Kategori Fiqih : Haji & Umrah
Fiqih Haji : Tata Cara Ihram.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, PENGERTIAN IHRAM
Kata ihram diambil dari bahasa arab, dari kata "Al-haram" yang bermakna
terlarang atau tercegah. Dinamakan ihram karena seseorang yang masuk
kepada kehormatan ibadah haji dengan niatnya, dia dilarang berkata dan
beramal dengan hal-hal tertentu, seperti jima', menikah, berucap ucapan
kotor, dan lain-sebagainya. Dari sini dapat diambil satu definisi syar'i
bahwa ihram adalah salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan
umrah) atau kedua-duanya secara bersamaan [1].
Berdasarkan ini, jelaslah kesalahan pemahaman sebagian kaum muslimin
bahwa ihram adalah berpakaian dengan kain ihram, karena ihram adalah
niat masuk ke dalam haji atau umrah, sedangkan berpakaian dengan kain
ihram hanya merupakan satu keharusan bagi seorang yang telah berihram.
TATA CARA IHRAM
Telah diketahui bersama bahwa seorang yang berniat melakukan haji atau
umrah, diharuskan mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
dalam melaksanakan hal tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh
hadits-hadits yang shohih, sebagai pengamalan darihadits Rasululloh
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
خُذُوْا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ
"Ambillah dariku manasik kalian".
1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan perempuan,
baik dalam keadaan suci atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Jabir Radhiyallahu 'anhu.
فَخَرَجْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَيْنَا ذَاالْحُلَيْفَةِ فَوَلَدَتْ
أَسْمَاءُ بِنْتُ عُمَيْسٍ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِيْ بَكْرٍ فَأَرْسَلَتْ
إِلَى رَسُوْلِ اللهِ كَيْفَ أَصْنَعُ؟ قَالَ : اغْتَسِلِيْ
وَاسْتَثْفِرِِيْ بِثَوْبٍ وَ احْرِمِيْ
"Lalu kami keluar bersama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu
tatkala sampai di Dzul Hulaifah, Asma binti ‘Umais melahirkan Muhammad
bin Abi Bakr, lalu ia (Asma) mengutus (seseorang untuk bertemu) kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dan berkata): ‘Apa yang aku
kerjakan? Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Mandilah
dan beristitsfarlah [2] kemudian ihram." [Riwayat Muslim (2941) 8/404,
Abu Daud no.1905, 1909 dan Ibnu Majah no.3074]
Apabila tidak mendapatkan air maka tidak perlu bertayammum, karena Allah
Subhanahu wa Ta'alal menyebutkan tayamum dalam bersuci dari hadats
sebagaimana firmanNya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا
بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا
فَاطَّهَّرُوا وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدُُ
مِّنكُم مِّنَ الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوا
مَآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu
junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu
kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik
(bersih); " [Al Maidah :6]
Maka hal ini tidak bisa dianalogikan (dikiaskan) kepada yang lainnya,
juga tidak ada contoh atau perintah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam untuk bertayammum, apalagi kalau mandi ihram tersebut bertujuan
untuk kebersihan. Memang perintah mandi tersebut adalah untuk
kebersihan, dengan dalil perintah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
kepada Asma bintu Umais yang sedang haidh untuk mandi sebagaimana dalam
hadits diatas.
2. Disunnahkan memakai minyak wangi ketika ihram, sebagaimana dikatakan oleh 'Aisyah.
كُنْتُ أُطَيِّبُ النَّبِيَّ لإِحْرَامِهِ قَبْلَ أَنْ يُحْرِمَ وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوْفَ بِاْلبَيْتِ.
"Aku memakaikan wangi-wangian kepada nabi untuk ihramnya sebelum
berihram dan ketika halalnya sebelum thawaf di Ka'bah" [HR. Bukhary
no.1539 dan Muslim no. 1189].
Dan hal itu hanya diperbolehkan pada anggota badan, bukan pada pakaian
ihram, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَلْبِسُوْا ثَوْبًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَ لاَ الْوَرْسُ
"Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za'faran dan wars." [Muttafaqun alaih].
Kalau kita meninjau permasalahan memakai minyak wangi pada ihrom maka terdapat dua keadaan:
1. Memakainya sebelum mandi dan berihram, ini diperbolehkan.
2. Memakainya setelah mandi dan sebelum ihram, dan minyak wangi tersebut
tidak hilang sampai setelah melakukan ihram. Ini dibolehkan oleh para
ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan
pendapatnya.
Dalil dibolehkannya adalah hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha.
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُحْرِمَ يَتَطَيَّبُ بِأَطْيَبِ
مَا يَجِدُ ثُمَّ أَرَى وَبِيْصَ الدَّهْنِ فِيْ رَأْسِهِ وَ لِحْيَتِهِ
بَعْدَ ذَلِكَ رواه مسلم
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kalau ingin berihram memakai
wangi- wangian yang paling wangi yang beliau dapatkan kemudian aku
melihat kilatan minyak di kepalanya dan jenggotnya setelah
itu".[HR.Muslim no.2830 ].
Dan Aisyah berkata pula:
كَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلَى وَبِيْصَ اْلمِسْكِ فِيْ مَفْرَقِ رَسُوْلِ اللهِ وَ هُوَ مُحْرِمٌ
"Seakan akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian
kepala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedangkan beliau dalam
keadaan ihram ". [HR. Muslim no. 2831 dan Bukhari no. 5923].
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ditanya tentang dua permasalahan seputar pemakaian minyak wangi dalam ihram yaitu:
1. Apabila seseorang memakai wangi-wangian di badannya yaitu di kepala
dan jenggotnya, lalu minyak wangi tersebut menetes atau meleleh ke
bawah, apakah hal ini berpengaruh atau tidak?
Jawab.
Tidak berpengaruh, karena perpindahan minyak wangi tersebut dengan
sendirinya dan tidak dipindahkan, dan juga karena tampak pada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sahabatnya tidak menghiraukan kalau
minyak wangi tersebut menetes karena mereka memakainya pada keadaan yang
dibolehkan.[3]
2. Kemudian jika seorang yang berihram (muhrim) akan berwudhu dan dia
telah mamakai minyak rambut yang wangi, maka tentu akan mengusap
kepalanya dengan kedua telapak tangannya, jika dia lakukan maka akan
menempellah minyak tersebut pada kedua telapak tangannya walaupun hanya
sedikit, maka apakah perlu memakai kaos tangan ketika akan mengusap
kepala tersebut?
Jawab.
Tidak perlu, bahkan hal itu berlebih-lebihan dalam agama dan tidak ada
dalilnya, demikian juga tidak perlu mengusap kepalanya dengan kayu atau
kulit, cukup dia mengusapnya dengan telapak tangannya karena ini
termasuk yang dimaafkan. [4]
3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung dan
selendang, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
لِيُحْرِمْ أَحَدُكُمْ فِىْ إِزَارٍ وَ رِدَاءٍ وَ نَعْلَيْنِ
"Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan menggunakan sarung
dan selendang serta sepasang sandal." [HR. Ahmad 2/34 dan dishahihkan
sanadnya oleh Ahmad Syakir]
Diutamakan yang berwarna putih berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
خَيْرُ ثِيَابِكُمُ اْلبَيَاضِ فَالْبَسُوْهَا وَكَفِّنُوْا فِبْهَا مَوْتَكُمْ
"Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang putih, maka kenakanlah dan
kafanilah mayat kalian padanya" [HR. Ahmad, lihat Syarah Ahmad Syakir
4/2219, dia berkata: isnadnya shahih]
Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Manasik (hal. 21): "Disunnahkan
berihram dengan dua kain yang bersih, jika keduanya berwarna putih maka
itu lebih utama. Dan dibolehkan ihram dengan segala jenis kain yang di
mubahkan dari katun shuf (bulu domba) dan lain sebagainya. Juga
dibolehkan berihram dengan kain warna putih dan warna-warna yang
diperbolehkan yang tidak putih, walaupun berwarna-warni". [5]
Sedangkan bagi wanita tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan.
4. Disunahkan berihram setelah shalat, sebagaimana dalam hadits Ibnu
Umar dalam shahih Bukhary bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
أَتَانِيْ الَّليْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّيْ فَقَالَ : صَلِّ فَىْ هَذَا الْوَادِىْ الْمُبَارَكِ وَقُلْ عُمْرَةً فِىْ حَجَّةٍ
"Tadi malam utusan dari Rabbku telah datang lalu berkata: "Shalatlah di
Wadi (lembah) yang diberkahi ini dan katakan: “Umrotan fi hajjatin."
Dan hadits Jabir :
فَصَلَّىْ رَسُوْلُ اللهِ فِيْ الْمَسْجِدِ ثُمَّ رَكِبَ الْقَصْوَاءَ
حَتَّى إِذَا اسْتَوَتْ بِهِ نَاقَتَهُ عَلَىْ الْبَيْدَاءِ أَهَلَّ
بِالْحَجِّ
"Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di masjid
(Dzulhulaifah) kemudian menunggangi Al-Qaswa' (nama onta beliau) sampai
ketika ontanya berdiri di al-Baida' , beliau berihram untuk haji".
[HR.Muslim].
Maka yang sesuai dengan Sunnah, lebih utama dan sempurna adalah berihram
setelah shalat fardhu, akan tetapi apabila tidak mendapatkan waktu
shalat fardhu maka terdapat dua pendapat dari para ulama:
Pendapat Pertama : Tetap disunnahkan shalat dua rakaat dan ini pendapat jumhur berdalil dengan keumuman hadits Ibnu Umar.
صَلِّ فَىْ هَذَا الْوَادِىْ
(shalatlah di Wadi ini)
Pendapat Kedua : Tidak disyariatkan shalat dua rakaat, ini pendapat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sebagaimana beliau katakan dalam Majmu'
Fatawa 26/108: "Disunnahkan berihram setelah shalat, baik fardhu maupun
tathawu' (sunnah) kalau ia berada pada waktu (shalat) tathawu' (sunnah)
menurut salah satu dari dua pendapat. Pada pendapat yang lain: kalau dia
shalat fardhu maka berihram setelahnya, dan jika tidak maka tidak ada
shalat yang khusus bagi ihram dan ini yang rajih."
Dan beliau berkata di dalam Ikhtiyarat hal. 116: “Dan berihram setelah
shalat fardhu, kalau ada, atau (setelah shalat) sunnah (nafilah), karena
ihram tidak memiliki shalat yang khusus.”
5. Berniat untuk melaksanakan salah satu dari tiga manasik, dan niat
tersebut disunnahkan untuk diucapkan. Yaitu dengan memilih salah satu
dari bentuk ibadah haji: ifrad, qiran dan tamatu' sebagaimana yang
dikatakan Aisyah Radhiyallahu 'anha.
خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَمِنَّا مَنْ
أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ وَ مِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ عُمْرَةٍ وَ مِنَّا
مَنْ أَهَلَّ بِحَجٍّ وَ أَهَلَّ رَسُوْلُ اللهِ بِحَجٍّ فَأَمَّا مَنْ
أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ فَحَلَّ عَنْهُ بَعْدَ قُدُوْمِهِ وَ أَمَّا مَنْ
أَهَلَّ بِحَجٍّ أَوْ جَمَعََ بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَلَمْ
يَحِلُّوْا حَتَّى كَانَ يَوْمَ النَّحَرِ (متفق عليه)
"Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada tahun
haji wada' maka ada diantara kami yang berihram dengan umrah dan ada
yang berihram dengan haji dan umrah dan ada yang berihram dengan haji
saja, sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berihram dengan
haji saja, adapun yang berihram dengan umrah maka dia halal setelah
datangnya [6] dan yang berihram dengan haji atau yang menyempurnakan
haji dan umrah tidak halal (lepas dari ihramnya) sampai dia berada
dihari nahar [7]. [Mutafaq alaih]
Seorang yang manasik ifrad mengatakan:
لَبَيْكَ حَجًَّا atau لَبَيْكَ الَّلهُمَّ حَجًّا
dan seorang yang manasik tamatu' mengatakan:
لَبَيْكَ عُمْرَةً atau لَبَيْكَ الَّلهُمَّ عُمْرَةً
dan ketika hari tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan:
لَبَيْكَ حَجًّا atau لَبَيْكَ الَّلهُمَّ حَجًّا
dan sunnah yang manasik Qiran menyatakan:
لَبَيْكَ عُمْرَةً و حَجًّا
6. Talbiyah yaitu membaca:
لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ
إِنَّ الْحَمْدَ وَنِعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
Labbaika Allahumma labbaik labbaika laa syariika laka labbaik Innal
hamda wani'mata laka wal mulk laa syariikaa laka dan yang sejenisnya.
6.1. Waktu Talbiyah
Waktu talbiyah dimulai setelah berihram ketika akan melakukan
perjalanan, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam hajinya, berkata Jabir Radhiyallahu 'anhu.
حَتَّى إِذَا اسْتَوَتْ بِهِ نَاقَتَهُ عَلَىْ الْبَيْدَاءِ أَهَلَّ
بِالْحَجِّ فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيْدِ لَبَّيْكَ اللهم لَبَّيْكَ ……
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mulai membaca talbiyah ketika
telah tegak ontanya di al-Baida beliau ihlal (ihram) dengan haji lalu
bertalbiyah dengan tauhid, labbaika allahumma labaik ……" [HR Muslim]
6.2. Bacaan Talbiyah
Adapun bacaan talbiyah yang ma'tsur dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah:
a.
لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ ,لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ
إِنَّ الْحَمْدَ وَنِعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
b.
لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَ سَعْدَيْكَ وَ الْخَيْرُ بِيَدِكَ وَ الرُّغَبَاءُ إِلَيْكَ وَ الْعَمَلُ (متفق عليه من تلبية ابن عمر
c.
لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ لَبَّيْكَ , لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَنِعْمَةَ لَكَ (عن عائشة رواه البخارى
d. Talbiyah yang nomor "a" ditambah kalimat:
لَبَّيْكَ ذَا الْمَعَارِجِ لَبَّيْكَ ذَا اْلفَوَاضِلِ (حديث جابر رواه مسلم)
6.3. Sebab dan maknanya
Sebab disyariatkannya talbiyah adalah dalam rangka menjawab panggilan
Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana dalam al-Qur'an surah al-Hajj ayat
27.
وَأِذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
"Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka
akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang
kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh." [al-Hajj 22:27]
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata dalam menafsirkan : "Ketika Allah
Azza wa Jalla memerintahkan Ibrahim Alaihissallam untuk mengkhabarkan
manusia agar berhajji, dia berkata:
يَا أَيُّهَا النَّاِس إِنَّ رَبَّكُمْ اتَّخَذَ بَيْتًا وَ أَمَرَكُمْ
أَنْ تَحُجُّوْهُ فَاسْتَجَابَ لَهُ مَا سَمِعَهُ مِنْ حَجَرٍ أَوْ شَجَرٍ
أَوْ أَكْمَةٍ أَوْ تُرَابٍ أَوْ شَيْئٍ قَالَوْا لَبَّيْكَ الَّلهُمَّ
لَبَّيْكَ (رواه ابن جرير 17\106)
"Wahai manusia sesungguhnya Rabb kalian telah membangun satu rumah
(ka'bah) dan memerintahkan kalian untuk berhaji kepadanya. Lalu apa saja
yang mendengarnya, baik batu-batuan, pepohonan, bukit-bukit, debu atau
apa saja yang ada, menerima panggilan beliau ini lalu mereka berkata
لَبَيْكَ الَّلهُمَّ لَبَيْكَ …… [H.R Ibnu Jarir 17/106]
Ibnu Hajar berkata: " Ibnu Abdil Barr berkata bahwa sejumlah dari Ulama
menyatakan: "Makna Talbiyah adalah jawaban terhadap panggilan Ibrahim
Alaihissallam ketika memberitahukan manusia untuk berhaji". [9]
Adapun makna dari kata-kata dalam talbiyah tersebut adalah :
(اللهم) : Wahai Allah
(لَبَيْكَ) : Adalah penegas yang memiliki ma'na baru (lebih), maka
saya mengulang-ulang dan menegaskan bahwa saya menjawab atau menerima
panggilan Rabb saya dan tetap dalam keta'atan kepada-Nya
(لاَ شَرِيْكَ لَكَ) : Tidak ada satupun yang menyamai Engkau (Allah) dalam segala sesuatu
(لَبَيْكَ) : Sebagai penegas bahwa saya menerima panggilan haji tersebut
karena Allah, bukan karena pujian, ingin terkenal, ingin harta, dan
lain-lain, akan tetapi saya berhaji dan menerima panggilan tersebut
karena Engkau saja.
(ِإنَّ الْحَمْدَ وَ الِّنعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ): Sesungguhnya saya
berikrar dan mengimani bahwa semua pujian dan nikmat itu hanyalah
milik-Mu demikian juga kekuasaan
(لاَ شَرِيْكَ لَكَ) :Yang semua itu tidak ada sekutu bagiMu
Kalau kita melihat makna kata-kata yang ada dalam talbiyah tersebut,
didapatkan adanya penetapan tauhid dan jenis-jenisnya sebagaimana yang
dikatakan oleh Jabir (أَهَلَّ بِالتَّوْحِيْدِ) (Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bertalbiyah dengan tauhid"). Hal ini tampak kalau kita
mentelaah dan memahami makna kata-kata tersebut, lihatlah dalam
kata-kata
(لَبَيْكَ اللهم لَبَيْكَ لَبَيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَيْكَ) terdapat
peniadaan kesyirikan dalam peribadatan, kemudian (لاَ شَرِيْكَ لَكَ
لَبَيْكَ) terdapat tauhid rububiyyah karena kita telah menetapkan
kekuasaan yang mutlak hanya kepada Allah Azza wa Jalla semata, dan hal
itupun mengharuskan seorang hamba untuk mengakui terhadap tauhid
uluhiyyah, karena iman kepada tauhid rububiyyah mengharuskan iman kepada
tauhid uluhiyyah.
Dan dalam kata (إنَّ الْحَمْدَ وَ الِّنعْمَةَ لَكَ) terdapat penetapan
sifat-sifat terpuji pada Dzat, dan bahwa perbuatan Allah Azza wa Jalla
adalah hak, hal ini merupakan tauhid asma' dan sifat Allah Azza wa
Jalla.
Kalau demikian keharusan orang yang talbiyah maka dia akan selalu
merasakan keagungan Allah dan akan selalu menyerahkan amal ibadahnya
hanya untuk Allah semata bukan hanya sekedar mengucapkan tanpa dapat
merasakan hakikat dari talbiyah tersebut.
6.4. Pelaksanaan Talbiyah
Talbiyah ini diucapkan dengan mengangkat suara bagi kaum laki-laki
sebagaimana perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
أَتَانِيْ جِبْرِيْلُ فَأَمَرَنِيْ أَنْ آمُرَ أَصْحَابِيْ أَنْ يَرْفَعُوْا أَصْوَاتَهِمْ بِالتَّلْبِيَّةِ
"Jibril telah datang kepadaku dan dia memerintaahkanku agar aku
memerintahkan sahabat-sahabatku agar mengangkat suara mereka dalam
bertalbiyah".
Dan tidak disyari'atkan bertalbiyah dengan berjama’ah, akan tetapi
apabila terjadi kebersamaan dalam talbiyah tanpa disengaja dan tidak
dipimpin maka hal itu tidak mengapa. Karena Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dan para shahabatnya bertalbiyah dalam satu waktu,
padahal jumlah mereka sangat banyak, maka hal tersebut sangat
memungkinan terjadinya talbiyah dengan suara yang berbarengan. Akan
tetapi mengangkat suara dalam talbiyah ini jangan sampai mengganggu dan
menyakiti dirinya sendiri sehingga dia tidak dapat terus bertakbir.
Sedangkan untuk wanita tidak disunahkan mengeraskan suara mereka bahkan
mereka diharuskan untuk merendahkan suara mereka dalam bertalbiyah.
6.5. Waktu Berhenti Talbiyah.
Terdapat perbedaan pendapat para ulama dalam penentuan waktu berhenti
talbiyah bagi orang yang berumroh atau berhaji dengan tamatu' menjadi
beberapa pendapat:
Pendapat Pertama: Ketika masuk Haram (kota Makkah), dan ini pendapat
Ibnu Umar, Urwah dan Al Hasan serta mazdhab Maliki. Mereka berdalil
dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan An Nasa’ai yang
lafadznya;
كَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا دَخَلَ أَدْنَىْ الْحَرَمِ أَمْسَكَ عَنْ
التَّلْبِيَّةِ ثُمَّ يَبِيْتُ بِذِيْ طَيْ وَيُصَلِّى بِهِش الصُّبْحَ
وَيَغْتَسِلُ وَيُحَدِّثُ أَنَّ النَّبِيْ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ
"Ibnu Umar ketika masuk pinggiran Haram menghentikan talbiyah, kemudian
menginap di Dzi thuwa. Beliau sholat shubuh di sana serta mandi dan
beliau berkata bahwa Nabipun berbuat demikian"
Pendapat Kedua: Ketika melihat rumah-rumah penduduk Makkah dan ini pendapat Said bin Al-Musayyib
Pendapat Ketiga: Ketika sampai ke Ka'bah dan memulai thawaf dengan
menyentuh (istilam) hajar aswad, ini pendapat Ibnu Abbas, Atha', Amr bin
Maimun, Thawus, An-Nakha'i, Ats-Tsaury, Asy-Syafi'i, Ahmad dan Ishaq
serta mazdhab Hanafi. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Abbas secara
marfu':
كَانَ يُمْسِكُ عَنِ التَّلْبِيَّةِ فِيْ اْلعُمْرَةِ إِذَا اسْتَلَمَ الْحَجَرَ
"Dia menghentikan talbiyah dalam umoh setelah menyentuh (istilam) hajar
aswad" [HR Abu Daud,At Tirmidzy dan Al Baihaqy, tetapi dilemahkan oleh
Al-Albany dalam Irwa' 4/297]
Dan juga hadits Amr bin Syu'aib dari bapaknya dari kakeknya dengan lafazh:
اعْتَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ ثلاثَا عُمَرَ كُلَّهَا فِيْ ذِيْ اْلقَعْدَةِ فَلَمْ يَزَلْ يُلَبِّيْ حَتَّى اسْتَلَمَ الْحَجَرَ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan umrah tiga kali,
seluruhnya di bulan dzul qa'dah dan beliau terus bertalbiyah sampai
menyentuh (istilam) hajar aswad" [HR Ahmad dan Baihaqi denan sanad yang
lemah karena ada Hajaaj bin Abdullah bin Arthah dan dilemahkan oleh
Al-Albanny dala Irwa' 4/297]
Mereka juga berkata: “Karena talbiyah adalah memenuhi panggilan untuk
ibadah maka dihentikan ketika memulai ibadah, yaitu thawaf.” Dan ini
pendapat yang dirajihkan oleh Syaikul Islam [10] dan Ibnu Qudamah [11]
akan tetapi yang rajih adalah pendapat pertama. Berdasarkan penjelasan
dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah juga melakukan hal itu, ini menunjukkan
bahwa Ibnu Umar berlaku demikian karena melihat Rasululloh telah
melakukan. Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Khuzaimah. [12]
Demikian juga waktu haji terdapat beberapa pendapat ulama.
Pertama : Menghentikannya ketika berada di Arafah setelah tergelincirnya
matahari dan ini pendapat Aisyah, Sa'ad bin Abi Waqash, Ali, Al-Auza'i,
Al-Hasan Al-Bashry dan madzhab Malikiyah. Berdalil dengan hadits:
الحَجُّ عَرَفَةُ
"Haji itu adalah wuquf di Arafah”
Maka kalau telah sampai Arafah, habislah pemenuhan panggilan, karena
telah sampai kepada inti dan rukun pokok ibadah tersebut. Akan tetapi
dalil ini lemah karena bertentangan dengan riwayat bahwa Rasululloh
masih bertalbiyah setelah tanggal 9 Dzuljhijjah tersebut.
Kedua : Menghentikannya ketika melempar jumroh aqobah dan ini pendapat
jumhur, akan tetapi mereka berselisih menjadi dua pendapat.
a. Menghentikan di awal batu yang di lempar dalam jumroh aqobah dan ini
pendapat kebanyakan dari mereka, dengan dalil hadits Al-Fadl bin Al
Abbas
كُنْتُ رَدِيْفَ النَبَيِ مِنْ جَمْعِ إِلَى مِنَى فَلَمْ يَزَلْ يُلَبِّيْ حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ (رواه الحماعة)
"Aku membonceng nabi dari Arafah ke Mina dan terus menerus bertalbiyah sampi melempar jumroh Aqobah". [HR Jama'ah]
dan hadits Ibnu Mas'ud dengan lafadz:
خَرَجْتُ مَعَ رسول الله فَمَا تَرَكَ التَّلْبِيَّةَ حَتَّى رَمَى
جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ إِلاَّ أَنْ يُخلِطَهَا بِتَكْبِيْرِ أَوْ
تَهْلِيْلٍ.
"Aku berangkat bersama Rasulullah dan beliau tidak meninggalkan talbiyah
sampai beliau melempar jumrah Aqobah agar tidak tercampur dengan tahlil
atau takbir" [HR Thohawi dan Ahmad dan sanadnya dihasankan oleh
Al-Albani dalam Irwa', /2966].
Pendapat ini dirajihkan oleh Syakhul Islam Inu Taimiyah dan beliau
menyatakan: Dan secara ma'na, maka seorang yang telah sampai Arafah-
walaupun telah sampai pada tempat wuquf ini- maka dia masih terpanggil
setelahnya kepada tempat wukuf yang lainnya yaitu Muzdalifah dan kalau
dia telah wukuf di Muzdalifah maka dia terpanggil untuk melempar jumrah,
dan kalau telah memulai dalam melempar jumrah maka telah selesai
panggilannya [Majmu' Fatawa 26/173]
b. Menghentikannya di akhir lemparan dalam Jumrah Aqabah, ini pendapat
Ahmad dan sebagian pengikut Syafi'i serta dirojihkan oleh Ibnu Khuzaimah
dengan dalil lafadz hadits Fadhl.
أَفَضْتُ مَعَ النَّبِي n مِنْ عَرَفَةَ فَلَمْ يَزَلْ يُلَبِّي حَتَّى
رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ يُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ حِصَاةٍ ثُمَّ قَطَعَ
التَّلْبِيَّةَ مَعَ آخِرِ حِصَاةٍ (رواه ابو خزيمة)
"Aku telah keluar bersama Nabi dari Arafah lalu beliau terus bertalbiyah
ampai melempar jumroh Aqobah, Beliau bertakbir setiap lemparan batu,
kemudian menghentikan talbiyah bersama akhir batu yang dilempar" [HR
Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya dan beliau berkata :" ini hadits shahih
yang menjelaskan apa yang belum jelas dalam riwayat- riwayat yang lain].
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
________
Footnote
[1]. Lihat Muzakirat syarah umdah hal 65 dan syarhul mumti' 6/67
[2]. Istitsfar adalah suatu usaha untuk mencegah keluarnya darah dari
kemaluan orang yang haidh atau nifas dengan cara mengambil kain yang
memanjang yang diletakkan pada tempat darah tersebut dan dilapisi oleh
bahan yang tidak tembus darah yang diambil ujung-ujungnya untuk
diikatkan di perutnya. Tetapi pada zaman sekarang ini telah ada softex
(pembalut wanita) yang dapat menggantikannya . Lihat Syarah Muslim 8/404
[3]. Lihat Syarah Mumti' 6/73-74
[4]. Syaral Mumti' 6/74
[5]. Dinukil dari Syarhul Mumti' 6/75
[6]. Setelah melakukan umrah dengan melakukan thawaf dan sya'i
[7]. Pada tanggal 10 Dzul Hijjah
[8]. Dari hadits Jabir dalam Muslim dan Ibnu Umar dalalm Shahih Bukhari & Muslim
[9]. Fathul Bari 3/406
[10]. Syarah Umdah 2/461
[11]. Al-Mughny 5/256
[12]. Shahih Ibnu Klhuzaimah 4/205-207
Tidak ada komentar:
Posting Komentar