Syariat mewajibkan kepada suami untuk
memenuhi kebutuhan istrinya yang berupa kebutuhan material seperti
nafkah, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan sebagainya, sesuai
dengan kondisi masing-masing, atau seperti yang dikatakan oleh
Al-Qur’an “bil ma’ruf” (menurut cara yang ma’ruf/patut).https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Namun
syariat tidak pernah melupakan akan kebutuhan-kebutuhan spiritual yang
manusia tidaklah bernama manusia kecuali dengan adanya
kebutuhan-kebutuhan tersebut, sebagaimana kata seorang pujangga kuno:
“Maka karena jiwamu itulah engkau sebagai manusia, bukan cuma dengan
badanmu.”
Bahkan Al-Qur’an menyebut perkawinan ini sebagai
salah satu ayat di antara ayat-ayat Allah di alam semesta dan salah satu
nikmat yang diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Firman-Nya: “Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar Rum: 21)
Ayat ini menjadikan
sasaran atau tujuan hidup bersuami istri ialah ketenteraman hati, cinta,
dan kasih sayang antara keduanya, yang semua ini merupakan aspek
kejiwaan, bukan material. Tidak ada artinya kehidupan bersuami istri
yang sunyi dari aspek-aspek maknawi ini, sehingga badan berdekatan
tetapi ruh berjauhan.
Dalam hal ini banyak suami yang
keliru—padahal diri mereka sebenarnya baik—ketika mereka mengira bahwa
kewajiban mereka terhadap istri mereka ialah memberi nafkah, pakaian,
dan tempat tinggal, tidak ada yang lain lagi. Dia melupakan bahwa wanita
(istri) itu bukan hanya membutuhkan makan, minum, pakaian, dan
lain-lain kebutuhan material, tetapi juga membutuhkan perkataan yang
baik, wajah yang ceria, senyum yang manis, sentuhan yang lembut, ciuman
yang mesra, pergaulan yang penuh kasih sayang, dan belaian yang lembut
yang menyenangkan hati dan menghilangkan kegundahan.
Imam
Ghazali mengemukakan sejumlah hak suami istri dan adab pergaulan di
antara mereka yang kehidupan berkeluarga tidak akan dapat harmonis tanpa
semua itu. Di antara adab-adab yang dituntunkan oleh Al-Qur’an dan
Sunnah itu ialah berakhlaq yang baik terhadapnya dan sabar dalam
menghadapi godaannya.
Allah berfirman: “… Dan gaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang ma’ruf (patut)…” (QS An Nisa’: 19)
“… Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS An Nisa’: 21)
“… Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga
yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu…” (QS An Nisa’:
36)
Ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “teman
sejawat” dalam ayat di atas ialah istri. Imam Ghazali berkata,
“Ketahuilah bahwa berakhlaq baik kepada mereka (istri) bukan cuma tidak
menyakiti mereka, tetapi juga sabar menerima keluhan mereka, dan
penyantun ketika mereka sedang emosi serta marah, sebagaimana
diteladankan Rasulullah SAW. Istri-istri beliau itu sering meminta
beliau untuk mengulang-ulangi perkataan, bahkan pernah ada pula salah
seorang dari mereka menghindari beliau sehari semalam.
Beliau pernah berkata kepada Aisyah, “Sungguh, aku tahu kalau engkau marah dan kalau engkau rela.”
Aisyah bertanya, “Bagaimana engkau tahu?”
Beliau menjawab, “Kalau engkau rela, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan
Muhammad,’ dan bila engkau marah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan
Ibrahim.’
Aisyah menjawab, “Betul, (kalau aku marah) aku hanya menghindari menyebut namamu.”
Dari adab yang dikemukakan Imam Ghazali itu dapat ditambahkan bahwa di
samping bersabar menerima atau menghadapi kesulitan istri, juga
bercumbu, bergurau, dan bermain-main dengan mereka, karena yang demikian
itu dapat menyenangkan hati wanita. Rasulullah SAW biasa bergurau
dengan istri-istri beliau dan menyesuaikan diri dengan pikiran mereka
dalam bertindak dan berakhlaq, sehingga diriwayatkan bahwa beliau pernah
melakukan perlombaan lari cepat dengan Aisyah.
Umar bin
Al-Khathab—yang dikenal berwatak keras itu—pernah berkata, “Seyogianya
sikap suami terhadap istrinya seperti anak kecil, tetapi apabila mencari
apa yang ada di sisinya (keadaan yang sebenarnya) maka dia adalah
seorang laki-laki.”
Dalam menafsirkan hadits: “Sesungguhnya
Allah membenci alja’zhari al-jawwazh,” dikatakan bahwa yang dimaksud
ialah orang yang bersikap keras terhadap istri (keluarganya) dan sombong
pada dirinya. Dan ini merupakan salah satu makna firman Allah: ‘utul.
Ada yang mengatakan bahwa lafal ‘utul berarti orang yang kasar mulutnya
dan keras hatinya terhadap keluarganya.
Keteladanan tertinggi
bagi semua itu ialah Rasulullah SAW. Meski bagaimanapun besarnya
perhatian dan banyaknya kesibukan beliau dalam mengembangkan dakwah dan
menegakkan agama, memelihara jamaah, menegakkan tiang daulah dari dalam
dan memeliharanya dari serangan musuh yang senantiasa mengintainya dari
luar, beliau tetap sangat memperhatikan para istrinya. Beliau adalah
manusia yang senantiasa sibuk berhubungan dengan Tuhannya seperti
berpuasa, shalat, membaca Al-Qur’an, dan berdzikir, sehingga kedua kaki
beliau bengkak karena lamanya berdiri ketika melakukan shalat lail, dan
menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya.
Namun
sesibuk apa pun beliau tidak pernah melupakan hak-hak istri-istri beliau
yang harus beliau penuhi. Jadi aspek-aspek Rabbani tidaklah melupakan
beliau terhadap aspek insani dalam melayani mereka dengan memberikan
makanan ruhani dan perasaan mereka yang tidak dapat terpenuhi dengan
makanan yang mengenyangkan perut dan pakaian penutup tubuh.
Dalam menjelaskan sikap Rasulullah dan petunjuk beliau dalam mempergauli
istri, Imam Ibnu Qayyim berkata, “Sikap Rasulullah SAW terhadap
istri-istrinya ialah bergaul dan berakhlaq baik kepada mereka. Beliau
pernah menyuruh gadis-gadis Anshar menemani Aisyah bermain. Apabila
istrinya (Aisyah) menginginkan sesuatu yang tidak terlarang menurut
agama, beliau menurutinya. Bila Aisyah minum dari suatu bejana, maka
beliau ambil bejana itu dan beliau minum daripadanya pula dan beliau
letakkan mulut beliau di tempat mulut Aisyah tadi (bergantian minum pada
satu bejana/tempat), dan beliau juga biasa makan kikil bergantian
dengan Aisyah.”
Beliau biasa bersandar di pangkuan Aisyah,
beliau membaca Al-Qur’an sedang kepala beliau berada di pangkuannya.
Bahkan pernah ketika Aisyah sedang haidh, beliau menyuruhnya memakai
sarung, lalu beliau memeluknya. Bahkan pernah juga menciumnya, padahal
beliau sedang berpuasa.
Di antara kelemah-lembutan dan akhlaq
baik beliau lagi ialah beliau memperkenankan istrinya untuk bermain dan
mempertunjukkan kepadanya permainan orang-orang Habsyi ketika mereka
sedang bermain di masjid, dia (Aisyah) menyandarkan kepalanya ke pundak
beliau untuk melihat permainan orang-orang Habsyi itu. Beliau juga
pernah berlomba lari dengan Aisyah dua kali, dan keluar dari rumah
bersama-sama.
Sabda Nabi SAW, “Sebaik-baik kamu ialah yang
paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik
terhadap keluargaku.”
Apabila selesai melaksanakan shalat
Ashar, Nabi senantiasa mengelilingi (mengunjungi) istri-istrinya dan
beliau tanyakan keadaan mereka, dan bila malam tiba beliau pergi ke
rumah istri beliau yang pada waktu itu mendapat giliran. Aisyah berkata,
“Rasulullah SAW tidak melebihkan sebagian kami terhadap sebagian yang
lain dalam pembagian giliran. Dan setiap hari beliau mengunjungi kami
semuanya, yaitu mendekati tiap-tiap istri beliau tanpa menyentuhnya,
hingga sampai kepada istri yang menjadi giliran beliau, lalu beliau
bermalam di situ.”
Kalau kita renungkan apa yang telah kita
kutip di sini mengenai petunjuk Nabi SAW tentang pergaulan beliau dengan
istri-istri beliau, kita dapati bahwa beliau sangat memperhatikan
mereka, menanyakan keadaan mereka, dan mendekati mereka. Tetapi beliau
mengkhususkan Aisyah dengan perhatian lebih. Namun ini bukan berarti
beliau bersikap pilih kasih, tetapi karena untuk menjaga kejiwaan
Aisyah yang beliau nikahi ketika masih perawan dan karena usianya yang
masih muda.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Beliau menikahi Aisyah ketika masih gadis kecil
yang belum mengenal seorang laki-laki pun selain beliau. Kebutuhan
wanita muda seperti ini terhadap laki-laki lebih besar dibandingkan
dengan wanita janda yang lebih tua dan telah berpengalaman. Yang kami
maksudkan dengan kebutuhan di sini bukan sekadar nafkah, pakaian, dan
hubungan biologis saja. Bahkan kebutuhan psikologis dan spiritualnya
lebih penting dan lebih dalam daripada semua itu. Karena itu, tidaklah
mengherankan jika kita lihat Nabi SAW selalu ingat aspek tersebut dan
senantiasa memberikan haknya serta tidak pernah melupakannya meskipun
tugas yang diembannya besar, seperti mengatur strategi dakwah,
membangun umat, dan menegakkan daulah.
“Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang bagus bagi kamu.”
Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar