SYARIAT IBADAH HAJI. https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Barangsiapa berhaji karena Allah, lantas dia tidak berbuat keji dan
melakukan kefasikan, maka dia pulang bagaikan hari dimana dia dilahirkan
ibunya. [HR al-Bukhâri no. 1424]
Kaum Muslimin keluar dari bulan Ramadhan dalam keadaan telah memiliki
bekal berupa kekuatan yang besar dalam kehidupan rohani yang suci;
jiwa-jiwa mereka menjadi kuat dan tidak bergantung kepada kebendaan;
keinginan-kenginan mereka telah terlatih untuk mengalahkan hawa nafsu
syahwat; serta mampu menanggung kepayahan-kepayahan dan melawan hal-hal
yang dibenci. Karenanya, mereka memasuki bulan-bulan haji dalam keadaan
telah siap sempurna rohani dan jasmaninya. Mereka telah memiliki
kesiapan untuk melaksanakan beban-beban yang terdapat pada kewajiban
yang suci itu (Haji), yang menjadi rukun kelima dari rukun-rukun Islam.
Haji itu seperti puasa, hukumnya wajib sejak dahulu; Allah Azza wa Jalla
telah mewajibkannya kepada para hamba-Nya semenjak Dia memerintahkan
kekasih-Nya, yaitu Ibrâhîm Alaihissallam, agar membangun Baitul Harâm di
Mekah, kemudian menyuruhnya supaya memaklumkan haji kepada manusia agar
mendatanginya.
يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ
عَمِيقٍ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي
أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
“… niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan
mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh.
Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya
mereka menyebut nama Allah Azza wa Jalla pada hari yang telah ditentukan
atas rezki yang telah Allah Azza wa Jalla berikan kepada mereka berupa
binatang ternak…” [al-Hajj/22:27-28]
Allah Azza wa Jalla telah memperlihatkan manasik-manasik haji dan
syi’ar-syi’arnya kepada Ibrâhîm Alaihissallam dan putranya, yaitu
Ismâ’îl Alaihissallam. Maka manasik-manasik itu akan tetap ada
sepeninggal keduanya kepada anak keturunannya yaitu berhaji ke Baitullah
dan melakukan thawâf di situ, wukûf di ‘Arafah dan Muzdalifah, serta
melaksanakan sa’i antara Shafa dan Marwa.
Hanya saja anak keturunan mereka telah mengadakan bid’ah-bid’ah di
dalamnya lantaran lamanya masa, dikuasai hawa nafsu, dan setan menghiasi
penyimpangan mereka.
Mereka mengadakan peribadatan kepada patung-patung, lalu menaruhnya di
sekitar Ka’bah dan bagian dalamnya. Mereka memulai beribadah untuk
berhala dan menyembelih di dekatnya sebagai bentuk taqarrub kepadanya,
dan dahulu mereka mengucapkan dalam talbiahnya;
اللَّهُمَّ لاَ شَرِيْكَ لَكَ, إِلاَّ شَرِيْكًا هُوَ لَكَ, تَمْلِكُهُ مِمَّا مَلَكَ
“Wahai Allah, tidak ada sekutu bagi-Mu, melainkan sekutu yang Engkau punya, Engkau memiliki apa yang dia punya”
Dahulu, mereka thawâf di Ka’bah dengan bertelanjang, karena merasa tidak
nyaman melaksanakan thawâf dengan pakaian-pakaian yang dikenakan pada
saat mereka datang, sampai-sampai kaum wanita pun thawâf di Ka’bah
dengan tidak berpakaian. Para wanita itu menutupi farjinya dengan
sehelai kain, lalu mengatakan:
“Pada hari ini tampaklah sebagian atau seluruhnya (tubuh); namun apa saja yang terlihat, maka aku tidak membolehkan (dijamah) ”
Tatkala Allah Azza wa Jalla mengutus Nabi-Nya, yaitu Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembaharu agama Nabi Ibrâhîm q ,
sudah sewajarnya jika pembaharuan itu mencakup kewajiban haji. Maka,
haji diwajibkan pada tahun ke enam dari hijrah, dan dalil fardunya dari
al-Qur’an adalah firman Allah Azza wa Jalla :
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah.” [al-Baqarah/2:196]
Hingga firman Allah:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“ (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak
boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji” [al-Baqarah/2:197]
Juga firman-Nya yang lain :
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ
آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ
إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ
الْعَالَمِينَ
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrâhîm.
Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu), dia menjadi aman. Mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan
sesuatu) dari semesta alam.”[Ali ‘Imrân/3:97]
Adapun dalil dari Sunnah, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحَجُّوْا
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan ibadah haji, maka hajilah kalian!” [HR. Muslim]
Juga sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu :
(بنُِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَإِقَامُ الصَّلاَةِ,
وَإِيْتاَءُ الزَّكَاةِ, وَصَوْمُ رَمَضَانَ, وَحَُّج اْلبَيْتِ لِمَنِ
اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً)
“Islam dibangun di atas lima rukun; persaksian bahwa tiada ilâh yang
berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,
mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa di bulan Ramadhan, serta
haji ke baitullah bagi siapa yang sanggup mengadakan perjalan
kepadanya.” [Muttafaq ‘alaih]
Sungguh, Nabi telah menafsirkan makna as-sabîl dengan bekal dan
kendaraan, maka siapa yang memiliki nafkah bagi diri dan keluarganya
hingga kembali dari haji serta mendapatkan kendaraan yang
menghantarkannya ke Mekah (yakni biaya safar pulang pergi), maka wajib
baginya segera berhaji; karena dia tidak akan tahu apa yang akan
menghalanginya sesudah itu, sebab sakit atau berkurang hartanya.
Haji termasuk ibadah yang mempunyai pengaruh besar dalam mendidik jiwa,
berupa lepas diri dari gemerlap dunia, kembali kepada fitrah aslinya,
mengatasi kesulitan-kesulitan dan kepayahan-kepayahan, mengagungkan
kehormatan-kehormatan Allah Azza wa Jalla dengan menahan diri dari
setiap gangguan dan tindakan bermusuhan. Oleh karenanya, seorang yang
berihrâm tidak boleh membunuh binatang buruan, tidak boleh memotong
kuku, tidak boleh mencukur rambut, bahkan semua kegiatan ibadah haji itu
adalah keselamatan untuk diri dan orang lain.
Pelaksanaan ibadah haji adalah bentuk pemenuhan terhadap panggilan Allah
Azza wa Jalla melalui lisan kekasih-Nya, yaitu Ibrâhîm Alaihissallam,
agar berkunjung ke Baitul Harâm. Oleh karenanya, orang yang berhaji
mengucapkan niatnya berhaji atau ‘umrah;
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ, لَبَّيْكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ,
إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
“Ku penuhi panggilan-Mu wahai Allah, ku penuhi seruan-Mu. Ku penuhi
panggilan-Mu tidak ada sekutu bagi-Mu, ku penuhi panggilan-Mu.
Sesungguhnya pujian dan nikmat hanya untuk-Mu, juga kerajaan-Mu. Tidak
ada sekutu bagi-Mu”.
Makna لَبَّيْكَ : Bersegera menuju ketaatan kepada-Mu, dan memenuhi panggilan-Mu tanpa lama-lama dan lambat.
Selain itu, ibadah haji merupakan ajang perkumpulan kaum Muslimin yang
berulang setiap tahunnya, di mana mereka datang dari berbagai belahan
bumi, hingga mereka dapat mengingat persatuan agama yang menaungi mereka
semua. Meski mereka berbeda jenis dan warna kulit, serta berlainan
lisan dan dialek, maka dikenalkan persaudaraan, saling berganti
memberikan manfaat di antara mereka, serta saling memahami keadaan
masing-masing. Di dalamnya ada perbaikan terhadap keadaan dan kemuliaan
mereka; juga memperkuat tali persaudaraan sesama mereka. Sungguh
al-Qur’ân telah mengisyaratkan akan hal itu dalam firman-Nya:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ
“…Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka …” [al-Hajj/22:28]
Dalam hadits di atas (HR al-Bukhâri 1424) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberitakan bahwa barangsiapa melaksanakan kewajiban haji dengan
cara yang benar, yakni; mengikhlaskan niat kepada Allah Azza wa Jalla
di dalamnya, dia tidak keluar karena riyâ` atau sum’ah, bahkan karena
iman kepada Allah Azza wa Jalla dan mengharapkan pahala dari sisi-Nya,
patuh atas perintah-Nya; dia menunaikan kewajiban menjauhi perkara yang
tidak pantas dilakukan orang yang berihrâm berupa rafats, yakni jima`
dan pendahulu-pendahulunya dan setiap yang terkait dengannya; juga tidak
berbuat fasik, yaitu keluar dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla ,
yakni bermaksiat terhadap-Nya; maka sungguh dia pulang dari ibadah haji
dalam keadaan bersih dari dosa seperti saat dia dilahirkan. Kecuali jika
dosa itu menyangkut hak-hak orang lain, maka sungguh dosa ini tidak
terhapus dengan ibadah haji dan yang selainnya, bahkan harus
mengembalikannya kepada yang berhak, atau meminta kepada mereka agar
menghalalkannya.
Tidak heran jika ibadah haji dengan kedudukan seperti ini bisa
mensucikan dari dosa-dosa, karena ia sebenarnya rihlah (pergi) menuju
Allah Azza wa Jalla . Saat berhaji, seorang Muslim menanggung banyak
kesusahan, terancam berbagai malapetaka dan marabahaya, mengorbankan
tenaga dan hartanya, lalu melaksanakan manasik haji. Ia melangkah menuju
pintu Rabb-nya, datang kepada-Nya dari tempat yang amat jauh untuk
memohon maaf dan ampunan dari-Nya, meluapkan keluhannya kepada-Nya atas
dosa-dosanya yang bisa menyebabkan kehancuran dan kebinasaannya, jika
dosa –dosa itu masih ada dan tidak diampuni Allah Azza wa Jalla.
Maka apa persangkaanmu terhadap Rabb yang Maha Pemurah, yang hamba-Nya
meminta perlindungan kepada-Nya, mencurahkan ke hadapan-Nya keluh
kesahnya, mengakui kedzaliman dan kejahilannya di sisi-Nya, juga
terhadap sikap melampaui batasnya terhadap hak-Nya; kemudian dia
bertaubat, menyesal dan menyadari bahwa tidak ada tempat berlindung
baginya dari Allah Azza wa Jalla kecuali hanya pada-Nya. Juga bahwasanya
tidak ada seorang pun yang selamat dari Allah Azza wa Jalla , serta
bahwasanya jikalau dia tidak mendapatkan rahmat dan keutamaan dari Allah
Azza wa Jalla , maka akan menjadi orang yang sengsara dengan
kesengsaraan seluruhnya.
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla paling pengasih daripada Dia
mengembalikan hamba-Nya dengan kondisi kecewa setelah Dia mengetahui
kejujuran darinya dalam berlindung kepada-Nya dan ikhlas dalam taubatnya
dari dosanya. Dan sungguh telah datang di dalam hadits shahîh:
اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
Ibadah haji mabrur (maka) tidak ada baginya balasan melainkan surga [HR. Muslim]https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
Kami memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar mengkaruniai kami dan
saudara-saudara kami dengan kebagusan dalam menjalankan kewajiban
tersebut, dan menerimanya dengan anugerah dan kemurahan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar