SEPULUH FAEDAH TENTANG HAJI.HAJI MABRUR.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘ahu bahwasanya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Umroh ke umroh berikutnya merupakan
pelebur dosa antara keduanya, dan tiada balasan bagi haji mabrur
melainkan surga” [HR Bukhari : 1683, Muslim : 1349]
Haji Mabrur memiliki beberapa kriteria.
Pertama : Ikhlas. Seorang hanya mengharap pahala Allah, bukan untuk
pamer, kebanggaan, atau agar dipanggil “pak haji” atau “bu haji” oleh
masyarakat.
“Artinya : Mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan” [Al-Bayyinnah : 5]
Kedua : Ittiba’ kepda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berhaji
sesuai dengan tata cara haji yang dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan menjauhi pekara-perkara bid’ah dalam haji. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Contohlah cara manasik hajiku” [HR Muslim : 1297]
Ketiga : Harta untuk berangkat haji adalah harta yang halal. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya Allah itu baik, Dia tidak menerima kecuali dari yang baik” [HR Muslim : 1015]
Keempat : Menjauhi segala kemaksiatan, kebid’ahan dan penyimpangan
“Artinya : Barangsiapa menetapkan niatnya untuk haji di bulan itu maka
tidak boleh rafats (berkata-kata tidak senonoh), berbuat fasik, dan
berbantah-bantahan pada masa haji..”[Al-Baqarah : 197]
Kelima : Berakhlak baik antar sesama, tawadhu’ dalam bergaul, dan suka membantu kebutuhan saudara lainnya.
Alangkah bagusnya ucapan Ibnul Abdil Barr rahimahullah dalam At-Tamhid
(22/39) : “Adapun haji mabrur, yaitu haji yang tiada riya dan sum’ah di
dalamnya, tiada kefasikan, dan dari harta yang halal” [Latho’iful
Ma’arif Ibnu Rajab hal. 410-419, Masa’il Yaktsuru Su’al Anha Abdullah
bin Sholih Al-Fauzan : 12-13]
HAJI AKBAR
Pendapat yang populer dalam madzhab Syafi’i, hari “Haji Akbar” adalah
hari Arafah (9 Dzul-Hijjah). Namun pendapat yang benar bahwa hari haji
akbar adalah pada hari Nahr (penyembelihan kurban, yakni 10
Dzul-Hijjah], berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan rosul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar…” [At-Taubah : 3]
Dalam shahih Bukhari 8/240 dan shahih Muslim : 1347 disebutkan bahwa Abu
Bakar dan Ali Radhiyallahu ‘anhuma mengumumkan hal itu pada hari nahr,
bukan pada hari Arafah.
Dalam sunan Abu Dawud 1945 dengan sanad yang sangat shohih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda.
“Artinya : Hari haji akbar adalah hari nahr (menyembelih kurban)”
Demikian pula yang dikatakan oleh Abu Hurairah dan sejumlah shahabat
radhiyallahu ‘anhum [Lihat Zadul Ma’ad Ibnul Qayyim 1/55-56]
GANTI NAMA USAI HAJI
Soal : Apakah hukumnya mengganti nama setelah pulang haji, seperti yang
banyak dilakukan mayoritas jama’ah haji Indonesia, di mana mereka
mengganti nama di Makkah atau Madinah, apakah ini termasuk sunnah
ataukah tidak?
Jawab : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengganti nama-nama
yang buruk dengan nama-nama yang bagus. Maka apabila jama’ah haji
Indonesia tersebut mengganti nama mereka lantaran tersebut, bukan
disebabkan usai melakukan ibadah haji atau karena berziarah ke Masjid
Nabawi, maka hukumnya boleh. Namun apabila jama’ah haji Indonesia
mengganti nama mereka lantaran alasan pernah di Makkah/Madinah atau usai
melakukan ibadah haji, maka hal itu termasuk perkara bid’ah, bukan
sunnah. [Fatawa Lajnah Daimah 2/514-515]
AIR ZAM-ZAM
Al-Humaidi rahimahullah berkata : Saya pernah berada di sisi Sufyan bin
Uyainah rahimahullah, lalu beliau menyampaikan kepada kami hadits.
“Artinya : Air zam-zam tergantung keinginan seorang yang meminumnya”
Tiba-tiba ada seorang lelaki bangkit dari majelis, kemudian kembali lagi
seraya mengatakan : “Wahai Abu Muhammad, bukankah hadits yang engkau
ceritakan kepada kami tadi tentang zam-zam adalah hadits yang shahih?”
Jawab beliau : “Benar”, Lelaki itu lalu berkata : “Baru saja aku meminum
seember air zam-zam dengan harapan engkau akan menyampaikan kepadaku
seratus hadits”. Akhirnya Sufyan rahimahullah berkata kepadanya :
“Duduklah!”, Lelaki itupun duduk, dan Sufyan rahimahullah menyampaikan
seratus hadits kepadanya. [Al-Mujalasah Abu Bakar Ad-Dinawari 2/343, Juz
Ma’a Zam-Zam Ibnu Hajar hal. 271]
Semoga Allah merahmati Imam Sufyan bin Uyainah, alangkah semangatnya
dalam menebarkan ilmu! Dan semoga Allah merahmati orang yang bertanya
tersebut, alangkah semangatnya dalam menuntut ilmu dan sindiran lembut
untuk mendapatkannya! [Fadhlu Ma’a Zam-Zam Sayyid Bakdasy hal. 137]
ASAL HAJAR ASWAD
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata : Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Hajar aswad (ketika) turun dari surga
lebih putih dari pada salju, lalu dosa-dosa anak Adam membuatnya hitam”
[Shahih HR Tirmidzi : 877, Ibnu Khuzaimah : 1/271, Ath-Thabrani dalam
Mu’jam Kabir 3/155, Ahmad 1/307, 329, 373. Lihat Silsilah Ash-Shahihah
Al-Albani : 2618]
Kita beriman dengan hadits ini secara tekstual dan pasrah sepenuhnya,
sekalipun orang-orang ahli filsafat mengingkarinya. [Lihat Ta’wil
Mukhtalif Hadits Ibnu Qutaibah hal.542]
Sulaiman bin Khalil rahimahullah (imam dan khatib Masjidil Haram dahulu)
menceritakan bahwa dirinya melihat tiga bintik berwarna putih jernih
pada Hajar Aswad, lalu katanya : “Saya perhatikan bintik-bintik tadi,
ternyata setiap hari berkurang warnanya” [Al-Aqdu Tsamin Al-Fasi
Al-Makki 1/68, Asror wa Fadha’il Hajar Aswad Majdi Futhi Sayyid hal. 22]
Sungguh dalam hal itu terdapat pelajaran berharga bagi orang yang
berakal, sebab jika demikian jadinya bekas dosa pada batu yang keras,
maka bagaimana kiranya pada hati manusia?! [Fathul Bari Ibnu Hajar
3/463]
JEDDAH TERMASUK MIQOT?
Ada sebagian kalangan yang mencuatkan pendapat bahwa kota Jeddah boleh
dijadikan sebagai salah satu miqot untuk jama’ah haji yang datang lewat
pesawat udara atau kapal laut. Namun pendapat ini disanggah secara keras
oleh Ha’iah Kibar Ulama dalam keputusan rapat mereka no. 5730, tanggal
21/10/1399 sebagai berikut.
Pertama : Fatwa tentang bolehnya menjadikan Jeddah sebagai miqot bagi
jama’ah haji yang datang dengan pesawat udara dan kapal laut merupakan
fatwa yang batil, karena tidak bersandar pada Kitabullah dan sunnah
Rasul-Nya serta ijma’ salafush shalih. Tidak ada satupun ulama kaum
muslimin sebelumnya yang mendahului pendapat ini.
Kedua : Tidak boleh bagi jama’ah haji yang melewati miqot, baik lewat
udara maupun laut (miqot Indonesia adalah Yalamlam, pent) untuk
melampauinya tanpa ihram sebagaimana ditegaskan dalam banyak dalil dan
dilandaskan oleh para ulama” [Fiqh Nawazil Al-Jizani 2/317, Tisir Alam
Al-Bassam 1/572-573]
NAMA MIQOT MADINAH
Miqot penduduk Madinah atau jama’ah haji yang lewat Madinah adalah
Dzul-Hulaifah [1] sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits. Adapun
penamannya dengan “Bir Ali” sebagaimana yang populer di masyarakat maka
hendaknya diganti. Sebab sebagaimana lafazh yang tertera dalam hadits
itu lebih utama, apalagi kalau kita telusuri ternyata sumber penamaan
Bir Ali (sumur Ali) adalah cerita yang laris manis di kalangan Rafidhah
(Syi’ah) bahwa Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu pernah bertarung
dengan jin di sumur tersebut, shingga karena itulah disebut Bir Ali.
Para ulama ahli hadits telah bersepakat menegaskan batilnya cerita
tersebut, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam
Minhajus Sunnah 8/161, Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah 2/344,
Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah 1/498, Mula Ali Al-Qari dalam Al-Maslak
Al-Mutaqossith hal. 79, dan lainnya. [Qashashun La Tatsbutu Masyhur
Hasan Salman 7/95-119]
DZIKIR KETIKA THAWAF
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Disunnahkan ketika
thawaf untuk berdzikir dan berdo’a dengan do’a-do’a yang disyariatkan.
Kalau mau membaca Al-Qur’an dengan lirih maka hal itu boleh. Dan tidak
ada do’a tertentu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dari
perintahnya, ucapannya, maupun pengajarannya, bahkan boleh berdo’a
dengan umumnya do’a-do’a yang disyari’atkan. Adapun yang disebutkan
kebanyakan manusia tentng do’a khusus di bawah mizab (talang Ka’bah) dan
selainnya [2] semua itu tidak ada asalnya” [Majmu Fatawa 26/122]
PROBLEM ORANG YANG BOTAK
Telah dimaklumi, dalam haji ada syarat cukur/memendekkan rambut. Namun
bagaimana dengan seorang yang botak dan tidak memiliki rambut untuk
dicukur? Sebagian fuqaha mengatakan. Hendaknya dia tetap melewatkan alat
cukur di kepalanya. Namun pendapat yang benar ialah hal ini dibenci,
syari’at bersih darinya, (perbuatan itu) sia-sia dan tiada faedahnya,
sebab melewatkan alat cukur hanyalah sekedar sebagai wasilah (perantara)
saja bukan tujuan utama. Kalau tujuan utamanya gugur, maka wasilah
tidak bermakna lagi. Persis dengan masalah ini adalah seorang yang lahir
sedangkan dzakarnya sudah terkhitan, perlukah dikhitan lagi? Ataukah
melewatkan pisau padanya? Pendapat yang benar adalah tidak perlu. [Lihat
Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud Ibnul Qayyim hal. 330]
TITIP SALAM UNTUK NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Budaya titip atau kirim salam untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada para jama’ah haji merupakan budaya yang perlu ditinggalkan dan
diingatkan, sebab hal itu tidak boleh dan termasuk kategori perkara baru
dalam agama. Alhamdulillah, termasuk keluasan rahmat Allah kepada kita,
Dia menjadikan salam kita untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sampai kepada beliau di manapun kita berada, baik di ujung timur maupun
barat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Jangalah kalian jadikan kuburku sebagai perayaan, dan (jangan
jadikan) rumah-rumah kalian sebagai kuburan, bershalawtlah kepadaku
karena sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku di manapun kalian
berada”.
Hadits-hadits yang semakna dengannya banyak sekali. [Lihat Al-Mustadrak
‘Ala Mu’jam Manahi Lafzhiyyah Sulaiman Al-Khurosi hal. 231-232]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
__________
Foote Note
[1]. Nama sebuah desa besar di jalan Madinah dahulu (lihat Mu’jam Buldan
2/111). Di sana ada sebuah masjid yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika berangkat haji, beliau shalat dan ber-ihram di sana.
Jaraknya dari Madinah kurang lebih 3 mil, dijangkau dengan mobil sekitar
seperempat jam [Lihat Al-Haj Al-Mabrur Abu Bakar Al-Jaza’iri hal. 32]
[2]. Seperti do’a/dzikir tertentu untuk setiap putaran thawaf dan sa’i,
maka ini juga tidak ada asalnya. [Lihat At-Tahqiq wal Idhah Abdul Aziz
bin Baz hal. 29, Manasik Haji wal Umrah Ibnu Utsaimin hal.119, Syarh
Manasik Haji wal Umrah Sholih Al-fauzan hal.75, Tashih Du’a Bakar Abu
Zaid hal.520]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar