FIQIH HAJI : LARANGAN DALAM IHRAM.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Di dalam ihram diharamkan sembilan hal, yaitu:
1. Mencukur rambut, dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
وَلاَ تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَن
كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةُُ مِّنْ
صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ
"Dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum kurban sampai ke tempat
penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di
kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajib atasnya membayar fidyah, yaitu
berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban." [Al Baqarah:196]
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Ka'ab bin Ujrah, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
كَانَ بِيْ أَذَى مِنْ رَأْسِيْْْْ فَحُمِلْتُ إِلَى النَّبِيْ وَ
اْلقُمَلُ يَتَنَاثَرُ عَلَى وَجْهِيْ فَقَالَ مَا كُنْتُ أَرَى أَنَّ
الْجَهْدَ قَدْ بَلَغَ مِنْكَ مَا أَرَى أَتَجِدُ شَاةً ؟ قُلْتُ لاَ
فَنَزَلَتْ هَذِهِ الأَيَةُ.
“Aku mendapatkan gangguan di kepalaku, lalu aku dibawa ke Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam sedangkan kutu-kutu bertebaran di wajahku,
lalu beliau berkata: “Tidak ku-sangka begitu parah apa yang telah
menimpamu, apakah kamu mampu mendapatkan kambing? Aku menjawab :”Tidak",
maka turunlah ayat tersebut (Al Baqarah 196)".
Ibnu Qudamah berkata: "Para ulama telah bersepakat bahwa seorang yang
berihram (muhrim) dilarang mengambil rambut kecuali karena udzur
(alasan) syar'i”. [1]
Dan para ulama berselisih menjadi dua pendapat tentang hukum mencukur
rambut selain rambut kepala, apakah termasuk hal-hal yang diharamkan
dengan sebab ihram atau tidak:
1. Rambut yang lain sama hukumnya dengan rambut kepala, dengan dalil firman Allah.
وَلاَ تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَن
كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةُُ مِّنْ
صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ
"Dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum kurban sampai ke tempat
penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di
kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajib atasnya membayar fidyah, yaitu
berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban." [Al Baqoroh:196].
Dan qiyas (Analogi) mereka berkata bahwa ayat tersebut menunjukkan
kepada rambut kepala secara lafazh dan rambut yang lainnya secara qiyas,
dan ini merupakan madzhab jumhur.[2]
2. Larangan itu hanya khusus pada rambut kepala, sedang rambut lainnya
tidak terlarang. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm dan madzhab
Zhahiriyah, mereka berkata: "Tidak benar berdalil dengan ayat tersebut
karena ayat tersebut khusus kepada rambut kepala, dan tidak ada
penjelasan tentang yang lainnya. Sedangkan qiyas membutuhkan persamaan
Illat dalam cabang (furu') dan pokok (Ashl), kalau kalian menetapkan
illat hal tersebut adalah sebagai kebersihan dan kesenangan, karena
mencukur rambut kepala itu akan menghasilkan kebersihan, maka hal itu
kurang tepat, karena muhrim (orang yang berihram) tidak dilarang
makan-makanan yang enak dan baik, padahal hal tersebut juga menghasilkan
kesenangan, demikian juga dia boleh memakai jenis bahan pakaian ihram
yang sesukanya, dan illat (sebab) larangan mencukur rambut adalah
dilarangnya satu syi'ar yang disyariatkan yaitu mencukur atau memangkas
rambut sampai selesai umrah atau selesai melempar jumrah Aqabah, dan
pendapat ini lebih kuat dari illat yang di atas. Demikian juga asal dari
pengambilan rambut-rambut tubuh manusia adalah halal, maka kita tidak
boleh melarangnya dari hal tersebut kecuali dengan dalil.
Pendapat ini dikuatkan oleh syaikh Ibnu Utsaimin dengan perkataannya: "Dan ini lebih dekat (kepada kebenaran)".[3]
2. Memotong Kuku.
Dalam permasalahan ini tidak ada nash, baik dari Al-Qur'an atau Sunnah.
Oleh karena itu Ibnu Hazm tidak memasukkannya ke dalam hal-hal yang
dilarang dengan sebab ihram, akan tetapi jumhur ulama bahkan hampir
seluruhnya mengqiyaskan hal tersebut kepada rambut, bahkan Imam Ibnu
Qudamah dan Ibnu Mundzir menukilkan Ijma' tentang ketidak bolehan
memotong kuku. Akan tetapi syaikh Muhammad Al-Amin As-Syinqithy berdalil
dengan pengharam ini dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
ثُمَّ لِيَقْضُوْا تَفَثَهُمْ وَ لِيُوْفُوْا نُذُوْرَهُمْ وَ لِيَطَّوَّفُوْا بِالْبَيْتِ الْعَتِيْقِ
"Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan
mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka dan
hendaklah mereka melakukan Thawaf sekeliling rumah yang tua itu
(Baitullah)." [Al Hajj:29]
Yang ditafsirkan oleh sebahagian sahabat dan tabi'in dengan memotong
rambut, kuku dan mencabut bulu ketiak. Dan mengatakan; "Menurut tafsir
ini maka ayat tersebut menunjukkan bahwa kuku itu seperti rambut bagi
orang yang sedang ihram, apalagi dihubungkan dengan kata penghubung
"tsumma" terhadap penyembelihan hadyu, maka itu menunjukkan bahwa
mencukur dan memotong kuku dan yang sejenisnya seharusnya dilakukan
setelah nahr (menyembelih pada tanggal 10 dzul hijjah) pent.[4] Apalagi
kalau benar penukilan ijma' tersebut maka tidak ada alasan untuk
menolaknya.
3. Menutup Kepala Dengan Penutup Yang Melekat Di Kepala.
Hal itu karena larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
kisah seorang yang sedang berihram dan jatuh dari ontanya dengan
mengatakan:
لاَ تُخَمِّرُوْا رَأْسَهُ
"Janganlah kalian tutupi kepalanya". [HR Bukhari dan Muslim]
Demikian juga hadits Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu ketika Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang apa yang dipakai oleh
seorang yang sedang berihram, maka beliau menjawab:
لاَ يَلْبَسُ اْلقَمِيْصَ وَلاَالسَّرَاوِيْلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ الْعَمَائِمَ
"Janganlah dia berihram memakai gamis, celana, baju burnus [5], dan tidak pula imamah" [HR Mutafaqqun alaih]
Imamah (sorban) dinamakan demikian karena dia menutupi seluruh atau
hampir seluruh kepala, maka tidak boleh seseorang menutup kepalanya
dengan sesuatu yang tidak langsung menempel, dan dibolehkan menggunakan
payung atau apa saja yang dapat digunakan untuk berteduh seperti penutup
kendaraan dan lain-lainnya.
4. Memakai pakaian berjahit bagi laki-laki dengan sengaja pada seluruh
badan atau sebagiannya, berupa baju/pakaian yang menutupi setiap
pergelangan dari tubuh, seperti: gamis, celana, kaos kaki, kaos tangan
dan lain-lain. Sebagaimana larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam hadits Ibnu Umar ketika beliau ditanya apa yang dipakai
seorang muhrim? Beliau menjawab:
لاَ يَلْبَسُ المُحْرِمُ اْلقَمِيْصَ وَلاَ الْعِمَامَةَ وَلاَ اْلبُرْنُسَ
وَلاَ الْسَّرَاوِيْلَ وَلاَ ثَوْبًا مَسَّهُ وَرْسٌ وَلاَ زَعْفَرَانُ
وَلاَ الْخُفَّيْنِ إِلاَّ أَنْ لاَ يَجِدَ نَعْلَيْنِ فَلْيَقْطَعْهُمَا
حَتَّى يَكُوْنَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ
"Janganlah seorang muhrim memakai gamis, imamah, burnus, celana, pakaian
yang terkena wars dan za'faron dan tidak memakai kaos kaki kulit
kecuali jika tidak mendapatkan sandal, maka hendaklah dia memotongnya
sampai menjadi dibawah dua mata kakinya" [HR Bukhari dan Muslim]
Ibnu Abdil Barr berkata: "Semua yang ada dalam hadits ini telah
disepakati oleh ahli ilmu untuk tidak dipakai seorang muhrim selama
ihromnya, dan merekapun bersepakat bahwa yang dituju dengan sabda beliau
dalam pakaian tersebut adalah laki-laki, bukan untuk wanita sehingga
dibolehkan bagi wanita memakai gamis, celana, kerudung dan khuf (kaos
kaki kulit)."
Dalam hadits Shafwan bin Ya'la bin Umaiyah dari bapaknya dia berkata:
أَنَّ رسول الله أَتَاهُ رَجُلٌ أَعْرَبِيٌ وَهُوَ مُعْتَمِرٌ
بِالْجُعْرَانَةِ وَعَلَيْهِ جُبَّةٌ عَلَيْهَا طِبٌّ أَوْ أَثَرُ طِبٍّ
فَقَالَ يَا رسول الله مَا تَرَى فِىْ مَنْ أَحْرَمَ بِالْعُمْرَةِ
وَعَلَيْهِ مَا تَرَى ؟ فَأَوْحَىاللهُ إِلَيْهِ فَلَمَّا سَرَى قال؟
أَيْنَ السَّائِلُ ؟ قَالَ اْنزَعْ جُبَّتَكَ (البخارى)
"Sesungguhnya telah datang kepada Rasulullah seorang A’raby yang sedang
berumroh dengan mengenakan jubah (baju) yang berminyak wangi atau ada
bekas minyak wangi, lalu bertanya: “Wahai Rasulullah apa pendapatmu
tentang seorang yang berihom untuk umroh dalam keadaan seperti yang anda
lihat? Lalu Allah wahyukan kepadanya, dan ketika sadar beliau bertanya:
“Siapakah orang yang bertanya ? lalu beliau berkata: “Lepas jubahmu".
[HR Bukhari]
Akan tetapi bagi orang yang tidak mendapatkan sandal dan sarung yang
tidak berjahit diberi kemudahan untuk memakai khuf (kaos kaki kulit) dan
celana, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar terdahulu dan juga hadits
Ibnu Abbas. Dalam hadits Ibnu Umar dijelaskan adanya pengecualian bagi
yang tidak memiliki sarung (izaar) untuk memakai celana dan yang tidak
mendapatkan sandal untuk memakai khuf (kaos kaki kulit). Dibolehkannya
hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama, akan tetapi mereka
berselisih menjadi dua pendapat tentang masalah apakah orang yang
mengenakan khuf atau celana ketika tidak mendapatkan sarung atau sandal
dikenai fidyah atau tidak:
Pertama: Dikenakan fidyah padanya dan ini pendapat madzhab Hambali.
Kedua: Tidak dikenakan apa-apa dan ini pendapat jumhur, dengan dalil
pengertian tekstual dari hadits Ibnu Umar dan Ibnu Abbas terdahulu.
Pendapat inilah yang benar, karena keringanan tersebut menunjukkan
hilangnya denda atau pengganti.
Akan tetapi, jika didapatkan sarung (Izar) dan sandal maka wajib baginya
untuk melepas celana dan khufnya dan berganti, karena dikatakan dalam
kaidah:
مَا أُبِيْحَ لِلْحَاجَةِ يُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا
Apa yang dibolehkaan karena kebutuhan disesuaikan dengan ukuran kebutuhannya.
Para ulama juga berselisih tentang permasalahan memotong khuf bagi yang
mengenakan khuf ketika tidak mendapatkan sandal, menjadi dua pendapat:
1. Wajib memotong khufnya sampai di bawah mata kaki, ini pendapat Jumhur Ulama berdalil dengan hadits Ibnu Umar yang berbunyi:
إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ
"Kecuali seseorang yang tidak mendapatkan sepasang sandal maka hendaklah
memakai khuf dan memotongnya sampai di bawah mata kaki" [HR Bukhory]
2. Tidak wajib memotongnya, ini pendapat Ali bin Abi Thalib dan
sekelompok ulama salaf serta pendapat imam Ahmad bin Hambal. Dalilnya
hadits Ibnu Abbas dalam khutbah Nabi di Arafah:
الخِفَافُ لِمَنْ لَمْ يَجِدِ النَّعْلَيْنِ
"Khuf bagi yang tidak mendapatkan sepasang sandal" [HR Bukhori dan Muslim]
Yang rajih –insya Allah – pendapat yang pertama sebagaimana dirajihkan
oleh Syeikh Muhammad bin Muhammad Mukhtar Asy-Syinqithiy dalam
Mudzakirat beliau, karena beberapa hal:
1. Keabsahan haditsnya dan kejelasan lafadz perintah untuk memotongnya.
2. Dalam hadits Ibnu Abbas tidak ada penjelasan dipotong atau tidak,
sehingga mungkin beliau menghendaki khufnya dipotong atau tidak
dipotong, dan ini merupakan dalil mafhum, sedangkan hadits Ibnu Umar
diatas adalah manthuq, sedangkan manthuq didahulukan dari mafhum.
5. Memakai minyak wangi dengan sengaja pada badan, pakaian, dalam
keadaan ihram. Karena larangan Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam
dalam hadits.
لاَ يَلْبَسُ المُحْرِمُ اْلقَمِيْصَ وَلاَ الْعِمَامَةَ وَلاَ اْلبُرْنُسَ
وَلاَ الْسَّرَاوِيْلَ وَلاَ ثَوْبًا مَسَّهُ وَرْسٌ وَلاَ زَعْفَرَانُ
وَلاَ الْخُفَّيْنِ إِلاَّ أَنْ لاَ يَجِدَ نَعْلَيْنِ فَلْيَقْطَعْهُمَا
حَتَّى يَكُوْنَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ
"Janganlah seorang muslim memakai gamis, imamah, burnus, celana, pakaian
yang terkena wars dan za'faron (keduanya adalah jenis minyak wangi) dan
tidak memakai kaos kaki kulit, kecuali tidak mendapatkan sandal, maka
hendaklah dia memotongnya sampai menjadi dibawah dua mata kakinya" [HR
Bukhari dan Muslim]
6. Membunuh hewan buruan darat dan diperbolehkan berburu binatang buruan laut dengan dalil firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنتُمْ
حُرُمُُ وَمَن قَتَلَهُ مِنكُمْ مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآءُُ مِّثْلُ مَا
قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ هَدْيًا
بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةُ طَعَامِ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ
ذَلِكَ صِيَامًا لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللهُ عَمَّا سَلَفَ
وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللهُ مِنْهُ وَاللهُ عَزِيزُُ ذُو انْتِقَامٍ .
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَّكُمْ
وَلِلسَّيَّارَةِ وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَادُمْتُمْ
حُرُمًا وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan,
ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan
sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang
dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di
antara kamu sebagai hadya (kurban) yang dibawa sampai ke Ka'bah, atau
(dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin,
atau bershiyam seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia
merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah mema'afkan
apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya,
niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai
(kekuasaan untuk) menyiksa. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan
makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan
bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu
(manangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan
bertaqwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan"
[Al-Maidah :95-96]
7. Akad nikah, dengan dalil sabda Rasulullah.
الْمُحْرِمُ لاَ يَنْكِحُ وَلاَ يَخْطُبُ
"Seorang yang berihram tidak boleh menikah dan meminang" [HR Muslim] dan
dalam riwayat lain dari sahabat Utsman bin Affaan dengan lafadz.
إِنَّ الْمُحْرِمَ لاَ يَنْكِحُ وَلاَ يُنْكِحُ
"Sesungguhnya seorang yang berihram tidak boleh menikah dan menikahkan orang lain" [HR Muslim]
Dalam hadits ini dijelaskan keharaman seorang muhrim melamar seorang
wanita, menikah dan menikahkan. Jadi seorang muhrim tidak boleh menikah
dan tidak boleh menjadi wali yang menikahkan seorang wanita selama dia
masih berihrom dan belum bertahallul.
8. Jima’ dan yang dapat mengantarkan kepadanya.
9. Bertengkar dan berjidal (debat kusir).
Kedua hal diatas ini dilarang dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
الْحَجُّ أَشْهُرُُ مَّعْلُومَاتُُ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ
رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ
خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
وَاتَّقُونِ يَاأُوْلِي اْلأَلْبَابِ
"(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji, maka tidak
boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya
Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal".
[Al-Baqarah :197]
Demikianlah beberapa keterangan yang berkenaan dengan tata-cara ihrom,
dan sebagian hukum-hukum yang berkenaan dengannya, mudah-mudahan
bermanfaat.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
________
Footnote
[1]. Kitab manasik 5/146
[2]. Majmu' syarah muhazzab Nawawy 7/262
[3]. Lihat syarhul Mumti'
[4]. Adwaaul bayan 5/404
[5]. Burnus adalah baju yang memiliki tutup kepala yang bersambung dengan baju
Tidak ada komentar:
Posting Komentar