur Nabi, mereka mengeraskan suara di
dekat kuburan. Mereka berkeyakinan, bahwa jika berdo'a di dekat kubur
Nabi akan memiliki kekhususan tertentu.
Hal ini merupakan kesalahan yang besar, dan tidak disyari'atkan untuk
berdo'a di dekat kuburan, meskipun orang yang berdo'a tidak menyeru
kecuali kepada Allah. Hal ini meruapakan perbuatan bid'ah dan menjadi
wasilah menuju kesyirikan. Dahulu, kaum salaf tidak pernah berdo'a di
dekat kubur Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mereka mengucapkan
salam kepada beliau.
Wallahu a'lam.
Maraji':
1. Majmu' Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Jama' Abdur Rahman bin Qasim.
2. At Tahqiq wa Al Idhah, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baaz.
3. Hajjatu an Nabiyyi Kama Rawaaha anhu Jabir, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cet. Al Maktab Al Islami, Tahun 1405H.
4. Manasiku al Hajji wa al Umrah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin, Cet. Dar al Waki', Tahun 1414 H.
5. Min Mukhalafat al Hajji wa al Umrah wa az Ziyarah, Syaikh Abdul Aziz
bin Muhammad As Sadhan, Cet. Dar Syaqraa', Tahun 1416 H, dan
Mukhtashar-nya.
6. Al Mindhar Fi Bayani Katsirin min al Akhtha' asy Syaai'ah, Ma'aali
Syaikh Shalih Alu Syaikh, Cet. Dar al Ashimah, Tahun 1418 H.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
________
Footnote
[1]. At Tahqiq wa al Idhah, hlm. 17.
[2]. Fatawa Muhimmah, hlm. 25.
[3]. Lihat Min Mukhalafat al Hajji wa al Umrah wa az Ziyarah (mukhtashar), hlm. 11.
[4]. Hajjatu an Nabiyyi, hlm. 111.
[5]. Al Manhaj fi Shifati al Umrati wa al Hajj, hlm. 22.
[6]. Majmu' Fatawa, 26/109.
[7]. Majmu' Fatawa, 26/122.
[8]. Majmu' Fatawa, 26/97.
[9]. Zaadul Ma'ad, 2/225.
[10]. Majmu' Fatawa, 26/121.
[11]. Manasiku al Hajji wal Umrah, hlm. 92.
[12]. Majmu' Fatawa, 26/121.
[13]. Manasik al Hajji wa al Umrah, hlm. 88
[14]. Zaadu al Ma'ad, 2/225.
[15]. Zaadu al Ma'ad, hlm. 213-214.
[16]. Lihat Min Mukhalafat (mukhtashar), hlm. 23.
[17]. At Tahqiq wa Al Idhah, 41.
[18]. Manasikul Hajji wa Al Umrah, 95.
[19]. Al Mindhar, 59.
[20]. Al Mindhar,
[21]. Lihat Min Mukhalafat (mukhtashar), hlm. 25.
[22]. At Tahqiq wa al Idhah, hlm. 53.
[23]. Lihat Min Mukhalafat (mukhtashar), hlm. 29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar