FIQIH HAJI : MIQAT DAN JENIS MANASIK............https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.Sungguh Allah Azza wa Jalla tidaklah menciptakan manusia dan jin kecuali
hanya untuk menyembah-Nya semata, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَ اْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku". [Adz dzariyat:56]
Kemudian untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu
media yang dapat menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang
dikehendaki Allah Azza wa Jalla, maka dengan hikmah-Nya yang agung Dia
mengutus para Rasul dalam rangka membawa dan menyampaikan risalah dan
syariat-Nya kepada jin dan manusia. Dan risalah tersebut merupakan
petunjuk yang jelas dan hujjah atas para hamba-Nya. Dan diantara
kesempurnaan Islam, Allah yang Mahabijaksana menetapkan ibadah Haji ke
Baitullah Al Haram sebagai salah satu dari syiar-syiar Islam yang agung.
Bahkan ibadah haji merupakan rukun yang kelima dari rukun-rukun Islam
dan merupakan salah satu sarana dan media bagi kaum muslimin untuk
bersatu, meningkatkan ketaqwaan dan meraih surga yang telah dijanjikan
untuk orang-orang yang bertaqwa.Oleh karena itu Islam dengan
kesempurnaan syari'atnya telah menetapkan suatu tatacara atau metode
yang lengkap dan terperinci sehingga tidak perlu adanya penambahan dan
pengurangan dalam pelaksanaan ibadah ini. Dan sebagai seorang muslim
yang baik tentunya akan berusaha dan bersemangat untuk mempelajarinya
kemudian mengamalkannya setelah Allah memberikan pertolongan, kemudahan
dan kemampuan baginya untuk menunaikan ibadah yang mulia ini.
1. DEFINISI HAJI
a. Secara Etimologi
Kata Hajji berasal dari bahasa arab yang bermakna tujuan dan dapat dibaca dengan dua lafazh Al-hajj dan Al-Hijj [1]
b. Secara terminologi Syariat
Haji menurut istilah syar'i adalah beribadah kepada Allah dengan
melaksanakan manasik yang telah ditetapkan dalam sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam [2] dan ada yang berkata: "Haji adalah
bepergian dengan tujuan ke tempat tertentu pada waktu yang tertentu
untuk melaksanakan suatu amalan yang tertentu pula [3] akan tetapi
definisi ini kurang pas karena haji lebih khusus dari apa yang
didefinisikan disini, karena seharusnya ditambah dengan satu ikatan
yaitu ibadah, maka apa yang ada pada definisi pertama lebih sempurna dan
menyeluruh.
2. DALIL PENSYARIATANNYA
Haji merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima dan dia merupakan
suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi seorang muslim yang mampu,
sebagaimana telah digariskan dan ditetapkan dalam Al-Qur'an, As-Sunnah
dan Ijma'.
Dalil Al-Qur'an:
وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi)
orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa
mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari semesta alam". [Ali Imran: 97]
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ للهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا
اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلاَ تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ
الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن
رَّأْسِهِ فَفِدْيَةُُ مِّنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَآ
أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ
مِنَ الْهَدِْي فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ فِي
الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَارَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ
لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَراَمِ وَاتَّقُوا
اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
"Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu
terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah)
kurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum
kurban sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang
sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajiblah
atasnya berfidyah, yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban.
Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan
umrah sebelum haji (di dalam bulan Haji), (wajiblah dia menyembelih)
kurban yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak menemukan (binatang
kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji
dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh
(hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi
orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram
(orang-orang yang bukan penduduk kota Mekkah). Dan bertakwalah kepada
Allah dan ketauhilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya". [Al-Baqarah
2:196]
Dalil As-Sunnah
Hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu.
خَطَبَنَا رَسُوْلُ اللهِ فَقَالَ يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحَجُّوْا
"Telah berkhutbah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kami
dan berkata: "Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya Allah Subhanahu wa
Ta'ala telah mewajibkan atas kalian untuk berhaji, maka berhajilah
kalian." [HR Muslim]
Dan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ
الزَّكَاةِ وَحَجُّ اْلبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ
"Islam itu didrikan atas lima perkara yaitu persaksian bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah (dengan benar) kecuali Allah dan
bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan
Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,berhaji ke baitullah dan
puasa di bulan ramadhan". [HR Bukhari dan Muslim]
Ijma' Ulama'
Telah bersepakat para ulama dan kaum muslimin dari zaman Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai sekarang bahwa ibadah haji itu
hukumnya wajib. [4]
3. SYARAT-SYARAT HAJI
Haji diwajibkan atas manusia dengan lima syarat:
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh
4. Memiliki kemampuan perbekalan dan kendaraan
5. Merdeka
4. MIQAT-MIQAT HAJI
Miqat adalah apa yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh syari'at
untuk suatu ibadah baik tempat atau waktu. [5] Dan haji memiliki dua
Miqat yaitu Miqat zamani dan makani. Adapun Miqat zamani dimulai dari
malam pertama bulan syawal menurut kosensus para ulama, akan tetapi para
ulama berbeda pendapat tentang kapan berakhirnya bulan haji. Perbedaan
ini terbagi menjadi tiga pendapat yang masyhur yaitu:
a. Syawal, Dzul Qa'dah, dan 10 hari dari Dzul Hijjah dan ini merupakan
pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar, dan Ibnu Zubair dan ini
yang dipilih madzhab hanbali.
b. Syawal, Dzul Qa'dah, dan 9 hari dari Dzul Hijjah dan ini yang dipilih madzhab Syafi'i.
c. Syawal, Dzul Qa'dah, dan Dzul Hijjah ini yang dipilih madzhab malikiyah
Dan yang rajih -والله أعلم- bahwa bulan Dzul Hijjah seluruhnya termasuk bulan haji dengan dalil firman Allah Azza wa Jalla.
الْحَجُّ أَشْهُرُُ مَّعْلُومَاتُُ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
"(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak
boleh rafats, berbuat kefasikan, dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji". [Al-Baqarah: 197]
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَأَذَانٌ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الحَجِّ
اْلأَكْبَرِ أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ
"Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia
pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas
diri dari orang-orang musyirikin". [At-Taubah: 3]
Dalam surat Al-Baqarah ini Allah berfirman (أشهر) dan bukan dua bulan
sepuluh hari atau dua bulan sembilan hari. padahal (أشهر) jamak dari
(شهر) dan hal itu menunjukkan paling sedikit tiga bulan dan pada asalnya
kata (شهر) masuk padanya satu bulan penuh dan tidak dirubah asal ini
kecuali dengan dalil syar'i [6] maka tidak boleh berhaji sebelum bulan
syawal dan tidak boleh mengakhirkan suatu amalan haji setelah bulan
Dzulhijjah.
Sebagai contoh seorang yang berhaji pada bulan Ramadhan maka ihramnya
tersebut tidak dianggap sah untuk haji akan tetapi berubah menjadi ihram
untuk Umrah.
Adapun Miqat makani, maka berbeda-beda tempatnya disesuaikan dengan
negeri dan kota yang akan menjadi tempat awal para haji untuk melakukan
ibadah hajinya. Hal ini telah dijelaskan oleh Rasullulah Shallallahu
'alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu
'anhu.
وَقَّتَ رَسُوْلُ اللهِ لأَهْلِ اْلمَدِيْنَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ وَلأَهْلِ
الشَّامِ الْجُحْفَةَ وَلأِهْلِ النَّجْدِ القَرْنَ وَلأَهْلِ الْيَمَنِ
يَلَمْلَمَ قَالََ هُنَّ لَهُنَّ لِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ
أَهْلِهِنَّ مِمَّنْ كَانَ يُرِيْدُ اْلحَجَّ وَ الْعُمْرَةَ فَمَنْ كَانَ
دُوْنَهُنَّ مَهَلُّهُ مِنْ أَهْلِهِ وَكَذَلِكَ أَهْلُ مَكَةََََ
يُهِلُّوْنَ مِنْهَا
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menentukan Miqat bagi
ahli Madinah Dzul Hulaifah [7] dan bagi ahli Syam Al-Juhfah dan bagi
ahli Najd Qarn dan bagi ahli Yamam Yalamlam lalu bersabda: "mereka
(Miqat-Miqat) tersebut adalah untuk mereka dan untuk orang-orang yang
mendatangi mereka selain penduduknya bagi orang yang ingin haji dan
umrah. Dan orang yang bertempat tinggal sebelum Miqat-Miqat tersebut,
maka tempat mereka dari ahlinya, dan demikian pula dari penduduk Makkah
berhaji (ihlal) dari tempatnya Makkah." [HR Bukhari 2/165, 166; dan
3/21, Muslim 2/838-839, Abu Dawud 1/403, Nasa'i 5/94,95,96]
Hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas menerangkan bahwa:
a. Miqat ahli Madinah adalah Dzul Hulaifah yang dikenal sekarang dengan
nama Abyar Ali yaitu sebuah tempat di wadi Aqiq yang berjarak enam mil
atau 52/3 mil kurang seratus hasta [8] yang setara kurang lebih 11 Km.
dari madinah. Dan dari Makkah sejauh sepuluh marhalah atau kurang lebih
430 Km dan sebagian ulama mengatakan 435 Km.
b. Miqat ahli Syam adalah al-Juhfah yaitu suatu tempat yang sejajar
dengan Raabigh dan dia berada dekat laut, jarak antara Raabigh (tempat
yang sejajar dengannya) dengan Makkah adalah lima marhalah atau sekitar
201 Km, dan berkata sebagian ulama sekitar 180 Km. Akan tetapi karena
banyaknya wabah di al-Juhfah, maka para jamaah haji dari Syam mengambil
Raabigh sebagai ganti al-Juhfah. Miqat ini juga sebagai Miqat ahli
Mesir, Maghrib, dan Afrika Selatan seperti Somalia jika datang melalui
jalur laut atau darat dan berlabuh di Raabigh, akan tetapi kalau mereka
datang melalui Yalamlam maka Miqat mereka adalah Miqat ahli Yaman yaitu
Yalamlam. Yalamlam yang dikenal sekarang dengan daerah As Sa'diyah
adalah bukit yang memisahkan Tuhamah dengan As-Saahil, berjarak dua
marhalah atau sekitar 80 Km dari Makkah, dan berkata sebagian ulama
sekitar 92 Km.
c. Miqat ahli Najd adalah Qarnul Manazil atau Qarnul Tsa'alib, yaitu
sebuah bukit yang ada di antara Najd dan Hijaz. Jaraknya dari Makkah dua
marhalah atau sekitar 80 Km. dan berkata sebagian ulama sekitar 75 Km
[9] demikian juga ahli Thaif dan Tuhamah Najd serta sekitarnya. [10]
d. Miqat ahli Iraq yaitu Dzatu 'Irq yaitu tempat yang sejajar denagn
Qarnul Manazil yang terletak antara desa al-Mudhiq dan Aqiq Ath-Thaif,
jaraknya dari Makkah dua marhalah atau sekitar 80 Km. Dan Miqat ini juga
untuk ahli Iraq. Akan tetapi terjadi perselisihan dari para ulama
tetang penetapan Dzatul 'Irq sebagai Miqat, apakah didasarkan dari
perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau dari perintah Umar bin
Khaththab Radhiyallahu 'anhu?
1. Pendapat pertama menyatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
yang menetapkannya sebagaimana dalan hadits Abu Dawud dan An-Nasa'i dari
'Aisyah beliau berkata.
أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ وَقَّتَ لأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ الْعِرْقِ
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menentukan
Miqat ahli 'Iraq adalah Dzatul 'irq" [HR Abu Dawud no. 1739 dan
an-Nasa'i 2/6] [11]
2. Pendapat kedua mengatakan bahwa Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu
yang menetapkannya. Sebagaimana dalam shahih Bukhari ketika penduduk
Bashrah dan Kufah mengadu kepada Umar tentang jauhnya mereka dari Qarnul
Manazil, bekata Umar Radhiyallahu 'anhu.
فَانْظُرُوْا حَذْوَهَا مِنَْ طَرِيْقِكُمْ
"Lihatlah tempat yang sejajar dengannya (Qarnul Manazil) dari jalan
kalian." Lalu Umar menetapkan Dzatul 'Irq" [HR Bukhary 1/388] dan ini
adalah pendapat Imam Syafi'i.
Yang rajih - والله أعلم - bahwa Miqat tersebut telah ditetapkan oleh
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan penetapan Umar tersebut
bersesuian dengan apa yang telah ditetapkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, dan ini adalah pendapatnya Ibnu Qudamah.
Miqat-Miqat diatas diperuntukkan bagi ahli tempat-tempat tersebut dan
orang-orang yang lewat melaluinya dari selain ahlinya, sehingga setiap
orang yang melewati Miqat yang bukan Miqatnya maka wajib baginya untuk
berihram darinya. Misalnya : orang Indonesia yang melewati Madinah dan
tinggal disana satu atau dua hari kemudian berangkat umrah atau haji
maka wajib baginya untuk berihram dari Dzul Hulaifah atau ahli Najd atau
ahli Yaman yang melewati Madinah tidak perlu pergi ke Qarnul Manazil
atau Yalamlam akan tetapi diberi kemudahan oleh Allah Azza wa Jalla
untuk berihram dari Dzul Hulaifah, kecuali ahli Syam yang melewati
Madinah dan Al-Juhfah, maka ada perselisihan para ulama tentang
kebolehan mereka menunda ihramnya sampai ke Al-Juhfah.
1. pendapat pertama membolehkan bagi mereka untuk mengakhirkan ihram
mereka sampai Al-Juhfah, dan ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Imam
Malik. Mereka berdalil bahwa seorang yang melewati dua Miqat wajib
baginya berihram dari salah satu dari keduanya. Satu dari keduanya
adalah cabang, yaitu Dzul Hulaifah, dan yang kedua adalah asal, yaitu
Al-Juhfah ,maka boleh mendahulukan asal dari cabangnya. dan pendapat ini
yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana
dinukilkan Al-Ba'ly dalam Ikhtiyarat al-Fiqhiyah halaman 117.
2. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa mereka wajib berihram dari Dzul
Hulaifah karena zhahir hadits dari Ibnu Abbas diatas, dan ini adalah
pendapat Jumhur Ulama. Dan ini adalah pendapat yang lebih hati-hati
kerena keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
وَلِمَنْ أَتَىعَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ
"Dan bagi yang datang melaluinya dari selain ahlinya" [Hadits Ibnu Abbas].
Adapun mereka yang berada di antara Miqat dengan Makkah maka wajib
berihram dari tempat dia tetapkan niatnya untuk berhaji atau berumrah.
Maka hal ini menguatkan penduduk yang berada di antara Dzul Hulaifah dan
Al-Juhfah seperti ahli ar-Rauha', ahli Badr dan Abyar al-Maasy untuk
berihram dari tempat mereka. Demikian juga kalau ada seorang penduduk
madinah kemudian bepergian ke Jeddah dan tinggal di sana satu atau dua
hari kemudian ingin berumrah atau berhaji maka Miqatnya adalah Jeddah
kecuali kalau asal tujuan bepergiannya adalah umrah atau haji maka
hajatnya tersebut ikut asal tujuannya sehingga dia ihram dari Miqatnya
yaitu Dzul Hulaifah. contohnya: Seorang mengatakan saya ingin pergi
umrah dan saya akan turun dulu di Jeddah sebelum umrah untuk membeli
barang-barang yang saya butuhkan, maka disini kepergiannya ke Jeddah
adalah ikut kepada asal tujuannya yaitu umrah. Akan tetapi kalau asal
tujuannya adalah pergi ke Jeddah dikarenakan ada kebutuhan yang sangat
penting kemudian berkata: "Kalau dikendaki Alah dan saya mempunyai
kesempatan, saya akan berumrah, maka disini umrah ikut kepada asal
tujuan yaitu ke Jeddah. Maka dia beihram di Jeddah dan jika dia
memilliki dua tujuan yang sama kuat maka diambil tujuan melaksanakan
umrah sebagai asal. Demikian juga bagi ahli Makkah, mereka berihram dari
Makkah untuk berhaji. Sedangkan untuk umrah, maka mereka harus keluar
tanah haram Makkah yang paling dekat. Dengan dalil hadits Ibnu Abbas
yang terdahulu dan hadits Aisyah ketika beliau berumrah setelah haji
maka Rasululllah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh Abdurrahman bin
Abi Bakar untuk mengantarnya ke Tan'im, sebagaimana dalam hadits
Abdurrahman, beliau berkata:
أَمَرَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ n أَنْ أُرْدِفَ عَائِشَةَ وَأَعْمَرُهَا مِنَّ التَّنْعِمِ (متفق عليه)
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkanku untuk
menemani Aisyah dan (Aisyah) berihram untuk umrah dari Tan'im " [Mutafaq
'alaih]
Demikianlah Miqatnya ahli Makkah baik dia penduduk asli maupun pendatang
berihram dari rumah-rumah mereka jika akan berhaji dan keluar ke tempat
yang halal (di luar tanah haram Makkah) yang terdekat jika akan
berumroh. Kemudan bagi mereka yang tidak melewati Miqat-Miqat tersebut,
maka wajib bagi mereka untuk berihrom dari tempat yang sejajar dengan
Miqat yang terdekat dari jalan yang dilewati tersebut.
Kesimpulan dari pembahasan ini bahwa manusia itu tidak lepas dari 3 keadaan:
1. Dia berada di dalam batas haram Makkah, ini dinamakan al-Haramy atau
al-Makky maka dia berihram untuk haji dari tempat tinggalnya, dan kalau
berumrah maka harus keluar dari haram dan berihram darinya.
2. Berada di luar haram Makkah dan berada sebelum Miqat maka mereka berihram dari tempatnya untuk berhaji dan berumrah.
3. Berada di luar Miqat maka mereka memiliki dua keadaan:
a. Melewati Miqat, maka wajib berihram dari Miqat
b. Tidak melewati Miqat kalau ke Makkah, maka mereka berihram dari
tempat yang sejajar atau memilih Miqat yang terdekat dengannya.
Adapun seorang yang pergi ke Makkah tidak lepas dari dua keadaan:
1. Pergi ke Makkah dengan niat haji atau umrah atau keduanya
bersama-sama maka tidak boleh dia masuk Makkah kecuali dalam keadaan
berihram.
2. Pergi ke Makkah dengan niat tidak berhaji dan umrah, maka dalam hal ini para ulama terbagi menjadi dua:
a. Orang yang melewati Miqat dan ingin masuk Makkah wajib berihram baik
ingin haji dan umrah ataupun yang lainnya, ini merupaka madzhab
Hanafiyah dan Malikiyah.
Berdalil dengan atsar Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu.
إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ إِلاَّ مَنْ كَانَ مُحْرِمًا
"Sesungguhnya tidaklah masuk (ke haram Makkah) kecuali dalam keadaan berihram".
Mereka berkata: "Ini menunjukkan bahwa seorang mukalaf kalau melewati
Miqat dengan niat masuk Makkah maka tidak boleh memasukinya kecuali
dalam berihram. Demikian juga Allah telah mengharamkan Makkah dan
keharaman tersebut mengharuskan masuknya dengan cara yang khusus dan
kalau tidak maka sama saja dengan yang lainnya."
b. Boleh bagi yang melewati Miqat dan tidak berniat haji atau umrah untuk tidak berihram dan ini adalah madzhab Syafi'i.
Mereka berdalil sebagai berikut:
1.Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
لِمَنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ (متفق عليه)
"Bagi siapa saja yang ingin melaksanakan haji dan umrah" [Mutafaqun 'alaih]
Disini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membatasi perintah
berihram kepada orang yang berniat melaksanakan haji dan umrah, hal ini
menunjukkan bahwa selainnya dibolehkan tidak berihram jika ingin masuk
Makkah.
2. Berhujjah dengan masuknya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ke
Makkah pada fathul Makkah dalam keadaan memakai topi baja pelindung
kepala (al-Mighfar).
Dan yang rajih - والله أعلم - adalah pendapat kedua yang membolehkan
karena asalnya adalah tidak diwajibkan untuk berihram sampai ada dalil
yang menunjukkannya. Dan ini adalah pendapat yang dirajihkan oleh Ibnu
Qudamah dan Bahaudin al-Maqdisy serta Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar
asy-Syanqithy.
Dari pembahasan yang lalu menunjukkan wajibnya berihram dari Miqat-Miqat
yang telah ditentukan oleh syar'i, lalu bagi mereka yang melewat Miqat
dan dia berniat haji atau umrah dan belum berihram maka dia tidak lepas
dari tiga keadaan:
1. Melewati Miqat dan belum berihram, lantas dia melampaui Miqat
beberapa jauh, kemudian kembali ke Miqat untuk berihram darinya, maka
hukumnya adalah boleh dan tidak terkena apa-apa, karena dia telah
berihram dari tempat yang Allah perintahkan untuk berhram.
2. Melewati Miqat, walaupun hanya satu kilometer, lalu berihram dan dia tidak kembali ke Miqat, masalah ini ada dua gambaran:
a. Dia memiliki udzur syar'i sehingga tidak mampu untuk kembali, seperti
takut kehilangan haji kalau kembali dan lain sebagainya.
b. Tidak memiliki udzur syar'i.
maka hukum kedua-duanya adalah sama, yaitu wajib menyembelih sembelihan,
karena dia telah kehilangan kewajiban haji, yaitu berihram dari Miqat.
3. Melewati Miqat dan melampauinya, kemudian berihram setelah melampaui
Miqat, lalu kembali dan berihram lagi untuk kedua kali dari Miqat maka
dalam hal ini ada lima pendapat ulama:
a. Wajib atasnya dam (sembelihan) baik kembali atau tidak kembali, ini pendapat malikiyah dan hanabillah.
b. Tidak ada dam selama belum melaksanakan satu amalan-amalan haji atau umrah, ini madzhab Syafi'iyah
c. Kalau kembali ke Miqat dalam keadaan bertalbiyah maka tidak ada dam
(sembelihan) dan kalau kembali tidak bertalbiyah maka wajib atasnya dam.
d. Rusak hajinya atau umrahnya dan wajib mengulangi ihramdari Miqat, ini pendapat Sa'id bin Jubair.
e. Tidak apa-apa, ini pendapat al-Hasan al-Bashry, al-Auza'i, dan ats-Tsaury.
Pendapat pertama adalah pendapat yang dirajihkan oleh Syaikh Muhammad
bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithy dalam Mudzakirat Syarh 'Umdah hal.
23.
5. JENIS-JENIS MANASIK HAJI.
Jenis-jenis manasik haji yang telah ditetapkan syariat ada tiga,yaitu:
1. Ifrod
Ifrad merupakan salah satu dari jenis manasik haji yang hanya berihrom
untuk haji tanpa dibarengi dengan umroh,maka seorang yang memilih jenis
manasik ini harus berniat untuk haji saja, kemudian pergi ke Makkah dan
berthowaf qudum, apabila telah berthowaf maka dia tetap berpakaian ihrom
dan dalam keadaan muhrim sampai hari nahar (tanggal 10 dzul hijah dan
tidak dibebani hadyu (sembelihan),serta tidak ber sa'i kecuali sekali
dan umrohnya dapat dilakukan pada perjalanan yang lainnya.
Diantara bentuk-bentuk Ifrad adalah:
a. Berumroh sebelum bulan-bulan haji dan tinggal menetap diMakkah sampai haji.
b. Berumroh sebelum bulan-bulan haji,kemudian pulang ketempat tinggalnya
dan setelah itu kembali ke Mekkah untuk menunakann ibadah haji.
2. Tamatu'
Tamatu' adalah berihrom untuk umrah di bulan-bulan haji setelah itu
berihrom untuk haji pada tahun itu juga. Dalam hal ini diwajibkan
baginya untuk menyembelih hadyu (sembelihan). Oleh karena i tu setelah
thawaf dan sya'i dia mencukur rambut dan pada tanggal 8 Dzul hijjah
berihram untuk haji.
3. Qiran
Qiran adalah berihram untuk umrah dan haji sekaligus, dan membawa hadyu
(sembelhan) sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam, dan qiran ini memiliki tiga bentuk:
a. Berihram untuk haji dan umrah bersamaan, dengan menyatakan "لَبَيْكَ
عُمْرَةً وَحَجًّا " dengan dalil bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam didatangi Jibril Alaihissallam dan berkata:
صَلِّ فِيْ هَذَا اْلوَادِى الْمُبَارَكِ وَ قُلْ عُمَْرَةً فِى حَجَّةٍ
"Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan "'Umrah fi hajjatin". [HR Bukhari]
b. Berihram untuk umrah saja pertama kali kemudian memasukkan haji
atasnya sebelum memulai thawaf. Dengan dalil hadits yang diriwayatkan
'Aisyah ketika beliau berihram untuk umrah kemudian haidh di Saraf. Lalu
Rasulullah memerintahkan beliau untuk berihlal (ihram) untuk haji dan
perintah tersebut bukan merupakan pembatalan umrah dengan dalil sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits tersebut:
سَعْيُكِ طَوَافُكِ لِحَجِّكِ وَعُمْرَتِكِ
"Cukuplah bagi kamu thawafmu untuk haji dan umrahmu" [HR Muslim no. 2925/132]
c. Berihram untuk haji kemudian memasukkan umrah atasnya. Tentang kebolehan hal ini para ulama ada dua pendapat:
1.Boleh dengan dalil hadits 'Aisyah.
أَهَلَّ رَسُوْلُ الله بِالْحَجِّ
"Rasululloh berihlal (ihrom) dengan haji".
dan hadits Ibnu Umar.
صَلِّ فِيْ هَذَا اْلوَادِى الْمُبَارَكِ وَ قُلْ عُمَْرَةً فِى حَجَّةٍ
"Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan "'Umrah fi hajjatin" [HR Bukhari]
دَخَلَ اْلعُمْرَةُ فِىْ الْحَجِّ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
"Telah masuk umroh kedalam haji sampa hari kiamat".
Dalil-dalil ini menunjukkan kebolehan memasukkan umrah kedalam haji.
2. Tidak boleh dan ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab
Hanbali. Berkata Syaikhul Islam : Dan seandainya dia berihram dengan
haji kemudian memasukkan umrah ke dalamnya, maka tidak boleh menurut
pendapat yang rojih dan sebaliknya dengan kesepakatan para ulama. [12]
Kemudian berselisih para ulama dari ketiga macam/jenis manasik ini dan dapat kita simpulkan menjadi tiga pendapat:
1. Tamattu' lebih utama dan ini merupakan pendapat Ibnu Umar, Ibnu
Abbas, Ibnu Zubair, 'Aisyah, Alhasan, 'Atha', Thawus, Mujahid, Jabir bin
Zaid, Al-Qarim, Saalim, Ikrimah, Ahmad bin Hanbal, dan madzhab ahli
zhahir serta merupakan pendapat yang masyhur dari madzhab hanbali dan
satu daru dua pendapat Imam Syafi'i.
2. Qiran lebih utama dan ini merupakan pendapat madzhab Hanafi dan Tsaury berhujjah dengan:
a. Hadits Anas, beliau berkata:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله أَهَلَّ بِهَا جَمِيْعًا: لَبَيْكَ عُمْرَةً وَ حَجًّا، لَبَيْكَ عُمْرَةً وَ حَجًّا (متفق عليه)
"Aku mendengar Rasulullah berihlal dengan keduanya: labbaik Umrotan wa hajjan" [Mutafaqun Alaih]
b. Hadits Adh-Dhaby bin Ma'bad ketika talbiyah dengan keduanya, kemudian
datang umar lalu dia menanyakannya,maka beliau berkata: "Kamu telah
mendapatkan sunah Nabimu. [HR Abu Dawud no. 1798; Ibnu Majah no. 2970
ddengan sanad shahih]
c. Pebuatan Ali dan perkataannya kepada Utsman ketika menegurnya.
سَمِعْتُ النَّبِيَّ يُلَبِّي بِهَا جَمِيْعًا فَلَمْ أَكُنْ أَدَعَ قَوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِقَوْلِكَ (رواه البيهقي)
"Aku mendengar Rasulullah bertalbiyyah dengan keduanya sekalgus, maka
aku tidak akan meninggalkan ucapan Rasulullah karena pendapatmu" [HR
Baihaqi]
d. Karena pada Qiran ada pembawaan hadyu, maka lebih utama dari yang tidak membawa.
3. Ifrad lebih utama dan ini merupakan pendapat Imam Malik dan yang
terkenal dari Madzhab Syafi'i serta pendapat Umar, Utsman, Ibnu Umar,
Jabir dan 'Aisyah; dengan hujjah:
a. Hadits Aisyah dan Jabir yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan haji ifrad
b. Karena haji tersebut sempurna tanpa membutuhkan penguat, maka yang tidak membutuhkan lebih utama dari yang membutuhkan.
c. Amalan Khulafaur Rasyidin
Sedangkan yang rajih - والله أعلم adalah pendapat pertama dengan dalil:
a. Hadits Ibnu Abbas, beliau berkata: ketika Rasulullah sampai di Dzi
Thuwa dan menginap disana , lalu setelah shalat subuh beliau berkata:
مَنْ شَاءَ أَنْ يَجَْلَهَاعُمْرَةً فَلْيَجْعَلْهَا عُمْرَةً
"Barang siapa yang ingin menjadikannya umrah maka jadikanlah dia sebagai umrah" [Mutafaqun alaihi]
b. Hadits Aisyah
خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ الله n وَلاَ أُرِيْدُ إِلاَّ أَنَّهُ الْحَجَّ،
فَلَما قَدِمْنَا مَكَةَ تَطَوَّفْنَا بِالْبَيْتِ فَأَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ
مَنْ لَمْ يَكُنْ سَاقَ اْلهَدْيِ أَنْ يُحِلَّ، قَالَتْ فَحَلَّ مَنْ
لَمْ يَكُنْ سَاقَ الْهَدْيِ وَ نِسَاؤُهُ لَمْ يَسُقْنَ الْهَدْيَ
فَأَحْلَلْنَا
"Kami telah berangkat bersama Rasulullah dan tidaklah kami ingin kecuali
untuk haji, ketika kami tiba di Makkah kami thawaf di ka'bah, lalu
Rasulullah memerintahkan orang yang tidak membawa hadyu (senmbelihan)
untuk bertahalul, berkata Aisyah: maka bertahalullah orang yang tidak
membawa hadyu dan istri-istri belia tidak membawa hadyu maka mereka
bertahalul".[Mutafaqun alaih]
c. Juga terdapat riwayat Jabir dan Abu Musa bahwa Rasulullah
memerintahkan sahabat-sahabatnya ketika selesai thawaf di ka'bah untuk
tahalul dan menjadikannya sebagai umrah.
Maka perintah pindah dari Ifrad dan Qiran kepada tamatu' menujukkan
bahwa tamatu' lebih utama. Karena, tidaklah beliau memindahkan satu hal
kecuali kepada yang lebih utama.
d. Sabda Raslullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
لَوِ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِيْ مَا اسْتَدَْبَرْتُ مَا سُقْتُ الْهَدَْيَ وَ لَجَعَلْتُهَا عُمْرَةً
"Seandainya saya dapat mengulangi apa yang telah lalu dari amalan saya
maka saya tidak akan membawa sembelihan dan menjadikannya Umrah". [HR
Muslim Ahmad no. 6/175]
e. Kemarahan dan kekesalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
kepada para sahabatnya yang masih bimbang dengan anjuran beliau agar
mereka menjadikan haji mereka umrah sebagaimana hadits Aisyah.
فَدَخَلَ عَلِيَّ وَ هُوَ غَضْبَانٌ فَقُْلْتُ: مَنْ أَغْضَبَكَ يَا
رَسُوْلَ الله أَدْخَلَهُ اللهُ النَّارَ؟ قَالَ أَوَمَا شَعَرْتِ أَنِّيْ
أَمَرْتُ النَّاسَ بِأَمْرٍ فَإِذَا هُمْ يَتَرَدَّدُوْنَ
"Maka masuklah Ali dan beliau dalam keadaan marah, lalu aku berkata:
"Siapa yang membuatmu marah wahai Rasulullah semoga Allah memasukkannya
ke dalam neraka?" Beliau menjawab: "Apakah kamu tidak tahu, aku
memerintahkan orang-orang dengan suatu perintah , lalu mereka bimbang.
(ragu dalam melaksanakannya)". [HR Muslim]
Maka jelaslah kemarahan beliau ini menunjukan satu keutamaan yang lebih dari yang lainnya - والله أعلم -
Sedangkan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hukumnya
disesuaikan dengan keadaan, kalau dia membawa hadyu (sembelihan) maka
qiran lebih utama, dan apabila dia telah berumrah sebelum bulan-bullan
haji maka ifrad lebih utama dan selainnya tamatu' lebih utama. Beliau
berkata: Dan yang rajih dalam hal ini adalah hukumnya berbeda-beda
sesuai dengan perbedaan orang yang berhaji, kalau dia bepergian dengan
satu perjalanan umrah dan satu perjalanan untuk haji atau bepergian ke
Makkah sebelum bulan-bulan haji dan berumrah kemudian tinggal menetap
disana sampai haji, maka dalam keadaan ini ifrad lebih utama baginya,
dengan kesepakatan imam yang empat. Dan apabila dia mengerjakan apa yang
telah dilakukan kebanyakan orang, yaitu mengabungkan antara umrah dan
haji dalam satu kali perjalanan dan masuk Makkah dalam bulan-bulan haji,
maka dalam keadaan ini qiran lebih utama baginya kalau dia membawa
hadyu, dan kalau dia tidak membawa hadyu maka, bertahalul dari ihram
untuk umrah lebih utama.[13].
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
________
Footnote
[1]. Al-Mughny 5/5
[2]. Syarhul Mumti' 7/7
[3]. Muzakirot Syarhul 'Umdatil Fiqh Kitab Haji wal Umrah hal.1
[4]. Lihat Al-Ijma, oleh Ibnul Mundir hal 54 dan Al-Mughny 5/6
[5]. Lihat Syarhl Umdah oleh Ibnu Taimiyah 2/302
[6]. Lihat Syarhul Mumti'7/62-64 dan Syarah Umdatul Fiqh hal 14
[7]. Dikenal sekarang dengan abyaar Ali
[8]. Syarah 'Umdah oleh Ibnu Taimiyah 2/316
[9]. Dikenal sekarang dengan nama As-Sail al-Kabir.
[10]. Yarah Umdah Ibnu Taimiyah 2/316
[11]. Hadits ini dishahihkan Al-Albany dalam irwa' 6/176
[12]. Al-Ikhtiyarat hal 117
[13]. Kitab Manasik hal. 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar