DALIL PARA PENOLAK KHABAR AHAD
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Di muka telah dijelaskan, bahwa As-Sunnah menurut sampainya kepada kita
terbagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Kemudian para ulama
membahas lagi dari segi wurudnya (sampainya kepada kita) menjadi qath'i
dan zhanni.
Yang dimaksud dengan dalil qath’i ialah dalil mutawatir, sedangkan dalil
zhanni ialah dalil yang diambil dari hadits ahad. Qath’i maksudnya
ialah pasti dan tidak diragukan lagi sedangkan zhanni ialah dalil yang
kepas-tian kebenarannya di bawah qath’i.
Dalam hal penolakan kabar ahad, yang paling menonjol ialah kaum
Mu'tazilah dan Asy'ariyah. Mereka menolak hadits ahad karena adanya
kaidah berfikir yang menyatakan bahwa akal adalah sumber kebenaran (yang
lebih populer dikenal dengan dalil 'aqli). Menurut mereka bila ada
dalil naqli (dalil dari Al-Qur-an dan As-Sunnah) yang bertentangan
dengan akal, maka akallah yang didahulukan. Lebih-lebih bila dalil itu
berkenaan dengan soal ‘aqidah atau perkara ghaib, maka mereka meragukan
dan menolaknya.
Syaikh Mahmud Syaltut adalah termasuk tokoh yang dapat dikatakan
mewakili mereka yang menolak kabar ahad di zaman ini. Ia adalah seorang
tokoh pendukung gerakan Syaikh Muhammad ‘Abduh yang sering disebut
sebagai motor gerakan Pembaharuan Islam atau tajdid?!
Dalam bukunya, Syaltut berkata, “Sungguh telah bersepakat para ulama,
bahwasanya dalil 'aqli yang benar kaidahnya dengan rujukannya kepada
kebaikan dan kepentingan manusia adalah merupakan dalil yang meyakinkan
dan dapat menghasilkan keimanan yang semestinya. Adapun dalil naqli,
maka sungguh banyak dari ulama yang berpendapat bahwa ia bukanlah
merupakan dalil yang meyakinkan dan dapat menghasilkan keimanan yang
semestinya, serta dalil ini tidak pula dapat menetapkan perkara ‘aqidah.
Kaidah seperti ini ditetapkan oleh para ulama karena masalah ‘aqidah
adalah lapangan pembahasan yang sangat luas dengan berbagai kemungkinan
yang banyak, sehingga mustahil untuk ditetapkan hanya dengan dalil naqli
semata. Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa dalil naqli itu dapat
menghasilkan keyakinan dan dapat menetapkan perkara ‘aqidah, mereka
meletakkan syarat untuk diterimanya dalil naqli dalam hal ‘aqidah
hanyalah yang qath’i saja, baik qath’i dalam periwayatannya ataupun
qath’i dalam dalalahnya. Yang dimaksud qath’i dalam periwayatannya ialah
tidak boleh ada padanya sedikit pun keraguan dalam hal sampainya
riwayat tersebut kepada kita dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, yang berarti hanyalah riwayat mutawatir saja. Sedangkan yang
dimaksud qath’i dalalahnya adalah sebagai syarat diterimanya riwayat
mutawatir dalam bidang ‘aqidah, di mana keterangan yang terdapat dalam
riwayat terse-but sifatnya muhkam (yakni gamblang dan jelas), sehingga
tidak menerima adanya kemungkinan diartikan kesana-kemari. Maka apabila
naqli memenuhi syarat tersebut, barulah ia dapat diterima sebagai berita
yang harus diyakini dan pantas untuk menetapkan perkara ‘aqidah.”
Selanjutnya Syaltut menyatakan: “Perkara ‘aqidah tidak ditetapkan oleh
hadits, karena perkara ‘aqidah adalah perkara yang harus diimani.
Sehingga iman itu artinya ialah keyakinan yang pasti dan tidaklah sampai
kepada keyakinan yang pasti kecuali yang qath’i riwayatnya maupun
dalalahnya. Ini berarti hanya riwayat mutawatir saja yang bisa diterima.
Karena itu hadits yang riwayatnya tidak sampai ke derajat mutawatir
tidak lebih hanyalah zhan (dugaan semata). Dan dalil zhanni tidaklah
dapat menetapkan perkara ‘aqidah.”
Dalil-dalil yang mereka pergunakan untuk menolak hadits ahad yang
dikatakan tidak bisa dipakai sebagai hujjah dalam bidang ‘aqidah adalah
sebagai berikut:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي
مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.
Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai
kebenaran. Sesung-guhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
kerjakan.” [Yunus: 36]
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ ۚ
إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang di muka bumi, niscaya
mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah
mengikuti perkataan belaka, mereka tidak lain hanyalah berdusta.”
[Al-An’aam: 116]
إِنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلَائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنثَىٰ
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat,
mereka benar-benar menamakan Malaikat itu dengan nama perempuan. Dan
mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak
lain hanyalah mengikuti persangkaan, sedangkan persangkaan itu tiada
berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” [An-Najm: 27-28]https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar