PENGERTIAN AS-SUNNAH MENURUT SYARI'AT
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
B. Pengertian As-Sunnah Menurut Syari’at
As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan),
fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang
dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat
Islam.[1]
Adapun hadits menurut bahasa ialah sesuatu yang baru.
Secara istilah sama dengan As-Sunnah menurut Jumhur Ulama.
Ada ulama yang menerangkan makna asal secara bahasa bahwa: Sunnah itu
untuk perbuatan dan taqrir, adapun hadits untuk ucapan. Akan tetapi
ulama sudah banyak melupakan makna asal bahasa dan memakai istilah yang
sudah lazim digunakan, yaitu bahwa As-Sunnah muradif (sinonim) dengan
hadits.
As-Sunnah menurut istilah ulama ushul fiqih ialah segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi j selain dari Al-Qur-an, baik perbuatan, perkataan,
taqrir (penetapan) yang baik untuk menjadi dalil bagi hukum syar’i.
Ulama ushul fiqih membahas dari segala yang disyari’atkan kepada manusia
sebagai undang-undang kehidupan dan meletakkan kaidah-kaidah bagi
perundang-undangan tersebut.
As-Sunnah menurut istilah ahli fiqih (fuqaha’) ialah segala sesuatu yang
sudah tetap dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan hukumnya tidak
fardhu dan tidak wajib, yakni hukumnya sunnah.[2]
As-Sunnah menurut ulama Salaf adalah petunjuk yang dilaksanakan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik
tentang ilmu, i’tiqaad (keyakinan), perkataan maupun perbuatannya.[3]
Contoh-contoh dari definisi Sunnah yang dibawakan oleh ahli hadits antara lain:
a. Hadits qauli (Sunnah dalam bentuk ucapan) ialah segala ucapan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang ada hubungannya dengan tasyri’,
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ.
“Di antara kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” [4]
b. Hadits fi’li (Sunnah yang berupa perbuatan) ialah segala perbuatan
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diberitakan oleh para
Shahabatnya tentang wudhu’, shalat, haji, dan selainnya.
Contoh:
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ: أَنَّ النَّبِيَّصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ.
“Dari ‘Utsman bin ‘Affan bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
(apabila berwudhu’), beliau menyela-nyela jenggotnya.” [5]
c. Hadits taqriri ialah segala perbuatan Shahabat yang diketahui oleh
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau membiarkannya (sebagai
tanda setuju) dan tidak mengingkarinya.
Contoh:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ
صَلاَةِ الصُّبْحِ: يَا بِلاَلُ! حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ
فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي
الْجَنَّةِ، قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِيْ أَنِّي لَمْ
أَتَطَهَّرْ طُهُوْراً فِي سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ
صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ.
“Nabi Shalkallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal setelah
selesai shalat Shubuh, ‘Wahai Bilal, kabarkanlah kepadaku sebaik-baik
amalan yang telah engkau kerjakan dalam Islam, karena aku telah
mendengar suara terompahmu di dekatku di Surga?’ Ia menjawab,
‘Sebaik-baik amal yang aku kerjakan ialah, bahwa setiap kali aku
berwudhu’ siang atau malam mesti dengan wudhu’ itu aku shalat (sunnah)
beberapa raka’at yang dapat aku laksanakan.’” [6]
Atau kisah dua Shahabat yang melakukan safar, keduanya tidak menemukan
air (untuk wudhu’) sedangkan waktu shalat sudah tiba, lalu keduanya
bertayammum dan mengerjakan shalat, kemudian setelah selesai shalat
mereka menemukan air sedang waktu shalat masih ada, maka salah seorang
dari keduanya mengulangi wudhu’ dan shalatnya, kemudian keduanya
mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menceritakan
kejadian itu. Lalu beliau bersabda kepada Shahabat yang tidak mengulangi
shalatnya, “Engkau telah berbuat sesuai dengan Sunnah.” Dan kepada yang
lain (Shahabat yang mengulangi shalatnya), beliau bersabda, “Engkau
mendapatkan dua ganjaran.” [7]
Di antara makna Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah
sebagaimana yang difahami oleh para Shahabat dan Salafush Shalih
Ridhwanullaah ‘alaihim ajma’iin adalah sebagai sumber kedua setelah
Al-Qur-anul Karim
Sering kita menyebut Kitabullaah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, maksudnya adalah Sunnah sebagai sumber nilai tasyri’.
Al-Qur-an menyifatkan As-Sunnah dengan makna hikmah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ
آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ ۚ
إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Ya Rabb kami, utuslah kepada mereka seorang Rasul di antara mereka yang
akan membacakan ayat-ayat-Mu kepada mereka dan mengajarkan Al-Kitab dan
Al-Hikmah kepada mereka dan mensucikan mereka (dari kelakuan-kelakuan
yang keji), sesungguhnya Engkau Mahamulia lagi Mahabijaksana.”
[Al-Baqarah: 129]
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا
مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي
ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia bagi orang-orang yang beriman,
ketika Dia mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka
sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya dan membersihkan mereka (dari
sifat-sifat jahat), dan mengajarkan Al-Kitab (Al-Qur-an) dan Al-Hikmah
(As-Sunnah). Sesungguhnya mereka sebelum itu dalam kesesatan yang
nyata.” [Ali ‘Imran: 164]
وَأَنزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ
تَكُن تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
“... Dan Allah telah menurunkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah dan
mengajarkanmu apa-apa yang tidak kamu ketahui. Dan karunia Allah
kepadamu amat besar.” [An-Nisaa’: 113]
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“Sebutlah apa-apa yang dibacakan dalam rumahmu dari ayat-ayat Allah dan
hikmah, sesungguhnya Allah Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” [Al-Ahzaab:
34]
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو
عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Dialah yang mengutus kepada ummat yang ummi seorang Rasul dari antara
mereka yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya. Yang membersihkan
mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.
Sesungguhnya mereka sebelum itu dalam kesesatan yang nyata.”
[Al-Jumu’ah: 2]
Maksud penyebutan Al-Kitab pada ayat-ayat di atas adalah Al-Qur-an. Dan yang dimaksud dengan Al-Hik-mah adalah As-Sunnah.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Allah menyebut al-Kitab, yang
dimaksud adalah Al-Qur-an dan menyebut Al-Hikmah. Aku mendengar di
negeriku dari para ahli ilmu yang mengerti Al-Qur-an berkata bahwa
Al-Hikmah adalah As-Sunnah.”[8]
Qatadah rahimahullah berkata, “Yang dimaksud Al-Hikmah adalah As-Sunnah.” Begitu pula penjelasan dari al-Hasan al-Bashri.[9]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu...” [An-Nisaa’: 59]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Taat kepada Allah dengan
mengikuti Kitab-Nya dan taat kepada Rasul adalah mengikuti dan
As-Sunnah.” [10]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Banyak dari
Salafush Shalih berkata bahwa Al-Hikmah adalah As-Sunnah.” Karena
sesungguhnya yang dibaca di rumah-rumah isteri Nabi رَضِيَ اللهُ عَنْهُن
selain Al-Qur-an adalah Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
beliau bersabda:
أَلاَ إِنِّي أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ.
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab dan yang sepertinya bersamanya.” [11]
Hasan bin Athiyyah rahimahullah berkata, “Jibril Alaihissallam turun
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam membawa As-Sunnah sebagaimana
Al-Qur-an. Mengajarkan As-Sunnah itu sebagaimana ia mengajarkan
Al-Qur-an.” [12]
Dan lihat pula kitab-kitab tafsir yang menafsirkan ayat ini (Al-Ahzaab:
34) dalam Tafsir Ibnu Katsir dan lainnya dari tafsir Al-Qur-an bil
ma’tsur.
Para Salafush Shalih memberi makna As-Sunnah dengan agama dan syari’at
yang dibawa oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam secara mutlak dalam
masalah ilmu dan amal, dan apa-apa yang diterima oleh para Shahabat,
Tabi’in dan Salafush Shalih dalam bidang ‘aqidah maupun furu’.
Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata, “Sunnah itu adalah tali Allah yang kuat.” [13]
‘Abdullah bin ad-Dailamy rahimahullah (dari pembesar Tabi’in) berkata,
“Telah sampai kepadaku bahwa awal hilangnya agama ini adalah karena
manusia meninggalkan As-Sunnah.” [14]
Imam al-Lalika-i membawakan penafsiran ayat:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا
“Kemudian kami jadikan kamu di atas syari’at dari perintah, maka ikutilah...” [Al-Jaatsiyah: 18]
“Yakni engkau berada di atas Sunnah.” [15]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya As-Sunnah itu
adalah syari’at, yakni apa-apa yang disyari’atkan Allah Subhanahu wa
Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dari agama (ini).”
[16]
As-Sunnah adalah yang dimaksud dengan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Qawaa’idut Tahdits (hal. 62), Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Ushul
Hadits, Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, cet. IV Darul Fikr 1401 H,
Taisir Muthalahil Hadits (hal. 15), Dr. Mahmud ath-Thahhan.
[2]. Lihat kitab Irsyaadul Fuhuul asy-Syaukani (hal. 32), Fat-hul Baari
(XIII/245-246), Mafhuum Ahlis Sunnah wal Jama’ah ‘inda Ahlis Sunnah wal
Jamaa’ah (hal. 37-43).
[3]. Lihat pada buku penulis, Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (hal. 10).
[4]. HR. At-Tirmidzi (no. 2317), Ibnu Majah (no. 3976), Ibnu Hibban
(Ta’liiqatul Hisaan ‘ala Shahiih Ibni Hibban no. 229), hadits ini hasan.
[5]. HR. At-Tirmidzi (no. 31), Ibnu Majah (no. 430), Shahih Ibni Majah
(no. 345), al-Hakim (I/149) dan al-Hakim berkata, “Sanadnya shahih.”
At-Tirmidzi berkata: “Hasan shahih.” Lihat Shahih Ibni Majah (no. 344)
dari Shahabat ‘Ammar bin Yasir.
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 1149) dan Muslim (no. 2458), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[7]. HR. Abi Dawud (no. 338-339), an-Nasa-i (I/213) dari Abu Sa’id
al-Khudri Radhiyallahu anhu. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud (no. 366),
cet. I/ Ghar-raas, th. 1423 H.
[8]. Ar-Risaalah (hal. 78 no. (252)), tahqiq Syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahullah.
[9]. Lihat Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Imam
al-Lalikaaiy (I/78 no. 70-71), tahqiq Dr. Ahmad Sa’ad Hamdan.
[10]. Tafsir Ibnu Katsir (I/568).
[11]. HSR. Abu Dawud (no. 4604) dan Ahmad (IV/131).
[12]. Fatawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (III/366).
[13]. Asy-Syahru wal Ibanah, Ibnu Baththah al-‘Ukbary (no. 49).
[14]. Sunan ad-Darimi (I/45).
[15]. Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Imam al-Lalika-i (I/76-77 no. 66).
[16]. Majmu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (IV/436).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar