KEDUDUKAN AS-SUNNAH DALAM SYARI'AT ISLAM
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
MUQADDIMAH
إِنَّ الْحَمْدَ ِللهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ،
وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ
فَلاَ هَـادِيَ لَهُ، وَأَشْـهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ
لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan
ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan
diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah
beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan
barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya
petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan
benar kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi
bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba dan
Rasul-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan
sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam keadaan beragama Islam.” [Ali ‘Imran: 102]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا
وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ
ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah
menciptakanmu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan
isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(menggunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasimu." [An-Nisaa': 1]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا
سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa
mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar." [Al-Ahzaab: 70-71]
Amma ba’du:
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur-an) dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam (As-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang
diada-adakan (dalam agama), setiap yang diada-adakan (dalam agama)
adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan
tempatnya di Neraka.
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Qur-an kepada Rasul-Nya
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam diberikan hak dan wewenang untuk menjelaskan Al-Qur-an, sehingga
dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah manusia mendapat petunjuk ke jalan yang
lurus (ash-Shirath al-Mustaqim). Tidak ada jalan yang benar melainkan
jalan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih,
mengamalkan Al-Qur-an dan As-Sunnah, berdakwah (mengajak) ummat Islam
untuk berpegang kepada keduanya, serta konsekuen dan konsisten di atas
keduanya.
Pada saat ini banyak aliran-aliran sesat yang berusaha memalingkan ummat
Islam dari sumbernya yang asli dan suci, mereka berusaha untuk
menghancurkan Islam dengan segenap tenaga mereka dengan berbagai macam
cara, dengan lisan, tulisan dan lainnya.
Dalam buku ini penulis membahas tentang Kedudukan As-Sunnah dalam
Syari’at Islam, karena adanya orang-orang yang berusaha untuk meragukan
kedudukan As-Sunnah. Mereka ingin membatalkan Al-Qur-an dengan cara
meragukan As-Sunnah. Karena apabila ummat Islam sudah meninggalkan kedua
pedoman hidup ini, niscaya mereka pasti akan sesat.
Mereka berusaha untuk memadamkan cahaya Islam, akan tetapi Allah akan tetap menyempurnakan cahayanya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut
(ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahayanya
meskipun orang-orang kafir benci.” [Ash-Shaff: 8]
Ummat Islam sejak zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meyakini
bahwa As-Sunnah merupakan sumber ajaran Islam di samping Al-Qur-an.
Bahkan As-Sunnah adalah wahyu sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam:
أَلاَ إِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ, أَلاَ إِنِّيْ
أُوْتِيْتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ... (أخرجه أحمد 4/131 ولآجرّى في
الشريعة 1/415 رقم 97 وغيرهما بإسناد صحيح)
“Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Kitab (Al-Qur-an) dan yang
sepertinya bersamanya. Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Qur-an dan
yang sepertinya bersamanya.” [1]
Maksud dari kalimat: “Dan seperti itu bersamanya” adalah As-Sunnah.
Al-Imam Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, yang
terkenal dengan Ibnu Hazm (wafat th. 456 H) berkata, “Sesungguhnya
Allah telah berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur-an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” [Al-Hijr: 9]
Kandungan dari ayat ini adalah bagi orang yang beriman kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala dan hari Akhir bahwasanya Allah menjamin
terpeliharanya Al-Qur-an dan tidak akan hilang selamanya. Hal ini tidak
diragukan sedikit pun oleh seorang muslim dan begitu pula sabda Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, semuanya adalah WAHYU, berdasarkan firman
Allah:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur-an) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” [An-Najm: 3-4]
Wahyu adalah Adz-Dzikr dengan kesepakatan seluruh ummat Islam, dan
Adz-Dzikr terpelihara dengan nash Al-Qur-an, maka sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam terpelihara dan pasti dijaga Allah Subhanahu wa
Ta'ala.[2]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan Kitab-Kitab. Dan Kami turunkan
kepadamu Al-Qur-an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka. Dan supaya mereka memikirkan.” [An-Nahl:
44]
Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Dengan demikian, benarlah sabda
Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyangkut urusan agama
merupakan wahyu dari Allah Ta’ala. Para pakar bahasa Arab dan Ahli Fiqih
tidak berselisih bahwa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah
merupakan Adz-Dzikra (peringatan). Oleh karena itu, setiap wahyu adalah
sesuatu yang pasti dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan
yakin. Semua yang dijamin oleh Allah dengan penjagaan-Nya, terjamin pula
dari kepunahan dan tidak akan berubah satu pun darinya dan tidak ada
yang membatalkannya. Jika wahyu tidak terjaga, niscaya firman Allah
Ta’ala dan janji-Nya adalah sesuatu yang dusta dan jaminan-Nya sia-sia.
Hal ini (tidak mungkin terjadi) dan tidak sedikit pun terlintas di benak
orang yang berakal. Oleh karena itu, merupakan suatu kepastian bahwa
segala sesuatu yang disam-paikan oleh Rasululah Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang berkaitan dengan masalah agama adalah terpelihara (terjaga)
dengan pemeliharaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan disampaikan
sebagaimana adanya kepada mereka selama-lamanya sampai hancurnya dunia.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا الْقُرْآنُ لِأُنذِرَكُم بِهِ وَمَن بَلَغَ
“… Dan al-Qur-an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi
peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur-an
(kepada-nya)...” [Al-An’aam: 19]
Jadi kita dapat mengetahui bahwa semua sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam adalah sesuatu yang terjaga sepanjang waktu, tidak
mungkin ada sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang hilang
dalam masalah agama, dan tidak mungkin pula tersamar (bercampur) antara
hadits yang palsu dan yang shahih. Kalau terjadi demikian berarti
Adz-Dzikru tersebut tidak terjaga dan firman Allah Ta’ala: إِنَّا نَحْنُ
نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ adalah bohong dan
janji palsu. Hal ini tidak mungkin diucapkan oleh seorang muslim.
Jika ada seseorang mengatakan bahwa yang dijamin oleh Allah terpelihara
adalah Al-Qur-an saja dan bukan semua wahyu yang diturunkan selain
Al-Qur-an, maka kami jawab, “Kami mohon taufiq dari Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Tuduhan itu adalah bohong, tidak ada bukti sama sekali dan
pengkhususan bahwa yang dimaksud Adz-Dzikra hanya Al-Qur-an saja, itupun
tidak ada dalilnya. Maka dakwaan mereka itu adalah bathil.”
ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
“... Katakanlah: ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.’” [Al-Baqarah: 111]
Oleh karena itu, orang yang tidak punya bukti atas dakwaannya, maka ia tidak benar dan tidak bisa dipercaya.
Kalimat Adz-Dzikru mencakup semua yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya
Shallallahu 'alaihi wa salalm, baik berupa Al-Qur-an maupun As-Sunnah,
karena As-Sunnah sebagian wahyu yang telah dijelaskan oleh Al-Qur-an:
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ
إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ . Dalam ayat ini Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam diperintahkan oleh Allah untuk menjelaskan
Al-Qur-an kepada manusia. Di dalam Al-Qur-an banyak ayat-ayat yang
bersifat mujmal (global), kalau Sunnah tersebut tidak terjaga dan tidak
terpelihara, niscaya ayat-ayat Al-Qur-an tidak bermanfaat, bahkan bisa
menjadi batal sebagian besar dari kewajiban-kewajiban agama yang
dibebankan kepada manusia?! Jika demikian, maka kita tidak mampu
membedakan antara yang benar dari firman Allah dan yang salah dalam
menafsirkannya atau orang yang sengaja berbohong. Semua ini mustahil
ter-adi pada Allah Subhanahu wa Ta'ala. [3]
Di antara dalil lain yang menegaskan keotentikan As-Sunnah sebagai
sumber hukum, bahwasanya Allah Ta’ala telah menjadikan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai penutup seluruh Nabi dan Rasul dan
syari’atnya sebagai penutup syari’at sebelumnya. Maka Allah Subhanahu
wa Ta'ala telah mewajibkan kepada manusia untuk beriman dan mengikuti
segala ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
hingga hari Kiamat. Allah telah menghapus segala syari’at yang
bertentangan dengan syari’at beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Semua
ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan
syari’at yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
sebagai syari’at yang abadi dan terpelihara. Allah Subhanahu wa Ta'ala
telah mewajibkan bagi setiap muslim bila berselisih tentang sesuatu
untuk kembali kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah.
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن
كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“... Dan jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisaa': 59]
Imam Mujahid, Qatadah, Maimun bin Mihran dan ulama Salaf lainnya ketika
menafsirkan ayat ini: “Kembali kepada Allah, yaitu mengembalikan kepada
Al-Qur-an dan kembali kepada Rasul yaitu mengembalikan persoalan yang
diperselisihkan kepada As-Sunnah.[4]
Semua Sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
adalah upaya untuk menjelaskan Al-Qur-an. Tidak ada satu pun yang samar
atau tersembunyi dari semua penjelasan yang dibutuhkan manusia dalam
kehidupan dunia dan akhirat, melainkan beliau telah jelaskan, ini
menunjukkan bahwa agama Islam sudah sempurna. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama
bagimu…” [Al-Maa-idah: 3]
Para Sahabat telah memberi kesaksian atas hal itu pada peristiwa
Hajjatul Wada’ ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri
meminta mereka memberikan kesaksian, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam sudah menyampaikan seluruh risalah. Tidak ada satu pun yang
beliau tidak sampaikan. Semua sudah disampaikan, apa saja yang membawa
manusia ke Surga sudah beliau jelaskan, dan apa saja yang membawa
manusia ke Neraka sudah beliau jelaskan pula. Karena itu, hilangnya satu
bagian dari Sunnah Rasul sama buruknya dengan hilangnya satu bagian
dari Al-Qur-an. Sehingga ummat Islam sepanjang sejarah telah berusaha
sekuat tenaga untuk menjaga dan memelihara As-Sunnah. Upaya-upaya para
ulama Ahli Hadits dalam menjaga As-Sunnah dapat diringkas sebagai
berikut:
Pertama : Para Shahabat yang mulia Radhiyallahu anhum langsung menerima
hadits dari Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahkan yang tidak
sempat hadir, mereka bertanya kepada yang hadir dan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para Shahabat untuk
menyampaikan As-Sunnah. Beliau bersabda:
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ
فَرُبَّ مُبَلَّعٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ. (رواه التّرمذى رقم 2657 وابن
حبان رقم 74 وغيره. عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه وقال التّرمذى: هذا
حديث حسن صحيح)
“Allah akan memberikan cahaya kepada wajah seseorang yang mendengarkan
ucapanku, lalu ia menyampaikannya sebagaimana yang ia dengar. Maka boleh
jadi di antara yang disampaikan kepada mereka itu ada yang lebih
mengerti daripada yang mendengarkan (langsung dariku).” [5]
Kedua : Kesungguhan para Shahabat dalam menyampaikan Sunnah Rasulullah
di samping mereka langsung mengamalkan apa-apa yang datang dari
al-Qur-an dan As-Sunnah.
Ketiga : Ketelitian para Shahabat yang tinggi dalam menerima As-Sunnah, bahkan ada yang diminta untuk menjadi saksi.
Keempat : Kesungguhan para ulama sepanjang sejarah dalam mengumpulkan
As-Sunnah dan ketelitian mereka dalam menerimanya, serta hafalan mereka
yang luar biasa (matan dan sanadnya).
Kelima : Pengetahuan mereka yang dalam tentang ihwal para perawi dan
sikap kritis yang tinggi dalam menerima riwayat-riwayat mereka.
Keenam : Penyusunan ilmu al-Jarh wat Ta’dil (kriteria penerimaan dan
penolakan hadits berdasarkan perawi-nya). Seperti al-Jarh wat Ta’dil
oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razy (wafat th. 327 H).
Ketujuh : Pengumpulan dan penyusunan ‘illat-‘illat (cacat) hadits dengan
pembahasan yang lengkap. Seperti kitab ‘Ilal Imam ad-Daraquthni dan
Imam at-Tirmidzi.
Kedelapan : Penyusunan kitab-kitab untuk membedakan hadits-hadits maqbul (yang dapat diterima) dengan hadits mardud (ditolak).
Kesembilan : Penyusunan kaidah-kaidah yang menjelaskan kriteria penerimaan atau penolakan suatu hadits dari berbagai segi.
Kesepuluh : Penyusunan biografi para perawi hadits dengan pembahasan
lengkap tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kesamaran atau
perbedaan atau persa-maan dalam nama dan kun-yah. Seperti kitab:
1. Tahdzibul Kamal fi Asma-ir Rijal oleh al-Hafizh Ja-maluddin Abul Hajjaj Yusuf bin ‘Abdirrahman al-Mizzi (wafat th. 742 H)
2. Tahdziib Tahdzibul Kamal oleh al-Hafizh Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman adz-Dzahabi (wafat 748 H)
3. Mizanul I’tidaal (4 jilid) oleh al-Hafizh Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman adz-Dzahabi.
4. Tahdzibut Tahdzib (12 jilid) oleh al-Hafizh Syihabud-din Abul Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqa-lany (wafat th. 752 H)
5. Taqribut Tahdzib (2 jilid) oleh al-Hafizh Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalany
6. Al-Kuna wal Asma’ oleh Abu Bisyr Muhammad bin Ahmad bin Hammad bin
Sa’d al-Anshary ad-Daulaby (wafat th. 320 H), dan kitab-kitab lain,
ratusan jilid kitab yang membahas tentang hal ihwal rawi.
Dengan penjelasan di atas, kita tahu bahwa As-Sunnah yang berada di
tangan kita telah dikumpulkan, dikodi-fikasi, disusun dan dipelihara
keabsahannya dan keotentikannya oleh para ulama Islam hingga hari
Kiamat, sebagaimana pertama kali mereka dengar dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Salah satu faktor terkuat yang memelihara keabsahan As-Sunnah adalah
metode sanad dan kritik sanad. Ini merupakan keistimewaan tersendiri
bagi ummat ini yang tidak ditemukan pada ummat-ummat lain.
Kata ‘Abdullah Ibnul Mubarak (wafat th. 181 H) berkata:
َاْلإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ لَوْلاَ اْلإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَاشَاءَ.
“Sanad itu merupakan bagian dari agama. Seandainya tidak ada sanad,
niscaya siapa saja akan berkata menurut apa yang dikehendakinya.” [6]
Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H) mengomentari perkataan di atas, bahwa
bila sanad hadits itu dapat diterima, bila tidak shahih maka harus
ditinggalkan. Dinyatakan hubungan hadits dengan sanadnya seperti antara
hubungan hewan dengan kakinya. [7]
Dalam buku ini, penulis terangkan kedudukan As-Sunnah sebagai pembelaan
terhadap As-Sunnah yang selalu dirongrong oleh musuh-musuh Islam dan
orang-orang kafir, munafik, ahlul bid’ah, orientalis, dan para
pengekornya. Mudah-mudahan penjelasan dalam buku ini dapat difahami,
diamalkan, dan bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga tulisan ini menjadi
timbangan amal kebaikan penulis pada hari Kiamat.
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam, keluarga, para Shahabatnya serta para pengikut beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang tetap ittiba’ mengikuti Sunnahnya,
hingga akhir zaman.
Alhamdulillaahi Rabbil ‘Aalamiin.
Bogor,
30 Jumadil Awal 1426 H
7 Juli 2005 M
Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas
(Abu Fat-hi)
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih riwayat Ahmad (IV/131), al-Ajurri dalam kitabnya
asy-Syari’ah (I/415 no. 97) dan selain keduanya. Dari Shahabat al-Miqdam
bin Ma’di Kariba al-Kindi z.
[2]. Al Ihkam fii Ushulil Ahkam (I/96, 207) cet. Darul Kutul al-Ilmiyah.
[3]. Al-Ihkam fii Ushulil Ahkam (I/117-118).
[4]. Lihat Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari (IV/154 no. 9884-9889), cet. I
Darul Kutub al-‘Ilmiyah-Beirut 1412 H dan lihat juga Tafsir Ibnu Katsir
(I/568), cet. Darus Salam.
[5]. Hadits riwayat at-Tirmidzi (no. 2657), Ibnu Hibban (no. 74), dan
lainnya. Dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud z. At-Tirmidzi berkata:
“Hadits ini hasan shahih.”
[6]. Muqaddimah Shahih Muslim.
[7]. Shahih Muslim bi Syarah Imam an-Nawawi (I/88), cet. Darul Fikr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar