Pertama
MENSYUKURI NIKMAT ISLAM YANG ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA KARUNIAKAN KEPADA KITA
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَمَن يُرِدِ اللَّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ
وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا
يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ ۚ كَذَٰلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى
الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
“Barangsiapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia
akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa
dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak,
seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah menimpakan
siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” [Al-An’aam: 125]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
مَن شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن
رَّبِّهِ ۚ فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ
أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk
(menerima) agama Islam lalu dia mendapat cahaya dari Rabb-nya (sama
dengan orang yang hatinya membatu)? Maka celakalah mereka yang hatinya
telah membatu untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang
nyata.” [Az-Zumar: 22]
Orang yang tidak mendapat hidayah akan senantiasa berada dalam kegelapan
dan kerugian. Bagaimana jika seandainya seseorang tidak diberi hidayah
oleh Allah Azza wa Jalla? Maka pasti ia menderita dalam kekafirannya,
hidupnya sengsara dan tidak tenteram, serta di akhirat akan disiksa
dengan siksaan yang abadi [1]. Allah Azza wa Jalla menunjuki hamba-Nya
dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang melalui Rasul-Nya
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Untuk itu, kewajiban kita adalah
mengikuti, meneladani dan mentaati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam dalam segala perilaku kehidupan kita, jika kita menginginkan
hidup di bawah cahaya Islam. Allah Azza wa Jalla menyatakan bahwa Dia
Azza wa Jalla telah memberikan karunia yang besar dengan diutusnya Nabi
dan Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا
مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي
ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman
ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka
dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka
ayat-ayat-Nya, mensucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka
Kitab (Al-Qur-an) dan Hikmah (As-Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” [Ali ‘Imran: 164]
Setiap muslim niscaya meyakini bahwasanya karunia Allah Azza wa Jalla
yang terbesar di dunia ini adalah agama Islam. Seorang muslim akan
senantiasa bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah
memberinya petunjuk ke dalam Islam dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah sendiri telah menyatakan Islam
sebagai karunia-Nya yang terbesar yang Dia berikan kepada
hamba-hamba-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku
cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai
agamamu.”[Al-Maa-idah: 3]
A. Kewajiban Kita Atas Karunia yang Kita Terima
Sesungguhnya wajib bagi kita bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla dengan
cara melaksanakan kewajiban terhadap-Nya. Setiap muslim wajib bersyukur
atas nikmat Islam yang telah diberikan Allah Azza wa Jalla kepadanya.
Jika seseorang yang tidak melaksanakan kewajibannya kepada orang lain
yang telah memberikan sesuatu yang sangat berharga baginya, maka ia
adalah orang yang tidak tahu berterima kasih. Demikian juga jika manusia
tidak melaksanakan kewajibannya kepada Allah Azza wa Jalla, maka dia
adalah manusia yang paling tidak tahu berterima kasih.
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” [Al-Baqarah: 152]
Kewajiban apakah yang harus kita laksanakan kepada Allah Azza wa Jalla
yang telah memberikan karunia-Nya kepada kita? Jawabannya, karena Allah
Azza wa Jalla telah memberikan karunia-Nya kepada kita dengan petunjuk
ke dalam Islam, maka bukti terima kasih kita yang paling baik adalah
dengan beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla secara ikhlas,
mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, menjauhkan segala bentuk
kesyirikan, ittiba’ (mengikuti) Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam serta taat kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu
'alaihi wa sallam, yang dengan hal itu kita menjadi muslim yang benar.
Oleh karena itu, agar menjadi seorang muslim yang benar, kita harus
menuntut ilmu syar’i. Kita harus belajar agama Islam karena Islam adalah
ilmu dan amal shalih. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus
oleh Allah Azza wa Jalla dengan membawa keduanya.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
“Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Qur-an) dan
agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun
orang-orang musyrik tidak menyukai.” [At-Taubah: 33]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang
benar, agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah
sebagai saksi.” [Al-Fat-h: 28]
Juga lihat Ash-Shaaff ayat 9.
Yang dimaksud dengan اَلْهُدَى (petunjuk) adalah ilmu yang bermanfaat,
dan دِيْنُ الْحَقِّ (agama yang benar) adalah amal shalih. Allah Azza wa
Jalla mengutus Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk
menjelaskan kebenaran dari kebathilan, menjelaskan Nama-Nama Allah,
Sifat-Sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum dan berita yang
datang dari-Nya, serta memerintahkan semua yang bermanfaat bagi hati,
ruh dan jasad. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk
mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah Azza wa Jalla,
mencintai-Nya, berakhlak dengan akhlak yang mulia, beramal shalih dan
beradab dengan adab yang bermanfaat. Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam melarang perbuatan syirik, amal dan akhlak buruk yang
membahayakan hati dan badan juga dunia dan akhirat.[2]
Cara untuk mendapat hidayah dan mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa
Ta'ala adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Menuntut ilmu merupakan jalan
yang lurus (ash-Shirathal Mustaqim) untuk memahami antara yang haq dan
yang bathil, antara yang ma’ruf dan yang mungkar, antara yang bermanfaat
dan yang mudharat (membahayakan), dan menuntut ilmu akan membawa kepada
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Seorang muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan ke-Islamannya
tanpa memahami dan mengamalkannya. Pernyataannya itu haruslah dibuktikan
dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam.
Untuk itu, menuntut ilmu merupakan jalan menuju kebahagiaan yang abadi.
Seorang muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu syar’i.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” [3]
Menuntut ilmu adalah jalan menuju Surga.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
...مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ.
“...Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu,
maka Allah akan memudahkan dirinya dengannya jalan menuju Surga.” [4]
B. Pentingnya Ilmu Syar’i
Kita dan anak-anak kita akan tetap dan senantiasa ditambahkan ilmu,
hidayah dan istiqamah di atas ketaatan jika kita beserta keluarga
menuntut ilmu syar’i. Hal ini tidak boleh diabaikan dan tidak boleh
dianggap remeh. Kita harus selalu bersikap penuh perhatian, serius serta
sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu syar’i. Kita akan tetap berada di
atas ash-Shiraathal Mustaqiim jika kita selalu belajar ilmu syar’i dan
beramal shalih. Jika kita tidak memperhatikan dua hal penting ini, tidak
mustahil iman dan Islam kita akan terancam bahaya. Sebab, iman kita
akan terus berkurang dikarenakan ketidaktahuan kita tentang Islam dan
iman, kufur, syirik, dan dengan sebab banyaknya dosa dan maksiyat yang
kita lakukan! Bukankah iman kita jauh lebih berharga daripada hidup ini?
Dari sekian banyak waktu yang kita habiskan untuk bekerja, berusaha,
bisnis, berdagang, kuliah dan lainnya, apakah tidak bisa kita sisihkan
sepersepuluhnya untuk hal-hal yang dapat melindungi iman kita?
Saya tidaklah mengatakan bahwa setiap muslim harus menjadi ulama,
membaca kitab-kitab tebal dan menghabiskan waktu belasan atau puluhan
tahun untuk usaha tersebut. Namun, minimal setiap muslim harus dapat
menyediakan waktunya satu jam saja setiap hari untuk mempelajari ilmu
pengetahuan tentang agama Islam. Itulah waktu yang paling sedikit yang
harus disediakan oleh setiap muslim, baik remaja, pemuda, orang dewasa
maupun yang sudah lanjut usia. Setiap muslim harus memahami esensi
ajaran Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih menurut pemahaman para
Salafush Shalih. Oleh karena itu, ia harus tahu tentang agama Islam
dengan dalil dari Al-Qur-an dan As-Sunnah sehingga ia dapat mengamalkan
Islam ini dengan benar. Tidak banyak waktu yang dituntut untuk
memperoleh pengetahuan agama Islam. Jika iman kita lebih berharga dari
segalanya, maka tidak sulit bagi kita untuk menyediakan waktu 1 jam
(enam puluh menit) untuk belajar tentang Islam setiap hari dari waktu 24
jam (seribu empat ratus empat puluh menit).
Ilmu syar’i mempunyai keutamaan yang sangat besar dibandingkan dengan harta yang kita miliki.
C. Kemuliaan Ilmu Atas Harta [5]
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah (wafat th. 751 H) v menjelaskan perbedaan antara ilmu dengan harta, di antaranya sebagai berikut:
1. Ilmu adalah warisan para Nabi, sedang harta adalah warisan para raja dan orang kaya.
2. Ilmu menjaga pemiliknya, sedang pemilik harta menjaga hartanya.
3. Ilmu adalah penguasa atas harta, sedang harta tidak berkuasa atas ilmu.
4. Harta bisa habis dengan sebab dibelanjakan, sedangkan ilmu justru bertambah dengan diajarkan.
5. Pemilik harta jika telah meninggal dunia, ia berpisah dengan
hartanya, sedangkan ilmu mengiringinya masuk ke dalam kubur bersama para
pemiliknya.
6. Harta bisa didapatkan oleh siapa saja, baik orang beriman, kafir,
orang shalih dan orang jahat, sedangkan ilmu yang bermanfaat hanya
didapatkan oleh orang yang beriman saja.
7. Sesungguhnya jiwa menjadi lebih mulia dan bersih dengan mendapatkan
ilmu, itulah kesempurnaan diri dan kemuliaannya. Sedangkan harta tidak
membersihkan dirinya, tidak pula menambahkan sifat kesempurnaan dirinya,
malah jiwanya menjadi berkurang dan kikir dengan mengumpulkan harta dan
menginginkannya. Jadi keinginannya kepada ilmu adalah inti
kesempurnaan-nya dan keinginannya kepada harta adalah ketidak-sempurnaan
dirinya.
8. Sesungguhnya mencintai ilmu dan mencarinya adalah akar seluruh
ketaatan, sedangkan mencintai harta dan dunia adalah akar berbagai
kesalahan.
9. Sesungguhnya orang berilmu mengajak manusia kepada Allah Azza wa
Jalla dengan ilmunya dan akhlaknya, sedangkan orang kaya mengajak
manusia ke Neraka dengan harta dan sikapnya.
10. Sesungguhnya yang dihasilkan dengan kekayaan harta adalah kelezatan
binatang. Jika pemiliknya mencari kelezatan dengan mengumpulkannya,
itulah kelezatan ilusi. Jika pemiliknya mengumpulkan dengan
mengguna-kannya untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya, itulah kelezatan
binatang. Sedangkan kelezatan ilmu, ia adalah kelezatan akal plus ruhani
yang mirip dengan kelezatan para Malaikat dan kegembiraan mereka. Di
antara kedua kelezatan tersebut (kelezatan harta dan ilmu) terdapat
perbedaan yang sangat mencolok.
Seorang muslim harus mengetahui tentang pengertian Islam, karena itu ia
harus belajar tentang Islam, definisi, dan inti dari ajarannya yang
mulia.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
_______
Footnote
[1]. Lihat surat Ali ‘Imran ayat 91 dan al-Maa-idah ayat 36-37.
[2]. Lihat kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiril Kalaamil
Mannaan (hal. 295-296) oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di
(wafat th. 1376 H), cet. Muassasah ar-Risalah, th. 1417 H.
[3]. HR. Ibnu Majah (no. 224) dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu
anhu, lihat Shahiih al-Jamii’ish Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula
dari beberapa Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu
Mas’ud, Abu Sa’id al-Khudri, Husain bin ‘Ali Radhiyallahu anhum oleh
imam-imam ahli hadits lainnya dengan sanad yang shahih. Lihat kitab
Takhriij Musykilatul Faqr (no. 86) oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani, cet. IV/ Al-Maktab al-Islami, th. 1414 H.
[4]. HR. Muslim (no. 2699) dan selainnya, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[5]. Lihat al-‘Ilmu; Fadhluhu wa Syaraafuhu min Durari Kalami Syaikhul
Islam Ibnul Qayyim, hal. 160-173, tahqiq wa ta’liq: Syaikh ‘Ali Hasan
‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halabi al-Atsari, cet. I, Majmu’ah at-Tuhaf
an-Nafa-is ad-Dauliyah, th. 1416 H.
Senin, 19 November 2012
Kategori Kitab : As-Sunnah Khatimah
KHATIMAH
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
Sebagai akhir bahasan masalah ini, alangkah baiknya kita saling ingat dan mengingatkan, bahwa:
1. Wajib bagi setiap muslim mengimani semua hadits yang sudah shahih yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik dalam masalah ‘aqidah maupun ahkam, baik yang mutawatir maupun hadits ahad. Semua wajib kita imani dan kita terima dengan sepenuh hati.
2. Bahwa hak tasyri’ (membuat syari’at) hanyalah milik Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, dan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang akan menjelaskannya. Sedangkan bila yang ditetapkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallaam tidak terdapat dalam Al-Qur-an berarti beliau telah diizinkan Allah untuk menetapkan sya-ri’at itu. Dan bagi seorang mukmin bila diseru untuk berhukum dengan hukum Allah dan Rasul-Nya tiada pilihan lain baginya kecuali wajib taat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar, dan kami patuh.’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. [An-Nuur: 51]
3. Kita harus menjadi orang-orang yang senantiasa mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para Shahabat Ridwanullah 'alaihim ajma'in, Tabi'in, dan Tabi’ut Tabi'in. Karena tidak ada yang pantas untuk dijadikan contoh, panutan, dan teladan, melainkan terpatri pada sosok pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
4. Kita tidak diperkenankan mengikuti tokoh-tokoh yang dianggap sebagai orang terkenal, yang dalam ‘aqidah dan amal mereka menyimpang dari apa yang sudah digariskan Allah dan Rasul-Nya. Bahkan sudah semestinya kita menjauhi tokoh-tokoh filsafat yang telah banyak merusak ajaran Islam.
5. Pemahaman, pengamalan, dan dakwah yang bersumber dari Al-Qur-an dan As-Sunnah haruslah sebagaimana yang difahami, diamalkan, dan didakwahkan oleh Rasulullah Shallallahuu 'alaihi wa sallam, dan para Shahabatnya, tidak boleh ada seorang pun yang menyalahi aturan dalam perkara ini.
Akhirul kalam, penulis berharap kepada Allah agar kiranya tulisan ini bermanfaat untuk kita semua dan menjadi suatu amalan yang ikhlas dengan mengharap keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang senantiasa berpegang kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah dengan pemahaman para Shahabat g dan berusaha mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan jadikanlah kami istiqamah di atas Sunnah.
Wallaahu a’lam bish Shawaab.
سُبْحَانَكَ اَللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
Sebagai akhir bahasan masalah ini, alangkah baiknya kita saling ingat dan mengingatkan, bahwa:
1. Wajib bagi setiap muslim mengimani semua hadits yang sudah shahih yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik dalam masalah ‘aqidah maupun ahkam, baik yang mutawatir maupun hadits ahad. Semua wajib kita imani dan kita terima dengan sepenuh hati.
2. Bahwa hak tasyri’ (membuat syari’at) hanyalah milik Allah Subhanahu wa Ta'ala semata, dan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang akan menjelaskannya. Sedangkan bila yang ditetapkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallaam tidak terdapat dalam Al-Qur-an berarti beliau telah diizinkan Allah untuk menetapkan sya-ri’at itu. Dan bagi seorang mukmin bila diseru untuk berhukum dengan hukum Allah dan Rasul-Nya tiada pilihan lain baginya kecuali wajib taat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar, dan kami patuh.’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. [An-Nuur: 51]
3. Kita harus menjadi orang-orang yang senantiasa mengikuti jejak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para Shahabat Ridwanullah 'alaihim ajma'in, Tabi'in, dan Tabi’ut Tabi'in. Karena tidak ada yang pantas untuk dijadikan contoh, panutan, dan teladan, melainkan terpatri pada sosok pribadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
4. Kita tidak diperkenankan mengikuti tokoh-tokoh yang dianggap sebagai orang terkenal, yang dalam ‘aqidah dan amal mereka menyimpang dari apa yang sudah digariskan Allah dan Rasul-Nya. Bahkan sudah semestinya kita menjauhi tokoh-tokoh filsafat yang telah banyak merusak ajaran Islam.
5. Pemahaman, pengamalan, dan dakwah yang bersumber dari Al-Qur-an dan As-Sunnah haruslah sebagaimana yang difahami, diamalkan, dan didakwahkan oleh Rasulullah Shallallahuu 'alaihi wa sallam, dan para Shahabatnya, tidak boleh ada seorang pun yang menyalahi aturan dalam perkara ini.
Akhirul kalam, penulis berharap kepada Allah agar kiranya tulisan ini bermanfaat untuk kita semua dan menjadi suatu amalan yang ikhlas dengan mengharap keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala semata. Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang senantiasa berpegang kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah dengan pemahaman para Shahabat g dan berusaha mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan jadikanlah kami istiqamah di atas Sunnah.
Wallaahu a’lam bish Shawaab.
سُبْحَانَكَ اَللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
Kategori Kitab : As-Sunnah Dalil-Dalil Tentang Wajibnya Berhujjah Dengan Hadits Ahad Dalam Bidang Aqidah
DALIL-DALIL TENTANG WAJIBNYA BERHUJJAH DENGAN HADITS AHAD DALAM BIDANG ‘AQIDAH
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
A. Dalil Pertama
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” [At-Taubah: 122]
Di dalam ayat ini Allah menganjurkan kaum mukminin agar mereka memperdalam agama tafaqquh fiddin kepada apa yang dibawa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak diragukan lagi bahwa yang dipelajari oleh mereka bukan hanya yang berkaitan dengan furu' dan ahkam saja, bahkan seorang guru dan murid sudah semestinya memulai pelajaran dari hal-hal yang lebih penting dari yang penting, dan satu hal yang tidak bisa disangkal dan sudah merupakan aksioma bahwa ‘aqidah lebih penting dari ahkam. Oleh karena itu, Allah Ta’ala menganjurkan satu tha-ifah untuk memperdalam ‘aqidah dan ahkam, agar kelak mereka dapat memperingatkan kaumnya sekembali me-reka dari memperdalam pengetahuan agama, baik ‘aqidah maupun ahkam.
Istilah tha-ifah menurut bahasa digunakan untuk satu orang atau lebih. Seandainya hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam hal ‘aqidah, tentu Allah tidak menganjurkan kepada mereka untuk menyampaikan da'wah. Allah memberikan alasan dengan da'wah itu agar mereka berhati-hati.
Ayat di atas merupakan nash bahwa khabar ahad dapat dijadikan hujjah di dalam mendakwahkan masalah ‘aqidah dan ahkam. [1]
B. Dalil Kedua
Allah Sub berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” [Al-Israa': 36]
Kata walaa taqfu, artinya jangan kamu ikut dan jangan pula kamu mengamalkannya. Yang sudah dimaklumi bahwa kaum muslimin sejak masa Shahabat, mereka mengikuti khabar ahad dan mengamalkannya. Dengan khabar ahad itu mereka tetapkan masalah-masalah ghaib dan hakekat i'tiqadiyah, misalnya tentang awal diciptakannya makhluk dan tentang tanda-tanda hari Kiamat, bahkan mereka juga menetapkan sifat-sifat Allah dengan khabar ahad. Seandainya khabar ahad tidak memberikan faedah ilmu dan tidak dapat untuk menentukan masalah ‘aqidah, maka kalau demikian para Shahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in, dan para imam semuanya mengikuti sesuatu yang mereka tidak mempunyai ilmu padanya? Perkataan atau pendapat seperti ini tidak mungkin akan diucapkan oleh seorang yang mengaku dirinya sebagai muslim. [2]
C. Dalil Ketiga
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [Al-Hujurat: 6]
Ayat ini menunjukkan jika ada seorang yang adil membawa kabar, maka terima dan jadikanlah hujjah tanpa perlu diselidiki lagi.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan dengan pasti tentang harusnya diterima khabar ahad, dan tidak perlu lagi diselidiki. Seandainya khabar itu tidak memberikan faedah ilmu, niscaya akan diperintahkan untuk diselidiki hingga didapat faedah ilmu. Hal ini menunjukkan diterimanya khabar ahad ialah apa yang dilakukan oleh para Salafush Shalih dan para imam, bahwa mereka akan senantiasa berkata, “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam begini, beliau telah melakukan ini, memerintahkan, dan melarang begini dan begitu”. Dan juga kebanyakan dari Shahabat di dalam meriwayatkan hadits seorang dari mereka berkata, “Telah bersabda Rasulullah”, meski ia pun mendengar dari Shahabat yang lain. Ini merupakan persaksian dari orang yang meriwayatkan, dan merupakan satu kepastian tentang apa-apa yang mereka nisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik ucapan maupun perbuatan. Seandainya khabar ahad tidak memberikan faedah ilmu, niscaya ia menjadi saksi atas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa ilmu.” [3]
D. Dalil Keempat
Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya menunjukkan tentang wajibnya menerima hadits ahad sebagai hujjah. Sunnah Nabi Shallallahu 'laihi wa sallam ini telah dilaksanakan oleh para Shahabat pada masa hidup beliau ataupun sesudah wafatnya. Dan ini menunjukkan satu dalil yang qath’i tentang tidak adanya perbedaan antara hadits ahad dalam bidang ‘aqidah maupun bidang ahkam.
Dalil-dalil amalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal ini sebagai berikut:
1. Dari Malik bin Huwairits Radhiyallahu anhu, ia bercerita, “Kami mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika kami tinggal di sisi beliau sekitar dua puluh hari, dan Rasulullah adalah seorang yang penuh kasih sayang dan mengerti perasaan orang. Maka ketika kami telah rindu kepada keluarga kami, beliau bertanya tentang siapa yang kami tinggalkan di rumah? Kami pun memberitahukan kapada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِرْجِعُوْا إِلَى أَهْلِيْكُمْ فَأَقِيْمُوْا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوْاهُمْ وَمُرُوْهُمْ وَصَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي.
“Pulanglah kalian kepada keluarga kalian masing-masing, dan tinggallah kalian di tengah keluarga kalian, dan ajarilah mereka untuk mengamalkannya, dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” [4]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh masing-masing mereka untuk mengajarkan keluarganya, dan pengajaran itu mencakup ‘aqidah dan ahkam, bahkan ‘aqidah adalah masalah yang pokok dalam ajaran agama. Sekiranya khabar ahad tidak dapat dipakai sebagai hujjah, maka perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak ada artinya sama sekali. Jadi khabar ahad wajib dipakai dalam penyampaian ajaran Islam di segala bidang.
2. Dari Anas bin Malik: “Bahwasanya penduduk Yaman datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, utuslah bersama kami seorang yang akan mengajari kami As-Sunnah dan Islam.’” Kata Anas, “Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memegang tangan Abu Ubaidah, seraya berkata:
هَذَا أَمِيْنُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ.
“Ini adalah orang yang terpercaya bagi ummat ini.” [5]
Di dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempercayakan penyampaian ajaran Islam kepada seorang Shahabat. Sekiranya khabar ahad tidak bisa dijadikan hujjah niscaya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengutus Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah. Lagi pula ada beberapa hadits shahih yang mengisahkan beberapa Shahabat yang diutus oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ke beberapa negeri untuk mengajarkan Islam yang mencakup ‘aqidah dan ahkam, seperti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus ‘Ali bin Abi Thalib, Mu'adz bin Jabal, Abu Musa al-Asy’ariy, dan lain-lainnya.
3. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma: “Ketika orang-orang sedang shalat Shubuh di Quba, tiba-tiba datang seorang yang berkata, 'Sesungguhnya tadi malam telah turun ayat Al-Qur-an kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau diperintahkan untuk menghadap Kiblat (ke Makkah) dalam shalat, maka hendaklah kalian sekarang menghadap Kiblat', ketika itu mereka shalat menghadap ke Syam. Maka (setelah mendengar perintah itu) mereka pun berputar menghadap ke Ka'bah.” [6]
Ini juga nash yang tegas, bahkan para Shahabat menerima khabar ahad untuk menghapus perintah menghadap ke Baitul Maqdis, dan kemudian mereka menghadap Ka'bah.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkari mereka, bahkan mereka bersyukur atas kejadian yang demikian itu.”
Ahli Quba' adalah golongan Anshar yang selalu paling dulu mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka shalat menghadap ke Syam, karena memang diperintahkan demikian oleh Allah. Mereka tidak akan meninggalkan ketetapan Allah kecuali berdasarkan hujjah yang kokoh, sekalipun belum bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai pemindahan arah Kiblat itu. Mereka pindah arah Kiblat atas dasar khabar ahad, karena pembawa kabar tersebut menurut pandangan mereka termasuk orang-orang adil dan terpercaya.
Mereka meninggalkan kiblat dari menghadap ke Baitul Maqdis beralih menghadap ke Ka'bah sesuai dengan khabar ahad. Mereka tidak akan melakukannya dengan sembarangan melainkan dengan kabar yang dapat menjadikan hujjah secara mantap tentang masalah tersebut, yang berasal dari orang terpercaya. Karena tidak mungkin mereka berpindah arah Kiblat melainkan mereka yakin bahwa khabar ahad dapat dijadikan hujjah.
4. Sa’id bin Jubair meriwayatkan sebagai berikut: “Saya pernah berkata kepada Ibnu ‘Abbas bahwa al-Bikali menganggap Musa yang disebut sebagai Shahabat Khidir itu bukan Musa Bani Israil. Ibnu ‘Abbas menjawab, 'Telah berdusta musuh Allah itu.' Juga telah mengabarkan kepadaku Ubay bin Ka'ab, ia berkata, 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berkhutbah di hadapan kami, kemudian beliau mengungkapkan riwayat tentang Musa dan Khidir. Riwayat ini jelas menunjukkan bahwa Musa Bani Israil itulah yang merupakan Shahabat Khidir.”
Kata Imam asy-Syafi’i, “Ibnu ‘Abbas yang dikenal sebagai orang faqih dan taat serta berhati-hati dalam melaksanakan agama, memastikan khabar ahad Ubay bin Ka’ab itu benar-benar berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan dengan dalil itu Ibnu ‘Abbas berani mendustakan Nauf al-Bikali tatkala ia mengisahkan kabar Ubay bin Ka'ab yang ia terima dari Rasulullah, bahwa Musa Bani Israil itu Shahabat Khidir.”
Perkataan Imam asy-Syafi'i ini menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan antara ‘aqidah dan ahkam di dalam menggunakan hadits ahad sebagai hujjah. [7]
E. Keterangan Para Ulama Tentang Masalah Hadits Ahad
Para ulama Ahli Sunnah wal Jama'ah selalu mengingatkan ummat Islam agar mereka yakin bahwa hadits atau khabar ahad merupakan hujjah dalam soal ‘aqidah dan ahkam. Berikut keterangan para ulama tentang masalah hadits ahad. Penulis akan memulai dari keterangan Imam asy-Syafi'i, karena beliaulah yang pertama kali membahas tentang hadits ahad dengan panjang lebar dalam kitabnya ar-Risalah dengan judul Dalil-Dalil Tentang Penggunaan Hadits Ahad sebagai Hujjah mulai dari halaman 401 sampai 453, setelah itu dilanjutkan lagi sampai halaman 460, dan kitab ini ditahqiq oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahullah.
Dalil-dalil yang dibawakan Imam asy-Syafi'i adalah dalil-dalil mutlak yang mencakup tentang ‘aqidah dan ahkam. Bahasan itu beliau tutup dengan perkataan: “Dalam menetapkan khabar ahad sebagai hujjah dicukupkan dengan hadits-hadits yang disebutkan di atas, sekalipun masih banyak yang lainnya. Demikianlah membentang jalan yang tiada putus-putusnya sejak zaman ulama Salaf (para Shahabat, Tabi’in, dan Tabi'ut Tabi'in) yang kemudian dilanjutkan oleh generasi sesudah mereka sehingga sampailah pada apa yang kita saksikan sekarang ini. Dan begitu pula diceritakan kepada kita oleh ulama sebelum kita, yang mereka menerimanya dari ulama dari berbagai negeri.” Selanjutnya beliau berkata, “Patut pula ditambahkan bahwa tidak kudapati seorang pun dari fuqaha kaum muslimin yang ikhtilaf dalam menetapkan khabar ahad sebagai hujjah.”
Dengan perkataan lain, semua ulama Islam dari dahulu sampai sekarang mengakui predikat khabar ahad sebagai hujjah yang mencakup berbagai kebutuhan. Sebagaimana Imam asy-Syafi’i telah menampakkan penjelasan dengan dalil-dalil yang gamblang dan tegas dari Al-Qur-an, As-Sunnah, perilaku Shahabat, Tabi'in, Ta-bi'ut Tabi'in, dan para ulama tentang keharusan menerima khabar ahad serta menggunakannya sebagai hujjah.
Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan: “Sekelompok dari ahli ilmu Kalam (yakni kaum Mu'tazilah) beranggapan bahwa masalah ‘aqidah haruslah dengan dalil qath’i dan tidak diterima dalil dalam masalah ini kecuali dalil qath’i. Bahkan mereka menganggap wajib yang demikian ini dalam pembahasan ‘aqidah guna meyakini segala masalah dalam bidang ini.”
Pernyataan dan keyakinan ahli kalam seperti ini jelaslah salah dan menyimpang dari Al-Qur-an dan As-Sunnah serta ijma’ Salafush Shalih dan para Imam Muj-tahidin. Karena pada kenyataannya para ahli ilmu kalam tersebut adalah orang yang tidak konsekuen dengan ketetapan mereka sendiri. Di mana dalam pembahasan ‘aqidah mereka berdalil dengan teori-teori filsafat yang rancu, yang nilainya itu jauh lebih rendah di bawah kedudukan dalil zhanni yang mereka tolak.”
Cara berfikir ahlu bid’ah dari kalangan ahli ilmu Kalam adalah terbalik, mereka terima perkataan para filosof tanpa mempermasalahkan qath’i dan zhanni, tapi bila datang Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang sudah sah, mereka menolaknya dan hanya mau menerima yang qath’i saja. Cara berfikir seperti ini adalah sangat terbalik menurut pandangan syari’at Islam.
Selanjutnya beliau rahimahullah berkata, “...Dan kabar ahad yang diriwayatkan oleh seorang Shahabat atau dua orang (yakni khabar ahad) apabila sudah dapat diterima dan dibenarkan, maka kabar itu memberi faedah ilmu menurut jumhur ulama, dan sebagian orang ada yang menamakan (khabar ahad) itu adalah kabar mustatidh. Dan sahnya ilmu di sini ialah hasil ijma' ulama, sedangkan ummat ini tidak akan ijma’ dalam kesalahan. Karena itu hasil dari hampir seluruh isi Shahih al-Bukhari - Muslim disepakati keshahihannya oleh Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, Hanabilah dan Asyaa’irah. Dan hanya kelompok ahli ilmu Kalam yang menyalahi dalam masalah ini sebagaimana yang sudah diuraikan tadi.” [8]
Al-‘Allamah Ibnu ‘Abdil ‘Izzi al-Hanafi rahimahullah menyatakan: “Hadits ahad walaupun mempunyai kemungkinan benar dan salah, akan tetapi untuk diterimanya suatu kabar tentulah melalui proses penyeleksian yang teliti yang hanya dapat dilakukan oleh para ahli yang telah meluangkan waktunya untuk meneliti hadits dan membahas biografi para rawi tentang kehidupan mereka serta perkataan mereka (dengan sangat hati-hati sekali), dan mereka tidak mungkin berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam walau satu kalimat, dengan diancam bunuh sekalipun. Penelitian yang dilakukan tersebut tidak dilakukan oleh seorang saja, bahkan banyak dilakukan oleh banyak ahli dalam bidang ini, sehingga sedikit sekali kesalahan yang dilakukan oleh para peneliti...” [9]
Para ulama Ahlus Sunnah bila mendapatkan nash yang shahih, maka mereka tidak akan berpaling dan tidak akan meninggalkan nash itu karena bertentangan dengan akal atau karena ada pendapat si fulan atau yang lainnya. Begitulah semestinya kita bersikap terhadap nash yang sampai kepada kita, karena nash tersebut telah diteliti dengan cermat oleh para pakar hadits sejak dahulu sampai hari ini. Menurut jumhur ulama khabar ahad wajib diterima dan sangat berfaedah untuk memperkuat ‘aqidah kita.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah telah membahas masalah ini dengan luas sekali dalam kitabnya Mukhtashar ash-Shawaa-iq al-Mursalah, dan di samping itu ia juga membahas tentang wajibnya mengikuti As-Sunnah dalam kitabnya I'laamul Muwaqqi'in 'an Rabbil 'Alamin. Perkataan Ibnul Qayyim sudah dijelaskan di muka dan pada dalil ketiga tentang wajibnya berhujjah dengan hadits ahad.
Sebenarnya masih banyak pendapat para ulama terdahulu tentang keharusan menggunakan hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah ‘aqidah, seperti Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Ihkaam fil Ushuulil Ahkaam oleh al-Amidi, dan kitab-kitab lainnya. Tetapi pendapat-pendapat para ulama di atas telah cukup mewakili, dan banyak kita dengar pula pendapat ulama mu’ashir (zaman sekarang) yang banyak menghabiskan waktunya untuk mentakhrij hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau dikenal sebagai muhaddits (ahli Hadits) abad ini, itulah ia Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata, “Pendapat yang mengatakan tidak boleh berpegang dengan hadits ahad dalam masalah ‘aqidah adalah suatu pendapat atau perbuatan yang diada-adakan (atas nama agama). Singkatnya, dalil-dalil Al-Qur-an, As-Sunnah, amalan para Shahabat, dan pendapat para ulama menunjukkan dengan pasti bahwa kita wajib menggunakan hadits ahad sebagai hujjah dalam permasalahan syari'at, baik dalam bentuk ‘aqidah maupun ahkam. Dan orang yang memilah-milah antara ‘aqidah dan ahkam di dalam berhujjah dengan hadits ahad adalah suatu perbuatan bid'ah yang tidak dikenal oleh para ulama Salaf.
Dalam kitabnya yang lain, beliau berkata, “Secara praktek sangat sulit membedakan antara ‘aqidah dan ahkam, karena ‘aqidah harus diiringi dengan amal, dan amal harus disertai keyakinan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mengutus para Shahabat, seperti Mush’ab ke Madinah, Mu'adz ke Yaman, dan yang lainnya, beliau memerin-tahkan agar mereka menyampaikan masalah ‘aqidah dan amal. Amal tidak terbatas pada anggota tubuh saja, bahkan amal hati termasuk pokok bagi amal anggota tubuh, karena amal anggota tubuh selalu mengikuti amal hati. Setiap masalah harus disertai iman dalam hati, membenarkannya dan mencintainya, yang demikian adalah amal, bahkan merupakan pokok amal.”
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqaaid wal Ahkam (hal. 55-56).
[2]. Ibid, hal 56.
[3]. Ibid, hal 57.
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 7246).
[5]. HR. Muslim no. 2419 (54)) dan al-Bukhari meriwayatkan secara ringkas (no. 3745).
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 403) dan Muslim (no. 526 (13))
[7]. Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqaa-id wal Ahkam (hal. 58-60).
[8]. Lihat Mukhtashar ash-Shawaa-iq al-Mursalah (hal. 531, dst) tahqiq Sayyid bin Ibrahim, cet. Daar Zamzam, th. 1414 H.
[9]. Syarah ‘Aqidah Thahawiyah (hal. 355-356) tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
A. Dalil Pertama
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” [At-Taubah: 122]
Di dalam ayat ini Allah menganjurkan kaum mukminin agar mereka memperdalam agama tafaqquh fiddin kepada apa yang dibawa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak diragukan lagi bahwa yang dipelajari oleh mereka bukan hanya yang berkaitan dengan furu' dan ahkam saja, bahkan seorang guru dan murid sudah semestinya memulai pelajaran dari hal-hal yang lebih penting dari yang penting, dan satu hal yang tidak bisa disangkal dan sudah merupakan aksioma bahwa ‘aqidah lebih penting dari ahkam. Oleh karena itu, Allah Ta’ala menganjurkan satu tha-ifah untuk memperdalam ‘aqidah dan ahkam, agar kelak mereka dapat memperingatkan kaumnya sekembali me-reka dari memperdalam pengetahuan agama, baik ‘aqidah maupun ahkam.
Istilah tha-ifah menurut bahasa digunakan untuk satu orang atau lebih. Seandainya hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam hal ‘aqidah, tentu Allah tidak menganjurkan kepada mereka untuk menyampaikan da'wah. Allah memberikan alasan dengan da'wah itu agar mereka berhati-hati.
Ayat di atas merupakan nash bahwa khabar ahad dapat dijadikan hujjah di dalam mendakwahkan masalah ‘aqidah dan ahkam. [1]
B. Dalil Kedua
Allah Sub berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” [Al-Israa': 36]
Kata walaa taqfu, artinya jangan kamu ikut dan jangan pula kamu mengamalkannya. Yang sudah dimaklumi bahwa kaum muslimin sejak masa Shahabat, mereka mengikuti khabar ahad dan mengamalkannya. Dengan khabar ahad itu mereka tetapkan masalah-masalah ghaib dan hakekat i'tiqadiyah, misalnya tentang awal diciptakannya makhluk dan tentang tanda-tanda hari Kiamat, bahkan mereka juga menetapkan sifat-sifat Allah dengan khabar ahad. Seandainya khabar ahad tidak memberikan faedah ilmu dan tidak dapat untuk menentukan masalah ‘aqidah, maka kalau demikian para Shahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in, dan para imam semuanya mengikuti sesuatu yang mereka tidak mempunyai ilmu padanya? Perkataan atau pendapat seperti ini tidak mungkin akan diucapkan oleh seorang yang mengaku dirinya sebagai muslim. [2]
C. Dalil Ketiga
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [Al-Hujurat: 6]
Ayat ini menunjukkan jika ada seorang yang adil membawa kabar, maka terima dan jadikanlah hujjah tanpa perlu diselidiki lagi.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan dengan pasti tentang harusnya diterima khabar ahad, dan tidak perlu lagi diselidiki. Seandainya khabar itu tidak memberikan faedah ilmu, niscaya akan diperintahkan untuk diselidiki hingga didapat faedah ilmu. Hal ini menunjukkan diterimanya khabar ahad ialah apa yang dilakukan oleh para Salafush Shalih dan para imam, bahwa mereka akan senantiasa berkata, “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam begini, beliau telah melakukan ini, memerintahkan, dan melarang begini dan begitu”. Dan juga kebanyakan dari Shahabat di dalam meriwayatkan hadits seorang dari mereka berkata, “Telah bersabda Rasulullah”, meski ia pun mendengar dari Shahabat yang lain. Ini merupakan persaksian dari orang yang meriwayatkan, dan merupakan satu kepastian tentang apa-apa yang mereka nisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik ucapan maupun perbuatan. Seandainya khabar ahad tidak memberikan faedah ilmu, niscaya ia menjadi saksi atas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa ilmu.” [3]
D. Dalil Keempat
Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya menunjukkan tentang wajibnya menerima hadits ahad sebagai hujjah. Sunnah Nabi Shallallahu 'laihi wa sallam ini telah dilaksanakan oleh para Shahabat pada masa hidup beliau ataupun sesudah wafatnya. Dan ini menunjukkan satu dalil yang qath’i tentang tidak adanya perbedaan antara hadits ahad dalam bidang ‘aqidah maupun bidang ahkam.
Dalil-dalil amalan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal ini sebagai berikut:
1. Dari Malik bin Huwairits Radhiyallahu anhu, ia bercerita, “Kami mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika kami tinggal di sisi beliau sekitar dua puluh hari, dan Rasulullah adalah seorang yang penuh kasih sayang dan mengerti perasaan orang. Maka ketika kami telah rindu kepada keluarga kami, beliau bertanya tentang siapa yang kami tinggalkan di rumah? Kami pun memberitahukan kapada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اِرْجِعُوْا إِلَى أَهْلِيْكُمْ فَأَقِيْمُوْا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوْاهُمْ وَمُرُوْهُمْ وَصَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي.
“Pulanglah kalian kepada keluarga kalian masing-masing, dan tinggallah kalian di tengah keluarga kalian, dan ajarilah mereka untuk mengamalkannya, dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” [4]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh masing-masing mereka untuk mengajarkan keluarganya, dan pengajaran itu mencakup ‘aqidah dan ahkam, bahkan ‘aqidah adalah masalah yang pokok dalam ajaran agama. Sekiranya khabar ahad tidak dapat dipakai sebagai hujjah, maka perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak ada artinya sama sekali. Jadi khabar ahad wajib dipakai dalam penyampaian ajaran Islam di segala bidang.
2. Dari Anas bin Malik: “Bahwasanya penduduk Yaman datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, utuslah bersama kami seorang yang akan mengajari kami As-Sunnah dan Islam.’” Kata Anas, “Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memegang tangan Abu Ubaidah, seraya berkata:
هَذَا أَمِيْنُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ.
“Ini adalah orang yang terpercaya bagi ummat ini.” [5]
Di dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mempercayakan penyampaian ajaran Islam kepada seorang Shahabat. Sekiranya khabar ahad tidak bisa dijadikan hujjah niscaya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengutus Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah. Lagi pula ada beberapa hadits shahih yang mengisahkan beberapa Shahabat yang diutus oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ke beberapa negeri untuk mengajarkan Islam yang mencakup ‘aqidah dan ahkam, seperti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus ‘Ali bin Abi Thalib, Mu'adz bin Jabal, Abu Musa al-Asy’ariy, dan lain-lainnya.
3. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma: “Ketika orang-orang sedang shalat Shubuh di Quba, tiba-tiba datang seorang yang berkata, 'Sesungguhnya tadi malam telah turun ayat Al-Qur-an kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau diperintahkan untuk menghadap Kiblat (ke Makkah) dalam shalat, maka hendaklah kalian sekarang menghadap Kiblat', ketika itu mereka shalat menghadap ke Syam. Maka (setelah mendengar perintah itu) mereka pun berputar menghadap ke Ka'bah.” [6]
Ini juga nash yang tegas, bahkan para Shahabat menerima khabar ahad untuk menghapus perintah menghadap ke Baitul Maqdis, dan kemudian mereka menghadap Ka'bah.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkari mereka, bahkan mereka bersyukur atas kejadian yang demikian itu.”
Ahli Quba' adalah golongan Anshar yang selalu paling dulu mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka shalat menghadap ke Syam, karena memang diperintahkan demikian oleh Allah. Mereka tidak akan meninggalkan ketetapan Allah kecuali berdasarkan hujjah yang kokoh, sekalipun belum bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai pemindahan arah Kiblat itu. Mereka pindah arah Kiblat atas dasar khabar ahad, karena pembawa kabar tersebut menurut pandangan mereka termasuk orang-orang adil dan terpercaya.
Mereka meninggalkan kiblat dari menghadap ke Baitul Maqdis beralih menghadap ke Ka'bah sesuai dengan khabar ahad. Mereka tidak akan melakukannya dengan sembarangan melainkan dengan kabar yang dapat menjadikan hujjah secara mantap tentang masalah tersebut, yang berasal dari orang terpercaya. Karena tidak mungkin mereka berpindah arah Kiblat melainkan mereka yakin bahwa khabar ahad dapat dijadikan hujjah.
4. Sa’id bin Jubair meriwayatkan sebagai berikut: “Saya pernah berkata kepada Ibnu ‘Abbas bahwa al-Bikali menganggap Musa yang disebut sebagai Shahabat Khidir itu bukan Musa Bani Israil. Ibnu ‘Abbas menjawab, 'Telah berdusta musuh Allah itu.' Juga telah mengabarkan kepadaku Ubay bin Ka'ab, ia berkata, 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah berkhutbah di hadapan kami, kemudian beliau mengungkapkan riwayat tentang Musa dan Khidir. Riwayat ini jelas menunjukkan bahwa Musa Bani Israil itulah yang merupakan Shahabat Khidir.”
Kata Imam asy-Syafi’i, “Ibnu ‘Abbas yang dikenal sebagai orang faqih dan taat serta berhati-hati dalam melaksanakan agama, memastikan khabar ahad Ubay bin Ka’ab itu benar-benar berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan dengan dalil itu Ibnu ‘Abbas berani mendustakan Nauf al-Bikali tatkala ia mengisahkan kabar Ubay bin Ka'ab yang ia terima dari Rasulullah, bahwa Musa Bani Israil itu Shahabat Khidir.”
Perkataan Imam asy-Syafi'i ini menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan antara ‘aqidah dan ahkam di dalam menggunakan hadits ahad sebagai hujjah. [7]
E. Keterangan Para Ulama Tentang Masalah Hadits Ahad
Para ulama Ahli Sunnah wal Jama'ah selalu mengingatkan ummat Islam agar mereka yakin bahwa hadits atau khabar ahad merupakan hujjah dalam soal ‘aqidah dan ahkam. Berikut keterangan para ulama tentang masalah hadits ahad. Penulis akan memulai dari keterangan Imam asy-Syafi'i, karena beliaulah yang pertama kali membahas tentang hadits ahad dengan panjang lebar dalam kitabnya ar-Risalah dengan judul Dalil-Dalil Tentang Penggunaan Hadits Ahad sebagai Hujjah mulai dari halaman 401 sampai 453, setelah itu dilanjutkan lagi sampai halaman 460, dan kitab ini ditahqiq oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahullah.
Dalil-dalil yang dibawakan Imam asy-Syafi'i adalah dalil-dalil mutlak yang mencakup tentang ‘aqidah dan ahkam. Bahasan itu beliau tutup dengan perkataan: “Dalam menetapkan khabar ahad sebagai hujjah dicukupkan dengan hadits-hadits yang disebutkan di atas, sekalipun masih banyak yang lainnya. Demikianlah membentang jalan yang tiada putus-putusnya sejak zaman ulama Salaf (para Shahabat, Tabi’in, dan Tabi'ut Tabi'in) yang kemudian dilanjutkan oleh generasi sesudah mereka sehingga sampailah pada apa yang kita saksikan sekarang ini. Dan begitu pula diceritakan kepada kita oleh ulama sebelum kita, yang mereka menerimanya dari ulama dari berbagai negeri.” Selanjutnya beliau berkata, “Patut pula ditambahkan bahwa tidak kudapati seorang pun dari fuqaha kaum muslimin yang ikhtilaf dalam menetapkan khabar ahad sebagai hujjah.”
Dengan perkataan lain, semua ulama Islam dari dahulu sampai sekarang mengakui predikat khabar ahad sebagai hujjah yang mencakup berbagai kebutuhan. Sebagaimana Imam asy-Syafi’i telah menampakkan penjelasan dengan dalil-dalil yang gamblang dan tegas dari Al-Qur-an, As-Sunnah, perilaku Shahabat, Tabi'in, Ta-bi'ut Tabi'in, dan para ulama tentang keharusan menerima khabar ahad serta menggunakannya sebagai hujjah.
Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan: “Sekelompok dari ahli ilmu Kalam (yakni kaum Mu'tazilah) beranggapan bahwa masalah ‘aqidah haruslah dengan dalil qath’i dan tidak diterima dalil dalam masalah ini kecuali dalil qath’i. Bahkan mereka menganggap wajib yang demikian ini dalam pembahasan ‘aqidah guna meyakini segala masalah dalam bidang ini.”
Pernyataan dan keyakinan ahli kalam seperti ini jelaslah salah dan menyimpang dari Al-Qur-an dan As-Sunnah serta ijma’ Salafush Shalih dan para Imam Muj-tahidin. Karena pada kenyataannya para ahli ilmu kalam tersebut adalah orang yang tidak konsekuen dengan ketetapan mereka sendiri. Di mana dalam pembahasan ‘aqidah mereka berdalil dengan teori-teori filsafat yang rancu, yang nilainya itu jauh lebih rendah di bawah kedudukan dalil zhanni yang mereka tolak.”
Cara berfikir ahlu bid’ah dari kalangan ahli ilmu Kalam adalah terbalik, mereka terima perkataan para filosof tanpa mempermasalahkan qath’i dan zhanni, tapi bila datang Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang sudah sah, mereka menolaknya dan hanya mau menerima yang qath’i saja. Cara berfikir seperti ini adalah sangat terbalik menurut pandangan syari’at Islam.
Selanjutnya beliau rahimahullah berkata, “...Dan kabar ahad yang diriwayatkan oleh seorang Shahabat atau dua orang (yakni khabar ahad) apabila sudah dapat diterima dan dibenarkan, maka kabar itu memberi faedah ilmu menurut jumhur ulama, dan sebagian orang ada yang menamakan (khabar ahad) itu adalah kabar mustatidh. Dan sahnya ilmu di sini ialah hasil ijma' ulama, sedangkan ummat ini tidak akan ijma’ dalam kesalahan. Karena itu hasil dari hampir seluruh isi Shahih al-Bukhari - Muslim disepakati keshahihannya oleh Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, Hanabilah dan Asyaa’irah. Dan hanya kelompok ahli ilmu Kalam yang menyalahi dalam masalah ini sebagaimana yang sudah diuraikan tadi.” [8]
Al-‘Allamah Ibnu ‘Abdil ‘Izzi al-Hanafi rahimahullah menyatakan: “Hadits ahad walaupun mempunyai kemungkinan benar dan salah, akan tetapi untuk diterimanya suatu kabar tentulah melalui proses penyeleksian yang teliti yang hanya dapat dilakukan oleh para ahli yang telah meluangkan waktunya untuk meneliti hadits dan membahas biografi para rawi tentang kehidupan mereka serta perkataan mereka (dengan sangat hati-hati sekali), dan mereka tidak mungkin berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam walau satu kalimat, dengan diancam bunuh sekalipun. Penelitian yang dilakukan tersebut tidak dilakukan oleh seorang saja, bahkan banyak dilakukan oleh banyak ahli dalam bidang ini, sehingga sedikit sekali kesalahan yang dilakukan oleh para peneliti...” [9]
Para ulama Ahlus Sunnah bila mendapatkan nash yang shahih, maka mereka tidak akan berpaling dan tidak akan meninggalkan nash itu karena bertentangan dengan akal atau karena ada pendapat si fulan atau yang lainnya. Begitulah semestinya kita bersikap terhadap nash yang sampai kepada kita, karena nash tersebut telah diteliti dengan cermat oleh para pakar hadits sejak dahulu sampai hari ini. Menurut jumhur ulama khabar ahad wajib diterima dan sangat berfaedah untuk memperkuat ‘aqidah kita.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah telah membahas masalah ini dengan luas sekali dalam kitabnya Mukhtashar ash-Shawaa-iq al-Mursalah, dan di samping itu ia juga membahas tentang wajibnya mengikuti As-Sunnah dalam kitabnya I'laamul Muwaqqi'in 'an Rabbil 'Alamin. Perkataan Ibnul Qayyim sudah dijelaskan di muka dan pada dalil ketiga tentang wajibnya berhujjah dengan hadits ahad.
Sebenarnya masih banyak pendapat para ulama terdahulu tentang keharusan menggunakan hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah ‘aqidah, seperti Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Ihkaam fil Ushuulil Ahkaam oleh al-Amidi, dan kitab-kitab lainnya. Tetapi pendapat-pendapat para ulama di atas telah cukup mewakili, dan banyak kita dengar pula pendapat ulama mu’ashir (zaman sekarang) yang banyak menghabiskan waktunya untuk mentakhrij hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau dikenal sebagai muhaddits (ahli Hadits) abad ini, itulah ia Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata, “Pendapat yang mengatakan tidak boleh berpegang dengan hadits ahad dalam masalah ‘aqidah adalah suatu pendapat atau perbuatan yang diada-adakan (atas nama agama). Singkatnya, dalil-dalil Al-Qur-an, As-Sunnah, amalan para Shahabat, dan pendapat para ulama menunjukkan dengan pasti bahwa kita wajib menggunakan hadits ahad sebagai hujjah dalam permasalahan syari'at, baik dalam bentuk ‘aqidah maupun ahkam. Dan orang yang memilah-milah antara ‘aqidah dan ahkam di dalam berhujjah dengan hadits ahad adalah suatu perbuatan bid'ah yang tidak dikenal oleh para ulama Salaf.
Dalam kitabnya yang lain, beliau berkata, “Secara praktek sangat sulit membedakan antara ‘aqidah dan ahkam, karena ‘aqidah harus diiringi dengan amal, dan amal harus disertai keyakinan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mengutus para Shahabat, seperti Mush’ab ke Madinah, Mu'adz ke Yaman, dan yang lainnya, beliau memerin-tahkan agar mereka menyampaikan masalah ‘aqidah dan amal. Amal tidak terbatas pada anggota tubuh saja, bahkan amal hati termasuk pokok bagi amal anggota tubuh, karena amal anggota tubuh selalu mengikuti amal hati. Setiap masalah harus disertai iman dalam hati, membenarkannya dan mencintainya, yang demikian adalah amal, bahkan merupakan pokok amal.”
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqaaid wal Ahkam (hal. 55-56).
[2]. Ibid, hal 56.
[3]. Ibid, hal 57.
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 7246).
[5]. HR. Muslim no. 2419 (54)) dan al-Bukhari meriwayatkan secara ringkas (no. 3745).
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 403) dan Muslim (no. 526 (13))
[7]. Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqaa-id wal Ahkam (hal. 58-60).
[8]. Lihat Mukhtashar ash-Shawaa-iq al-Mursalah (hal. 531, dst) tahqiq Sayyid bin Ibrahim, cet. Daar Zamzam, th. 1414 H.
[9]. Syarah ‘Aqidah Thahawiyah (hal. 355-356) tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany
Kategori Kitab : As-Sunnah Tanggapan Dan Bantahan Atas Penolakan Khabar Ahad
TANGGAPAN DAN BANTAHAN ATAS PENOLAKAN KHABAR AHAD
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Dalam hal ini sesungguhnya kita harus meneliti dan memeriksa kembali makna zhan dalam ayat-ayat itu menurut penafsiran para Shahabat, Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in.
Sesungguhnya zhan (dugaan) yang termaktub dalam ayat-ayat di atas adalah untuk menggambarkan keyakinan orang-orang kafir dan kaum musyrikin. Mereka itu hanya mengikuti dugaan saja dalam ber’aqidah, hingga keyakinan mereka tidaklah sampai kepada tingkat kepastian.
Zhan yang dimaksud dalam ayat-ayat itu adalah dusta, yaitu yang diyakini oleh orang-orang musyrik. Dan yang menguatkan pengertian ini ialah lanjutan firman Allah berikut ini:
إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“...Mereka itu hanyalah mengikuti dugaan saja, dan sesungguhnya mereka itu hanyalah berdusta.” [Al-An’aam: 116]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ ۖ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“... Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” [An-Najm: 28]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menerangkan surat an-Najm ayat 28 berkata, “Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai ilmu yang benar dan tidak pula ucapan mereka. Bahkan mereka telah berdusta, omongannya palsu, mengada-ada, dan telah berbuat kekufuran yang keji. Mereka itu hanyalah mengikuti zhan yang tidak punya kepastian sedikit pun, dan mereka tidak berada di atas kebenaran sama sekali. Sungguh telah diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبَ الْحَدِيْثِ.
‘Jauhilah oleh kalian zhan (sangka-sangka), karena zhan itu adalah seburuk-buruk omongan dusta.’
Maka jauhilah dirimu dari orang-orang yang menolak kebenaran, dan tinggalkanlah mereka.” [1]
Sebenarnya dasar berfikir mereka hingga membedakan antara ‘aqidah dan ahkam dalam penggunaan hadits ahad sebagai hujjah merupakan dasar pemikiran filsafat yang dimasukkan ke dalam Islam [2]. Tentu saja hal ini tidak pernah dilakukan oleh para Salafush Shalih dan empat Imam madzhab. Pada hakekatnya mereka tidak punya dalil baik dari Al-Qur-an maupun dari hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang masalah ini. Adapun ayat-ayat yang mereka jadikan dasar adalah berkenaan dengan orang-orang kafir dan musyrik.
Alangkah bodohnya orang yang mengambil ayat sepotong-sepotong kemudian dijadikan hujjah sebagai dasar pemikiran tanpa melihat ayat-ayat lain dan hadits-hadits maupun pendapat para Salafush Shalih. Mereka lakukan yang demikian karena sudah sedemikian jauhnya mereka dari pemahaman Al-Qur-an dan As-Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh para Shahabat Ridwanullah ‘alaihim ajma'in, dan mereka sudah terlalu disibukkan dengan pendapat-pendapat tokoh filsafat dan sekte-sekte sesat.
Mereka juga menggunakan riwayat yang menunjukkan bahwa sejumlah Shahabat tidak menggunakan hadits ahad, misalnya saja Abu Bakar yang menolak hadits dari Mughirah mengenai warisan kepada nenek, beliau baru menetapkannya setelah hadits tersebut dikuatkan oleh Muhammad bin Maslamah. Demikian pula ‘Umar telah menolak hadits riwayat Abu Musa tentang isti'dzan (yaitu minta izin masuk rumah setelah salam tiga kali), dan baru menerapkannya setelah dikuatkan oleh Abu Sa'id. Juga Abu Bakar dan ‘Umar menolak riwayat yang disam-paikan oleh ‘Utsman berkenaan dengan pemberian izin Rasulullah j untuk menolak Hakam al-Asyja'iy menge-nai mufawwadhah (hadits mengenai mahar yang tidak sempat dibayar). Bahkan ‘Ali tidak mau menerima hadits ahad sebelum mengangkat sumpah rawinya, terkecuali hadits yang diriwayatkan Abu Bakar. Begitu pula ‘Aisyah menolak khabar ahad Ibnu ‘Umar tentang disiksanya mayit karena ratapan tangisan keluarganya.[3]
Jawaban Terhadap Riwayat-Riwayat di Atas
Tidak diragukan lagi bahwa para Shahabat telah melaksanakan hukum atas dasar hadits ahad. Hal ini dapat terlihat dengan jelas dalam berita-berita mutawatir dan dalil-dalil serta perbuatan yang dilaksanakan atas dasar hadits ahad. Sekiranya terdapat berita bahwa para Shahabat menangguhkan beberapa khabar ahad, hal ini tidaklah merupakan dalil bahwa mereka tidak beramal atas dasar khabar ahad, akan tetapi mereka melakukan yang demikian semata-mata karena hati-hati atau didorong oleh keinginan untuk berbuat baik atas dasar landasan yang kokoh. Contoh penolakan Abu Bakar terhadap khabar yang diterima dari Mughirah mengenai warisan kepada nenek, bukan karena beritanya bersifat ahad, tetapi beliau menangguhkannya menanti adanya orang yang menguatkan khabar tersebut atau (dimungkinkan) adanya tambahan keterangan. Hal ini dilakukan beliau dengan alasan bahwa menurut pendapatnya, syari’at Islam menetapkan hak waris bagi nenek seperenam bagian. Karena pendapat itu tidak ada nashnya dalam Al-Qur-an, maka haruslah diusahakan dan ditetapkan dengan segala kehati-hatian. Tetapi setelah Muhammad bin Maslamah menguatkan bahwa ia pun menerimanya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Abu Bakar tidak ragu-ragu lagi menerima hadits tersebut dan mengamalkannya. Demikian pula halnya penolakan ‘Umar terhadap khabar Abu Musa.
Pada intinya, kejadian-kejadian tersebut di atas merupakan pelajaran yang gamblang bagi para Shahabat dan generasi berikutnya yang menemukan sesuatu hal yang baru dalam Islam, apa lagi menyangkut hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang harus dilakukan dengan hati-hati. Karena itulah ‘Umar berkata, “Saya bukan meragukanmu, tapi hal ini menyangkut hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.”
Kehati-hatian seperti ini bisa diajukan dalam setiap kejadian yang berkaitan dengan penerimaan hadits, tapi tujuannya bukan menolak penggunaan hadits ahad se-bagai hujjah. Karena kalau kehati-hatian ini tidak dilakukan, maka tidak akan terjalin mata rantai antara Shahabat yang terdahulu dengan yang kemudian mengenai pengamatan dan pengamalan khabar ahad. Mata rantai antara Shahabat kepada Shahabat yang lainnya tidak keluar kedudukannya sebagai khabar ahad, walaupun diriwayatkan oleh dua atau tiga rawi.
Sehubungan dengan ini al-Amidi berkata sebagai berikut: “Riwayat yang ditolak atau yang ditangguhkan semata-mata karena tampak kontradiksi (bertentangan) atau tidak terpenuhi persyaratan periwayatan, bukan alasan untuk menolak penggunaan hadits ahad, bahkan di kalangan para Shahabat telah sepakat untuk mengamalkan khabar ahad. Oleh karena itu, terdapat kesepakatan bahwa Al-Qur-an dan As-Sunnah adalah hujjah, walaupun dibolehkan meninggalkan dan menangguhkan (ketika itu) karena adanya faktor luar yang dapat mempengaruhinya.” [4]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Tafsir r Ibnu Katsir (IV/269).
[2]. Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqaa-id wal Ahkam (hal. 54)
[3]. Al-Ihkam lil Amidy, dinukil dari as-Sunnah wa Makaanatuha fit Tasyri’ al-Islamy (hal. 192)
[4]. As-Sunnah wa Makaanatuha fit Tasyri’ al-Islamy (hal. 193-194)
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Dalam hal ini sesungguhnya kita harus meneliti dan memeriksa kembali makna zhan dalam ayat-ayat itu menurut penafsiran para Shahabat, Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in.
Sesungguhnya zhan (dugaan) yang termaktub dalam ayat-ayat di atas adalah untuk menggambarkan keyakinan orang-orang kafir dan kaum musyrikin. Mereka itu hanya mengikuti dugaan saja dalam ber’aqidah, hingga keyakinan mereka tidaklah sampai kepada tingkat kepastian.
Zhan yang dimaksud dalam ayat-ayat itu adalah dusta, yaitu yang diyakini oleh orang-orang musyrik. Dan yang menguatkan pengertian ini ialah lanjutan firman Allah berikut ini:
إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“...Mereka itu hanyalah mengikuti dugaan saja, dan sesungguhnya mereka itu hanyalah berdusta.” [Al-An’aam: 116]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ ۖ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“... Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” [An-Najm: 28]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menerangkan surat an-Najm ayat 28 berkata, “Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai ilmu yang benar dan tidak pula ucapan mereka. Bahkan mereka telah berdusta, omongannya palsu, mengada-ada, dan telah berbuat kekufuran yang keji. Mereka itu hanyalah mengikuti zhan yang tidak punya kepastian sedikit pun, dan mereka tidak berada di atas kebenaran sama sekali. Sungguh telah diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبَ الْحَدِيْثِ.
‘Jauhilah oleh kalian zhan (sangka-sangka), karena zhan itu adalah seburuk-buruk omongan dusta.’
Maka jauhilah dirimu dari orang-orang yang menolak kebenaran, dan tinggalkanlah mereka.” [1]
Sebenarnya dasar berfikir mereka hingga membedakan antara ‘aqidah dan ahkam dalam penggunaan hadits ahad sebagai hujjah merupakan dasar pemikiran filsafat yang dimasukkan ke dalam Islam [2]. Tentu saja hal ini tidak pernah dilakukan oleh para Salafush Shalih dan empat Imam madzhab. Pada hakekatnya mereka tidak punya dalil baik dari Al-Qur-an maupun dari hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang masalah ini. Adapun ayat-ayat yang mereka jadikan dasar adalah berkenaan dengan orang-orang kafir dan musyrik.
Alangkah bodohnya orang yang mengambil ayat sepotong-sepotong kemudian dijadikan hujjah sebagai dasar pemikiran tanpa melihat ayat-ayat lain dan hadits-hadits maupun pendapat para Salafush Shalih. Mereka lakukan yang demikian karena sudah sedemikian jauhnya mereka dari pemahaman Al-Qur-an dan As-Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh para Shahabat Ridwanullah ‘alaihim ajma'in, dan mereka sudah terlalu disibukkan dengan pendapat-pendapat tokoh filsafat dan sekte-sekte sesat.
Mereka juga menggunakan riwayat yang menunjukkan bahwa sejumlah Shahabat tidak menggunakan hadits ahad, misalnya saja Abu Bakar yang menolak hadits dari Mughirah mengenai warisan kepada nenek, beliau baru menetapkannya setelah hadits tersebut dikuatkan oleh Muhammad bin Maslamah. Demikian pula ‘Umar telah menolak hadits riwayat Abu Musa tentang isti'dzan (yaitu minta izin masuk rumah setelah salam tiga kali), dan baru menerapkannya setelah dikuatkan oleh Abu Sa'id. Juga Abu Bakar dan ‘Umar menolak riwayat yang disam-paikan oleh ‘Utsman berkenaan dengan pemberian izin Rasulullah j untuk menolak Hakam al-Asyja'iy menge-nai mufawwadhah (hadits mengenai mahar yang tidak sempat dibayar). Bahkan ‘Ali tidak mau menerima hadits ahad sebelum mengangkat sumpah rawinya, terkecuali hadits yang diriwayatkan Abu Bakar. Begitu pula ‘Aisyah menolak khabar ahad Ibnu ‘Umar tentang disiksanya mayit karena ratapan tangisan keluarganya.[3]
Jawaban Terhadap Riwayat-Riwayat di Atas
Tidak diragukan lagi bahwa para Shahabat telah melaksanakan hukum atas dasar hadits ahad. Hal ini dapat terlihat dengan jelas dalam berita-berita mutawatir dan dalil-dalil serta perbuatan yang dilaksanakan atas dasar hadits ahad. Sekiranya terdapat berita bahwa para Shahabat menangguhkan beberapa khabar ahad, hal ini tidaklah merupakan dalil bahwa mereka tidak beramal atas dasar khabar ahad, akan tetapi mereka melakukan yang demikian semata-mata karena hati-hati atau didorong oleh keinginan untuk berbuat baik atas dasar landasan yang kokoh. Contoh penolakan Abu Bakar terhadap khabar yang diterima dari Mughirah mengenai warisan kepada nenek, bukan karena beritanya bersifat ahad, tetapi beliau menangguhkannya menanti adanya orang yang menguatkan khabar tersebut atau (dimungkinkan) adanya tambahan keterangan. Hal ini dilakukan beliau dengan alasan bahwa menurut pendapatnya, syari’at Islam menetapkan hak waris bagi nenek seperenam bagian. Karena pendapat itu tidak ada nashnya dalam Al-Qur-an, maka haruslah diusahakan dan ditetapkan dengan segala kehati-hatian. Tetapi setelah Muhammad bin Maslamah menguatkan bahwa ia pun menerimanya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Abu Bakar tidak ragu-ragu lagi menerima hadits tersebut dan mengamalkannya. Demikian pula halnya penolakan ‘Umar terhadap khabar Abu Musa.
Pada intinya, kejadian-kejadian tersebut di atas merupakan pelajaran yang gamblang bagi para Shahabat dan generasi berikutnya yang menemukan sesuatu hal yang baru dalam Islam, apa lagi menyangkut hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang harus dilakukan dengan hati-hati. Karena itulah ‘Umar berkata, “Saya bukan meragukanmu, tapi hal ini menyangkut hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.”
Kehati-hatian seperti ini bisa diajukan dalam setiap kejadian yang berkaitan dengan penerimaan hadits, tapi tujuannya bukan menolak penggunaan hadits ahad se-bagai hujjah. Karena kalau kehati-hatian ini tidak dilakukan, maka tidak akan terjalin mata rantai antara Shahabat yang terdahulu dengan yang kemudian mengenai pengamatan dan pengamalan khabar ahad. Mata rantai antara Shahabat kepada Shahabat yang lainnya tidak keluar kedudukannya sebagai khabar ahad, walaupun diriwayatkan oleh dua atau tiga rawi.
Sehubungan dengan ini al-Amidi berkata sebagai berikut: “Riwayat yang ditolak atau yang ditangguhkan semata-mata karena tampak kontradiksi (bertentangan) atau tidak terpenuhi persyaratan periwayatan, bukan alasan untuk menolak penggunaan hadits ahad, bahkan di kalangan para Shahabat telah sepakat untuk mengamalkan khabar ahad. Oleh karena itu, terdapat kesepakatan bahwa Al-Qur-an dan As-Sunnah adalah hujjah, walaupun dibolehkan meninggalkan dan menangguhkan (ketika itu) karena adanya faktor luar yang dapat mempengaruhinya.” [4]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Tafsir r Ibnu Katsir (IV/269).
[2]. Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqaa-id wal Ahkam (hal. 54)
[3]. Al-Ihkam lil Amidy, dinukil dari as-Sunnah wa Makaanatuha fit Tasyri’ al-Islamy (hal. 192)
[4]. As-Sunnah wa Makaanatuha fit Tasyri’ al-Islamy (hal. 193-194)
Kategori Kitab : As-Sunnah Dalil Para Penolak Khabar Ahad
DALIL PARA PENOLAK KHABAR AHAD
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Di muka telah dijelaskan, bahwa As-Sunnah menurut sampainya kepada kita terbagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Kemudian para ulama membahas lagi dari segi wurudnya (sampainya kepada kita) menjadi qath'i dan zhanni.
Yang dimaksud dengan dalil qath’i ialah dalil mutawatir, sedangkan dalil zhanni ialah dalil yang diambil dari hadits ahad. Qath’i maksudnya ialah pasti dan tidak diragukan lagi sedangkan zhanni ialah dalil yang kepas-tian kebenarannya di bawah qath’i.
Dalam hal penolakan kabar ahad, yang paling menonjol ialah kaum Mu'tazilah dan Asy'ariyah. Mereka menolak hadits ahad karena adanya kaidah berfikir yang menyatakan bahwa akal adalah sumber kebenaran (yang lebih populer dikenal dengan dalil 'aqli). Menurut mereka bila ada dalil naqli (dalil dari Al-Qur-an dan As-Sunnah) yang bertentangan dengan akal, maka akallah yang didahulukan. Lebih-lebih bila dalil itu berkenaan dengan soal ‘aqidah atau perkara ghaib, maka mereka meragukan dan menolaknya.
Syaikh Mahmud Syaltut adalah termasuk tokoh yang dapat dikatakan mewakili mereka yang menolak kabar ahad di zaman ini. Ia adalah seorang tokoh pendukung gerakan Syaikh Muhammad ‘Abduh yang sering disebut sebagai motor gerakan Pembaharuan Islam atau tajdid?!
Dalam bukunya, Syaltut berkata, “Sungguh telah bersepakat para ulama, bahwasanya dalil 'aqli yang benar kaidahnya dengan rujukannya kepada kebaikan dan kepentingan manusia adalah merupakan dalil yang meyakinkan dan dapat menghasilkan keimanan yang semestinya. Adapun dalil naqli, maka sungguh banyak dari ulama yang berpendapat bahwa ia bukanlah merupakan dalil yang meyakinkan dan dapat menghasilkan keimanan yang semestinya, serta dalil ini tidak pula dapat menetapkan perkara ‘aqidah. Kaidah seperti ini ditetapkan oleh para ulama karena masalah ‘aqidah adalah lapangan pembahasan yang sangat luas dengan berbagai kemungkinan yang banyak, sehingga mustahil untuk ditetapkan hanya dengan dalil naqli semata. Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa dalil naqli itu dapat menghasilkan keyakinan dan dapat menetapkan perkara ‘aqidah, mereka meletakkan syarat untuk diterimanya dalil naqli dalam hal ‘aqidah hanyalah yang qath’i saja, baik qath’i dalam periwayatannya ataupun qath’i dalam dalalahnya. Yang dimaksud qath’i dalam periwayatannya ialah tidak boleh ada padanya sedikit pun keraguan dalam hal sampainya riwayat tersebut kepada kita dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang berarti hanyalah riwayat mutawatir saja. Sedangkan yang dimaksud qath’i dalalahnya adalah sebagai syarat diterimanya riwayat mutawatir dalam bidang ‘aqidah, di mana keterangan yang terdapat dalam riwayat terse-but sifatnya muhkam (yakni gamblang dan jelas), sehingga tidak menerima adanya kemungkinan diartikan kesana-kemari. Maka apabila naqli memenuhi syarat tersebut, barulah ia dapat diterima sebagai berita yang harus diyakini dan pantas untuk menetapkan perkara ‘aqidah.”
Selanjutnya Syaltut menyatakan: “Perkara ‘aqidah tidak ditetapkan oleh hadits, karena perkara ‘aqidah adalah perkara yang harus diimani. Sehingga iman itu artinya ialah keyakinan yang pasti dan tidaklah sampai kepada keyakinan yang pasti kecuali yang qath’i riwayatnya maupun dalalahnya. Ini berarti hanya riwayat mutawatir saja yang bisa diterima. Karena itu hadits yang riwayatnya tidak sampai ke derajat mutawatir tidak lebih hanyalah zhan (dugaan semata). Dan dalil zhanni tidaklah dapat menetapkan perkara ‘aqidah.”
Dalil-dalil yang mereka pergunakan untuk menolak hadits ahad yang dikatakan tidak bisa dipakai sebagai hujjah dalam bidang ‘aqidah adalah sebagai berikut:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesung-guhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” [Yunus: 36]
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti perkataan belaka, mereka tidak lain hanyalah berdusta.” [Al-An’aam: 116]
إِنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلَائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنثَىٰ
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan Malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” [An-Najm: 27-28]https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Di muka telah dijelaskan, bahwa As-Sunnah menurut sampainya kepada kita terbagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Kemudian para ulama membahas lagi dari segi wurudnya (sampainya kepada kita) menjadi qath'i dan zhanni.
Yang dimaksud dengan dalil qath’i ialah dalil mutawatir, sedangkan dalil zhanni ialah dalil yang diambil dari hadits ahad. Qath’i maksudnya ialah pasti dan tidak diragukan lagi sedangkan zhanni ialah dalil yang kepas-tian kebenarannya di bawah qath’i.
Dalam hal penolakan kabar ahad, yang paling menonjol ialah kaum Mu'tazilah dan Asy'ariyah. Mereka menolak hadits ahad karena adanya kaidah berfikir yang menyatakan bahwa akal adalah sumber kebenaran (yang lebih populer dikenal dengan dalil 'aqli). Menurut mereka bila ada dalil naqli (dalil dari Al-Qur-an dan As-Sunnah) yang bertentangan dengan akal, maka akallah yang didahulukan. Lebih-lebih bila dalil itu berkenaan dengan soal ‘aqidah atau perkara ghaib, maka mereka meragukan dan menolaknya.
Syaikh Mahmud Syaltut adalah termasuk tokoh yang dapat dikatakan mewakili mereka yang menolak kabar ahad di zaman ini. Ia adalah seorang tokoh pendukung gerakan Syaikh Muhammad ‘Abduh yang sering disebut sebagai motor gerakan Pembaharuan Islam atau tajdid?!
Dalam bukunya, Syaltut berkata, “Sungguh telah bersepakat para ulama, bahwasanya dalil 'aqli yang benar kaidahnya dengan rujukannya kepada kebaikan dan kepentingan manusia adalah merupakan dalil yang meyakinkan dan dapat menghasilkan keimanan yang semestinya. Adapun dalil naqli, maka sungguh banyak dari ulama yang berpendapat bahwa ia bukanlah merupakan dalil yang meyakinkan dan dapat menghasilkan keimanan yang semestinya, serta dalil ini tidak pula dapat menetapkan perkara ‘aqidah. Kaidah seperti ini ditetapkan oleh para ulama karena masalah ‘aqidah adalah lapangan pembahasan yang sangat luas dengan berbagai kemungkinan yang banyak, sehingga mustahil untuk ditetapkan hanya dengan dalil naqli semata. Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa dalil naqli itu dapat menghasilkan keyakinan dan dapat menetapkan perkara ‘aqidah, mereka meletakkan syarat untuk diterimanya dalil naqli dalam hal ‘aqidah hanyalah yang qath’i saja, baik qath’i dalam periwayatannya ataupun qath’i dalam dalalahnya. Yang dimaksud qath’i dalam periwayatannya ialah tidak boleh ada padanya sedikit pun keraguan dalam hal sampainya riwayat tersebut kepada kita dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang berarti hanyalah riwayat mutawatir saja. Sedangkan yang dimaksud qath’i dalalahnya adalah sebagai syarat diterimanya riwayat mutawatir dalam bidang ‘aqidah, di mana keterangan yang terdapat dalam riwayat terse-but sifatnya muhkam (yakni gamblang dan jelas), sehingga tidak menerima adanya kemungkinan diartikan kesana-kemari. Maka apabila naqli memenuhi syarat tersebut, barulah ia dapat diterima sebagai berita yang harus diyakini dan pantas untuk menetapkan perkara ‘aqidah.”
Selanjutnya Syaltut menyatakan: “Perkara ‘aqidah tidak ditetapkan oleh hadits, karena perkara ‘aqidah adalah perkara yang harus diimani. Sehingga iman itu artinya ialah keyakinan yang pasti dan tidaklah sampai kepada keyakinan yang pasti kecuali yang qath’i riwayatnya maupun dalalahnya. Ini berarti hanya riwayat mutawatir saja yang bisa diterima. Karena itu hadits yang riwayatnya tidak sampai ke derajat mutawatir tidak lebih hanyalah zhan (dugaan semata). Dan dalil zhanni tidaklah dapat menetapkan perkara ‘aqidah.”
Dalil-dalil yang mereka pergunakan untuk menolak hadits ahad yang dikatakan tidak bisa dipakai sebagai hujjah dalam bidang ‘aqidah adalah sebagai berikut:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesung-guhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” [Yunus: 36]
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti perkataan belaka, mereka tidak lain hanyalah berdusta.” [Al-An’aam: 116]
إِنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلَائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنثَىٰ
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan Malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” [An-Najm: 27-28]https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Kategori Kitab : As-Sunnah Pentadwinan (Pengumpulan/Pembukuan) As-Sunnah
TANGGAPAN DAN BANTAHAN BAGI PARA PENENTANG AS-SUNNAH
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
D. Pentadwinan (Pengumpulan/Pembukuan) As-Sunnah
Penyampaian hadits dilakukan dengan sangat hati-hati, karena menyangkut masalah-masalah agama. Hal ini sengaja dilakukan demi menjaga apabila dalam penyampaiannya terjadi kesalahan. Sebagaimana dijelaskan oleh az-Zubair, “Mereka yang kuat ingatannya telah menyampaikan hadits tanpa ada kesalahan, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairah.”
As-Sunnah disalin dengan sangat hati-hati, baik dengan jalan hafalan maupun tulisan. Hal ini telah berlangsung sejak zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan zaman para Shahabat sampai akhir abad pertama, hingga kemudian lembaran-lembaran yang berisikan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dikumpulkan pada masa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Di mana ia memerintahkan Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm untuk menulis dan mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sejak itu pula dimulai ilmu periwayatan hadits. Kata khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz kepada Abu Bakar bin Muhammad, “Perhatikanlah hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu tulislah hadits-hadits itu, karena sesungguhnya aku khawatir akan hilangnya ilmu dengan wafatnya para ulama, dan janganlah diterima melainkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja.” [1]
Setelah Abu Bakar bin Muhammad menerima perintah khalifah, ia pun memerintahkan Ibnu Syihab az-Zuhri, seorang ulama besar dan pemuka ahli hadits, untuk mengumpulkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara resmi.
Tentang adanya periwayatan hadits, memang telah ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri dalam salah satu sabdanya:
تَسْمَعُوْنَ وَيُسْمَعُ مِنْكُمْ وَيُسْمَعُ مِمَّنْ سَمِعَ مِنْكُمْ.
“Sekarang kalian mendengar, dan kalian nanti akan didengar, dan akan didengar pula dari orang yang mendengar dari kalian.” [2]
Maksudnya, para Shahabat mendengar hadits-hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, melihat perbuatan-perbuatan beliau, sifat-sifat beliau, dan segala perbuatan yang ditaqrir oleh beliau, kemudian para Shahabat meriwayatkannya (sesudah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat), riwayat para Shahabat akan didengar, diperlihatkan, dan dicatat oleh para Tabi'in. Begitu selanjutnya, para Tabi'in yang mendengar hadits dari para Shahabat akan meriwayatkan lagi, yang juga akan didengar dan dicatat oleh Tabi’ut Tabi’in. Bagai roda yang terus berputar, hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam akan senantiasa diriwayatkan, diperlihatkan, didengar dan dicatat oleh imam pencatat hadits dalam kitab-kitab mereka, seperti Imam Malik, Ahmad, asy-Syafi’i, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan yang lainnya. Kitab-kitab mereka ini terpelihara dengan baik dari zaman ke zaman yang akhirnya sampai kepada kita dan insya Allah terus terpelihara hingga akhir zaman.
Kemudian setelah thabaqah Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm (wafat th. 117 H) dan Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri (wafat th. 124 H), datanglah thabaqah kedua dengan pendiwanan (pembukuan) yang dilakukan secara resmi pula. Mereka ini terdiri dari ulama-ulama besar dan pemuka-pemuka ahli Hadits, di antaranya ialah:
1. Ibnu Juraij di Makkah
2. Sa'id bin Arubah
3. Al-Auza’i di Syam
4. Sufyan ats-Tsauri di Kufah
5. Imam Malik bin Anas di Madinah
6. ‘Abdullah Ibnul Mubarak
7. Hammad bin Salamah di Bashrah
8. Husyaim
9. Imam asy-Syafi'i
Mereka ini semuanya dari generasi Tabi'ut Tabi’in yang hidup pada zaman kedua Hijriyah. Cara pengumpulannya masih bercampur dengan perkataan-perkataan Shahabat dan fatwa-fatwa Tabi'in. Di antara kitab-kitab hadits yang paling masyhur pada abad ini ialah kitab al-Muwaththa’ yang disusun oleh Imam Malik bin Anas. Kemudian pada permulaan abad ketiga Hijriyah, bangkit kembali pemuka-pemuka ahli hadits yang membukukan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara resmi. Dalam pengumpulan kali ini mereka menempuh dua cara, yaitu:
Pertama : Khusus mengumpulkan hadits-hadits yang shahih saja. Orang yang pertama kali mengumpulkannya ialah:
• Imam al-Bukhari (Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, lahir th. 194 H - wafat th. 256 H)
• Imam Muslim (Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, lahir th. 204 H - wafat th. 261 H)
Kedua : Hanya mengumpulkan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja tanpa membedakan mana yang shahih dan mana yang tidak. Dalam kitab-kitab mereka ini terdapat hadits-hadits shahih, hasan dan dha’if, bahkan ada pula yang maudhu' (palsu). Kitab-kitab yang masyhur pada abad ketiga Hijriyah, antara lain :
1. Musnad Ahmad bin Hanbal (164 - 241 H)
2. Shahih al-Bukhari (194 - 256 H)
3. Shahih Muslim (204 - 261 H)
4. Sunan Abu Dawud (202 – 275 H)
5. Sunan ad-Darimi (181 – 255 H)
6. Sunan Ibni Majah (209 - 273 H)
7. Sunan an-Nasa-i (225 - 303 H)
Sedangkan kitab-kitab yang masyhur pada abad keempat Hijriyah, antara lain:
1. Shahih Ibnu Khuzaimah (223 - 311 H)
2. Mu'jamul Kabir, Mu'jamul Ausath, dan Mu'jamush Shaghir, yang disusun oleh ath-Thabrani (260-340 H)
3. Sunan ad-Daraquthni (306 - 385 H)
4. Al-Mustadrak al-Hakim (321 - 405 H)
Manuskrip-manuskrip para ulama ini terpelihara dengan rapi di berbagai perpustakaan dunia Islam. Kitab-kitab tersebut disalin dan dicetak ulang hingga tersebar ke berbagai pelosok dunia Islam. Kemudian kitab-kitab itu disyarah lagi oleh para ulama, ditahqiq, dan diringkas sanadnya. Demikianlah mata rantai yang tiada putus-putusnya dari rawi ke rawi terjaga dengan baik. Oleh karena itu, sudah semestinya kita mempercayainya. Walaupun ada orang-orang yang mencoba untuk membuat riwayat-riwayat palsu. Tapi para ulama telah membahas dan meneliti serta menerangkan dengan jelas dalam kitab-kitab khusus yang membahas tentang hadits-hadits dha'if dan palsu, sehingga dengan demikian tidak menimbulkan keraguan lagi dalam menerima hadits-hadits yang benar-benar berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallaam.
Pada abad sekarang ini ada seorang pakar hadits yang bernama Syaikh al-Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani, beliau telah menyeleksi kitab-kitab Sunan dari Kutubus Sab’ah dengan membedakan antar yang shahih dan yang dha'if, kitab-kitab ini sudah dicetak. Di antaranya:
1. Shahih Sunan at-Tirmidzi dan Dha'if Sunan at-Tirmidzi,
2. Shahih Sunan Abi Dawud dan Dha'if Sunan Abi Dawud,
3. Shahih Sunan an-Nasa-i dan Dha'if Sunan an-Nasa-i,
4. Shahih Sunan Ibni Majah dan Dha'if Sunan Ibni Majah,
5. Shahih al-Adabul Mufrad dan Dha’if al-Adabul Mufrad,
6. Shahih Mawariduzh Zham’an dan Dha’if-nya,
7. Shahih at-Targhib wat Tarhib dan Dha’if-nya, dan kitab-kitab yang lainnya.
Bila mata rantai yang tiada putusnya dari zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para Shahabat, Tabi'in, Tabi’ut Tabi'in dalam penulisan hadits dan pembukuannya masih diragukan, maka orang yang meragukan adalah orang-orang yang zindiq, kufur, dan termasuk orang-orang yang paling bodoh di dunia tentang As-Sunnah, bahkan dihukumi keluar dari Islam. Dihukumi kafir karena dia telah menolak hujjah-hujjah As-Sunnah dan meragukan kebenaran yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
E. Bantahan dan Tanggapan Dalil Keempat
Dua riwayat yang dibawakan penentang As-Sunnah adalah lemah :
1. Riwayat pertama dengan periwayat Thabrani dalam kitab Mu'jamul Kabir dari jalan ‘Ali bin Sa'id ar-Razy, dari az-Zubair bin Muhammad az-Zubair ar-Rahawi, dari Qatadah bin al-Fudhail, dari Abi Hadhir, dari al-Wadhiin, dari Salim bin ‘Abdillah dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
Sanad pada hadits ini lemah, karena ada beberapa 'illatnya :
a. Al-Wadhiin bin ‘Atha’ jelek hafalannya
b. Qatadah bin al-Fudhail, kata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani, “Bisa diterima kalau ada mutabi’nya.”
c. Abi Hadhir tersebut lemah
2. Riwayat kedua dengan riwayat ad-Daraquthni dan al-Khatib
Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad dari jalan Yahya bin Adam, dari Ibnu Abi Dzi'bin, dari Sa’id bin Abi Sa'id al-Makburi, dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Abu Hatim ar-Razi dan Imam al-Bukhari menerangkan dalam tarikhul Kabir bahwa Ibnu Thuhman dari Ibnu Abi Dzi'bin dari Sa'id al-Makburi, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ia menyebutkan hadits di atas, Yahya berkata, “Dari Abu Hurairah.” Ini adalah satu kekeliruan, sebenarnya tidak ada penyebutan Abu Hurairah.
Jadi 'illat hadits di atas ialah mursal, dan hadits mursal tidak bisa dijadikan hujjah. Kata Imam al-Baihaqi, “Ada hadits yang semakna dengan ini, tapi semuanya lemah. Ibnu Khuzaimah tentang kedudukan hadits ini mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat seorang di Timur ataupun di Barat yang mengenal berita Ibnu Abi Dzi'bin selain Yahya bin Adam. Dan tidak ada ulama hadits yang menetapkan hadits ini bersumber dari Abu Hurairah. Sesungguhnya terdapat kesimpangsiuran pada Yahya bin Adam mengenai sanad dan matannya, terdapat ikhtilaf yang banyak sehingga hadits ini goncang. Ada yang menyebutkan namanya, sehingga hadits ini termasuk mursal.
Dengan demikian jelaslah bahwa riwayat yang dijadikan pegangan para penentang dengan menggunakan hadits sebagai hujjah ternyata tidak mempunyai dasar sama sekali, bahkan para pakar hadits menyatakan bahwa dasar yang dijadikan untuk menentang As-Sunnah adalah tidak kuat.
Mengingkari penggunaan As-Sunnah sebagai hujjah dan anggapan bahwasanya Islam hanya memiliki sumber hanya dari Al-Qur-an semata, tidak mungkin menjadi pendirian seorang muslim yang benar-benar memahami agama Allah dan syari’at-Nya. Karena mengingkari As-Sunnah berarti mengingkari Al-Qur-an, bukankah ba-nyak hukum syari’at yang ditetapkan dalam As-Sunnah?
Pada umumnya, hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur-an hanyalah secara garis besar saja. Hal itu dibuktikan bahwa kita tidak akan menemukan dalam Al-Qur-an bahwa shalat itu lima waktu sehari semalam. Atau apakah kita temukan jumlah raka'at shalat di dalamnya, tentang nisab zakat, rincian ibadah haji, dan segala hukum mu'amalah dan ibadah?
Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm (wafat th. 456 H), yang dikenal dengan Ibnu Hazm, berkata, “Dapat kiranya kita mengajukan berbagai pertanyaan kepada orang yang rusak pendiriannya, yang tidak mau menggunakan hadits sebagai hujjah. Di bagian manakah ia dapat menemukan shalat Zhuhur empat rakaat dalam Al-Qur-an, cara sujud, bacaan shalat, dan cara salam? Adakah penjelasan tentang berbagai larangan bagi orang yang berpuasa, nishab zakat emas, perak, kambing, unta, dan sapi? Adakah aturan rinci tentang pe-laksanaan ibadah haji, waktu wuquf di Arafah, cara melaksanakan shalat di Muzdalifah, cara melempar jumrah, tata cara ihram, dan larangannya? Adakah ketentuan tegas tentang balasan-balasan potong tangan bagi pencuri, larangan kawin dengan saudara sepersusuan? Adakah hukum yang rinci tentang makanan dan sembelihan yang diharamkan, sifat sembelihan dan binatang kurban? Adakah rincian hukum pidana, ketetapan hukum thalaq (cerai), hukum jual beli, riba, hukum perdata, sumpah dan hukum tahanan, umrah, shadaqah, dan semua ke-tentuan fiqh lainnya?
Di dalam Al-Qur-an terdapat ketentuan yang menyeluruh, yang apabila rinciannya kita abaikan, kita tidak mungkin dapat melaksanakan isi Al-Qur-an. Untuk itu kita harus kembalikan semuanya kepada apa yang telah diriwayatkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau. Sekalipun kesepakatan ulama yang berkenaan dengan persoalan yang sederhana, haruslah didasarkan pada hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sekiranya masih ada orang yang berpendirian bahwa hanya yang terdapat di dalam Al-Qur-an saja yang dijadikan pegangan, maka menurut ijma' ulama orang tersebut telah kafir. Karena orang yang berpendirian seperti itu, niscaya dia akan merasa cukup shalat satu raka’at dari waktu terbit fajar hingga larut malam, dia tidak akan menemukan dalam Al-Qur-an lebih dari sekedar perintah shalat.
Orang yang Inkar Sunnah adalah kafir, musyrik, halal darah dan hartanya. Mereka sama halnya dengan tokoh Rafidhah yang telah dihukumi kafir menurut ijma’ ummat Islam.
Selain itu jika ada orang yang hanya berpegang pada pendapat yang disepakati para imam saja, dan meninggalkan setiap yang diperselisihkan padahal nash-nashnya ada, mereka menurut ijma’ ulama termasuk orang fasik.
Atas kedua dasar itulah hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib dijadikan pegangan.[3]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari dalam Kitabul ‘Ilmi bab Kaifa Yuqbadhul ‘Ilmu? (Fat-hul Baary I/194) dan ad-Darimy (I/126).
[2]. Hadits shahih riwayat Ahmad (I/321), Abu Dawud (no. 3659), al-Hakim (I/95) dan Ibnu Hibban (Shahih Mawariduzh Zham’an no. 65), dari jalan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma.
[3]. Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam (I/214-215), cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
D. Pentadwinan (Pengumpulan/Pembukuan) As-Sunnah
Penyampaian hadits dilakukan dengan sangat hati-hati, karena menyangkut masalah-masalah agama. Hal ini sengaja dilakukan demi menjaga apabila dalam penyampaiannya terjadi kesalahan. Sebagaimana dijelaskan oleh az-Zubair, “Mereka yang kuat ingatannya telah menyampaikan hadits tanpa ada kesalahan, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairah.”
As-Sunnah disalin dengan sangat hati-hati, baik dengan jalan hafalan maupun tulisan. Hal ini telah berlangsung sejak zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan zaman para Shahabat sampai akhir abad pertama, hingga kemudian lembaran-lembaran yang berisikan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dikumpulkan pada masa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Di mana ia memerintahkan Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm untuk menulis dan mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sejak itu pula dimulai ilmu periwayatan hadits. Kata khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz kepada Abu Bakar bin Muhammad, “Perhatikanlah hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu tulislah hadits-hadits itu, karena sesungguhnya aku khawatir akan hilangnya ilmu dengan wafatnya para ulama, dan janganlah diterima melainkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja.” [1]
Setelah Abu Bakar bin Muhammad menerima perintah khalifah, ia pun memerintahkan Ibnu Syihab az-Zuhri, seorang ulama besar dan pemuka ahli hadits, untuk mengumpulkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara resmi.
Tentang adanya periwayatan hadits, memang telah ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri dalam salah satu sabdanya:
تَسْمَعُوْنَ وَيُسْمَعُ مِنْكُمْ وَيُسْمَعُ مِمَّنْ سَمِعَ مِنْكُمْ.
“Sekarang kalian mendengar, dan kalian nanti akan didengar, dan akan didengar pula dari orang yang mendengar dari kalian.” [2]
Maksudnya, para Shahabat mendengar hadits-hadits dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, melihat perbuatan-perbuatan beliau, sifat-sifat beliau, dan segala perbuatan yang ditaqrir oleh beliau, kemudian para Shahabat meriwayatkannya (sesudah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat), riwayat para Shahabat akan didengar, diperlihatkan, dan dicatat oleh para Tabi'in. Begitu selanjutnya, para Tabi'in yang mendengar hadits dari para Shahabat akan meriwayatkan lagi, yang juga akan didengar dan dicatat oleh Tabi’ut Tabi’in. Bagai roda yang terus berputar, hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam akan senantiasa diriwayatkan, diperlihatkan, didengar dan dicatat oleh imam pencatat hadits dalam kitab-kitab mereka, seperti Imam Malik, Ahmad, asy-Syafi’i, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan yang lainnya. Kitab-kitab mereka ini terpelihara dengan baik dari zaman ke zaman yang akhirnya sampai kepada kita dan insya Allah terus terpelihara hingga akhir zaman.
Kemudian setelah thabaqah Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm (wafat th. 117 H) dan Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri (wafat th. 124 H), datanglah thabaqah kedua dengan pendiwanan (pembukuan) yang dilakukan secara resmi pula. Mereka ini terdiri dari ulama-ulama besar dan pemuka-pemuka ahli Hadits, di antaranya ialah:
1. Ibnu Juraij di Makkah
2. Sa'id bin Arubah
3. Al-Auza’i di Syam
4. Sufyan ats-Tsauri di Kufah
5. Imam Malik bin Anas di Madinah
6. ‘Abdullah Ibnul Mubarak
7. Hammad bin Salamah di Bashrah
8. Husyaim
9. Imam asy-Syafi'i
Mereka ini semuanya dari generasi Tabi'ut Tabi’in yang hidup pada zaman kedua Hijriyah. Cara pengumpulannya masih bercampur dengan perkataan-perkataan Shahabat dan fatwa-fatwa Tabi'in. Di antara kitab-kitab hadits yang paling masyhur pada abad ini ialah kitab al-Muwaththa’ yang disusun oleh Imam Malik bin Anas. Kemudian pada permulaan abad ketiga Hijriyah, bangkit kembali pemuka-pemuka ahli hadits yang membukukan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam secara resmi. Dalam pengumpulan kali ini mereka menempuh dua cara, yaitu:
Pertama : Khusus mengumpulkan hadits-hadits yang shahih saja. Orang yang pertama kali mengumpulkannya ialah:
• Imam al-Bukhari (Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, lahir th. 194 H - wafat th. 256 H)
• Imam Muslim (Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, lahir th. 204 H - wafat th. 261 H)
Kedua : Hanya mengumpulkan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja tanpa membedakan mana yang shahih dan mana yang tidak. Dalam kitab-kitab mereka ini terdapat hadits-hadits shahih, hasan dan dha’if, bahkan ada pula yang maudhu' (palsu). Kitab-kitab yang masyhur pada abad ketiga Hijriyah, antara lain :
1. Musnad Ahmad bin Hanbal (164 - 241 H)
2. Shahih al-Bukhari (194 - 256 H)
3. Shahih Muslim (204 - 261 H)
4. Sunan Abu Dawud (202 – 275 H)
5. Sunan ad-Darimi (181 – 255 H)
6. Sunan Ibni Majah (209 - 273 H)
7. Sunan an-Nasa-i (225 - 303 H)
Sedangkan kitab-kitab yang masyhur pada abad keempat Hijriyah, antara lain:
1. Shahih Ibnu Khuzaimah (223 - 311 H)
2. Mu'jamul Kabir, Mu'jamul Ausath, dan Mu'jamush Shaghir, yang disusun oleh ath-Thabrani (260-340 H)
3. Sunan ad-Daraquthni (306 - 385 H)
4. Al-Mustadrak al-Hakim (321 - 405 H)
Manuskrip-manuskrip para ulama ini terpelihara dengan rapi di berbagai perpustakaan dunia Islam. Kitab-kitab tersebut disalin dan dicetak ulang hingga tersebar ke berbagai pelosok dunia Islam. Kemudian kitab-kitab itu disyarah lagi oleh para ulama, ditahqiq, dan diringkas sanadnya. Demikianlah mata rantai yang tiada putus-putusnya dari rawi ke rawi terjaga dengan baik. Oleh karena itu, sudah semestinya kita mempercayainya. Walaupun ada orang-orang yang mencoba untuk membuat riwayat-riwayat palsu. Tapi para ulama telah membahas dan meneliti serta menerangkan dengan jelas dalam kitab-kitab khusus yang membahas tentang hadits-hadits dha'if dan palsu, sehingga dengan demikian tidak menimbulkan keraguan lagi dalam menerima hadits-hadits yang benar-benar berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallaam.
Pada abad sekarang ini ada seorang pakar hadits yang bernama Syaikh al-Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani, beliau telah menyeleksi kitab-kitab Sunan dari Kutubus Sab’ah dengan membedakan antar yang shahih dan yang dha'if, kitab-kitab ini sudah dicetak. Di antaranya:
1. Shahih Sunan at-Tirmidzi dan Dha'if Sunan at-Tirmidzi,
2. Shahih Sunan Abi Dawud dan Dha'if Sunan Abi Dawud,
3. Shahih Sunan an-Nasa-i dan Dha'if Sunan an-Nasa-i,
4. Shahih Sunan Ibni Majah dan Dha'if Sunan Ibni Majah,
5. Shahih al-Adabul Mufrad dan Dha’if al-Adabul Mufrad,
6. Shahih Mawariduzh Zham’an dan Dha’if-nya,
7. Shahih at-Targhib wat Tarhib dan Dha’if-nya, dan kitab-kitab yang lainnya.
Bila mata rantai yang tiada putusnya dari zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para Shahabat, Tabi'in, Tabi’ut Tabi'in dalam penulisan hadits dan pembukuannya masih diragukan, maka orang yang meragukan adalah orang-orang yang zindiq, kufur, dan termasuk orang-orang yang paling bodoh di dunia tentang As-Sunnah, bahkan dihukumi keluar dari Islam. Dihukumi kafir karena dia telah menolak hujjah-hujjah As-Sunnah dan meragukan kebenaran yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
E. Bantahan dan Tanggapan Dalil Keempat
Dua riwayat yang dibawakan penentang As-Sunnah adalah lemah :
1. Riwayat pertama dengan periwayat Thabrani dalam kitab Mu'jamul Kabir dari jalan ‘Ali bin Sa'id ar-Razy, dari az-Zubair bin Muhammad az-Zubair ar-Rahawi, dari Qatadah bin al-Fudhail, dari Abi Hadhir, dari al-Wadhiin, dari Salim bin ‘Abdillah dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
Sanad pada hadits ini lemah, karena ada beberapa 'illatnya :
a. Al-Wadhiin bin ‘Atha’ jelek hafalannya
b. Qatadah bin al-Fudhail, kata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani, “Bisa diterima kalau ada mutabi’nya.”
c. Abi Hadhir tersebut lemah
2. Riwayat kedua dengan riwayat ad-Daraquthni dan al-Khatib
Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad dari jalan Yahya bin Adam, dari Ibnu Abi Dzi'bin, dari Sa’id bin Abi Sa'id al-Makburi, dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Abu Hatim ar-Razi dan Imam al-Bukhari menerangkan dalam tarikhul Kabir bahwa Ibnu Thuhman dari Ibnu Abi Dzi'bin dari Sa'id al-Makburi, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ia menyebutkan hadits di atas, Yahya berkata, “Dari Abu Hurairah.” Ini adalah satu kekeliruan, sebenarnya tidak ada penyebutan Abu Hurairah.
Jadi 'illat hadits di atas ialah mursal, dan hadits mursal tidak bisa dijadikan hujjah. Kata Imam al-Baihaqi, “Ada hadits yang semakna dengan ini, tapi semuanya lemah. Ibnu Khuzaimah tentang kedudukan hadits ini mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat seorang di Timur ataupun di Barat yang mengenal berita Ibnu Abi Dzi'bin selain Yahya bin Adam. Dan tidak ada ulama hadits yang menetapkan hadits ini bersumber dari Abu Hurairah. Sesungguhnya terdapat kesimpangsiuran pada Yahya bin Adam mengenai sanad dan matannya, terdapat ikhtilaf yang banyak sehingga hadits ini goncang. Ada yang menyebutkan namanya, sehingga hadits ini termasuk mursal.
Dengan demikian jelaslah bahwa riwayat yang dijadikan pegangan para penentang dengan menggunakan hadits sebagai hujjah ternyata tidak mempunyai dasar sama sekali, bahkan para pakar hadits menyatakan bahwa dasar yang dijadikan untuk menentang As-Sunnah adalah tidak kuat.
Mengingkari penggunaan As-Sunnah sebagai hujjah dan anggapan bahwasanya Islam hanya memiliki sumber hanya dari Al-Qur-an semata, tidak mungkin menjadi pendirian seorang muslim yang benar-benar memahami agama Allah dan syari’at-Nya. Karena mengingkari As-Sunnah berarti mengingkari Al-Qur-an, bukankah ba-nyak hukum syari’at yang ditetapkan dalam As-Sunnah?
Pada umumnya, hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur-an hanyalah secara garis besar saja. Hal itu dibuktikan bahwa kita tidak akan menemukan dalam Al-Qur-an bahwa shalat itu lima waktu sehari semalam. Atau apakah kita temukan jumlah raka'at shalat di dalamnya, tentang nisab zakat, rincian ibadah haji, dan segala hukum mu'amalah dan ibadah?
Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm (wafat th. 456 H), yang dikenal dengan Ibnu Hazm, berkata, “Dapat kiranya kita mengajukan berbagai pertanyaan kepada orang yang rusak pendiriannya, yang tidak mau menggunakan hadits sebagai hujjah. Di bagian manakah ia dapat menemukan shalat Zhuhur empat rakaat dalam Al-Qur-an, cara sujud, bacaan shalat, dan cara salam? Adakah penjelasan tentang berbagai larangan bagi orang yang berpuasa, nishab zakat emas, perak, kambing, unta, dan sapi? Adakah aturan rinci tentang pe-laksanaan ibadah haji, waktu wuquf di Arafah, cara melaksanakan shalat di Muzdalifah, cara melempar jumrah, tata cara ihram, dan larangannya? Adakah ketentuan tegas tentang balasan-balasan potong tangan bagi pencuri, larangan kawin dengan saudara sepersusuan? Adakah hukum yang rinci tentang makanan dan sembelihan yang diharamkan, sifat sembelihan dan binatang kurban? Adakah rincian hukum pidana, ketetapan hukum thalaq (cerai), hukum jual beli, riba, hukum perdata, sumpah dan hukum tahanan, umrah, shadaqah, dan semua ke-tentuan fiqh lainnya?
Di dalam Al-Qur-an terdapat ketentuan yang menyeluruh, yang apabila rinciannya kita abaikan, kita tidak mungkin dapat melaksanakan isi Al-Qur-an. Untuk itu kita harus kembalikan semuanya kepada apa yang telah diriwayatkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits-hadits beliau. Sekalipun kesepakatan ulama yang berkenaan dengan persoalan yang sederhana, haruslah didasarkan pada hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sekiranya masih ada orang yang berpendirian bahwa hanya yang terdapat di dalam Al-Qur-an saja yang dijadikan pegangan, maka menurut ijma' ulama orang tersebut telah kafir. Karena orang yang berpendirian seperti itu, niscaya dia akan merasa cukup shalat satu raka’at dari waktu terbit fajar hingga larut malam, dia tidak akan menemukan dalam Al-Qur-an lebih dari sekedar perintah shalat.
Orang yang Inkar Sunnah adalah kafir, musyrik, halal darah dan hartanya. Mereka sama halnya dengan tokoh Rafidhah yang telah dihukumi kafir menurut ijma’ ummat Islam.
Selain itu jika ada orang yang hanya berpegang pada pendapat yang disepakati para imam saja, dan meninggalkan setiap yang diperselisihkan padahal nash-nashnya ada, mereka menurut ijma’ ulama termasuk orang fasik.
Atas kedua dasar itulah hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib dijadikan pegangan.[3]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari dalam Kitabul ‘Ilmi bab Kaifa Yuqbadhul ‘Ilmu? (Fat-hul Baary I/194) dan ad-Darimy (I/126).
[2]. Hadits shahih riwayat Ahmad (I/321), Abu Dawud (no. 3659), al-Hakim (I/95) dan Ibnu Hibban (Shahih Mawariduzh Zham’an no. 65), dari jalan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma.
[3]. Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam (I/214-215), cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah
Kategori Kitab : As-Sunnah Tanggapan Dan Bantahan Bagi Para Penentang As-Sunnah
TANGGAPAN DAN BANTAHAN BAGI PARA PENENTANG AS-SUNNAH
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
A. Bantahan dan Tanggapan Dalil Pertama
Tiga ayat yang dijadikan dalil oleh Inkaarus Sunnah (penentang As-Sunnah) tidak dapat dijadikan hujjah atau dasar untuk menolak As-Sunnah. Menurut Imam al-Au-za’i rahimahullah bahwa yang dimaksud Al-Qur-an menerangkan segala sesuatu, yakni menerangkan dengan penjelasan yang terdapat dalam As-Sunnah. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat lain bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diberikan kewenangan oleh Allah untuk menerangkan Al-Qur-anul Karim kepada umat manusia.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan Al-Qur-an kepadamu agar engkau jelaskan kepada manusia tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka, agar mereka berfikir.” [An-Nahl: 44]
Kata Imam asy-Syafi’i, “Istilah al-Bayan (tibyan) yang disebut dalam Al-Qur-an mengandung berbagai makna yang mencakup pengertian pokok sebagai sumber yang dijabarkan dalam berbagai cabang hukum (furu'). Hal ini diterangkan dalam Al-Qur-an oleh Allah kepada makhluk-makhlukNya yang mengandung berbagai segi:
1. Ketentuan fardhu yang dicantumkan sebagai nash secara global, yaitu wudhu', shalat, zakat, puasa, dan haji. Juga terdapat larangan berbuat keji secara terang-terangan atau tersembunyi, seperti larangan zina, minum-minuman keras, makan bangkai, makan darah, dan daging babi. Demikian pula disebutkan tata cara wudhu’ dan sebagainya.
2. Ketentuan yang tegas dari firman Allah dalam Al-Qur-an dijelaskan melalui lisan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Contohnya jumlah raka’at shalat, nishab dan waktu zakat, serta ketentuan lainnya yang belum dijabarkan dalam Al-Qur-an.
3. Ketentuan yang diundangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur-an wajib diikuti, karena Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk taat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta selalu berpedoman kepada hukumnya. Barangsiapa yang telah melaksanakan ketentuan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti ia menerima ketentuan Allah.
4. Kewajiban yang dikenakan kepada hamba-hamba-Nya ini bertujuan agar bersungguh-sungguh mencari keterangan itu, dan Allah menguji ketaatan mereka dalam berijtihad sebagaimana ujian dalam hal-hal yang difardukan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Selanjutnya Imam asy-Syafi’i menjelaskan bahwa barangsiapa yang menjadikan firman Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur-an sebagai sumber hukum, pasti akan menjadikan As-Sunnah sebagai hujjah, karena Allah telah menjadikan makhluk-Nya untuk mentaati Rasul-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“...Apa yang diberikan Rasul kapadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...” [Al-Hasyr: 7]
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, mereka menerima dengan sepenuhnya.” [An-Nisaa’ : 65]
Orang-orang yang ingkar kepada As-Sunnah dengan menggunakan beberapa dalil dari ayat yang mengingkari ayat-ayat lain yang memerintahkan taat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka adalah seperti orang-orang yang disinyalir Allah dalam firman-Nya:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَاءُ مَن يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat besar. Dan Allah tidak lengah dari apa kamu perbuat.” [Al-Baqarah: 85]
B. Bantahan dan Tanggapan Dalil Kedua
Adapun yang dimaksud dengan istilah hifzhudz dzikir dalam ayat 9 surat al-Hijr:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikra dan Kami pasti memeliharanya.” [Al-Hijr: 9]
Tidaklah terbatas pada perlindungan terhadap Al-Qur-an saja, melainkan mencakup peraturan Allah serta peraturan yang diundangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Allah menetapkan arti dzikr itu lebih umum dari hanya al-Qur-an saja.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Tanyakanlah kepada ahli dzikir sekiranya kalian tidak mengetahui.” [An-Nahl: 43]
Yang dimaksud dzikir dalam ayat ini ialah orang yang memahami Dinullah dan syari'at-Nya. Tidaklah diragukan lagi bahwa Allah menjamin Sunnah Rasul-Nya sebagaimana Dia menjamin Kitab-Nya. Hal ini terbukti dari perjuangan ulama yang telah menghabiskan usianya dalam menghafal, menyalin, mempelajari Al-Qur-an dan As-Sunnah. Di samping itu mereka juga tidak lupa mengadakan seleksi yang ketat terhadap As-Sunnah.
Imam Muhammad bin ‘Ali bin Hazm yang terkenal dengan Ibnu Hazm berkata, “Di antara para ahli bahasa dan syari'at tidak terdapat perbedaan faham bahwa wahyu dari Allah merupakan ajaran yang diturunkan. Wahyu ini seluruhnya dijamin oleh Allah Ta’ala. Segala yang termasuk dalam jaminan Allah pasti tidak akan hilang atau menyimpang sedikit pun selama-lamanya, dan tidak akan pernah muncul keterangan yang membatalkan wahyu tersebut”.
Kemudian Ibnu Hazm menolak penafsiran kata dzikr dalam Al-Qur-an (Al-Hijr: 9) yang hanya diartikan sebagai Al-Qur-an saja. Ia berkata, “Pandangan tersebut hanyalah dusta yang jauh dari pembuktian, dan bermaksud mempersempit arti dzikr tanpa suatu dalil pun. Kata dzikr dalam ayat tersebut ialah suatu nama yang berkaitan dengan segala yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya, baik itu Al-Qur-an maupun As-Sunnah, dan As-Sunnah merupakan wahyu sebagai penjelasan Al-Qur-an.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“...Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur-an agar engkau menjelaskan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka, agar mereka berfikir.” [An-Nahl: 44]
Jadi, nyatalah bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diperintahkan untuk menjelaskan kepada ummat manusia, karena banyak ayat-ayat dalam Al-Qur-an yang hanya dicantumkan secara garis besarnya saja, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Dari bunyi lafazhnya, tidak dapat kita ketahui apa sebenarnya yang dikehendaki Allah kepada kita selaku hamba-Nya. Oleh karena itu, perlu dilengkapi dengan penjelasan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sekiranya penjelasan tersebut tidak ada atau diabaikan begitu saja, maka sebagian besar syari’at yang difardhukan kepada kita akan gugur, dan kita tidak mengetahui apa yang sebenarnya dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan ayat-ayat tersebut (bila As-Sunnah tidak dijamin).
Al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahim al-Wazir, setelah membaca ayat di atas (Al-Hijr: 9), ia berkata: “Konsekuensi dari ayat ini ialah bahwa syari’at Rasu-lullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap terpelihara dan Sunnahnya tetap dijaga Allah.”
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terpelihara ialah Allah menjadikan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai penutup para Nabi, dan syari’atnya sebagai penutup segala syari’at. Ummat manusia diperintahkan Allah agar beriman dan mengikuti syari’atnya sampai hari Kiamat, dengan demikian batallah syari’at yang menyalahi syari’at beliau. Allah tetapkan syari’at beliau serta memeliharanya, karena suatu hal yang mustahil bila Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya mengikuti syari’at yang telah lenyap, atau tidak terpelihara. Dan ingat, ummat Islam telah sepakat bahwa rujukan asasi bagi syari’at Islam adalah Al-Qur-an dan As-Sunnah. Karena kita tidak bisa memahami Al-Qur-an dan menegakkan hujjah Allah dalam mengadili hamba-hamba-Nya melainkan dengan risalah dan syari’at Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ini sebagai pertanda bahwa pemeliharaan Al-Qur-an tidak sempurna melainkan dengan dipeliharanya As-Sunnah. Ada satu di antara kaidah ushul yang perlu kita ketahui, Syaikh Jamaluddin al-Qasimy menjelaskannya bahwa hadits tersebut dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta'ala
C. Bantahan dan Tanggapan Dalil Ketiga
Dalam beberapa hadits shahih diungkapkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyukai penulisan hadits, di antaranya hadits Abu Sa’id al-Khudri yang dipakai hujjah oleh Inkarus Sunnah. Hadits tersebut memang shahih, tetapi kita harus melihat hadits-hadits lain yang berkenaan dengan masalah ini dan penjelasan dari para ulama. Imam an-Nawawi menjelaskan hadits Abu Sa’id dengan membawakan beberapa pendapat, di antaranya :
1. Larangan penulisan yang dimaksud ialah menuliskan hadits dengan Al-Qur-an dalam satu lembaran, karena dikhawatirkan akan tercampur dengan Al-Qur-an.
2. Larangan yang dimaksud khusus bagi orang yang kuat hafalannya supaya tidak mengandalkan tulisan. Adapun orang yang tidak kuat hafalannya, maka ia menulis.
3. Hadits Abu Sa'id yang melarang menulis hadits sudah mansukh dengan hadits yang menyuruh untuk menulis.
Menurut Syaikh Ahmad Muhammad Syakir: “Jawaban yang benar adalah larangan penulisan sudah dihapuskan (dimansukh) dengan hadits lain yang menyuruh menulis hadits.
Hadits-hadits yang memerintahkan untuk menulis hadits (As-Sunnah):
1. Pada waktu Fat-hu Makkah (tahun 8 H.) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah, kemudian seseorang dari Yaman yang biasa dipanggil Abu Syah berkata, “Ya Rasulullah, tuliskanlah untukku.” Lalu beliau bersabda: “Tuliskanlah untuk Abu Syah.”[1]
Yang dimaksud, “Tuliskanlah untukku,” kata Imam al-Auza'i ialah: “Ia minta dituliskan khutbah yang ia dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” Dan kata Abu ‘Abdirrahman, “Tidak ada satu hadits pun yang paling sah tentang penulisan hadits selain hadits ini, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan mereka (Shahabat) menuliskan khutbah yang ia dengar dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
2. Kata ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu, “Aku pernah menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena aku ingin menghafalnya, kemudian orang-orang Quraisy melarangku sambil berkata, ‘Apakah engkau tulis semua yang kau dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang bersabda di kala senang dan marah?’ Lalu aku berhenti menulis, kemudian aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian beliau mengisyaratkan ke mulut beliau seraya bersabda:
أُكْتُبْ، فَوَالَّذِى نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ.
“Tulislah, demi Dzat yang diriku berada di Tangan-Nya, tidaklah keluar dari mulutku ini melainkan yang haq.” [2]
3. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Tidak seorang pun dari Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lebih banyak hafalan haditsnya selain aku, dan yang hampir sama banyaknya denganku adalah ‘Abdullah bin ‘Amr, karena ia menulis.” [3]
Hadits-hadits di atas telah diamalkan oleh para Shahabat, Tabi'in, dan juga ummat yang telah sepakat sesudah itu tentang bolehnya menuliskan hadits. Semua itu menunjukkan bahwa hadits Abu Sa'id telah mansukh dan larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu terjadi pada awal Islam, karena dikhawatirkan tercampur antara Al-Qur-an dan As-Sunnah dalam penulisannya. Sedangkan hadits Abu Syah terjadi pada Fat-hul Makkah (di akhir-akhir hayat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam), demikian juga hadits Abu Hurairah, beliau masuk Islam pada tahun ke-7 H, kemudian terjadi ijma' tentang penulisan dan khabar yang demikian berupa khabar mutawatir ‘amali dari Salafush Shalih yang mudah-mudahan Allah meridhai mereka semua.
Riwayat-riwayat yang dibawakan oleh Inkarus Sunnah bahwa para Shahabat tidak menyukai penulisan hadits, riwayat itu tidak sah, bahkan sebaliknya mereka memerintahkan untuk menuliskan hadits.
Ada yang meriwayatkan bahwa Abu Bakar Radhiyallahu anhu, melarang penulisan hadits, menurut Imam adz-Dzahabi tidak sah riwayatnya, karena dalam kenyataannya Abu Bakar Radhiyallahu anhu menulis hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam demikian pula ‘Umar, ‘Ali, dan Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhum yang diriwayatkan bahwa mereka melarang orang menuliskan hadits, riwayatnya sangat lemah derajatnya. Jika pun seandainya ada riwayat yang sah dari mereka akan larangan menuliskan hadits, justru dari mereka pula banyak riwayat yang memerintahkan menuliskan hadits.
Penulisan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh para Shahabat dapat kita lihat dari nukilan riwayat-riwayat berikut ini :
1. Abu Bakar ash-Shiddiqz pernah menulis surat kepada Anas bin Malik yang isinya memuat hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika Anas menjabat sebagai Amil di Bahrain.
2. ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menulis hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam surat-surat resmi agar kaum muslimin mengamalkannya. Dari Abu ‘Utsman, ia berkata, “Kami bersama ‘Utbah bin Farqad (di Azarbaizan), lalu ‘Umar mengirim surat kepadanya yang berisikan beberapa hadits yang disabdakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di antara surat-surat yang dikirimkan isinya ialah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَبِسَ الْحَرِيْرَ فِي الدُّنْيَا لَمْ يَلْبَسْهُ فِي اْلآخِرَةِ.
“Orang-orang yang memakai sutera, maka ia tidak akan mendapatkan bagian di akhirat.” [4]
3. ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu menganjurkan orang-orang menuliskan hadits, dan terkadang mendiktekannya kepada mereka.
4. Zaid bin Tsabitz, penulis wahyu, adalah juga Shahabat yang pertama kali menulis tentang hadits-hadits fara-idh.
Abu Ja'far bin Barqan berkata, “Seandainya Zaid bin Tsabit tidak menulis hadits-hadits fara-idh, sungguh yang demikian ini (ilmu fara-idh) akan hilang dari ummat ini.
5. Abu Ayyub al-Anshariz menulis surat kepada keponakannya yang berisikan dengan hadits-hadits Rasulullah Shallallahui 'alaihi a sallam.[5]
6. Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu anhu membolehkan untuk menuliskan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.[6]
7. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu adalah seorang Shahabat yang kepadanya banyak para Shahabat dan Tabi'in menulis sari hadits Nabi Shallallahu 'alaihi was allam, karena beliau pernah dido'akan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar dapat menghafal hadits-hadits, dan setelah Nabi Shallallahu 'alaihi was allam mendo’akannya ia tidak pernah lupa. [7]
8. Anas bin Malik Abu Hamzah al-Anshari Radhiyallahu anhu adalah seorang Shahabat yang bagus sekali dalam menulis hadits, sehingga Abu Bakar Radhiyallahu anhu mengutusnya ke Bahrain. Dan Anas menganjurkan anak-anaknya untuk menulis hadits.
Tsumamah bin ‘Abdullah berkata, “Anas berwasiat kepada anak-anaknya, ‘Wahai anak-anakku ikatlah ilmu itu dengan tulisan.’”
9. ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu adalah termasuk Shahabat yang banyak menulis hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri pernah memerintahkan kepadanya agar menulis hadits-hadits beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang sudah disebutkan riwayatnya. Hingga hadits-hadits yang ditulisnya terkumpul dalam satu Shahifah ash-Shadiqah.
10. ‘Abdullah bin az-Zubair Radhiyallahu anhuma pernah menulis surat kepada Qadhi ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas'ud yang isinya memuat hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.[8]
11. Mu'awiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu anhuma juga pernah mengirim surat kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma agar ia menuliskan apa-apa yang didengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ‘Aisyah pun menuliskannya.
As-Sya'bi berkata, “Telah menceritakan kepadaku juru tulis Mughirah bin Syu'bah, ia berkata, ‘Mu'awiyah menulis surat kepadaku yang isinya: ‘Hendaklah engkau tuliskan untukku hadits-hadits yang pernah engkau dengar dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.’ Maka aku pun menuliskannya.’”
Di antara para Shahabat lainnya yang menulis hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi was allam adalah:
12. Abu Rafi'.
13. Abu Sa'id al-Khudri.
14. Ubay bin Ka’ab al-Anshari.
15. Abu Musa al-Asy’ari.
16. Asma’ binti Unais.
17. ‘Usaid bin Hudhair al-Anshari.
18. Al-Barra’ bin ‘Azib.
19. Jabir bin Samurah.
20. Jarir bin ‘Abdillah al-Bajali.
21. Jabir bin ‘Abdillah bin ‘Amr.
22. Hasan bin ‘Ali.
23. Rafi' bin Khadij.
24. Zaid bin Arqam.
25. Subai'ah al-Aslamiyyah.
26. Sa’ad bin Ubadah al-Anshari.
27. Salman al-Farisi.
28. As-Saib bin Yazid.
29. Sahl bin Sa’ad as-Sa'idi al-Anshari.
30. Syaddad bin Aus bin Tsabit al-Anshari.
31. Samurah bin Jundub.
32. Syamghun al-Azdi al-Anshari.
33. Dhahhak bin Sufyan al-Kilaabi.
34. Dhahhak bin Qais al-Kilaabi.
35. ‘Abdullah bin Abi Aufa.
36. ‘Abdullah bin ‘Abbas.
37. ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab.
38. ‘Abdullah bin Mas'ud al-Hudzali.
39. ‘Itban bin Malik al-Anshari.
40. Fathimah binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
41. Fathimah binti Qais.
42. Muhammad bin Maslamah al-Anshari.
43. Mu'adz bin Jabal.
44. Ummul Mukminin Maimunah binti Harits al-Hi-lalliyyah.
45. ‘Amr bin Hazm al-Anshari.
46. An-Nu'man bin Basyir.
47. Abu Bakar ats-Tsaqafi Nufa’i bin Masruh.
48. Abu Syah.
49. Abu Hindin ad-Daari.[9]
Dari kalangan Tabi'in yang menuliskan hadits-ha-dits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sebagi berikut:
1. Aban bin ‘Utsman bin ‘Affan.
2. Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i al-Awar.
3. Abu Aliyah ar-Riyahi.
4. Amir bin Sharaahil bin ‘Amr asy-Sya’bi al-Hamdani.
5. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.
6. ‘Urwah bin az-Zubair.
7. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shidiq.
8. Muhammad bin ‘Ali bin Abi Thalib.
9. ‘Ubaidah bin ‘Amr as-Salmani al-Muradi.
10. Ayyub bin Abi Tamimah as-Sikhtiyaani.
11. Ma’imun bin Mihran.
12. Nafi’ maula Ibnu ‘Umar.
13. Manshur bin Mu’tamir.[10]
Dan masih banyak lagi para Tabi'in yang menulis hadits-hadits Rasulullah Shallallhu 'alaihi wa sallam langsung dari para Shahabat, dan untuk kemudian mereka pun menganjurkan kepada para Tabi’ut Tabi'in untuk menuliskannya, dan begitulah seterusnya sehingga membentuk suatu mata rantai sampainya hadits-hadits itu kepada kita saat ini.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 2434), Muslim (no. 1355), Ahmad (II/238) dan Abu Dawud (no. 3649), dari Shahabat Abu Hurairah z.
[2]. Hadits shahih riwayat ad-Darimi (I/125), Ahmad (II/162, 192) dan al-Hakim (I/105-106) dan Abu Dawud (no. 3646).
[3]. Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 113) dan ad-Darimi (I/125 no. 487).
[4]. Hadits shahih riwayat Ahmad (I/26), al-Bukhari (no. 5832) dan Muslim (no. 2073).
[5]. HR. Ahmad (V/413)
[6]. HR. Ad-Darimi (I/127).
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 119).
[8]. HR. Ahmad (IV/4).
[9]. Dirasaat fil Hadits an-Nabawy (I/92-142).
[10].Dirasaat fil Hadits an-Nabawy (I/143-215).
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
A. Bantahan dan Tanggapan Dalil Pertama
Tiga ayat yang dijadikan dalil oleh Inkaarus Sunnah (penentang As-Sunnah) tidak dapat dijadikan hujjah atau dasar untuk menolak As-Sunnah. Menurut Imam al-Au-za’i rahimahullah bahwa yang dimaksud Al-Qur-an menerangkan segala sesuatu, yakni menerangkan dengan penjelasan yang terdapat dalam As-Sunnah. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat lain bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diberikan kewenangan oleh Allah untuk menerangkan Al-Qur-anul Karim kepada umat manusia.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan Al-Qur-an kepadamu agar engkau jelaskan kepada manusia tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka, agar mereka berfikir.” [An-Nahl: 44]
Kata Imam asy-Syafi’i, “Istilah al-Bayan (tibyan) yang disebut dalam Al-Qur-an mengandung berbagai makna yang mencakup pengertian pokok sebagai sumber yang dijabarkan dalam berbagai cabang hukum (furu'). Hal ini diterangkan dalam Al-Qur-an oleh Allah kepada makhluk-makhlukNya yang mengandung berbagai segi:
1. Ketentuan fardhu yang dicantumkan sebagai nash secara global, yaitu wudhu', shalat, zakat, puasa, dan haji. Juga terdapat larangan berbuat keji secara terang-terangan atau tersembunyi, seperti larangan zina, minum-minuman keras, makan bangkai, makan darah, dan daging babi. Demikian pula disebutkan tata cara wudhu’ dan sebagainya.
2. Ketentuan yang tegas dari firman Allah dalam Al-Qur-an dijelaskan melalui lisan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Contohnya jumlah raka’at shalat, nishab dan waktu zakat, serta ketentuan lainnya yang belum dijabarkan dalam Al-Qur-an.
3. Ketentuan yang diundangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur-an wajib diikuti, karena Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk taat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta selalu berpedoman kepada hukumnya. Barangsiapa yang telah melaksanakan ketentuan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti ia menerima ketentuan Allah.
4. Kewajiban yang dikenakan kepada hamba-hamba-Nya ini bertujuan agar bersungguh-sungguh mencari keterangan itu, dan Allah menguji ketaatan mereka dalam berijtihad sebagaimana ujian dalam hal-hal yang difardukan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Selanjutnya Imam asy-Syafi’i menjelaskan bahwa barangsiapa yang menjadikan firman Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur-an sebagai sumber hukum, pasti akan menjadikan As-Sunnah sebagai hujjah, karena Allah telah menjadikan makhluk-Nya untuk mentaati Rasul-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“...Apa yang diberikan Rasul kapadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...” [Al-Hasyr: 7]
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, mereka menerima dengan sepenuhnya.” [An-Nisaa’ : 65]
Orang-orang yang ingkar kepada As-Sunnah dengan menggunakan beberapa dalil dari ayat yang mengingkari ayat-ayat lain yang memerintahkan taat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka adalah seperti orang-orang yang disinyalir Allah dalam firman-Nya:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَاءُ مَن يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat besar. Dan Allah tidak lengah dari apa kamu perbuat.” [Al-Baqarah: 85]
B. Bantahan dan Tanggapan Dalil Kedua
Adapun yang dimaksud dengan istilah hifzhudz dzikir dalam ayat 9 surat al-Hijr:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikra dan Kami pasti memeliharanya.” [Al-Hijr: 9]
Tidaklah terbatas pada perlindungan terhadap Al-Qur-an saja, melainkan mencakup peraturan Allah serta peraturan yang diundangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Allah menetapkan arti dzikr itu lebih umum dari hanya al-Qur-an saja.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Tanyakanlah kepada ahli dzikir sekiranya kalian tidak mengetahui.” [An-Nahl: 43]
Yang dimaksud dzikir dalam ayat ini ialah orang yang memahami Dinullah dan syari'at-Nya. Tidaklah diragukan lagi bahwa Allah menjamin Sunnah Rasul-Nya sebagaimana Dia menjamin Kitab-Nya. Hal ini terbukti dari perjuangan ulama yang telah menghabiskan usianya dalam menghafal, menyalin, mempelajari Al-Qur-an dan As-Sunnah. Di samping itu mereka juga tidak lupa mengadakan seleksi yang ketat terhadap As-Sunnah.
Imam Muhammad bin ‘Ali bin Hazm yang terkenal dengan Ibnu Hazm berkata, “Di antara para ahli bahasa dan syari'at tidak terdapat perbedaan faham bahwa wahyu dari Allah merupakan ajaran yang diturunkan. Wahyu ini seluruhnya dijamin oleh Allah Ta’ala. Segala yang termasuk dalam jaminan Allah pasti tidak akan hilang atau menyimpang sedikit pun selama-lamanya, dan tidak akan pernah muncul keterangan yang membatalkan wahyu tersebut”.
Kemudian Ibnu Hazm menolak penafsiran kata dzikr dalam Al-Qur-an (Al-Hijr: 9) yang hanya diartikan sebagai Al-Qur-an saja. Ia berkata, “Pandangan tersebut hanyalah dusta yang jauh dari pembuktian, dan bermaksud mempersempit arti dzikr tanpa suatu dalil pun. Kata dzikr dalam ayat tersebut ialah suatu nama yang berkaitan dengan segala yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya, baik itu Al-Qur-an maupun As-Sunnah, dan As-Sunnah merupakan wahyu sebagai penjelasan Al-Qur-an.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“...Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur-an agar engkau menjelaskan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka, agar mereka berfikir.” [An-Nahl: 44]
Jadi, nyatalah bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diperintahkan untuk menjelaskan kepada ummat manusia, karena banyak ayat-ayat dalam Al-Qur-an yang hanya dicantumkan secara garis besarnya saja, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Dari bunyi lafazhnya, tidak dapat kita ketahui apa sebenarnya yang dikehendaki Allah kepada kita selaku hamba-Nya. Oleh karena itu, perlu dilengkapi dengan penjelasan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sekiranya penjelasan tersebut tidak ada atau diabaikan begitu saja, maka sebagian besar syari’at yang difardhukan kepada kita akan gugur, dan kita tidak mengetahui apa yang sebenarnya dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan ayat-ayat tersebut (bila As-Sunnah tidak dijamin).
Al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahim al-Wazir, setelah membaca ayat di atas (Al-Hijr: 9), ia berkata: “Konsekuensi dari ayat ini ialah bahwa syari’at Rasu-lullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap terpelihara dan Sunnahnya tetap dijaga Allah.”
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terpelihara ialah Allah menjadikan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai penutup para Nabi, dan syari’atnya sebagai penutup segala syari’at. Ummat manusia diperintahkan Allah agar beriman dan mengikuti syari’atnya sampai hari Kiamat, dengan demikian batallah syari’at yang menyalahi syari’at beliau. Allah tetapkan syari’at beliau serta memeliharanya, karena suatu hal yang mustahil bila Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya mengikuti syari’at yang telah lenyap, atau tidak terpelihara. Dan ingat, ummat Islam telah sepakat bahwa rujukan asasi bagi syari’at Islam adalah Al-Qur-an dan As-Sunnah. Karena kita tidak bisa memahami Al-Qur-an dan menegakkan hujjah Allah dalam mengadili hamba-hamba-Nya melainkan dengan risalah dan syari’at Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ini sebagai pertanda bahwa pemeliharaan Al-Qur-an tidak sempurna melainkan dengan dipeliharanya As-Sunnah. Ada satu di antara kaidah ushul yang perlu kita ketahui, Syaikh Jamaluddin al-Qasimy menjelaskannya bahwa hadits tersebut dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta'ala
C. Bantahan dan Tanggapan Dalil Ketiga
Dalam beberapa hadits shahih diungkapkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyukai penulisan hadits, di antaranya hadits Abu Sa’id al-Khudri yang dipakai hujjah oleh Inkarus Sunnah. Hadits tersebut memang shahih, tetapi kita harus melihat hadits-hadits lain yang berkenaan dengan masalah ini dan penjelasan dari para ulama. Imam an-Nawawi menjelaskan hadits Abu Sa’id dengan membawakan beberapa pendapat, di antaranya :
1. Larangan penulisan yang dimaksud ialah menuliskan hadits dengan Al-Qur-an dalam satu lembaran, karena dikhawatirkan akan tercampur dengan Al-Qur-an.
2. Larangan yang dimaksud khusus bagi orang yang kuat hafalannya supaya tidak mengandalkan tulisan. Adapun orang yang tidak kuat hafalannya, maka ia menulis.
3. Hadits Abu Sa'id yang melarang menulis hadits sudah mansukh dengan hadits yang menyuruh untuk menulis.
Menurut Syaikh Ahmad Muhammad Syakir: “Jawaban yang benar adalah larangan penulisan sudah dihapuskan (dimansukh) dengan hadits lain yang menyuruh menulis hadits.
Hadits-hadits yang memerintahkan untuk menulis hadits (As-Sunnah):
1. Pada waktu Fat-hu Makkah (tahun 8 H.) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah, kemudian seseorang dari Yaman yang biasa dipanggil Abu Syah berkata, “Ya Rasulullah, tuliskanlah untukku.” Lalu beliau bersabda: “Tuliskanlah untuk Abu Syah.”[1]
Yang dimaksud, “Tuliskanlah untukku,” kata Imam al-Auza'i ialah: “Ia minta dituliskan khutbah yang ia dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” Dan kata Abu ‘Abdirrahman, “Tidak ada satu hadits pun yang paling sah tentang penulisan hadits selain hadits ini, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan mereka (Shahabat) menuliskan khutbah yang ia dengar dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
2. Kata ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu, “Aku pernah menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena aku ingin menghafalnya, kemudian orang-orang Quraisy melarangku sambil berkata, ‘Apakah engkau tulis semua yang kau dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang bersabda di kala senang dan marah?’ Lalu aku berhenti menulis, kemudian aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian beliau mengisyaratkan ke mulut beliau seraya bersabda:
أُكْتُبْ، فَوَالَّذِى نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلاَّ حَقٌّ.
“Tulislah, demi Dzat yang diriku berada di Tangan-Nya, tidaklah keluar dari mulutku ini melainkan yang haq.” [2]
3. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Tidak seorang pun dari Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lebih banyak hafalan haditsnya selain aku, dan yang hampir sama banyaknya denganku adalah ‘Abdullah bin ‘Amr, karena ia menulis.” [3]
Hadits-hadits di atas telah diamalkan oleh para Shahabat, Tabi'in, dan juga ummat yang telah sepakat sesudah itu tentang bolehnya menuliskan hadits. Semua itu menunjukkan bahwa hadits Abu Sa'id telah mansukh dan larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu terjadi pada awal Islam, karena dikhawatirkan tercampur antara Al-Qur-an dan As-Sunnah dalam penulisannya. Sedangkan hadits Abu Syah terjadi pada Fat-hul Makkah (di akhir-akhir hayat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam), demikian juga hadits Abu Hurairah, beliau masuk Islam pada tahun ke-7 H, kemudian terjadi ijma' tentang penulisan dan khabar yang demikian berupa khabar mutawatir ‘amali dari Salafush Shalih yang mudah-mudahan Allah meridhai mereka semua.
Riwayat-riwayat yang dibawakan oleh Inkarus Sunnah bahwa para Shahabat tidak menyukai penulisan hadits, riwayat itu tidak sah, bahkan sebaliknya mereka memerintahkan untuk menuliskan hadits.
Ada yang meriwayatkan bahwa Abu Bakar Radhiyallahu anhu, melarang penulisan hadits, menurut Imam adz-Dzahabi tidak sah riwayatnya, karena dalam kenyataannya Abu Bakar Radhiyallahu anhu menulis hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam demikian pula ‘Umar, ‘Ali, dan Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhum yang diriwayatkan bahwa mereka melarang orang menuliskan hadits, riwayatnya sangat lemah derajatnya. Jika pun seandainya ada riwayat yang sah dari mereka akan larangan menuliskan hadits, justru dari mereka pula banyak riwayat yang memerintahkan menuliskan hadits.
Penulisan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh para Shahabat dapat kita lihat dari nukilan riwayat-riwayat berikut ini :
1. Abu Bakar ash-Shiddiqz pernah menulis surat kepada Anas bin Malik yang isinya memuat hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika Anas menjabat sebagai Amil di Bahrain.
2. ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menulis hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam surat-surat resmi agar kaum muslimin mengamalkannya. Dari Abu ‘Utsman, ia berkata, “Kami bersama ‘Utbah bin Farqad (di Azarbaizan), lalu ‘Umar mengirim surat kepadanya yang berisikan beberapa hadits yang disabdakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di antara surat-surat yang dikirimkan isinya ialah, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَبِسَ الْحَرِيْرَ فِي الدُّنْيَا لَمْ يَلْبَسْهُ فِي اْلآخِرَةِ.
“Orang-orang yang memakai sutera, maka ia tidak akan mendapatkan bagian di akhirat.” [4]
3. ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu menganjurkan orang-orang menuliskan hadits, dan terkadang mendiktekannya kepada mereka.
4. Zaid bin Tsabitz, penulis wahyu, adalah juga Shahabat yang pertama kali menulis tentang hadits-hadits fara-idh.
Abu Ja'far bin Barqan berkata, “Seandainya Zaid bin Tsabit tidak menulis hadits-hadits fara-idh, sungguh yang demikian ini (ilmu fara-idh) akan hilang dari ummat ini.
5. Abu Ayyub al-Anshariz menulis surat kepada keponakannya yang berisikan dengan hadits-hadits Rasulullah Shallallahui 'alaihi a sallam.[5]
6. Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu anhu membolehkan untuk menuliskan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.[6]
7. Abu Hurairah Radhiyallahu anhu adalah seorang Shahabat yang kepadanya banyak para Shahabat dan Tabi'in menulis sari hadits Nabi Shallallahu 'alaihi was allam, karena beliau pernah dido'akan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam agar dapat menghafal hadits-hadits, dan setelah Nabi Shallallahu 'alaihi was allam mendo’akannya ia tidak pernah lupa. [7]
8. Anas bin Malik Abu Hamzah al-Anshari Radhiyallahu anhu adalah seorang Shahabat yang bagus sekali dalam menulis hadits, sehingga Abu Bakar Radhiyallahu anhu mengutusnya ke Bahrain. Dan Anas menganjurkan anak-anaknya untuk menulis hadits.
Tsumamah bin ‘Abdullah berkata, “Anas berwasiat kepada anak-anaknya, ‘Wahai anak-anakku ikatlah ilmu itu dengan tulisan.’”
9. ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu adalah termasuk Shahabat yang banyak menulis hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri pernah memerintahkan kepadanya agar menulis hadits-hadits beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana yang sudah disebutkan riwayatnya. Hingga hadits-hadits yang ditulisnya terkumpul dalam satu Shahifah ash-Shadiqah.
10. ‘Abdullah bin az-Zubair Radhiyallahu anhuma pernah menulis surat kepada Qadhi ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas'ud yang isinya memuat hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.[8]
11. Mu'awiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu anhuma juga pernah mengirim surat kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma agar ia menuliskan apa-apa yang didengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ‘Aisyah pun menuliskannya.
As-Sya'bi berkata, “Telah menceritakan kepadaku juru tulis Mughirah bin Syu'bah, ia berkata, ‘Mu'awiyah menulis surat kepadaku yang isinya: ‘Hendaklah engkau tuliskan untukku hadits-hadits yang pernah engkau dengar dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.’ Maka aku pun menuliskannya.’”
Di antara para Shahabat lainnya yang menulis hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi was allam adalah:
12. Abu Rafi'.
13. Abu Sa'id al-Khudri.
14. Ubay bin Ka’ab al-Anshari.
15. Abu Musa al-Asy’ari.
16. Asma’ binti Unais.
17. ‘Usaid bin Hudhair al-Anshari.
18. Al-Barra’ bin ‘Azib.
19. Jabir bin Samurah.
20. Jarir bin ‘Abdillah al-Bajali.
21. Jabir bin ‘Abdillah bin ‘Amr.
22. Hasan bin ‘Ali.
23. Rafi' bin Khadij.
24. Zaid bin Arqam.
25. Subai'ah al-Aslamiyyah.
26. Sa’ad bin Ubadah al-Anshari.
27. Salman al-Farisi.
28. As-Saib bin Yazid.
29. Sahl bin Sa’ad as-Sa'idi al-Anshari.
30. Syaddad bin Aus bin Tsabit al-Anshari.
31. Samurah bin Jundub.
32. Syamghun al-Azdi al-Anshari.
33. Dhahhak bin Sufyan al-Kilaabi.
34. Dhahhak bin Qais al-Kilaabi.
35. ‘Abdullah bin Abi Aufa.
36. ‘Abdullah bin ‘Abbas.
37. ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab.
38. ‘Abdullah bin Mas'ud al-Hudzali.
39. ‘Itban bin Malik al-Anshari.
40. Fathimah binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
41. Fathimah binti Qais.
42. Muhammad bin Maslamah al-Anshari.
43. Mu'adz bin Jabal.
44. Ummul Mukminin Maimunah binti Harits al-Hi-lalliyyah.
45. ‘Amr bin Hazm al-Anshari.
46. An-Nu'man bin Basyir.
47. Abu Bakar ats-Tsaqafi Nufa’i bin Masruh.
48. Abu Syah.
49. Abu Hindin ad-Daari.[9]
Dari kalangan Tabi'in yang menuliskan hadits-ha-dits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sebagi berikut:
1. Aban bin ‘Utsman bin ‘Affan.
2. Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i al-Awar.
3. Abu Aliyah ar-Riyahi.
4. Amir bin Sharaahil bin ‘Amr asy-Sya’bi al-Hamdani.
5. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.
6. ‘Urwah bin az-Zubair.
7. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shidiq.
8. Muhammad bin ‘Ali bin Abi Thalib.
9. ‘Ubaidah bin ‘Amr as-Salmani al-Muradi.
10. Ayyub bin Abi Tamimah as-Sikhtiyaani.
11. Ma’imun bin Mihran.
12. Nafi’ maula Ibnu ‘Umar.
13. Manshur bin Mu’tamir.[10]
Dan masih banyak lagi para Tabi'in yang menulis hadits-hadits Rasulullah Shallallhu 'alaihi wa sallam langsung dari para Shahabat, dan untuk kemudian mereka pun menganjurkan kepada para Tabi’ut Tabi'in untuk menuliskannya, dan begitulah seterusnya sehingga membentuk suatu mata rantai sampainya hadits-hadits itu kepada kita saat ini.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 2434), Muslim (no. 1355), Ahmad (II/238) dan Abu Dawud (no. 3649), dari Shahabat Abu Hurairah z.
[2]. Hadits shahih riwayat ad-Darimi (I/125), Ahmad (II/162, 192) dan al-Hakim (I/105-106) dan Abu Dawud (no. 3646).
[3]. Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 113) dan ad-Darimi (I/125 no. 487).
[4]. Hadits shahih riwayat Ahmad (I/26), al-Bukhari (no. 5832) dan Muslim (no. 2073).
[5]. HR. Ahmad (V/413)
[6]. HR. Ad-Darimi (I/127).
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 119).
[8]. HR. Ahmad (IV/4).
[9]. Dirasaat fil Hadits an-Nabawy (I/92-142).
[10].Dirasaat fil Hadits an-Nabawy (I/143-215).
Kategori Kitab : As-Sunnah Dalil-Dalil Para Penolak As-Sunnah
AS-SUNNAH DAN PARA PENENTANGNYA DI MASA LALU DAN MASA SEKARANG
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
D. Dalil-Dalil Para Penolak As-Sunnah
Dalil-dalil yang dijadikan dasar dan argumentasi mereka untuk menolak As-Sunnah ialah: [1]
Pertama:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
مَّا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَيْءٍ
“...Tiada sesuatu pun yang terluput dalam Al-Qur-an ini...” [Al-An'aam: 38]
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ
“...Dan kami turunkan Al-Qur-an kepadamu sebagai penjelasan segala hal...” [An-Nahl: 89]
أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا
“Maka patutlah aku mencari hakim selain dari pada Allah, padahal Dia-lah yang telah menurunkan Al-Qur-an kepadamu dengan terperinci?..” [Al-An’aam: 114]
Ketiga ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa Al-Qur-an mencakup segala sesuatu yang berkenaan dengan masalah agama, baik hukum-hukumnya dalam kehi-dupan di dunia dan akhirat. Dengan ketiga ayat itu menurut mereka sesungguhnya Allah telah menerangkan dan merinci segala sesuatunya hingga tidak diperlukan lagi keterangan lain, seperti halnya As-Sunnah. Karena kalau seandainya Al-Qur-an masih belum lengkap atau masih meninggalkan bagian-bagian tertentu, maka kalau demikian mengapa Allah mengatakan bahwa Al-Qur-an telah menjelaskan segala sesuatunya? Sekiranya masih diperlukan keterangan lain, berarti Allah telah menya-lahi pemberitaan-Nya sendiri, dan hal ini sangat mustahil.
Kedua:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur-an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” [Al-Hijr: 9]
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menjamin akan menjaga keutuhan Al-Qur-an, sedangkan As-Sunnah tidak. Sekiranya As-Sunnah dapat dijadikan hujjah, tentulah Allah akan menjaminnya.
Ketiga:
As-Sunnah tidak ditulis di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabat, sekiranya As-Sunnah dapat dijadikan hujjah pastilah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menuliskannya. Demikian juga para Shahabat dan Tabi'in akan berusaha mengumpulkan dan melembagakannya. Para Shahabat hanya diperintahkan untuk menulis Al-Qur-an, tapi sebaliknya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam justru melarang mereka untuk menuliskan hadits-hadits, bahkan beliau memerintahkan untuk menghapusnya bagi mereka yang sudah terlanjur menulisnya.
Di antara hadits-hadits yang dipakai sebagai hujjahnya adalah:
a). Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian menulis sesuatu dariku, dan barangsiapa menulis sesuatu dariku selain Al-Qur-an hendaklah ia hapus. Dan tidak dihalangi kalian menyampaikan sesuatu dariku, dan barang-siapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia menempatkan tempat duduknya di Neraka.” [HR. Muslim]
b). ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Abu Bakar telah membakar sebuah dokumen yang mencatat hadits, seraya berkata: “Aku khawatir kelak setelah mati, tersebar hadits pada orang yang kupercayai seolah-olah aku menguatkannya, padahal mungkin saja orang tersebut tidak meriwayatkannya sesuai dengan apa yang telah disampaikan kepadaku.” [HR. Al-Hakim]
c). Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu bertindak serupa ketika berkunjung kepada Mu'awiyah, ia ditanya tentang suatu hadits. Zaid memberitahukannya kepada Mu’awiyah, lalu Mu’awiyah menyuruh seseorang mencatat hadits tersebut. Akan tetapi Zaid berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kami menulis apa pun tentang hadits yang disampaikannya.” Lalu orang tersebut menghapus kembali apa yang telah ditulisnya.
d). Diriwayatkan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab z bermaksud untuk mencatat As-Sunnah, kemudian berputar haluan sambil berkata, “Pernah aku bermaksud menuliskan hadits, kemudian aku ingat pada satu kaum yang hidup sebelum kalian membukukan catatan yang didapatnya sehingga mereka tenggelam dalam karya tersebut dan Al-Qur-an dilupakan. Demi Allah, aku tidak mau mencampur Kitab Allah dengan apa pun juga selama-lamanya.”
e). Demikian pula halnya ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, yang meminta agar siapa saja yang telah menuliskan hadits untuk menghapusnya.
Selanjutnya Dr. Taufik Sidqy menjelaskan bahwa As-Sunnah baru dilembagakan setelah munculnya kesalahan dan kealpaan, sehingga menyusuplah penyelewengan dan perubahan yang menimbulkan keraguan dan menghilangkan kepercayaan untuk memakai hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Keempat:
Taufik Shidqy pernah membawakan hadits yang di dalamnya mengisyaratkan bahwa As-Sunnah tidak dapat dijadikan hujjah, di antaranya:
إِنَّ الْحَدِيْثَ سَيُقْشُوْ عَنِّي فَمَا أَتَا يُوَافِقُ الْقُرْآنَ فَهُوَ عَنِّي وَمَا أَتَاكُمْ عَنِّي يُخَالِفُ الْقُرْآنَ فَلَيْسَ مِنِّي.
“Akan bertebaran hadits-hadits dariku, apa-apa yang datang kepadamu dari hadits-haditsku, bacalah Kitabullah dan bandingkanlah yang cocok dengan Al-Qur-an, dan yang berbeda dari Al-Qur-an bukanlah dari diriku.”
إِذَا حَدِّثْتُمْ عِنِّي حَدِيْثاً تَعْرِفُوْنَهُ وَلاَ تُنْكِرُوْنَهُ قُلْتُهُ أَوْ لَمْ أَقُلْهُ، فَصَدَّقُوْا بِهِ فَإِنِّي أَقُوْلُ مَا يُعْرَفُ وَلاَ يُنْكَرُ، وَإِذَا حَدِّثْتُمْ عَنِّي حَدِيْثاً تُنْكِرُوْنَهُ قُلْتُهُ أَوْ لَمْ أَقُلْهُ فَلاَ تُصَدِّقُوْا بِهِ فِإِنِّي لاَ أَقُوْلُ مَا يُنْكَرُ وَلاَ يُعْرَفُ.
“Apabila disampaikan kepada kalian hadits dariku dan kalian mengetahuinya dan tidak mengingkarinya, yang aku katakan atau yang aku tidak katakan, benarkanlah dia. Karena sesungguhnya aku bersabda dengan apa-apa yang sudah dikenal dan tidak diingkari. Tetapi bila disampaikan kepada kalian hadits yang kalian ingkari dan kalian tidak mengenalnya, maka dustakanlah hadits itu karena aku tidak berkata sesuatu yang tidak dikenal atau diingkari.”
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Lihat penjelasan mereka dan bantahannya dalam kitab:
- As-Sunnah Makaanatuha fit Tasyri’ al-Islamy, hal. 176-189.
- Difa’ ‘anis Sunnah wa Raddu Syubahil Mustasyriqin wal Kuttaabil Mu’aa-hirin, Dr. Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah.
- Diraasat fil Hadits an-Nabawy (I/30-42).
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
D. Dalil-Dalil Para Penolak As-Sunnah
Dalil-dalil yang dijadikan dasar dan argumentasi mereka untuk menolak As-Sunnah ialah: [1]
Pertama:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
مَّا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَيْءٍ
“...Tiada sesuatu pun yang terluput dalam Al-Qur-an ini...” [Al-An'aam: 38]
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ
“...Dan kami turunkan Al-Qur-an kepadamu sebagai penjelasan segala hal...” [An-Nahl: 89]
أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا
“Maka patutlah aku mencari hakim selain dari pada Allah, padahal Dia-lah yang telah menurunkan Al-Qur-an kepadamu dengan terperinci?..” [Al-An’aam: 114]
Ketiga ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa Al-Qur-an mencakup segala sesuatu yang berkenaan dengan masalah agama, baik hukum-hukumnya dalam kehi-dupan di dunia dan akhirat. Dengan ketiga ayat itu menurut mereka sesungguhnya Allah telah menerangkan dan merinci segala sesuatunya hingga tidak diperlukan lagi keterangan lain, seperti halnya As-Sunnah. Karena kalau seandainya Al-Qur-an masih belum lengkap atau masih meninggalkan bagian-bagian tertentu, maka kalau demikian mengapa Allah mengatakan bahwa Al-Qur-an telah menjelaskan segala sesuatunya? Sekiranya masih diperlukan keterangan lain, berarti Allah telah menya-lahi pemberitaan-Nya sendiri, dan hal ini sangat mustahil.
Kedua:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur-an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” [Al-Hijr: 9]
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menjamin akan menjaga keutuhan Al-Qur-an, sedangkan As-Sunnah tidak. Sekiranya As-Sunnah dapat dijadikan hujjah, tentulah Allah akan menjaminnya.
Ketiga:
As-Sunnah tidak ditulis di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabat, sekiranya As-Sunnah dapat dijadikan hujjah pastilah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menuliskannya. Demikian juga para Shahabat dan Tabi'in akan berusaha mengumpulkan dan melembagakannya. Para Shahabat hanya diperintahkan untuk menulis Al-Qur-an, tapi sebaliknya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam justru melarang mereka untuk menuliskan hadits-hadits, bahkan beliau memerintahkan untuk menghapusnya bagi mereka yang sudah terlanjur menulisnya.
Di antara hadits-hadits yang dipakai sebagai hujjahnya adalah:
a). Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian menulis sesuatu dariku, dan barangsiapa menulis sesuatu dariku selain Al-Qur-an hendaklah ia hapus. Dan tidak dihalangi kalian menyampaikan sesuatu dariku, dan barang-siapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia menempatkan tempat duduknya di Neraka.” [HR. Muslim]
b). ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Abu Bakar telah membakar sebuah dokumen yang mencatat hadits, seraya berkata: “Aku khawatir kelak setelah mati, tersebar hadits pada orang yang kupercayai seolah-olah aku menguatkannya, padahal mungkin saja orang tersebut tidak meriwayatkannya sesuai dengan apa yang telah disampaikan kepadaku.” [HR. Al-Hakim]
c). Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu bertindak serupa ketika berkunjung kepada Mu'awiyah, ia ditanya tentang suatu hadits. Zaid memberitahukannya kepada Mu’awiyah, lalu Mu’awiyah menyuruh seseorang mencatat hadits tersebut. Akan tetapi Zaid berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kami menulis apa pun tentang hadits yang disampaikannya.” Lalu orang tersebut menghapus kembali apa yang telah ditulisnya.
d). Diriwayatkan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab z bermaksud untuk mencatat As-Sunnah, kemudian berputar haluan sambil berkata, “Pernah aku bermaksud menuliskan hadits, kemudian aku ingat pada satu kaum yang hidup sebelum kalian membukukan catatan yang didapatnya sehingga mereka tenggelam dalam karya tersebut dan Al-Qur-an dilupakan. Demi Allah, aku tidak mau mencampur Kitab Allah dengan apa pun juga selama-lamanya.”
e). Demikian pula halnya ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, yang meminta agar siapa saja yang telah menuliskan hadits untuk menghapusnya.
Selanjutnya Dr. Taufik Sidqy menjelaskan bahwa As-Sunnah baru dilembagakan setelah munculnya kesalahan dan kealpaan, sehingga menyusuplah penyelewengan dan perubahan yang menimbulkan keraguan dan menghilangkan kepercayaan untuk memakai hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Keempat:
Taufik Shidqy pernah membawakan hadits yang di dalamnya mengisyaratkan bahwa As-Sunnah tidak dapat dijadikan hujjah, di antaranya:
إِنَّ الْحَدِيْثَ سَيُقْشُوْ عَنِّي فَمَا أَتَا يُوَافِقُ الْقُرْآنَ فَهُوَ عَنِّي وَمَا أَتَاكُمْ عَنِّي يُخَالِفُ الْقُرْآنَ فَلَيْسَ مِنِّي.
“Akan bertebaran hadits-hadits dariku, apa-apa yang datang kepadamu dari hadits-haditsku, bacalah Kitabullah dan bandingkanlah yang cocok dengan Al-Qur-an, dan yang berbeda dari Al-Qur-an bukanlah dari diriku.”
إِذَا حَدِّثْتُمْ عِنِّي حَدِيْثاً تَعْرِفُوْنَهُ وَلاَ تُنْكِرُوْنَهُ قُلْتُهُ أَوْ لَمْ أَقُلْهُ، فَصَدَّقُوْا بِهِ فَإِنِّي أَقُوْلُ مَا يُعْرَفُ وَلاَ يُنْكَرُ، وَإِذَا حَدِّثْتُمْ عَنِّي حَدِيْثاً تُنْكِرُوْنَهُ قُلْتُهُ أَوْ لَمْ أَقُلْهُ فَلاَ تُصَدِّقُوْا بِهِ فِإِنِّي لاَ أَقُوْلُ مَا يُنْكَرُ وَلاَ يُعْرَفُ.
“Apabila disampaikan kepada kalian hadits dariku dan kalian mengetahuinya dan tidak mengingkarinya, yang aku katakan atau yang aku tidak katakan, benarkanlah dia. Karena sesungguhnya aku bersabda dengan apa-apa yang sudah dikenal dan tidak diingkari. Tetapi bila disampaikan kepada kalian hadits yang kalian ingkari dan kalian tidak mengenalnya, maka dustakanlah hadits itu karena aku tidak berkata sesuatu yang tidak dikenal atau diingkari.”
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Lihat penjelasan mereka dan bantahannya dalam kitab:
- As-Sunnah Makaanatuha fit Tasyri’ al-Islamy, hal. 176-189.
- Difa’ ‘anis Sunnah wa Raddu Syubahil Mustasyriqin wal Kuttaabil Mu’aa-hirin, Dr. Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah.
- Diraasat fil Hadits an-Nabawy (I/30-42).
Kategori Kitab : As-Sunnah As-Sunnah Dan Para Penentangnya Di Masa Lalu Dan Masa Sekarang
AS-SUNNAH DAN PARA PENENTANGNYA DI MASA LALU DAN MASA SEKARANG
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
A. As-Sunnah Dan Para Penentangnya Di Masa Lalu
Dalil-dalil yang telah dikemukakan dari Al-Qur-an, As-Sunnah, dan Ijma' sangatlah jelas bahwa tidak boleh bagi siapa pun menolak Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan alasan hanya berpegang kepada Al-Qur-an saja. Karena satu hal yang mustahil bagi orang yang berkata bahwa ia kembali kembali kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah, tetapi ia sendiri menolak dalil-dalil As-Sunnah dengan alasan tidak cocok dengan akal atau yang lainnya. Adapun sebagian mereka yang menolak As-Sunnah karena memang belum jelas baginya kedudukan As-Sunnah dalam syari’at, atau karena kebodohannya, maka kepada orang seperti ini harus diberikan pemahaman melalui proses wajib belajar. Sedangkan bagi mereka yang menolaknya dengan sengaja dan terang-terangan mengingkari hujjah-hujjah As-Sunnah padahal ia mengetahui wajibnya berpegang kepada As-Sunnah, maka orang ini adalah kafir.[1]
Sesungguhnya pada masa Shahabat sendiri telah ada segelintir orang yang tidak memperhatikan nilai tasyri' As-Sunnah, seperti yang terjadi pada seseorang yang bertanya kepada Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, dan ‘Imran bin Husain. (Lihat dalil-dalil ijma’ tentang wajibnya mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam)
Beberapa orang yang menolak As-Sunnah pada masa Shahabat yang penulis sebutkan di atas tidaklah mewakili satu firqah atau jama’ah, akan tetapi dari kegoncangan per individu. Seiringnya perkembangan zaman mereka akan menjadi firqah atau jama’ah. Pada masa Shahabat ini ada yang perlu digarisbawahi, yaitu penolakan terhadap As-Sunnah tidak terjadi secara menyeluruh di semua negeri Islam, tetapi hanya terdapat pada beberapa orang saja. Itupun terjadinya di Iraq, karena pada waktu itu Shahabat ‘Imran bin Husain dibantah oleh penolak As-Sunnah ketika beliau berada di Iraq, sedangkan Shahabat Ayub as-Sikhtiyani berada di Bashrah. Dan untuk kemudian para penentang As-Sunnah terus berkembang di masa Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad.[2]
B. As-Sunnah Menurut Pandangan Khawarij, Mu'-tazilah, dan Syi'ah
1. Pandangan Khawarij
Kaum Khawarij dengan berbagai sektenya menganggap bahwa sebelum peristiwa fitnah (Th. 37 H) seluruh Shahabat adalah adil. Tetapi setelah itu mereka mengingkari ‘Ali, ‘Utsman, dan Shahabat yang tergolong Ash-habul Jamal, kedua hakim Arbitrasi (yang ditunjuk oleh masing-masing golongan) serta mereka yang menerima keputusannya dan membenarkannya ataupun yang mengakui keputusan salah satu dari kedua hakim tersebut. Dengan demikian mereka menolak hal-hal yang diriwayatkan jumhur setelah peristiwa fitnah. Penolakan ini didasarkan kepada tidak adanya kesediaan mereka menerima keputusan kedua hakim serta mengikuti kepemimpinan yang menurut anggapan Khawarij termasuk zhalim. Karena itu Khawarij tidak menganggap para Sha-habat sebagi rawi tsiqah lagi.
Menurut Dr. Muhammad Musthafa al-Azhumy, bahwa Khawarij menerima Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan percaya bahwa As-Sunnah sebagai sumber asasi bagi tasyri' Islam. Karena itu tidaklah mutlak bahwa seluruh Khawarij menolak As-Sunnah yang diriwayatkan para Shahabat sesudah tahkim maupun sebelumnya.[3]
2). Pandangan Mu'tazilah
Di antara ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai pandangan Mu'tazilah terhadap As-Sunnah, apakah mereka sejalan dengan jumhur ulama tentang penggunaan As-Sunnah sebagai hujjah dan juga tentang pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad, ataukah mereka menolak hadits ahad saja, atau menolak As-Sun-nah secara keseluruhan.
Al-Amidi mengutip pandangan seorang tokoh Mu'tazilah yang bernama Abul Husain al-Bashri, yaitu: “Secara rasional, ibadah berdasarkan khabar ahad wajib diamalkan.” Selanjutnya ia mengutip pandangan al-Jubba’i dan sebagian mutakallimin yang menyatakan: “Secara rasional melaksanakan ibadah atas dasar khabar ahad tidak dapat dibenarkan.”
Ulama perbandingan agama mengemukakan tentang pandangan kaum Mu’tazilah mengenai masalah ini. Abu Manshur al-Baghdadi penulis al-Muwaaqif dan ar-Razi mengemukakan pandangan sekte Nizhamiyah, sebagai berikut:
a). Mereka mengingkari mu'jizat-mu'jizat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam,
b). Mereka mengingkari hujjahnya hadits ahad, dan
c). Mereka mengingkari hujjahnya ijma’ dan qiyas.
Kemudian ia menyebutkan bahwa umumnya kaum Mu'tazilah mengikuti pemikiran an-Nazhzham (sekte Ni-zhamiyah) ini.
Al-Khudhari mengambil kesimpulan dari pendapat asy-Syafi'i dan begitupula Mushthafa as-Sibba'i, bahwa sekte yang menolak seluruh hadits adalah Mu'tazilah.
Menurut Dr. Musthafa al-A'zhumi bahwa Mu'tazilah mengambil hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi mereka menolak hadits-hadits yang bertentangan dengan kaidah berfikir mereka. Jadi tidaklah menolak seluruh hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam [4]
.
3). Pandangan Syi'ah Tentang As-Sunnah
Syi’ah mempunyai berbagai sekte, Syi’ah dulunya masih dianggap sebagai salah satu madzhab dalam Islam, tatkala madzhab ini masih berpegang dengan ajaran para ulama. Perlu diketahui bahwa dahulu para ulama membedakan antara Rafidhah dan Syi’ah. Rafidhah riwayatnya tidak boleh diterima sama sekali dan tidak boleh meriwayatkan dari mereka. Adapun Syi’ah masih boleh kita menerima hadits darinya dengan syarat dia tidak menda'wahkan bid'ahnya. Sedang Syi'ah yang sekarang berkembang (Syi'ah Imamiyah Itsna 'Asyariyah) adalah satu sekte yang sama dengan Rafidhah. Ajaran tauhid mereka diambil dari Qadariyah, Jabariyah, Mur-ji’ah, Mu’tazilah, dan 'Asy'ariyah. Ajaran mereka sangat bertentangan dengan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan perbedaan yang sangat menonjol, yaitu tentang Al-Qur-an, ‘aqidah, Sunnah, Malaikat, Imamah, Taqiyyah, Mut'ah, Shahabat dan Ahlul Bait.[5]
Sebelum masuk kepada masalah As-Sunnah, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pandangan Syi'ah tentang Al-Qur-an. Di mana para ulama Syi’ah mengatakan: “Telah terjadi pemalsuan terhadap Al-Qur-an yang dilakukan oleh para Shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.”
Di antara ulama Syi’ah yang berpendapat demikian adalah:
1. Al-Kulaini dalam kitab Ushulul Kafi.
2. Al-Qummi dalam tafsirnya.
3. Abu al-Kasim al-Kufi dalam kitabnya al-Istighatsah.
4. Al-Mufid dalam kitabnya Awaa-il Maqalat
5. Al-Ardabily dalam kitab Haqiqatusy Syi'ah.
6. At-Thabrasy dalam kitabnya al-Ihtijaj.
7. Al-Kasyi dalam tafsirnya ash-Shafiy.
8. Nikmatullah al-Jazairi dalam kitabnya al-Anwar an-Nu'maniyah.
9. Al-Khurasani dalam kitabnya Bayan as-Sa'adah fi Maqamah al-Ibadah.
10. An-Nuri Ath-Thabrisi dalam kitabnya Fashlul Khi-thaab fi Itsbat Tahriifil Kitab Rabbil Arbaab.
Menurut ulama Syi'ah, Al-Qur-an sekarang ini ada beberapa macam nuskhah (Al-Qur-an versi Syi'ah), yaitu:
1. Terdapat 114 surat, tapi ada 269 ayat yang menyim-pang.
2. Terdapat 112 surat, (114 surat dikurangi Mu'awidza-tain).
3. Terdapat 115 surat, (114 surat ditambah surat Al-Wilayah).
4. Terdapat 117 surat, (114 surat ditambah surat al-Qunut, al-Hiqd, dan al-Khulu').
5. Wahyu Zhahir dan Bathin
6. Mush-haf Fathimah, berisikan lebih dari tujuh belas ribu ayat.
7. Mush-haf Syi'ah, yang tebalnya tiga kali Al-Qur-an kaum muslimin.
8. Mush-haf yang dibawa oleh Imam Mahdi al-Munta-zhar, dalam persembunyiaannya hampir 12 abad.
Bila dilihat dari segi keyakinan mereka terhadap Al-Qur-an saja, maka dapatlah disimpulkan bahwa kaum Syi'ah sudah keluar dari Islam.
Tentang masalah As-Sunnah, kaum Syi'ah menolak semua hadits yang ada pada kaum Sunni yang dianggap tidak melalui jalur ahlul bait (ahlul bait menurut pe-ngertian mereka), karena itu 96 % hadits-hadits Rasulullah Shallallallahu 'alaihi wa sallam mereka tolak, dan hanya 4 % saja mereka terima.
Kitab-kitab hadits yang diakui para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang menjadi pegangan dan rujukan kaum muslimin ditolak oleh mereka, karena kaum Syi-'ah mempunyai kitab hadits yang nilainya menurut mereka jauh lebih tinggi dari hadits-hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim. Kitab hadits mereka disusun oleh al-Kulaini, nama kitab tersebut ialah:
1. Al-Kafi,
2. Al-Ushul minal Kafi, dan
3. Al-Furu' minal Kafi.
Penyimpangan lain yang bisa kita lihat dari pengertian hadits menurut pendapat mereka, ialah :
1. Mereka tidak mementingkan sanad sama sekali.
2. Semua yang diriwayatkan dari imam-imam ma'shum (Imam dua belas), kedudukan haditsnya sama dengan hadits yang diterima dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan sama dengan Al-Qur-an dari segi kekuatannya.
3. Selama hadits tadi diriwayatkan oleh imam mereka, wajib diterima.
4. Kaum muslimin jelas sangat jauh berbeda dengan Syi'ah dalam hal:
a. Ilmu Mushthalah Hadits,
b. Ilmu Dirayah Hadits,
c. Ilmu Rijalil Hadits
Berkata Imam Malik tentang Rafidhah, “Jangan bicara dengan mereka dan jangan meriwayatkan sesuatu pun dari mereka. Mereka adalah pendusta.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata tentang Syi’ah Imamiah, “Mereka adalah manusia yang paling pendusta dalam masalah naqliyah (wahyu) dan sebodoh-bodoh manusia dalam masalah akal, bahkan mereka ini golongan yang paling bodoh.”
C. As-Sunnah dan Para Penentangnya di Masa Sekarang
Secara historis sesudah abad kedua Hijriyah tidak pernah timbul lagi dalam sejarah individu atau jama'ah yang mengaku dirinya Islam tetapi mereka membuang As-Sunnah. Umumnya mereka yang menolak As-Sunnah adalah para pengikut sekte-sekte yang timbul pada zaman fitnah mulai tahun 37 H sampai abad kedua, ke-munculannya tiada lain karena kebodohan semata. Padahal para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah telah berupaya dengan berbagai usaha menyadarkan dengan berbagai dialog dan membantah hujjah mereka.
Sesudah berlalu dua belas abad, zaman berubah dan Daulah Islam telah lenyap, maka mulai muncul masa imperialisme, dan para penjajah mulai menyebarkan fitnah mereka yang jelek dan kotor untuk menghancurkan prinsip-prinsip Islam. Dalam situasi dan kodisi seperti ini muncullah penentang-penentang As-Sunnah di Iraq, Mesir, dan beberapa negara jajahan lainnya.
Adapun di Mesir timbul fitnah pada masa Muham-mad ‘Abduh sebagaimana disebutkan oleh Abu Rayyah dalam kitabnya, yang kemudian setelah itu diikuti oleh Dr. Taufik Sidqi dengan artikelnya yang berjudul Al-Islam huwal Qur-anu Wahdah dalam al-Manar no. 7 dan 12, tahun VII di Mesir. Kemudian Ahmad Amin menulis dalam kitabnya Fajrul Islam tahun 1929 H, di dalamnya mencampur-adukkan antara yang haq dengan yang bathil, dan ia tetap berpendirian demikian hingga datang ajalnya.
Begitupula halnya Isma’il Ad-ham, ia menulis risalah tahun 1353 H, tentang sejarah As-Sunnah, katanya, “Hadits-hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim tidak kuat dasarnya (tidak kuat sanadnya), bah-kan diragukan dan umumnya adalah maudhu' (palsu)!”
Jadi, ada orang yang menolak As-Sunnah secara keseluruhan, dan ada pula yang menolaknya sebagian saja, yakni mereka yang menolak hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah ‘aqidah. Dalil-dalil yang mereka pakai hampir sama dengan dalil-dalil yang dipakai oleh orang-orang yang menolak As-Sunnah pada abad ke-2 Hijriyah.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Setelah terpenuhi syaratnya dan tidak ada penghalang yang mem-buat ia menjadi kafir.
[2]. Diraasat fil Hadits an-Nabawy (I/21-22).
[3]. Diraasat fil Hadits an-Nabawy (I/22-23).
[4]. Diraasat fil Hadits an-Nabawy (I/23-25).
[5]. Tentang masalah-masalah ini lebih rinci, lihat kitab Minhajus Sunnah an-Nabawiyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim (9 jilid), cet. I, th. 1406 H.
Dr. Ihsan Ilahi Zhahir telah menulis beberapa kitab tentang Syi’ah yang diterbitkan oleh Idaarah Turjumaanil Qur-an, Lahore-Pakistan, di antaranya:
- Asy-Syi’ah wal Qur-an,
- Asy-Syi’ah was Sunnah,
- Asy-Syi’ah wa Ahlul Bait, dan selainnya
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
A. As-Sunnah Dan Para Penentangnya Di Masa Lalu
Dalil-dalil yang telah dikemukakan dari Al-Qur-an, As-Sunnah, dan Ijma' sangatlah jelas bahwa tidak boleh bagi siapa pun menolak Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan alasan hanya berpegang kepada Al-Qur-an saja. Karena satu hal yang mustahil bagi orang yang berkata bahwa ia kembali kembali kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah, tetapi ia sendiri menolak dalil-dalil As-Sunnah dengan alasan tidak cocok dengan akal atau yang lainnya. Adapun sebagian mereka yang menolak As-Sunnah karena memang belum jelas baginya kedudukan As-Sunnah dalam syari’at, atau karena kebodohannya, maka kepada orang seperti ini harus diberikan pemahaman melalui proses wajib belajar. Sedangkan bagi mereka yang menolaknya dengan sengaja dan terang-terangan mengingkari hujjah-hujjah As-Sunnah padahal ia mengetahui wajibnya berpegang kepada As-Sunnah, maka orang ini adalah kafir.[1]
Sesungguhnya pada masa Shahabat sendiri telah ada segelintir orang yang tidak memperhatikan nilai tasyri' As-Sunnah, seperti yang terjadi pada seseorang yang bertanya kepada Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, dan ‘Imran bin Husain. (Lihat dalil-dalil ijma’ tentang wajibnya mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam)
Beberapa orang yang menolak As-Sunnah pada masa Shahabat yang penulis sebutkan di atas tidaklah mewakili satu firqah atau jama’ah, akan tetapi dari kegoncangan per individu. Seiringnya perkembangan zaman mereka akan menjadi firqah atau jama’ah. Pada masa Shahabat ini ada yang perlu digarisbawahi, yaitu penolakan terhadap As-Sunnah tidak terjadi secara menyeluruh di semua negeri Islam, tetapi hanya terdapat pada beberapa orang saja. Itupun terjadinya di Iraq, karena pada waktu itu Shahabat ‘Imran bin Husain dibantah oleh penolak As-Sunnah ketika beliau berada di Iraq, sedangkan Shahabat Ayub as-Sikhtiyani berada di Bashrah. Dan untuk kemudian para penentang As-Sunnah terus berkembang di masa Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad.[2]
B. As-Sunnah Menurut Pandangan Khawarij, Mu'-tazilah, dan Syi'ah
1. Pandangan Khawarij
Kaum Khawarij dengan berbagai sektenya menganggap bahwa sebelum peristiwa fitnah (Th. 37 H) seluruh Shahabat adalah adil. Tetapi setelah itu mereka mengingkari ‘Ali, ‘Utsman, dan Shahabat yang tergolong Ash-habul Jamal, kedua hakim Arbitrasi (yang ditunjuk oleh masing-masing golongan) serta mereka yang menerima keputusannya dan membenarkannya ataupun yang mengakui keputusan salah satu dari kedua hakim tersebut. Dengan demikian mereka menolak hal-hal yang diriwayatkan jumhur setelah peristiwa fitnah. Penolakan ini didasarkan kepada tidak adanya kesediaan mereka menerima keputusan kedua hakim serta mengikuti kepemimpinan yang menurut anggapan Khawarij termasuk zhalim. Karena itu Khawarij tidak menganggap para Sha-habat sebagi rawi tsiqah lagi.
Menurut Dr. Muhammad Musthafa al-Azhumy, bahwa Khawarij menerima Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan percaya bahwa As-Sunnah sebagai sumber asasi bagi tasyri' Islam. Karena itu tidaklah mutlak bahwa seluruh Khawarij menolak As-Sunnah yang diriwayatkan para Shahabat sesudah tahkim maupun sebelumnya.[3]
2). Pandangan Mu'tazilah
Di antara ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai pandangan Mu'tazilah terhadap As-Sunnah, apakah mereka sejalan dengan jumhur ulama tentang penggunaan As-Sunnah sebagai hujjah dan juga tentang pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad, ataukah mereka menolak hadits ahad saja, atau menolak As-Sun-nah secara keseluruhan.
Al-Amidi mengutip pandangan seorang tokoh Mu'tazilah yang bernama Abul Husain al-Bashri, yaitu: “Secara rasional, ibadah berdasarkan khabar ahad wajib diamalkan.” Selanjutnya ia mengutip pandangan al-Jubba’i dan sebagian mutakallimin yang menyatakan: “Secara rasional melaksanakan ibadah atas dasar khabar ahad tidak dapat dibenarkan.”
Ulama perbandingan agama mengemukakan tentang pandangan kaum Mu’tazilah mengenai masalah ini. Abu Manshur al-Baghdadi penulis al-Muwaaqif dan ar-Razi mengemukakan pandangan sekte Nizhamiyah, sebagai berikut:
a). Mereka mengingkari mu'jizat-mu'jizat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam,
b). Mereka mengingkari hujjahnya hadits ahad, dan
c). Mereka mengingkari hujjahnya ijma’ dan qiyas.
Kemudian ia menyebutkan bahwa umumnya kaum Mu'tazilah mengikuti pemikiran an-Nazhzham (sekte Ni-zhamiyah) ini.
Al-Khudhari mengambil kesimpulan dari pendapat asy-Syafi'i dan begitupula Mushthafa as-Sibba'i, bahwa sekte yang menolak seluruh hadits adalah Mu'tazilah.
Menurut Dr. Musthafa al-A'zhumi bahwa Mu'tazilah mengambil hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tetapi mereka menolak hadits-hadits yang bertentangan dengan kaidah berfikir mereka. Jadi tidaklah menolak seluruh hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam [4]
.
3). Pandangan Syi'ah Tentang As-Sunnah
Syi’ah mempunyai berbagai sekte, Syi’ah dulunya masih dianggap sebagai salah satu madzhab dalam Islam, tatkala madzhab ini masih berpegang dengan ajaran para ulama. Perlu diketahui bahwa dahulu para ulama membedakan antara Rafidhah dan Syi’ah. Rafidhah riwayatnya tidak boleh diterima sama sekali dan tidak boleh meriwayatkan dari mereka. Adapun Syi’ah masih boleh kita menerima hadits darinya dengan syarat dia tidak menda'wahkan bid'ahnya. Sedang Syi'ah yang sekarang berkembang (Syi'ah Imamiyah Itsna 'Asyariyah) adalah satu sekte yang sama dengan Rafidhah. Ajaran tauhid mereka diambil dari Qadariyah, Jabariyah, Mur-ji’ah, Mu’tazilah, dan 'Asy'ariyah. Ajaran mereka sangat bertentangan dengan ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dengan perbedaan yang sangat menonjol, yaitu tentang Al-Qur-an, ‘aqidah, Sunnah, Malaikat, Imamah, Taqiyyah, Mut'ah, Shahabat dan Ahlul Bait.[5]
Sebelum masuk kepada masalah As-Sunnah, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pandangan Syi'ah tentang Al-Qur-an. Di mana para ulama Syi’ah mengatakan: “Telah terjadi pemalsuan terhadap Al-Qur-an yang dilakukan oleh para Shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.”
Di antara ulama Syi’ah yang berpendapat demikian adalah:
1. Al-Kulaini dalam kitab Ushulul Kafi.
2. Al-Qummi dalam tafsirnya.
3. Abu al-Kasim al-Kufi dalam kitabnya al-Istighatsah.
4. Al-Mufid dalam kitabnya Awaa-il Maqalat
5. Al-Ardabily dalam kitab Haqiqatusy Syi'ah.
6. At-Thabrasy dalam kitabnya al-Ihtijaj.
7. Al-Kasyi dalam tafsirnya ash-Shafiy.
8. Nikmatullah al-Jazairi dalam kitabnya al-Anwar an-Nu'maniyah.
9. Al-Khurasani dalam kitabnya Bayan as-Sa'adah fi Maqamah al-Ibadah.
10. An-Nuri Ath-Thabrisi dalam kitabnya Fashlul Khi-thaab fi Itsbat Tahriifil Kitab Rabbil Arbaab.
Menurut ulama Syi'ah, Al-Qur-an sekarang ini ada beberapa macam nuskhah (Al-Qur-an versi Syi'ah), yaitu:
1. Terdapat 114 surat, tapi ada 269 ayat yang menyim-pang.
2. Terdapat 112 surat, (114 surat dikurangi Mu'awidza-tain).
3. Terdapat 115 surat, (114 surat ditambah surat Al-Wilayah).
4. Terdapat 117 surat, (114 surat ditambah surat al-Qunut, al-Hiqd, dan al-Khulu').
5. Wahyu Zhahir dan Bathin
6. Mush-haf Fathimah, berisikan lebih dari tujuh belas ribu ayat.
7. Mush-haf Syi'ah, yang tebalnya tiga kali Al-Qur-an kaum muslimin.
8. Mush-haf yang dibawa oleh Imam Mahdi al-Munta-zhar, dalam persembunyiaannya hampir 12 abad.
Bila dilihat dari segi keyakinan mereka terhadap Al-Qur-an saja, maka dapatlah disimpulkan bahwa kaum Syi'ah sudah keluar dari Islam.
Tentang masalah As-Sunnah, kaum Syi'ah menolak semua hadits yang ada pada kaum Sunni yang dianggap tidak melalui jalur ahlul bait (ahlul bait menurut pe-ngertian mereka), karena itu 96 % hadits-hadits Rasulullah Shallallallahu 'alaihi wa sallam mereka tolak, dan hanya 4 % saja mereka terima.
Kitab-kitab hadits yang diakui para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang menjadi pegangan dan rujukan kaum muslimin ditolak oleh mereka, karena kaum Syi-'ah mempunyai kitab hadits yang nilainya menurut mereka jauh lebih tinggi dari hadits-hadits yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim. Kitab hadits mereka disusun oleh al-Kulaini, nama kitab tersebut ialah:
1. Al-Kafi,
2. Al-Ushul minal Kafi, dan
3. Al-Furu' minal Kafi.
Penyimpangan lain yang bisa kita lihat dari pengertian hadits menurut pendapat mereka, ialah :
1. Mereka tidak mementingkan sanad sama sekali.
2. Semua yang diriwayatkan dari imam-imam ma'shum (Imam dua belas), kedudukan haditsnya sama dengan hadits yang diterima dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan sama dengan Al-Qur-an dari segi kekuatannya.
3. Selama hadits tadi diriwayatkan oleh imam mereka, wajib diterima.
4. Kaum muslimin jelas sangat jauh berbeda dengan Syi'ah dalam hal:
a. Ilmu Mushthalah Hadits,
b. Ilmu Dirayah Hadits,
c. Ilmu Rijalil Hadits
Berkata Imam Malik tentang Rafidhah, “Jangan bicara dengan mereka dan jangan meriwayatkan sesuatu pun dari mereka. Mereka adalah pendusta.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata tentang Syi’ah Imamiah, “Mereka adalah manusia yang paling pendusta dalam masalah naqliyah (wahyu) dan sebodoh-bodoh manusia dalam masalah akal, bahkan mereka ini golongan yang paling bodoh.”
C. As-Sunnah dan Para Penentangnya di Masa Sekarang
Secara historis sesudah abad kedua Hijriyah tidak pernah timbul lagi dalam sejarah individu atau jama'ah yang mengaku dirinya Islam tetapi mereka membuang As-Sunnah. Umumnya mereka yang menolak As-Sunnah adalah para pengikut sekte-sekte yang timbul pada zaman fitnah mulai tahun 37 H sampai abad kedua, ke-munculannya tiada lain karena kebodohan semata. Padahal para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah telah berupaya dengan berbagai usaha menyadarkan dengan berbagai dialog dan membantah hujjah mereka.
Sesudah berlalu dua belas abad, zaman berubah dan Daulah Islam telah lenyap, maka mulai muncul masa imperialisme, dan para penjajah mulai menyebarkan fitnah mereka yang jelek dan kotor untuk menghancurkan prinsip-prinsip Islam. Dalam situasi dan kodisi seperti ini muncullah penentang-penentang As-Sunnah di Iraq, Mesir, dan beberapa negara jajahan lainnya.
Adapun di Mesir timbul fitnah pada masa Muham-mad ‘Abduh sebagaimana disebutkan oleh Abu Rayyah dalam kitabnya, yang kemudian setelah itu diikuti oleh Dr. Taufik Sidqi dengan artikelnya yang berjudul Al-Islam huwal Qur-anu Wahdah dalam al-Manar no. 7 dan 12, tahun VII di Mesir. Kemudian Ahmad Amin menulis dalam kitabnya Fajrul Islam tahun 1929 H, di dalamnya mencampur-adukkan antara yang haq dengan yang bathil, dan ia tetap berpendirian demikian hingga datang ajalnya.
Begitupula halnya Isma’il Ad-ham, ia menulis risalah tahun 1353 H, tentang sejarah As-Sunnah, katanya, “Hadits-hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim tidak kuat dasarnya (tidak kuat sanadnya), bah-kan diragukan dan umumnya adalah maudhu' (palsu)!”
Jadi, ada orang yang menolak As-Sunnah secara keseluruhan, dan ada pula yang menolaknya sebagian saja, yakni mereka yang menolak hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah ‘aqidah. Dalil-dalil yang mereka pakai hampir sama dengan dalil-dalil yang dipakai oleh orang-orang yang menolak As-Sunnah pada abad ke-2 Hijriyah.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Setelah terpenuhi syaratnya dan tidak ada penghalang yang mem-buat ia menjadi kafir.
[2]. Diraasat fil Hadits an-Nabawy (I/21-22).
[3]. Diraasat fil Hadits an-Nabawy (I/22-23).
[4]. Diraasat fil Hadits an-Nabawy (I/23-25).
[5]. Tentang masalah-masalah ini lebih rinci, lihat kitab Minhajus Sunnah an-Nabawiyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim (9 jilid), cet. I, th. 1406 H.
Dr. Ihsan Ilahi Zhahir telah menulis beberapa kitab tentang Syi’ah yang diterbitkan oleh Idaarah Turjumaanil Qur-an, Lahore-Pakistan, di antaranya:
- Asy-Syi’ah wal Qur-an,
- Asy-Syi’ah was Sunnah,
- Asy-Syi’ah wa Ahlul Bait, dan selainnya
Langganan:
Postingan (Atom)