HUKUM UMRAH BERULANG-ULANG KETIKA BERADA DI MEKKAH. https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum keluar dari
Mekkah ke selain tanah suci untuk melaksanakan umrah pada bulan Ramadhan
dan di waktu lainnya (misalnya pada waktu ibadah haji, -peny) ?
Jawaban
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan, bahwa ulama salaf
sepakat tentang makruhnya mengulang-ulang umrah dan memperbanyaknya.
Baik pendapat ini diterima atau tidak diterima, maka keluarnya seseorang
dari daerahnya untuk umrah, lalu keluarnya dari Mekkah ke selain tanah
haram (Tan’im dan tempat miqat lain) untuk melaksanakan umrah kedua,
ketiga pada bulan Ramadhan dan di waktu yang lainnya, adalah termasuk
perbuatan bid’ah yang tidak dikenal pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Sebab pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya dikenal satu
masalah yaitu masalah khusus bagi Aisyah Radhiyallahu ‘anha ketika ihram
haji tamattu’ lalu haidh. Ketika Nabi Shallallahu menemuinya, maka
didapatkannya dia menangis dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menanyakan sebab dia menangis, lalu Aisyah memberitahukannya kepada Nabi
bahwa dia haid. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menenangkan
kepadanya bahwa haidh adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah kepada
anak-anak perempuan Bani Adam.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya
untuk ihram haji. Maka Aisyah ihram haji dan menjadi haji qiran. Tetapi
ketika Aisyah selesai melaksanakan haji, dia mendesak Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk dizinkan umrah sendiri. Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya dan memerintahkan
saudaranya, Abdurrahman bin Abu Bakar, semoga Allah meridhoi keduanya,
agar menyertainya ke Tan’im. Maka Abdurrahman keluar bersama Aisyah ke
Tan’im dan Aisyah Umrah.
Seandainya hal ini termasuk sesuatu yang disyariatkan dalam bentuk
kemutlakan, niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan para
shahabat, bahkan akan menganjurkan Abdurrahman bin Abu Bakar yang keluar
bersama saudarinya untuk melaksanakan umrah karena akan mendapatkan
pahala. Dan telah maklum dari semua itu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mukim di Mekkah pada tahun pembebasan kota Mekkah
selama sembilan belas hari, tapi beliau tidak melaksanakan umrah padahal
demikian itu mudah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ini menunjukkan bahwa orang yang umrah pada bulan Ramadhan atau di waktu
yang lainnya maka dia tidak mengulang-ulang umrah dengan keluar dari
Mekkah ke tempat yang bukan tanah suci (miqat). Sebab demikian ini tidak
sesuai sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga tidak sesuai
dengan sunnah Khulafa’ur Rasyidin bahkan tidak semua shahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian juga banyak di antara menusia yang mengatakan bahwa
kedatangannya untuk umrah pada bulan Ramadhan adalah diperuntukkan
ibunya atau kedua orang tuanya, atau yang seperti itu. Maka kami
mengatakan, bahwa menghadiahkan ibadah kepada orang-orang yang meninggal
tidak disyariatkan dalam Islam. Artinya, seseorang tidak dituntut untuk
mengerjakan ibadah untuk ibu atau bapak atau saudara perempuannya. Tapi
jika melakukan hal tersebut diperbolehkan. Sebab Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengizinkan kepada Sa’ad bin Ubadah Radhiyallahu ‘anhu
menyedekahkan kebun kurmanya untuk ibunya yang telah meninggal. Dan
ketika seseorang minta izin kepada Nabi seraya berkata : “Wahai
Rasulullah, ibu saya meninggal mendadak dan saya kira kalau dia sempat
berbicara niscaya dia akan bersedekah. Apakah saya boleh bersedekah
untuk dia?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ya”. Meskipun
demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda kepada para
shahabatnya secara umum : “Bersedekahlah kalian untuk orang-orang yang
meninggal atau untuk bapak-bapak kalian atau untuk ibu-ibu kalian!”.
Karena itu bagi para pencari ilmu dan yang lainnya wajib mengetahui
perbedaan antara sesuatu yang disyari’atkan (masyru’) dan sesuatu yang
diperbolehkan (jaiz). Di mana sesuatu yang disyariatkan itu berarti
bahwa setiap Muslim dituntut melakukannya. Sedangkan sesuatu yang
diperbolehkan adalah sesuatu yang setiap muslim tidak dituntut untuk
melakukannya. Untuk lebih jelasnya saya akan mengemukakan contoh kisah
seseorang yang diutus Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ekspedisi
di mana dia menjadi imam shahabat-shahabatnya. Setiap dia shalat dengan
mereka selalu mengakhiri bacaanya dengan qul huwallahu ahad (surat
al-Ikhlas). Maka ketika kembali mereka memberitahukan hal tersebut
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : “Tanyakanlah kepadanya, mengapa dia selalu
melakukan hal itu?” Ketika ditanya, ia menjawab : “Sesungguhnya dalam
surat al-Ikhlas terdapat sifat Yang Mahapengasih, dan saya senang
(mencintai) membacanya”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
: “Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah mencintai dia!”.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Meski demikian, di antara sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengakhiri bacaan
dalam shalatnya dengan surat al-Ikhlas dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak mengarahkan umatnya kepada hal tersebut. Disitulah terlihat
perbedaan antara sesuatu yang diizinkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan yang disyariatkan yang setiap manusia dituntut melakukannya.
Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan Sa’ad bin Ubadah
menyedekahkan kebunnya untuk ibunya yang telah meninggal dan mengizinkan
penannya yang ibunya meninggal mendadak bersedekah untuk ibunya, maka
demikian itu tidak berarti disyariatkan untuk setiap manusia bersedekah
untuk bapak atau ibunya yang meninggal, meskipun jika dia bersedekah
akan berguna bagi orang yang disedekahinya. Sesungguhnya kita
diperintahkan untuk mendo’akan bapak dan ibu kita yang telah meninggal
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Jika anak Adam meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga :
shodaqoh jariyah, ilmu yang manfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya”
[HR Muslim dan lainya]
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar